OLEH:
ALFRIDUS C. CEUNFIN
FAKULTAS KESEHATAN
KUPANG
2023/2024
I. KONSEP TEORI
A. Pengertian Sindrom mielodiplastik (MDS)
Sindrom mielodiplastik (MDS; myelodyplastic syndrome) merupakan kelompok
kelainan sel tunas klonal yang ditandai oleh hematopoiesis yang tidak efektif dan
peningkatan resiko transformasi menjadi AML(Acute Myeloid Leukimia). Sebagian
atau seluruh sumsum tulang digantikan oleh progeni klonal sebuah sel tunas
multipoten yang mutan tetapi masih mempertahankan kemampuannya untuk
berdiferensiasi menjadi sel darah darah merah, granulosit dan trombosit kendati
dengan cara yang tidak efektif dan menyimpang. Biasanya sumsum tulang tersebut
tampak hiperseluler atau normoseluler tetapi darah tepinyamemperlihatkan
pansitopenia.
Sindrom myelodiplastik (myelodyplastic syndrome) adalah kelainan darah
langka dan berpotensi fatal yang terjadi karena produksi abnormal sel-sel darah di
sumsum tulang. Sel darah yang dihasilkan menjadi mati dan abnormal begitu mereka
memasuki aliran darah, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi normal dan penting
seperti mengangkut oksigen melalui tubuh (eritrosit) dan melawan infeksi (leukosit).
Pada tahap awal pemyakit, hanya ada sedikit gejala. Seiring waktu, perdarahan yang
tidak biasa, bintik-bintik kulit merah dan anemia dapat terjadi. Individu dengan
sindrom myelodiplastik cenderung memiliki infeksi berulang.
Myelodysplastic Syndrome ( MDS ) adalah suatu gangguan kolonal sel system
hematopoietic dengan ditandai adanya dysplasia, sitopenia yang cenderung
bertransformasi ke leukemia myeloid akut ( Acute Myeloblasttic leukemia / AML ).
Diplasia dapat terjadi pada > 1 seri sel myeloid yang dapat menyebabkan
hematopoiesis infeksi di darah tepi dan di sumsum tulang dengan jumlah sel blast
B. Etiologi
Sindrom Mielodisplasia terjadi saat produksi sel darah terganggu dan tidak
terkendali, hal ini menyebabkan sel darah pengidap praleukimia belum matang dan
cacat. Bukannya terbentuk dengan normal, saat masuk ke dalam aliran darah sel akan
mati dalam sumsum tulang.
Lama-lama, jumlah sel yang belum matang dan cacat mulai meningkat lebih
banyak daripada sel darah yang sehat. Hal ini dapat menyebabkan masalah, seperti
anemia, infeksi, dan perdarahan berlebih.
Sindrom mielodisplasia digolongkan menjadi dua kategori berdasarkan
penyebabnya, yaitu:
1. Sindrom Mielodisplasia tanpa penyebab yang diketahui. Disebut de novo
myelodysplastic syndromes, karena dokter tidak mengetahui penyebabnya. De
novo myelodysplastic syndromes, biasanya lebih mudah diatasi dibandingkan
dengan sindrom Mielodisplasia dengan penyebab yang diketahui.
2. Sindrom Mielodisplasia disebabkan oleh zat kimia dan radiasi. Sindrom golongan
ini terjadi sebagai respons terhadap perawatan kanker, seperti kemoterapi dan
radiasi atau paparan zat kimia disebut Sindrom Mielodisplasia sekunder.
Beberapa faktor juga dapat meningkatkan risiko seseorang terkena praleukimia,
yaitu:
1. Usia lanjut. Kebanyakan orang dengan sindrom Mielodisplasia merupakan lansia
di atas 60 tahun.
2. Perawatan dengan kemoterapi atau radiasi. Kondisi ini dapat muncul apabila
menerima kemoterapi atau terapi radiasi, di mana keduanya umum digunakan
untuk mengatasi kanker.
3. Paparan terhadap zat kimia. Zat kimia yang terkait dengan sindrom
Mielodisplasia, meliputi asap rokok, pestisida, dan zat kimia industrial,
seperti benzene.
4. Paparan terhadap logam berat. Timah dan merkuri merupakan logam berat yang
berhubungan dengan kondisi ini.
