Anda di halaman 1dari 98

BUKU AJAR

PENGANTAR ILMU HUKUM


(PIH)

Oleh:
TIM DOSEN

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat dan

rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya tulis

berupa buku ajar. Penulisan buku ajar mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH) ini

sebagai kebutuhan untuk adanya panduan dalam proses belajar mengajar bagi

mahasiswa. Dalam penyusunan mata kuliah ini tidak lepas dari dorongan, dukungan,

serta bimbingan dari berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Pada

kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang

setingginya-tingginya kepada para pihak yang telah membantu penyelesaian buku

ajar ini.

Sebelumnya saya menyadari sepenuhnya bahwa materi dalam buku ajar

ini masih jauh dari sempurna karena masih terdapat banyak kekurangan. Karena

untuk terwujudnya karya sempurna adalah hal yang tidak mudah. Maka saya akan

menerima setiap kritikan atau usaha dari pihak lain untuk perbaikan buku ajar ini.

Hal ini demi terwujudnya karya yang lebih baik, dengan demikian masih perlu

adanya usaha perbaikan dan penyempurnaan dari semua pihak demi terwujudnya

kemajuan keilmuan yang dapat kita terima.

Demikian, terima kasih atas perhatian kepada semua pihak.

Penulis,
TINJAUAN MATA KULIAH

A. TUJUAN MATAKULIAH

Setelah mengikuti mata kuliah diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan


memahami :

1. Hukum dan Masyarakat


2. Pengertian Hukum
3. Tujuan dan Fungsi Hukum
4. Subyek dan Obyek Hukum
5. Peristiwa-peristiwa dan hubungan Hukum
6. Kekuatan Hukum
7. Sumber-sumber Hukum
8. Penggolongan hukum
9. Penafsiran Hukum
10. Asas Legalitas Sejarah dan Landasan Filsafati.
11. Hukum Subjektif dan Hukum Obyektif
12. Ilmu Hukum sebagai Kenyataan
13. Proses Hukum
14. Hukum dan Rekayasa Sosial

B. DESKRIPSI MATA KULIAH


Pada mata kuliah ini materi-materi yang diberikan adalah materi tentang Hukum
dan masyarakat, pengertian hukum, tujuan dan fungsi hukum, subyek dan obyek
hukum, peristiwa-peristiwa dan hubungan hukum, kekuatan hukum, sumber-sumber
hukum, asas legalitas sejarah dan landasan filsafati, penafsiran hukum, penggolongan
hukum, hukum subyektif dan hukum obyektif, ilmu hukum sebagai kenyataan, proses
hukum, hukum dan rekayasa sosial.

C. MANFAAT MATA KULIAH


Merupakan pengantar atau dasar bagi setiap orang dalam mempelajari ilmu
hukum yang sangat luas ruang lingkupnya. Memberikan dan menanamkan kepada
setiap orang yang mempelajari ilmu hukum tentang pengertian-pengertian dari dasar
berbagai istilah dalam ilmu hukum. Pengertian-pengertian dasar mengenai berbagai
persoalan hukum yang menjadi bahan persoalan utama dan harus dikuasai oleh
mereka yang mempelajari ilmu hukum. Dengan demikian pada hakekatnya
pengantar Ilmu Hukum merupakan fundamen atau dasar dari pengetahuan hukum
yang di dalamnya tertanam pengertian-pengertian dasar yang menjadi akar daripada
ilmu atau pengetahuan hukum.
DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................................... i
Halaman Pengesahan............................................................................................................. ii
KataPengantar....................................................................................................................... iii
Tinjauan Mata Kuliah........................................................................................................... iv
Daftar Isi................................................................................................................................. vi

BAB I HUKUM DAN MASYARAKAT

A. Pendahuluan
B. Sejarah, Peran dan Fungsi PIH
C. Hukum sebagai gejala sosial
D. Manusia sebagai mahluk sosial
E. Pengertian hidup bermasyarakat
F. Masyarakat dan ketertibannya

BAB II PENGERTIAN HUKUM

A. Pendahuluan
B. Pengertian hukum
C. Pembagian hukum

BAB III TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM

A. Pendahuluan
B. Hukum Dalam arti formil dan materiil
C. Tujuan hukum
D. Fungsi hukum

BAB IV SUBYEK DAN OBYEK HUKUM

A. Pendahuluan
B. Subjek hukum
C. Manusia sebagai subjek hukum
D. Obyek hukum
BAB V PERISTIWA AKIBAT HUBUNGAN HUKUM

A. Pendahuluan
B. Peristiwa Hukum
C. Akibat hukum
D. Hubungan hukum

BAB VI KEKUATAN HUKUM

A. Pendahuluan
B. Teori-teori dalam hukum

BAB VII SUMBER-SUMBER HUKUM

A. Pendahuluan
B. Sumber hukum formil
C. Sumber hukum materiil

BAB VIII PENGGOLONGAN HUKUM

A. Pendahuluan
B. Penggolongan hukum menurut wujudnya
C. Penggolongan hukum menurut fungsi
D. Penggolongan hukum menurut sifatnya
E. Penggolongan hukum berdasarkan waktu berlakunya
F. Penggolongan hukum menurut isinya

BAB IX PENAFSIRAN HUKUM

A. Pendahuluan
B. Cara penafsiran hukum
C. Penjelasan tentang berbagai macam metode Penafsiran
D. Hakim mengisi kekosongan hukum dan konstruksi hukum

BAB X ASAS LEGALITAS SEJARAH DAN LANDASAN FILSAFATI

A. Pendahuluan
B. Pengertian Asas Legalitas
C. Tujuan Asas Legalitas
BAB XI HUKUM SUBYEKTIF DAN HUKUM OBYEKTIF

A. Pendahuluan
B. Pengertian Hukum Subyektif dan Hukum Obyektif
C. Hak

BAB XII ILMU HUKUM SEBAGAI KENYATAAN

A. Pendahuluan
B. Antropologi hukum
C. Antropologi dan hukum
D. Sosiologi hukum
E. Psikologi hukum
F. Sejarah hukum
G. Perbandingan hukum
H. Fungsi perbandingan hukum

BAB XIII PROSES HUKUM

A. Pendahuluan
B. Proses hukum
C. Tahapan pembuatan hukum

BAB XIV HUKUM DAN REKAYASA SOSIAL

A. Pendahuluan
B. Dua fungsi hukum yang menonjol dalam masyarakat
C. Dua sistem besar dari hukum.

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
HUKUM DAN MASYARAKAT

A. Pendahuluan

Pengantar ilmu hukum terdiri dari kata pengantar dan ilmu hukum. Bila
dikehendaki ilmu hukum dapat dipecah lagi menjadi ilmu dan hukum.

Mengantar yang berasal dari perkataan “pengantar” berarti membawa ke


tempat yang dituju. Dalam bahasa asing juga diartikan „Inleiding‟ (Belanda) dan
„introduction‟ (Inggris) yang berarti memperkenalkan, dalam hal ini yang
diperkanalkan ialah ilmu hukum. Bertitik tolak dari kata pengantar inilah maka PIH
merupakan basis mata pelajaran dasar yang tidak boleh ditinggalkan oleh mereka
yang ingin mempelajari masalah dan cabang-cabang ilmu hukum.

B. Sejarah, Peran dan Fungsi PIH


Istilah Pengantar Ilmu Hukum tidak tercipta begitu saja tetapi mempunyai
sejarahnya sendiri. Pengantar ilmu hukum berasal dari terjemahan “Iinleiding tot de
rechtswetenshap” istilah ini dipakai pada tahun 1920 yaitu dimasukkannya dalam
Hoger Onderwijr wet atau undang-undang Perguruan Tinggi di negeri Belanda.
“Iinleiding tot de rechtswetenshap” adalah pengganti istilah “Encylopaedie in der
rechtswetenshap” yaitu suatu istilah yang semula dipergunakan di negeri Belanda.
Di Indonesia dikenal dengan “Iinleiding tot de rechtswetenshap” dikenal sejak tahun
1924 dengan di dirikanya STH dei Batavia. Istilah PIH digunakan pertama kali oleh
UGM yang brdiri tanggal 3 maret 1946. Tetapi sebenarnya jauh sebelum itu tepatnya
pada tahun 1942, istilah Pengantar Ilmu Hukum sudah dipelajari berbagai
terjemahan dari “Iinleiding tot de rechtswetenshap” dan sampai sekarang dijadikan
mata kuliah dasar di setiap perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Peran dan fungsi pengantar ilmu hukum yaitu memberikan introduksi atau
memperkenalkan segala masalah yang berhubungan dengan hukum. Berusaha untuk
menjelaskan tentang keadaan, inti, maksud dan tujuan dari bagian-bagian yang
penting dari hukum serta pertalian antara berbagai bagian tersebut dengan ilmu
pengetahuan hukum. Memperkenalkan dasar dalam rangka studi hukum. Tanpa
memahami Pengantar Ilmu Hukum secara tuntas dan seksama tidak dapat diperoleh
pengertian yang baik tentang berbagai cabang ilmu hukum. Dengan demikian sudah
tepatlah apabila Pengantar Ilmu Hukum juga dinamakan „Basis leevak‟ atau mata
kuliah dasar dari pada pelajaran hukum. Mengkualifikasikan mata pelajaran,
pendahuluan, pembukaan ke arah ilmu pengetahuan hukum pada tingkat persiapan.

C. Hukum sebagai gejala sosial


Masyarakat dan ketertibannya merupakan dua hal yang berhubungan sangat
erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi mata uang. Susah untuk mengatakan
adanya masyarakat tanpa ada suatu ketertiban, bagaimanapun kualitasnya. Kendati
demikian segera perlu ditambahkan di sini, bahwa yang disebut sebagai ketertiban itu
tidak di dukung oleh lembaga monolitik. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan
bersama-sama, seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga di
jumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnya dalam
menciptakan ketertiban itu. Hukum merupakan gejala sosial, artinya suatu gejala yang
terdapat di dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mengusahakan adanya
keseimbangan dari segala macam kepentingan-kepentingan yang terdapat di
masyarakat, sehingga terhindar dari terjadinya kekacauan.

D. Manusia sebagai mahluk sosial

Manusia sejak lahir hingga meninggal dunia hidup bersama-sama dengan


manusia lain, hidup dalam pergaulan dengan manusia lain. Aristoteles mengatakan
manusia sebagai zoon politicon, mahluk yang ditakdirkan sebagai mahluk sosial,
dikodratkan untuk bermasyarakat.
Hidup bermasyarakat memiliki konsekuensi tersendiri bagi individu-individu
yang menjadi anggota kelompok tersebut. Salah satu konsekuensi dapat ditunjuk
yakni rasa tanggung jawab masing-masing individu akan keutuhan dan kelancaran
hidup sosial. Perasaan yang demikian tidak dapat timbul dengan sendirinya,
melainkan harus ditanamkan sedini mungkin, terutama bagi msyarakat yang
heterogen. Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka, menganggap
diri mereka satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
Setiap manusia diciptakan oleh Tuhan seorang diri, ia tidak mempunyai
peralatan fisik yang lengkap untuk hidup menyendiri. Untuk melangsungkan hidupnya
harus bekerja sama dengan manusia yang lain di sekitarnya. Dalam
kehidupan sehari-hari sering tampak adanya kelompok-kelompok manusia, akan
tetapi kelompok-kelompok manusia tersebut belum dapat dikatakan kelompok sosial
(masyarakat). Menurut sosiologi kelompok sosial/masyarakat memiliki beberapa
persyaratan:
1. Adanya kesadaran dari setiap anggota kelompok bahwa dia adalah bagian dari
kelompoknya
2. Antara anggota yang satu dengan anggota yang lain terjalin hubungan yang saling
mempengaruhi sesamanya.
3. Anggota-anggota kelompok memiliki faktor yang sama yang menyebabkan
hubungan mereka menjadi erat. Faktor tersebut biasanya disebut solidaritas sosial
atau (setia kawan) yang dapat berupa, persamaan nasib, kepentingan yang sama,
dan tujuan yang sama, termasuk kesamaan ideologi.

E. Pengertian hidup bermasyarakat


Hidup bermasyarakat ialah bercampur dan bergaul dengan sesamanya untuk
dapat memperoleh segala kebutuhan agar hidup layak sebagai manusia. Dalam hidup
bermasyarakat diperlukan adanya kerjasama yang positif, saling membantu dan tidak
saling mengganggu sehingga kerjasama tersebut memberi keuntungan bagi kehidupan
mereka masing-masing.
Hukum terdapat di seluruh dunia, asal ada masyarakat manusia. Hukum itu
ada di mana-mana, pada setiap waktu dan bagi setiap bangsa. Anggapan-anggapan
tersebut adalah anggapan modern. Anggapan modern ini menolak kuno. Dan
anggapan kuno mengatakan bahwa hukum hanya terdapat di masyarakat beradab. Jadi
pendapat bahwa di masyarakat yang belum/tidak beradab atau masyarakat tidak
terdapat hukum, tidak dapat dibenarkan. Kini kita justru mengetahui bahwa hukum
dapat mengatur kepentingan-kepentingan manusia yang belum lahir dan yang sudah
mati. Di dalam masyarakat yang masih primitif dijumpai pula peraturan-
peraturan/kebiasaan kehidupan sehari-hari yang oleh masyarakat yang bersangkutan
dihormati, diindahkan, bahkan dipertahankan berlakunya. Hukum adalah melekat dan
hidup bersama-sama dengan masyarakat manusia, sebagaimana telah dinyatakan
hukum berisi kaidah-kaidah, yaitu petunjuk-petunjuk yang menuntut supaya
dijalankan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum terdapat dimana saja asal ada
masyarakatnya.
F. Masyarakat dan ketertibannya
Manusia untuk memenuhi kepentinganya, mengadakan hubungan dengan
masyarakat. Jika dua orang manusia atau lebih berhubungan, maka bertemulah dua
atau lebih kepentingan itu satu sama lainnya. Pertemuan kepentingan disebut kontak.
Kontak ada dua macam:
1. Yang menyenangkan, jika kepentingan-kepentingan yang bertemu saling
memenuhi, misalnya : perjanjian jual beli.
2. Yang tidak menyenangkan, jika kepentingan yang bertemu itu bersaingan,
misalnya : pemilik x pencuri, pelamar x pelamar.
Agar hubungan antara manusia dalam masyarakat berjalan dengan baik tanpa
melanggar kepentingan satu sama lain diperlukan adanya norma. Norma adalah
petunjuk-petunjuk hidup yang mengatur tata tertib masyarakat. Norma dapat
dibedakan menjadi 4 (Empat):
1. Norma susila
Norma yang paling tua terdapat dalam sanubari manusia, sebab manusia
adalah mahluk yang bermoral. Manusia yang tidak mengindahkan norma susila
disebut a susila atau a moral. Untuk menjadi manusia agar tidak menjadi a susila
maka timbulah norma-norma yang lain. Mengindahkan norma susila atau tidak
sama sekali tidak ada paksaan. Pokok pangkalnya adalah hati sanubarinya sendiri.
Demikian norma kesusilaan dijelaskan oleh Kansil bahwa, kesusilaan
memberikan peraturan-peraturan kepada manusia agar supaya ia menjadi manusia
yang sempurna. Hasil dari perintah dan larangan yang rimbul dari norma
kesusilaan itu pada manusia bergantung pada pribadi orang-orang. Isi hatinya
akan mengatakan perbuatan mana yang jahat. Hati nuraninya akan menentukan
apakah ia akan melakukan sesuatu perbuatan.

Contoh: tidak boleh mencuri milik orang lain (dikuatkan dengan pasal 362
KUHP).

2. Norma agama
Norma agama berpangkal pada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Norma agama ditentukan oleh Tuhan. Melanggar norma agama berarti
melanggar perintah Tuhan. Sanksinya mendapat hukuman dari Tuhan di akhirat.
Adapun kehadiran peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai tuntunan dan
petunjuk ke arah jalan yang benar dalam kehidupan manusia.
Pada garis besarnya dan pada umumnya isi norma agama tersebut terdiri
dari tiga hubungan:
1. Peraturan-peraturan yang memuat tata hubungan manusia dengan Tuhan
secara vertikal
2. Peraturan-peraturan yang memuat tata hubungan manusia dengan manusia
secara horisontal
3. Peraturan-peraturan yang memuat tata hubungan manusia dengan alam sekitar.
Ketiga tata hubungan tadi satu sama lain saling berhubungan, tidak merupakan
satu kemandirian.
Contoh: jangan membunuh sesama manusia (dikuatkan di dalam pasal 338
KUHP).

3. Norma kesopanan
Norma yang dekat dengan kenyatan.Mutlak berlaku sosiolog. Sanksinya
adalah dikucilkan/bersifat sanksi sosial dari masyarakat bersifat Das Sein. Tata
aturan yang hidup dalam pergaulan sekelompok manusia lebih dikenal dengan
norma kesopanan, demikian pula timbulnya tata aturan tersebut adalah pergaulan
sekelompok manusia pula. Peraturan tersebut mengatur tingkah laku sesama
manusia di dalam lingkunganya, oleh sebab itu norma kesopanan ditaati dan
diikuti oleh semua individu di dalam masyarakat.
Tempat berlakunya norma kesopanan ini sangat terbatas. Norma
kesopanan tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang luas, jika di bandingkan
dengan lingkungan norma agama dan kesusilaan, norma kesopanan tidak berlaku
bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional)
dan hanya berlaku bagi golongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap
sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian.
Contohnya :
1. Dalam masyarakat Indonesia pada umunya selalu terdapat norma dimana
kaum muda menghormati orang yang lebih tua. Adapun generasi tua
membimbing dan membina kearah positif.
2. Di dalam masyarakat masih tertanam norma bahwa siapapun tidak pantas
mengucapkan kata-kata yang menjijikan di depan orang yang sedang makan
minum, apalagi meludah atau muntah dengan di sengaja.
4. Norma Hukum
Pengaturan yang dibentuk oleh penguasa negara menimbulkan norma
hukum. Kaidah tersebut berupa peraturan-peraturan dalam segala bentuk dan
jenisnya. Di dalam kehidupan sehari-hari terbukti bahwa norma hukum mengikat
setiap orang. Pelaksanaan norma hukum dapat dipaksakan dan dipertahankan oleh
negara.
Dipertahankannya atau dipaksakannya norma hukum oleh negara
merupakan salah satu keistimewaan norma hukum dengan ancaman pidana (bagi
hukum pidana), hukuman (bagi perdata atau hukum dagang). Upaya mewujudkan
pertahanan dan paksaan tidak mungkin dapat berjalan dengan sendirinya, tetapi
hal itu harus dilaksanakan oleh alat-alat kekuasaan negara. Pelaksanaan tersebut
bukan berarti tindakan sewenang-wenang, akan tetapi merupakan upaya agar
peraturan tersebut ditaati dan terlaksana dengan sebaik-baiknya.
Ada beberapa contoh kaidah hukum:
1. Hukum Pidana
Baragsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan penjara paling lama lima
tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (pasal 362
KUHP), di dalam pasal ini ditentukan besarnya pidana penjara yakni paling
lama lima tahun. Apabila seorang pencuri itu dikenakan pidana sebagaimana
telah ditentukan di dalam pasal ini maka pelaksanaan tersebut dapat
dipaksakan oleh negara.
2. Hukum Perdata

Jual beli barang milik orang lain adalah batal, dan dapat
memberikan dasar untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli
tidak telah mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain (pasal 1471
KUHPerdata). Di dalam ayat ini dijelskan bahwa jual beli barang orang adalah
batal. Maksudnya, adalah apabila terkjadi perselisihan mengenai jual beli
sebagaimana isi undang-undang maka negara dapat memaksakan pembatalan
tersebut agar pihak-pihak yang bersedia mematuhi (inisiatif).
3. Hukum Dagang
Demikian di bidang hukum dagang terdapat banyak norma-norma
hukum yang mengikat para pihak misalnya:
a. Syarat-syarat mendirikan perseroan
b. Ketentuan-ketentuan wesel
c. Masalah hukum paten
d. Masalah aksep.
BAB II
PENGERTIAN HUKUM

A. Pendahuluan
Bagi yang ingin mempelajari tentang hukum, pasti timbul pertanyaan “apakah
Hukum itu? Sebenarnya para sarjana telah lama mencari suatu batasan tentang hukum
tetapi belum ada yang memberikan suatu batasan atau definisi yang tepat. Batasan-
batasan yang diberikan adalah bermacam-macam, berbeda satu sama lain dan tidak
lengkap. Maka masih tepatlah ucapan sarjana hukum Belanda Immanuel Kant (tahun
1800) yang pernah mengatakan “Noch suchen die juristen eine Definition zu ihren
Begtiffe von Recht” yang artinya lebih kurang; Para juris masih mencari suatu deinisi
mengenai pengertian tentang hukum.
Apabila ucapan tersebut dikaji memang terkandung kebenaran karena :
1. Sampai sekarang para sarjana belum ada yang memberikan definisi yang sama,
baik mereka itu sarjana Hukum dari luar maupun dari dalam negeri;
2. Dalam pemberian definisi tentang hukum, para sarjana Hukum meninjau hukum
dari segi yang berbeda-beda seperti; segi sejarah, sosial, ekonomi, filsafat dan
sebagainya, sesuai latar belakang dari sejarah itu sendiri.
3. Hukum adalah gejala sosial yang berubah-ubah, mengikuti perkembangan yang
ada di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh zamannya.
4. Hukum merupakan pengatur dan petunjuk dalam kehidupan masyarakat sehingga
hukum selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri.
5. Hukum selalu dipengaruhi oleh kebiasaan/adat, kesusilaan, kebudayaan, agama
dan sebagainya.

