Anda di halaman 1dari 36

“KERANGKA DASAR TEORI KEILMUAN: FRANCIS BACON,

JOHN STUART MILL, AUGUSTE COMTE,


DAN POSITIVISME LOGIS”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filasafat

Dosen Pengampu Mata Kuliah: Dr. Dina Gasong, M.Pd

KELOMPOK 2:
1. Frendy Tandi Gau’
2. Erianto Tandi Allo
3. Albertin Dua Lembang

PROGRAM STUDI MAGISTER BAHASA INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TORAJA

2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulus panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas tuntunan dan
hikmatnya sehingga makalah yang berjudul “Kerangka Dasar Teori Keilmuan: Francis
Bacon; John Stuart Mill; Auguste Comte; dan Positivisme Logis” dapat selesai dengan baik.
Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat oleh dosen pengampu Dr. Dina Gasong,
M.Pd.
Makalah ilmiah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan referensi dari
internet serta bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

Tana Toraja, Desember 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................................................i

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................1
C. Tujuan .................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Francis Bacon......................................................................................................2
B. John Stuart Mill.................................................................................................16
C. Auguste Comte .................................................................................................18
D. Positivisme Logis .............................................................................................21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................................27
B. Saran .................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................................29


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerangka dasar teori keilmuan adalah landasan konseptual dan konseptualisasi suatu
bidang studi atau disiplin ilmu. Kerangka teori memberikan dasar untuk memahami,
menganalisis, dan menjelaskan fenomena atau masalah yang menjadi fokus penelitian
dalam suatu bidang ilmu. Kerangka dasar teori keilmuan yang melibatkan tokoh seperti
Francis Bacon, John Stuart Mill, Auguste Comte, dan Positivisme Logis mencakup
pemikiran-pemikiran dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Francis Bacon (1561-1626) dianggap sebagai salah satu pendiri metode ilmiah. Dia
menekankan perlunya pengamatan dan eksperimen untuk memperoleh pengetahuan. Bacon
mendukung metode induktif, di mana generalisasi diambil dari data empiris untuk
membangun pengetahuan.
John Stuart Mill (1806-1873) merupakan filosof dan ekonom Inggris yang memainkan
peran penting dalam pengembangan positivisme logis. Mill menekankan pentingnya
metode ilmiah dan empirisme. Dia juga memperkenalkan metode induktif dan deduktif
serta mengembangkan ide-ide tentang logika.
Auguste Comte (1798-1857) dianggap sebagai pendiri positivisme, suatu pendekatan
filosofis dan metodologis yang menekankan penggunaan metode ilmiah dalam memahami
masyarakat dan alam. Comte mengusulkan tahap-tahap perkembangan pengetahuan
manusia, dari tahap teologis, metafisika, hingga positif.
Positivisme Logis adalah suatu pendekatan filsafat yang berkembang pada awal abad ke-20
dan dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein.
Positivisme logis menekankan pada artikulasi dan klarifikasi bahasa sebagai sarana untuk
mengatasi permasalahan filosofis. Mereka berfokus pada analisis bahasa dan logika formal
untuk memahami struktur argumen dan klaim ilmiah.
Dalam makalah ini, akan dibahas perkembangan pemikiran masing-masing tokoh dan
bagaimana ide-ide mereka membentuk kerangka dasar teori keilmuan. Faktor-faktor seperti
metodologi penelitian, hubungan antara observasi dan teori, serta peran logika dalam
pembentukan pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan uraian latar belakang di atas adalah:
1. Apa konsep dasar teori keilmuan yang dikemukakan oleh Francis bacon?
2. Bagaimana pandangan John Stuart Mill terhadap metode ilmiah?
3. Apa kontribusi Auguste Comte terhadap perkembangan positivism dalam konteks
keilmuan?
4. Bagaimana positivisme logis sebagai pengembangan dari pemikiran-pemikiran
sebelumnya?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan pemahaman mendalam tentang metode ilmiah yang dikembangkan oleh
Francis Bacon, membantu dalam memahami berbagai pandangan dan perkembangan
terhadap kerangka dasar teori keilmuan oleh John Stuart mill, Auguste Comte dan
Positivisme Logis. Penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menganalisis kontribusi
mereka dalam pengembangan disiplin ilmu. Selain itu, makalah ini juga diharapkan
dapat memberikan pandangan baru bagi para pembaca terkait dasar teori keilmuan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. FRANCIS BACON (Metode Induksi-Eksperimen)


Francis Bacon adalah seorang filosof Inggris yang terkenal sebagai pelopor
empirisme Inggris, namun bukan berarti ia ateis. Ia berpendapat bahwa filsafat harus
dipisahkan dari teologi, bukan dicampur sebagaimana skolatisme. Urusan teologi hanya
bisa diketahui oleh wahyu, sedangkan filsafat hanya pada akal semata, karena itulah dia
termasuk pendukung dokrin ‘kebenaran ganda’ yakni akal dan wahyu. Agama yang dianut
Bacon adalah Ortodoks.
Karya tulis Bacon yang paling terkenal adalah The Advancement of Learning, New
Atlantis, dan Novum Organum. Secara umum pandangan Bacon bisa dikatakan praktis,
konkret dan utilitaris. Bagi Bacon, untuk mengenal sifat- sifat segala sesuatu perlu
penelitian yang empiris. Pengalamanlah yang menjadi dasar pengetahuan. Apa yang
diungkapkan Plato menjadi semboyan Bacon, pengetahuan adalah kekuasaan (knowledge is
power). Menguasai kekuatan- kekuatan alam dengan penemuan dan penciptaan ilmiah.
Dengan demikian Bacon menginginkan bawah ilmu pengetahuan haruslah diupayakan
untuk memanfaatkan alam guna kepentingan kelancaran hidup manusia, melalui penemuan
sains. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan beralih pada metode induksi.
Francis Bacon adalah peletak dasar bagi metode induksi modern dan menjadi pelopor
yang mensistimatisasi secara logis produser ilmiah. Seluruh filsafatnya bersifat praktis,
yaitu untuk menjadikan manusia menguasai kekuatan-kekuatan alam dengan perantaraan
penemuan-penemuan ilmiah. Dia terkenal sebagai penemu praktek metode ilmiah. Bacon
sendiri memberikan contoh Mulai dari panas yang di peroleh dari tangan yang di gosok-

gosokkan hingga dengan panas matahari. Dia berpendapat bahwa panas sebenarnya gerak
yang terjadi pada partikel yang lebih kecil dari suatu benda yang pada akhirnya
menghasilkan panas pada benda apa pun. Dengan kata lain, Bacon mengusulkan sebuah
metode yang dengan metode itu ilmuwan dapat menghasilkan teori yang memiliki
kemungkinan keberadaan yang lebih tinggi derajatnya di banding dengan metode yang lain.
Ia dikenal sebagai pencetus pemikiran empirisme yang mendasari sains hingga saat
ini yaitu suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal
dari pengalaman manusia. Meskipun dia seorang Inggris yang setia, Bacon punya
pandangan berjangka jauh melampaui batas negerinya. Dia membedakan 3 jenis ambisi:

2
Pertama, mereka yang berselera meluaskan kekuasaannya di negerinya sendiri, suatu selera
yang vulgar dan tak bermutu. Tetapi, jika orang mencoba mendirikan dan meluaskan
kekuasaan dan dominasi terhadap umat manusia di seluruh jagad, ambisinya ini tak salah
lagi lebih bijak dari kedua ambisi yang disebut duluan. Kedua, ialah mereka yang bekerja
meluaskan kekuasaan atas negerinya sendiri dan penguasaannya atas penduduk. Ini tentu
lebih bermutu meskipun kurang baik.
Secara umum pandangan Bacon bisa dikatakan praktis, konkret dan utilitaris.
Menurut Bacon untuk mengenal sifat-sifat segala sesuatu perlu penelitian yang empiris.
Pengalaman dapat menjadi dasar pengetahuan. Apa yang diungkapkan Plato dijadikan
semboyan oleh Bacon yaitu pengetahuan adalah kekuasaan (knowledge is power).
Menguasai kekuatan-kekuatan alam dengan penemuan dan penciptaan ilmiah. Dengan
demikian Bacon menginginkan bawah ilmu pengetahuan haruslah diupayakan untuk
memanfaatkan alam guna kepentingan kelancaran hidup manusia, melalui penemuan sains.
Dan itu hanya bisa dilakukan dengan beralih pada metode induksi.
1. Landasan Filosofis Pemikiran Francis Bacon
Pemikiran atau karya seseorang memiliki beberapa factor yang melatarbelakangi.
Begiitu juga dengan Francis Bacon yang berpendapat tentang ilmu pengetahuan. Bacon yang
hidup pada dua zaman yaitu pada saat peralihan pola pikir Abad Pertengahan ke pola pikir
zaman Renaissance. Zaman renaissance adalah jaman pendobrakan manusia untuk setia dan
konstan dengan jati dirinya. Zaman ini sekaligus menggulirkan semangat baru yang
menghebohkan, terutama dalam hubungannya dengan karya seni, ilmu pengetahuan, sastra
dan aneka kreativitas manusia yang lain. Di sini filsafat memegang fungsinya yang baru yaitu
meletakkan dasar-dasar bangunan pengembangan aneka ilmu alam/ pasti yang merintis
hadirnya tekhnologi- tekhnologi seperti yang kita nikmati sekarang ini. Dalam
perkembangan filsafat dan ilmu sejak zaman Yunani kuno terdapat empat bidang
pengetahuan yaitu ; filsafat, ilmu, matematika dan logika yang memiliki ciri khusus dan arah
pertumbuhan yang berbeda.
Kondisi kehidupan zaman renaissance tersebut menjadi latar belakang pemikiran Bacon
tentang ilmu pengetahuan. Bacon tidak setuju terhadap pola pikir ilmu pengetahuan Abad
Pertengahan yang bersifat abstrak, deduktif, teosentris dan dipengaruhi oleh otoritas tertentu.
Ia percaya pada ilmu pengetahuan yang lebih empiris, konkrit dan antroposentris. Menurut
pemikirannya, ilmu pengetahuan lama tidak sanggup memberikan kemajuan, tidak dapat
memberikan hasil-hasil yang bermanfaat serta tidak dapat melahirkan hal-hal baru yang
berfaedah bagi kehidupan umat manusia.

