Anda di halaman 1dari 6

Elan: Bagaimana guru di SMK Al-Hasan mengintegrasikan konten multikultural dalam

pembelajaran mereka, dan dapatkah anda memberikan contoh konkretnya?

Bapak Pertama: Sebetulnya sih gak terlalu berkonsep atau bagaimana ya kalau di sekolah,
karena yang paling utama di sekolah itu adalah bahasa (komunikasi) itu rata²nya kalau di sekolah
itu kan memakai Bahasa indonesia. sehingga saya kira walaupun beda² daerah, suku, maupun
bahasa, ketika guru menjelaskan menggunakan bahasa yang umum saya kira itu tdk menjadi
sesuatu yang sulit. Nah biasanya yang agak sulit itu ketika di pesantren. Kalau di pesantren
karena basicnya tradisional kemudian kitab² yang dikajinya itu rata² masih pakai bahasa sunda
nah itu menjadi problem dan tantangan ketika ustad menjelaskan terkait materi tersebut. Kalau di
sekolah saya kira pada umumnya tidak begitu terkait multikultural karena satu bahasa yang sama
yaitu bahasa indonesia.

Justru kalau di pesantren itu lebih sulitnya. Karena kan gini ketika ada di satu jawa barat saja,
misal jawa barat Cirebon dan indramayu. Ketika mengaji kadang ada bahasa yang kurang
dipahami, terutama di Al-Hasan ada siswa/santri yang dari pulau Jawa.

Didan: yang saya tanggapi dari jawaban bapak yaitu dengan keseragaman bahasa ya untuk
mempermudah siswa itu menangkap apa yg disampaikan oleh guru itu sendiri, jadi satu bahasa
gitu. Saya rasa itu juga menecerminkan mengenai pertanyaan tadi. Jadi konsep multikultural ini
untuk menghargai perbedaan misalnya di daerah ke dalam mata pelajaran dengan cara guru itu
menyampaikan dengan bahasa Indonesia, jadi tidak dibeda²kan. Jadi ya si siswa itu menjadi
paham gitu dalam penyampaian guru tersebut meskipun ia berbeda daerahnya.

Kepsek: Ya justru kalau observasi ke pesantren terutama pesantren tradisional, kemudian


santrinya itu lebih beragam itu menjadi tantangan bagi guru dan ustad, terkadang kan dalam
mengaji kitab kuning itu memakai bahasa sunda. Sehingga ketika harus di transelete ke
b.indonesia bisa jadi gak paham untuk guru ataupun sebaliknya. Nah tapi kalau di sekolah karena
bahan ajarnya itu b.indonesia, dengan bahasa yang sama saya kira bisa saya katakan tidak ada
hambatan lah. Ya walaupun misal katakanlah sama² bisa bahasa indonesia tapi ketika siswa
memahaminya itu bisa beragam. Nah disini para guru harus bisa se-kreatif mungkin untuk
berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa.
Pak Kepala: Kalian kan nanti jadi guru ya. Nah Paling susah itu bagaimana caranya mentransfer
yang ada di kepala guru mudah dipahami oleh orang lain (siswa). Terkadang guru itu masih
berusaha untuk memperlihatkan bahwa "saya itu bisa", dengan berbagai bahasa yang pada
akhirnya materi yang disampaikan ke siswa kurang terserap. Seharusnya jadi guru itu kan tidak
boleh pintar sendiri (Ya Maksudnya lebih ke misal pendidikan kita itu sampai S3, tapi ketika kita
berbicara orang lain gak paham apa yang telah disampaikan oleh kita).

Wida: Bagaimana pendidik di SMK Al-Hasan membantu peserta didik dalam kontruksi
pengetahuan multikultural, terutama dalam memahami berbagai Perspektif?

Guru sekaligus kurikulum: kan sebetulnya di awal pembelajaran / di awal tahun ketika siswa
masuk ada yang namanya wawancara, itu biasanya ada yang bernama tes untuk mengetahui
kemampuan dasar siswa. Karena kita jurusannya Desain Grafis jadi biasanya di awal kita tes
mengenai Desain grafis. Jadi siswa di tes dulu tanpa dijelaskan mengenai Desain grafis, nah dari
hasil tersebut ketahauan mana yang punya bakat dalam Desain grafis dan mana yang punya bakat
di film.

