Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HAMBATAN DALAM PENGAPLIKASIAN KOMUNIKASI


TERAPEUTIK

Oleh:

BOBY PERWIRA

NIM.202304037

PROGRAM DIPLOMA STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN SUMATERA


UTARA

2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi terapeutik adalah unsur kunci dalam penyediaan perawatan


kesehatan yang efektif. Dalam praktiknya, terdapat beberapa hambatan yang dapat
menghalangi implementasi yang sukses dari komunikasi terapeutik, yang dapat
berdampak pada hubungan pasien-praktisi kesehatan dan hasil perawatan.

Pengertian Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik adalah proses


interaksi antara praktisi kesehatan dan pasien dengan tujuan meningkatkan
pemahaman, dukungan emosional, dan hasil perawatan. Peran Penting
Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik membantu membangun hubungan
positif, meningkatkan kepercayaan pasien, dan mendukung pengambilan
keputusan yang informan.Fungsi Komunikasi Terapeutik Fungsi komunikasi
terapeutik melibatkan penyampaian informasi dengan jelas, mendengarkan aktif,
dan menciptakan lingkungan yang mendukung untuk pasien.

BAB II

PEMBAHASAN

A. HAMBATAN DALAM PENGAPLIKASIAN KOMUNIKASI

1. Hambatan Internal:
 Ketidakjelasan atau kebingungan praktisi kesehatan.
 Kurangnya empati atau kesadaran diri.
 Stres atau kelelahan pada pihak praktisi kesehatan.
2. Hambatan Eksternal:
 Keterbatasan waktu dalam situasi pelayanan kesehatan.
 Struktur organisasi yang membatasi waktu interaksi.
 Keterbatasan sumber daya dalam fasilitas kesehatan.
3. Hambatan Pasien:
 Kurangnya pemahaman atau pengetahuan pasien.
 Ketakutan atau kecemasan pasien.
 Resistensi terhadap pengobatan atau perubahan perilaku.
4. Hambatan Teknologi:
 Keterbatasan akses atau penggunaan teknologi dalam komunikasi.
 Kurangnya pelatihan dalam menggunakan alat komunikasi

modern.
C. Strategi Mengatasi Hambatan

 Pelatihan dan pengembangan keterampilan komunikasi terapeutik bagi


praktisi kesehatan.
 Menerapkan teknologi dengan bijak untuk meningkatkan komunikasi.
 Membangun kesadaran dan pemahaman pasien tentang peran komunikasi
dalam pemulihan.

D. Alat bantu komunikasi yang dapat digunakan untuk mendukung


komunikasi Terapeutik dengan pasien:

1. Aplikasi Komunikasi pada Tablet atau Smartphone:


 Contoh: Proloquo2Go, TouchChat, Predictable
 Fungsi: Aplikasi ini memungkinkan pengguna memilih kata atau
kalimat melalui antarmuka visual, dan kemudian aplikasi
menghasilkan suara atau teks sebagai representasi komunikasi.
2. Papan Komunikasi:
 Contoh: Papan komunikasi gambar atau papan huruf yang dapat
dipegang atau ditempel di kursi roda.
 Fungsi: Pasien dapat menunjuk gambar atau huruf untuk
membentuk kata atau kalimat dan berkomunikasi dengan perawat
atau anggota tim kesehatan.
3. Buku Komunikasi:
 Contoh: Buku yang berisi gambar atau kata-kata yang dapat dipilih
oleh pasien.
 Fungsi: Pasien dapat membalik halaman buku dan menunjuk
gambar atau kata-kata yang sesuai dengan kebutuhan atau
perasaannya.
4. Komunikasi Melalui Mata:
 Contoh: Sistem komunikasi yang menggunakan gerakan mata
untuk memilih kata atau kalimat.
 Fungsi: Pasien dapat menggunakan gerakan mata untuk
mengendalikan perangkat atau aplikasi komunikasi dan
berkomunikasi dengan perawat.
5. Papan Tangan (Whiteboard) Elektronik:
 Contoh: Papan tangan elektronik yang dapat ditulis dan dihapus.
 Fungsi: Perawat atau pasien dapat menuliskan atau menggambar
pesan untuk berkomunikasi dengan pasien atau anggota tim
kesehatan.
6. Perangkat Lunak Pencetakan Suara:
 Contoh: Perangkat lunak yang dapat menghasilkan suara dari teks
yang ditulis atau diketik.
 Fungsi: Pasien dapat mengetikkan atau menulis pesan, dan
perangkat lunak akan menghasilkan suara sebagai bentuk
komunikasi.
7. Aplikasi Teks-ke-Suara:
 Contoh: Aplikasi yang mengonversi teks yang diketik menjadi
suara.
 Fungsi: Pasien dapat mengetikkan pesan, dan aplikasi akan
mengubahnya menjadi suara yang dapat didengar oleh perawat
atau anggota tim kesehatan.
8. Aplikasi Penerjemah Bahasa Isyarat:
 Contoh: Aplikasi yang dapat menerjemahkan bahasa isyarat ke teks
atau suara.
 Fungsi: Membantu komunikasi dengan pasien yang menggunakan
bahasa isyarat.