C. Patofisiologi
MDS disebabkan paparan lingkungan seperti radiasi dan benzene yang
merupakan faktor resikonya. MDS sekunder terjadi pada toksisitas lama akibat
pengobatan kanker biasanya dengan kombinasi radiasi dan radiomimetik alkylating
agent seperti bisulfan, nitrosourea atau procarbazine ( dengan masa laten 5-7 tahun)
atau DNA topoisomerase inhibitor (2tahun). Baik anemia aplastik yang didapat yang
diikuti dengan pengobatan imunosupresif maupun anemia Fanconi’s dapat berubah
menjadi MDS.
MDS diperkirakan berasal dari mutasi pada sel sumsum tulang yang multipoten
tetapi defek spesifiknya belum diketahui. Diferensiasi dari sel prekursor darah tidak
seimbang dan ada peningkatan aktivitas apoptosis sel di sumsum tulang. Ekspansi
klonal dari sel abnormal mengakibatkan sel yang telah kehilangan kemampuan untuk
berdiferensiasi. Jika keseluruhan persentasi dari blas sumsum berkembang melebii
batas (20-30%) maka ia akan bertransformasi menjadi AML. Pasien MDS akan
menderita sitopenia pada umumnya seperti anemia parah. Tetapi dalam beberapa
tahun pasien akan menderita kelebihan besi. Komplikasi yang berbahaya bagi mereka
adalah pendarahan karena kurangnya trombosit atau infeksi karena kurangnya
leukosit.
Beberapa penlitian menyebutkan bahwa hilangnya fungsi mitokondria
mengakibatkan akumulasi dari mutasi DNA pada sel sitem hematopoietik dan
meningkatkan insiden MDS pada pasien yang lebih tua. Dan adanya akumulasi dari
besi mitokondria yang berupa cincin sideroblas merupakan bukti dari disfungsi
mitokondria pada MDS.
D. Gejalah Klinis
Pada tahap awal, sindrom mielodisplasia jarang memperlihatkan tanda atau gejala.
Namun, seiring berkembangnya penyakit, penderita dapat mengalami gejala berupa:
pusing, sesak napas, tubuh mudah lelah, timbul bintik merah di bawah kulit akibat
perdarahan, pucat, akibat kurangnya sel darah merah (anemia), infeksi berulang,
akibat kekurangan sel darah putih, mudah memar atau berdarah, akibat rendahnya
jumlah trombosit. Selain itu, penderita sindrom mielodisplasia juga dapat mengalami
beberapa gejala lain, seperti demam, hilang nafsu makan, berat badan menurun,
hingga nyeri tulang.
E. Pathway
Terpapar ke
Pengobatan kanker yang
Terpapar ke tubuh dalam
terhambat
tubuh dalam jangka lama
jangka lama
Hilangnya kromosom 5 Mutase sel
dan 7 dalam tubuh
Mutase sel
dalam tubuh
Mengalami translokasi
Tanda dan gejalah MDS :
Pusing
sesak napas
mudah lelah
Mutasi pada sel sumsum
timbul bintik merah di
bawah kulit
Sel kehilangan kemampuan
untuk berdiferensiasi pucat
infeksi berulang
MDS demam
hilang nafsu makan
berat badan menurun
nyeri tulang.
Menurunnya jumlah sel darah
B1 B2 B3
B4 B5 B6
Suplai nutrisi
O2 dalam Darah ↓ Suplai O2 ke otak ↓ Suplai oksigen
dalam darah ↓
Suplai O2 ke Suplai O2 ke Usus ↓ menurun
Ginjal ↓
Hipoksia
Respon Fisiologis Suplai O2 ↓
Tekanan Usus Zat Fe (Zat Besi
Tubuh
Tekanan Ginjal menurun)
Terggangu
Terganggu
Ginjal tidak dapat Pusing
Tubuh berusaha untuk membuang
meningkatkan O2 kalium melalui
Pembentukan
dalam tubuh urine Susah BAK & tekanan
Iritasi lambung, tulang
Gangguan Perfusi asam lambung ↑
Hiperkalemia Cerebral terganggu
Takipnea
Kelemahan Otot
MK: Gangguan Anoreksia, nausea,
Gangguan konduksi
eliminasi urine vomitus
MK: Pola Nafas MK : Gangguan
tidak efektif Perfusi Jaringan
Aritmia
MK : MK: Gangguan
integritas
Defisit nutrisi kulit/jaringan
MK : Risiko
penurunan curah
jantung
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul pada pasien sindrom mielodisplasia adalah
Perdarahan (hemorrhagic), Infeksi karena salah satu manifestasi klinis dari pasien
