Pembimbing Lahan
11-14 85
Lebih dari 15 65
c. Kulit
1. Suhu kulit pada hipertermia kulit pada terbakar
panas akan tetapi setelah hipertermia teratasi kulit
anak akan teraba dingin.
2. Turgor kulit menurun
3. Thorax dan paru
Ispeksi : Pernafasan dangkal
Palpasi : Adanya nyeri tekan, peningkatal vokal
fremitus pada daerah tertekan.
Perkusi : Pekak terjadi apabila terisi cairan pada
paru, normal timpani (terisi udara) resonansi
Auskultasi : Suara nafas yang meningkat intensitasnya,
suara bronchial pada daerah yang terkena, ada suara
tambahan ronchi inspiratoir pada sepertiga akhir inspirasi.
(Riyadi dan Sukarmin, 2009)
2) Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif b.d spasme jalan nafas
2. pola nafas tidak efektif b.d Hambatan Upaya napas
3. Intolransi aktifitas b.d Kelemahan
3) Intervensi Keperawatan
Diangnosa Tujuan Kriteria Hasil Intevensi Keperawatan
Bersihan Setelah di lakukan nya Observasi :
Jalan intervensi selama 3 X 24 1. Identifikasi indikasi
Nafas jam diharapkam bersihan dilakukan fisioterapi
TIdak jaln nafas meningkat dada (mis: hipersekresi,
Efektif dengan kriteria hasil sputum, sputum kental
1. Batuk efektif (skala 5; dan tertahan, tirah
meningkat) baring lama)
2. Produksi sputium 2. Identifikasi kontra
(skala5; menurun) indikasi fisioterapi dada
3. Mengi (skala 5; (mis: ekserbasi PPOK
menurun) akut,
4. Wheezing (skala 5; pneumonia tanpa
menurun) produksi sputum
5. Dyspnea (skala 5; berlebih, ca paru-
menurun) paru)
6. Ortopnea (skala 5; 3. Monitor status
menurun) pernapasan (kecepatan,
7. Sulit bicara (skala 5; irama, suara,
menurun) kedalaman)
8. Sianosis (skala 5 4. Periksa sekmen paru
menurun) yang mengandung
9. Gelisah (skala 5; sekresi berlebih
menurun) 5. Monitor jumlah dan
10. Frekuensi nafas karakter sputum
(skala 5; membaik) 6. Monitor toleransi
11. Pola nafas (skala 5; selama dan setelah
membaik) prosedur
Terapeutik :
1. Posisikan apasien
sesuai dengan area
paru yang mengalami
penumpukan sputum
2. Gunakan bantal untuk
mengatur posisi
Lakukan perkusi
dengan posisi telapak
tangan di tnangkupkan
3-5
menit
4. Lakukan fibrasi
dengan posisi telapak
tangan rata
bersamaan ekspirasi
melalui mulut
5. Lakukan fisioterapi
dada setidaknya 2 jam
setelah makan
6. Hindari perkusi pada
tulang
belakang,ginjal,
payudara wanita,
insisi, dan tulang
rusuk patah
7. Lakukan penghisapan
lendir untuk
mengeluarkan sekret
jika perlu
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur fisioterapi
dada
2. Anjurkan batuk
segera setelah
prosedur selesai
3. Ajarkan inspirasi
perlahan dan dalam
melalui hidung
3. selama proses
fisioterapi dada
Pola napas Setelah di lakukan Observasi:
tidak efektif intervensi selama 3 X24 1. monitor pola nafas
jam di harapkan pola napas 2. monitor bunyi nafas
membaik dengan kriteria 3. monitor sputum
hasil Terapeutik:
1. Dispnea menurun 1. pertahankan kepatenan
2. penggunaan otot bantu jalan nafas
nafas menurun 2. posisikan semi fowler
3. pemanjangan fase atau Fowler
ekpirasi menurun 3. berikan minum hangat
4. frekuensi nafas 4. lakukan fisioterapi dada,
Membaik jika perlu.
5. kedalaman nafas 5. lakukan penghisapan
membaik lendir kurang dari 15 detik.
6. Lkukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
7. keluarkan sumbatan
benda padat deengan fospen
MoGill
8. berikan ksigen
Edukasi :
1. Anjurkas asupan cairan
2000 ml/hari, jika tidak ada
kotrak indikasi.
2. anjurkan tekhnik batuk
efektif
Kolaborasi :
1. kolaborasikan pemberian
bronkodilator ,ekpraektoran,
mukolitik,jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
PPNI. (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan
IndikatorDiagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
TindakanKeperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C. 2011.
Executive summary: The management of community-acquired
pneumonia in infants and children older than 3 months of age: Clinical
practice guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the
Infectious Diseases Society of America. Clin Inf Dis. 53(7):617-630.