Anda di halaman 1dari 6

Fikih Media Sosial

Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi


(Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah)
Dalam pengetian modern, istilah fikih telah mengalami pergeseran makna, dari sekedar
kumpulan hukum-hukum yang bersifat furū’ (cabang) menjadi sebuah kumpulan nilai, kaidah dan
prinsip dalam beragama. Khusus di Indonesia, pengertian ini misalnya tampak dari produk ijtihad
yang dihasilkan Majelis Tarjih Muhammadiyah: ada fikih anti-korupsi, fikih tata kelola organsisasi,
fikih ulil amri, fikih air dan yang paling baru, fikih anak. Pengertian fikih dalam nomenklatur
tersebut bukan sekedar kumpulan tentang halal-haram korupsi, organisasi, ulil amri, air atau anak,
tapi ia lebih dari itu: mencakup nilai, kaidah dan juga prinsip beragama dalam melihat persoalan-
persoalan tersebut.
Dalam pembacaan Syamsul Anwar terhadap berbagai literatur fikih dan usul fikih, ia sampai
pada kesimpulan bahwa hukum Islam itu terdiri atas norma-norma berjenjang (berlapis). Ada tiga
lapis norma dalam hukum Islam, yaitu (1) peraturan-peraturan hukum konkret (al-aḥkām al-
farʻiyyah), (2) asas-asas umum (al-uṣūl al-kulliyyah), dan (3) nilai-nilai dasar (al-qiyām al-
asāsiyyah). Nilai-nilai dasar hukum Islam adalah nilai-nilai dasar agama islam itu sendiri, karena
hukum Islam berlandaskan nilai-nilai dasar Islam. Dari nilai-nilai dasar itu diturunkan asas-asas
umum hukum Islam. Kemudian dari asas umum itu diturunkan peraturan hukum konkret. Peraturan
hukum kongkret inilah yang kita kenal hari ini sebagai produk fikih (dalam pengertian yang belum
diperluas), atau yang oleh orang awam sering diidentikkan dengan peraturan hitam-putih agama.
Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa suatu peraturan hukum kongkret itu
berlandaskan kepada atau dipayungi oleh asas umum dan asas umum itu pada gilirannya
berlandaskan kepada atau dipayungi oleh nilai dasar. Nilai dasar agama dapat kita temukan dalam
teks-teks keagamaan baik secara harfiah maupun implisit. Sebagai contoh misalnya nilai dasar
persamaan (equality). Dari nilai dasar ini dapat diturunkan asas umum hukum Islam dalam
kehidupan politik bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak politik yang sama. Dari asas
umum “kesamaan hak politik lelaki dan perempuan” ini diturunkan peraturan konkret (al-aḥkām al-
farʻiyyah) bahwa boleh hukumnya perempuan menjadi presiden.
Perluasan makna fikih membuka jalan bagi kita untuk memberikan pemecahan bagi suatu
masalah (ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lain-lain) melalui pendekatan agama secara lebih
luwes dan fleksibel — tidak kaku dan hitam-putih. Dengan mengaplikasikan apa yang disebut
Syamsul Anwar sebagai teori pertingkatan norma itu kita dapat mengubah paradigma fikih yang
selama ini selalu dikesankan hitam-putih, menjadi lebih ‘berwarna’ dan variatif. Paradigma fikih
baru itu pula yang perlu kita terapkan dan kita jadikan asas dalam gaya berkehidupan kita hari ini
dalam media sosial.
Media sosial hari ini telah menjadi dunia baru bagi masyarakat untuk berkomunikasi dan
mencari informasi. Kemajuan teknologi telah membawa kita pada fenomena baru dalam