MDS adalah penurunan jumlah leukosit (leukopenia) sehingga pasien akan rentan
mengalami infeksi
G. PemeriksaanDiagnostik/Penunjang
1. Pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit, dan jumlah trombosit.
2. Hasil pemeriksaan yang paling khas adalah kelainan diferensiasi (displasia) yang
mengenai ketiga garis-turunan sel darah (eritroid, mieloid dan megakariosit).
a) Garis turunan eritroid
Sideroblas bercincin, eritroblas dengan mitokondria yang penuh zat besi dan
terlihat sebagai granul perinuklear pada pewarnaan Prussian blue. Maturasi
megaloblastoid yang menyerupai gambaran yang terlihat pada defisiensi
vitamin B12 atau folat. Kelainan pembentukan tunas nukleus yang
memproduksi nukleus salah bentuk dan sering dengan garis polipoid.
b) Garis turunan granulositik:
Sel-sel neutrofil dengan berkurangnya jumlah granul sekunder, granulasi
toksik atau Dohle bodies (badan Dohle). Sel-sel pseudo-Pelger-Huet (sel-sel
neutrofil dengan dua lobus nukleus saja). Mieloblas mungkin meningkat
tetapi berdasarkan definisi terdiri kurang dari 20% keseluruhan selularitas
sumsum tulang.
c) Garis turunan megakariositik
megakariositik dengan lobus nukleus yang tunggal atau nukleus multiple
yang terpisah (megakariosit “pawn ball”). Darah perifer: darah perifer sering
mengandung sel-sel pseudo-Pelger-Huet, trombosit raksasa, makrosit,
poikilosit dan monositosis relatif atau absolut. Biasanya mieloblas
membentuk kurang dari 10% leukosit perifer
3. Darah tepi
Pansitopenia sering ditemukan. Eritrosit biasanya makrositik atau dimorfik tetapi
kadang – kadang hipokrom, mungkin ditemukan normoblas. Hitungretikulosit
rendah. Jumlah granulosit sering kali menurun dan memperlihatkan tidak adanya
granulasi. Fungsi kemotaktik, fagositik dan adhesinya terganggu. Kelainan perlger
(inti tunggal dan berlobus dua) sering ditemukan. Pada cmml monosit > 1,0 x 10 9 /
l dalam darah dan jumlah leukosit total mungkin > 100 x 10 9 / l. Trombosit dapat
sangat besar atau kecil dan biasanya berkurang jumlahnya tetapi meningkat pada
10 % kasus. Pada kasus yang sama memiliki prognosis yang buruk, ditemukan
mieloblas dengan jumlah yang bervariasi dalam darah.
4. Sumsum tulang belakang
Selularitas biasanya meningkat. Normoblas ditemukan berinti banyak dan
gambaran diseritropoiesis lain. Prekursor granulosit memperlihatkan adanya
gangguan granulasi primer dan sekunder dan sering ditemukan sel – sel yang sulit
diidentifikasi apakah sebagai meilosit agranular, monosit atau premonosit.
Megakariosit abnormal dengan bentuk mikronuklear, binuklear kecil, atau
polinuklear. Biopsi sumsum tulang memperlihatkan fibrosis pada 10 % kasus
H. Penatalaksanaan Medis
1. Pada sindroma mielodisplasia resiko rendah
Pasien yang memiliki jumlah sel blas kurang dari 5 % dalam sumsum
tulang didefinisikan sebagai penderita sindroma mielodisplasia resiko rendah.
Sehingga ditangani dengan konservatif dengan tranfusi eritrosit, trombosit, atau
pemberian antibiotik sesuai dengan keperluan. Upaya memperbaiki keperluan
fungsi sumsum dengan faktor pertumbuhan hemopeitik sedang dilakukan.
Eritropoietin dosis tinggi dapat meningkatkan konsentrasi Hb sehingga tranfusi
tidak perlu dilakukan. Siklosporin atau globulin antilimfosit (GAL) kadang
membuat pasien lebih baik terutama pasien dengan sumsum tulang hiposeluler.
