Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

“Vitamin D Supplementation to Prevent Vitamin D Deficiency for


Children with Epilepsy: Randomized Pragmatic Trial Protocol”

Al Khalifah R, Hudairi A, Al Homyani D, Hamad MH, Bashiri FA

Study Protocol Clinical Trial Medicine

Pembimbing:
dr. Rifa Atuzzaqiyah, M.Sc., Sp.A

Oleh:
Alfian Rahman Hadi
H1A016004

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
2020
IDENTITAS JURNAL

1. Nama Penulis : Al Khalifah R, Hudairi A, Al Homyani D, Hamad MH,


Bashiri FA
2. Judul Jurnal : Vitamin D Supplementation to Prevent Vitamin D
Deficiency for Children with Epilepsy1
3. Jurnal Asal : Wolter Kluwer Health, Inc. Study Protocol Clinical
Trial Medicine
4. Tahun Terbit : 2018
5. Jenis Jurnal : Randomized Pragmatic Trial Protocol
ABSTRAK

Latar Belakang: Kondisi defisiensi vitamin D memiliki prevalensi tinggi pada


anak-anak dengan epilepsi. Kurangnya bukti berkualitas tinggi menyebabkan
munculnya berbagai variasi rekomendasi di antara para peneliti terkait hal ini.
Oleh karena itu kami berusaha untuk menentukan efikasi dari beberapa dosis
berbeda yang umum digunakan pada praktik kedokteran anak untuk menjaga
kadar optimal 25-hidroksi vitamin D (25 (OH) vitamin D) pada anak dengan
epilepsi dan batas normal kadar 25 (OH) vitamin D setelah pemberian selama 6
bulan.

Metode: Ini adalah protokol untuk fase IV dari uji coba pragmatis acak superior
label terbuka oleh Rumah Sakit Universitas King Saud di Riyadh. Anak dengan
epilepsi yang menggunakan obat antiepilepsi kronis dan anak dengan kadar 25
(OH) vitamin D di batas normal secara acak akan mendapatkan pemberian
Cholecalciferol 400IU/hari untuk dibandingkan dengan pemberian Cholecalciferol
1000IU/hari selama 6 bulan. Hasil utama yang kami cari adalah untuk mengetahui
proporsi dari anak dengan insufisiensi vitamin D (kadar 25 (OH) vitamin D < 75
nmol/L) setelah 6 bulan. Hasil penyerta yang kami cari mencakup kegagalan
tatalaksana kejang, frekuensi kejang, kadar PTH (Para Thyriod Hormone),
densitas mineral tulang, dan keamanan.

Pembahasan: Uji coba kami dipersiapkan untuk mengevaluasi efikasi dari


pemberian dosis lanjutan teratur vitamin D berbeda yang umum digunakan untuk
mengatur kadar 25 (OH) vitamin D, kontrol kejang, dan kesehatan tulang pada
anak dengan epilepsi. Hasil dari penelitian kami akan dapat membantu
membentuk panduan terkini terkait pemberian suplementasi vitamin D pada anak
dengan epilepsi serta memperjelas hubungan antara kadar 25 (OH) vitamin D dan
kontrol kejang.

Singkatan: 25 OH vitamin D = 25-hidroksi vitamin D, AAP = American


Academy of Pediatrics, OAE = Obat Anti Epilepsi, DMT = Densitas Mineral
Tulang, IMT = Indeks Massa Tubuh, CDC = Centers for Disease Control and
Prevention, ECLIA = electrochemiluminescence binding assay, IU =
International Unit, PTH = Para Thyroid Hormone, RCT = Randomized
Controlled Trial