3
Pendapat Bacon tentaang ilmu pengetahuan berangkat dari tiga fakultas jiwa manusia,
yakni daya ingatan, daya imajinasi, dan daya akal. Daya ingatan berhubungan dengan
pengetahuan sejarah (sejarah alam, sejarah masyarakat, sejarah Gereja dan sejarah
literatur). Daya imajinasi berkaitan dengan pengetahuan sastra. Daya akal budi berkaitan
dengan filsafat yakni Filsafat Ketuhanan, Filsafat Alam, dan Filsafat Manusia. Ketiga
fakultas jiwa ini menurut Bacon menjadi dasar terbentuknya pengetahuan manusia.
Menurut pendapat Francis Bacon sebagaimana dikutip dalam Suriasumantri (1999)
mengatakan bahwa “Pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu akan merupakan
berkat atau malapetaka bagi umat manusia, semua itu terletak pada sistem nilai dari orang
yang menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu itu bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat
baik atau buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Selanjutnya
Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang
ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Nilai kegunaan ilmu,untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat
ilmu itu digunakan,kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal,yaitu:
a. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia
pemikiran.Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung
suatu ide yang membentuk suatu dunia,atau hendak menentang suatu sistem
kebudayaan atau sistem ekonomi,atau sistem politik,maka sebainya
mempelajari teori-teori filsafatnya.inilah kegunaan mempelajari teori-teori
filsafat ilmu;
b. Filsafat sebagai pandangan hidup.Filsafat adalah posisi yang kedua ini semua
teori ajaran diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan.Filsafat
ilmu sebagai pandangan hidup gunanya untuk petunjuk dalam menjalani
kehidupan.
c. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Menurut Bacon bahwa ilmu pengetahuan berfungsi untuk membantu kekuasaan
manusia atas alam. Ilmu pengetahuan menjadi kekuatan bagi manusia untuk menguasai alam,
melalui belajar dari alam itu sendiri. Manusia belajar dari alam tentang dua unsur yakni;
unsur fisik (unsur-unsur alam yang dapat diamati secara langsung), dan unsur metafisik
(hukum-hukum alam yang tidak dapat diamati secara langsung). Selain itu Ilmu pengetahuan
juga dapat membantu manusia untuk memahami dirinya dan segala permasalahannya baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Menyangkut masalah-masalah

4
manusia sebagai anggota masyarakat, manusia akan dibantu oleh ilmu kemasyarakatan (ilmu
politik dan etika/moral).
Francis Bacon menyebutkan bahwa permasalahan manusia secara individu
berhubungan dengan empat hal yaitu kesehatan, kecantikan, kekuatan dan kesenangan atau
kebahagiaan. Kesehatan tubuh dapat diperoleh melalui ilmu kesehatan/pengobatan,
kecantikan dapat diusahakan melalui ilmu kosmetik, kekuatan tubuh dapat dimiliki dengan
ilmu atletik atau olahraga, dan kesenangan dapat dicapai dengan ”ilmu kesenangan”.
Ilmu pengetahuan juga menjadi sarana bagi manusia dalam penemuan- penemuan yang
baru, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang petualangan manusia.
Penemuan-penemuan baru itu berhubungan dengan kemampuan akal budi manusia. Ada
empat kemampuan akal budi dalam penemuan-penemuan baru yakni: kemampuan dalam
melaksanaan penelitian, kemampuan untuk memutuskan secara tepat, kemampuan untuk
mengingat atau mempertahankan yang sudah ditemukan, dan kemampuan untuk mengajarkan
apa yang sudah ditemukan.
Namun, manusia tidak dapat sampai pada tahap peranan ini jika masih terikat dengan
idola-idola yang menghalangi pemahaman obyektif manusia terhadap alam atau realitas
hidupnya. Ada empat idola yakni:
a. Idola Tribus (The Idols of Tribe).
Atau disebut idola suku bangsa yaitu kesimpulan yang ditarik tanpa data-data atau
fakta yang memadai atau prasangka-prasangka kolektif yang dipercaya begitu saja
tanpa pengamatan atau percobaan. Membuat kesimpulan tanpa disertai dasar
secukupnya, berhenti pada alasan-alasan yang masih dangkal (sebagaimana pada
umumnya manusia awam/ tribus). Sumber kesesatan ini pada dasarnya bersumber
pada kodrat manusia sendiri, pada ras manusia, seperti contoh manusia yang hanya
mempunyai lima indra. Segala hal diukur menurut ukuran pribadi individual, tidak
menurut ukuran semesta. Padahal akal manusia adalah cermin yang palsu, menerima
cahaya tidak teratur, membengkokkan dan meluruskan hakekat segalanya dengan
mencampurkan hakikatnya sendiri dengan hakekat sesuatu tadi. Dengan cara seperti
ini manusia berpotensi menjadi jauh dan tertutup dari hakekat kebenaran.
b. Idola Specus (The Idols of the Cave).
yaitu menarik kesimpulan hanya berdasarkan prasangka pribadi, prejudice, selera a
priori (seperti manusia di dalam gua/ specus). pengalaman- pengalaman khas pribadi
kita yang subyektif membuat kita seolah-olah terkurung dalam gua kita sendiri dan
tidak dapat melihat keluar. Setiap orang memiliki potensi pada kesesatan-kesesatan

5
secara umum dan juga dikurung oleh keterbatasan diri sendiri, yang membiasakan dan
melunturkan cahaya realitas. Hal ini disebabkan karena sifat pribadinya yang khas
tertentu, dapat disebabkan karena membaca buku-buku dan karena otoritas yang ia
hormati dan kagumi, atau bisa jadi karena kesan-kesan yang berbeda yang terjadi pada
pikiran yang sedang dikuasai sesuatu, sedangkan dalam keadaan mudah dipengaruhi
oleh sesuatu atau pikiran yang netral serta pada pikiran yang sudah mapan, sudah tetap.
Dengan demikian, jiwa manusia merupakan sesuatu yang berubah-rubah, penuh
gangguan, dan seakan-akan diperintah oleh kemungkinan yang tidak pasti.
c. Idola Fori (The Idols of the Market Place).
Artinya menerima pendapat dan anggapan publik begitu saja tanpa dipersoalkan atau
diselidiki kebenarannya. Maksudnya adalah menarik kesimpulan hanya karena adanya
pengaruh dari pendapat umum, atau ikut- ikutaan pandapat umum (opini public/ pasar/
forum). Dengan ini maka seseorang tidak membuat pembatasan pada term-term yang
dipakai untuk berfikir dan berkomunikasi, hal ini bisa melemahkan manusia dalam
pencarian kebenaran yang sesungguhnya.
d. Idola Theatri (The Idols of the Theatre).
adalah menarik kesimpulan berdasarkan kepercayaan dogmatis, mitos dan
seterusnya. Artinya semua sistem filsafat tradisional yang pernah muncul seolah-
olah suatu panggung sandiwara raksasa Maka sikap menerima secara mutlak atau
membuta terhadap tradisi otoritas mampu menghalangi jalannya metode induksi.
Keempat idola penghalang prakonsepsi tersebut dihindari agar induksi tidak
terjebak pada proses generalisasi yang tergesa-gesa. Setelah terlepas dari 4 idola
tersebut kemudian melakukan penyelidikan melalui 3 tahap yaitu. pertama, collectio
yaitu mengumpulkan sebanyak mungkin data yang ada di pengalaman kita. kedua,
exclusio yaitu menyaring dan membuang bagian- bagian yang tidak diperlukan. ketiga,
indeminatio yaitu menyimpulkan data-data yang ada ke dalam kesimpulan umum dan
membuat teori baru.
Untuk mengatasi idola-idola tersebut, Bacon memperkenalkan suatu solusi yakni
metode induksi. Metode induksi membawa manusia untuk melihat alam atau fakta-
fakta alam secara obyektif, tidak hanya sampai pada data-data empiris, tetapi sampai
pada “forma” yang melampaui data-data empiris. Ciri mendasar dari metode ini yakni
menemukan prinsip-prinsip paling dasar dari ilmu pengetahuan, sehingga manusia
dapat menginterpretasikan alam (interpretatio naturae). Kemudian, interpretasi alam
itu menghantar manusia pada kekuasaan atas alam untuk kesejahteraan masyarakat.

6
2. Metode Induksi Francis Bacon
Dalam buku Novum Organum, Bacon menyempurnakan metode ilmiah induksi.
Menurutnya, logika silogisme tradisional tidak sanggup lagi menghasilkan penemuan empiris
yang baru. ia hanya dapat membantu mewujudkan konsekuensi deduktif dari apa yang
sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan terus berkembang dan memunculkan teori-

teori hukum baru, maka metode deduksi14 harus ditinggalkan, dan diganti dengan metode
induksi modern.
Meskipun Bacon seorang pengkhotbah ilmu pengetahuan namun bukan seorang
ilmuwan, ataupun setara dengan kemajuan-kemajuan yang diperbuat orang sezamannya
seperti Napier (yang baru saja menemukan logaritma) dan Kepler, bahkan teman sejawat
Inggrisnya William Harvey. Bacon mengganggap bahwa "panas merupakan bentuk dari
gerak," suatu ide ilmiah yang penting. Tetapi, di bidang astronomi dia menolak pikiran-
pikiran Copernicus. Bacon tidak mencoba menyuguhkan hukum-hukum ilmiah secara
komplit dan tepat. Tapi Bacon hanya mencoba menyuguhkan hasil pengamatan apa-apa
yang perlu dipelajari. Perkiraan-perkiraan ilmiahnya hanya bermaksud mendorong adanya
diskusi lebih lanjut, dan bukannya suatu jawaban final.
Francis Bacon bukanlah orang pertama yang menemukan arti kegunaan penyimpulan
akliah secara induktif, dan juga bukan orang pertama yang memahami keuntungan-
keuntungan yang mungkin diraih oleh masyarakat pengembangan ilmu pengetahuan.
Tetapi, tak ada orang sebelum Bacon yang pernah menerbitkan dan menyebarkan gagasan
seluas itu dan sesemangat itu. Lebih dari itu, sebagian karena Bacon seorang penulis yang
begitu bagus, dan sebagian karena kemasyhurannya selaku politikus terkemuka, sikap
Bacon terhadap ilmu pengetahuan betul-betul punya makna penting yang besar. Tatkala
"Royal Society of London" (kelompok elit orang pilihan) didirikan tahun 1662 untuk
menggalakkan ilmu pengetahuan, para pendirinya menyebut Bacon sebagai sumber
inspirasinya. Dan ketika Encyclopedie yang besar itu ditulis zaman "Pembaharuan
Perancis," para penyumbang tulisan utama seperti Diderot dan d'Alembert, juga
menyampaikan pujiannya kepada Bacon yang memberikan inspirasi terhadap kerjanya.
Bacon layak dibandingkan setara dengan filosof Perancis Rene Descartes, tokoh
pendorong lain bagi masa depan ilmu pengetahuan mendatang. Bacon hidup lebih dulu
segenerasi dari Descartes dan dia lebih gigih dari Descartes dalam hal mengumandangkan
pentingnya penelitian dan percobaan-percobaan. Tetapi, arti penting orang Perancis ini
dalam hal penemuan matematika membuat ia sedikit lebih tinggi dalam perbandingannya