B. Pengertian hukum
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa.
Berisikan suatu perintah, larangan, atau ijin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu,
dengan tujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. Untuk mencari
definisi hukum adalah sulit dan sampai sekarang masih dicari-cari, seandainya ada
yang mendefinisikan akan dipengaruhi oleh latar belakang mereka masing-masing
yang dapat dikutip sebagai berikut:
1. Van Vollenhoven: Hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang
bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur membentur tanpa henti dengan
gejala-gejala lainnya;
2. Van Kan: hukum adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan penghidupan bersifat
memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingan orang dalam masyarakat;
3. Prof. Sudirman: hukum adalah pikiran/anggapan orang tentang adil dan tidak
adil mengenai hubungan antar manusia
4. Kantorowich: Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan sosial yang
mewajibkan perbuatan lahir yang mempunyai sifat keadilan serta dapat
dibenarkan.
5. Dr. E. Ultrecht SH: Hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib
suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan.
6. M.H. Tirtaamidjaja, SH: Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus ditaati
dalam tingkah laku, tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman
harus mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan membahayakan
diri sendiri atau harta, umpama orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda
dan sebagainya.
Dari beberapa pengertian tentang hukum di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa hukum adalah:
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3. Peraturan itu bersifat memaksa;
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah memaksa.

C. Pembagian hukum

Hukum dibedakan menjadi 3 macam:


1. Hukum Normatif adalah hukum yang nampak dalam peraturan perundang-
undangan termasuk hukum yang tidak tertulis yang tetap diindahkan dan ditaati
oleh masyarakat.
2. Hukum Ideal adalah hukum yang dicita-citakan yang berakar pada perasaan
manusia. Hukum ini memenuhi perasaan keadilan semua bangsa dan benar-benar
objektif.
3. Hukum wajar adalah adalah hukum yang terjadi dan tampak dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya: kebiasaan masyarakat berkendara pada siang hari tanpa
menghidupkan lampu. Karena sudah terbiasa maka dianggap tidak melanggar
hukum sehingga dianggap wajar-wajar saja.

D. Ciri dan Sifat Hukum


Untuk dapat mengenal hukum itu kita harus dapat mengenal ciri-ciri hukum.
yaitu:
a. Adanya perintah dan/atau/larangan;
b. Perintah dan/larangan itu harus patuh dan ditaati setiap orang.
Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata
tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu
hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur hubungan orang
yang satu dengan orang yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan
yang dinamakan kaidah hukum.
Barang siapa yang dengan sengaja menlanggar seuatu kaidah hukum akan
dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran kaidah hukum) yang berupa hukuman.
Hukuman atau pidana itu bermacam-macam jenisnya, yang menurut pasal 10
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ialah:
a. Pidana pokok, yang terdiri dari:
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
a. seumur hidup
b. sementara (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya satu tahun)
atau pidana penjara selama waktu tertentu.
3. Pidana kurungan, sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya satu
tahun;
4. Pidana denda (sebagai pengganti hukuman kurungan);
5. Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan, yang terdiri dari:
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu.
3. Pengumuman keputusan hakim.
Telah djelaskan di atas, bahwa agar tata tertib dalam masyarakat itu tetap
terpelihara, maka haruslah kaidah -kaidah hukum itu ditaati.
Akan tetapi tidaklah semua orang mentaati kaidah -kaidah hukum itu, dan agar
supaya sesuatu peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati
sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan hidup kemasyarakatan itu benar-
benar dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaidah hukum. Maka peraturan hidup
kemasyarakatan itu harus dilengkapi dengan unsur memaksa.
Dengan demikian hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Ia
merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatn yang dapat memaksa orang
supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberi sanksi yang tegas (berupa
hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh mantaatinya.
BAB III
TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM

A. Pendahuluan
Mengingat banyak pendapat yang berbeda-beda tentang tujuan hukum, maka
untuk menatakan secara tegas apakah tujuan hukum itu adalah sulit. Ada yang
beranggapan bahwa tujuan itu kedamaian, keadilan, kefaedahan, kepastian hukum dan
sebagainya. Semua itu menunjukkan bahwa hukum itu gejala masyarakat.
Dalam pergaulan masyarakat aneka macam hubungan antar anggota
masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan dalam
masyarakat itu. Dengan banyak dan aneka ragamnya hubungan itu, para anggota
masyarakat memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar
dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat.
Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan antara anggota
masyarakat, diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan
keinsyafan antar anggota masyarakat itu. Peraturan-peraturan yang bersifat mengatur
dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, menyebabkan
terdapatnya keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat. Setiap
pelanggar peraturan hukum yang ada, akan dikenai sanksi yang berupa hukuman
sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukannya.
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus
dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum
yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari
masyarakat tersebut. Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada
keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.

B. Tujuan hukum
Mengenai pendapat dari berbagai ahli sejarah dan sarjana hukum dapat
diketengahkan sebagai berikut:
1. Dr. Wirjono Projodikoro
Dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum” mengemukakan bahwa
tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan kebahagiaan dan tata tertib dalam
masyarakat.
Ia mengatakan bahwa masing-masing anggota masyarakat mempunyai
kepentingan yang beraneka ragam. Ujud dan jumlah kepentingan tergantung pada
ujud dan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh para anggota masyarakat
masing-masing.
Untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut timbul berbagai usaha
untuk mencapainya, yang menyebabkan timbulnya bentrokan-bentrokan antara
berbagai macam kepentingan-kepentingan para anggota masyarakat. Akibat
bentrokan tersebut masyarakat menjadi guncang dan keguncangan itu harus di
hindari. Mengindarkan keguncangan dalam masyarakat inilah sebetulnya maksud
dari pada tujuan hukum, maka hukum menciptakan pelbagai hubungan tertentu
dalam masyarakat. Hubungan ini bermacam-macam ujudnya.

2. Prof. Subekti
Dalam bukunya “Dasar-dasar hukum dan Pengadilan”, Prof. Subekti, SH
mengemukakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya ialah
mendatangkan kemakmuran dan kebahagian rakyatnya. Pengabdian tersebut
dilakukan dengan cara menyelenggarakan “Keadilan dan Ketertiban”. Keadilan ini
digambarkan sebagai suatu keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam
hati orang yang apabila melanggar menimbulkan kegelisahan dan guncangan.
Kaidah ini menurut “dalam keadaan yang sama dan setiap orang menerima bagian
yang sama pula”.
Dengan demikian hukum tidak hanya memberikan keseimbangan antara
kepentingan yang bertentangan satu sama lain., akan tetapi juga untuk
mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan ketertiban
atau kepastian hukum.

3. Prof. Mr. Dr. L.J. Apeldoorn


Dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlands reht” Apeldoorn
menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat
secara damai dan adil.
Untuk mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil
dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu
sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang
menjadi haknya. Pendapat Van Apeldoorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara
dua teori tujuan, hukum etis dan utilitis.
a. Teori Etis
Teori Etis mengajarkan bahwa hukuman itu semata-mata menghendaki
keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamanan teori etis,
karena teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran
etis kita mengenai apa yang adil dan yang tidak adil.
Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk
untuk orang-orang dalam pergaulan masyarakat. Jika hukum semata-mata
menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-tiap
orang apa yang patut diterimanya, maka ia tidak dapat membentuk peraturan-
peraturan umum.
Dengan demikian hukum harus menentukan peraturan umum, harus
menyamaratakan. Tetapi keadilan melarang menyamaratakan, keadilan
menuntut supaya setiap perkara harus ditimbang tersendiri. Oleh karena itu
kadang-kadang pembentuk undang-undang sebanyak mungkin memenuhi
tuntutan tersebut dengan merumuskan peraturan-peraturan sedemikan rupa,
sehingga hakim diberikan kelonggaran yang besar dalam melakukan
peraturan-peraturan tersebut atas hal-hal yang khusus.
b. Teori Utilitis
Jeremy Bentham dalam bukunya “introduction to the morals and
legislation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-
mata apa yang berfaedah bagi orang.
Oleh karena itu apa yang berfaedah bagi orang yang satu, mungkin
merugikan orang lain, maka menurut teori utilitis, tujuan hukum ialah
menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyakna pada orang sebanyak-
banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan
utama daripada hukum.
4. Aristoteles
Dalam bukunya “Rhetorica” mencetuskan teori bahwa tujuan hukum
menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh
kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.
Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur, ialah keadilan
dengan memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang berhak ia terima yang
memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Apabila ini dilaksanakan
maka tidak ada habis-habisnya. Oleh karena itu hukum harus membuat apa yang
dinamakan “Algemeene Regels” (peraturan/ketentuan-ketentuan umum).
Peraturan ini diperlukan oleh masyarakat teratur demi kepastian hukum,
meskipun pada suatu waktu dapat menimbulkan ketidakadilan.
Berdasarkan peraturan-peraturan umum pada kasus-kasus tertentu hakim
diberikan kewenangan untuk memberikan keputusan. Jadi penerapan peraturan
umum pada kasus-kasus yang kongkret diserahkan pada hakim, maka dari itu
tiap-tiap peraturan umum harus disusun sedemikian rupa sehingga hakim
dapat/diberi kesempatan untuk melakukan penafsiran di pengadilan.

5. Jeremy Betham
Dalam bukunya “introduction the morals and legislation”, ia mengatakan
bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Pendapat
ini dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat
umum tanpa memperhatikan soal keadilan. Teori yang berhubungan dengan
kefaedahan ini dinamakan teori utilitis, yang berpendapat bahwa pada dasarnya
bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah bagi orang yang satu dapat juga
merugikan orang lain, maka tujuan hukum adalah memberikan faedah sebanyak-
banyaknya. Di sini kepastian melalui hukum bagi perorangan merupakan tujuan
utama daripada hukum. Teori ini berkembang di Inggris dan pengikutnya adalah
John Stuart Mill dan John Austin.

6. Mr.J.H.P Bellfroid
Bellroid menggabungkan dua pandangan ekstrem tersebut, ia menyatakan
dalam bukunya “Inleiding tot de Rehtswetenshap in Nederland” bahwa isi hukum
harus ditentukan menurut dua asas yaitu asas keadilan dan asas faedah.
7. Prof. Mr. J. Van Kan
Ia bependapat bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap
manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu. Di sini
jelaslah bahwa hukum bertugas menjamin kepastian hukum di dalam masyarakat
dan juga menjaga serta mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim sendiri
(eigenriching in verboden). Tetapi tiap perkara harus diselesaikan melalui poses
pengadilan berdasarkan hukum yang berlaku.

C. Fungsi hukum
Dengan banyaknya peran hukum yang tak terhingga banyaknya itu, maka
hukum mmepunyai fungsi: “menertibkan dan mengatur dalam pergaulan dalam
masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Dalam perkembangan
masyarakat fungsi hukum dapat terdiri dari:
1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan. Manusia
dalam masyarakat, hukum menunjukkan mana yang baik dan mana yang tidak.
Hukum juga memberikan petunjuk mana yang harus diperbuat dan mana yang
tidak boleh, sehingga segala sesuatunya dapat berjalan tertib dan teratur.
Semuanya ini dimungkinkan karena hukum mempunyai sifat dan watak mengatur
manusia serta mempunyai ciri memerintah dan melarang. Begitu pula hukum
dapat memaksa supaya hukum ditaati anggota masyarakat. Sebagai contoh: “orang
yang mau menonton di bioskop sama-sama tahu apa yang harus dilakukan: beli
karcis harus antri, mau masuk harus antri, bila pertunjukan selesai penonton keluar
lewat pintu keluar yang sudah ditentukan. Kesemuanya berjalan tertib dan teratur,
karena semua sama-sama mengerti dan mentaati peraturan-peraturan yang telah
ditentukan.
2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin
Hukum mempunyai ciri memerintah dan melarang, hukum mempunyai sifat
memaksa, hukum mempunyai daya yang mengikat fisik dan psikologis. Karena
hukum mempunyai ciri, sifat dan daya mengikat tersebut, maka hukum dapat
memberikan keadilan ialah dapat menentukan siapa yang salah dan siapa yang
benar. Hukum dapat menghukum siapa yang salah dan memaksa agar mentaati
peraturan dan siapa yang melanggar diberi sanksi hukuman.
Contoh: siapa yang berhutang harus membayar adalah perwujudan daripada
keadilan.
3. Sebagai sarana penggerak pembangunan
Daya pengikat dan pemaksa dari hukum dapat digunakan atau
didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat
untuk membawa masyarakat kearah yang lebih maju. Dalam hal tersebut sering
timbul kritik, bahwa hukum hanya melaksanakan dan mendesak masyarakat
sedangkan aparatur otoritas lepas kontrol hukum. Sebagai imbangan dapat dilihat
dari fungsi kritis daripada hukum.
4. Sebagai fungsi kritis
Dr. Soedjono Dirdjosiworo, SH dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum,
halaman 115 menyatakan bahwa “Dewasa ini sedang berkembang suatu
pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak
semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah saja melainkan
aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya.
Demikianlah hukum memiliki fungsi-fungsi yang sedemikian rupa sehingga
di dalam suatu kehidupan bermasyarakat, diharapkan terwujudnya ketertiban,
keteraturan, keadilan dan keseimbangan sedemikan rupa sehingga dijumpai
masyarakat yang senantiasa berkembang. Agar hukum dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik dan seyogyanya, maka bagi pelaksana penegak hukum
dituntut kemampuan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dengan
menafsirkan hukum sesuai dengan seni yang dimiliki masing-masing, antara lain
dengan menafsirkan hukum sesuai keadaan dan posisi pihak-pihak sedemikian
rupa.
Bila perlu dengan menerapkan penafsiran analogis (menentukan kebijakan
untuk hal yang sama, atau hampir sama), serta penghalusan hukum bagi
tercapainya kebijakan yang kongkrit. Di samping itu perlu diperhatikan faktor
pelaksana penegak hukum, yang membutuhkan kecekatan dan ketangkasan serta
ketrampilanya. Ingat yang penting adalah The singer but not the song. Si penyanyi
adalah semua insan dimana hukum berlaku baik warga masyarakat ataupun para
pejabat, termasuk para penegak hukum.
D. Hukum Dalam arti formil dan materiil
Secara materiil bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa
norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan
menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota
masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu
Secara formal adalah kehendak ciptaan manusia berupa norma-norma yang
berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan
BAB IV
SUBYEK DAN OBYEK HUKUM

A. Pendahuluan
Pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban disebut
subjek hukum. Jadi boleh dikatakan bahwa tiap manusia baik warga negara maupun
orang asing dengan tidak memandang agama atau kebudayaan adalah subjek hukum.
Manusia sebagai pembawa hak (subjek) mempunyai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban untuk melakukan tindakan hukum. Ia dapat mengadakan pesetujuan,
menikah, membuat wasiat, dan sebagainya. Di samping manusia pribadi pembawa
hak, terdapat badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status
“persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia sebagai badan hukum.
Pembawa hukum sebagai pembawa hak tidak berjiwa dapat melakukan sebagai
pembawa hak manusia, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan
anggota-anggotanya. Manusia sebagai pembawa mahluk hidup sebagai subjek hukum.
Apakah binatang yang merupakan makhluk hidup dan berjiwa dapat menjadi subjek
hukum?

B. Subjek hukum
Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk
melakukan perbedaan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk
bertindak dalam hukum. Subjek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut
hukum berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak (Rechtsbevoegdheid).
Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.
Pada dasarnya yang menjadi subjek hukum adalah manusia/orang atau
persoon. Ada dua pengertian orang/persoon sebagai subjek hukum:
1. Natuurlijk person adalah mens persoon yang disebut orang atau manusia pribadi
dan,
2. Rechtsperson adalah yang berbentuk badan hukum yang dapat dibagi dalam:
a. Publiek Rechts-person, yang sifatnya ada unsur kepentingan umum seperti
negara, daerah Tk. I, Tk. II desa dan,
b. Privaat rechtpersoon/badan hukum privat yang mempunyai sifat/adanya unsur
kepentingan individual.
C. Manusia sebagai subjek hukum
1. Dasar Hukum
Menurut hukum yang berlaku setiap manusia mempunyai hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban ini dilindungi oleh hukum misalnya:
a. Adanya larangan mengenai perampasan atas pendukung hak tersebut
mengakibatkan Burgelijke dood (kematian perdata) misalnya perbudakan dan
sebagainya.
b. Larangan kematian perdata ini dicantumkan dalam pasal 3 KUHPerdata, dan
Pasal 15 UUDS 1940 ayat (2) yang berbunyi: “Generlei straf heeft de
burgelijke dood of het verlies van alle bergelijke reghten tengevolge”.
(hukuman tidak dapat merampas semua hak dari yang dikenai hukuman itu).
Pasal 15 UUDS 1950 ayat 2 berbunyi “tidak suatu hukumanpun
mengakibatkan kematian perdata atau hilangnya semua hak-hak
kewarganegaraan”
c. Sidang pleno Konstituante tanggal 11 September 1988 menerima perumusan
”orang tidak boleh dihukum dengan mengakibatkan hilangnya hak asasi
manusia/warga negara”
d. Sila dari Pancasila Perikemanusiaan “melarang manusia dijadikan obyek
hukum, sehingga diperlakukan sebagai benda (objek yang dapat dijualbelikan,
digadaikan dan sebagainya).
e. UUDS 1950 menyatakan bahwa perbudakan orang/perdagangan budak dan
penghambaan budak dilarang. Pasal 10 UUDS 1950 tersebut berbunyi: “Tidak
seorangpun boleh diperbudak, diberlakukan atau diperhamba. Perbudakan,
perdagangan budak dan perhambaan dan segala perbuatan berupa apapun yang
tujuanya sama dilarang.

2. Pendapat para pakar


Mengenai apa yang dimaksud dengan orang dapat dikemukakan pendapat
beberapa pakar hukum antara lain:
a. Menurut Prof. J. Hardjawidjaja, SH. Orang adalah pengertian terhadap
manusia.
b. Menurut Prof. Eggens yang dimaksud dengan orang adalah manusia sebagai
rechtspersoon.
c. Prof. Ko Tjai Sing berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang tidak
hanya manusia biasa tetapi juga badan hukum. Manusia dan badan hukum
dapat mempunyai hak dan kewajiban hak dan dalam orang dapat diartikan
sebagai subjek hukum.

3. Pandangan hukum modern


Setiap orang/pribadi secara asasi merupakan pendukung hak yang berlaku
sama bagi seluruh umat manusia. Karena mereka sama-sama merupakan mahluk
Tuhan YME. Tiap persoon adalah subjek hukum dengan tidak memandang agama
atau kewarganegaraan. Pasal 3 AB menyebutkan “Zoolang de wet niet
bepaaldelijk en het handels recht hetzelfde zoowel voor vreemdelingen als voor
Nedelandsche onderdanen”. Sepanjang undang-undang tidak menentukan
sebaliknya maka hukum Perdata dan hukum Dagang adalah sama bagi orang-
orang asing maupun warga negara Belanda.

4. Pandangan dunia
Setiap manusia/pribadi menjadi subjek hukum sejak saat dia lahir yang
berakhir dengan kematian.

5. Pandangan agama
Seorang manusia/pribadi menjadi subjek hukum sejak benih/pembibitan
ada pada kandungan ibunya, selama ia hidup dan setelah ia meninggal dunia
sampai akhirat, sehingga menurut hukum agama pengguguran kandungan
merupakan pembunuhan anak itu dan telah melanggar hak sebagai subjek hukum
dari anak yang akan lahir.
Agama menegaskan bahwa manusia adalah subjek hukum, sebagai
makhluk yang dimuliakan Tuhan. Menurut Undang-Undang Perkawinan, No. 1
Tahun 1974 Pasal 1, hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan
kedudukan suami di rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Di dalam
Undang-undang ini disebutkan pula adanya pembagian tugas diantara suami dan
istri. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga.
6. Pandangan hukum di Indonesia
a. Bahwa setiap manusia/pribadi adalah pendukung hak.
Pasal 7 UUDS 1950 menyebutkan: Ayat 1 „Setiap orang diakui sebagai
manusia pribadi terhadap undang-undang‟. Ayat 2 „Setiap orang berhak
menuntut perlindungan yang sama oleh undang-undang‟. Ayat 3 „ Segala
yang berhak terhadap tiap-tiap pembelakangan dan terhadap tiap-tiap
penghasutan untuk melakukan pembelakangan demikian‟. Ayat 4 „Setiap
orang berhak menuntut perlindungan bantuan hukum yang sungguh-sungguh
dari hakim-hakim yang ditentukan untuk itu, melawan perbuatan-perbuatan
yang berlawanan dengan hak-hak dasar yang diperkenankan kepadanya
menurut hukum‟.
b. Dalam sidang Pleno tanggal 11 September 1958 oleh Konstituante diterima
sebagai salah satu hak asasi manusia, setiap orang berhak atas kehidupan dan
penghidupan. Kemerdekaan dan keselamatan pribadinya.
c. Asas tersebut dalam UUD 1945 hanya menjamin secara tegas bagi warga
negara saja, tetapi dapat diperluas untuk warga negara asing sepanjang tidak
merugikan kedudukan warga negara Indonesia sendiri.
Ayat 1 „Segala warga negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya‟. Ayat 2 „Tiap-tiap warga negara berhak atas
penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan‟.
d. Mengenai hukum privat berlaku Pasal 1 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa dalam menikmati hak-hak perdata tidak tergantung pada hak-hak
kenegaraan (het genot van burgelijke reghten is onanfhankelijk van
staatkundige reghten).
e. Dimuka telah dijelaskan bahwa orang asingpun menjadi subjek hukum asala
perlindungan atas kedudukan orang asing itu tidak merugikan kedudukan
warga negara sendiri. Jadi orang asing tidak mempunyai semua hak hukum
yang dimiliki oleh warga negara. Pasal 23 UUDS menunjukkan hak-hak yang
hanya dimiliki oleh warga negara.
Ayat1 „Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerntahan
dengan langsung atau dengan perantaraan wkil-wakil yang dipilih dengan
bebas menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang‟. Ayat 2 „Setiap
warga negara dapat diangkat dalam tiap jabatan pemerintahan menurut
peraturan yang ditetapkan oleh Undang-undang.