Untuk jangka panjang penimbunan besi tranfusi berulang harus diatasi dengan
chelasi besi setelah mendapat tranfusi 30 - 50 menit. Pada pasien usia muda
terkadang transplantasi alogenik dapat memberikan kesembuhan permanen.
Perlu diperhatikan pada pasien yang memerlukan banyak tranfusi
RBC(red blood cell) adalah level serum ferritin yang dapat berakibat disfungsi
organ dan harus dikontrol < 1000 mg mcg / L, dan ada 2 macam chelasi besi
seperti deferoxamine IV dan deferasinox per oral. Pada kasus yang jarang,
deferasinox dapat menyebabkan gagal ginjal dan hati yang berakhir dengan
kematian.
2. Pada sindroma mielodisplasia resiko tinggi
Pada pasien yang memiliki jumlah sel blas lebih dari 5 % dalam sumsum dapat
diberi beberapa terapi:
a) Perawat suportif umum sesuai diberikan untuk pasien usia tua dengan
masalah medis mayor. Tranfusi eritrosit dan trombosit, trapi antibiotik dan
obat anti jamur diberikan sesuai dengan kebutuhan.
b) Kemoterapi agen tunggal hidroksiurea, etopasid, merkaptopurin, ezasitidin,
atau sitosin arabinosida dosis rendah dapat diberikan dengan sedikit manfaat
pada pasien cml (chronik myeloid leukimia) atau anemia refrakter dengan
kelebihan sel blas dalam tranformasi dengan jumlah leukosit dalam darah
yang tinggi.
c) Kemotrapi intensif seperti pada aml (acut myelogeneus leukimia). Kombinasi
fludarabin dengan sitosin sitosin arabinosida (ara-c) dosis tinggi dengan
faktor pembentukan koloni granulosit (g-csf) (flag) dapat sangat bermanfaat
untuk mencapai remisi pada mds.
d) Transplantasi sel induk. Pada pasien dengan usia yang lebih muda (kurang
dari 50 – 55 tahun) dengan saudara laki-laki atau perempuannya yang hila-
nya sesuai atau donor yang tidak berkerabat tetapi sesuai hila-nya. Sct
memberikan prospek kesembuhan yang lengkap dan biasanya dilakukan pada
mds tanpa mencapai remisi lengkap dengan kemoterapi sebelumnya,
walaupun pada kasus resiko tinggi dapat dicoba kemoterapi awal untuk
mengurangi proporsi sel blas dan resiko kambuhnya kbs. Sct hanya dapat
dilaksanakan pada sebagian kecil pasien karena umumnya pasien mds berusia
tua.
Tiga agen yang diterima oleh FDA (food and drug administration)sebagai
pengobatan MDS:
a) 5-azacytidine : rata – rata bertahan hidup 21 bulan
b) Decitabine : respon komplit dilaporkan setinggi 43 % dan pada A,L
decitabine lebih efektif apabila dikombinasikan dengan asam valporat
c) lenalidomine : efektif dalam mengurangi tranfusi sel eritrosit pada pasien
MDSdelesi kromosom 5 q.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan terhadap sindroma mielodisplasia dapat meliputi pengkajian
khusus dan pengkajian fisik secara umum:
a. Identitas
Jenis kelamin : lebih sering terjadi pada Pria
umur : MDS biasanya merupakan penyakit pada orang lanjut usia, namun MDS
dapat terjadi pada pasien yang lebih muda dan bahkan anak-anak. Hingga 10%
kasus, sebagian besar didiagnosis pada anak-anak dan dewasa muda, memiliki
kecenderungan genetik,
pekerjaan : lebih sering terjadi pada orang yang melakukan pekerjaan di tempat
berisiko terkena zat kimia ataupun radioaktif
alamat : lebih sering terjadi di wilayah atau tempat yang terpapar zat kimia atau
gas
diagnosa medis : pasien dengan leukemia, kanker ataupun anemia aplastic
berisiko terkena.
b. Riwayat Kesehatan
Keletihan, kelemahan, pusing, gemetaran, kemampuan beraktivitas menurun,
nyeri pada luka. Keletihan, kelemahan, pusing, gemetaran, kemampuan
beraktivitas menurun, nyeri pada luka.
c. Keluhan Utama
Keluhan utama yang ditemukan pada penderita sindroma mielodisplasia adalah
klien mengeluh pusing, lemah, gemetaran, pucat, akral dingin.