7
dengan Bacon.
Apabila seorang ilmuan sudah luput dari semua idola itu, mereka sudah mampu
melakukan penafsiran atas alam melalui induksi secara tepat. Induksi tidak boleh berhenti
pada taraf laporan semata, karena ciri khas induksi ialah menemukan dasar inti (formale)
yang melampaui data-data partikular, berapapun besar jumlahnya. Dalam hal ini, pertama
yang perlu dikumpulkan data heterogen tentang sesuatu hal. Kemudian urutannya akan
nampak dengan jelas, yang paling awal adalah peristiwa konkrit partikular yang sebenarnya
terjadi (menyangkut proses atau kausa efisien), kemudian suatu hal yang lebih umum
sifatnya (menyangkut skema, atau kausa materialnya), baru akan ditemukan dasar inti.
Dalam hal dasar inti ini, pertama-tama ditemukan dasar inti yang masih bersifat partikular,
yang keabsahannya perlu diperiksa secara deduksi. Jika yang ini sudah cukup handal,
barulah boleh terus maju menemukan dasar inti yang semakin umum dan luas. Bagi Bacon,
begitulah langkah-langkah induksi yang tepat.
Bacon menegaskan bahwa, tidak boleh kita seperti laba-laba yang gemar memintal
jaringnya dari apa yang ada di dalam tubunya, atau seperti semut yang semata-mata tahu
mengumpulkan makanannya saja, melainkan kita harus seperti lebah yang tahu bagaimana
mengumpulkan tetapi juga tahu bagaimana menatanya. Metode silogistis deduktif
digambarkan oleh Bacon seperti laba-laba, sedangkan metode induktif tradisionalis seperti
semut, metode induktif medernlah (yang telah disempurnakan) yang sama dengan lebah.
Seperti yang telah disinggung di atas, Bacon penaruh perhatian besar pada metode
induksi yang tepat untuk memperoleh kebenaran, berdasarkan pada pengamatan empiris,
analisis data, penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan
verifikasi hipotesis melalui pengamatan dan eksperimen lebih lanjut. Induksi yang bertitik
tolak pada eksperimen yang teliti dan telaten terhadap data-data partikuler menggerakkan
rasio maju menuju penafsiran atas alam (interpretation natura). Metode induksi Bacon
dapat diuraikan secara sederhana misalkan sebagai berikut: “Bacon ingin mengetahui
tentang sifat panas yang diduganya merupakan gerakan-gerakan tidak teratur, yang cepat
dari bagian-bagian kecil dari suatu benda. Ia lalu membuat daftar dari benda-benda yang
memiliki tingkatan panas berbeda. Lewat penelitiaanya secara seksama terhadap benda-
benda tersebut, ia berupaya menemukan karakter yang senantiasa hadir pada benda-benda
panas, karakteristik yang tidak terdapat pada benda-benda dingin, dan yang selalu ada pada
benda-benda yang memiliki tingkatan panas yang berbeda. Dengan demikian ia berharap
akan berhasil menemukan suatu hukum yang berlaku umum tentang apa yang diselidikinya
itu.” Dari ilustrasi di atas, bisa dipetik kesimpulan bahwa penggunaan metode induktif

8
Bacon mengharuskan mencabut hal yang hakiki dari hal yang tidak hakiki dan menemukan
struktur atau bentuk yang mendasari fenomena yang diteliti, dengan cara: (1)
membandingkan contoh-contoh hal yang diteliti, (2) menelaah variasi-variasi yang
menyertainya, dan (3) menyingkirkan contoh- contoh yang negatif.
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam induksi eksperimen menurut Francis
Bacon adalah mengumpulkan data-data heterogen untuk menemukan data inti dengan cara

mengurutkan data dimulai dari data yang khusus kemudian data yang umum. Contohnya
seperti besi, setelah dilakukan eksperimen dan diselidiki bahwa besi yang satu dengan besi-
besi yang lain tenggelam di dalam air, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semua besi
jika dimasukkan ke dalam air maka tenggelam.
Metode eksperimen dikembangkan juga oleh sarjana-sarjana muslim pada abad
keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX
dan XII Masehi. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani
dan hampir padam dengan jatuhnya Kekaisaran Romawi dihidupkan kembali dalam
kebudayaan Islam. “ Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah,” simpul H.G. Wells,
“maka orang Islam adalah bapak Angkatnya.” Dalam perjalanan sejarah maka lewat orang
Muslimlah, dan bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan
kekuatan dan cahayanya. Eksperimen ini dimulai oleh ahli-ahli al- kimia yang
memungkinkan pada mulanya didorong oleh tujuan untuk mendapatkan “obat ajaib untuk
awet muda” dan ‘ rumus membuat emas dari logam biasa” namun secara lambat laun
berkembang menjadi paradigma ilmiah.
Francis Bacon memantapkan metode eksperimen yang diperkenalkan didunia barat
oleh filsuf Roger Bacon sebagai paradigma ilmiah. Francis Bacon berhasil meyakinkan
masyarakat ilmuwan untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah.
Singkatnya maka secara wajar dapat disimpulkan bahwa secara konseptual metode
eksperimen dikembangkan oleh sarjana muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan oleh
Francis Bacon.
Bacon memang bukan penemu murni metode induksi, namun ia hanya berupaya

menyempurnakan metode itu dengan cara menggabungkan metode induksi tradisionalis


dengan eksperimentasi yang sistematis, observasi yang ekstensif demi mendapatkan
kebenaran ilmiah yang konkret, praktis, mensistematisasi prosedur ilmiah secara logis, dan
bermafaat bagi manusia, inilah metode induksi modern yang telah mengalami
penyempurnaan.

9
Tetapi, pada zaman Renaissance sejak abad XIV sampai abad XVI terjadi
perkembangan baru. Tokoh-tokoh pembaharu dan pemikir seperti Galileo Galilei, Francis
Bacon dan pada abad berikutnya Rene Descartes, dan Isaac Newton memperkenalkan
metode matematik dan metode eksperimental untuk mempelajari alam. Dengan demikian.
Pengertian filsafat Alam memperoleh arti khusus sebagai “penelahaan sistematis terhadap
alam melalui pemakaian metode-metode yang diperkenalkan oleh para pembaharu dari
zaman Renaissance dan awal abad XVII.”
Menurut Francis Bacon Kebenaran baru bisa didapat dengan menggunakan
penyelidikan ilmiah, berpikir kritis dan induktif. Selanjutnya Bacon merumuskan ilmu
adalah kekuasaan. Dalam rangka melaksanakan kekuasaan, manusia selanjutnya terlebih
dahulu harus memperoleh pengetahuan mengenai alam dengan cara menghubungkan
metoda yang khas, sebab pengamatan dengan indera saja, akan menghasilkan hal yang tidak
dapat dipercaya. Pengamatan menurut Bacon, dicampuri dengan gambaran-gambaran palsu
(idola): Gambaran-gambaran palsu (idola) harus dihilangkan, dan dengan cara
mengumpulkan fakta-fakta secara telilti, maka didapat pengetahuan tentang alam yang
dapat dipercaya.
Sekalipun demikian pengamatan harus dilakukan secara sistematis, artinya dilakukan
dalam keadaan yang dapat dikendalikan dan diuji secara eksperimantal sehingga
tersusunlah dalil-dalil umum. Metode berpikir induktif yang dicetuskan oleh F. Bacon
selanjutnya dilengkapi dengan pengertian adanya pentingnya asumsi teoritis dalam
melakukan pengamatan serta dengan menggabungkan peranan matematika semakin
memacu tumbuhnya ilmu pengetahuan modern yang menghasilkan penemuan-penemuan
baru, seperti pada tahun 1609 Galileo menemukan hukum-hukum tentang planet, tahun
1618 Snelius menemukan pemecahan cahaya dan penemuan-penemuan penting lainnya
oleh Boyle dengan hukum gasnya, Hygens dengan teori gelombang cahaya, Harvey dengan
penemuan peredaran darah, Leuwenhock menemukan spermatozoide, dan lain-lain.
Secara tidak langsung buah pemikiran Francis Bacon menekankan betapa pentingnya
pengalaman, eksperimen dan akal budi, yang kemudian menjadi pengetahuan modern,
dipengaruhi oleh pemikir terdahulu, Leonardo da Vinci, yang menyatakan bahwa mekanika
merupakan surga ilmu pasti, sebagai pijakan manusia mempelajari alam semesta.
Eksperimen menjadi juru bicara antara alam dan manusia. Pengalaman tidak pernah
berdusta.
Namun juga harus diperhatikan bahwa eksperimen manusia, secara umum tidak dapat
membuka jalan untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan dan realitas-realitas tanpa