D. Obyek hukum
Manusia dapat menjadi subjek hukum sepanjang hak dan kewajibannya
sebagai subjek hukum dilenyapkan atau dicabut.
1. Zaman pendudukan
Dalam keadaan demikian itu, maka manusia dianggap sebagai benda yang
dapat diperjualbelikan, dapat disewakan, disiksa, bahkan dapat disembelih seperti
binatang tanpa adanya suatu pembelaanpun. Keadaan yang demikian itu pernah
terjadi pada zaman perbudakan/sebelum abad pertengahan sampai abad 17-18.
Dibawanya orang-orang negro dengan dibujuk, dijanjikan pekerjaan dan dipaksa
meninggalkan benua hitam Afrika. Di bawa oleh orang-orang kulit putih, antara
lain ke benua Amerika melalui perantara dan perdagangan budak untuk
dipekerjakan di perkebunan kapas dan lain-lain.
Terlihat bahwa budak-budak itu diperdagangkan diantara pedagang budak,
diternakkan seperti ayam atau sapi dengan bibit-bibit unggul, sehingga melahirkan
budak-budak yang kuat yang dapat dijual dengan harga yang tinggi. Memaksa
merka dipekerjakan di perkebunan kapas di negeri bagian selatan Amerika
Serikat. Kalau budak itu malas atau letih akan dicambuki atau disiksa secara
kejam.
2. Pandangan hukum modern
Setiap manusia mempunyai kepribadian yang dijamin oleh hukum, sejak
lahir di muka bumi sampai ia mati dan dimaksukkan ke liang lahat. Selama itu hak
asasinya tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Jika seseorang memperlakukan
orang lain sebagai subjek hukum, hal ini merupakan pelanggaran hak asasi
manusia secara universal dan merupakan pelanggaran hukum yang berlaku di
negara itu. Kalau kita hubungkan perhatian bahwa orang tidak dapat diperlakukan
sebagai obyek hukum, maka setiap orang (naturlijk persoon) haruslah
diperlakukan seperti manusia sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Dalam sila ke 2 dalam Pancasila disebutkan bahwa manusia diakui dan
diberlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang
Maha Esa, sama hak dan kewajiban tanpa membedakan suku, keturunan, agama
dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
3. Pandangan agama
Menurut ketentuan agama, maka tidak dibenarkan manusia diperlakukan
dan dianggap sebagai obyek hukum seperti binatang. Di dalam Al Qur‟an Surat
Al Isra, menyebutkan: „Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkat mereka dari darat dan di lautan, Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah Kami ciptakan.
Adanya ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah SWT telah memuliakan
manusia dengan akal pikiran, kemampuan berkata-kata, kemampuan mengatur
kehidupan dan masa depannya sendiri. Dan ini menegaskan bahwa dalam agama,
manusia adalah mahluk yang sempurna di muka bumi ini, yang mempunyai
kedududkan lebih tinggi dari mahluk lainnya atau binatang.
BAB V
PERISTIWA AKIBAT HUBUNGAN HUKUM

A. Pendahuluan
Anggota-anggota masyarakat tiap hari mengadakan hubungan satu dengan
yang lain menimbulkan berbagai peristiwa kemasyarakaan. Peristiwa-peristiwa
kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat dinamakan Peristiwa
hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit).
Apabila seseorang meminjamkan sebuah sepeda dari orang lain, maka
terjadilah suatu peristiwa, yakni peristiwa pinjam meminjam. Dalam dunia hukum
ditentukan kaidah yang menetukan, bahwa si peminjam berkewajiban mengembalikan
benda yang dipinjamnya dan pemiliknya berhak meminta kembali benda yang
dipinjamkan.

B. Peristiwa Hukum

Dalam hukum dikenal dua peristiwa hukum yaitu:

1. Perbuatan subjek hukum (manusia dan badan hukum)


Perbuatan subjek hukum itu dapat pula dibedakan antara perbuatan hukum
dan bukan perbuatan hukum. Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum kalau
perbuatan itu oleh hukum diberi akibat (mempunyai akibat hukum) dan akibat itu
dikehendaki oleh yang bertindak.
Apabila akibat suatu perbuatan tidak dikehendaki oleh yang
melakukannya atau salah satu dari yang melakukannya, maka perbuatan itu
bukanlah perbuatan hukum. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa,
kehendak dari yang melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan
tersebut. Jadi suatu perbuatan yang akibatnya tidak dikendaki oleh yang
melakukannya bukanlah suatu perbuatan hukum. Dikenal dua macam perbuatan
hukum, yaitu: a. Perbuatan hukum yang bersegi satu (eenzijdig)
Perbuatan hukum yang bersegi satu ialah tiap perbuatan yang
akibatnya ditimbulkan yang dikendaki oleh satu subjek hukum saja (satu pihak
yang melakukan perbuatan itu), seperti misalnya perbuatan hukum yang
disebut dalam Pasal 875 KUHPerdata, yaitu perbuatan mengadakan surat
wasiat.
b. Perbuatan hukum yang bersegi dua (tweezijdig)
Perbuatan hukum yang bersegi dua adalah perbuatan yang akibat
hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari dua subjek hukum dua pihak atau
lebih. Tiap perbuatan hukum bersegi dua merupakan perjanjian. Dalam Pasal
1313 KUHP ditegaskan, bahwa perjanjian itu ialah suatu perbuatan yang
menyebabkan seorang atau lebih mengikat dirinya pada seorang lain atau
lebih.
2. Peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum (Zaakwaarneming dan
onrechtmatige daad).
Adapun perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum dapat dibedakan
dalam:
a. Perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum (Zaakwaarneming)
Walaupun bagi hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh
pihak yang melakukan perbuatan itu. Jadi akibat yang dikehendaki oleh yang
melakukan perbuatan itu diatur oleh hukum, tetapi perbuatan tersebut
bukanlah perbuatan hukum.
Contoh: perbuatan yang memperhatikan (mengurus) kepentingan
orang lain dengan tidak diminta oleh orang itu untuk memperhatikan
kepentinganya (Zaakwaarneming) yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata,
misalnya A tidak dapat memperhatikan kepentinganya karena menderita sakit.
Apabila orang lain (si B) memperhatikan kepentingan si A walaupun tidak
diminta oleh si A supaya memperhatikan kepentinganya, maka orang-orang
itu (si B) mau tidak mau menurut hukum wajib meneruskan perhatian
(pengurusan) tersebut sampai si A sembuh dan dapat kembali memperhatikan
sendiri kepentinganya.
b. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum (Onrechtmatige daad).
Akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur oleh
hukum, meskipun akibat itu memang tidak dikehendaki oleh yang melakukan
perbuatan tersebut. Dalam hal ini, siapa yang melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum harus menganti kerugian orang yang menderita
kerugian karena perbuatan itu. Jadi suatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum timbullah suatu perikatan untuk mengganti kerugian yang diderita oleh
orang yang menderita kerugian.
Adapun asas tersebut tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang
meengaskan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum
(melanggar hukum), yang merugikan orang lain, mewajibkan pihak yang
merugikan mengganti kerugian pihak yang dirugikan.
Dalam sejarah hukum “perbuatan yang bertentangan dengan hukum‟
yang disebutkan dalam pasal 1365 KUHPerdata telah diperluas pengertiannya
menjadi: membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu (melalaikan sesuatu)
yang:
1. Melanggar hak orang lain
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan
itu.
3. Bertentangan dengan baik kesusilaan maupun asas-asas pergaulan
kemasyarakatan mengenai kehormatan orang lain atau barang orang lain.
Mengenai contoh dari suatu peristiwa lain yang bukan perbuatan hukum
ialah: kelahiran, kematian, lewat waktu atau kadaluwarsa.
a. Kelahiran langsung menimbulkan hak dari hak-hak anak itu untuk
memperoleh pemeliharaan dari orang tuanya (Pasal 298 ayat 2 KUHPerdata).
b. Tentang kematian diatur dalam Pasal 380 dan 833 KUHPerdata.
c. Ada dua macam lewat waktu yaitu:
1) lewat waktu akuisitif, orang dapat memperoleh sesuatu hak sehabis masa
tertentu dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-
undang.
2) Lewat waktu ekstinktif dapatlah disebutkan suatu lewat waktu yang
mengakibatkan memperoleh sesuatu.
Oleh karena itu lewat waktu akuisitif menjadi salah satu cara
memperoleh hak milik, sebagai mana disebutkan dalam Pasal 584
KUHPerdata. Berdasarkan lewat waktu ekstinktif seseorang dapat dibebaskan
dari sesuatu tanggung jawab (disebut „Haftung‟ dalam bahasa Jerman) sehabis
masa tertentu dan apabila syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang
dipenuhi.
C. Akibat hukum
Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh
suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan ini
dinamakan tindakan hukum, jadi dengan perkataan lain, akibat hukum adalah akibat
dari suatu tindakan hukum. Contohnya: membuat wasiat, pernyataan berhenti
menyewa.
Ujud dari akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa
hukum. Akibat hukum ini dapat berwujud:
a. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum.
Contoh: usia menjadi 21 tahun, akibat hukumnya berubah-ubah dari tidak cakap
menjadi cakap hukum atau dengan adanya pengampunan, lenyaplah kecakapan
melakukan tindakan hukum.
b. Lahirnya atau berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau
lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu dberhadapan
dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.
Contohnya: A mengadakan perjanjian jual-beli dengan B, maka lahirlh hubungan
hukum antara A an B. Sesudah dibayar lunas, hubungan hukum tersebut menjadi
lenyap.
c. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.
Contoh: seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari
perbuatan si pencuri tersebut ialah mengambil barang orang lain tanpa hak dan
secara melawan hukum.

Suatu hubungan hukum memberikan hak dan kewajian yang telah ditentukan
oleh undang-undang, sehingga kalau dilanggar akan mempunyai akibat, bahwa orang
yang melanggar dapat dituntut di muka pengadilan. Suatu hubungan pergaulan
persahabatan biasa seperti ingkar janji untuk menonton bioskop bersama tidak
membawa akibat hukum. Namun secara non hukum misalnya ganjalan dan tidak enak
dari yang dijanjikan bisa saja terjadi.
D. Hubungan hukum
1. Beberapa Pengertian
Hubungan hukum ialah buhungan antara dua atau lebih subjek hukum.
Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan
dengan hak dan kewajiban pihak lain. Kita semua mengetahui bahwa hukum itu
mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara orang
dengan masyarakat yang lain. Jadi dalam semua hubungan di dalam masyarakat
diatur oleh hukum.
Barangsiapa yang menganggu atau tidak mengindahkan hubungan ini,
maka ia dapat dipaksa oleh hukum untuk menghormatinya. Misalnya: hubungan
hukum yang diatur oleh hukum ialah Pasal 1457 KUHPerdata tentang perikatan
(verbintenis), yang timbul karena adanya suatu perjanjian. Jadi setiap hubungan
hukum mempunyai dua segi: „bevoegdheid‟ (kekuasaan/kewenangan atau hak)
dengan lawannya „plicht‟ atau kewajiban. Kewenangan yang diberikan oleh
hukum kepada subyek hukum ( orang atau badan hukum) dinamakan „hak‟.
Dengan demikian hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan sosial memberikan suatu hak kepada subyek hukum untuk
berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu yang diwajibkan oleh hak itu, dan
terlaksananya kewajiban/hak dan kewajiban tersebut dijamin oleh hukum.
Mengenai hubungan hukum ini, Logeman berpendapat bahwa, tiap
hubungan hukum tersebut pihak yang berwenang/berhak meminta prestasi yang
disebut dengan “prestatie subject” dan pihak yang wajib melakukan prestasi yang
disebut “plicht subject”.

2. Segi Hubungan Hukum


Tiap hubungan hukum mempunyai sua segi, yaitu:
a. Bevoegdheid atau kewenangan yang disebut Hak, dan
b. Plicht atau kewajiban adalah segi pasif daripada hubungan hukum.

Hak dan kewajiban ini kedua-duanya timbul dari satu peristiwa hukum
(misalnya jual beli) dari satu pasal hukum obyektif (Pasal 1474 KUHPerdata).
Pun lenyapnya hak dan kewajiban juga bersamaan.

Contoh: Pasal 1763 KUHPerdata: seorang kreditur “berhak” menagih


debitur sejumlah uang yang dipinjamkan, sedangkan di debitur “wajib” melunasi
sejumlah utamgnya itu, maka wewenang kreditur dan kewajiban debitur tersebut
diatas secara bersamaan menjadi lenyap. Hal ini terlihat dalam pasal 1381
KUHPerdata yang berbunyi: perikatan hapus karena penawaran pembayaran
tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan:

 Karena pembaharuan utang;



 Karena perjumpaan utang atau kompensasi;

 Karena percampuran utang;

 Karena pembebasan utang;

 Karena musnahnya barang yang terutang;

 Karena kebatalan atau pembatalan;karena berlakunya suatu syarat
batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini;

 Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur suatu bab tersendiri.


3. Unsur Hubungan Hukum
Hubungan hukum memiliki 3 unsur sebagai berikut:
a. Adanya orang-orang yang berhak/kewajiban saling berhadapan
Contoh: A menjual rumahnya kepada B. A berhak menyerahkan rumahnya
kepada B. A berhak menerima pembayaran kepada B. B wajib membayar
kepada A. B berhak meninta rumah A setelah dibayar.
b. Adanya obyek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban tersebut diatas
(dalam contoh diatas obyeknya adalah rumah)
c. Adanya hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau adanya
hubungan atas subyek yang bersangkutan.

Contoh: A dan B mengadakan hubungan sewa menyewa rumah. A dan B


sebagai pemegang hak dan pengemban kewajiban. Rumah adalah obyek yang
bersangkutan.

4. Syarat-Syarat Daripada Hubungan Hukum


Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum itu baru
ada apabila telah dipenuhinya sebagai syarat:
a. Adanya dasar hukum, ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum itu, dan
b. Timbulnya peristiwa hukum.
Contoh: A dan B mengadakan perjanjian jual beli rumah.
Dasar hukumnya Pasal 1474 dan Pasal 1513 KUHPerdata yang
masing-masing menetapkan bahwa si penjual mempunyai kewajiban
menyerahkan barang (Pasal 1474 KUHPerdata) dan sebaliknya si pembeli
berkewajiban membayar harga pembelian (Pasal 1513 KUHPerdata).
Karena adanya perjanjian jual-beli maka timbul peristiwa hukum
(jual-beli), ialah suatu perbuatan hukum yang akibatnya diatur oleh hukum.

5. Macam/Jenis Hubungan Hukum

Hubungan hukum itu ada 3 macam:

a. Hubungan hukum yang bersegi satu (eenzijdige rechtbetrekkingen).


Dalam hubungan hukum yang bersegi satu hanya satu pihak yang
berwenang. Pihak lain berkewajiban. Jadi dalam hubungan hukum yang
bersegi satu ini hanya ada satu pihak saja berupa memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata)
Contoh: tiap perikatan untuk memberikan sesuatu diatur dalam pasal
1235 sampai dengan 1238 KUHPerdata. Pasal 1235 KUHPerdata berbunyi
“dalam tiap-tiap perikatan dalam memberikan sesuatu adalah termaktub
kewajiban berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan
yang merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat
penyerahan, kewajiban yang terakhir adalah kurang atau lebih luas terhadap
persetujuan-persetujuan tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini akan
ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.
Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu
diatur dalam Pasal 1239 sampai dengan 1242 KUHPerdata. Pasal 1239
KUHPerdata berbunyi “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu, apabila si berhutang tidak memenuhi kewajiban,
mendapatkan penyelesaian dalam kewajiban penggantian biaya, rugi dan
bunga.
b. Hubungan hukum bersegi dua atau tweezijdige rechtbetrekingen.
Contoh: Di dalam perjanjian jula beli kedu belah pihak (masing-
masing) berwenang/berhak meminta sesuatu dari pihak lain. Tetapi
sebaliknya kedua belah pihak (masing-masing) juga berkewajiban untuk
memberikan sesuatu kepada pihak lain (Pasal 1457 KUHPerdata).
c. Hubungan antara „satu‟ subjek‟ hukum dengan semua subjek hukum lainnya.
Selain hubungan hukum bersegi satu dan bersegi dua di atas acapkali
ada hubungan antara satu subjek hukum dengan semua subjek hukum lainnya.
Hubungan ini terdapat dalam hal “eigendomsrecht” (Hak Milik).
Contoh: menurut Pasal 570 KUHPerdata, yang menjadi pemilik
berhak/berwenang memunggut segala kenikmatan (genot) dari tanah itu, asal
saja pemungutan kenikmatan itu tidak dilakukan secara bertentangan dengan
peraturan hukum atau bertentangan dengan kepentingan umum. Pemilik
berhak pula memindahtangankan atau vervreemdem (menjual, memberikan,
menukar, mewariskan) secara legal.
Sebaliknya “semua” subyek hukum lainnya berkewajiban mengakui
bahwa yang mempunyai tanah adalah pemiliknya dan berhak memungut
segala kenikmatan dari tanah itu.
BAB VI
KEKUATAN HUKUM

A. Pendahuluan
Tanpa memperhatian adanya sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum,
timbul pertanyaan-pertanyaan “Dari manakah asal hukum itu, mengapa hukum ditaati
orang dan mengapa kita harus tunduk pada hukum itu?”.
Persoalan ketaatan terhadap hukum telah menimbulkan berbagai teori dan
aliran pendapat atau mahzab-mahzab dalam ilmu penegtahuan Hukum.

B. Teori-teori dalam hukum


1. Mahzab Hukum Alam
Adapun teori tentang hukum alam telah ada sejak zaman dahulu yang
antara lain diajarkan oleh Aristoteles, yang mengajarkan bahwa ada dua macam
hukum yaitu:
a. Hukum yang berlaku karena penetapan negara
b. Hukum yang tidak tergantung drai pandangan manusia tentang baik buruknya
hukum yang asli.
Menurut Aristoteles, pendapat orang tentang keaslian adalah tidak sama,
sehingga seakan-akan tidak ada hukum alam yang “asli”. Negara haruslah di
diakui, bahwa keaslian sesuatu benda atau hal tidaklah tergantung pada waktu dan
tempat, pengecualian dalam sesuatu hal tentulah ada.
Prof. Subekti, S.H mengatakan bahwa menurut kodrat alam misalnya
tangan kanan adalah lebih kuat daripada tangan kiri, tetapi ada juga orang yang
tangan kirinya lebih kuat dari pada tangan kanan.
Berkaitan dengan itu Aristoteles, hukum alam itu ialah “Hukum yang oleh
orang-orang yang berfikiran sehat dirasakan selaras dengan hukum alam”.
Thomas Van Aquino (1225-1274) berpendapat bahwa segala kejadian di alam
dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu “Undang-Undang abadi” (lex
Eterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya.
Lex Eterna ini ialah kehendak dan pikiran Tuhan yang menciptakan dunia
ini. Manusia dikaruniai Tuhan dengan kemampuan berfikir dan kecakapan untuk
dapat membedakan baik dan buruk serta mengenal berbagai peraturan
perundangan yang langsung berasal dari “Undang-Undang abadi” itu, dan yang
oleh Thomas Aquino dinamakan “Hukum Alam” („Lex naturalis”).
Hukum alam tersebut hanyalah memuat asas-asas umum seperti misalnya:
a. Berbuat baik dan jauhilah kejahatan,
b. Bertindaklah menurut pikiran yang sehat
c. Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri.
Hugo de Groot (abad ke 17), seorang penganjur Hukum Alam dalam
bukunya “De Jure belli ac pacis” (Tentang Hukum Perang dan Damai”)
berpendapat, bahwa sumber hukum alam aiaih pikiran atau akal manusia. Hukum
alam menurut Gugo de Groot, ialah pertimbangan pikiran yang menunjukkan
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Hukum Alam itu merupakan suatu
pernyataan pikiran (akal) manusia yang sehat mengenai persoalan apakah suatu
perbuatan sesuai dengan kodrat manusia, dana karena perbuatan tersebut
diperlukan atau harus ditolak.

Teori Teokrasi

Teori tentang Hukum alam yang telah dijelskan di atas merupakan bagian
dari Filsafat Hukum, yang bertujuan menemukan jawaban atas pertanyaan “
Darimanakah asalnya Hukum dan mengapa kita harus tunduk pada hukum”.
Pada masa lampau Eropa para ahli fikir (Filosof) menganggap dan
mengajarkan, bahwa hukum itu berasal dati Tuhan Yang maha Esa, dan oleh
karena itulah amaka manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada Hukum.
Perintah-perintah yang datang dari Tuhan itu dituliskan dalam Kitab Suci.
Tinjauan mengenai Hukum dikaitkan dengan kepercayaan dan Agama, dan ajaran
tentang legitimasi kekuasaan hukum di dasarkan atas Kepercayaan dan Agama.
Adapun teori-reori yang mendasarlan berlakunya Hukum atas kehendak
Tuhan Yang Maha Esa dinamakan Teori Ketuhanan (Teori Teokrasi). Berhubung,
peraturan perundangan itu ditetapkan penguasa negara, maka oleh penganjur teori
Teokrasi diajarkan, bahwa para penguasa negara itu mendapat kuasa dari Tuhan‟
seolah-olah Raja dan penguasa lainnya merupakan wakil Tuhan. Teori Teokrasi
ini di Eropa Barat diterima umum hingga Zaman Renaissance.
2. Mahzab Sejarah
Sebagai reaksi terhadap para pemuja hukum Alam, di Eropa timbul aliran
baru yang dipelopori oleh Federich Carl Von Savigny (1779-1861) yang terkenal
dengan bukunya “Vom Beruf unserer Zeit Fur Gesetzgebung und
Rechtswissenschaft 1814”. Von Savigny berpendapat, bahwa hukum itu harus
dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa, selalu ada suatu
hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa.
Hukum itu menurut von Savigny, bukanlah disusun atau diciptkan oleh
orang, tetapi hukum itu tumbuh sendiri di tengah-tengah rakyat; hukum itu adalah
penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati apabila
suatu bangsa itu kehilangan kepribadiannya.
Menurut pendapat tersebut, jelaslah bahwa hukum itu merupakan suatu
rangkaian kesatuan dan tak terpisahkan dari suatu sejarah bangsa, dan karena
hukum itu senantiasa berubah-ubah menurut tempat dan waktu. Jelaslah pula,
bahwa pendapat Savigny ini bertentangan dengan ajaran mahzab hukum Alam,
yang berpendapat bahwa hukum alam itu berlaku abadi di mana-mana di seluruh
dunia.
Aliran yang menghubungkan hukum dan Sejarah bangsa dinamakan
Mahzab Sejarah. Mahzab Sejarah itu menimbulkan ilmu pengetahuan positif.
Hukum positif atau Ius Constitutum (oleh Prof. Sudirman Kartohadiprodjo, S.H.
disebut tata hukum) menurut Dr. W.L.G. Lemaire ialah “Het hier en nu geldend
recht” yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara) tertentu pada waktu tertentu.