Kata Kunci: epilepsi, anak, kejang, vitamin D


1. Pendahuluan
Defisiensi Vit. D (Vitamin D) adalah salah satu perhatian dunia yang dapat
memengaruhi seluruh jenjang usia. Di Arab Saudi, defisiensi Vit. D memengaruhi
95,3% anak dengan usia 6 sampai 15 tahun. Vit. D berperan penting untuk
menjaga kesehatan tulang, kekuatan otot, fungsi imun, dan menjadi
neurotransmiter sistem syaraf pusat pada anak yang sehat. Penelitian epidemiologi
besar melaporkan adanya variasi musiman yang signifikan pada frekuensi kejang,
dimana kejang terjadi lebih jarang di musim panas dan terjadi lebih sering di
musim dingin. Peningkatan frekuensi kejang selama musim dingin ini terjadi
dikarenakan rendahnya kadar Vit. D.
Bukti-bukti yang telah dikumpulkan sejak tahun 1960-an mengindikasikan
bahwa OAE (Obat Anti Epilepsi) dapat memengaruhi metabolisme tulang
sehingga membawa pengaruh negatif berupa penurunan kualitas tulang dan
peningkatan resiko fraktur. Hasil observasi ini menjadi awal semakin banyaknya
penelitian mengenai interaksi antara OAE dan metabolisme Vit. D. Penelitian
kohort menyimpulkan bahwa OAE induksi enzim menurunkan kadar 25 (OH)
vitamin D, sehingga pasien berisiko lebih tinggi untuk mengalami defisiensi Vit.
D dibandingkan dengan pasien epilepsi yang menggunakan OAE non-induksi
enzim. Walaupun, didapatkan pula adanya inkonsistensi terkait efek penurunan
Vit. D pada penggunaan OAE yang sama di penelitian berbeda, ini bisa saja
disebabkan karena adanya perbedaan desain penelitian, lokasi geografis, atau
kebiasaan pola makan antar populasi studi.
Terapi Vit. D untuk pasien epilepsi dewasa dan defisiensi Vit. D dilakukan
pada 2 studi pendahuluan. Mereka menemukan adanya penurunan frekuensi
kejang sebesar 30% pada kelompok yang menerima terapi dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang tidak menerima terapi. Hingga saat ini, hanya satu RCT
(Randomized Controlled Trial) yang berusaha mencari tahu dampak dari
pemberian dosis Vit. D yang berbeda pada anak dengan epilepsi. Penelitian
tersebut mengikutsertakan 78 anak berusia 10 sampai 18 tahun yang telah menjali
terapi OAE jangka panjang. Anak-anak tersebut kemudian diberikan dosis
400IU/hari atau 2000IU/hari secara acak selama 1 tahun tanpa memperhatikan
apakah anak-anak tersebut dalam kondisi defisiensi Vit. D pada awal sebelum
penelitian dimulai. Hasil penelitian tersebut kemudian menyatakan adanya tingkat
DMT (Densitas Mineral Tulang) yang dapat dibandingkan antara kedua
kelompok terlepas dari kadar Vit. D awalnya, serta rata-rata kadar 25 (OH)
vitamin D yang mirip setelah 1 tahun. Namun, penelitian tersebut tidak
melaporkan frekuensi kejang yang terjadi.
Banyak komunitas penelitian yang telah merekomendasikan pemberian
suplementasi teratur Vit. D sebesar 400 IU/hari untuk anak-anak. Tetapi, karena
kurangnya bukti ilmiah spesifik mengenai dosis lanjutan teratur pada anak dengan
epilepsi, AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan rekomendasi dosis
sebesar 400 IU seperti pada anak dengan kondisi normal, dan 400 – 1000 IU/hari
untuk anak dengan riwayat terapi defisiensi Vit. D beberapa waktu sebelumnya,
sedangkan Endocrine Society merekomendasikan rentang dosis yang lebih tinggi
mulai dari 600 – 1000 IU/hari untuk anak dengan resiko mengalami defisiensi Vit.
D. Oleh karena itu kami berusaha untuk menentukan efikasi dosis standar
Cholecalciferol 400 IU/hari yang merupakan dosis untuk anak normal
dibandingkan dengan 1000 IU/hari yang direkomendasikan untuk diberikan pada
anak dengan resiko mengalami defisiensi Vit. D yang lebih tinggi dengan harapan
untuk menjaga kadar optimal dari 25 (OH) vitamin D pada anak dengan epilepsi
dan anak dengan kadar 25 (OH) vitamin D normal selama 6 bulan pemberian,
memberikan dampak klinis berupa penurunan signifikan kegagalan tatalaksana
kejang dan peningkatan kesehatan tulang. Sebagai tambahan, kami juga berusaha
mencari tahu efek berbeda berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh), pada
penggunaan OAE induksi enzim dan jumlah OAE yang digunakan.

2. Metode
2.1. Desain uji coba
Ini adalah fase IV dari uji coba pragmatis acak superior label terbuka. Protokol
penelitian ini mengacu pada panduan SPIRIT untuk melaporkan poin protokol
untuk RCT. Uji coba ini telah mendapatkan persetujuan dari badan telaah institusi
Universitas King Saud. Formulir persetujuan telah diberikan kepada pasien dan
orang tuanya. Populasi penelitian diambil dari poliklinik neurologi anak di Rumah
Sakit Universitas King Saud sejak Desember 2017 selama 2 tahun. Rumah Sakit
Universitas King Saud adalah pusat akademik tersier yang memberikan perawatan
pada lebih dari 250 anak dengan epilepsi setiap tahunnya. Nomor registrasi
clinicaltrials.gov penelitian ini adalah NCT03536845.