berinteraksi menggunakan media-media sosial yang dapat menghubungkan satu orang dengan orang
lain di tempat yang berbeda. Tidak jarang sebuah informasi menyebar begitu sangat cepat dalam
hitungan tak sampai menit. Dunia baru bernama media sosial telah merobek sekat-sekat budaya dan
geografis dengan amat bebas. Sayangnya, kebebasan ini acap kali tidak dibarengi dengan akurasi,
ketelitian, integritas dan keadilan dalam penyampaian berita. Kita tentu sangat gerah setiap kali
membuka media sosial disuguhi fitnah-fitnah dari orang yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi
jika ada berita hoax yang disebarkan untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Semua ini memang merupakan konsekuensi dari kebebasan yang disuguhkan oleh media
sosial. Tapi tentu sebagai orang beragama dan orang Indonesia yang masih memegang erat adat
ketimuran, kebebasan semacam itu telah kebablasan dan dapat mengancam salah satu prinsip
pancasila, yaitu persatuan bangsa. Di sinilah kemudian pendekatan agama perlu dilakukan untuk
melihat dan pada gilirannya memberikan pedoman dalam berkehidupan di dunia baru media sosial.
Suara agama dalam penyelesaian masalah masih cukup efektif, karena ia diyakini masih menjadi
sumber pengarahan tingkah laku yang harus dipedomani. Fikih media sosial dalam hal ini dapat
diterjemahkan menjadi sumber pengarahan tingkah laku masyarakat sebagai solusi keagamaan
dalam menghadapi masalah tersebut. Fikih ini nantinya berisikan nilai, prinsip dan kaidah tentang
bagaimana seharusnya kita memanfaatkan dan menggunakan media sosial sebagai dunia baru kita.
Sebagai permulaan barangkali dapat kita awali dari bagaimana etika dan prinsip dalam menerima
sekaligus menyebarkan suatu informasi. Misalnya saja kita dapat mengambil nilai dasar tabayun
yang secara eksplisit digambarkan dalam al-Quran pada surat al-Hujurat ayat 6. Dari nilai dasar itu
dapat diturunkan asas umum dalam kehidupan komunikasi media sosial berupa “transparansi dan
klarifikasi berita.” Dari asas umum ini pada gilirannya diturunkan menjadi peraturan kongkret
tentang larangan menyebarkan suatu berita sebelum diketahui validitas sumbernya.
Setelah nilai dasar tabayun, kita dapat menggali lebih banyak lagi nilai dasar Islam yang dapat
dijadikan acuan, seperti prinsip keadilan sebagai dasar untuk membuat asas umum dalam menerima
informasi secara berimbang, prinsip ukhuwah (persaudaraan) sebagai dasar untuk melandasi asas
umum kesopanan dan kesantunan dalam berdiskusi, dan lain sebagainya.
Rumusan fikih media sosial itu tentu tidak boleh disusun secara sembarangan. Tulisan ini
hanya sekedar pemantik untuk mewacanakan pentingnya pedoman dalam menjalani kehidupan baru
di media sosial yang rawan fitnah dan caci maki. Fitnah dan caci maki itu telah tebukti terjadi hari
ini. Jika suasana tak sehat itu terus dibiarkan, dikhawatirkan akan berujung pada kemudaratan yang
jauh lebih besar, tidak hanya bagi satu dua orang, tapi bagi kita semua. Organsisasi Islam seperti
Muhammadiyah dan NU sebagai representasi penjaga dan pengawal moral umat dapat menjadi
pelopor untuk membuat fikih media sosial. Jika telah terealiasasi, insya Allah fikih tersebut dapat
menjadi kompas umat untuk menjalani kehidupan baru: kehidupan media sosial.