10
pengetahuan-pengetahuan sebelumnya. Sehingga penggabungan antara metode deduktif
dengan induktiflah yang paling tepat, dalam rangka mencari kebenaran ilmiah. Metode
ilmiah mencoba menggabungkan berpikir deduktif dengan berpikir induktif dalam
membangun pengetahuannya. Argumentasi rasional meski didasarkan pada premis ilmiah
yang teruji kebenarannya mungkin saja terjadi kesalahan dalam penyusunan argumentasi,
sehingga untuk menghindari kesalahan tersebut perlu dipergunakan metode induktif yang
didasarkan pada kebenaran korespondensi.
Bacon berpendapat bahwa orang Yunani terlalu terpesona dengan masalah etis, orang
Romawi dengan soal hukum, dan orang pada Abad Pertengahan dengan teologi. Menurut
anggapan Bacon, mereka semua tidak memusatkan diri pada ilmu pengetahuan. Misalnya
saja pada Abad Pertengahan, ilmu diperlakukan sebagai abdi setia teologi. Perlakuan itu
dianggapnya keliru, karena melalui ilmu itulah, manusia akan dapat memperlihatkan
kemampuan kodratinya. Atas dasar pemikiran tersebut, Bacon menyatakan “Knowledge is
Power” (pengetahuan adalah kuasa). Menurut pemahaman Bacon, pengetahuan inderawi
tidak dapat menguasai segalanya, namun pengetahuan inderawi bersifat fungsional, dapat
dipergunakan untuk memajukan kehidupan manusia. Sedangkan “kuasa” dipahaminya
sebagai kuasa atas alam (natura non nisi parendo vincitur artinya alam hanya dapat
ditaklukkan dengan mematuhinya). Maksud Bacon, bahwa alam hanya bisa dikuasai oleh
pikiran kalau pikiran dapat mematuhinya dengan cara memahami hukum-hukumnya,
mempelajari sifat universalnya dan perkecualiannya. Dengan menaklukkan alam, Bacon
sangat percaya umat manusia dapat sejahtera melalui ilmu pengetahuannya.
Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif
modern. Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada
pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data- data partikular, yang pada tahap
selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio
natura). Untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan metode induksi, Bacon
mengemukakan ada dua cara yang harus dilakukan, yaitu:
1) Rasio yang digunakan harus mengacu pada pengamatan inderawi yang partikular,
kemudian mengungkapnya secara umum.
2) Rasio yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang partikular digunakan untuk
merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan
itu sendiri, kemudian secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar
pengamatan.

11
Berdasarkan uraian di atas, Bacon memberikan ketegasan bahwa induksi adalah
menarik kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus. Induksi
bukanlah penjumlahan belaka dari data-data khusus. Jika hal tersebut dilakukan, induksi
itulah yang dianggap menyesatkan, sebab hanyalah generalisasi yang gegabah. Agar
induksi mencapai kesimpulan obyektif yang bersih dari idola-idola, diperlukan “contoh-
contoh negatif”.
Bacon adalah seorang filosof yang sangat mencolok minatnya pada ilmu
pengetahuan. Bahkan dia dianggap sebagai perintis filsafat ilmu pengetahuan. Ungkapan
Bacon yang terkenal adalah “Knowledge is Power” (pengetahuan adalah kuasa). Dia
sangat berkeyakinan bahwa pengetahuan adalah sumber kemenangan dan kemakmuran
manusia di dunia ini. Dengan pengetahuan, manusia dapat menciptakan Mesiu untuk
memperoleh kemenangan dalam perang. Dengan pengetahuan, manusia juga dapat
membuat Kompas yang bisa digunakan sebagai penunjuk arah dalam mengarungi lautan
atau membuat Mesin Cetak untuk mempercepat penyebaran ilmu pengetahuan.
Melihat urgensinya ilmu pengetahuan, makanya manusia harus dapat menguasainya.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu
hakikat dari pengetahuan itu sendiri. Menurut Bacon, hakikat pengetahuan yang sebenarnya
adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta.
Persentuhan ini biasanya disebut pengalaman. Bacon berpendapat, pengalaman dari hasil
pengamatan yang bersifat partikular akan menemukan pengetahuan yang benar, dan oleh
karena itu ia yakin bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan sejati.
Ketika Bacon memperkenalkan struktur baru yang sistematis tentang disiplin dalam
Kemajuan Belajar (1605), ia melanjutkan perjuangannya dengan tradisi, terutama dengan
zaman klasik, menolak buku pembelajaran humanis, dengan alasan bahwa mereka "berburu
lebih setelah kata-kata ketimbang materi "(Bacon, III:188, 283). Oleh karena itu, ia
mengkritik kurikulum Cambridge University untuk menempatkan terlalu banyak penekanan
pada pelatihan dialektis dan sophistical diminta dari "pikiran kosong dan unfraught dengan
materi.
Beliau merumuskan dan fungsional mengubah konsepsi Aristoteles tentang ilmu
sebagai pengetahuan tentang penyebab diperlukan. Dia menolak logika Aristoteles, yang
didasarkan pada teori metafisisnya, dimana doktrin palsu tersirat bahwa pengalaman yang
datang kepada kita dengan cara indra kita (hal-hal sebagaimana mereka muncul) secara
otomatis menyajikan hal-hal pemahaman kita seperti mereka. Bersamaan Aristoteles nikmat
penerapan pembedaan konseptual umum dan abstrak, yang tidak sesuai dengan hal-hal

12
seperti itu ada. Bacon, bagaimanapun, memperkenalkan konsepsi baru tentang philosophia
prima sebagai tingkat meta-untuk semua disiplin ilmu.
Model berpikir Bacon bersifat egaliter dan kolektif, artinya setiap orang bisa bekerja
sama untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Ilmu pengetahuan adalah milik semua
orang, dan bukan sekumpulan orang jenius saja. Proses penelitian ilmiah dipandang sebagai
sebuah proses sosial yang melibatkan banyak pihak. Dengan pola pikir ini, banyak
pengetahuan baru tentang cara kerja alam bisa didapatkan. Jika anda mencoba membaca
jurnal ilmiah kimia sekarang ini, anda akan melihat, bahwa banyak sekali pengarang untuk
satu artikel. Dari sini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa, seperti dikatakan oleh Bacon,
ilmu pengetahuan adalah “usaha sistematik dan kolaboratif dengan satu tujuan untuk
menghasilkan pengetahuan.” Pengetahuan itu memiliki dampak praktis, seperti membantu
manusia untuk memahami dan kemudian mengendalikan alam untuk memenuhi
kepentingannya.
Francis Bacon merupakan filosof modern pertama. Pandangan keseluruhannya adalah
sekuler dan bukannya religius (kendati dia percaya kepada Tuhan dengan keyakinan teguh).
Dia seorang rasionalis dan bukan orang yang percaya kepada takhayul, seorang empiris dan
bukannya seorang dogmatis yang logikanya mencla-mencle. Di bidang politik dia seorang
realis dan bukan seorang teoritikus. Dengan pengetahuannya yang mendalam dalam
pengetahuan klasik serta keahlian sastranya yang mantap, dia menaruh simpati terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bacon Mengambil contoh kehidupan masyarakat Yunani yang terlalu terpesona
dengan masalah etis, orang Romawi dengan soal hukum, dan orang pada Abad Pertengahan
dengan teologi. Menurut anggapan Bacon, mereka semua tidak memusatkan diri pada ilmu
pengetahuan. Misalnya saja pada Abad Pertengahan, ilmu diperlakukan sebagai abdi setia
teologi. Perlakuan itu dianggapnya keliru, karena melalui ilmu itulah, manusia akan dapat
memperlihatkan kemampuan kodratinya. Atas dasar pemikiran tersebut, Bacon menyatakan
“Knowledge is Power” (pengetahuan adalah kuasa). Menurut pemahaman Bacon,
pengetahuan inderawi tidak dapat menguasai segalanya, namun pengetahuan inderawi
bersifat fungsional, dapat dipergunakan untuk memajukan kehidupan manusia. Sedangkan
“kuasa” dipahaminya sebagai kuasa atas alam (natura non nisi parendo vincitur
artinya alam hanya dapat ditaklukkan dengan mematuhinya). Maksud Bacon, bahwa
alam hanya bisa dikuasai oleh pikiran kalau pikiran dapat mematuhinya dengan cara
memahami hukum-hukumnya, mempelajari sifat universalnya dan perkecualiannya.

13
Dengan menaklukkan alam, Bacon sangat percaya umat manusia dapat sejahtera melalui
ilmu pengetahuannya.
Menurut Bacon tugas utama dari ilmu pengetahuan adalah menemukan forma (bentuk
sejati) dari benda-benda yang ada. Sebelum era Bacon para filsuf dan ilmuwan berupaya
untuk menemukan tujuan final dari benda-benda. Yang dilihat bukan cara bekerja benda itu,
tetapi tujuan final dari keberadaan benda itu. Namun di tangan Bacon, pola semacam ini
berubah. “Diabaikannya pencarian atas penyebab final”, demikian tulis Ladyman, “adalah
salah satu penyebab utama lahirnya revolusi saintifik.” yang lebih penting bukanlah tujuan
final dari benda-benda, melainkan pola kerja mekanis yang menyebabkan benda-benda itu
bisa bekerja pada awalnya. Penting juga untuk dicatat, bahwa di era sekarang ini, jauh
setelah era Bacon, para ilmuwan mulai sadar pentingnya memikirkan tujuan final dari
benda-benda yang mereka teliti. Ini penting untuk dipikirkan, supaya penelitian ilmiah tidak
bergerak tanpa arah, dan bisa merusak hidup manusia pada akhirnya.
Fokus pencarian ilmu pengetahuan adalah formal, yakni bentuk sejati, yang hadir
dalam bentuk prinsip-prinsip umum yang menyebabkan bergeraknya suatu benda. Artinya
yang dicari ilmu pengetahuan adalah prinsip-prinsip gerak mekanis yang ada di balik gejala
alam. Prinsip-prinsip semacam itu tidak dapat diketahui dengan panca indera, namun dapat
diketahui dengan akal budi, dan sungguh terjadi di dalam realitas. Kita tidak bisa melihat
prinsip-prinsip mekanis yang menggerakan alam, namun kita bisa melihat gejala-gejalanya
di dalam hidup sehari-hari.
Bacon bersifat egaliter dan kolektif. Artinya setiap orang bisa bekerja sama untuk
memperoleh pengetahuan yang baru. Ilmu pengetahuan adalah milik semua orang, dan
bukan sekumpulan orang jenius saja. Proses penelitian ilmiah dipandang sebagai sebuah
proses sosial yang melibatkan banyak pihak. Dengan pola pikir ini, banyak pengetahuan
baru tentang cara kerja alam bisa didapatkan. Jika anda mencoba membaca jurnal ilmiah
kimia sekarang ini, anda akan melihat, bahwa banyak sekali pengarang untuk satu artikel.
Dari sini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa, seperti dikatakan oleh Bacon, ilmu
pengetahuan adalah “usaha sistematik dan kolaboratif dengan satu tujuan untuk
menghasilkan pengetahuan.” Pengetahuan itu memiliki dampak praktis, seperti membantu
manusia untuk memahami dan kemudian mengendalikan alam untuk memenuhi
kepentingannya.
Pada tahun 1500 Masihi, orang Eropah sudah mula dahagakan ilmu pengetahuan.
Oleh itu, ramai rakyat telah berhijrah ke Sepanyol untuk menuntut ilmu. Menurut Briffault,
seorang sarjana Inggeris dalam bukunya, Making of Humanity: Roger Bacon (1241-1294)