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian riwayat kesehatan dahulu ditanyakan pada pasien apakah pasien
pernah mengalami anemia, apakah meminum obat tertentu dalam jangka waktu
panjang, apakah pernah mengalami penyakit keganasan seperti kanker, leukemia
dan multiple myeloma.
e. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dahulu yang ditanyakan adalah apakah sebelumnya
pasien pernah menderita penyakit yang memili risiko MDS seperti kanker dan
leukemia
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Data yang diperoleh dari pasien maupun keluarga pasien, apakah keluarga ada
yang memiliki riwayat penyakit MDS.
g. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Keadaan tampak lemah sampai sakit berat
2) Kesadaran : composmentis kooperatif sampai terjadi penurunan tingkat
kesadaran apatis, somnolen, spoor, coma.
3) Tanda-tanda vital
Tekanan darah menurun, frekuensi nadi meningkat sampai lemah, suhu bisa
meningkat atau menurun, pernafasan meningkat.
4) Pemeriksaan Kepala
Biasanya bentuk dalam batas normal.
5) Pemeriksaan Wajah
Biasanya Nampak pucat dan lemas karena kekurangan HB
6) Pemeriksaan Mata
Kelainana bentuk tidak ada, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, terdapat
perdarahan sub conjungtiva, keadaan pupil, reflex pupil biasanya tidak ada
kelainan.
7) Pemeriksaan Hidung
Fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan.
8) Pemeriksaan Telinga
Bentuk dan fungsi telinga biasanya tidak ada kelainan.
9) Pemeriksaan Leher
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening, throid lidah membesar, tidak ada
distensi vena jugularis.
10) Pemeriksaan Integumen
Turgor kulit biasanya sedang sampai berat >3detik, Nampak ada lesi, kelainan
pada kulit, tekstur, warna kulit pucat,
11) Pemeriksaan Thorax
Pergerakan dada biasnya pernafasan cepat, irama tidak teratur, fremitus
meningkat, prekusionor, suara nafas bisa vesikuler atau ronchi, wheezing.
12) Pemeriksaan Jantung
Inspeksi dan Palpasi : mendeteksi letak jantung, apakah ada pembesaran
jantung
Perkusi : mendiagnosa batas-batas diafragma dan abdomen
Auskultasi : bunyi jantung I dan II
13) Pemeriksaan Abdomen
Cekung, pembesaran hati, nyeri, bising usu normal dan bisa juga meningkat.
14) Pemeriksaan Genetalia
Inspeksi : keadaan rambut pubis, kebersihan vagina atau penis, warna dari
kulit disekitar genetalia biasanya tidak ada kelainan.
Palpasi : biasa tidak ada benjolan, tidak ada nyeri saat di palpasi
15) Pemeriksaan Anus
Lubang anus, peripelium, dan kelainan pada anus
16) Pemeriksaan Muskuloskeletal
Kesimetrisan otot, pemeriksaan abdomen, kekuatan otot, kelainan pada anus
17) Pemeriksaan Neurologi
Tingkat kesadaran atau meninggal ringan, syaraf otak, fungsi motorik, fungsi
sensorik
18) Pemeriksaan Status Mental
Tingkat kesadaran emosi, orientasi, proses berfikir, persepsi dan bahasa, dan
motivasi
19) Pemeriksaan Tubuh Secara Umum
Kebersihan, normal, postur
20) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang langsung berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan nutrisi adalah pemeriksaan albumin serum, Hemoglobin, glukosa,
elektrolit, dan lain-lain.
2. Diagnosa Keperawatan
Secara teoritis diagnosa yang di temukan pada klien MDS adalah :
a. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009) berhubungan dengan penurunan
konsentrasi hemoglobin dibuktikan dengan pengisian kapiler >3 detik, nadi
perifer menurun atau tidak teraba, akral teraba dingin, warga kulit pucat,
turgor kulit menurun, parastesia, nyeri ekstremitas (klaudikasi intermiten).