E. Resistensi dalam konteks hambatan komunikasi terapeutik.


Resistensi dalam komunikasi terapeutik merujuk pada sikap atau perilaku
yang menunjukkan ketidaksetujuan atau ketidaknyamanan pasien dalam
berkomunikasi atau terlibat dalam proses terapeutik. Ini dapat menjadi suatu
tantangan dalam membangun hubungan terapeutik yang efektif.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan resistensi dalam komunikasi


terapeutik melibatkan pasien meliputi:

1. Ketidakpercayaan: Pasien mungkin tidak merasa nyaman atau memiliki


ketidakpercayaan terhadap perawat atau sistem perawatan kesehatan.
2. Ketakutan atau Kecemasan: Pasien mungkin merasa takut atau cemas
terhadap prosedur medis, pengobatan, atau informasi yang mungkin
mereka terima.
3. Stigma atau Diskriminasi: Pasien yang merasa stigmatized atau
mendiskriminasi mungkin cenderung menunjukkan resistensi terhadap
komunikasi atau interaksi.
4. Ketidakmengertian: Pasien mungkin tidak sepenuhnya memahami
kondisi kesehatan mereka atau rencana perawatan, yang dapat
menyebabkan ketidaknyamanan dalam berkomunikasi.
5. Perasaan Tidak Diberdayakan: Pasien yang merasa tidak memiliki
kendali atau keputusan dalam rencana perawatan mereka dapat
menunjukkan resistensi.

Cara mengatasi resistensi dalam komunikasi terapeutik melibatkan:

1. Membangun Kepercayaan: Perawat perlu bekerja keras untuk


membangun kepercayaan pasien. Ini dapat melibatkan mendengarkan
dengan empati, memberikan informasi yang jelas, dan menunjukkan
kepedulian.
2. Edukasi Pasien: Memberikan edukasi yang tepat tentang kondisi
kesehatan, prosedur perawatan, dan rencana pengobatan dapat mengurangi
ketidakmengertian dan kecemasan.
3. Memberikan Dukungan Emosional: Menyediakan dukungan emosional
dapat membantu mengurangi ketakutan dan kecemasan pasien.
4. Menggunakan Bahasa yang Mudah Dipahami: Hindari penggunaan
istilah medis yang rumit dan berbicara dengan bahasa yang mudah
dipahami oleh pasien.
5. Melibatkan Pasien dalam Pengambilan Keputusan: Memberikan
pasien kontrol dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan
perawatan dapat meningkatkan rasa diberdayakan.
6. Menyesuaikan Pendekatan: Menyesuaikan pendekatan komunikasi
dengan gaya dan preferensi komunikasi pasien dapat membantu
meredakan resistensi.
7. Menghormati Nilai dan Budaya Pasien: Memahami dan menghormati
nilai dan budaya pasien dapat membantu menciptakan lingkungan yang
mendukung.

Penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki pengalaman dan


kebutuhan yang unik, sehingga pendekatan terhadap mengatasi resistensi harus
disesuaikan dengan karakteristik dan konteks spesifik dari setiap pasien.

Pilihan alat bantu komunikasi dapat bervariasi tergantung pada kebutuhan dan
preferensi individu pasien. Perawat dan tim kesehatan dapat bekerja sama dengan
spesialis untuk menentukan alat yang paling sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pasien.

F. Transferensi Dalam Hambatan Komunikasi Trapeutik

Transferensi adalah konsep psikoanalitik yang dapat memainkan peran


dalam hubungan terapeutik. Konsep ini diperkenalkan oleh Sigmund Freud dan
merujuk pada pemindahan perasaan, keinginan, dan pengalaman masa lalu
seseorang terhadap figur otoritas atau tokoh yang lebih kuat, seperti seorang
terapis. Dalam konteks hambatan komunikasi terapeutik, transferensi dapat
menjadi faktor yang mempengaruhi dinamika interaksi antara perawat dan
pasien. Berikut adalah cara transferensi dapat menjadi hambatan:
1. Pemindahan Perasaan Negatif: Transferensi dapat menyebabkan
pemindahan perasaan negatif dari pengalaman masa lalu ke dalam
hubungan terapeutik. Jika pasien memiliki pengalaman buruk atau
traumatis dengan figur otoritas di masa lalu, perasaan tersebut dapat
dipindahkan ke terapis, menciptakan hambatan dalam komunikasi.
2. Replikasi Pola Interaksi Masa Lalu: Pasien dapat memproyeksikan pola
interaksi yang mereka alami dalam hubungan masa lalu ke dalam
hubungan terapeutik. Ini dapat menciptakan kesulitan dalam mendirikan
hubungan terapeutik yang sehat dan produktif.
3. Ketidakmampuan Menyaring Pengalaman Masa Lalu: Pasien
mungkin kesulitan untuk memisahkan pengalaman masa lalu dari interaksi
saat ini. Hal ini dapat menyebabkan interpretasi yang salah terhadap
perilaku atau kata-kata perawat, menghambat komunikasi yang efektif.
4. Pemindahan Perasaan Positif: Meskipun transferensi sering dikaitkan
dengan perasaan negatif, terkadang pasien dapat memindahkan perasaan
positif ke terapis. Ini juga dapat menciptakan hambatan, terutama jika
perasaan tersebut menjadi terlalu mendalam atau tidak realistis.

Cara mengelola transferensi dalam konteks komunikasi terapeutik


melibatkan:

1. Kesadaran Terhadap Transferensi: Perawat perlu sadar akan


kemungkinan adanya transferensi dan berusaha memahami bagaimana
perasaan masa lalu pasien dapat mempengaruhi interaksi saat ini.
2. Komunikasi Terbuka dan Reflektif: Membuka jalur komunikasi terbuka
dan menciptakan lingkungan di mana pasien merasa nyaman untuk
berbicara tentang perasaan mereka adalah kunci.
3. Penjelasan dan Edukasi: Terapis dapat menjelaskan konsep transferensi
kepada pasien dan memberikan edukasi tentang cara itu dapat
mempengaruhi interaksi mereka. Ini dapat membantu pasien memahami
lebih baik perasaan mereka dan bagaimana hal itu dapat diatasi.
4. Eksplorasi Terhadap Pengalaman Masa Lalu: Terapis dapat
mendukung pasien untuk menjelajahi dan memproses pengalaman masa
lalu yang mungkin muncul dalam hubungan terapeutik.
5. Menggunakan Pendekatan Terapeutik yang Sesuai: Terapis dapat
memilih pendekatan terapeutik yang sesuai untuk mengatasi transferensi,
seperti psikodinamik, kognitif, atau behavioral, tergantung pada kebutuhan
dan preferensi pasien.

Penting untuk diingat bahwa transferensi adalah fenomena alami dalam


psikoterapi, dan manajemennya adalah bagian yang integral dari pekerjaan
terapeutik. Mengatasi transferensi dapat memperkuat hubungan terapeutik dan
membantu pasien dalam proses penyembuhan mereka.