14
pada mula-mula lagi telah mempelajari bahasa Arab dan Sains Arab. Roger Bacon dan
Francis Bacon (1561-1629), kedua-duanya boleh dikatakan telah memperkenalkan kaedah
percubaan atau ujikaji. Roger Bacon adalah tidak lain dari seseorang yang memperjuangkan
sains dan metologi sains yang dibina oleh Tamadun Islam ke Eropah. Walaupun beragama
Kristian, beliau tidak penat mengisytiharkan kepada rakan-rakannya bahawa untuk
menuntut ilmu yang sebenar, jalannya hanya melalui bahasa Arab dan sains yang dibina
oleh Arab.
3. Kritik Francis Bacon Terhadap Aristoteles
Francis Bacon lahir pada tahun 1561. Beliau merupakan ahli falsafah dan negarawan
England yang terkenal yang melopori kajian tentang pemikiran saintifik moden. Karyanya
bertajuk "The Advancement of Learning" yang telah dihasilkan pada tahun 1605
menerangkan cara-cara kajian baru dalam bidang sains secara konduktif. artinya membuat
percobaan sains, membuat kesimpulan umum terhadap ujian dan akhirnya menguji sendiri
percobaan umum berkali- kali untuk membuktikan kebenarannya. Karyanya yang lain ialah
Novum Organum pada tahun 1620. Beliau telah meninggal dunia pada tahun 1626.
Sebagai akibatnya, ilmu-ilmu pengetahuan selama masa modern sangat mempengaruhi
dan mengubah manusia Terjadilah revolusi industri pertama (mulai sekitar tahun 1800
dengan pemakaian mesin-mesin mekanis), lalu revolusi industri kedua (mulai sekitar tahun
1900 dengan pemakian listrik dan titik awal pemakaian sinar-sinar), dan kemudian revolusi
industri ketiga yang ditandai dengan penggunaan kekuatan atom, dan penggunaan komputer
yang sedang kita saksikan dewasa ini. Dengan demikian, adanya perubahan pandangan
tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan
kebudayaan manusia, dan dengan itu pula, tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang
ter-jalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan untuk maju dan maju terus tanpa henti dan
tanpa batas. Penemuan dan perumusan mutakhir menjadi langkah awal untuk penemuan dan
perumusan berikutnya. Setiap langkah merupakan suatu tantangan baru lagi dengan tahap:
pengamatan-hipotesa-hukum-teori yang tak ada hentinya, disusul oleh perbaikan dan
pembaharuan serta pengetatan tahap-tahap yang sudah ditempuh.
Kecenderungan kedua ialah hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu
pengetahuan, balk dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian, tampaklah
bahwa semakin pengetahuan maju, semakin keinginan itu meningkat sampai memaksa,
merajalela, dan bahkan membabi buta. Aki-batnya, ilmu pengetahuan dan hasilnya menjadi
tidak manu-siawi lagi, bahkan justru memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan

15
dan menghasilkannya. Kecendrungan yang kedua ini lebih mengerikan dari yang pertama,
namun tak dapat dilepaskan dari kecenderungan pertama.
Beberapa ciri dari epistemologi modern, yang dianggap menjadi penyebab timbulnya
krisis di atas, dapat ditelusuri dari beberapa hal berikut :
Pertama, tujuan ilmu pengetahuan adalah hanya untuk diterapkan. Ini, terutama adalah
akibat dari pengaruh pemikiran Francis Bacon yang menegaskan bahwa ilmu pengetahuan
dapat dikatakan bermakna bila ia dapat meningkatkan kekuasaan manusia, baik atas alam
maupun sesama. Dengan demikian, ilmu pengetahuan harus bernilai praktis bagi manusia, di
antaranya dalam bentuk teknologi. Akibat-nya, menaklukkan alam dan mengeksploitasinya
habis-habisan tidaklah dapat dianggap sebagai kesalahan.
Kedua, metode yang digunakan adalah deduksi-induksi (logico-hypotetico- verifikasi),
sebagai pengaruh dari pemikiran positivisme. Francis Baconmemiliki corak berfikir structural
dan membentuk paradigm kritis dalam berbagai karir politik sehingga memunculkan
keseriusannya dalam mengembangkan filsafat alam. Kemudian Menawarkan metode baru
sebagai pengembangan dari metode alat lama (organon) Aristoteles. Motif kritik Bacon
adalah murni pengembangan filsafat alam yang positivistic mengenal alam dalam rangka
menguasainya untuk membantu kenyamanan hidup manusia. Bacon dalam Novum Organum
yang dimaksudkan hendak mengganti metode logika tradisional Aristoteles dan
menyempurnakan metode induksi tradisionalnya, artinya Bacon memberikan revisi dan
modifikasi ulang terhadap pemikiran sebelumnya yang sudah tidak relevan dengan
perkembangan zaman

B. JOHN STUART MILL: Logika Induksi


Sama dengan Francis Bacon, John S. Mill (1806-1873) adalah di antara filsuf yang juga
mempersoalankan ‘proses generalisasi’ dengan cara induksi. Dalam persoalan generalisasi
ini, Mill sepen-dapat dengan David Hume yang mempersoalankan secara radikal. Jika
Francis Bacon kemudian menawarkan teori “idola”nya, Mill mengajukan logika induksi.
Induksi model Mill terdiri dari beberapa metode, yaitu: metode kesesuaian (method of
agreement), ketidak-sesuaian (method of difference), dan metode sisa (method of residues).
Mill melihat tugas utama logika lebih dari sekedar menentukan patokan deduksi
silogistis yang tak pernah menyampaikan pengetahuan baru. Ia berharap bahwa jasa
metodenya dalam logika induktif sama besarnya dengan jasa Aristoteles dalam logika
deduktif. Menurutnya, pemikiran silogistis selalu mencakup suatu lingkaran setan (petitio), di
mana kesimpulan sudah terkandung di dalam premis, sedangkan premis itu sendiri akhirnya

16
masih bertumpu juga pada induksi empiris. Tugas logika, menurutnya, cukup luas, termasuk
meliputi ilmu-ilmu sosial dan psikologi, yang memang pada masing-masing ilmu itu, logika
telah diletakkan dasar-dasarnya oleh Comte dan James Mill.
John S. Mill, dalam menguraikan logika induksi hendak menghindari dua ekstrim:
pertama, generalisari empiris, sebagaimana pada Francis Bacon dan untuk ini ia sependapat
dengan Hume yang mempertanyakan generalisasi empiris, bahkan menyebutnya sebagai
induksi yang tidak sah; kedua induksi yang mencari dukungan pengetahuan apriori,
sebagaimana pada Kant.
Cara kerja induksi menurut Mill sebagai berikut:
1. Metode kesesuaian (method of agreement):
Apabila ada dua macam peristiwa atau lebih pada gejala yang diselidiki dan masing-
masing peristiwa itu mempunyai (mengandung, pen.) faktor yang sama, maka faktor
(yang sama) itu merupakan satu-satunya sebab bagi gejala yang diselidiki.
Misalnya, semua anak yang sakit perut membeli dan minum es sirup yang dijajakan di
sekolah. Maka es sirup itu yang menjadi sebab sakit perut mereka. Artinya, suatu sebab
disimpulkan dari adanya kecocokan sumber kejadian.
2. Metode perbedaan (method of difference):
Apabila sebuah peristiwa mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah peristiwa
lain yang tidak mengandungnya, namun faktor-faktornya sama kecuali satu, yang mana
faktor (yang satu) itu terdapat pada peristiwa pertama, maka itulah satu-satunya faktor
yang menyebabkan peristiwa itu berbeda. Karenanya dapat disimpulkan bahwa satu
faktor (yang berbeda) itu sebagai suatu sebab terjadinya suatu gejala pembeda (yang
diselidiki) tersebut.
Misalnya, seseorang A yang sakit perut mengatakan telah makan: sop buntut, nasi,
rendang dan buah dari kaleng. Sedang B yang tidak sakit perut mengatakan bahwa ia
telah makan: sop buntut, nasi, dan rendang. Maka kemudian disimpulkan bahwa buah
dari kaleng yang menyebabkan sakit perut. Ini artinya suatu sebab disimpulkan dari
adanya kelainan dalam peristiwa yang terjadi.
3. Metode persamaan variasi (method of concomitan variations):
Metode ini juga dikenal dengan metode perubahan selang-seling seiring. Apabila
suatu gejala yang dengan suatu cara mengalami perubahan ketika gejala lain berubah
dengan cara tertentu, maka gejala itu adalah sebab atau akibat dari gejala lain, atau
berhubungan secara sebab akibat.
Metode ini bisa dicontohkan misalnya dalam fenomena pasang surut air laut.