2.2. Kriteria eligibilitas


Anak dengan epilepsi memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian apabila
berusia 2 hingga 16 tahun dan sedang menjalani pengobatan dengan OAE. Anak
akan dieksklusi dari penelitian apabila mereka memiliki gangguan metabolisme
Vit. D yang telah ada sebelumnya seperti riketsia bergantung Vit. D, sindrom
malabsorbsi, gangguan ginjal, dan kelainan hati. Sebagai tambahan untuk anak
dengan hiperkalsemia sebelumnya berdasarkan kalsium total terkoreksi > 2,5
mg/dL, kadar 25 (OH) vitamin D > 250 nmol/L, atau rasio kalsium urin :
kreatinin > 1,2 mol/mol, atau 0,41 g/g.

2.3 Talaksana dan pengacakan


Pasien yang memenuhi kriteria inklusi akan ditemui saat kunjungan rutin
mereka ke poliklinik neurologi oleh tim peneliti untuk menjalani perekrutan.
Setelah mereka bersedia, tim peneliti akan meminta persetujuan kesepahaman dari
anak-anak tersebut serta keluarganya. Sebagai awal, kami akan mengidentifikasi
tinggi, berat, faktor resiko defisiensi Vit. D, tipe kejang, kontrol kejang, OAE
yang dikonsumsi saat ini, serta obat-obatan lain yang dikonsumsi pasien. Sebagai
tambahan, kami akan melaksanakan pemeriksaan laboratorium pada awal, bulan
ke-3, dan ke-6 yang mencakup kadar 25 (OH) Vit. D, kadar OAE, alkalin
fosfatase, kalsium total terkoreksi, hormon paratiroid, rasio kalsium : kreatinin
urin, enzim hati, fungsi ginjal.
Seluruh anak dengan kadar 25 (OH) vitamin D awal <75 nmol/L akan
diberikan terapi Cholecalciferol 5000 IU/hari selama 8 minggu dan 30 – 75
mg/kg/hari elemen kalsium yang terbagi menjadi 3 dosis selama 4 minggu. Pasien
juga diberikan pilihan untuk menggunakan dosis 35.000 IU/minggu yang akan
diberikan pada fase tatalaksana tergantung dari keinginan pasien. Setelah
menyelesaikan paket pengobatan dengan Vit. D selama 8 minggu, kadar 25 (OH)
vitamin D kemudian diukur (Bagan 1). Pemberian paket pengobatan awal
diperlukan sebelum memulai pemberian dosis lanjutan teratur, karena
memberikan terapi dosis lanjutan teratur secara acak kepada anak dengan kondisi
defisiensi adalah salah satu bentuk pelanggaran kode etik penelitian. Paket
pengobatan awal selama 8 minggu akan kembali diberikan ulang apabila kadar 25
(OH) vitamin D masih < 75 nmol/L. Setelah kadar Vit. D anak-anak tersebut
kembali normal, mereka akan dimasukkan ke dalam 2 kelompok secara acak.
Kelompok “A” akan diberikan Cholecalciferol 400 IU/hari dan kelompok “B”
akan diberikan Cholecalciferol 1000 IU/hari selama 6 bulan. Sedangkan untuk
anak-anak dengan kadar 25 (OH) vitamin D normal yaitu > 75 nmol/L akan
langsung dimasukkan ke pengacakan secara langsung tanpa dilakukan
pengulangan. Cholecalciferol diberikan dalam bentuk tetes yang dibuat oleh
Novartis Vi-De 3 10 ml tetes, 1 mL = 45 tetes = 4500 IU; tiap tetesnya akan
memberikan 100 IU. Penggunaan multivitamin yang mengandung Vit. D ataupun
preparat Vit. D lainnya tidak diizinkan untuk dikonsumsi selama pelaksanaan uji
coba.
Pengelompokan acak pasien dengan monoterapi OAE akan dilakukan dengan
pengacakan blok bertingkat berdasarkan tipe OAE (P450 dengan induksi enzim
berbanding P450 non-induksi enzim) dan IMT (normal berbanding kelebihan
berat badan). Kategori IMT mengacu pada definisi diagram pertumbuhan CDC
(Centers for Disease Control and Prevention). Sedangkan untuk anak dengan
politerapi OAE (> 2 OAE), pengelompokan acak akan dilakukan secara bertingkat
hanya dengan berdasarkan IMT saja. Pengacakan dilakukan oleh peneliti utama
dengan menggunakan perangkat lunak Selaed Envelope Ltd. 2017 dan
dimasukkan ke dalam amplop tersegel berwarna putih yang akan diambil secara
berurutan. Dikarenakan pada dasarnya penelitian ini adalah uji coba pragmatis,
maka pasien dan tim peneliti tidak perlu untuk melalui prosedur blinding setelah
pemberian terapi agar sesuai pengaturan kondisi nyata di dunia klinis, kami juga
tidak akan menggunakan strategi untuk meningkatkan kepatuhan. Seluruh
prosedur penelitian akan dilakukan dengan mengacu pada Deklarasi Helsinski.
25 (OH) Vit. D < 75 nmol/l
Bagan 1. Diagram alur penelitian