G. Countertransference Dalam Hambatan Komunikasi Trapeutik

Kontransferens atau "countertransference" dapat menjadi faktor yang


mempengaruhi komunikasi terapeutik. Berikut adalah cara di mana konsep ini
dapat menjadi hambatan dalam komunikasi terapeutik:

1. Gangguan Keterlibatan Emosional: Jika seorang terapis terlalu terlibat


secara emosional dengan klien mereka, kontransferensi dapat
memengaruhi obyektivitas dan profesionalisme dalam memberikan
dukungan atau membimbing. Terapis perlu menyadari perasaan mereka
sendiri dan memastikan bahwa mereka tidak terlalu terpengaruh oleh
kontransferensi.
2. Kurangnya Kesadaran Diri: Jika seorang terapis tidak sadar terhadap
kontransferensi yang mereka alami, ini dapat memengaruhi persepsi dan
interpretasi mereka terhadap klien. Kesadaran diri yang kurang dapat
mengarah pada kesalahan penilaian atau respon yang tidak tepat.
3. Pemindahan Perasaan: Pemindahan perasaan klien ke terapis atau
sebaliknya dapat terjadi melalui kontransferensi. Jika terapis tidak mampu
mengelola pemindahan perasaan ini dengan baik, komunikasi terapeutik
bisa terhambat.
4. Kurangnya Empati yang Seimbang: Kontransferensi dapat
mempengaruhi tingkat empati yang diberikan oleh terapis. Jika terapis
terlalu terlibat secara emosional, ini dapat memengaruhi kemampuan
mereka untuk memberikan dukungan dan pandangan yang objektif.
5. Pengalaman Pribadi Terapeutik: Pengalaman pribadi terapis dapat
memicu kontransferensi. Jika terapis memiliki pengalaman pribadi yang
mirip dengan klien, ini bisa mempengaruhi cara mereka berkomunikasi
atau memberikan bimbingan.

Penting bagi terapis untuk menjaga kesadaran diri mereka terhadap


kontransferensi, bekerja dengan supervisor atau konsultan untuk mengatasi isu-isu
tersebut, dan terus meningkatkan kemampuan profesional mereka. Kesadaran diri
dan kemampuan untuk mengelola kontransferensi dapat membantu menciptakan
hubungan terapeutik yang lebih efektif

H. Pelanggaran batas atau boundary violation Dalam Hambatan


Komunikasi Trapeutik

"Pelanggaran batas" atau "boundary violation” merujuk pada situasi di mana


terapis melanggar atau melewati batas etika dan profesional dalam hubungan
terapeutik dengan klien. Pelanggaran batas ini dapat menjadi hambatan serius
dalam komunikasi terapeutik. Berikut adalah beberapa contoh pelanggaran batas
yang mungkin terjadi:
1. Batas Fisik: Ini melibatkan pelanggaran dalam hal kontak fisik yang tidak
pantas atau tidak profesional antara terapis dan klien. Contohnya bisa
mencakup pelukan yang tidak sesuai atau sentuhan yang tidak etis.
2. Batas Waktu: Pelanggaran batas waktu terjadi ketika terapis melewati
batas waktu sesi yang telah dijadwalkan tanpa alasan yang jelas atau ketika
terapis membatasi waktu lebih dari yang seharusnya.
3. Batas Keuangan: Ini melibatkan pelanggaran dalam hal keuangan, seperti
meminjam uang kepada klien, memberikan hadiah yang tidak pantas, atau
melakukan praktik keuangan yang merugikan klien.
4. Batas Pribadi dan Sosial: Terapis seharusnya tidak membagikan
informasi pribadi atau menerima informasi pribadi yang tidak relevan dari
klien. Melakukan ini dapat merusak profesionalisme dan menghambat
perkembangan hubungan terapeutik.
5. Batas Emosional: Terapis seharusnya tidak mengambil keuntungan dari
emosi klien untuk kepentingan pribadi mereka. Misalnya, terapis tidak
seharusnya terlibat dalam hubungan romantis atau seksual dengan klien.
6. Batas Profesionalisme: Ini melibatkan pelanggaran terhadap etika
profesional dan norma-norma perilaku dalam praktek terapeutik. Ini bisa
termasuk memberikan nasihat yang tidak sesuai atau menyebabkan
kerugian klien.