Pedoman Bermedia Sosial Bagi Warga Muhammadiyah


Media Sosial (Social Media) merupakan saluran atau sarana interaksi sosial secara online di
dunia maya (internet), Twiter, Facebook, Instagram, Whatsapp atau media sosial lainnya,
merupakan bentuk media sosial yang saat ini mendominasi penyebaran informasi secara online.
Para pengguna media sosial lebih dikenal sebagai netizen, sedangkan kelompok netizen di
Muhammadiyah disebut sebagai NetizMu. Dalam praktiknya NetizMu melaksanakan peran sebagai
pemberi dan penerima informasi secara online dan dunia pers online. Dunia pers online merupakan
sarana masyarakat untuk memperoleh dan memenuhi informasi berkomunikasi guna memenuhi
kebutuhan serta meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Maka, sejatinya NetizMu memiliki hak kebebasan berpendapat, berekspresi yang
berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
PBB. Pada kehidupan nyata maupun dunia maya ada tanggung jawab sosial dan moral sebagai
landasan etis untuk menghormati hak dan kewajiban sesama Netizen/NetizMu .
Di kehidupan nyata maupun dunia maya ada tanggung jawab sosial dan moral sebagai
landasan etis untuk menghormati hak dan kewajiban sesama Netizen/NetizMu. Untuk menjamin
dan menjunjung tinggi tanggung jawab sosial dan moral serta saling menghormati hak dan
kewajiban Netizen yang lain, NetizMu menetapkan dan menaati kode etik NetizMu :

Pasal 1
Netizmu senantiasa berlandaskan pada al Quran dan as Sunnah, kebijakan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, peraturan perundangan dan kode etik jurnalistik dalam bermedia sosial.

Pasal 2
1) Netizmu wajib berdakwah dengan membela agama Islam dan Muhammadiyah sebagai gerakan
dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid.
2) Netizmu wajib menjaga nama baik dan mendukung Persyarikatan Muhammadiyah di dunia
maya dalam hal ini termasuk juga para pimpinan, warga dan Amal Usaha Muhammadiyah.

Pasal 3
Netizmu dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut :
1) Melakukan ghibah, fitnah, namimah, melakukan bullying, ujaran kebencian, dan menyebarkan
permusuhan berdasarkan suku,agama, ras, atau antar golongan (SARA)
2) Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala yang terlarang secara syar’i
3) Menyebarkan informasi bohong (hoax), manipulasi berita dan tindakan provokatif.

Pasal 4
1) Netizmu wajib menjadikan media sosial sebagai wahana silaturahmi, tukar informasi dan
tabayun (klarifikasi).
2) Sesama Netizmu harus saling berteman menjadi follower sebagai bentuk silaturahmi dan
menjaga ukhuwah.
3) Sesama Netizmu harus saling mengingatkan, menasehati dengan etika yang tinggi sebagimana
ajaran Islam, sanggup mengoreksi dan meminta maaf ketika melakukan kesalahan.

Pasal 5
Materi yang disebarkan Netizmu harus mencerahakan dan dapat dipertanggung jawabkan secara
personal dan kelembagaan yang tidak bertentangan dengan norma sosial, sesuai nilai-nilai
keislaman dan keIndonesaian.

Pasal 6
1) Pengawasan Netizmu dilakukan oleh Dewan Etik Netizmu yang ditunjuk oleh Majelis Pustaka
dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
2) Dewan Etik Netismu terdiri dari 5 (lima) orang yang memiliki integritas dan komitemen dalam
berMuhammadiyah serta memahami dunia media sosial.
3) Dewan Etik Netizmu berwenang memberikan sanksi kepada Netizmu apabila diperlukan

Di tetapkan di Yogyakarta, 19 Agustus 2017.


Era modern tanpa batas membuat setiap orang mudah terhubung satu sama lain. Namun di sisi lain,
banyak kejelekan di balik kemajuan tersebut. Islam sebagai agama akhir zaman selalu menuntun
manusia pada kebaikan, pun dalam aktivitas media sosial.

Ada etika yang harus diperhatikan ketika bermedsos ria. Pasalnya, bermain media sosial ibarat
menghunus sebuah pedang. Jika salah mengayunkannya, maka kita sendiri yang akan tertebas.
Sedikitnya ada 10 etika yang mesti diperhatikan agar tak salah langkah dalam menjelajah akses
internet yang canggih tersebut.

1.Muraqabah

Etika pertama yakni merasa selalu diawasi oleh Allah. Apapun yang kita posting, termasuk niat
dibalik postingan tersebut, sadarilah selalu bahwa semua itu diketahui oleh Sang Maha Tahu.
Dengan selalu merasa diawasi Allah, maka pastilah kita takut melanggar batasan-batasan agama
dalam memanfaatkan medsos.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Jika kamu menampakkan sesuatu atau


menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-
Ahzab: 54).