Tatalaksana
Partisipan: 25 (OH) Vit D < 75 nmol/l Vit. D3 5000 IU/hari
Anak usia 2 – 16 tahun selama 2 bulan Paket Tatalaksana Ke-2
Vit. D3 5000 IU/hari selama 2
bulan

Kunjungan klinik
pertama:
25 (OH) Vit. D > 75 nmol/l
Data pasien
Antropometri Pengacakan
25 (OH) Vit D > 75 nmol/l
Persetujuan Dosis lanjutan Vit. D3
Kuesioner selama 6 bulan
Laboratorium

Vitamin D3 400 IU Vitamin D3 1000 IU

Pemantauan 3 bulan
Laboratorium

Pemantauan 6 bulan
Antropometri
Laboratorium
Densitas Mineral Tulang
2.3. Keamanan Uji Coba
Walaupun toksisitas Vit. D, hiperkalsemia, dan hiperkalsiuria tidak sering
dijumpai pada anak-anak yang mendapatkan dosis suplementasi standar Vit. D,
kami akan tetap memonitor kejadian komplikasi tersebut pada anak-anak di bulan
ke-3 dan ke-6. Karena bukti ilmiah berupa RCT pada anak dengan epilepsi masih
sangat sedikit dan sebagian anak-anak dengan epilepsi berada dalam posisi
berbaring terus menerus sehingga meningkatkan resiko mereka untuk mengalami
hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.
Hiperkalsemia didefinisikan sebagai nilai total koreksi kalsium > 2,5 mg/dL,
hiperkalsiuria didefinisikan sebagai rasio kalsium : kreatinin urin > 1,2 mol/mol,
dan toksisitas Vit. D didefinisikan sebagai nilai 25 (OH) vitamin D > 250 nmol/L.
Pasien manapun yang menunjukkan tanda-tanda yang telah disebutkan
sebelumnya kapanpun akan langsung diberhentikan dari penelitian dan dihentikan
konsumsi Vit. D serta diberikan tatalaksana yang seharusnya apabila kondisi
hiperkalsemia tersebut terjadi.

2.5 Pengukuran hasil


Hasil utama yang kami harapkan adalah proporsi anak dengan insufisiensi Vit.
D. Kadar serum 25 (OH) vitamin D akan diukur dengan menggunakan ECLIA
(Electrochemiluminescence binding assay) dari Roche diagnostics. Insufisiensi
Vit. D didefinisikan sebagai kadar 25 (OH) vitamin D
< 75 nmol/L berdasarkan Institute of Medicine. Walaupun begitu, AAP (American
Academy of Pediatrics) menyarankan untuk menggunakan nilai kadar 25 (OH)
vitamin D pada anak < 50 nmol/L sebagai definisi dari insufisiensi, karena sudah
cukup untuk menghindari riketsia, Canadian Paediatric Society menyarankan
untuk menjaga kadar 25 (OH) vitamin D pada anak > 75 nmol/L, karena
didapatkan data penelitian terhadap orang dewasa yang menyatakan bahwa
menjaga kadar serum 25 (OH) vitamin D > 75 – 80 nmol/L diperlukan untuk
meminimalisir resorbsi kalsium tulang dan memaksimalkan absorpsi kalsium di
usus.
Hasil sekunder yang diharapkan mencakup proporsi anak dengan kegagalan
terapi OAE, rata-rata frekuensi kejang, rata-rata nilai serum hormon paratiroid,
dan densitas mineral tulang. Kegagalan tatalaksana didefinisikan sebagai
gabungan peningkatan frekuensi kejang yang signifikan secara klinis, atau
kebutuhan penambahan OAE untuk mengontrol kejang yang tidak terkendali, atau
peningkatan dosis OAE untuk mengontrol kejang yang tidak berasal dari
kepatuhan yang buruk, atau penurunan tingkat OAE, atau adanya penyakit
kambuhan. Gabungan hasil seperti yang telah disebutkan sebelumnya akan
memberikan sensitifitas yang lebih baik untuk mengetahui kemungkinan
kegagalan tatalaksana yang tidak ditandai dengan peningkatan frekuensi kejang.
Frekuensi kejang akan diukur dengan menggunakan laporan orang tua pada awal
dan selama 6 bulan penelitian. Segala perubahan terkait frekuensi kejang lebih
dari 50% dari frekuensi awal akan dianggap sebagai peningkatan frekuensi kejang
yang signifikan secara klinis.