Didan: Barang kali seperti ini ya pak di SMK Al-Hasan ini ada bidang apa saja?

Guru kurikukum: Ada Desain grafis dan ……….

Didan: oh jadi ada jurusan?

Guru kurikulum: iya 2 jurusan

Didan: Ya tadi ikut mengaitkan dari pertanyaan tadi sudah jelas dengan pada waktu awal
ditentukan siswa itu ahli dalam bidang apa. Tadi konsep multikultural itu ada yang berbeda pada
siswa itu, tapi ya SMK al-Hasan itu mempunyai cara dengan bagaimana si perbedaan itu tidak
menjadi perbedaan malah emang menjadi sebagai anugrah (jadi intinya tidak dibedakan).
Mungkin cara guru itu untuk membangun bahwa konsep multikultural atau perbedaan dalam
siswa itu "OH misalnya siswa ini berbeda, tetapi emang tidak dibedakan".

Guru kurikukum: Ya Sebetulnya dari prioritas juga bisa dilihat kemanasi kemampuan arah siswa,
tetapi ketika di kelas tidak ada istilah mempesialkan anak (dengan alasan sudah punya basic).
Jadi kesimpulannya ketika di dalam kelas tidak ada istilahnya kami menganggap "ini siswa yang
pintar nih, siswa ini lebih bagus nih".
Didan: Barang kali pak seperti kasus-kasus di dunia pendidikan yang emang sedang viral ya
seperti bulliying. Jadi langkah apa yang bapak lakukan untuk mencegah hal tersebut karena
kasus tersebut bisa dikatakan pelanggaran terhadap konsep multikultural. Bagaimana sih cara
pencegahannya terhadap hal itu?

Guru kurikulum: yang saya pahami Sebetulnya buli itu kalau zaman saya sih Sebetulnya
mungkin kaya bercanda. Cuma pada saat ini kata² buli itu nadanya sesuatu yang apa gitu kan.
Zaman dulu kan hal-hal tersebut udah biasa kan. Namun pada saat sekarang ini kan seperti
bercanda itu sudah dijadikan hal yang besar gitu kan. Untuk menghindari buli Sebetulnya susah.
Soalnya kan pertama apalagi di santri gitu kan, santri yang berasal dari berbagai daerah,
mempunyai sifat² yang berbeda kemudian disatukan dalam satu komunitas. Katakanlah kalau di
pondok kan misalnya 30 orang. Ketika awalnya mungkin sama orang tua, kemudian pindah ke
pondok (hidup di kobong dengan orang yang banyak) pasti akan banyak sifat yang berbeda.
Maka muncullah dengan mereka berusaha untuk seraga masing². Kalau misalnya yang di rumah
tidak begini, tapi ketika di kobong saling lempar kata dan sebagainya. Justru yang harus
dilakukan sekarang Sebetulnya menghilangkan buli mungkin tidak bisa, karena sesama guru juga
suka ada bercandanya (tergantung perspektif kita gitu kan) dan menurut saya sih solusinya
adalah dimana si siswa itu bisa kuat (misal tidak karena disebut apa gitu kan anaknya langsung
down atau mengadu). Jadi dalam hal ini harus dikuatkan daya juang mereka kuat (jadi istilahnya
bercanda sedikit dibilangnya ini pembulian, padahal kan ini cuma sekedar berbicara). Jadi saya
melihatnya seperti, kalau dulu bercanda itu sudah biasa, tapi kalau sekarang bercanda tuh
kesannya ini tuh pembulian nih. Kalau disekolah sebetulnya kan untuk menghindari hal tersebut
kan ada yg namanya wali kelas dan ada BK juga yang fungsinya untuk menghindari hal-hal buli
yang sifatnya fisik.

Nazila: bagaimana Bapak seorang pendidik itu memfasilitasi atau hak² merata pada siswa
tanpa memandang latar² masing²?