3. Teori Kedaulatan Rakyat


Pada zaman Renaisance, timbul teori yang mengajarkan, bahwa dasar
hukum itu ialah “akal” atau “rasio” manusia (aliran Rasionalisme). Menurut aliran
renaisance ini, bahwa Raja dan penguasa negara lainnya memperoleh kekuasaan
itu bukanlah dari Tuhan, tetapi dari rakyatnya. Pada abad pertengahan diajarkan,
bahwa kekuasaan Raja itu berasal dari perjanjian antara raja dan rakyatnya yang
menaklukan dirinya kepada Raja dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam
perjanjian itu.
Kemudian setelah itu abad ke 18 Jean Jacques Rousseau memperkenalkan
teorinya bahawa dasar terjadinya suatu negara ialah “Perjanjian Masyarakat”
(“Contrac Sosial”)yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk
mendirikan suatu negara. Adapau teori Rousseau tersebut dikemukakan dalam
buku karangan yang berjudul “Le Connrat Social” (1762). Teori Rousseau
menjadi dasar dari faham “Kedaulatan rakyat” yang mengajarkan, bahwa negara
bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan
perundangan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut.
Demikian menurut aliran ini, bahwa hukum itu adalah kemauan orang
seluruhnya yang telah mereka serahkan kepada suatu organisasi (yaitu negara)
yang telah terlebih dahulu mereka bentuk dan diberi tugas membentuk hukum
yang berlaku dalam masyarakat. Orang mentaati hukum, karena orang sudah
berjanji mentaatinya. Teori ini juga dapat disebut Teori Perjanjian Masyarakat.

4. Teori Kedaulatan Negara


Pada Abad ke 19, teori Perjanjian Masyarakat ini ditentang oleh teori yang
mengatakan, bahwa kekuasaan hukum tidak didasarkan atas kemauan bersama
seluruh rakyat. Hukum itu ditaati ialah karena Negara menghendakinya, hukum
adalah kehendak negara dan negara mempunyai kekuatan (Power) yang tidak
terbatas.
Teori ini dinamakan Toeri Kedaulatan Negara, yang timbul pada abad
memuncaknya Ilmu-ilmu pengetahuan alam. Penganjur teori kedaulatan rakyat
yaitu Hans Kelsen dalam bukunya “Reine Rechslehre” bahwa hukum itu ialah
tidak lain daripada “Kemauan Negara” (Wille des Staates). Namun demikian,
Hans Kelsen mengatakan bahwa orang taat kepada hukum bukan karena ia merasa
wajib mentaatinya sebagai mana perintah negara.

5. Teori Kedaulatan Hukum


Prof. Mr. H. Krabbe dari Universitas Leiden menetang Teori kedaulatan
Negara ini. Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre der Rechtssouveranitet”
(1906), beliau mengajarkan, bahwa sumber hukum ialah “Rasa Keadilan”.
Menurut Krabbe, hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang
terbanyak yang tunduk padanya. Suatu peraturan perundangan yang tidak sesuai
dengan rasa keadilan dari jumlah terbanyak orang tidak dapat mengikat. Peraturan
perundangan yang demikian bukanlah “hukum”, walaupun ia masih ditaati
ataupun dipaksakan.
Hukum itu ada karena anggota masyarakat mempunyai perasaan
bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah, kaidah yang timbul dari perasaan
hukum anggota sesuatu masyarakat, mempunyai kewibawaan kekuasaan. Teori
yang timbul pada abad ke 20 ini dinamakan Teori Kedaulatan Hukum.

6. Asas Keseimbangan
Prof. Mr. R. Kranenburg, murid dari pengganti Prof. Krabbe berusaha
mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang.
Kranenburg membela ajaran Krabbe, bahwa kesadaran hukum orang itu
menjadi sumber hukum. Menurut Kranenburg, Hukum itu berfungsi menurut
suatu dalil yang nyata (riil). Dalil yang nyata yang menjadi dasar berfungsinya
kesadaran hukum orang dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut: Tiap orang
menerima keuntungan atau mendapatkan kerugian sebanyak dasar-dasar yang
telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu.
Pembagian keuntungan dan kerugian dalam hal tidak ditetapkan terlebih
dahulu dasar-dasarnya, ialah bahwa tiap-tiap anggota masyarakat hukum sederajat
dan sama. Hukum atau dalil ini oleh Kranenburg dinamakan Asas Keseimbangan,
berlaku di mana-mana dan pada waktu apapun.
BAB VII

SUMBER-SUMBER HUKUM

A. Pendahuluan
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang
mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan
menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.
Yang dimaksud dengan segala sesuatu adalah faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan
berlakunya hukum secara formal artinya di mana hukum itu dapat ditemukan, dari
mana asalnya mulanya hukum, dimana hukum dapat dicari atau hakikm menemukan
hukum, sehingga dasar keputusanya dapat diketahui mengikat atau berlaku dan lain
sebaginya.
Maka dari itu menurut Prof. Dr. Sudikno SH. Dalam bukunya “Mengenal
Hukum” terbitan Liberty 1986 halaman 62 sumber hukum itu sendiri digunakan
dalam beberapa arti seperti:
1. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum misalnya
kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa, hukum romawi.
2. Menunjukkan hukum terlebih yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang
sekarang berlaku, misalnya hukum Prancis, hukum Romawi.
3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan, berlaku secara formal
kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).
4. Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen,
Undang-Undang, Lontar, batu bertulis dan sebagainya.
5. Sebagai sumber terjadinya hukum sumber yang menimbulkan hukum.

B. Sumber hukum formil


Van Apeldoorn dalam bukunya pengantar Ilmu Hukum terjemahan Mr.
Octarid Sadino. Penerbit Noor Komala tahun 1954 halaman 72, membedakan empat
macam sumber hukum yaitu:
1. Sumber hukum dalam arti historis
Yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari
segi historis. Sumber hukum dalam arti historis ini dibagi menjadi dua yaitu:
a. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenalnya
hukum secara historis, dokumen dokumen kuno. Lontar dan sebagainya.
b. Sumber hukum yang merupakan tempat pembentukan undang-undang
mengambil bahannya.
2. Sumber hukum dalam arti Filosofis

a. Sumber isi hukum, di sini ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada
tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan itu yaitu:
 Pandangan teoritis, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari Tuhan.

 Pandangan hukum kodrat, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari
akal manusia.

 Pandangan Mazhab historis, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari
kedasaran hukum.

b. Sumber hukum mengikat dari hukum, mengapa hukum mmepunyai kekuatan
mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaidah
hukum bukan semata-mata di dasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa,
tetapi karena kebanyakan orang di dorong alasan kesulilaan atau
kepercayaan. 3. Sumber hukum dalam arti Sosiologis
Teleologis merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif,
seperti misalnya keadaan agama, pandangan agama dan sebagainya.
4. Sumber hukum dalam arti formiil
Yang dimaksudkan ialah sumber dilihat dari cara terjadinya hukum positif
merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat hakim
dan penduduk. Sisanya timbul dari kesadaran rakyat. Agar dapat berupa peraturan
tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, kebiasaan,
traktat atau perjanjian antar bangsa, yurisprudensi, doktrin. a. Undang-undang

Dalam praktek apabila ada orang yang mengatakan undang-undang


tanpa keterangan lebih lanjut maka yang dimaksud selalu undang-undang
dalam arti formil. Menurut pendapat lama (aliran legisme pada abad XIIX)
undang-undang adalah hukum. Pendapat tersebut muncul setelah adanya Code
Civil yang disusun oleh Portalis atas perintah dan diundangkan oleh Napoleon
tersebut dianggap menghasilkan kepastian dan kesatuan hukum. Code Civil
dianggap sempurna atau lengkap tidak mempunyai kekurangan dan dapat
menampung segala masalah yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian
timbullah anggapan bahwa undang-undang adalah hukum, sehingga hakim
hanya merupakan subsumsi-otomat yang dalam memberikan putusannya
cukup dengan dasar Undang-undang. Banyak negara-negara yang mengikuti
aliran Legisme tersebut terutama yang mempergunakan sistem Trias Politika
sebagai sistem pemerintahanya.
Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa:
 Undang-undang adalah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara
(Drs. CTS. Kansil, SH).

 Undang-undang adalah produk dari pada pembentuk undang-undang yang
terdiri dari Presiden dan DPR seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat

(1) jo pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 (Dr. Mas Soebagio, SH).

b. Kebiasaan
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang
mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh suatu masyarakat
yang selalu dilakukan oleh orang lain sedemikian rupa, sehingga masyarakat
beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian. Jika tidak berbuat
demikian merasa melakukan pelanggaran terhadap hukum. Masyarakat yakin
bahwa kebiasaan yang mereka lakukan itu mengandung hukum, maka jika
angota masyarakat itu tidak mentaatinya, ia merasa melakukan pelanggaran
perasaan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Namun demikian tidak semua kebiasaan itu mengandung hukum yang
adil. Oleh karenanya hukum kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi
sumber hukum. Jika kebiasaan-kebiasaan yang baik dan diterima masyarakat
sesuai dengan kepribadian masyarakat yang kemudian berkembang menjadi
hukum kebiasaan. Sebaliknya kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan ditolak
oleh masyarakat tidak akan menjadi hukum kebiasaan masyarakat, misalnya:
kebiasaan keluar malam untuk mencuri, begadang, kebiasaan memakai
pakaian seenaknya tanpa mengindahkan kesopanan dan lingkungan dan
sebagainya.
c. Traktat
Traktat atau treaty adalah perjanjian yang dibuat antar negara yang
dituangkan dalam bentuk tertentu. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian
internasional. Suatu negara juga dapat membuat perjanjian dengan negara lain
tanpa harus membentuk traktat, misalnya pertukaran nota atau surat biasa.
Meskipun demikian segi yuridis nilai surat-surat itu sama dengan traktat.
Di dalam perjanjian antar negara didapat berbagai macam dan banyak
istilah. Perjanjian-perjanjian tersebut pada dasarnya dibagi dalam perjanjian
internasional yang penting, dan yang kurang penting atau yang sederhana
sifatnya. Bagi perjanjian internasional yang penting dinamakan traktat
sedangkan bagi yang kurang penting dipergunakan istilah persetujuan.
d. Yurisprudensi
Istilah yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia (bahasa latin)
yang berarti pengetahuan hukum (rechtgeleerdheid). Kata yurisprudensi
sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan hukum (algemenee
rechsleer dalam bahasa prancis, yaitu peradilan tetap atau bukan Peradilan).
Kata yurisprudensi dalam bahas Inggris berarti teori ilmu hukum
(algemeene rechtleer: General theory o law), sedangkan untuk pengertian
yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah case law atau judge made law. Kata
yurisprudensi dalam bahasa Jerman berarti Ilmu Hukum dalam arti sempit
(aliran interessen jurisprudenz dan lain sebagainya). Dari segi praktik
peradilan yurisprudensi adalah keputusan hukum yang selalu dijadikan
pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama.
e. Doktrin
Biasanya hakim dalam memutuskan perkaranya didasarkan kepada
undang-undang, perjanjian internasional dan yurisprudensi. Apabila ternyata
ketiga sumber tersebut tidak dapat memberi semua jawaban mengenai
hukumnya, maka hukumnya dicari pada pendapat para sarjana hukum atau
ilmu hukum.
Ilmu hukum adalah sumber hukum, tetapi bukan hukum seperti
undang-undang karena tidak mempunyai kekuatan mengikat. Meskipun tidak
mempunyai kekuatan mengikat hukum, tetapi ilmu hukum itu cukup
berwibawa karena dapat dukungan para srajana huku. Selain berwibawa ilmu
hukum juga obyektif, sama halnya dengan pengadilan yang harus berwibawa
dan obyektif. Oleh karenanya ilmu hukum sering dipergunakan sebagai dasar
pertimbangan hukum oleh hakim untuk mempertanggungjawabkan putusanya.
Van Apeldoorn menyebutkan perjanjian, yurisprudensi dan ajaran hukum atau
doktrin sebagai faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum, sedangkan
Lemaire menyebutkan yurisprudensi, kesadaran hukum dan ilmu hukum sebagai
determinan bagi pembetukan hukum.

C. Sumber hukum materiil


Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang dilihat dari segi isinya,
misalnya:
1. KUHPidana segi materiilnya ialah mengatur tentang pidana umum, kejahatan dan
pelanggaran.
2. KUHPerdata dari segi materiilnya mengatur tentang masalah orang sebagai
subyek hukum, barang sebagai subyek hukum, perikatan, perjanjian, pembuktian
dan kadaluwarsa.
3. Dari sudut ekonomi, maka kebutuhan-kebutuhan hidup manusia dan usaha-usaha
tau perbuatan-perbuatan manusia memenuhi kebutuhan hidup itulah yang
menyebabkan timbulnya hukum, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan-hubungan hukum dalam bidang ekonomi itu.
4. Dari sudut sosiologi, maka peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
merupakan sebab timbulnya hukum, merupakan faktor yang menentukan isi
hukum positif seperti keadaan-keadaan ekonomi, pandangan agama dan saat-saat
psikologis.
5. Dari sudut pandang filsasfat, maka sumber menyangkut pertimbangan nilai-nilai
mengenai isi hukum yaitu sebagai ukuran untuk mengetahui apakah ia merupakan
hukum yang baik, termasuk di dalamnya mengenai kesadaran hukum dan
pendangan hidup masyarakat. Dari sudut filsafat dapat diketahui nilai-nilai etnis
daripada hukum.
6. Dari sudut sejarah dapat pula diketahui sebab-sebab timbulnya hukum atau aturan-
aturan hukum positif tertentu. Seperti misalnya mengenai hukum yang berlaku di
Indonesia sekarang ini maka mengenai asal usul dan isinya hukum dapat diketahui
dengan menengok pada sejarah bangsa dan negara Indonesia.
BAB VIII

PENGGOLONGAN HUKUM

A. Pendahuluan
Tujuan dari pada penggolongan hukum adalah:
1. Dari segi nilai-nilai teoritis adalah untuk dapat dicapai suatu pengertian yang lebih
baik.
2. Dari segi praktis supaya lebih mudah dapat menemukan dan menerapkan hukum
yang ada.
Tujuan praktis ini dapat memberikan petunjuk-petunjuk umum bagi:
a. Para anggota badan-badan kenegaraan, demikian juga para fungionaris hukum
seperti para hakim dan para pejabat administrasi untuk membuat alasan-alasan
hukum dalam menerapkan hukum dan mempertahankannya.
b. Orang-orang yang kedudukanya sebagai perorangan atau sebagai kuasa dan
pembela yang berkepentingan, baik dalam memproleh suatu hak, maupun
dalam mempertahankan langsung kepada para pihak dan di muka fungsionaris-
fungsionaris.
Walaupun hukum itu terlalu luas sekali sehingga orang tidak dapat membuat
definisi singkat yang meliputi segala-galanya namun dapat juga hukum dibagi dalam
beberapa golongan hukum menurut beberapa asas pembagian. Penggolongan atau
pembagian tersebut akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.

B. Penggolongan hukum menurut wujudnya


Hukum berdasarkan wujudnya dapat dibagi dalam:
1. Hukum obyektif.
Adalah hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak
mengenai orang atau golongan tertentu, hukum ini menyebut peraturan hukum
saja yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih.
2. Hukum subyektif.
Adalah hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku terhadap
seorang tertentu atau lebih. Hukum subyektif juga disebut “Hak”. Pembagian
hukum semacam ini kini jarang digunakan orang.
C. Penggolongan hukum menurut fungsi
Berdasakan atas fungsinya atau pemeliharaannya hukum dapat dibagi dalam:
1. Hukum Materiil
Ialah hukum yang mengatur isi hubungan antara kedua belah pihak atau
yang menerangkan perbuatan mana yang dapat dihukum dan hukuman apa yang
dapat dijatuhkan.
Contoh: buruh wajib melaksanakan tugas seperti apa yang ditetapkan
dalam perjanjian kerjanya dengan bekerja sebaik-baiknya sesuai dengan
kecakapannya. (Pasal 1603 baru KUHPerdata).
Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat
melahirkan suatu hak, suatu perutangan (kewajiban) atas suatu keterangan bagi
suatu hak, dengan maksud menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan
surat-surat tersebut dan mendatangkan suatu kerugian, maka dihukum lantaran
pemalsuan surat, dengan penjara setingi-tingginya enam tahun (Pasal 236 KUHP).
2. Hukum formil
Ialah hukum yang menunjuk cara menjalankannya. Misalnya: dalam hal
perselisihan, hukum formil menunjuk cara penyelesaian perkara di muka Hakim.
Selanjutnya mengenai hubungan antara hukum materiil dan hukum formil
dapat dikatakan bahwa (misalnya dalam suatu perjanjian, suatu utangan/atau suatu
perbuatan) hukum materiil menentukan “isinya”, sedangan hukum formiil cara
bagaimana perjanjian dan sebagainya tersebut dapat dilaksanakan dan
dipertahankan di muka pengadilan. Hukum formil juga dinamakan hukum acara.

D. Penggolongan hukum menurut sifatnya


Hukum dapat diperbedakan dalam hukum memaksa dan mengatur.
1. Hukum memaksa
Yang sudah diartikan dengan memaksa ialah hukum yang dalam keadaan
apapun harus dilaksanakan oleh para pencari hukum dan fungsionaris. Ia tidak
memperkenankan menyimpang atau hukum yang dalam keadaan bagaimanapun
juga harus dan mempunyai paksaan mutlak.
Suatu penyimpangan dari hukum memaksa, meyebabkan timbulnya akibat,
bahwa perbuatan itu tidak sah, dapat dinyatakan batal, atau malahan batal demi
hukum. Ia dapat menyebabkan juga si pelaku atau si lalai menderita sanksi
hukumanya. Hukuman itu mungkin hilang, hanyalah dalam adanya unsur-unsur
overmacht, noodtoestand, noodweer atau dwaling, bedrog.
2. Hukum mengatur (hukum pelengkap)
Yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang
bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian. Lain halnya
dengan hukum mengatur. Perbedaan bukanlah terletak bahwa hukum mengatur itu
tidak memaksa. Akan tetapi memaksanya hukum mengatur itu tergantung dari
syarat-syarat tertentu.
Apabila syarat-syarat itu dipenuhi, maka memaksalah hukum mengatur itu
seperti hukum memaksa sendiri, baik kepada fungsionarisnya hukum atau kepada
pencari-pencari hukukm yang berkepentingan. Apakah syarat-syarat tadi:
a. Yang berkepentingan itu karena hukum mengatur itu memperbolehkan
kelonggaran yang ada, tetapi ia justru menyatakan menerima untuk tunduk
pada hukum itu.
b. Yang berkepentingan tidak usah takluk pada hukum mengatur itu, akan tetapi
ia pun tidak menetapkan ketentuan-ketentuan sendiri. Kekosongan-
kekosongan ini memberikan tempat untuk berlakunya dan memaksanya
hukum mengatur. Lihat Pasal-pasal 1393, 1514, 1559, 1633 di dalam
KUHPerdata.

E. Penggolongan hukum berdasarkan waktu berlakunya


Hukum berdasarkan waktu berlakunya dapat dibagi dalam:
1. Ius constitutum adalah hukum positif yang berlaku sekarang bagi suatu
masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Singkatnya hukum yang berlaku
bagi suatu masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tempat tertentu. Ada sarjana
yang menamakan hukum positif itu “Tata Hukum”.
2. Ius constituendum adalah hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan
datang.
3. Hukum asasi ( Hukum Alam) yaitu hukum yang berlaku dimana-mana, kapan saja
dan untuk siapa saja (segala bangsa di dunia). Hukum ini tidak mengenal batas
waktu melainkan berlaku abadi terhadap siapapun juga dan di mana saja mereka
berada.
F. Penggolongan hukum menurut isinya
Berdasarkan isinya hukum dibagi menjadi dua golongan, yaitu hukum publik
dan hukum privat. Pembagian dalam hukum publik dan hukum privat ini berasal dari
Hukum romawi dan belum dikenal dalam ilmu hukum eropa barat pada waktu
sebelum resepsi hukum Romawi.
1. Hukum publik
Yaitu hukum yang mengatur tiap-tiap hubungan diantara negara atau alat-
alat negara sebagai pendukung kekuatan penguasa di satu pihak dengan warga
negara dan alat-alat perlengkapanya, begitu pula perhubungan antara alat-alat
perlengkapan negara yang satu dengan alat-alat negara yang lain. Secara
singkatnya dapat dikatakan, bahwa hukum publik adalah hukum yang mengatur
hubungan antara negara atau perlengkapanya dengan perorangan (warga negara).
Yang termasuk ke dalam golongan hukum publik ialah:
a. Hukum Pidana
Ialah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur/menerangkan
perbuatan mana yang merupakan kejahatan atau pelanggaran, serta hukuman
mana yang dapat dijatuhkan oleh karena kejahatan atau pelanggaran tersebut.
b. Hukum negara dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1) Hukum negara dalam arti sempit yaitu hukum tata negara, ialah hukum
yang berupa peraturan-peraturan hukum yang mengatur kewajiban sosial
dan kekuasaan (bevoegdheid competentie) atau organisasi negara. Di
dalam kenyataannya organisasi suatu negara terdiri atas jabatan-jabatan,
oleh karenanya dapat dikatakan bahwa Hukum Tata Negara mempelajari
kewajiban sosial dan kekuasaan pejabat negara.
2) Hukum tata usaha negara atau hukum administrasi ialah hukum yang
mengatur susunan dan kekuasaan alat perlengkapan badan Hukum, atau
hukum yang mengatur semua tugas kewajiban dari pejabat-pejabat
pemerintah di dalam menjalankan tugas dan kewajibanya.