Pelanggaran batas dapat merusak kepercayaan dalam hubungan terapeutik


dan dapat menghambat proses terapeutik. Oleh karena itu, sangat penting bagi
terapis untuk memahami dan mematuhi batas etika dan profesional dalam
praktek mereka. Mereka juga seharusnya memiliki pemahaman yang baik
tentang kode etik dan norma-norma perilaku yang berlaku dalam bidang terapi.
Jika terjadi pelanggaran batas, penting untuk segera menangani situasi tersebut
dan, jika diperlukan, melibatkan supervisor atau badan etika profesional.

I. Pemberian hadiah
Pemberian hadiah dalam konteks terapi harus diatur dengan hati-hati dan
mematuhi etika profesional serta batas-batas yang telah ditetapkan. Meskipun
memberikan hadiah mungkin dimaksudkan sebagai tindakan baik atau
ungkapan terima kasih, dapat menjadi hambatan dalam komunikasi terapeutik
dengan beberapa cara:

1. Ketergantungan Emosional: Pemberian hadiah tertentu, terutama yang


bernilai tinggi atau sangat pribadi, dapat menciptakan ketergantungan
emosional antara klien dan terapis. Ketergantungan ini dapat mengganggu
perkembangan kemandirian dan pertumbuhan klien.
2. Keseimbangan Kuasa yang Tidak Sehat: Pemberian hadiah yang tidak
tepat dapat merubah keseimbangan kuasa dalam hubungan terapeutik.
Terapis memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa hubungan
tersebut tetap seimbang dan berpusat pada kebutuhan klien, bukan
keinginan atau ekspektasi terapis.
3. Kesulitan Menetapkan Batas: Pemberian hadiah dapat mengaburkan
batas-batas profesional yang seharusnya ada antara terapis dan klien. Ini
dapat menyulitkan untuk mempertahankan peran dan batas-batas etika
yang sesuai.
4. Persepsi Tidak Adil di Antara Klien: Jika terapis memberikan hadiah
kepada satu klien tetapi tidak kepada yang lain, atau jika hadiah tersebut
dianggap tidak setara, ini dapat menciptakan persepsi ketidakadilan di
antara klien-klien tersebut.
5. Mengarah pada Konflik Etika: Pemberian hadiah tertentu, terutama
yang bersifat materi atau pribadi, dapat bertentangan dengan kode etik
profesi terapis. Oleh karena itu, terapis perlu memahami aturan dan
panduan etika yang berlaku dalam praktik terapeutik mereka.

Jika seorang terapis memutuskan untuk memberikan hadiah kepada klien,


penting untuk mempertimbangkan beberapa hal, seperti:
 Nilai dan Sifat Hadiah: Pastikan hadiahnya sesuai dengan nilai dan etika
profesional yang dianut dalam praktek terapi.
 Transparansi dan Konsensus: Diskusikan niat dan tujuan pemberian
hadiah dengan klien, dan pastikan ada pemahaman bersama dan
persetujuan.
 Batas Profesional: Pastikan bahwa pemberian hadiah tidak melewati
batas-batas profesional dan tidak merusak hubungan terapeutik atau proses
terapeutik.

Selalu dianjurkan bagi terapis untuk berkonsultasi dengan kode etik


profesi mereka dan, jika memungkinkan, untuk mempertimbangkan saran dari
supervisor atau konsultan etika dalam konteks pemberian hadiah kepada klien.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dalam mengatasi hambatan dalam pengaplikasian komunikasi terapeutik,


perlu adanya kesadaran dan upaya bersama dari praktisi kesehatan, pasien, dan
sistem perawatan kesehatan. Strategi yang sesuai dan terfokus dapat
meningkatkan efektivitas komunikasi terapeutik, yang pada gilirannya akan
meningkatkan hasil perawatan.

Anda mungkin juga menyukai