“WASTING”
Oleh:
Kelompok 2
Shafa Mulianti Aisyah I1504231026
Syuja’ Rafiqi Arifin I1504232054
Fatimah Zuhra I1504232066
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, M.S
1.2 Tujuan
1. Mengetahui prevalensi wasting saat ini secara global dan nasional.
2. Mengetahui keberhasilan penanganan wasting secara global dan nasional.
3. Mengetahui peran pemerintah yang sudah dijalankan dalam upaya penanganan
wasting secara global dan nasional.
4. Mengevaluasi program pemerintah dalam mengatasi wasting saat ini.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wasting
Wasting merupakan saalah satu permasalahan gizi yang mencerminkan berat badan
anak yang terlalu kurus menurut tinggi badannya atau z-score BB/TB kurang dari -2 SD
untuk wasting dan z-score BB/TB kurang dari -3 SD untuk severe wasting (Kemenkes,
2020). Wasting mengakibatkan anak usia 0-5 tahun mengalami ketertinggalan tumbuh
kembang secara jangka Panjang serta dapat mengakibatkan penurunan fungsi sistem
imunitas, peningkatan keparahan dan kerentanan terhadap penyakit menular dan dapat
mengakibatkan tingginya risiko kematian terutama pada anak usia 0-5 tahun/ Balita yang
mengalami severe wasting (UNICEF, WHO, & World Bank, 2018). Dari salah satu hasil
penelitian menunjukkan bahwa seluruh permasalahan gizi diantaranya yaitu:
undernutrition (gizi kurang), wasting (balita kurus), dan stunting (balita pendek) secara
signifikan memiliki hubungan yang kuat dalam peningkatan angka kematian pada balita,
wasting menjadi kelompok masalah yang lebih kuat terhadap peningkatan angka kematian
balita dari pada stunting (Olofin et al., 2013).
Dalam penelitian (Wells et al., 2019) adanya hubungan wasting dengan kejadian
stunting terkait dengan leptin dengan perubahan komposisi tubuh. Leptin adalah hormon
yang diproduksi terutama oleh sel-sel lemak dan bertanggung jawab atas pengaturan
energi, rasa lapar dan metabolisme serta memainkan peran sentral dalam merangsang
fungsi kekebalan dan pertumbuhan linier. Tingkat leptin yang dihasilkan mencerminkan
simpanan lemak tubuh dan memang rendahnya tingkat leptin juga terjadi bersamaan
dengan defisit lemak dan massa otot pada anak-anak yang kurus dan kerdil. Selain itu,
rendahnya tingkat leptin pada anak-anak dengan gizi buruk merupakan prediksi
peningkatan risiko kematian
Dalam menentukan status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara melakukan
pengukuran antropometri. Secara umum antropometri dilakukan untuk mengukur dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi untuk mengetahui
status gizi seseorang. Antropometri juga dilakukan guna untuk melihat ada tidaknya
keseimbangan asupan protein dan energi. Berikut merupakan beberapa indeks
antropometri yang digunakan untuk melihat status gizi diantaranya: berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi z (Z-Score). Wasting dapat diketahui
apabila anak sudah melakukan pengukuran antropometri yaitu PB/BB, TB/BB, IMT/U
serta diketahui usia anak tersebut lalu dibandingkan dengan standar berdasarkan Z-score
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Menurut Permenkes No. 2 tahun 2020:
Kategori Status Gizi ( PB/BB, TB/BB, IMT/U) (Kemenkes, 2020).