2. Hukum privat
Ialah hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang
lain, dan juga negara sebagai pribadi. Yang termasuk hukum privat lalah:
a. Hukum Perdata
ialah hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian di dalam hubungan
antara orang yang satu dengan orang yang lain kedua-duanya sebagai anggota
masyarakat dan menjamin adanya kepastian hukum dalam hubungan antara
seseorang dengan pemerintah. Peraturan yang mengatur soal-soal perdata telah
dihimpun (dikodifikasi) dalam kitab undang-undang hukum perdata
KUHPerdata.
b. Hukum Dagang ialah keseluruhan peraturan yang meliputi perbuatan manusia
perniagaan/perdagangan. Keseluruhan peraturan hukum dagang di himpun
dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD).
c. Hukum Perselisihan. Di samping hukum perdata dan hukum dagang dikenal
pula hukum perselisihan.
Yang dimaksud degan hukum perselisihan ialah hukum yang menerangkan
peraturan apa yang menjadi peraturan hukum atau peraturan hukum mana
yang berlaku mengenai sesuatu hubungan hukum yang diadakan oleh karena
suatu peristiwa hukum yang memuat anasir-anasir yang dapat menyangkutkan
dua atau lebih tata hukum (sistem hukum) yang berlainan. Hukum perselisihan
ini dibagi menjadi:
1) Hukum perselisihan (Privat) Internasional
yaitu hukum yang menerangkan peraturan apa yang menjadi peraturan
hukum yang berlaku mengenai sesuatu hubungan hukum yang diadakan
oleh karena suatu peristiwa hukum yang memuat anasir-anasir yang dapat
menyangkut dua atau lebih tata hukum privat nasional yang berlaku
diwilayah dua atau lebih negara nasional masing-masing.
2) Hukum perselisihan Nasional digolongkan menjadi Hukum integentil,
hukum interlokal, hukum antar agama dan hukum interregional.
BAGAN PENGGOLONGAN/KLASIFIKASI HUKUM MENURUT

PROF. DR. ACHMAD SANUSI, SH

1. Klasifikasi menurut sumber berlakunya dan bentuknya peraturan-peraturan itu


a. Hukum Undang-Undang
b. Hukum Persetujuan
c. (Perjanjian) antar Negara (hukum Traktat)
d. Hukum kebiasaan dan hukum adat
e. Hukum yurisprudensi
f. Hukum ilmu
g. Hukum revolusi
2. Klasifikasi menurut kepentingan yang diatur
a. Hukum privat
1. Hukum perdata
2. Hukum dagang
3. Hukum privat internasional
b. Hukum publik
1. Hukum negara
2. Hukum tata usaha negara
3. Hukum antar negara
4. Hukum pidana
5. Hukum acara:
a. Perdata
b. Pidana
c. Tata Usaha Negara
3. Klasifikasi menurut hubungan antar hukum
a. Hukum antar waktu
b. Hukum antar tempat
c. Hukum antar golongan
d. Hukum antar agama
e. Hukum privat internasional
4. Klasifikasi ukuran pertalian hubungan hukum
a. Ius constitutum
b. Ius contituendum
c. Hukum obyektif
d. Hukum subyektif
5. Klasifikasi menurut kerja dan sanksi
a. Hukum kaidah (Normenrecht)
b. Hukum sanksi (sanctienrecht)
c. Hukum memaksa (dwingendrecht)
d. Hukum mengatur (regelendrecht)
BAB IX

PENAFSIRAN HUKUM

A. Pendahuluan
Penafsiran atau interpretasi peraturan undang-undang ialah mencari dan
menetapkan atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang yang dikehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Untuk itu ada beberapa cara dan
metode. Penafsiran (interpretasi) peraturan perundang-undangan sebagai kewajiban
hukum dari hakim. Setelah mempelajari tentang arti, fungsi, serta tujuan dari hukum,
maka ternyata bahwa dua faktor sebagai pembentuk hukum, ialah faktor formil dan
faktor materiil.
Sebagai faktor –faktor (determinan) formil yang membentuk hukum ialah:
1. Perundang-undangan (Wetgeving)
2. Administrasi (tata usaha) negara
3. Peradilan (rechtspraak)
4. Tradisi (kebiasaan)
5. Ilmu pengetahuan (wetenschap).

Adapun sebagai faktor-faktor materiil yang membentuk hukum, dapat


disebutkan antara lain:

1. Perasaan seseorang, dan


2. Pendapat umum (publieke opinie).
Apabila undang-undang tidak menyebut, suatu perkara, maka hakim harus
bertindak atas inisiatif sendiri, degan kata lain perkataan hakim harus bertindak
sebagai pembentuk hukum dalam undang-undang diam saja.
Menurut Scholten, bahwa menjalankan undang-undang itu selalu
“Rechtsvinding” dalam pada itu Van Apeldoorn berpendapat bahwa hakim
berkewajiban untuk:
1. Menyesuaikan undang-undang dengan hal-ha konkrit terjadi dalam masyarakat,
dan selanjutnya dibawa kemukanya.
2. Menambah undang-undang apabila perlu
Menurut Logemmen, menafsirkan suatu undang-undang, hakim harus
memenuhi syarat:
1. Tunduk pada pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang
seperti yang dapat diketahui dalam peraturan-peraturan dan undang-undang yang
bersangkutan.
2. Bila kehendak dari pembuat undang-undang tidak dapat dibaca dari kata-katanya,
maka hakim harus mencarinya dalam kata-kata tersebut dalam sistem undang-
undang atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-
hari.
3. Hakim tidak menafsirkan secara sewenang-wenang, akan tetapi harus sesuai
dengan pembuat undang-undang, ialah segala sesuatu yang berdasarkan
penafsiran baik dapat diterima sesuatu yang logis dapat disimpulkan menjadi
kehendak pembuat undang-undang, seperti yang tercermin dalam peraturan
perundangan yang bersangkutan.

B. Cara penafsiran hukum


Ada beberapa cara dalam menafsirkan hukum yaitu:
1. Cara penafsiran dalam pengertian subyektif dan obyektif
Dalam pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki
oleh pembuat undang-undang.
Dalam pengertian obyektif, apabila penafsiranya lepas dari pada pembuat
undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
2. Cara penafsiran dalam sempit dan luas
Dalam pengertian sempit (Restriktif), yakni apabila dalil yang ditafsirkan
diberi pengertian yang sangat dibatasi misalnya mata uang (Pasal 1756
KUHPerdata) pengertiannya hanya uang logam saja dan barang diartikan benda
yang dapat dilihat dan diraba saja.
Dalam pengertian secara luas (ektensif), ialah apabila dalil yang ditasirkan
diberi pengertian seluas-luasnya. Contoh: Pasal 1756 KUHPerdata alinea ke 2
tentang mata uang juga diartikan uang kertas. Barang (Pasal 362 KUHPerdata)
yang dulu hanya diartikan benda yang dapat dilihat dan diraba, sekarang juga
termasuk aliran listrik (Arrst Hoge Raad Belanda tanggal 24 Mei 1931). Yang
termasuk penafsiran dalam arti luas adalah penafsiran analogis.
Dilihat dari sumbernya penafsiran dapat bersifat:
a. Otentik.
Ialah penafsiran yang diberikan oleh pembaut undang-undang seperti yag
dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelasan. Penafsiran otentik
bersifat umum.
b. Doktrinair atau ilmiah.
Ialah penafsiran yang didapat pada buku-buku dan lain-lain hasul karya
para ahl. Hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya mempunyai nilai
teoritis.
c. Hakim.
Ialah penafisran yang bersumber dari hakim (peradilan) hanya mengikat
pihak-pihak yag bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu (Pasal
1917ayat (1) KUHPerdata).
Di dalam ilmu hukum metode penafsiran adalah penafsiran penafsiran
menurut:
1. Macam-macam metode penafsiran
Di dalam ilmu hukum metode penasiran adalah penafsiran penafsiran
menurut:
a. Tata bahasa dan arti kata-kata/istilah (grammaticale interpretatie, taalkundige
interpretatie)
b. Sejarah (historiche interpretatie) yang meliputi penafsiran sejarah hukum
(rechtshistorische interpretatie) dan penafsiran sejarah pembuatan undang-
undang (wetshistorische interpretatie).
c. Sistem daro peraturan/undang-undang yang bersangkutan (sistematische,
dogmatische dan analogische interpretatie).
d. Keadaan masyarakat (sosiologische atau teleologische interpretatie).
e. Otentik (penafsiran resmi, authentieke interpretatie, officieele interpretatiea).
f. Perbandingan.
2. Cara penerapan metode penafsiran
Pembuat undang-undang tidak menentukan suatu sistem tertentu yang
harus dijadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang. Oleh
karenanya hakim bebas dalam melakukan penafsiran.
Dalam melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-
tama dilakukan penafsiran gramatikal. Karena pada hakekatnya untuk memahami
teks peraturan perundang-undangan harus dimengerti lebih dahulu arti kata-
katanya. Apabila perlu lebih dilanjutkan dengan penafsiran otentik atau
penafsiran resmi yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri.
Kemudian dilanjutkan penafsiran historis dan sosiologis.
Sedapat mungkin semua metode penafsiran supaya dilakukan, agar
didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua metode penafsiran tidak
menghasilkan makna yang sama, maka wajib diambil metode panafsiran yang
membawa keadilan setinggi-tingginya, karena memang keadilan itu yang
dijadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-
undang yang bersangkutan.

C. Penjelasan tentang berbagai macam metode penjelasan


Seperti terurai diatas, maka dikenal bermacam-macam metode penafsiran,
ialah:
1. Penafsiran Gramatikal
Penafsiran gramatikal atau taalkundig adalah penafsiran menurut tata bahasa atau
kata-kata. Kata dan bahasa merupakan alat bagi pembuat undang-undang untuk
menyatakan maksud dan kehendaknya. Kata-kata itu harus singkat jelas dan
tepat. Untuk mempergunakan kata-kata itu tidak mudah. Oleh karenanya apabila
hakim ingin mengetahuinya apa yang dimaksud oleh undang-undang atau apa
yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang, hakim harus menafsirkan kata-
kata di dalam undang-undang yang bersangkutan.
2. Penafsiran Historis
Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah daripada undang-undang yang
bersangkutan. Tiap ketentuan perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan
dari sejarah perundangan ini hakim mengetahui maksud dari pembuatanya.
Penafsiran historis ini ada dua macam:
a. Fockema Andre, membagi penafsiran sejarah ini dalam dua bentuk:
 Penafsiran asal ususl, ialah asal usul sampai timbulnya undang-undang
yang baru

 Penafsiran menurut sejarah pembuatan suatu undang-undang.

b. Van Bemmelen, mmbedakan pengertian ini dengan dua macam istilah:
 Historische interpretatie untuk penafsiran asal usul
 Penafsiran legislatif untuk wetshistorische interpretatie
3. Penafsiran Sistematis
Yang dimaksud dengan penafsiran sitematis ialah suatu penafsiran yang
menguhungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-
undangan yang bersangkutan atau pada peraturan perundang-undangan yang
lainnya, atau membaca penjelasan suatu perundang-undangan, sehingga kita
mengerti apa yang maksud.
Contoh: Pasal 1330 KUHPerdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat
perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa. Bunyi lengkapnya Pasal
1330 KUHPerdata ialah: “Tidak cakap membuat perjanjian adalah:
a. Orang yang belum dewasa
b. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang perempuan yang dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang
dan pada umumnya orang kepada siapa undang-undang telah dilarang
membuat persetujuan tertentu.

Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa? Dalam hal kita melakukan
penafsiran sistematis dengan melihat Pasal 330 KUHperdata yang memberikan
batas belum berumur 21 tahun.

4. Penafsiran Sosiologis, penafsiran teleologis.


Penafsiran sosiologis adalah penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan
yang pertama-tama dimulai dari penafsiran menurut kata dan tata bahasa,
penafsiran menurut sejarah, kemudian penelitian secara sosiologis. Mengapa
demikian? Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan
keadaan sosial di masyarakat agar hukum dapat sesuai dengan tujuannya, ialah
kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masyarakat.
Penafsiran sosiologis itu memang penting sekali bagi hakim terutama apabila
diingat ada undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu yng dipergunakan.
Khususnya bagi Indonesia banyak undang-udang yang dibuat jauh pada waktu
penjajahan, sehingga sudah tidak cocok dengan keadaan sosial (masyarakat) pada
waktu sekarang.
5. Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi (authentieke interpretatie atau
officielee interpretatie) ialah penafsiran secara resmi. Penafsiran ini dilakukan
oleh pembuat undang-undang itu sendiri atau oleh instansi yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan dan tidak boleh oleh siapapun dan pihak manapun.
Penafsiran ini sifatnya subyektif. Penafsiran yang dilakukan oleh pembuat
undang-undang sendiri dapat diikuti dalam penjelasan undang-undang sebagai
lampiran dan tambahan lembaran negara dari undang-undang yang bersangkutan.
Kadang-kadang pembuat undang-undang itu sendiri pembuat tafsiran atas
berbagai kata-kata yang digunakan dalam UU yang bersangkutan. Tafsiran ini
namanya tafsiran resmi atau tafsiran otentik. Maksud dari tafsiran otentik ini
adalah agar berlaku secara umum. Maka tafsiran otentik hanya dapat dilaksanakan
oleh pembuat UU sendiri. Hakimpun tidak boleh, karena pada dasarnya tafsiran
yang dibuat oleh hakim hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara saja.
Contoh: penafsiran otentik Pasal 512-518 KUHPerdata. Dalam pasal ini pembuat
undang-undang menjelaskan apa yang dimaksud dengan “barang yang bergerak”.
Barang-barang rumah tangga (inboedel), perkakas rumah (meubels en huisraad),
barang-barang yang kegunaannya agar rumah tangga dapat didiami orang
(stofering) dan suatu rumah dengan segala esuatu yang ada, ada di dalamya (een
huis met al hetgeen zich daarin bevindt).
6. Penafsiran Perbandingan.
Penafsiran perbandingan ialah seuatu penafsiran dengan membandingkan antara
hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, antara hukum nasional
dengan hukum asing dan hukum kolonial. Dalam penafsiran perbandingan akan
terlihat antara lain:
 Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, mungkin hukum
lama cocok diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Umpamanya beberapa
hukum dan asas hukum adat, yang menggambarkan unsur kekeluargaan, dapat
diambil untuk dijadikan hukum nasional.

 Hukum nasional sendiri dengan hukum asing. Pada hukum nasional terdapat
kekurangan apabila ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing/negara
lain apakah hukum asing ini cocok dan sesuai dengan kepentingan nasional.

 Hukum kolonial peninggalan penjajah, karena asas konkordansi oleh negara
merdeka masih tetap dipergunakan. Dalam hal ini negara itu membandingkan
hal-hal manakah yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum kepribadian
negara itu.
Asas-asas tata kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang segala peraturannya
terdapat dalam undang-undang kolonial, yang berdasarkan asas liberalisme, tentu
tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Seperti contoh dalam tata
kehidupan ekonomi berdasarkan leiberalisme, mengutamakan persaingan bebas.
Sedangkan, tata kehidupan ekonomi Indonesia mengutamakan tata kehidupan
berdasarkan tata kehidupan kekeluargaan, sehingga bentuk Perseroan Terbatas
(PT), Perseroan Firma (Fa), dan Perseroan Komanditer (CV) asasnya dari negara
barat yang mengutamakan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tidak
sesuai untuk alam Indonesia. Yang sesuai ialah asas perseroan di bidang ekonomi
kekeluargaan dalam bentuk koperasi, ialah kesejahteraan anggota sedangkan
keuntungan merupakan tujuan sekunder.

D. Hakim mengisi kekosongan hukum dan konstruksi hukum


Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia merupakan
suatu pengakuan suatu pengakuan bagi keputusan hakim sebagai salah satu sumber
hukum formal. Yang berarti pula bahwa aktifitas hakim dalam proses peradilan
merupakan salah satu faktor pembentukan hukum dari beberapa faktor yang lain.
Undang-undang yang berisi hal-hal yang seharusnya diadaptasi dari kenyataan dalam
hal ini peranan dan tugas hakim menjadi sangat penting. Keberadaan putusan hakim
telah ditentukan secara yuridis dalam pasal 1917 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yakni “Kekuatan sesuatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan
mutlak tidak lebih luas daripada sekedar mengenai soalnya putusan”.
Secara mendasar memang ada perbedan mendasar antara hakim dan badan
legislatif, walaupun sebenarnya antar hakim dan badan legislatif adalah sama-sama
bertugas menetapkan hukum. Perbedaan kedua adalah:
a. Hakim memutuskan/menetapkan hukum yang khusus berlaku bagi pihak-pihak
yang bertingkat dalam suatu perkara tertentu, misalnya: sewa menyewa,
perceraian dan peristiwa-peristiwa hukum lain baik pidana ataupun perdata. Jadi
hakim menetapkan hukum sesuatu in concreto.
b. Adapun tugas pembentuk undang-undang menetapkan hukum sesuatu in
abstracto. Maksudnya, dalam hal pembentuk undang-undang menetapkan
peraturan perundangan yang bersifat umum (dalam hal ini berlaku untuk setiap
orang) yang berada di bawah kewenanganya.
Oleh sebab itu hakim memang memiliki tugas yang cukup pentng tertutama
dalam upaya pengisisan kekosongan dalam sistem hukum dapat disebutkan sebagai
berikut: Pasal 1576 Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHPerdata) mengatakan
bahwa penjualan (jual beli) tidak dapat memutuskan perjanjian sewa menyewa
sebelum jangka waktu sewa menyewa itu berakhir (“Koop breekt geen huur”).
Soalnya ialah apakah “pemberian”, “pewarisan”, dan “penukaran” dapat
memutuskan perjanjian sewa menyewa tersebut? Berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang mengandung inti kesamaan maka hakim membuat suatu pengertian hukum yang
dapat menjadi dasar hukum bagi penyelesaian persoalan tersebut di atas. Dalam hal
tersebut perbuatan menjual, perbuatan memberi (menghadiahkan), perbuatan menukar
dan perbuatan mewariskan mengandung inti kesamaan, yaitu bahwa semua perbuatan
tersebut mengandung inti kesamaan, yakni bahwa semua perbuatan tersebut
mengandung arti “mengasingkan” (vervremdem) suatu benda.
Jadi walaupun Pasal 1576 KUHPerdata menetapkan bahwa penjualan tidak
dapat memutuskan perjanjian sewa menyewa sebelum jangka waktu sewa menyewa
berakhir, namun ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata dapat dijalankan terhadap
perbuatan memberikan, menukarkan, mewariskan. Jelaslah bahwa juga perbuatan
pemberian atau perbuatan menukarkan atau perbuatan mewariskan tidak dapat
memutuskan perjanjian sewa menyewa sebelum jangka waktu sewa menyewa selesai.
Dengan demikian, dengan menggunakan konstruksi hukum hakim dapat
menyempurnakan sistem formal dari hukum, yakni sistem peraturan perundangan
yang berlaku (hukum positif). Konstruksi hukum yang perundang-undangan
dinamakan analogi. Meskipun Pasal 1576 KUHPerdata hanya menyebutkan kata
“menjual” namun hakim masih juga dapat menjalankan analogi ketentuan tersebut
dalam pembuatan memberi, menukar dan mewariskan secara legal.
BAB X

ASAS LEGALITAS, SEJARAH DAN LANDASAN FILSAFATI

A. Pendahuluan
Pada Jaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria,
yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika
hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal extra
ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa
untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan yang dikatakan
jahat, namun belum diatur di dalam undang-undang. Lahirnya Magna Charta
Libertatum di Inggris pada tahun 1215 merupakan salah bentuk reaksi terhadap
praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase pertama ketika
manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia.
Upaya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya telah ada sebelum
lahirnya Magna Charta. Kitab suci agama Hindu, Veda, telah membicarakan perlunya
penghormatan atas hak-hak asasi manusia sejak 3000 tahun yang lalu. Piagam
Madinah yang ditandatangani Nabi Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi,
sebenarnya juga merupakan deklarasi kesepakatan penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia.
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup
sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari
perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan,
kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu,
selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum
atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen
penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan
demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas
peraturan, bukan kekuasaan. Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada
mulanya dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan
menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Akar
gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris,
yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan,
pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-
undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus
Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam
waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas
hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas
hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum
(rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John
Locke (1760).

B. Pengertian Asas Legalitas


Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian berkembang hingga ke Perancis,
sebagai bentuk perlawanan atas kesewenang-wenangan raja Louis XIV, dengan
simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan raja yang despotis. Perjuangan
rakyat Perancis dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka Abad Pencerahan,
Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
Montesquieu lewat bukunya L‟esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau “Dus
Contrat Social, ou principes du droit politique” (1762) memperkenalkan pemikiran
asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let‟s ces moi, yang
didengungkan Raja Louis. Selain dipengaruhi oleh kedua filsuf tersebut
perkembangan asas legalitas di Perancis juga dipengaruhi oleh Marquis de Lafayette,
seorang sahabat George Washington, yang membawa pemikiran asas legalitas dari
Amerika ke Perancis. Di Amerika, ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam
Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada seorang pun boleh
dituntut atau ditangkap selain dengan dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang
dalam Pasal 8 Declaration des droits de L‟homme et du citoyen (1789). Asas ini
kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa pemerintahan
Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “ Tidak ada sesuatu
yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang
dan diundangkan secara sah.” Beccaria, dalam “Dei delitti e drllee pene” (Over
misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari
perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat suatu hukum sebelum delik
itu terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan jelas dan tegas, sehingga bisa memberi
petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana.
Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, merumuskan
adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak
delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam
bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas yang dikemukakan
oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian:
1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang.
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).
Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat
tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of
attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di dalam
Declaration des droits de L‟homme et du citoyen 1789. Selanjutnya ketentuan ini
diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental kepastian
hukum dijunjung tinggi.
Asas legalitas adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yg
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan. Dalam bahasa latin dikenal Nullum Delictum Null Poena Sine
lege priviae lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih
dahulu).