3. Analisis Statistik
3.1. Estimasi besar sampel
Hasil utama yang kami harapkan adalah kadar 25 (OH) vitamin D < 75 nmol/L
pada kedua kelompok independen. Data yang didapatkan sebelumnya
menunjukkan bahwa prevalensi terjadinya defisiensi Vit. D pada anak yang
mendapatkan monoterapi OAE dan 400 IU Vit. D adalah 0,45. Jika prevalensi
defisiensi Vit. D sebenarnya pada anak yang mendapatkan 1000 IU adalah 0,1,
maka kami membutuhkan 28 orang pasien dalam setiap lengan penelitian untuk
dapat menolak hipotesis nul yang menyatakan bahwa prevalensi untuk kedua grup
adalah sama dengan probabilitas B = 0,85, dan α = 0,05. Lebih lanjut, untuk dapat
menguji hipotesis sub-kelompok mengenai dampak dari tipe OAE dan status IMT
terhadap kadar Vit. D kami memerlukan setidaknya 56 orang pasien pada setiap
lengan penelitian. Dengan ekspektasi angka drop-out sebesar 20%, kami
memerlukan total 135 orang pasien yang sedang menjalani monoterapi OAE.
Data yang telah didapatkan sebelumnya menunjukkan bahwa pasien politerapi
OAE cenderung memiliki kadar Vit. D yang lebih rendah -16 hingga -18 + 13,6
dibandingkan dengan pasien monoterapi. Walaupun begitu, tidak didapatkan data
sebelumnya yang menunjukkan perbedaan kadar Vit. D di antara pasien dengan
politerapi OAE berdasarkan status IMT mereka. Namun, data terkait hal ini pada
pasien monoterapi OAE telah didapatkan. Oleh karena itu kami menggunakan
estimasi dari data monoterapi tersebut untuk mendapatkan estimasi besar sampel
kami. Kami memerlukan 26 orang pasien untuk setiap lengan penelitian (total 68
orang pasien dengan ekspektasi angka drop-out sebesar 20%) untuk menguji
hipotesis pada dampak dari monoterapi OAE dibandingkan politerapi OAE
dengan B = 0,85, α = 0,05.
Besar sampel saat ini akan memungkinkan kami untuk menguji perbedaan
kegagalan tatalaksana kejang di antara 2 kelompok intervensi. Data yang telah
didapatkan sebelumnya menunjukkan estimasi kegagalan tatalaksana pada anak
dengan placebo adalah 0,6. Apabila angka kegagalan sebenarnya pada anak yang
mendapatkan suplementasi Vit. D adalah 0,9, maka kamu memerlukan 36 orang
pasien untuk setiap lengan penelitian dengan probabilitas B = 0,85 dan α = 0,05.

4. Analisis Data
Kami akan menganalisa hasil yang ada secara berkelanjutan dengan
menggunakan student t-test untuk sampel independen dengan data yang
terdistribusi normal dan Wilcoxon sign test untuk data non-parametrik dengan
model analisa intention-to-treat. Kami akan menampilkan estimasi proporsi
kelompok dan perbandingan laju saat ini setelah melalui penyesuaian dan sebelum
melalui penyesuaian. Respon tatalaksana Vit. D dan kegagalan tatalaksana kejang
akan melalui penyesuaian untuk tipe OAE, jumlah OAE yang digunakan, dan
IMT dengan menggunakan model regresi logistik. Data yang hilang akan
ditangani dengan menggunakan metode last observation carried forward.

5. Pembahasan
Defisiensi Vit. D pada anak-anak dengan epilepsi adalah permasalahan yang
seringkali terlewatkan walaupun beberapa bukti ilmiah menyatakan bahwa
kondisi ini dapat memberikan dampak negatif untuk kontrol kejang dan kesehatan
tulang secara keseluruhan. Vit. D memainkan peran penting dalam perkembangan
otak dan perilaku. Vit. D terbukti memiliki karakteristik neuroaktif yang dapat
memengaruhi perkembangan otak. Penelitian pada hewan juga menunjukkan
bahwa Vit. D dapat berperan sebagai senyawa anti-kejang. Siegel et al.
menunjukkan bahwa Vit. D3 yang dihantarkan menuju hipokampus meningkatkan
ambang batas kejang dengan pemicu kimiawi pada rodensia dan mencit dengan
reseptor Vit. D yang dimatikan menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap
kejang.
Uji coba kami bertujuan untuk mengevaluasi efikasi dari dosis lanjutan Vit. D
yang umum digunakan terhadap kadar 25 (OH) vitamin D, kontrol kejang, dan
kesehatan tulang pada anak-anak yang menggunakan obat kontrol kejang
monoterapi dan politerapi. Sebagai tambahan, untuk memperkirakan beban
layanan kesehatan berupa defisiensi Vit. D pada anak-anak dengan epilepsi, hasil
penelitian kami mungkin akan membantu pembuatan paduan suplementasi Vit. D
untuk anak-anak dengan epilepsi, memberikan bukti ilmiah hubungan antara
kadar 25 (OH) vitamin D dan kontrol kejang.
Kekuatan utama yang menjadi kunci dari protokol kami mencakup penggunaan
desain uji coba pragmatis untuk mencapai pengaturan kondisi praktik klinis sesuai
dengan keadaan nyata sebenarnya, penggunaan rekomendasi pemberian dosis Vit.
D terkini oleh AAP dan Endocrine Society, definisi hasil, dan rencana analisis
yang diajukan untuk memastikan penelitian sebelumnya yang melaporkan adanya
interaksi antara dosis Vit. D, OAE induksi sitokrom P450, dan IMT. Kami juga
telah mengantisipasi dampak durasi penelitian yang pendek akan memengaruhi
observasi hubungan kadar 25 (OH) vitamin D dan hasil penelitian kami.