Tabel 2.1. Kategori Status Gizi
Indeks Kategori Status Gizi Cut-off Z-score
BB menurut Gizi buruk (severely wasted) < -3,0 SD
PB atau TB Gizi kurang (wasted) - 3 SD sd <- 2 SD
(BB/PB Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
atau Berisiko gizi lebih (possible risk of
> + 1 SD sd + 2 SD
BB/TB) overweight)
anak usia Gizi lebih (overweight) > + 2 SD sd + 3 SD
0-60 bulan Obesitas (obese) > + 3 SD
Gizi buruk (severely Wasted) <-3 SD
IMT Gizi kurang (wasted) - 3 SD sd <- 2 SD
menurut Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
Umur Berisiko gizi lebih (possible risk of
(IMT/U) > + 1 SD sd + 2 SD
overweight)
anak usia
Gizi lebih (overweight) > + 2 SD sd +3 SD
0-60 bulan
Obesitas (obese) > + 3 SD
3.2 Desain
Desain yang digunakan yaitu sistematik review. Data sekunder sebagai sumber
utama didukung dengan jurnal yang berkaitan dengan wasting, statis gizi, tantangan gizi
yang terbit dalam kurung waktu sepuluh tahun terakhir. Peraturan yang berkaitan dengan
pangan dan gizi juga merupakan salah satu sumber yang digunakan.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data WHS (World Health Statistics), pada tahun 2022 sekitar 45 juta anak
di dunia mengalami wasting artinya prevalensi wasting secara global adalah 6,8%. Asia
tenggara menjadi wilayah dengan prevalensi wasting tertinggi yaitu 14,7%. Jika
dibandingkan dengan negara-negara yang berada di wilayah asia tenggara, Indonesia
menjadi negara dengan angka wasting tertinggi.
Salah satu target global yang berkaitan dengan penanganan wasting adalah
menurunkan angka wasting menjadi <5% di tahun 2025 dan <3% di tahun 2030. Negara-
Negara anggota WHO telah mendukung target global untuk meningkatkan gizi ibu, bayi
dan anak-anak dan berkomitmen untuk memantau kemajuannya. Dalam konteks inilah
PBB yang bergerak di bidang pencegahan wasting mengembangkan framework yang
disebut Global Action Plan (GAP) untuk penanganan wasting pada anak untuk mencapai
target SGDs. GAP akan mempercepat aksi melalui empat outcomes utama yaitu (1)
penurunan angka BBLR, (2) peningkatan kesehatan anak, (3) peningkatan pemberian
makan pada bayi dan anak, (4) peningkatan upaya penanganan pada anak wasting.
Agar lebih efektif dan efisien lembaga-lembaga PBB memimpin dan mengkoordinasi
upaya-upaya untuk percepatan penurunan angka wasting, diantaranya
1. FAO akan memimpin transformasi sistem pangan ke arah pemberian makanan sehat
dan berkelanjutan pada WUS dan remaja untuk mencegah wasting.
2. UNHCR bertindak sebagai badan utama pengaduan normatif yang berfokus pada
pengungsian dan konflik kemanusiaan.
3. UNICEF akan memimpin dan mengkoordinasi secara global, regional, dan nasional
jalannya upaya-upaya untuk mencegah dan menangani wasting dalam semua aspek.
4. WFP bertindak sebagai pendukung untuk memastikan lembaga utama mampu untuk
mengatasi masalah wasting dalam segala aspek berfokus pada konteks penting dimana
sistem pemerintahan tidak berjalan maksimal.
5. WHO akan memimpin dalam tingkat global, regional, dan nasional untuk
mengembangkan panduan normatif dan tools untuk mendukung pemerintah dalam
pencegahan dan penanganan wasting.
4.5.2 Vietnam
Proyek ECOSUN berhasil mengatasi ketahanan pangan dan kekurangan gizi kronis
pada anak di Vietnam utara (provinsi Lào Cai, Lai Châu, dan Hà Giang) dengan
menggunakan pendekatan sistem pangan untuk mendesain dan menerapkan makanan
pendamping yang telah terfortifikasi secara berkelanjutan. Melalui kemitraan
pemerintah dan swasta, suplai bahan makanan dari proyek ini berasal dari tanaman lokal
dari perempuan petani skala kecil untuk menghasilkan produk makanan pelengkap yang
diperkaya dengan harga terjangkau di pabrik pengolahan makanan skala kecil. Promosi
sosial dan pusat konseling pendidikan gizi mendukung distribusi produk melalui vendor
lokal sambil menekankan dan mempromosikan nilai makanan fortifikasi (Cecilia
Rocha, 2022).