17
Diketahui bahwa pasang surut disebabkan oleh tarikan gravitasi bulan. Tetapi kenyataan
itu tidak dapat disimpulkan melalui ketifa metode di atas. Kedekatan bulan saat air
pasang bukan satu-satunya hal yang berada saat kejadian (pasang) itu, tetapi masih ada
bintang-bintang, di mana bintangbintang itu tidak dapat begitu saja disingkirkan atau
dikesampingkan (dalam arti, tidak dipertimbangkan), beitu pula bula juga tidak mungkin
disingkirkan dari langit demi penerapan suatu metode. Maka yang dapat dikerjakan
adalah mengamati kenyataan bahwa semua variasi dalam posisi bulan selalu diikuti oleh
variasi-variasi yang berkaitan dalam waktu dan tempat air tinggi. Tempatnya atau bagian
dari dunia yang terdekat dengan bulan atau tempat yang paling jauh dari bulan
mengandung banyak evidensi bahwa bulan secara keseluruhan atausebagian adalah
sebab yang menentukan pasang surut. Argumentasi ini disebut dengan metode
perubahan selang-seling seiring.
4. Metode menyisakan (method of residues):
Jika ada peristiwa dalam keadaan tertentu dan keadaan ter-tentu ini merupakan akibat
dari faktor yang mendahuluinya, maka sisa akibat yang terdapat pada peristiwa itu pasti
disebabkan oleh faktor yang lain.
Metode menyisakan dapat dipakai dengan pengkajian atas hanya satu kejadian. Jadi,
berbeda dengan metode-metode lainnya yang paling sedikit membutuhkan pengkajian
atas dua kejadian. Ciri metode menyisakan dapat dikatakan deduktif, karena bertumpu
kuat pada hukum-hukum kausal yang sudah terbukti sebelumnya. Namun demikian,
kendati terdapat premis-premis yang berupa hukum-hukum kausal, kesimpulan yang
dapat dicari melalui metode menyisakan sifatnya hanya probabel, dan tidak dapat
dideduksikan secara sah dari premispremisnya.
Skemanya:
ABC ——— klm
B diketahui menjadi sebab l
C diketahui menjadi sebab m
Maka A adalah sebab k

C. AUGUSTE COMTE: Data Positif-Empiris


Bermula dari ketertarikan Auguste Comte (1798-1857) melihat perkembangan ilmu
alam (natural scienses) yang dengan penyeledikannya atas perilaku alam lalu dapat ditemu-
kan hukum-hukum tetap yang berlaku general pada alam (hukum alam). Comte kemudian
melakukan “copy-paste” metodologi ilmu alam untuk digunakan menyelidiki perilaku sosial,

18
dengan begitu, menurut keyakinan Comte, akan dapat ditemukan hukum-hukum tetap yang
berlaku general pada masyarakat (hukum sosial).
Comte memulai pekerjaannya itu dengan melakukan refleksi mendalam tentang sejarah
perkembangan alam pikir manusia. Menurut Auguste Comte sejarah perkembangan alam
pikir manusia terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap teologik, tahap metaphisik, dan tahap positif.
Pada jenjang teologik, manusia memandang bahwa segala sesuatu didasarkan atas adanya
dewa, roh, atau Tuhan, sedang pada tahap metafisik, penjelasan mengenai realitas didasarkan
atas pengertian-pengertian meta- fisik, seperti substansi, form, sebab, dll). Akhirnya Comte sam-
pai pada kesimpulan bahwa sejarah perkembangan pemikiran manusia telah sampai pada
babak terakhir yaitu, babak positif, dan telah jauh meninggalkan peradaban metafisika
apalagi mitologi. Comte menyatakan, saat ini manusia memasuki per- adaban positif.
Langkah selanjutnya ia membuat norma-norma ilmiah yang kemudian disebut dengan
metodologi ilmiah itu. Isu utama yang dibawa positivisme memang persoalan metodologi, yang

dapat dikatakan, sebagai titik berat refleksi filsafatnya. Maka, hanya fakta positif-empiris dan
yang digali dengan mengguna- kan sarana metodologi ilmiah yang dapat dipercaya dan
dipertanggung-jawabkan.

19
1. Metodologi Positivisme
Metodologi merupakan isu utama yang dibawa positi- visme, yang memang dapat
dikatakan bahwa refleksi filsafatnya sangat menitikberatkan pada aspek ini. Metodologi
positivisme berkaitan erat dengan pandangannya tentang objek positif. Jika metodologi
bisa diartikan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sahih tentang kenyataan,
maka kenyataan dimaksud adalah objek positif.
Objek positif sebagaimana dimaksud Comte dapat dipahami dengan membuat
beberapa distingsi atau antinomi, yaitu: antara ‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’; ‘yang
pasti’ dan ‘yang meragukan’; ‘yang tepat’ dan ‘yang kabur’; ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-
sia’; serta ‘yang mengklaim memiliki kesahihan relatif’ dan ‘yang mengklaim memiliki
kesahihan mutlak’. Dari beberapa patokan “yang faktual” ini, positivisme meletakkan
dasar-dasar ilmu pengetahuan hanya tentang fakta objektif. Jika faktanya adalah “gejala
kehidupan material”, ilmu penge- tahuannya adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda
mati”, ilmu pengetahuannya adalah fisika. Demikian juga banyak bidang kehidupan lain
yang dapat menjadi objek observasi empiris yang secara regoruos menjadi objek ilmu
pengetahuan.
Atas dasar pemikiran ini, bagi Comte, ilmu pengetahu- an yang pertama adalah
astronomi, lalu fisika, lalu kimia, dan akhirnya psikologi (biologi). Masing-masing ilmu
tersebut, memiliki sifat dependennya, dalam hal ini ilmu yang lebih kemudian
bergantung pada yang lebih dahulu. Belajar ilmu fisika tidak akan efektif tanpa
mempelajari lebih dahulu astro- nomi. Belajar psikologi tidak akan efektif tanpa lebih
dulu be- lajar kimia, begitu seterusnya. Demikian ini karena fenomena biologi lebih
kompleks dari pada fenomena astronomi.
Mengenai matematika, meski Comte sendiri seorang ahli matematika, namun ia
memandang bahwa matematika bukan ilmu; ia hanya alat berpikir logik. Bagi Comte,
matematika memang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena, namun dalam
praktiknya, fenomena ternyata lebih kompleks.
Antinomi-antinomi yang dibuat Comte di atas kemudian diterjemahkan ke dalam
norma-norma metodologis sebagai berikut:
a. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa-kepastian (sense of certainty)
pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif.
b. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuan
ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.
c. Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara

20
formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.
d. Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan
memungkinkan kontrol teknis atas proses-proses alam maupun sosial …kekuatan
kontrol atas alam dan masyarakat dapat dilipatgandakan hanya dengan mengakui
asas-asas rasionalitas, bukan melalui perluasan buta dari riset empiris, melainkan
melalui perkembangan dan penyatuan teori-teori.
e. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan ‘sifat
relatif dan semangat positif’.
Atas dasar pandangan di atas, menurut Comte metode penelitian yang harus
digunakan dalam proses keilmuan adalah observasi, eksperimentasi, kemudian komparasi.
Yang terakhir ini digunakan, terutama untuk melihat hal-hal yang lebih komplek, seperti
biologi dan sosiologi.
2. Sosiologi Comte
Dengan memberikan penekanan pada aspek metodo- logi, sebagaimana disinggung
di atas, positivisme beranggapan bahwa ilmu-ilmu menganut tiga prinsip: bersifat
empiris-objektif, deduktif-nomologis (misalnya: bila …, maka …), instru- mental-bebas
nilai. Ketiga prinsip tersebut berlaku tidak hanya pada ilmu alam, tetapi juga terhadap ilmu
sosial (sosiologi), dan inilah kontribusi terbesar dari Comte, yang mengantar- kannya
sebagai bapak sosiologi modern.
Berkaitan dengan ilmu-ilmu sosial ini, asumsi-asumsi positivistis tersebut
berkonsekuensi tiga hal sebagai berikut: pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-
ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Gejala-gejala subjek- tivitas
manusia, kepentingan maupun kehendak, tidak meng- ganggu objek observasi, yaitu
tindakan sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan
dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’
seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu
menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus
dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait
pada dimensi politis. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial bersifat bebas-nilai (value-
free).
Sebagai bapak sosiologi, Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah
sosiologi untuk mengantikan phisique sociale (fisika sosial) dari Quetelet. Sosiologi Comte
ter- diri dari sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Pembedaan tersebut, bagi Comte, hanyalah
untuk tujuan analisis. Keduanya meng- analisis fakta sosial yang sama, hanya saja

21
tujuannya berbeda; yang pertama menelaah fungsi jenjang-jenjang peradaban, yang kedua
menalaah perubahan-perubahan jenjang tersebut. Comte juga membedakaan antara
konsep order dan progres. Order terjadi bila masyarakatnya stabil berpegang pada prinsip
dasar yang sama, dan terdapat persamaan pendapat. Disebut progres, dengan
dicontohkan ketika muncul ide protestanisme dan revolusi Perancis.

D. POSITIVISME LOGIS: Verifikasi


Upaya Comte melakukan “copy-paste” metodologi ilmu alam untuk menyelidiki perilaku
sosial, telah melahirkan disipli ilmu baru yaitu sosiologi (fisika sosial). Tentu ini merupakan
kemajuan. Sebagaimana ilmu alam yang menemukan “hukum alam”, sosiologi Comte
ternyata juga dapat menemukan “hukum sosial”.
Namun, Wilhem Dilthey (1833-1911) melihat sesuatu yang lain. Ia terus gelisah atas
gagasan Comte itu. Bagi Dilthey, perilaku alam dan perilaku sosial itu berbeda. Maka
merupakan upaya pemaksaan jika hanya satu metodologi untuk keduanya atau jika tidak ada
pembedaan antara kedua objek itu. Perbeda- an karakteris-tik objek itu berkonsekuensi
tehadap perbedaan metodologi. Dilthey kemudian menemukan dan menawarkan pembedaan
metodologi atas dua objek yang berbeda itu, yaitu metode erklären (menjelaskan) untuk
ilmu kealaman (natur- wissenschaften) dan metode verstehen (memahami) untuk ilmu- ilmu
sosial-budaya (geisteswissenschaften). Yang dimaksud “menjelaskan” adalah menganalisis
data-data yang ditemukan sehingga menjadi satu keterhubungan yang logis berdasarkan
(baca: berlandaskan) teori tertentu, dengan cara mengkaitkan atau membandingkan data-data

yang ada. Verstehen disepadan- kan dengan istilah “understanding” (memahami). Maksudnya,
menempatkan dan memperlakukan objek (termasuk data dalam penelitian) pada ke-
kompleks-an situasi dan latar- belakang yang mengitarinya, dengan sikap empati.
Atas kritik Dilthey ini, para pendukung Positivisme tidak tinggal diam. Maka sekitar tahun
1920-an lahir suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti dan alam yang
berkedudukan di kota Wina, Austria. Meraka tergabung dalam Lingkaran Wina (Vienna

Circle). Setiap minggu mereka ber- kumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah filosofis
yang menyangkut ilmu pengetahuan. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada
tahun 1924, meski sebenarnya pertemu- an-pertemuannya sudah berlangsung sejak tahun
1922, dan berjalan terus hingga 1938. Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick
(1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Victor Kraft (1880-1975),
Harbert Feigl (1902- ) dan Rudolf Carnap (1891-1970).