Pengakuan
RCT ini didanai oleh Dallah Healthcare, Kerajaan Arab Saudi, dengan nomor
persetujuan (CMRM-DHG-1/006). Dallah Healthcare tidak ikut serta terlibat
dalam perencanaan, pengumpulan, manajemen, analisis, dan interpretasi data;
penulisan laporan; dan pengambilan keputusan untuk mempublikasikan laporan
ini.
ANALISIS PICO

Analisis PICO merupakan suatu metode yang digunakan untuk menelaah


suatu informasi klinis dari penelitian ilmiah dalam sebuah jurnal. PICO
merupakan akronim dari 4 kata, antara lain P (Patient, Population, Problem), I
(Intervention, Prognostic Factor, Exposure), C (Comparison, Control), dan O
(Outcome). Metode ini dapat membantu kita untuk menentukan apakah informasi
yang kita peroleh sudah memenuhi kriteria validitas dan relevansi dalam profesi
kedokteran. Berikut hasil telaah jurnal ini berdasarkan analisis PICO:

1. Patient, Population, Problem:


Penelitian ini dilakukan pada anak berusia 2 hingga 16 tahun dengan epilepsi
yang sedang menjalani terapi OAE. Anak-anak yang menjalani terapi OAE
seringkali mengalami defisiensi Vit. D, oleh karena itu penelitian ini akan
memantau efek pemberian Vitamin D3 (Cholecalciferol) dengan dua dosis
lanjutan berbeda terhadap kondisi defisiensi Vit. D yang terjadi pada anak-anak
dengan epilepsi dan sedang menjalani terapi OAE.
Pengelompokan acak pada anak dengan monoterapi OAE akan dilakukan
berdasarkan tipe OAE (P450 dengan induksi enzim dan P450 non-induksi enzim)
dan IMT berdasarkan diagram CDC (normal dan kelebihan berat badan).
Sedangkan untuk anak dengan monoterapi pengelompokan acak akan dilakukan
berdasarkan IMT saja.

2. Intervention, Prognostic Factor, Exposure:


Sebelum menjalani intervensi berupa pemberian Vit. D3 (Cholecalciferol)
seluruh anak yang akan menjadi partisipan dalam penelitian akan menjalani
pemeriksaan laboratorium untuk kadar 25 (OH) vitamin D awal, apabila
didapatkan kadar 25 (OH) vitamin D < 75 nmol/L maka anak tersebut akan
diberikan terapi Vit. D3 (Cholecalciferol) 5000 IU/hari selama 8 minggu dan 30 –
75 mg/kg/hari elemen kalsium yang terbagi menjadi 3 dosis selama 4 minggu.
Setelah itu akan dilakukan pemeriksaan laboratorium kembali, apabila kadar 25
(OH) vitamin D didapatkan masih < 75 nmol/L maka anak akan mendapatkan
terapi pengulangan berupa Vit. D3 5000 IU/hari selama 8 minggu, sedangkan
apabila kadar 25 (OH) vitamin D didapatkan telah > 75 nmol/L maka anak
tersebut akan dimasukan secara acak ke dalam salah satu kelompok intervensi.
Dua kelompok intervensi akan menerima pemberian suplementasi Vit. D3
(Cholecalciferol) dalam bentuk tetes, dimana tiap tetesnya berisikan 100 IU
dengan dua dosis berbeda selama 6 bulan. Kelompok A akan mendapatkan Vit.
D3 (Cholecalciferol) sejumlah 4 tetes setara 400 IU/hari dan kelompok B akan
mendapatkan Vit. D3 (Cholecalciferol) sejumlah 10 tetes setara 1000 IU/hari.
Pemantauan akan dilakukan pada awal penelitian, bulan ke-3, dan bulan ke-6
melalui pengecekan laboratoirum kadar 25 (OH) Vitamin D.

3. Comparison, Control:
Tidak ada kelompok yang dijadikan pembanding kontrol pada penelitian ini
karena semua kelompok dalam penelitian ini adalah kelompok eksperimental.