C. Tujuan Asas Legalitas


Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat
kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan
fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan
memperkokoh rule of law. Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam
melindungi hak-hak rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa. Namun, efek dari
pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti
perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan
asas legalitas. E Utrecht mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-
kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya
pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam
peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep
mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan),
bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).
BAB XI

HUKUM SUBYEKTIF DAN HUKUM OBYEKTIF

A. Pendahuluan
Hukum adalah kekuasaan yang mengatur dan memaksa. Dengan tiada
berkesudahan ia mengatur hubungan-hubungan yang ditimbulkan oleh pergaulan
masyarakat manusia (hubungan yang timbul dari perkawinan, keturunan, kerabat
darah, ketetanggaan, tempat kediaman, kebangsaan, dari perdagangan dan pemberian
berbagai jasa dari perkara-perkara lainnya), dan hal-hal tersebut dilakukannya dengan
menentukan batas kekuasaan-kekuasaan dan kewajiban-kewajiban tiap-tiap orang
terhadap mereka dengan siapa ia berhubungan.
Hukum misalnya, ia mengatur hubungan antara orang yang meminjamkan
uang dengan orang yang menerima dan itu dilakukan dengan anatar lain membentuk
peraturan-peraturan; siapa yang meminjam uang kepada orang lain, berhak meminta
kembali uangnya sejumlah yang sama, dan pihak yang lain wajib memenuhinya.
Hubungan yang diatur oleh hukum sedemikian itu dinamakan hubungan hukum. Tiap-
tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu yang satu pihak ia merupakan hak
dan pada pihak yang lain merupakan kewajiban.
Hubungan hukum yang sedemikian disebut juga hukum. Kita biasa memakai
perkataan hukum dalam dua arti:
1. Untuk menyatakan peraturan (atau kaidah) yang mengatur hubungan antara dua
orang atau lebih. Hukum dalam arti tersebut kita sebut hukum obyektif. Kita sebut
demikian karena berlaku untuk umum, bukan terhadap seseorang yang tertentu,
subyek hukum tertentu.
2. Untuk menyatakan hubungan yang diatur oleh hukum obyektif, berdasarkan mana
yang satu mempunyai hak, yang lain mempunyai kewajiban terhadap sesuatu.
Hukum dalam arti itu kita sebut hukum subyektif, karena dalam hal ini hukum
dibuhungkan dengan seseorang yang tertentu sesuatu subyek yang tertentu. Dalam
kedua pengertian itu dipakai perkataan latin ius dan perkataan-
perkataan droit dan diritio. Berlainan dalam bahasa Inggris: right dan law, demikian
juga dalam bahasa Indonesia digunakan kata-kata hak dan hukum. Disini tidak
mungkin terdapat kekacauan dari kedua pengertian tersebut. Tetapi kita harus berhati-
hati terhadap kekacauan lain, kekacauan anatar law (Hukum) dan a law (undang-
undang).

B. Pengertian Hukum Subyektif dan Hukum Obyektif.


Pembagian hukum ke dalam hukum subyektif dan hukum obyektif adalah
pembagian hukum berdasarkan wujudnya. Pengertian keduanya sebagai berikut:
1. Hukum subyektif adalah hukum yang timbul dari hukum obyektif yang berlaku
terhadap beberapa orang atau hanya berlaku terhadap seseorang saja.
2. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum obyektif adalah peraturan-peraturan
hukum dalam suatu negara yang secara umum berlaku tanpa mengistimewakan
orang tertentu atau golongan tertentu.
Hukum obyektif hanya berisi peraturan hukum saja yang mengatur hubungan
antara sesama manusia di dalam masyarakat. Adapun hukum subyektif disebut pula
hak. Hubungan yang menyatakan peraturan/kaidah yang mengatur hubungan antara
dua orang atau lebih disebut hukum obyektif, sebab hal itu berlaku umum tidak
menyangkut subjek tertentu. Adapun yang menyangkut hubungan yang diatur oleh
hukum obyektif dimana seseorang mempunyai hak, sedangkan yang lain mempunyai
kewajiban terhadap sesuatu, keadaan ini disebut hukum subyektif.
Pembagian menjadi hukum obyektif dan hukum subyektif dari beberapa
pemikir hukum tersebut dapat dipahami oleh akal sehat. Akan tetapi dalam kenyataan
perbedaan tersebut tidak dapat mengasingkan satu sama lain. Di dalam kenyataan
hidup masyarakat keduanya intern erat sekali keterkaitannya. Demikian pula halnya
ditegaskan Apeldoorn, hukum obyektif adalah peraturan hukumnya sedangkan hukum
subyektif adalah peraturan hukum yang dihubungkan dengan seseorang yang tertentu
dan dengan demikian menjadi hak dan kewajibannya.
Dengan kata lain, hukum obyektif timbul jika hukum obyektif beraksi, karena
hukum obyektif yang beraksi itu melakukan dua pekerjaan, apa satu pihak ia
memberikan hak dan lain pihak meletakkan kewajiban. Kedua unsur tersebut, yakni
pada satu pihak yang diberikan oleh hukum obyektif, pada pihak lain, kewajiban yang
mengikutinya, kita jumpai pada tiap-tiap hubungan hukum.
Jika berdasarkan hubungan hukum yang terdapat antara si pembeli dan si
penjual, si pembeli wajib membayar harga pembelian pada si penjual, maka termuat di
dalamnya, bahwa si penjual berhak menuntut pembayaran dari si pembeli.
Biasanya orang mengajarkan hukum subyektif ialah hak yang diberikan oleh
hukum obyektif. Ajaran itu bukanlah salah seluruhnya, melainkan sifat sepihak,
karena 3 perkara penting yang tidak diperhitungkan:
1. Tampil kemukanya hak atau wewenang, artinya segi aktif dari hubungan hukum,
menyebabkan, bahwa adat bahasa biasanya menyatakan segi aktif itu sebagai hak
(subyektif). Adat bahasa itu telah menjadi sedemikan biasa, sehingga usaha untuk
mengubahnya tak akan berhasil. Akan tetapi karena itulah harus dikemukan
dengan tekanan, bahwa terhadap hak pada satu pihak, selalu dapat kewajiban dari
orang lain atau beberapa orang. Hak dan kewajiban adalah dua sisi dari hal yang
sama (dari hubungan hukum yang sama) dan karena itu tidak dapat dipisahkan.
Dengan menamakan hukum subyektif sebagai hak, kita hanya memperhatikan satu
pihak. Sebenarnya hukum subyektif adalah suatu hubungan yang diatur oleh
hukum obyektif, berdasarkan mana yang satu mempunyai hak, yang lain
mempunyai kewajiban.
2. Ditinjau dari segi lain, hukum subyektif adalah lebih dari hanya hak belaka.
Hukum obyektif tidak hanya mengatur, akan tetapi juga memaksa. Dengan
demikian berdirilah dibelakang hukum subyektif kekuasaan yang memaksa dari
hukum obyektif. Ia tidak hanya memberikan hak, melainkan juga alat-alat untuk
menjalankannya. Kepada hukum subyektif ia menghubungkan tuntutan hukum
atau aksi, yaitu hak untuk meminta bantuan hakim untuk mempertahankan hukum
subyektif. Siapa yang meminjamkan uang kepada orang lain, tidak hanya berhak
untuk menagih kembali, akan tetapi juga mempunyai kekuasaan untuk
menerimanya kembali, yakni dengan pertolongan hakim, jurusita dan polisi.
Hukum subyektif, sebagai juga hukum obyektif adalah kekuasaan. Ia adalah
hubungan kekuasaan yang diatur oleh hukum obyektif.
3. Hak-hak yang diberikan oleh hukum subyektif, dapat berbentuk dua. Pertama-
tama ia dapat berdiri sendiri atas hak untuk menuntut agar orang lain bertindak,
artinya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Kebalikan daripada hak ini,
ialah kewajiban dari orang lain untuk bertindak. Demikian halnya pada hubungan
hukum antara orang-orang tertentu yang dibicarakan pada hal yang pertama.
Hukum subyektif dapat juga berisi atas hak untuk bertindak sendiri. Sebaliknya
terdapat kewajiban, tidak dari seseorang yang tertentu, melainkan kewajiban dari
semua orang untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap terhadap hak tersebut.
Demikian halnya pada hubungan hukum yang dibicarakan di atas, yang terdapat
antara seseorang tertentu pada satu pihak dan segala orang lain pada pihak yang
lain, misalnya hak milik (Eigendomsrecht) dan juga kekuasaan orang tua
(ouderlijke macht), yang memberikan hak pada orang tua untuk melakukan
kekuasaan atas anak-anaknya dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum
obyektif.

C. Hak
Hukum mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang
lainnya, antara orang yang satu dengan masyarakat atau antar masyarakat yang satu
dengan masyarakat lainnya, yang akan menimbulkan kekuasaan atau kewenangan dan
kewajiban.
Seperti tersebut dalam bab “hubungan hukum kekuasaan dan kewenangan”
inilah yang disebut dengan hak. Dalam ilmu hukum hak disebut juga hukum
subyektif. Hukum subyektif merupakan segi aktif dari pada hubungan hukum. Hak ini
sering tidak hanya meliputi atau kewenangan/hak saja, tetapi kadang-kadang
merupakan suatu kumpulan hak/kewenangan (bundel an bevoegdheden) misalnya
Egendom (pemilikan).
Dalam Pasal 570 KUHperdata disebutkan, bahwa hak milik adalah hak untuk
menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan cara bagaimanapun juga asal tidak
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu
kekuasaan yang berhak menetapkan, dan tidak menganggu hak-hak orang lain.
Hak kepemilikan (eigendomrecht) ini terdiri dari dua hak/kewenagan yang
penting, ialah:
1. Yang mempunyai (eigenaar) berwenang/berhak memungut kenikmatan dari
kepunyaanya, dan
2. Yang mempunyai juga berwenang/berhak memindah tangankan (vetveemden)
kepunyaan itu.
Hukum subyektif ini juga dikatakan hak yang diberikan oleh hukum obyektif
(norma-norma, kaidah, recht). Sebaliknya hukum obyektif adalah peraturan (norma,
kaidah, recht) yang mengatur suatu hubungan sosial. Misal: KUHPerdata yang terdiri
atas peraturan-peraturan hukum, yang mengatur hubungan sosial antara subyek
hukum yang satu dengan subyek hukum yang lainnya disebut hukum obyektif,
sedangkan yang disebut hukum subyektif adalah peraturan-peraturan hukum yang
dihubungkan dengan seseorang sehingga menimbulkan kewenangan/hak dan
kewajiban.
Perbedaan antara hukum subyektif dengan hukum obyektif ini sejalan dengan
hak dalam sistematika kita. Di Inggris hukum disebut “law” dan hak disebut “right”.

D. Macam-macam Hak
Untuk mudahnya maka uraian tentang macam-macam hak ini kita dasarkan
atas skema berikut:
1. Hak mutlak
a. Hak pokok (dasar manusia)
b. Hak publik absolut
c. Sebagian dari hak privat:
1). Hak pribadi (persoonlijke rechten)
2). Hak keluarga mutlak (absolute familie rechten)
 Hak pengampuan

 Hak marital

 Hak orangtua (ouderlijke macht)

 Hak perwalian (voogdij)
3). Hak atas kekayaan (rechten op vermogen)
 Hak kebendaan (zakelyke rechten)

 Hak atas benda immateriil (immateriil rechten).

2. Hak nisbi
a. Hak publik relatif
b. Hak keluarga relatif
c. Hak kekayaan relatif
Biasanya hak dibagi dalam dua golongan besar:
1. Hak mutlak (absolute rechten, onpersoonlijke rechten)
Hak mutlak setiap kekuasaan mutlak yang oleh hukum diberikan kepada
subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau bertindak akan memperhatikan
kepentinganya. Kekuasaan ini dikatakan mutlak karena berlaku setiap subyek
hukum lain.
Hak mutlak juga merupakan hak yang meberikan kekuasaan kepada yang
bersangkutan untuk wajib dihormati oleh setiap orang lain.
a. Hak pokok
Hak pokok manusia menjadi hak yang oleh hukum diberikan kepada
manusia, yang disebabkan hal oleh sesuatu berdasarkan hukum yang
kelahirannya secara langsung menimbulkan hak-hak itu.
b. Hak publik absolut
Hak bangsa atau kemerdekaan dan kedaulatan seperti yang tersebut dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “ Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”. Hak pemerintah unutuk memungut pajak dari
rakyatnya (Pasal 23 ayat 2 UUD 1945)
c. Sebagian dari hak privat (keperdataan) yang terdiri dari:

1). Hak pribadi manusia, yaitu hak atas dirinya yang oleh hukum
diberikan kepada manusia. Hak ini adalah onverreemdbaar aan een
ander rechsobyect artinya tidak dapat diberikan kepada subyek
hukum lainnya.

2). Hak keluarga mutlak (absolute familie rechten) yaitu hak yang
ditimbulkan karena hubungan antara anggota keluarga yang satu
dengan yang lain. Hak keluarga ini ada beberapa macam:
 Hak pengampuan. Orang yang sudah dewasa yang menderita
sakit ingatan menurut Uindang-Undang harus ditaruh di
bawah pengampuan/pengawasan atau curatele. Selanjutnya
diterangkan bahwa seorang dewasa juga dapat ditaruh di
bawah curatele dengan alasan bahwa ia mengobralkan
kekayaannya. Dalam hal sakit ingatan, tiap anggota keluarga
berhak untuk memintakan curatele, sedangkan terhadap
seorang yang mengobralkan kekayaannya, permintaan itu
hanya dapat dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang
sangat dekat saja.

 Hak marital dari suami. Pasal 105 KUHPerdata berbunyi
“setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-istri”.
Sebagai kepala keluarga ia berkewajiban memberikan bantuan
kepada istrinya, atau menghadap untuknya di muka hakim,
dengan tak mengurangi beberapa pengecualian yang ada
sebagai berikut: sebagai suami ia harus mengemudikan urusan
harta kekayaan milik pribadi istrinya, kecuali apabila tentang
hal itu telah diperjanjikan sebaliknya. Ia menguruskan harta
kekayaan itu diuruskan seorang bapak rumah tangga yang
baik, (een goede hiisvader) dan oleh karenanya bertanggung
jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu. Ia tidak
boleh memindahtangankan atau membebani harta kekayaan
itu bergerak milik istrinya, tanpa persetujuan si istri. Hak
suami untuk menguasai barang kepunyaan suami istri berdua
setelah mereka kawin (beheersrecht over de goederen der
gemenschap) diatur dalam Pasal 124 KUHPerdata.
 Hak perwalian (voogdij). Ialah pengawasan anak di bawah
umur, yang tidak di bawah kekuasaan orang tua serta
pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh
undang-undang. Anak yang berada di bawah perwalian adalah:


1. Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut
kekuasaanya sebagai orang tua
2. Anak sah yang orang tuanya telah bercerai
3. Anak lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind).

3). Hak atas kekayaan, adalah hak yang dapat dihargai dengan uang (op
geld waardeerbare rechten) yang terdiri dari:

 Hak kebendaan (zakelyke rechten) adalah kekuasaan absolut


yang oleh hukum diberikan kepada subyek hukum supaya
dengan langsung menguasai benda di dalam tangan siapapun
benda itu berada. Hak kebendaan itu adalah “absolut” karena
hukum. Semua subyek hukum lain wajib menghormati hak
milik orang lain yang memilikinya.

 Hak atas benda immateriil (immateriil rechten). Contoh barang
ciptaan. Perlindungan atas barang ciptaan diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan.

a. Undang-undang (hak) pengarang th. 1912 LNHB 1912 No.
600 (rechtsrecht).
b. Undang-undang (hak) oktroi th. 1910 LNHB 1922 No. 54
(penemuan dari suatu pendapat baru, carier cara bekerja
baru suatu perbaikan baru LNHB 1922 No. 54.
c. Perlindungan hak merek diatur dalam Undang-Undang No.
21 LN 1961 tentang “merek perusahaan dan merek
perniagaan” LN 1961 No. 290, telah dicabut dengan
Undang-undang No. 19 tahun 1992 tentang merek.
2. Hak relatif (nisbi, relative rechten, persoonlijke rechten) hak relatif ialah hak
setiap kekuasaan/kewenangan yang oleh hukum diberikan kepada subyek hukum
lain/tertentu supaya ia berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu atau memberi
sesuatu. Hak relatif di bagi dalam:
a. Hak publik relatif
Contoh: Hak dari negara untuk melanggar menurut Undang-Undang Pidana.
Hak dari negara untuk memungut pajak bea dan cukai (Pasal 23 ayat 2 UUD
1945) yang berbunyi “ segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan
Undang-undang”. Hak-hak tersebut menjadi hak relatif karena hanya dapat
dilakukan terhadap seorang (subyek hukum) tertentu, yakni terhadap pelanggar
(orang) terhadap yang wajib membayar pajak, bea dan cukai.
b. Hak keluarga relatif
Contoh: Hak yang disebut dalam Pasal 103 dan 104 KUHPerdata ialah Pasal
103 KUHPerdata”suami dan istri, dengan mengikat diri dalam suatu
perkawinan dan hanya karena itupun terikatlah mereka dalam suatu perjanjian
bertimbal balik akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka”
c. Hak kekayaan relatif
Ialah semua hak kekayaan yang bukan hak kebendaan atau barang ciptaan
manusia. Perbedaanya dengan hak kekyaan absolut ialah bahwa yang terakhir
ini dapat dijalankan terhadap setiap orang (droit de suite) dan merupakan
sistem tertutup, sedangkan kekayaan relatif hanya dapat dijalankan terhadap
orang tertentu (bukan droit de suite) dan bukan sistem tertutup. Dalam ilmu
hukum hak kekayaan relatif biasanya disebut perutangan (verbintenis).
BAB XII

ILMU HUKUM SEBAGAI KENYATAAN

A. Pendahuluan
Hukum sebagai gejala masyarakat, jadi sebagai keseluruhan kebiasaan-
kebiasaan hukum yang berlaku di dalam masyarakat, adalah obyek dari ilmu
pengetahuan hukum. Sebagai juga halnya dengan tiap-tiap ilmu pengetahuan lainnya,
ia tak puas dengan mencatat gejala-gejala yang dilihatnya, akan tetapi sebanyak
mungkin juga mencoba menerangkan dari hubungan sebab akibat dengan gejala-gejala
lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, ia memakai tiga buah cara:
1. Cara sosiologis, yang menyelidiki sangkut paut hukum dengan gejala-gejala
masyarakat lainya.
2. Cara sejarah, yang menyelidiki sangkut paut hukum dari sudut perjalanan
sejarahnya atau dengan perkataan lain yan menyelidiki pertumbuhan hukum
secara historis.
3. Cara perbandingan hukum, yang membandingkan satu sama lain tatana-tatanan
hukum dari pelbagai masyarakat hukum.

B. Antropologi hukum
Antropologi hukum adalah suatu cabang ilmu pemgetahuan yang mempelajari
pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana,
maupun masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan.

Metode pendekatan antropologi menurut Euber “adalah pendekatan secara


menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia, mereka juga mempelajari semua aspek
dari pengalaman manusia, serta penulisan gambar tentang bagian dari sejarah
manusia, lingkungan hidup dan kehidupan keluarga-keluarga, pemukiman, segi-segi
ekonomi, politik, agama, gaya kesenian, pemukiman, segi-segi ekonomi, politik,
agama, gaya kesenian dan berpakaian, bahasa dan sebagainya”.
Antropologi hukum mempunyai kesamaan dengan antropologi hukum, kedua-
duanya ingin dimengerti dan kemudian bisa menjelaskan fenomena hukum itu dan
bukannya untuk memakai peraturan-peraturan hukum yang konkret itu untuk
mengarahkan tingkah laku manusia. Dengan demikian, keduanya juga akan bertemu
dalam pandangan dan pendekatan, bahwa hukum itu tidak bisa dilepaskan dari
keseluruhan proses-proses yang lebih besar yang didalamya termasuk hukum.
Yang perlu juga mendapat perhatian adalah bagaimana seorang antropolog
mempelajari hukum. Untuk itu Soerjono Soekamto (1983:33) menyatakan yang mula
harus diketahui adalah:
1. Anggapan masyarakat tentang pedoman perihal perikelakuan yang pantas
2. Mengadakan identifikasi terhadap perikelakuan nyata dari warga masyarakat.
Bagi seorang antropolog, suatu gejala hukum timbul, apabila ada perikelakuan
yang sedemikian rupa sehingga apabila dibiarkan akan mengganggu atau bahkan
merusak lembaga-lembaga yang paling dihargai oleh warga masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh karena hukum sebagai aspek kebudayaan, mempunyai beberapa
fungsi fundamental untuk memelihara kedudukan masyarakat yaitu (E.A. Hoebel
1956:482):
1. Merumuskan pedoman sebagaimana warga masyarakat seharusnya
berperikelakuan, sehingga terjadi integrasi minimal dalam masyarakat
2. Menetralisasikan ketentuan-ketentuan dalam masyarakat, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk mengadakan penelitian.
3. Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali.
4. Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antar warga-
warga masyarakat dan kelompok-kelompok, apabila terjadi perubahan-perubahan.