22
Pandangan yang dikembangkan oleh kelompok ini disebut neopositivisme, atau sering
juga dinamakan positivisme logis. Kaum positivisme logis memusatkan diri pada bahasa dan
makna. Mereka mengklaim bahwa kekacauan kaum idealis dengan berbagai pendekatan
metafisika yang digunakan dalam melihat realitas, adalah karena bahasa yang mereka pakai
secara esensial tanpa makna. Sebagai penganut positivisme, secara umum mereka

berpendapat bahwa sumber pengetahuan ada- lah pengalaman, namun secara khusus dan
eksplisit pendirian mereka sebagai berikut; (a) mereka menolak perbedaan ilmu- ilmu alam
dan ilmu-ilmu sosial; (b) menganggap pernyataan- pernyataan yang tak dapat diverifikasi
secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika, sebagai nonsense; (c) berusaha
menyatukan semua ilmu pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal (Unified
Science); (d) memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-
pernyataan.
Di antara para anggota Lingkaran Wina, filsuf yang menarik perhatian adalah Rudolf
Carnap (1891-1970). Pengaruhnya atas filsafat dewasa ini dapat dibandingkan dengan
Russell dan Wittgenstein. Ia seorang pemikir yang sistematis dan orisinil. Ia pernah
mengajar dan menjadi guru besar di Chicago, Princeton dan University of California di Los
Angeles. Dengan tetap menyadari adanya perbedaan pemikiran dalam kelompok kajian
tersebut, pembahasan ini akan banyak difokuskan pada pemikiran Carnap.
1. Verifikasi dan Konfirmasi
Para filsuf pada ‘kelompok’ Lingkaran Wina pada umumnya mencurahkan perhatiannya
untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan
pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk
diverifikasi. Artinya jika suatu pernyataan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna,
sebaliknya jika tidak dapat diverifikasi berarti tidak bermakna. Prinsip verifikasi ini
menyatakan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan
pengalaman dan dapai diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dari
prinsip ini, filsafat tradisional haruslah ditolak, karena ungkapanungkapannya
melampaui pengalaman, termasuk dalam teologi dan metafisika pada umumnya.
Menurut Carnap, ilmu (science) adalah sebuah sistem pernyataan yang didasarkan pada
pengalaman langsung, dan dikontrol oleh verifikasi eksperimental. Verifikasi dalam
ilmu bukanlah pernyataan tunggal, tetapi termasuk sistem dan subsistem pernyataan
tersebut. Verifikasi didasarkan atas “pernyataan protokol” (protocol statements). Istilah
dipahami sebagai pernyataan yang termasuk protokol dasar atau catatan langsung dari

23
suatu pengalaman yang langsung pula.
Carnap selanjutnya membedakan antara verifikasi langsung dan tak langsung.14
Apabila suatu pernyataan yang menunjukkan sebuah persepsi sekarang, seperti
“sekarang saya melihat sebuah lapangan merah dengan dasar biru”, maka pernyataan ini
dapat diuji secara langsung dengan persepsi kita sekarang. pernyataan tersebut dapat
diverifikasi secara langsung dengan penglihatan. Artinya jika tidak dilihatnya, maka ia
terbantah. Sementara terhadap verifikasi tidak langsung, Carnap memberikan jalan
lewat deduksi dari pernyataan perseptual. Suatu pernyataan yang mengandung makna
teoretis, tidak mungkin diverifikasi dengan menghadirkan image sesuatu, tetapi dengan
kemungkinan pendeduksian dari pernyataan perseptual tersebut, karena kemungkinan
verifikasi. Kita tidak punya gambaran aktual tentang bidang elektromagnetik dari
bidang grafitasional, namun pernyatan-pernyataan perseptualnya dapat dideksi dari
pernyataan-pernyatan tersebut.
Untuk lebih memahami prinsip verifikasi ‘ala Carnap, menarik dilihat pembedaannya
mengenai dua hukum dalam ilmu alam, yaitu hukum empiris dan hukum teoretis.
Hukum empiris adalah hukum-hukum yang dapat dikonfirmasikan secara langsung
dengan observasi-empiris. Istilah “observable” sering digunakan untuk banyak
fenomena yang secara langsung dapat diamati. Dengan kata lain hukum empiris adalah
hukum tentang yang kelihatan (observable). Sementara hukum teoretis adalah hukum
abstrak karena ia merupakan hipotesis. Menurut Carnap, para fisikawan sepakat bahwa
hukum yang berhubungan dengan tekanan, volume, dan temperatur suatu gas, adalah
hukum-hukum empiris. Di lain pihak, prilaku dari molekul-molekul tunggal adalah
hukum teoretis. Hubungan kedua hukum ini bisa digambarkan, bahwa hukum empiris
membantu menjelaskan suatu fakta yang diamati dan untuk memprediksi suatu fakta
yang belum diamati. Dan dengan cara yang sama, hukum teoretis membantu untuk
menjelaskan perumusan hukum teoretis dan memberikan peluang untuk men-derivasi-
kan sebuah hukum empiris yang baru.
2. Eliminasi Metafisika
Seperti diuraikan di muka, bahwa dalam pandangan Lingkaran Wina, pernyataan
metafisika, termasuk etika adalah tidak bermakna karena ia menyajikan proposisi yang tidak
bisa diverifikasi, atau sebagai proposisi yang “pseudo-statements” me- nurut Carnap.
Menurut Carnap, banyak penentang metafisika sejak dari kaum skeptis masa Yunani hingga
empirisis abad ke- 19 berpendapat bahwa metafisika adalah salah (false), yang lain lagi
menyatakan tidak pasti (uncertain), atas dasar bahwa problem-problemnya mengatasi

24
(transcendent) batas-batas penge- tahuan manusia.
Carnap menggunakan logika terapan atau teori penge- tahuan melalui cara-cara
analisis lagis untuk mengklarifikasi muatan kognitif pernyataan-pernyataan ilmiah dan
makna dari istilah-istilah yang dipakai dalam pernyataan tersebut sehingga diperoleh hasil
positif dan negatif. Hasil positif dilakukan di dalam domain ilmu empiris; berbagai
konsep dari bermacam- macam cabang ilmu yang diklarifikasi; hubungan-hubungan
formal, logis dan epistimologisnya dibuat eksplisit. Dalam domain metafisika, termasuk
semua filsafat nilai dan teori normatif, analisis logis menghasilkan hasil negatif bahwa
pernyataan- pernyataan (statements) yang dinyatakan adalah tanpa makna. Atau dengan
kata lain, serangkaian kata-kata adalah tanpa makna jika ia bukan merupakan sebuah
pernyata- an di dalam bahasa yang spesifik.
Seperti dijelaskan di muka, bahwa dalam pandangan positifisme logis, metafisika,
demikian pula dengan etika, adalah tidak bermakna karena ia menyajikan proposisi
(statement) yang disebut Carnap sebagai “pseudo-statements”. Menurut Carnap, suatu
pernyataan (statement) disebut sebuah “pseudo-statements” apabila ia melanggar aturan-
aturan sintaksis logika dari pem- buktian empiris. Suatu pernyataan metafisika harus
ditolak atas dasar logika formal, karena ia melanggar aturan-aturan sintaksis logika,
bukan karena “subject-matter” nya adalah metafisis. Pernyataan metafisis harus ditolak
karena ia metafisis, bertentangan dengan kriteria empiris.
Penolakan terhadap metafisika oleh Carnap lebih ditujukan pada persoalan
verifikasi, yaitu bahwa pernyataan metafisika tidak dapat menghindarkan diri dari
pernyataan yang non-verifiable (tak dapat diverifikasi). Para metafisikawan bisa saja
membuat pernyataan yang verifiable, sejauh putusan- putusannya dalam hal kebenaran atau
kesalahan adalah didasarkan pada doktrin mereka yang memang tergantung pada
pengalaman dan ini termasuk ke dalam wilayah empiris. Hal ini merupakan konsekuensi
dari keinginan mereka untuk mengejar pengetahuan yang ada ke tingkat yang lebih tinggi
dari pada ilmu empiris.
Menurut Carnap, pernyataan-pernyataan metafisika menggunakan bahasa
ekspresi, sehingga tidak dapat diverifikasi dan tidak dapat diuji dengan pengalaman. Carnap
memang membedakan dua fungsi bahasa, yaitu fungsi ekspresif dan fungsi kognitif atau
representatif. Dalam fungsi ekspresif, bahasa merupakan ungkapan atau pernyataan
mengenai perasaan, sebagai ucapan keadaan hati, jiwa dan memiliki kecondongan baik
tetap ataupun sementara, untuk bereaksi.
Dari dua fungsi bahasa tersebut, menurut Carnap, pernyataan-pernyataan