4. Outcome:
Parameter utama yang dinilai dalam penelitian ini adalah kadar 25 (OH)
vitamin D yang didapatkan melalui pemeriksaan laboratorium. Kadar 25 (OH)
vitamin D ini digunakan untuk menilai terjadinya defisiensi vitamin D atau tidak
pada anak-anak dengan epilepsi yang sedang menjalani terapi OAE dan diberikan
suplementasi Vit. D3 (Cholecalciferol) dengan dua dosis berbeda yaitu 400
IU/hari dan 1000 IU/hari.
Selain kadar 25 (OH) Vitamin D, penelitian ini juga memiliki sub-penelitian
yang akan turut menganalisis hubungan jumlah dosis lanjutan Vit. D3
(Cholecalciferol) terhadap jenis terapi OAE (monoterapi dan politerapi), tipe OAE
(P450 dengan induksi enzim dan P450 non-induksi enzim), IMT (normal dan
kelebihan berat badan), dan kegagalan terapi kejang (gabungan dari peningkatan
frekuensi kejang yang signifikan secara klinis, penambahan OAE baru,
penambahan dosis OAE, terjadinya penyakit kambuhan lainnya).
Critical Appraisal
A Apakah bukti tentang aspek terapi ini valid?
Apakah alokasi pasien Ya (+)
terhadap terapi dalam
penelitian ini dilakukan Pada jurnal disebutkan bahwa penelitian
dengan diacak? dilakukan secara randomisasi dengan
menggunakan amplop tersegel berwarna putih
tersegel.

Apakah pengamatan pasien Ya (+)


dilakukan secara cukup
panjang dan lengkap? Penelitian ini dilakukan sejak bulan Desember
2017 sampai Desember 2019 pada anak berusia
2 hingga 16 tahun dengan epilepsi yang sedang
menjalani terapi OAE.
Pengamatan dilakukan pada awal penelitian,
bulan ke-3, dan bulan ke-6.

Apakah semua pasien dalam Ya (+)


kelompok yang diacak
dilakukan analisis? Seluruh anak dengan epilepsi yang sedang
menjalani terapi OAE dan menjadi pasien di
klinik neurologi Rumah Sakit Universitas King
Saud akan diberikan tawaran untuk menjadi
responden karena penelitian ini mengedepankan
prinsip intention to treat.

Namun dari besar sampel minimal yang


dibutuhkan untuk penelitian ini telah
ditambahkan pula ekspektasi angka drop-out
sebesar 20%.

Apakah pasien dan dokter Tidak (-)


tetap blind dalam
melakukan terapi yang Penelitian ini tidak menggunakan prosedur
diberikan? blinding karena desain penelitian ini adalah uji
coba pengacakan pragmatis berlabel terbuka,
dimana penelitian pragmatis artinya adalah
penelitian yang mengedepankan pengaturan
lingkungan penelitian semirip mungkin dengan
kondisi nyata dunia klinis di lapangan

Apakah semua kelompok Ya (+)


diperlakukan sama, selain
dari terapi yang diuji? Kedua kelompok menerima pemberian
suplementasi Vit. D3 (Cholecalciferol) dengan
jenis, sediaan, tempat produksi, dan metode
pemberian yang sama.

Kedua kelompok telah menerima pemberian


dosis awal Vit. D3 (Cholecalciferol) untuk
menyamaratakan kadar 25 (OH) Vitamin D
pasien berada di rentang normal.

Kedua kelompok juga sama-sama tidak


menerima intervensi untuk menambah tingkat
kepatuhan meminum obat.

Apakah kelompok terapi dan Ya (+)


kontrol sama/mirip pada awal
penelitian? Kedua kelompok telah dikelompokkan kembali
sesuai dengan jenis terapi OAE yang diterima
(monoterapi atau politerapi).

Pasien dengan monoterapi OAE akan melalui


pengelompokan acak blok bertingkat
berdasarkan tipe OAE (P450 dengan induksi
enzim berbanding P450 non-induksi enzim) dan
IMT (normal berbanding kelebihan berat badan).

Pasien dengan politerapi OAE akan melalui


pengelompokan acak blok bertingkat
berdasarkan IMT (normal berbanding kelebihan
berat badan) saja.
C Apakah kita dapat menerapkan bukti tentang aspek terapi yang valid dan penting
B ini pada pasien
Apakah kita? aspek terapi ini valid?
bukti tentang
Seberapa besarkah pengaruh Belum diketahui (O)
terapi tersebut?
Hasil penelitian berupa pengaruh terapi belum
dapat dianalisa karena saat jurnal ini dipublikasi
pada September 2018 penelitian masih berlangsung
sejak Desember 2017 hingga Desember 2019.