C. Antropologi dan hukum


Seperti diketahui antropologi hukum merupkan ilmu pengetahuan yang jauh
sekali jangkauannya, ialah mengekspresikan kehidupan manusia dalam loyalitasnya
sehingga segala segi dibicarakan. Maka apabila seorang antropolog hanya merupakan
segi kecil daripada ruang lingkup antropologi hukum. Oleh karenanya atropolog akan
banyak menghadapi kesulitan dalam memasalahkan definisi-definisi tentang hukum
seperti yang kita kenal dalam ilmu hukum positif. Bagi mereka hukum harus diartikan
lebih daripada sekedar peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga pelaksana hukum
yang formal.
Nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat adalah sedemikian luasnya,
sehingga ia terlalu sukar untuk dapat diutamakan oleh masyarakat melalui peraturan-
peraturan dan lembaga-lembaga hukumnya yang resmi semata-mata. Pada dasarnya
studi antropologi terhadap hukum didasarkan pada premis-premis sebagai berikut:
1. Hukum suatu masyarakat atau sistem hukum suatu masyarakat, harus diselidiki
dalam konteks sistem-sistem politik ekonomi dan agamanya, dan juga dalam
rangka kerangka struktur sosial dari hubungan-hubungan antar orang dan
kelompok.
2. Hukum paling baik dipelajari melalui analisis terhadap prosedur-prosedur yang
berhubungan dengan penyelesaian sengketa atau dalam perspektif yang lebih luas,
melalui manajemen politik.
3. Pada giliranya prosedur-prosedur akan menjadi penting manakala penelitian
dipusatkan pada sengketa pada sengketa sebagai unit deskripsi, analisis dan
perbandingan.
4. Agar dapat dibuat suatu laporan yang sah mengenai hukum rakyat, dua tugas
terpisah tetapi berhubungan perlu digarap. Yang satu untuk memastikan kategori-
kategori kognitif yang dipakai oleh rakyat, yang sistem hukumnya diselediki,
untuk mengemukakan ide-ide mereka bentuk bentuk dan prosedur-prosedur untuk
membahasnya harus diambil. Tugas yang lain menghendaki diterjemahkannya
kategori-kategori ini ke dalam sarana komunikasi yang dipakai. Pekerjaan ini
adalah sukar. Oleh karena itu ia menuntut dua hal yaitu bahwa ciri-ciri esensi dari
sistem hukum yang asli tidak boleh diselewengkan dan bahwa ia dituangkan ke
dalam terminologi ilmiah yang memungkinkan dilakukannya suatu perbandingan
antar budaya.
Maka sebagaimana telah dikemukakan, antropologi hukum memperhatikan
dan menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses yang lebih besar dalam
masyarakat. Dengan demikian ia melihat hukum tidak secara statis, melainkan
dinamis, yaitu dalam proses-proses terbentuknya dan menghilang, secara
kesinambungan.

D. Sosiologi hukum
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris
dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum seagai gejala sosial
dengan gejala-gejala sosial lainnya. Atau Sosiologi hukum adalah ilmu yang
mempelajari fenomen hukum dari sisi yang demikian itu. Berikut ini disampaikan
beberapa karakteristik studi hukum secara sosiologis itu:
1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-
praktek hukum. Apabila praktek itu dibeda-bedakan ke dalam pembuatan undang-
undang, penerapan dan pengadilan, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek
yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut.
2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (emprical validity) dari
suatu peraturan atau pernyataan hukum. Perbedaan yang besar antara pendekatan
tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah bahwa yang pertama
menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sedang yang kedua
senantiasa mengujinya dengan data empris.
3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang
mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan obyek
pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatian
yang utama adalah pada memberikan penjelasan terhadap obyek yang dipelajari.
Sosiologi hukum diantaranya mempelajari “pengorganisasian sosiologi dari
hukum”. Obyek sasarannya ialah badan-badan yang terlibat dalam kegiatan
penyelengaraan hukum, seperti pembuat undang-undang, pegadilan, advokat dan
sebagainya. Untuk mengetahui sikap sosiologi hukum terhadap bidang-bidang yang
dipelajari, maka bentuk pertanyaanlah yang memudahkannya, seperti yang diajukan
oleh Prof. Dr. Satjipto rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum (1982):
1. Dalam mempelajari pembuatan undang-undang, sosiologi hukum tidak hanya
menanyakan apakah undang-undang itu, melainkan jauh daripada itu sosiologi
hukum juga tertarik kepada komposisi dari badan legislatif, misalnya siapa saja
anggotanya, berapa usianya, pendidikannya, latar belakang sosialnya dan
sebagainya. Hal ini semua mendapat perhatian, karena pembuatan undang-undang
juga dilihat dari manifestasi kelakuan manusia. Jadi yang dipermasalahkan oleh
sosiologi hukum adalah sangat kompleks.
2. Bagi pengadilan sosiologi hukum mempelajari sebagai suatu institusi yang
menghimpun berbagai macam pekerjaan, menghimpun hukum-hukum yang
mempunyai kecenderungan idiologi yang bermacam-macam pula, pertanyaan-
pertanyaan juga timbul seperti: “Apakah dampak-dampak daripada keputusan
pengadilan negeri ini kepada masyarakat”.
3. Bagi sosiologi hukum, polisi juga merupakan obyek yang mendapat perhatian
tersendiri. Dilihat dari sosiologi hukum, polisi adalah sekaligus hakim, jaksa
bahkan juga pembuat undang-undang. Dalam diri polisi, hukum secara langsung
dihadapkan kepada rakyat yang diatur oleh hukum itu sendiri. Dalam kedudukan
yang demikian itulah ia bisa menjadi hakim dan sebagainya sekaligus, sekalipun
semua itu barang tentu hanya dalam garis-garis besarnya saja. Pekerjaan polisis
adalah melayani masyarakat, tetapi dengan cara mendisiplinkan masyarakat. Dua
hal yang bertentangan satu sama lain. Oleh karena adanya konflik dalam pekerjaan
polisi itulah bidang ini merupakan bahan garapan yang sangat subur bagi sosiologi
hukum.
4. Bidang advokat atau kepengacaraan juga merupakan bidang yang sangat menarik
bagi sosiologi hukum. Ia mengamati pengorganisasian sosial dari hukum dan
apakah sesungguhnya yang bisa diharapkan dari advokat. Advokad dapat
mempunyai dwifungsi, di satu pihak sebagai pejuang hukum dan di lain pihak
sebagai seorang pengusaha menjalankan kepengacaraannya secara komersial.
Kedua bidang yang harus dilakukan sekaligus dapat dikatakan bahwa tugasnya
bertolak belakang. Sosiologi hukum yang berusaha untuk mengupas hukum
sehingga hukum itu tidak dapat dipisahkan dari praktek penyelengaraannya, tidak
hanya bersifat kritis tapi juga kreatif. Kreatifitasnya itu terletak pada
kemampuannya untuk menunjukkan adanya tujuan-tujuan serta nilai-nilai tertentu
yang ingin dicapai oleh hukum.
Sosiologi hukum akan bisa mengingatkan orang kepada adanya memberikan
informasi mengenai hambatanhambatan apa saja yang menghalangi pelaksanaan dari
suatu ide hukum dan dengan demikian akan sangat berjasa guna menghindari dan
mengatasi hambatan-hambatan tersebut di atas.

E. Psikologi hukum
Psikologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah
ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behavior) maka dengan kaitanya
dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu pencerminan dari
perilaku manusia. Suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum,
terutama pada hukum modern adalah penggunaannya yang secara sadar sebagai alat
untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak
hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi sosial (Soedjono, 1983:
58). Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang terkait
rapat dengan psikologi, terutama yang berkaitan dengan paksaan psikologis, peranan
sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain-lain sebagainya yang menunjukkan
hubungan hukum dan psikologi.
Contoh studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon
Petrazycki (1867-1931), ahli ilsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam
hukum dengan menempatkannya sebagai unsusr utama. Leon Petrazycki beranggapan
bahwa fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses psikis yang unik, yang tepat
dilihat dengan metode introspeksi. Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita
serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka semua itu
bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan saja, melainkan
karena keyakinan sendiri bahwa kita harus berbuat sepert itu. Petrazycki memandang
hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang hanya ada dalam pikiran manusia, tetapi
yang mempunyai arti sosial (Soedjono Dirdjosisworo 1983:57).
Leon Petrazycki masih ada sarjana atau penulis lain yang membicarakan dan
mengupas masalah psikologi hukum, di antaranya adalah Jerome Frank dalam
bukunya “Lawand the Modern Mind” (1930) yang sangat terkenal bahwa ada yang
menamakan suatu karya klasik dalam ilmu hukum umum.
Frank mengupas apa yang disebutnya sebagai suatu “mitos dasar” dalam
hukum. Sebagai seorang hakim, Frank melihat bahwa hukum itu tidak akan pernah
bisa memuaskan kita untuk memberikan kepastian. Dan pada umunya orang akan
mengharapkan bahwa hukum akan memberikan kepastian yang berlebihan. Menurut
Frank masalah ini tentunya akan berakhir pada suatu yang nyata, melainkan
menginginkan sesuatu yang tidak nyata (unreal).
Dalam usahanya untuk menjawab masalah di atas Frank mulai memasuki
bidang psikologi. Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang
psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget, khususnya yang menyangkut soal
ketergantungan yang demikian itu, pada saat anak tersebut menjadi dewasa, berupa
kecenderunagn (Hanker) kepada penganti sang ayah (Satjipto Rahardjo 1982:319).

F. Sejarah hukum
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dan asal ususl sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan
membandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Sejarah ini terutama dengan bangkitnya suatu pemikiran dalam hukum yang
dipelopori Dirdojosisworo, 1983: 58 Savigny (1779-1861).
Dalam studi sejarah hukum ditekankan mengenai hukum suatu bangsa
merupakan suatu ekspresi jiwa yang bersangkutan dan oleh karenanya senantiasa
yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini terletak pada karakteristik
pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Apabila dikatakan
bahwa sistem hukum itu tumbuh, maka yang diartikan bahwa adalah hubungan yang
terus menerus antara sistem yang sekarang dengan yang lalu. Apabila dapat diterima
bahwa hukum yang sekarang dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada
masa yang lampau (Soedjono Dirdojosisworo, 1983: 58).
Sudah menjadi kelaziman bahwa sejarah itu menghubungkan keadaan yang
lampau dengan keadaan sekarang maupun yang akan datang atau bahwa keadaan
sekarang berasal dari keadaan yang lampau. Maka apabila dihubungkan dengan
hukum, maka dapat diterima bahwa hukum dewasa ini merupakan
lanjutan/pertumbuhan dari hukum yang lampau, sedangkan hukum yang akan datang
terbentuk dari hukum sekarang.
Untuk dapat mengetahui sejarah hukum, dapat dimulai dari pertanyaan-
pertanyaan (Satjipto Rahardjo, 1982:318):
1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terbentuknya suatu lembaga
hukum tertentu dan bagaiman jalannya proses pembentukan itu?
2. Faktor apakah yang dominan pengaruhnya dalam proses pembentukan suatu
lembaga hukum tertentu dan apa sebabnya?
3. Bagimanakan interaksi antara pengaruh-pengaruh yang datang dari luar dengan
kekuatan pengembangan diri dalam masyarakat sendiri.
4. Bagaimanakah jalannya poses adaptasi terhadap lembaga-lembaga yang diambil
dari sistem hukum asing.
5. Apakah suatu lembaga hukum tertentu selalu menjalankan fungsi yang sama?
Apakah terjadi perubahan fungsi? Apa yang menyebabkannya? Apakah
perubahan itu bersifat formal atau informal?
6. Faktor-aktor apakah yang menyebabkan hapusnya atau tidak digunakanya lagi
suatu lembaga hukum tertentu?
7. Dapatkah dirumuskan suatu pola perkembangan yang umum yang dijalani oleh
lembaga-lembaga hukum dari suatu sistem hukum tertentu?
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas dapat diketahui pula bahwa antara sejarah
hukum dan perbandingan hukum terdapat hubungan yang cukup erat. Di samping itu
juga kita bisa mengatakan, bahwa sifat studi kesejahteraan ini pada hakekatnya
bersifat interdisipiliner, oleh karena itu ia menggunakan berbagai macam cara
pendekatan sekaligus, seperti pendekatan soisologis, antropologis dan positivistis.
Seperti telah dijelaskan dimuka bahwa sejarah hukum merupakan salah satu
bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum
mengungkapkan fakta dan membandingkannya antara hukum yang lampau dengan
hukum sekarang ataupun yang akan datang. Dalam peranannya sejarah hukum juga
berusaha mengenali dan memahami secara sistematis proses-proses terbentuknya
hukum, faktor-faktor yang menyebabkan dan sebagainya dan memberikan tambahan
pengetahuan yang berharga dan memahami fenomena hukum dalam masyarakat.
Di samping itu sejarah juga mempunyai kegunaan (Soerjono Soekanto,
1983:40):
1. Sejarah hukum dapat meberikan pandangan yang luas bagi kalangan hukum.
Hukum tak akan mungkn berdiri sendiri, karena sellau dipengaruhi aspek-aspek
kehidupan lain dan juga mempengaruhinya. Hukum merupakan hasil
perkembangan dari salah satu aspek kehidupan manusia.
2. Hukum sebaagi kaidah merupakan patokan perilaku atau sikap tindak yang
sepantasnya. Patokan tersebut memberikan pedoman, bagaimana seharusnya
manusia berkelakuan atau bersikap tindak, merupakan hasil perkembangan
pengalaman manusia semenjak dahulu kala.
3. Sejarah hukum juga berguna dalam praktek hukum. Sejarah hukum sangat penting
untuk mengadakan penafsiran secara historikal terhadap peraturan-peraturan
tertentu.
4. Dalam bidang pendidikan hukum, sejarah hukum akan sangat membantu
mahasiswa hukum untuk lebih memahami hukum yang dipelajarinya. Untuk
penelitian hukum, sejarah hukum juga berguna, terutama untuk mengungkapkan
kebenaran dalam kaitannya dengan masa lampau dan masa kini.
5. Sejarah hukum dapat mengungkapkan fungsi dan efektifitas lembaga-lembga
hukum tertentu. Artinya pada situasi-situasi semacam apakah suatu lembaga
hukum benar-benar berfungsi atau malahan tidak berfungsi sama sekali. Ini sangat
penting terutama bagi pembentuk dan penegak hukum. Akhirnya sejarah hukum
memberikan kemampuan, untuk dapat menilai keadaan-keadaan yang sedang dan
memecahkan masalah-masalahnya.
G. Perbandingan hukum
Perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang usianya relatif muda.
Dari sejarah kita ketahui bahwa perbandingan hukum sejak dulu dipergunakan orang,
tetapi baru secara insidental. Perbandingan hukum baru berkembang secara nyata
pada akhir abad ke 20. Lebih-lebih sekarang, dimana negara-negara di dunia saling
ketergantungan dan saling membutuhkan hubungan yang erat, perbandingan hukum
lebih diperlukan karena:
1. Dengan perbandingan hukum dapat diketahui jiwa serta pandangan hidup bangsa
lain termasuk hukumnya.
2. Dengan saling mengetahui hukumnya, sengketa dan kesalahpahaman dapat
dihindari.
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan perbandingan hukum tidak semata-
mata untuk mengetahui perbedaan dan persamaan saja, tetapi jauh dari itu ialah untuk
mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan
perbedaan tersebut. Perbandingan hukum mempunyai peranan penting di bidang
hukum secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu semakin perlu diketahui
atau dipelajari karena mempunyai berbagai manfaat, antara lain dapat membantu
dalam rangka pembentukan hukum nasional, disamping mempunyai peranan penting
dalam rangka hubungan antar bangsa/negara dan sebagainya. Perbandingan hukum
juga memberikan fungsi penting dalam rangka penyempurnaan, pembinaan dan
pembentukan hukum nasional.
Dengan mendalami ilmu pengetahuan perbandingan hukum kita dapat
mengetahui hukum secara lebih luas dan mendapatkan hukum secara lebih luas dan
mendapat pandangan jauh ke muka, sehingga lewat perbandingan hukum akan
terbentuk legal planners atau ahli-ahli perencanaan hukum yang semakin dirasakan
kebutuhannya. Dari uraian diatas, dengan singkat dapat dikatakan bahwa
perbandingan hukum perlu dipelajari secara lebih baik serta lebih mendalam, karena
perbandingan hukum berperan sekali di bidang hukum secara ilmiah maupun praktis
bagi hukum di masa yang akan datang.
Pada hakekatnya perbandingan hukum adalah suatu metode penelitian dan
bukan hanya suatu ilmu hukum dengan mempergunakan metode membanding-
bandingkan hukum yang satu dengan hukum yang lain. Sebagai metode penelitian
perbandingan hukum dapat dipergunakan di semua bidang hukum seperti hukum
privat, hukum publik, hukum tata negara dan sebagainya, bahkan juga dapat
digunakan di bidang ekonomi, eksakta dan teknik.
Tujuan perbandingan hukum bahwa kenyataan menunjukkan bahwa tiap
negara mempunyai kebudayaan dan hukumnya sendiri yang berbeda dengan hukum
dan kebudayaan negara lainya, misalnya hukum Anglo Saxon berbeda dengan hukum
Continental, berbeda pula dengan hukum negara-negara sosialis, bahkan hukum
menurut BW yang berlaku di Indonesia berbeda juga dengan hukum adat kita. Untuk
mengetahui adanya perbedaan dan persamaan serta untuk mengetahui adanya
perbedaan dan persamaan serta untuk mengetahui sebab-sebabnya, perbandingan
hukum mempunyai peranan penting.
Menurut Randall bahwa tujuan perbandingan hukum adalah:
1. Usaha mengumpulkan berbagai inormasi menegnai hukum asing
2. Usaha mendalami pengalaman-pengalaman yang dibuat dalam studi hukum asing
dalam rangka pembaharuan hukum.
Kalau ditelaah lebih lanjut, maka sebenarnya tujuan perbandingan hukum tidak
semata-mata untuk mengetahui adanya perbedaan dan persamaan daripada hukum
yang kita banding-bandingkan, tetapi penting ialah untuk mengetahui sebab-sebab dan
latar belakang dari pada perbedaan dan persamaan tersebut.

H. Fungsi perbandingan hukum


Ditinjau dari berbagai segi maka perbandingan hukum mempunyai
bermacam-macam funsi yaitu ungsi teoritis dan fungsi praktis. Dari segi lain maka
fungsi perbandingan hukum dapat dibedakan antara fungsi dalam pengembangan ilmu
hukum dan fungsi dalam praktek dan pembinaan hukum. Macam-maam
penggolongan tersebut saling berhubungan dan saling mengisi, sehingga uraian ini
akan menyangkut semua golongan tersebut.
1. Fungsi teoritis dalam perbandingan hukum
Perbandingan hukum mempunyai peran yang sangat penting dalam era
pembangunan hukum yang akan datang. Era pembangunan ini meliputi
“pengembangan ilmu hukum” dan “praktek hukum dan pembinaan hukum”. Peranan
perbandingan hukum dalam pengembangan ilmu hukum dianggap sangat penting
karena:
a. Lewat perbandingan hukum dapat diketahui bahwa hukum yang dimiliki oleh
suatu negara berbeda dengan hukum yang dimiliki negara lain, hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan dalam kaidah-kaidah, asas-asas dan
lembaga-lembaga hukumnya.
b. Lewat perbandingan hukum dapat diketahui juga, bahwa sistem hukum yang
sama sekali berbeda dapat memperhatikan persamaan dalam konsep hukumnya
atau dalam asas hukumnya.
c. Bahwa dalam melakukan perbandingan hukum dapat terarah ke bidang hukum
lainnya (bidang sosiologi hukum, filsafat hukum dan sejarah hukum).
Kesimpulan dari apa yang terurai di atas dapat disimpulkan:
1) Bahwa perbandingan hukum sangat bermanfaat dan berfungsi dalam usaha
memperdalam dan memperluas pengetahuan kita dalam 3 bidang sekaligus yaitu
bidang sosiologi hukum, filsafat hukum dan sejarah hukum.
2) Bahwa perbandingan hukum merupakan suatu metode penelitian penalaran dan
metode yang sangat ampuh dalam rangka pengembangan dan pendalaman ilmu
di Indonesia.
2. Fungsi praktis daripada perbandingan hukum
Disamping bermanfaat bagi teori/pengembangan ilmu hukum,
perbandingan hukum juga sangat bermanfaat di dalam praktek hukum khususnya
bagi applied research dan pembetukan hukum baru.
Contoh: ada masalah perceraian antara suami istri yang berbeda
kewarganegaraannya. Untuk dapat memberikan keputusan yang tepat, hakim dan
pengacaranya paling sedikit garus menguasai dua sistem hukum yang terwakili
oleh para pihak yang berperkara. Untuk itu perbandingan hukumlah yang dapat
membantu para penegak hukum dengan menunjukkan alternatif-alternatif yang
dapat dipilih sebagai kaidah yang tepat. Denagn singkat dapat dikatakan bahwa
dalam praktek para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, pengacara) juga notaris,
memerlukan jasa dari perbandingan hukum.
3. Fungsi perbandingan hukum dalam pembinaan hukum
Fungsi perbandingan hukum dalam pembinaan hukum dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Melalui perbandingan hukum kita dapat mendalami bermacam-macam sistem
hukum (nasional maupun Internasional) yang dapat kita manfaatkan untuk
pengembangan ilmu hukum, praktik dan pembinaan hukum.
b. Perbandingan hukum membuka mata kita menunjukkan adanya berbagai
macam cara untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum
c. Perbandingan hukum mempunyai fugsi yang sangat penting bagi
pengembangan ilmu hukum, bagi praktek hukum dan bagi pembinaan hukum
d. Melalui perbandingan hukum kita dapat mendalami dan memperluas bidang
ilmu pengetahuan jukum antara lain:
 Dapat mengetahui bahwa dalam sistem hukum yang berbeda melahirkan
lembaga-lembaga hukum yang berbeda pula.

 Dapat mengetahui adanya serta sebab-sebab dari persamaan dalam sistem
hukum yang sama sekali berbeda.