2.Hisab

Ingatlah selalu bahwa ada hisab atau perhitungan atas setiap apa yang kita lakukan, meski seberat
dzarrah. Setiap kalimat, foto, video yang kita unggah, akan dipertanyakan kelak di akhirat. Allah
berfirman, “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat Dzarrah, niscaya dia akan melihat
balasannya. Barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar Dzarrah, niscaya dia akan melihat
balasannya.” (QS. Az-Zalzalah: 7-8).

3.Istifadah
Yakni menggunakan sarana yang ada untuk diambil manfaatnya. Jika media sosial bermanfaat bagi
kehidupan kita, maka tak ada salahnya untuk memanfaatkannya. Namun jika medsos justru
membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya, maka etika seorang muslim pastilah
menghentikan aktivitas tersebut.

Rasulullah bersabda, “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan perkara
yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At Tirmidzi).

4.Bertanggung jawab

Menggunakan medsos berarti kita bertanggung jawab atas semua yang diposting ke publik,
termasuk saat follow, share, Iike, retweet, repost, comment dan lain sebagainya. Seorang muslim
beretika baik akan berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu atau menanggapi sesuatu. “Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan
hati akan diminta pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)

5.Menjaga batasan pergaulan


Batasan ini terkhusus pada hubungan antara pria dan wanita. Meski tidak bertatapan langsung,
medsos mampu membawa jerat-jerat penyakit hati di setiap interaksi lawan jenis. Maka batasilah
interaksi dengan lawan jenis yang bukan mahram dan yang tak ada keperluan penting dengannya.

6.Memperhatikan pertemanan

Berteman di medsos mestilah mempertimbangkan kebaikan dengan timbangan ilmu syar’i. Jangan
Bermudah-mudahan mengikuti status seseorang yang tak jelas kebaikannya. Ibnu Mas’ud pernah
memberikan nasihat, “Jika engkau sekedar menjadi pengikut kebaikan, maka itu lebih baik daripada
engkau menjadi panutan dalam kejelekan.” (Kitab Al Ibanah).

7.Wasilah

Etika muslim berikutnya yakni menjadikan medsos sebagai penghantar atau sarana atau wasilah
kepada kebaikan. Artinya, manfaatkanlah medsos untuk menebar kebaikan. Sebagai contoh,
memposting ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, kata mutiara para shahabat Rasulullah, permasalahan
agama dan lain sebagainya.

8.Tidak lalai

Inilah yang sering luput jika sudah asyik bermain medsos. Kita mudah terlalaikan hingga waktu
yang berhaga terbuang begitu saja.

9.Mengumpulkan kebaikan

Etika muslim dalam bermedia sosial dengan menjadikannya sebagai sarana pengumpul ilmu dan
kebaikan. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang memberi teladan dalam agama ini suatu
kebaikan, maka baginya pahala setiap orang yang mengamalkannya hingga hari Kiamat tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun.”

10.Ikhlas

Selalu menjaga keikhlasan menjadi salah satu etika yang harus dilakukan muslimin saat bermedia
sosial. Termasuk didalamnya agar tidak memposting sesuatu dengan maksud ria. Rasulullah
bersabda, “Barangsiapa yang mampu merahasiakan amal salehnya, maka hendaknya ia lakukan.”
(HR. Al Khatib)

Ibnu Rajab pernah berkata, “Tidaklah seseorang yang ingin dilihat itu mencari perhatian makhluk.
Akan tetapi mereka melakukannya akibat kejahilan (kebodohan) diri akan keagungan Sang Khalik.”

Dengan melaksanakan 10 etika ini, maka media sosial yang sejatinya berbahaya dapat menjadi
sebuah anugerah bagi manusia. Kemajuan teknologi tentu bersifat memudahkan kehidupan
manusia. Namun kemajuan tersebut harus dibarengi dengan ilmu syar’i dan akhlakul karimah. Mari
beretika muslim saat memanfaatkan media sosial

Anda mungkin juga menyukai