4.5.3 India
Sebuah studi yang meneliti kinerja program gizi berbasis masyarakat skala
nasional ICDS (Integrated Child Development Services) dengan program tingkat kota
MCGM (Municipal Corporation of Greater Mumbai) yang merupakan mitra pemerintah
dalam upaya mencegah dan mengobati wasting tanpa komplikasi pada anak dibawah
tiga tahun di pemukiman informal perkotaan di India. Skema ICDS adalah salah satu
program terbesar pemerintah India. ICDS adalah simbol utama komitmen India
terhadap anak-anaknya dan merupakan respons India terhadap tantangan penyediaan
pendidikan prasekolah dan memutus lingkaran setan malnutrisi, kesakitan, penurunan
kapasitas belajar dan kematian. Hasil studi menunjukkan ICDS dan MCGM berhasil
mengintegrasikan program-program malnutrisi akut berbasis masyarakat (Chanani et
al., 2019). Artinya integrasi pemerintah dengan mitra sangat diperlukan dalam
mewujudkan pelayanan terintegrasi. Hal ini juga akan berdampak baik terhadap
keberhasilan program.
4.6 Analisis
Dalam pelaksanaan edukasi berkaitan dengan wasting, kebijakan dan program yang
dilaksanakan oleh berbagai sektor belum terintegrasi dan dampak implementasi gizi
spesifik dan sensitif masih belum terintegrasi baik dari proses perencanaan , pelaksanaan,
maupun evaluasi. Penelitian yang berkaitan telah menemukan bahwa adanya harmonisasi
dan koordinasi yang baik dalam penerapan program berkaitan dengan penangan masalah
gizi oleh multidisiplin dan multisektor akan berdampak baik dalam keberhasilan program
(Renzaho, A.M., et al 2021).
Pada Permenkes Nomor 23 tahun 2014 secara implisit disebutkan bahwa pemerintah
pusat, pemerintah daerah, pemerintah desa dan atau masyarakat ikut berpartisipasi dalam
mewujudkan perbaikan gizi perorangan maupun kelompok tertentu. Oleh karena itu,
pemerintah kabupaten, kota dan desa perlu menyusun dan menetapkan kebijakan program
tentang pemenuhan gizi yang disesuaikan kondisi kasus wasting pada masing-masing
daerah. Kebijakan tersebut harus bersinergi yang saling mendukung antara berbagai sektor.
Perencanaan penyusunan program dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dan
kolaborasi antara stakeholders pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintah desa,
sektor bisnis atau perguruan tinggi.
Faktor penyebab masalah gizi buruk di NTT lebih disebabkan oleh kemiskinan dan
rawan pangan pada level rumah tangga, sedangkan di NTB ditambah oleh faktor lain yaitu
”kawin-cerai” karena suami bekerja di Malaysia (TKI) sehingga banyak yang menjadi
janda Malaysia (Jamal) karena suami menikah lagi, fenomena ini juga akan menyebabkan
kemiskinan pada rumah tangga dan akhirnya pola asus anak tidak baik. Bukan hanya itu
kebijakan Pemerintah (Pusat, daerah Tk I dan II/Kotamadya) juga berimplikasi terhadap
masalah gizi kurang. Kebijakan yang penulis maksudkan disini menyangkut political will
dan anggaran kesehatan dan gizi yang masih rendah rata-rata 3%. Disisi lain tidak semua
Bupati/Walikota di era desentralisasi (otonomi) memiliki wawasan gizi.
Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa hanya 58,3% anak di bawah usia lima tahun yang
mendapatkan PMT program, 97,1% mendapatkan PMT 0-30 bungkus, 2% mendapatkan
31-89 bungkus, dan 0,9% yang mendapatkan PMT lebih dari 90 bungkus. Hal ini dapat
terjadi karena adanya komitmen politik yang rendah dan menjadi penyebab rendahnya
prioritas intervensi ketahanan pangan dan gizi oleh pemerintah. Selain itu, inflasi yang
tinggi dan ketidakstabilan politik telah berkontribusi pada peningkatan biaya pangan dan
transportasi, yang menyebabkan tingkat kerawanan pangan dan malnutrisi anak.
FAO/WFP tahun 2019 melaporkan bahwa harga pangan mulai melonjak pada bulan Juli
2015 (yaitu, sebelum jatuhnya mata uang yang terjadi pada tahun 2016), dan makanan
pokok merupakan salah satu komoditas yang paling terkena dampaknya (Renzaho, A.M.,
et al 2021).
Isu terkini di bidang gizi semakin diminati, berkaitan dengan program pemerintah yang
bersumber dari ekonomi politik yang menjadi tantangan terhadap reformasi kebijakan gizi.