 Melalui perbandingan hukum dapat mendalami bidang-bidang filsafat
hukum, sosiologi hukum dan sejarah hukum sekaligus.

e. Perbandingan hukum membantu para penegak hukum, notaris, wasit, badan
legislatif dan badan eksekutif dalam menyelesaikan tugasnya, karena
perbandingan hukum dapat menciptakan kaidah-kaidah hukum baru dan
memberikan alternatif-alternatif yang dapat dipilihnya.
f. Dengan diterapkannya perbandingan hukum bersama-sama dengan
perkembangan filsat hukum, sosiologi hukum dan sejarah hukum lebih-lebih
dengan dilatarbelakangi pengetahuan di bidang ekonomi, psikologi, teknik,
futurologi dapat tersusun hukum baru, tidak hanya untuk masa kini tetapi juga
masa yang akan datang.
g. Dengan diintensifkannya penguasaan perbandingan hukum, Indonesia dapat
melahirkan sarjana-sarjana perencana hukum (legal planner) yang tangguh
serta dapat diandalkan, karena dapat meramalkan keadaan yang akan datang
termasuk bidang hukumnya.
h. Sebuah “pameo” yang mengatakan bahwa sarjana hukum tidak adapat
berevolusi artinya selalu ketingalan dengan konflik-konflik sosial yang timbul
di dalam masyarakat akan berganti dengan motto: sarjana hukum adalah
pelopor dari pembentukan masyarakat yang tata tentram kerta raharja.
BAB XIII

PROSES HUKUM

A. Pendahuluan
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan manusia, hukum
harus menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan aktivitas dengan kualitas
yang berbeda-beda. Dalam garis besarnya aktivitas tersebut berupa pembuatan hukum
dan penegakan hukum. Yang dimaksud dengan pembuatan hukum di sini adalah tidak
lain pembuatan undang-undang tersebut.
Dalam banyak kepustakaan hukum di negeri kita pembicaraan mengenai
proses hukum sebagaimana dipakai di sini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu
baik kita berhati-hati, oleh karena pembicaraan secara demikian itu, orang segera
berfikir kepada “jalannya suatu proses peradilan‟. Sebab itulah sejak awal perlu
ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan proses hukum disini adalah perjalanan
yang ditempuh hukum untuk menjalankan fungsinya, yaitu mengatur masyarakat atau
kehidupan bersama.
Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan
tersebut. Ia merupakan momentum yang memisahkan keadaan tanpa hukum dengan
keadaan yang diatur oleh hukum. Ia merupakan pemisah antara duania sosial dengan
dunia hukum, oleh karena sejak saat itu, kejadian dalam masyarakatpun mulai
ditundukkan pada tatanan hukum. Sebagaimana telah dibicarakan pada bab-bab
terdahulu, maka tunduk pada tatanan hukum berarti tunduk pada penilaian hukum,
ukuran hukum dan akibat-akibat hukum. Oleh karena itulah kita berbicara tentang
adanya suatu dunia tersendiri yaitu dunia hukum.

B. Proses Hukum
1. Pembuatan hukum
a. Bahan pembuatan hukum dimulai dari gagasan atau ide yang kemudian
diproses lebih lanjut sehingga pada akhirnya benar-benar menjadi bahan yang
siap untuk diberi sanksi hukum gagasan ini muncul di masyarakat dalam
bentuk keinginan agar suatu masalah diatur oleh hukum. Pada dasarnya kita
dapat membagi proses dalam pembuatan hukum ini ke dalam dua golongan
tahapan besar, yaitu tahap sosiopolitis dan tahap yuridis. Di dalam tahapan
sosio politis, maka gagasan awal tadi diolah oleh masyarakat sendiri,
dibicarakan, dikritik, dipertahankan, melalui pertukaran pendapat antara
berbagai golongan dan kekuatan dalam masyarakat. Tahapan berikutnya atau
tahap akhir adalah pemberian sanksi hukum terhadap bahan tersebut. Secara
garis besarnya pembuatan hukum itu bisa dirinci dalam garis besarnya,
pembuatan hukum itu bisa dirinci dalam tahap-tahap sebagai berikut:
 Tahap inisiasi: muncul suatu gagasan dalam masyarakat

 Tahap sosio politis: pematangan dan penajaman gagasan

 Tahap yuridis: penyususnan bahan kedalam rumusan hukum dan
kemudian diundangkan.

b. Struktur pembuatan hukum
Struktur serta organisasi pembuatan hukum di dunia dewasa ini didasarkan
pada pembagian kekuasaan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif. Intisari
pendapatnya mengenai bagaimana seharusnya hukum itu dibuat adalah
sebagai berikut:
 Gaya hendaknya padat dan sederhana

 Istilah-istilah yang dipilih, hendaknya sedapat mungkin bersifat mutlak
dan tidak relatif, sehingga mempersempit kemungkinan untuk adanya
perbedaan pendapat.

 Aktual, menghindari penggunaan perumpamaan atau bersifat hipotesis

 Tidak rumit.

 Tidak kabur oleh penggunaan pengecualian, pembatasan atau modifikasi.

 Jangan berupa penalaran

 Di atas itu semua, isinya hendaknya dipikirkan secara masak terlebih
dahulu serta janganlah membingungkan pemikiran serta rasa keadilan
biasa dan bagaimana umumnya sesuatu itu berjalan secara alami, sebab
hukum yang lemah, tidak perlu dan tidak adil akan menyebabkan
keseluruhan sistem perundangan menjadi ambruk dan merusak
kewibawaan.
PEMBUATAN HUKUM

BAHAN
HUKUM
PEMBUATAN
UNDANG-UNDANG

STRUKTUR HUKUM

PROSES PEMBUATAN HUKUM TAHAP INISIASI

TAHAP TAHAP
SOSIOPOLITIS YURIDIS

MASYARAKAT DI BICARAKAN
DI KRITIK
DI PERTAHANKAN
2. Penegakan hukum
Dengan berakhirnya pembuatan hukum sebagaimana telah diuraikan di
atas, proses hukum baru menyelesaikan satu tahap saja dari suatu perjalanan
panjang untuk mengatur masyarakat. Tahap pembuatan hukum itu harus disusul
oleh pelaksanaannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Inilah yang dimaksud dengan penegakan hukum.
Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegakan hukum itu
dijalankan oleh komponen eksekutif dan dilaksanakan oleh birokrasi dari
eksekutif tersebut, sehingga sering disebut juga birokrasi penegakan hukum. Sejak
negara itu mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan dalam masyarakat,
maka memang campur tangan hukum juga makin intensif, seperti dalam bidang-
bidang kesehatan, perumahan, produksi, dan pendidikan. Tipe negara dengan
birokrasinya merupakan bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang
tercantum dalam (peraturan) hukum yang menangani bidang-bidang tertentu.

3. Peradilan
Peradilan bisa disebut sebagai suatu macam penegakan hukum pula, oleh
karena aktivitasnya juga tidak terlepas dari hukum yang telah dibuat dan
disediakan oleh badan pembuat hukum itu. Dengan demikian, maka baru hukum
itu dibuat kita bisa berbicara mengenai adaya dan berjalanya peradilan.
Perbedaanya adalah, apabila komponen eksekutif tersebut diatas menjalankan
penegakan hukum itu dengan aktif, maka peradilan bisa disebut pasif, karena
harus menunggu datangnya pihak-pihak yang membutuhkan jasa peradilan. Para
yustisiabel itu datang dengan mmebawa persoalan mereka untuk diselesaikan
melalui proses peradilan.
Berjalanya proses peradilan tersebut, berhubungan erat dengan substansi
yang diadili, yaitu berupa perkara perdata ataukah pidana. Keterlibatan lembaga-
lembaga dalam proses peradilan secara penuh hanya terjadi pada saat mengadili
perkara pidana. Dalam perkembangannya, kita menjumpai adanya diferensiasi
dalam forum pengadilan, sehingga terbentuklah berbagai forum pengadilan,
seperti Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha
Negara. Tidak ada struktur universal dalam kelembagaannya pengadilan itu,
sehingga pada negara-negara di dunia dijumpai fora pengadilan yang berbeda-
beda.
4. Administrasi keadilan
Disebabkan oleh pengaruh kontinental yang kuat, maka di Indonesia
hukum acara lebih dikenal daripada administrasi keadilan (administrtion justice).
Dalam administrasi keadilan nampak lebih menonjol pendekatan administrasi
daripada hukum. Secara singkat boleh dikatakan bahwa pendekatan hukum yang
menggunkan doktrin normatif, teritama memikirkan tentang pembuatan aturan
yang menyeluruh atau melarang untuk menertibkan jalannya proses mengadili itu.
Sedangkan pendekatan administratif, yang menggunakan doktrin administratif,
lebih memikirkan tentang efesiensi kerja lembaga-lembaga yang terlibat dalam
proses mengadili tersebut. Pendekatan administratif tersebut beberapa dekade
terakhir ini didukung oleh penggunaan analisis sistem dan pendekatan sistem atau
rancangan sistem (laPatra, 1978).
Administrasi keadilan tidak lain mengandung pengertian, bahwa
penerapan keadilan dalam masyarakat itu membutuhkan pengeloaan, tidak hanya
dapat diserahkan kepada masyarakat begitu saja. Diserahkan kepada masyarakat,
artinya dipercayakan kepada masing-masing anggota masyarakat (Dias, 1976/88-
106).
Keadilan dibagi dalam keadilan-keadilan “perdata” dan keadilan
“kriminal”, yang disebut belakangan ini di Indonesia lebih dikenal dengan
“pidana”. Ciri yang membedakan keduanya adalah, bahwa pada keadilan perdata
kita berhadapan dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap perseorangan,
sedangkan pada yang lain kita berhadapan dengan pelanggaran-pelanggaran
terhadap umum.
Pada administrasi keadilan pidana keadaanya cukup berbeda. Salah satu
ciri pembeda yang sangat menonjol adalah, bahwa pada administrasi ini badan-
badan yang terlibat cukup banyak dan oleh karena itu benar-benar membutuhkan
pengelolaan yang seksama. Badan-badan yang terlibat adalah: kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan.
Masalah yang paling rumit adalah bagaimana kita akan mengorganisasikan
badan-badan kedalam kesatuan kerja, masing-masing mempunyai wewenang dan
tugas yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tersebut mungkin belum berarti
apa-apa, tetapi apabila diingat, bahwa semua badan itu mengurusi orang yang
sama yaitu tersangka, terdakwa atau terhukum, maka keadaannya bisa lain.
Apabila misalnya, masing-masing badan itu memegang teguh birokrasinya, maka
efisiensi dari administrasinya bisa sangat terganggu.
Kemampuan untuk menyelesaikan daftar bekerjanya pengadilan (LaPatra,
1978:65).
a. Pastikan bahwa terdakwa tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif
b. Pastikan bahwa rakyat tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif.
c. Ciptakan kondisi yang mendukung ke arah penilaian yang adil dan nalar.
d. Mungkinkan pemrosesan suatu perkara dengan kecepatan terukur.
e. Kurangi sampai minimum beban di pundak pihak-pihak yang berperkara.
f. Kurangi sampai minimum beban dari pihak-pihak lain.
g. Kurangi sampai minimum ongkos-ongkos perkara.
BAB XIV

HUKUM DAN REKAYASA SOSIAL

A. Pendahuluan

Hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi
sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dalam bab ini
membicarakan tentang bagaimana hukum itu dipakai sebagai sarana yang demikian
itu, dimulai dari pembicarakan mengenai hukum dalam konteks perubahan
masyarakat.

B. Dua fungsi hukum yang menonjol dalam masyarakat


Kedudukan hukum dalam perubahan sosial. Roscoe Pound: A tool of social
engineering hukum sebagai sistem kontrol yang terkendali, memiliki potensi besar
mempengaruhi hubungan-hubungan sosial secara terencana. Karena:
1. Keyakinan Pound: Hukum adalah suatu lembaga sosial yang by design sifatnya,
sesungguhnyalah merupakan produk kecendekiaan yang terencana dan sistematis.
Karena sifatnya produk by design intelektual-ilmiah. Maka niscaya mudah
disempurnakan setiap kali demi fungsional sebagai instrumen perubahan sosial.
2. Selain memiliki legalitas formal, hukum juga mempunyai kewenangan pemaksa
yang dalam bekerjanya didukung aktivitas birokrasi.
Sally Falk Moore: Perundang-undangan dalam politik hukum modern,
senantiasa diarahkan pada pemanfaatannya sebagai alat perubahan sosial. Satjipto
Rahardjo: Hukum dalam penggunaannya sekarang ini, hampir berupa sarana untuk
melakukan social engineering.

C. Dua sistem besar dari hukum


Kita mengenal dua sistem hukum yang berbeda, yaitu sistem hukum Eropa
benua dan sistem hukum Inggris. Hukum Romawi-Jerman dan “Civil Law System”
untuk yang pertama dan “Common Law System” untuk yang kedua.
1. Sistem hukum Romawi-Jerman
Sistem hukum Romawi-Jerman adalah sistem yang dipakai di Indonesia. Di
Indonesia tampaknya ia lebih dikenal dengan nama hukum sipil. Sistem hukum ini
mulai muncul pada abad ke-13 dan pada saat itu senantiasa mengalami
perkembangan, perubahan, atau singkat kata mengalami evolusi. Hukum Romawi-
Jerman dibentuk di Eropa pada abad ke tiga belas. Kita ketahui, bahwa abad
keempat belas hingga tujuh belas disebut sebagai masa kebangunan kembali atau
renaissance.
Perkembangan Hukum Romawi-Jerman dipengaruhi oleh pemikiran mazhab
hukum alam. Mazhab ini menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal.
Hal ini berbeda sekali dengan pemikiran hukum yang bertolak dari prosedur yang
tidak jelas asal usulnya, yang menekankan pada cara-cara Irrasional. Dengan
bersenjatakan akal tersebut mereka melakukan konsolidasi terhadap evolusi
hukum Romawi dan secara sistematis membangun suatu hukum yang mampu
untuk dipakai bagi kehidupan di abad kedelepan belas.
Ciri yang menandai hukum Romawi-Jerman atau Civil Law System. Di
pusat kehidupan dan penyelenggaraan hukum terletak konsep orang tentang
kaidah atau rule. Konsep tentang kaidah ini adalah penting sekali, oleh karena ia
selanjutnya akan menentukan bagaimana kehidupan hukum di suatu negara
diselenggarakan. Perbedaan konsep tentang kaidah ini pulalah yang akhirnya
membedakan sistem hukum Romawi-Jerman dengan Common Law System.
Negara dengan sistem hukum Romawi-Jerman juga bisa disebut negara-
negara dengan sistem hukum yang dituliskan. Kodifikasi merupakan ide yang lalu
membara dalam universitas yang pada akhirnya memang mencapai kemenangan
dan mengantarkan negara-negara dengan sistem Romawi-Jerman ini kepada
legislatif positifisme. Dalam sistem hukum Romawi-Jerman kita menjumpai lebih
sedikit peraturan hukum karena memang tidak dikehendaki untuk membuat
ketentuan yang terperinci. Memang dibanding dengan Common Law System, maka
hukum positif pada Civil Law System adalah lebih jelas dan sederhana. Hukum
positif di negara-negara ini hanya memberikan suatu kerangka bagi pengambilan
keputusan, bukan berisi kaidah yang komplit.
Sistem hukum Romawi-Jerman berjalan dan tumbuh atas dasar peraturan
yang dibuat manusia, peraturan perundang-undangan. Segi lain dalam sistem
hukum Romawi-Jerman adalah strukturnya yang terbuka untuk perubahan. Ini
disebabkan oleh karena sistem ini hanya memberikan kaidah-kaidah yang bersifat
umum dan disusun dalam suatu kodifikasi yang sistematis. Dengan demikian
perubahan-perubahan masih bisa diakomodasi dalam sistem yang demikian itu
serta pengaruhnya terhadap keseluruhan hukum positifpun bisa dengan mudah
diketahui, sebab semuanya telah dituliskan dan dihimpun secara sistematik.
Perubahan-perubahan tidak menimbulkan kegoncangan dan ketidakpastian seperti
pada Common Law System yang berlandaskan pada kaidah -kaidah yang sangat
konkrit dan kasuistis.
Civil Law System mempunyai ciri-ciri :
a. Sistem hukum yang berlaku di daratan Eropa dan negara-negara bekas
jajahannya termasuk Indonesia.
b. Yang dikatakan hukum adalah produk perUUan.
c. Membagi hukum ke dalam hukum perdata dan hukum publik.
d. Hukum disiapkan dan dididik dalam lembaga khusus (Fakultas Hukum)
e. Dikembangkan di lingkungan universitas.
f. Penekanan kepada ciri logis dan rasionalnya.
g. Menyadarkan modernisasi dan pembaharuan hukum kepada badan legislatif.

2. Common Law System


Common Law System adalah sistem hukum terakhir yang tidak
dikembangkan dalam universitas atau melalui penulisan doktrinal, melainkan oleh
para praktisi dan proseduralis. Common Law System bertuju secara konkrit pada
penyelesaian pada suatu kasus tertentu. Keluarga Common Law ini, dengan
beberapa pengecualian meliputi negara-negara yang berbahasa Inggris. Sistem
hukum ini berkembang secara mandiri dan hanya sedikit sekali dipengaruhi oleh
sistem hukum lain.
Sistem hukum ini berbeda sekali dengan hukum Romawi-Jerman yang
menyandarkan pada kerangka perundang-undangan. Common Law mendasarkan
pada prosedur dan merupakan kumpulan prosedur yang dirancang untuk mencapai
penyelesaian dalam suatu sengketa. Pada setiap prosedur, pihak-pihak harus dapat
merumuskannya dalam formula yang khas sebagaimana ditentukan, kegagalan
untuk memenuhi persyaratan itu akan berakibat fatal bagi penyelesaian perkara.
Pada sistem hukum ini tidak dikenal adanya perbedaan prinsipil antara
hukum publik dan perdata, dan juga tidak ada perbedaan antara hukum perdata
dan dagang. Sistem hukum ini berkembang melalui keputusan hakim. Hal ini
berbeda sekali dengan sistem Romawi-Jerman yang mengembangkan kaidah
hukum secara sistematis doktrinal dan berdasarkan perundang-undangan yang
dibuat oleh badan legislatif. Oleh karena itu kaidah -kaidah Common Law kurang
dirumuskan secara umum sebagaimana pada sistem hukum Romawi-Jerman, dan
dengan demikian kita akan menjumpai lebih banyak kaidah hukum yang punya isi
konkrit.
Ciri Common Law terletak pada kaidah -kaidah yang bersifat konkrit, yang
sudah mengarah pada penyelesaian pada suatu kasus tertentu. Kaidah-kaidah yang
demikian itu dilahirkan melalui keputusan-keputusan hakim dan oleh karena itu
pula pengadilan memegang peranan yang pokok.
Demikianlah, kita telah mengikuti uraian mengenai Common Law dan
sekaligus mengamati perbedaan-perbedaannya dengan hukum Romawi-Jerman
atau Civil Law yang digunakan di Indonesia. Oleh karena sistem Romawi-Jerman
itu digodog dalam lingkungan universitas dan oleh para penulis, maka tidak
heranlah kita apabila ia menampilkan suatu struktur yang sistematis dan tampak
rasional. Berulang kali diajukan bahwa keadaan yang demikian ini sangat berbeda
dengan perkembangan Common Law di Inggris yang tidak disentuh oleh tangan
para penulis dan teoritisi, melainkan dibiarkan tumbuh melalui praktek, melalui
kaidah oleh hakim.
Dengan demikian apabila hendak dibuat penggolongan, maka sistem hukum
Romawi-Jerman sengaja ditata secara sistematis rasional sedangkan sistem
Common Law secara empirik. Empirisme ini bukan sama sekali tanpa patokan.
Patokan itu ada yaitu akal dan nalar. Kalau kita sudah samapai pada akal manusia
sebagai patokan, maka sebetulnya perbedaan dalam jalur yang ditempuh Civil Law
dan Common Law menjadi kecil. Kedua-duanya sama didasarkan pada
penggunaan akal atau nalar melalui empirisme ini di Inggris masih lebih dominan,
sehingga hukum ini terutama dianggap sebagai karya akal, berbeda dari hukum
perundang-undangan.
Common Law System mempunya ciri-ciri :
a. Merupakan sistem hukum yang berlaku di Inggris, Amerika dan negara-negara
bekas jajahan Inggris.
b. Yang dikatakan hukum itu adalah apa yang diputuskan oleh hakim dalam
pengadilan/sering di sebut “Judge Made Law”
c. Hukum dikembangkan di pengadilan oleh praktisi hukum.
d. Tidak memiliki perUUan yg tertulis (rule), sehingga sistem hukum positifnya
tidak sederhana/sangat rumit dan tidak jelas.
e. Hakim tidak di siapkan di dalam lembaga pendididkan khusus (hakim dipilih
dari orang yang mempunyai reputasi baik dan tidak harus SH).
f. Tidak membagi secara prinsipil antara hakim publik dan hakim privat.
g. Tidak mengenal modernisasi dan pembaharuan hukum melalui kodifikasi,
tetapi kaidah berkembang melalui putusan hakim.
Namun demikian, harus segera ditambahkan di sini bahwa kita masih dapat
mengenali tatanan hukum yang lain, yang mungkin layak juga untuk menyandang
sebutan sistem hukum. Dalam hubungan ini kita dihadapkan pada hukum di
negara sosialis dan komunis, yang bisa disebut dengan hukum sosialis. Di
samping itu kita juga mengenal hukum Islam yang didasarkan pada kita suci Al
Qur‟an.
Selanjutnya, orang masih juga membuat perbedaan antara hukum yang
dipakai di suatu negara, sekalipun pada dasarnya negara itu temasuk dalam
keluarga Common Law atau hukum Romawi-Jerman. Hal ini disebabkan oleh
karena dalam perkembangannya di masing-masing negara pola dasar dan model
aslinya telah mengalami perkembangan yang khas sesuai dengan lingkungannya.
Dengan demikian kita bisa berbicara tentang hukum Amerika Serikat, hukum
China, hukum Jepang dan hukum negara-negara Afrika dan lain-lain.

SUMBER PUSTAKA

1. Ali Achmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).
Jakarta: Chandra Pratama
2. Apeldoorn, L.J. Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
3. Dirdjosisworo, Soedojo. 2003. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada
4. Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Laksana Hukum Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
5. Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
6. Soedarsono. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
7. Soetami, Siti. 1995. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: PT. Eresco.
8. Soeroso. R. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
9. Wignyodipuro, Surojo. 1985. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Gunung Agung.
10. Ali Achmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).

11. Dirdjosisworo, Soedojo. 2003. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: RajaGrafindo


Persada.
12. Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Laksana Hukum Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
13. Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
14. Soetami, Siti. 1995. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: PT. Eresco.
15. Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana.
16. Hariri, Wawan Muhwan. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pustaka Setia.
17. Asyhadie, M.Zaini. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Rajawali Pres.
18. Asikin, Zainal. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Rajawali Pres.
19. Mas, Marwan. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
20. Kusumaatmadja, Mochtar, Sidharta, Arif. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT.
Alumni.
21. Pabbu, Amirudin, Syamsudin, Rahman. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:
Mitrawacana Media.
22. Sampara, Said, Agis, Abdul. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Total Media.
23. Syahrifin, Pipin. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pustaka Media.
24. Is, Muhamad Said. 2015. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenada Media Grup.

Anda mungkin juga menyukai