Guru kurikukum: pertama yaitu ya kami tidak membedakan siswa di kelas, jadi siswa berhak
mendapatkan pelajaran yang sama. Kalau di sekolah di SMK tidak ada istilahnya ini mah berasal
dari keluarga kaya, jadi mereka mendapatkan hak yang sama. Yang membedakannya mungkin
bagaimana siswa nanti menanggapi proses dalam pembelajaran tersebut, karena mungkin
endingnya akan beda walaupun guru memberikan hal yang sama, memberikan saran yang sama,
tapi di tengah² kah prosesnya mungkin berbeda.

Revani: bagaimana budaya di smk ini diberdayakan untuk merespon perbedaan yang
berada di peserta didik ini, lalu apakah ada kebijakan ataupun struktur sosial tertentu
yang mendukung hal tersebut?

Didan: Misalnya gini pak ada kebijakan secara khusus tentang merespon berbagai perbedaan
yang ada, entah itu memang kan dominan tuh yang daerah gitu ataupun misalkan dari keluarga
yang berada. Jadi adakah kebijakan yang khusus untuk siswa itu supaya tidak memandang beda
gitu terhadap hal tersebut.

Bapak Pertama: Kalau kebijakan secara khusus berupa peraturan sih tuh tidak ada tapi lebih ke
etika moral saja, dan hal ini juga sering disampaikan oleh pimpinan yayasan pesantren jangan
sampai guru dalam hal ini pilih2 terhadap siswanya, jadi intinya berikan porsi sesuai
kemampuan. Adapun prakteknya diberikan secara materi di awal² secara sama. Kemudian nanti
kalau ada siswa yang secara kemampuan masih kurang mungkin nanti akan tetep diberi
kesempatan, sehingga harapan guru dari awal memberi porsi yang sama.

Kemudian kepada siswa yang kurang menerima porsi memberikan kesempatan yang sama
sehingga harapannya output atau akhirnya itu bisa sama antara siswa yang cepat berpikir dan
siswa yang lambat berpikir. Tapi itu kembali kepada siswa, kadang ada siswa yang tidak tahu
tapi dia tidak berusaha untuk ingin tahu nah itu masalahnya. Jadi guru disini tetap memberikan
kesempatan yang sama kepada para siswa

Didan: Untuk di SMK ini Pak sudah menerapkan kurikulum merdeka?

Bapak kurikulum: Sebetulnya di kelas 10 di awal pernah. Cuma belum sampai ke kelas 12, jadi
ya kita masih menggunakan kurikulum 2013.

Didan: jadi ya walaupun masih belum optimal tentang penerapan kurikulum merdeka,
yang saya ketahui serta rekan² itu kan ada yang istilahnya P5, yang mana didalamnya itu
ada kebhinekaan global. Jadi bagaimana contoh konkret nya mengenai projek P5 itu?

Guru pertama: Kalau secara langsung sih tidak ada program P5

Guru kurikukum: pertama karena tidak ada program P5 yaitu karena masih kurtilas gituh
Bapak kepala: jadi kurikulumnya itu baru dikenalkan oleh pengawas, jadi istilahnya baru hanya
sekedar perkenalan. Ya kenapa kami seperti itu, karena ya kami juga mendapatkan arahan dari
pengawas seperti itu. Sebetulnya kurikukum merdeka itu hanya perbedaan administrasi. Jadi ya
kami mengikuti arahan pengawas, sampai saat ini belum terjun, jadi baru hanya sekedar
mengenal. Mungkin nanti kalau sudah diwajibkan baru kami menginjak kesana. Ya walaupun di
kelas 10 masih sedikit-sedikit lah kami menerapkan kurikulum merdeka. Tapi tetap secara umum
yang dipakai itu kurikulum 2013.

Didan: Tadi disinggung ya pak mengenai bahwa kan murid itu mempunyai kesukaan yang
berbeda² dan katakanlah itu minat, sedangkan ada bakatnya juga. Lalu kan guru itu harus
bisa melihat gitu potensi muridnya itu misalnya tadi dalam b.inggris ada siswa yang suka
terhadap pelajaran tersebut, tapi siswa tersebut tidak suka terhadap mata pelajaran yang
lain. Nah bagaimana cara guru itu menindak lanjuti hal tersebut?