Tantangan ekonomi politik perlu diatasi untuk meningkatkan kelayakan dari upaya
menerjemahkan momentum kegiatan gizi agar terus berkelanjutan. Dinamika komitmen
politik untuk gizi dan pembangunan akan berpengaruh pada keberhasilan program gizi, dan
keputusan alokasi gizi utama akan menjadi keputusan politik.
4.7.2 Nasional
1. Memfasilitasi peningkatan ketahanan pangan sehat dan bergizi melalui
pembentukan program berkaitan dengan peningkatan konsumsi pangan bergizi
simbang yang bermutu, terjangkau, dan berkeadilan.
2. Edukasi dan pendampingan kepada remaja (calon pengantin) melalui pemeriksaan
dan konsultasi pra nikah.
3. Pendampingan ibu hamil, ibu menyusui, Baduta (bayi dua tahun) dan Balita (bayi
lima tahun) melalui pemeriksaan dan pemantauan tumbuh kembang anak.
4. Kolaborasi lintas sektor melalui rencana aksi nasional penanggulangan wasting di
Indonesia yang terintegrasi.
5. Penyediaan anggaran memadai untuk program gizi terkait penanganan wasting.
6. Trisnaningtyas et al., (2023) berpendapat bahwa penta helix akan memberikan
dampak baik dalam ketahanan pangan, termasuk SDGs nomor dua yaitu zero
hunger. Sehingga jika kelaparan dapat diatasi maka wasting termasuk didalamnya.
7. Lopez de Romaña et al., (2021) dalam penelitiannya beberapa intervensi efektif
dalam mengatasi masalah gizi terutama wasting. Intervensi tersebut promosi ASI
eksklusif, pemberian MP-ASI usia 6-24 bulan, suplementasi zat besi pada anak,
fortifikasi makanan dirumah dengan berbagai serbuk mikronutrien pada anak
dibawah 2 tahun dan suplementasi zinc preventif pada anak usia 6-59 bulan.
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Gizi merupakan pilar penting dari upaya yang dirancang untuk memfasilitasi pencapaian
tujuan pembangunan berkelanjutan.
2. Memperbaiki gizi secara global membutuhkan pengelolaan tantangan ekonomi politik
yang berkelanjutan yang akan mempengaruhi kebijakan gizi dan implementasinya.
3. Dinamika komitmen politik untuk gizi dan pembangunan akan berpengaruh pada
keberhasilan program gizi. Dan keputusan alokasi gizi utama akan menjadi keputusan
politik.
4. Viktimisasi struktural dimana pemerintah sebagai pemegang kendali kekuasaan belum
memiliki komitmen tinggi dalam upaya penyelesaian masalah wasting di Indonesia.
5.2 Rekomendasi
1. Perlu adanya dukungan pemerintah (politik) untuk merancang RADPG dan kerjasama
multisektor yang baik agar terselenggaranya sistem pangan berkelanjutan yang efektif
dan efisien.
2. Pemerintah sebagai pemegang kendali kekuasaan harus memiliki komitmen tinggi
dalam upaya penyelesaian masalah wasting di Indonesia
3. Membangkitkan kesadaran ekonomi politik yang lebih besar dalam kebijakan terkait
gizi akan membantu strategi lokal untuk meningkatkan kelayakan politik reformasi.
4. Untuk mencapai target SDGs, maka diperlukan perubahan kebijakan serta
memperkuat kebijakan yang sudah baik untuk mencegah segala bentuk malnutrisi.
DAFTAR PUSTAKA
Balarajan, Y., & Reich, M. R. 2016. Political economy challenges in nutrition. Globalization
and Health, 1–8.
Chanani, S., Waingankar, A., Shah More, N., Pantvaidya, S., Fernandez, A. and Jayaraman,
A., 2019. Effectiveness of NGO‐government partnership to prevent and treat child
wasting in urban India. Maternal & child nutrition, 15, p.e12706.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2007. Laporan
Nasional 2007, 1–384.
Dinas Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010.
Kementerian Kesehatan RI. 2018. Riskesdas 2018. Laporan Nasional Riskesndas 2018, 44(8),
181–222.
Kemenkes, RI. 2019. SSGBI 2019. In Kemenkes RI.