Edema,Penyembuhan luka lambat, Indeks ankle-brachial < 0,90, Bruit
femoral.
b. Intoleransi aktifitas (D.0056) berhubungan dengan kelemahan dibuktikan
dengan mengeluh lelah, frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi sehat,
dispnea saat/setelah aktivitas, merasa tidak nyaman setelah beraktivitas,
merasa lemah, tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat,gambaran
EKG menunjukan aritmia saat/setelah aktivitas,gambaran EKG menunjukan
iskemia,sianosis
c. Resiko Infeksi (D.0142) dibuktikan dengan faktor risiko ketidakadekuatan
pertahanan tubuh sekunder (penurunan hemoglobin) (PPNI, 2019)
3. Intervensi Keperawatan
1. Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan intervensi keperawatan 3x24 Perawatan Sirkulasi (I.02079)
(D.0009) berhubungan dengan maka Perfusi Perifer (L.02011) meningkat Observasi
penurunan konsentrasi hemoglobin dengan kriteria hasil: 1. Periksa sirkulasi perifer (mis:
dibuktikan dengan pengisian 1. Denyut nadi perifer meningkat nadi perifer, edema, pengisian
kapiler >3 detik, nadi perifer 2. Penyembuhan luka meningkat kapiler, warna, suhu, ankle-
menurun atau tidak teraba, akral 3. Sensasi meningkat brachial index)
teraba dingin, warga kulit pucat,
4. Warna kulit pucat menurun 2. Identifikasi faktor risiko
turgor kulit menurun, parastesia,
5. Edama perifer menurun gangguan sirkulasi (mis:
nyeri ekstremitas (klaudikasi
6. Nyeri ekstremitas menurun diabetes, perokok, orang tua,
intermiten). Edema,Penyembuhan
7. Parastesia menurun hipertensi, dan kadar
luka lambat, Indeks ankle-brachial
< 0,90, Bruit femoral.
8. Kelemahan otot menurun kolesterol tinggi)
9. Kram otot menurun 3. Monitor panas, kemerahan,
10. Bruit femoralis menurun nyeri, atau bengkak pada
11. Nekrosis menurun ekstremitas
12. Pengisian kapiler cukup membaik Terapeutik
13. Akral cukup membaik 1. Hindari pemasangan infus,
14. Turgor kulit cukup membaik atau pengambilan darah di
15. Tekanan darah sistolik cukup area keterbatasan perfusi
membaik 2. Hindari pengukuran tekanan
16. Tekanan darah diastolik cukup darah pada ekstremitas dengan
membaik keterbatasan perfusi
17. Tekanan arteri rata-rata cukup 3. Hindari penekanan dan
membaik pemasangan tourniquet pada
18. Indeks ankie-brachial cukup membaik area yang cidera
4. Lakukan pencegahan infeksi
5. Lakukan perawatan kaki dan
kuku
6. Lakukan hidrasi
Edukasi
1. Anjurkan berhenti merokok
2. Anjurkan berolahraga rutin
3. Anjurkan mengecek air mandi
untuk menghindari kulit
terbakar
4. Anjurkan menggunakan obat
penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan penurun
kolesterol, jika perlu
5. Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan darah
secara teratur
6. Anjurkan menghindari
penggunaan obat penyekat
beta
7. Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang tepat
(mis: melembabkan kulit
kering pada kaki)
8. Anjurkan program rehabilitasi
vaskular
9. Ajarkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi (mis:
rendah lemak jenuh, minyak
ikan omega 3)
10. Informasikan tanda dan gejala
darurat yang harus dilaporkan
(mis: rasa sakit yang tidak
hilang saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa).
Richard N. Mitchel. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Jakarta:EGC
Wicaksono, Emirza Nur. 2 Mei 2016. Myelodisplasia Sindrom (Myelodysplastic Syndrome.)
Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed.13.Jakarta: EGC
Dinarti dan Mulyanti, Y. (2017). Dokumentasi Keperawatan (1st ed). Kementrian Republik
Indonesia.
Kementran Kesehatan RI. 2016. Kebutuhan Dasar Manusia II. Jakarta: Pengarang.
PPNI, T. P. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indoneisa. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI.
Sarwadi & Erwanto.2014. Buku Pintar Anatomi Tubuh Manusia.Jakarta:Dunia Cerdas