Guru kurikulum: Ya disini saya juga termasuk guru b.inggris, tapi disini saya tidak menjasti
bahwa yang kurang dalam b.inggris itu tidak senang karena saya yakin kalau kita menggunakan
pembelajaran menyenangkan buat anak ya bisa jadi yang tadinya tidak senang bisa jadi senang.
Contohnya saya, saya dulu tidak suka bahasa inggris, tapi ketika dikenakan sesuatu yang
membikin saya itu senang terhadap b.inggris jadi pada akhirnya ya saya tertarik. Jadi kesananya
guru harus bisa membuat pelajaran yang menarik sehingga akan membangkitkan yang namanya
rasa penasaran. Jadi kalau misalnya pembelajarannya menoton terus, nantinya juga siswa-siswa
tersebut juga akan kurang semangat.

Didan: jadi pak bisa dicontohkan misalnya seperti apa media atau metodenya gitu?

Guru kurikukum: kalau media dan metode pembelajaran banyak lah, ya mungkin untuk bisa
membangkitkan rasa semangat kepada anak. Ya pertama² mungkin harus mempersiapkan salah
satunya sarananya dulu. Apalagi kan sekarang wali kelas menggunakan media pembelajaran
yang beragama contohnya seperti infokus. Siswa di SMK juga boleh memegang hp, jadi mereka
juga suka menggunakan aplikasi untuk mendukung pembelajaran yang kesannya itu tidak
menoton.

Kemudian yang kedua dalam penilaian juga kebetulan di kita sedang menggunakan squairi
sebagai media pembelajaran yang didalamnya itu salah satunya bisa memberikan quis.
Didan: bagaimana penerapan konsep multikultural PAI?

Guru PAI: Istilahnya itu kan di SMK ini siswanya itu tidak dari satu daerah, salah satunya ada
dari NTT. Contohnya mungkin ketika dalam pembelajaran orang NTT dari segi pembelajaran
harus memakai bahasa indonesia, kalau tidak memakai bahasa indonesia ya orang NTT itu malah
bengong (tidak paham apa yang dibicarakan guru tersebut). Tapi seiring berjalannya waktu
insyaallah paham penerapan-penerapan mengenai hal tersebut tuh.

Namun ketika berinterkasi dengan teman, malah yang lebih cepat itu ketika berinterkasi dengan
temanya itu. Contoh orang NTT tadi ketika berinterkasi dengan temannya itu lebih gampang oleh
orang NTT itu, malah orang-orang yang masih di lingkungan ciamis itu sulit berinterkasinya.
Contoh ketika berteman dengan teman sebaya dari Jawa misalnya, itu lebih sulit dari pada orang
NTT itu dari segi berinterkasi. Orang NTT itu cepet akrab gitu, beda lagi sama orang Jawa
tengah yang beliau itu sangat sulit berinterkasinya. Jadi kalau berbicara tentang berinterkasi ya
gimana orangnya itu, ya kalau orang itu ingin cepat berinterkasi dengan temannya ya pasti juga
cepet dalam beradaptasinya. Jadi intinya kembali lagi kepada orang² nya itu bagaimana cara
mereka berinterkasi dengan orang lain. Di sekolah ini kan ada dari Jawa tengah, NTT dan
bahkan Jakarta ya. Di sini contoh orang Jakarta bakal sulit berinterkasinya dengan orang ciamis
(karena bahasa mereka yang jauh berbeda).

Kalau pembelajaran PAI saya contohnya jarang sekali memakai bahasa sunda, karena kalau saya
memakai bahasa sunda pasti siswa yang lain tidak akan paham. Jadi ya saya sebisa mungkin
memakai bahasa indonesia. Secara kan bahasa indonesia itu kan ruang lingkupnya itu luas, jadi
kesannya mudah dipahami oleh para siswa

Tapi ya kalau berbicara mengenai berinterkasi itu orang NTT, saya katakan lebih cepet
berinterkasi dengan temannya, kadang juga mereka ketika mudik itu bingung, bahkan disini ada
orang NTT yang sudah beberapa tahun belum pulang-pulang.

Anda mungkin juga menyukai