Kemenkes, RI. 2021. Riskesdas 2013. In Dialog (Vol. 44, Issue 1).
Kemenkes RI. 2022. Survei Status Gizi SSGI 2022. BKPK Kemenkes RI, 1–156.
Kementerian Kesehatan RI. (2021). Hasil Studi Kasus Gizi Indonesia (SSGI) 2021.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2022. Rencana Aksi Program Kesehatan
Masyarakat tahun 2020-2025. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.
Lopez de Romaña, D., Greig, A., Thompson, A., & Arabi, M. (2021). Successful delivery of
nutrition programs and the sustainable development goals. Current Opinion in
Biotechnology, 70, 97–107.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2023. Petunjuk Teknis Pemberian Makanan
Tambahan (PMT) Berbahan Pangan Lokal untuk Balita dan Ibu Hamil. Direktorat
Jenderal Kesehatan Masyarakat.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2023. Profil Kesehatan Indonesia 2022.
Sekretariat Jenderal Kemenkes RI.
Mbuya, N.V., Osornprasop, S. and David, C., 2019. Addressing the Double Burden of
Malnutrition in ASEAN. World Bank, Bangkok.
Olney, D.K., Pedehombga, A., Ruel, M.T. and Dillon, A., 2015. A 2-year integrated
agriculture and nutrition and health behavior change communication program targeted
to women in Burkina Faso reduces anemia, wasting, and diarrhea in children 3–12.9
months of age at baseline: a cluster-randomized controlled trial. The Journal of
nutrition, 145(6), pp.1317-1324.
Putra, P. (2022). Peran Pemerintah Dalam Penanggulangan Perbaikan Gizi Berdasarkan
Undang-Undang Sebuah Studi Pustaka. Proceeding Iain Batusangkar, 1(1), 1046–1052.
Rocha, C., Mendonça, M., Huỳnh, N.P., Do, T.B.H., Yeudall, F., Moraes, A., Brown, M.,
Yuan, Y. and Tenkate, T., 2022. A food-system approach to addressing food security
and chronic child malnutrition in northern Vietnam. Journal of Agriculture, Food
Systems, and Community Development, 11(4), pp.273-292.
Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Trisnaningtyas, J. P. N., Juliartha, R. D. S., et al. 2023. The Role of Penta Helix in
Implementing Zero Hunger (Case Study: Social Project “Fight Hunger to Achieve Our
Better Future”). Nusantara Science 29–37.
UNICEF. Global Action Plan on Child Wasting : A framework for action to accelerate
progress in preventing and managing child wasting and the achievement of Sustainable
Development Goals
WHO. 2014. Global nutrition targets 2025: wasting policy brief World Health Organization
WHO. 2023. World health statistics 2023: monitoring health for the SDGs, Sustainable
Development Goals. Geneva: World Health Organization; 2023. Licence: CC BY-NC-
SA 3.0 IGO
WHO (World Health Organization). 2022. World Health Statistics 2022.
WHO (World Health Organization). 2020. World health statistics 2020 (Vol. 14, Issue 2).
WHO (World Health Organization). 2019. World health statistics 2019 (Vol. 1, Issue 1).
WHO (World Health Organization). 2018. World health statistics 2018.
WHO (World Health Organization). 2017. World Health Statistics 2017.
WHO (World Health Organization). 2016. World Health Statistics 2016.
WHO (World Health Organization). 2015. World health statistics 2015 (Vol. 151).
WHO (World Health Organization). 2014. World health statistics 2014 (Vol. 85, Issue 1).
WHO (World Health Organization). 2013. World health statistics 2013 (Vol. 26, Issue 4).
World Bank. 2018. Fighting Malnutrition in Peru: Enhancing the Demand for and Supply
and Governance of Health and Nutrition Services in Three Regions.
https://www.worldbank.org/en/results/2018/04/18/fighting-malnutrition-in-peru.
Diakses pada 3 Februari 2024
Wulandari, N., Margawati, A. and Rahfiludin, Z., 2021. The implementation of nutrition
improvement programs for underweight children, wasting and stunting in the
Department of Health, Central Buton district, Southeast Sulawesi. Jurnal Gizi Indonesia
(The Indonesian Journal of Nutrition), 9(2), pp.86-96.