25
metafisika hanya memiliki fungsi ekspresif, bukan fungsi representatif. Pernyataan
metafisika tidak mengandung benar atau salah dari sesuatu, karena pernyataannya
di luar diskusi kebenaran atau kesalahan. Seperti juga tertawa, lirik dan musik, pernyataan
metafisika adalah ekspresif, tidak representatif dan tidak teoretis. Menurut Carnap,
sebuah pernyataan metafisis nampak seperti memiliki isi (content) dan dengan begitu tadak
hanya pembaca dikelabui, tetapi juga para metafisikawan sendiri.
3. Perpaduan Ilmu (Unified Science)
Seperti telah dijelaskan dimuka, bahwa kelompok Ling- karan Wina pada umumnya
mencurahkan perhatiannya untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang
bermakna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakan (meaningless) berdasarkan
kemungkinan untuk diverifikasi. Dengan prinsip verifikasi dan konfirmasi segera bisa
dikenal, apakah suatu bahasa itu bermakna atau tidak; jika bermakna disebut ilmiah, jika
tidak bermakna berarti tidak ilmiah. Dengan membuat distingsi ini, problem yang
berkaitan dengan pembedaan dua ilmu, yakni ilmu kealaman dan kemanusiaan menjadi
tidak menarik, bahkan perbedaan itu sendiri tidak ada.
Semua usaha kemudian dicurahkan untuk mewujudkan bahwa pernyataan-
pernyataan (bahasa) semua ilmu penge- tahuan bisa di “terjemahkan” ke dalam bahasa
universal yang sama. Lagi-lagi, Carnap adalah tokoh yang serius dalam usaha ini. Ia coba
membuktikan bahwa setiap objek pengetahuan dapat didasarkan kepada pengalaman-
pengalaman elementer pengenal. Untuk itu ia menyusun hirarki bahasa. Setiap ting-
katan bahasa sesuai dengan tingkatan objek-objek, dan urutan tingkatan sesuai dengan
urutan dalam struktur pengenalan.
Yang menjadi dasar seluruh konstruksi ini adalah tingkatan auto-psikologis
(misalnya pengalaman saya tentang “merah”). Atas dasar ini kemudian disusun secara
berturut-turut tingkatan: fisis, biologis, psikologis, sosial dan kultural.
Dengan demikian, kalau bahasa pada tingkatan sosio- kultural didasarkan pada
tingkatan psikologis, dan tingkatan psikologis didasarkan pada tingkatan ilmu-ilmu
alam, maka dapat dirumuskan semua ucapan ilmu pengetahuan dalam bahasa dasariah
yang mengungkapkan pengalaman-pengalam- an elementer kita. Karena itu “bahasa”
sedemikian rupa ini menjadi bahasa universal bagi semua ilmu pengetahuan dan tidak
ada lagi banyak ilmu pengetahuan yang berbeda-beda, tetapi hanya satu ilmu
pengetahuan, yang diungkapkan dengan bahasa universal.
Banyak kalangan menilai, usaha Carnap ini sebagai usaha yang membanggakan,
meski dikemudian hari, banyak mendapatkan kesulitan juga, terutama tantangan

26
dari Neurath, yang menolak dasar kesatuan ilmu pengetahuan pada ucapan-ucapan
yang berkaitan dengan ke-aku-an, atau auto- psikologis, tetapi haruslah terdiri dari
ucapan-ucapan yang bersifat umum dan terbuka secara intersubjektif.

Pendapatnya tentang Filsafat


Kalau verifikasi dan konfirmasi itu menjadi syarat utama bagi sesuatu sehingga ia dapat
disebut ilmu, bagaimana dengan filsafat? Filsafat, menurut pendapat Lingkaran Wina,
tidak mempunyai suatu wilayah penelitian tersendiri. Realitas empiris dengan segala
aspeknya dipelajari oleh ilmu pengetahuan khusus, sementara suatu realitas yang non-
empiris dan tran- senden tidak mungkin menjadi objek pengetahuan. Objek filsafat
tradisional seperti ‘Ada yang Absolut’ tidak dapat menjadi wilayah yang digarap
oleh pengetahuan kita, karena- nya penyataan-pernyataan yang menyangkut objek-objek
yang demikian itu merupakan pernyataan semu. Problem-problem kefilsafatan juga
hanya semu belaka, karena tidak didasarkan pada penggunaan bahasa yang bermakna
(meaningful), tetapi menggunakan bahasa yang penuh emosi dan perasaan (emotional use
of language)
Berdasarkan pemahaman sedemikian ini, tugas tunggal yang tertinggal bagi filsafat
ialah memeriksa susunan logis bahasa ilmiah, baik dalam perumusan penyelidikan ilmu
alam, maupun dalam logika dan matematika. Dengan demikian, filsafat ilmu adalah
logika ilmu. Filsafat ilmu harus disusun berdasarkan analogi logika formal. Sebagaimana
logika formal selalu menyibukkan diri dengan problem ‘bentuk’ (forma), dan bukan- nya
dengan ‘isi’ proposisi dan argumen, demikian pula logika ilmu lebih mengurusi bentuk-
bentuk logis pernyataan ilmiah

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah kerangka dasar teori keilmuan ini adalah bahwa para pemikir secara
kolektif telah memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan metode ilmiah, pemikiran
empiris, dan pentingnya observasi dan logika dalam membangun pengetahuan. Terdapat dorongan
untuk meninggalkan spekulasi teologis atau metafisika dan mengadopsi metode ilmiah yang
didasarkan pada pengamatan dan eksperimen untuk mencapai pengetahuan yang dapat diandalkan dan
bermanfaat dalam masyarakat.
Francis Bacon dikenal sebagai pendiri metode ilmiah empiris. Metodenya
mengedepankan observasi sistematis dan eksperimen sebagai dasar pengumpulan data.
Penekanannya pada induksi (dari fakta khusus ke umum) dan pengujian hipotesis membentuk
landasan untuk pengembangan pengetahuan ilmiah.
John Stuart Mill mengembangkan pemikiran empiris dan logis dengan fokus pada
metode deduktif dan induktif. Prinsip utilitarianisme Mill juga mempengaruhi pandangannya
terhadap metode ilmiah, dengan penekanan pada kegunaan praktis pengetahuan. Menekankan
peran eksperimen dan metode ilmiah dalam pembentukan kebijakan sosial dan etika.
Auguste Comte adalah tokoh utama dalam perkembangan positivisme, yaitu pandangan
bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui metode ilmiah dan observasi empiris.
Menegaskan evolusi tiga tahap dalam perkembangan ilmu pengetahuan: teologis, metafisis,
dan positif. Ide tentang positivisme juga mempengaruhi pendekatan sosiologis terhadap studi
masyarakat.
Positivisme Logis adalah aliran pemikiran yang muncul di abad ke-20 yang menekankan
pentingnya bahasa dan logika dalam pembentukan pengetahuan. Tokoh utama positivisme
logis termasuk Rudolf Carnap, A.J. Ayer, dan Alfred Jules Ayer. Menekankan pada verifikasi
empiris dan penolakan terhadap pernyataan yang tidak dapat diuji secara empiris sebagai
tidak bermakna.

28
B. Saran
Berdasarkan makalah di atas, ada beberapa saran yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Mengombinasikan metode empiris Bacon, induksi Mill, dan positivisme Comte
dapat memberikan kerangka yang lebih komprehensif dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.
2. Mengembangkan dan menyempurnakan metode ilmiah sesuai dengan perkembangan
teknologi dan pengetahuan.
3. Menerapkan konsep positivisme Comte dan metode empiris Bacon dalam penelitian
sosial untuk memahami dan mengatasi masalah sosial.
4. Mempertimbangkan kritik terhadap positivisme logis dan selalu pertimbangkan
aspek-aspek kritis dalam penelitian.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Totok Wahyu. “Aksiologi: Antara Etika, Moral, dan Estetika.” KANAL: Jurnal Ilmu
Komunikasi 4, no. 2 (March 3, 2016): 187.
http://ojs.umsida.ac.id/index.php/kanal/article/view/1452. Diakses 13 Desember 2023

Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang, 2016.

Abdullah, Amin. Antara Al-Ghazali Dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan, 2002.

Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat, Liberti:Yogyakarta:1988, hal:49

Bertens, K. Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

C, . Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1991

Djakfar, Muhammad. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Malang: Universitas Malang
Press, 2007.

Gary B.Ferngren, The History of Science and Religion in the Western Tradition - An
Encyclopedia, (New York: Garland Publishing, Inc., 2000)

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 2016. Hanafi,

Hasan. Teologi Islam: Ilmu Kalam. Jakarta: Bulan Bintang, 2010.

Henry S. Lucas. Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan, terj. Sugiharjo S dan
Budiman (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993)

Ibrahim, Teguh, and Ani Hendriani. “KAJIAN REFLEKTIF TENTANG ETIKA GURU
DALAM PERSPEKTIF KI HAJAR DEWANTARA BERBALUT FILSAFAT
MORAL UTILITARIANISME.” NATURALISTIC : Jurnal Kajian Penelitian
Pendidikan dan Pembelajaran 1, no. 2 (April 17, 2017): 135–145.
https://journal.umtas.ac.id/index.php/naturalistic/article/view/12. Diakses 13 Desember
2023

Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,1996) Edwards


Paul, 1967, The Encyclopedia of Philosophy, USA, Macmillan INC

John Losee, A Historical Intruction to the Philosophy of Science, (New


York: OxfordUniversity Press, 2001)

30
Asep Saepullah: Konsep Utilitarianisme John Stuart Mill: Relevansinya terhadap...

Junaidy, Abdul Basith. “Memahami Maslahat Menggunakan Pendekatan Filsafat


Utilitarianisme Menurut Muhammad Abû Zahrah.” ISLAMICA: Jurnal
Studi Keislaman 8, no. 2 (March 1, 2014): 341..
http://islamica.uinsby.ac.id/index.php/islamica/article/view/186. Diakses 13
Desember 2023

Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma,


2005.

Kattsoff, Loius O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.


Kuntowijoyo. Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru. Bandung:
Mizan, 1995.

Kurniati, Yunita. “Keistimewaan Etika Islam Dari Etika Yang Berkembang Di Barat.”
Aqlania 11, no. 1 (2020): 41–72.

Loius O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya:2004, hal:225

Maksum,Ali:2011.Pengantar Filsafat.Jogjakarta.Ar-Ruzz Media.

Mudhofir, Ali. 1998. Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat. Yogyakarta: Liberti.

Mujahidin Muhayyan, http://mizanis.wordpress.com/kajian/ke-arah-filsafat-ilmu-islam/


positivisme-logis/14-12-2023

Russel, Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio politik dari zaman kuno
hingga sekarang, terj. Yogyakarta, Pustaa Pelajar, 2007cet III

Soedarto, Jl, and SH Tembalang. “IMPLIKASI KONSEP UTILITARIANISME DALAM


PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN TERHADAP MASYARAKAT
ADAT,” no. 2 (2014): 7.

Solissa, Abdul Basir. Etika Perspektif Teori Dan Praktik. Yogyakarta: FA Press, 2016.

Sudarminta, J. Etika Umum: Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok Dan Teori Etika
Normatif. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Suseno, Franz Magnis. 13 Tokoh Etika : Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19.
Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Weruin, Urbanus Ura. “TEORI-TEORI ETIKA DAN SUMBANGAN PEMIKIRAN


PARA FILSUF BAGI ETIKA BISNIS.” Jurnal Muara Ilmu Ekonomi dan Bisnis 3,
no. 2 (October 30, 2019): 313.
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmieb/article/view/3384. Diakses 13 Desember
2023

Waluyo, Herman J. 2007. Filsafat Ilmu. Salatiga: Widya Sari Press.

262
31
32

Anda mungkin juga menyukai