Seberapa akurat efek terapi Belum diketahui (O)


yang ditimbulkan?
Hasil penelitian berupa keakuratan efek terapi
belum dapat dianalisa karena saat jurnal ini
dipublikasi pada September 2018 penelitian masih
berlangsung sejak Desember 2017 hingga
Desember 2019.

Apakah pasien di dalam studi Ya (+)


sama dengan di tempat saya?
Pasien pada penelitian ini merupakan anak berusia
2 hingga 16 tahun dengan epilepsi dan saat ini
sedang menjalani terapi OAE.

Hingga kini menurut Kemenkes RI belum


didapatkan data angka prevalensi dan insidensi
daripada epilepsi di Indonesia.2

Walaupun begitu pada sebuah penelitian yang


dilangsungkan oleh Tantri NL, et. al. pada tahun
2017 di Surakarta menyatakan bahwa penggunaan
OAE > 2 tahun pada anak dapat berpengaruh
terhadap kejadian defisiensi vitamin D. 3

Apakah terapi ini dapat Ya (+)


digunakan di tempat saya?
Pemberian suplementasi Vit. D3 (Cholecalciferol)
dapat dilakukan pada anak dengan epilepsi yang
sedang menjalani terapi OAE di Indonesia, karena
menurut BPOM RI Vitamin D3 juga diproduksi di
Indonesia4

Defisiensi Vit. D pada anak daengan epilepsi yang


menjalani terapi OAE tidak disebutkan sebagai
salah satu efek samping dari penggunaan OAE
pada dalam Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Epilepsi pada Anak oleh
Kemenkes RI. Namun, pemberian suplementasi
Vit. D disebutkan sebagai salah satu tatalaksana
non-medikamentosa yang disarankan dalam
panduan ini. Walaupun tidak spesifik menyarankan
penggunaan Vit. D3 (Cholecalciferol) 5

Dalam Formularium Nasional 2019 yang


dikeluarkan oleh Kemenkes RI, Vit. D3 tidak
termasuk ke dalam daftar mineral dan vitamin
dalam formularium tersebut. Oleh karena itu
pemberian Vit. D3 pada pasien tidak akan
ditanggung oleh BPJS.

Harga Vit. D3 400 IU berkisar antara Rp70.000,00


hingga Rp100.000,00 per 30 tablet, sedangkan
untuk Vit. D3 1000 IU berharga sekitar
Rp300.000,00 per 30 kapsul hingga Rp450.000,00
per 200 kapsul

Apakah manfaat potensial Belum dikethaui (O)


dari pengobatan lebih besar
daripada potensi bahaya Dalam penelitian ini disebutkan bahwa
perawatan untuk pasien saya? penggunaan suplementasi Vit. D akan dapat
menyebabkan efek samping berupa hiperkalsemia
dan hiperkalsiuria. Sehingga demi keamanan
penelitian ini peneliti akan melakukan pengecekan
laboratorium kepada anak dengan gejala dan tanda
hiperkalsemia dan hiperkalsiuria untuk menjaga
keamanan peserta penelitian dari terjadinya efek
samping ini.

Hasil penelitian berupa perbandingan potensial


pengobatan dan potensi bahaya dalam perawatan
pasien dengan terapi ini belum dapat disebutkan
karena saat jurnal ini dipublikasi pada September
2018 penelitian masih berlangsung sejak Desember
2017 hingga Desember 2019.

KESIMPULAN

Hasil atau rekomendasi adalah valid (form A) Valid


Belum dapat disimpulkan karena
Hasil bermanfaat secara klinis (form B) penelitian masih berlangsung
hingga penerbitan jurnal

Hasil relevan dengan praktek nyata (form C) Dapat digunakan di masyarakat,


namun potensi pengobatan
berbanding potensi bahaya
pengobatan ini masih belum
dapat disimpulkan

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Khalifah R, Hudairi A, Al Homyani D, et al. Vitamin D


supplementation to prevent Vitamin D deficiency for children with
epilepsy: Randomized pragmatic trial protocol. Med (United States); 97.
Epub ahead of print 2018. DOI: 10.1097/MD.0000000000012734.

2. Ruhaya F. Epilepsi. Ditjen Yankes Kemenkes RI,


http://yankes.kemkes.go.id/read-epilepsi-4812.html (2018).

3. Tantri NL, Nur FT, Salimo H. Pengaruh Pemberian Obat Antiepilepsi


terhadap Kadar Vitamin D pada Anak Penderita Epilepsi. Sari Pediatr
2017; 19: 97.

4. BPOM RI. Vitamin D3. 2019,


https://cekbpom.pom.go.id/index.php/home/produk/vpc1gnem34ggdhqbb3
o04bjic7/all/row/10/page/0/order/4/DESC/search/1/VITAMIN D3.

5. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana


Epilepsi pada Anak, http://www.albayan.ae (2017).

Anda mungkin juga menyukai