Oleh:
TIM DOSEN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya tulis
berupa buku ajar. Penulisan buku ajar mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH) ini
sebagai kebutuhan untuk adanya panduan dalam proses belajar mengajar bagi
mahasiswa. Dalam penyusunan mata kuliah ini tidak lepas dari dorongan, dukungan,
serta bimbingan dari berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Pada
kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang
ajar ini.
ini masih jauh dari sempurna karena masih terdapat banyak kekurangan. Karena
untuk terwujudnya karya sempurna adalah hal yang tidak mudah. Maka saya akan
menerima setiap kritikan atau usaha dari pihak lain untuk perbaikan buku ajar ini.
Hal ini demi terwujudnya karya yang lebih baik, dengan demikian masih perlu
adanya usaha perbaikan dan penyempurnaan dari semua pihak demi terwujudnya
Penulis,
TINJAUAN MATA KULIAH
A. TUJUAN MATAKULIAH
Halaman Judul....................................................................................................................... i
Halaman Pengesahan............................................................................................................. ii
KataPengantar....................................................................................................................... iii
Tinjauan Mata Kuliah........................................................................................................... iv
Daftar Isi................................................................................................................................. vi
A. Pendahuluan
B. Sejarah, Peran dan Fungsi PIH
C. Hukum sebagai gejala sosial
D. Manusia sebagai mahluk sosial
E. Pengertian hidup bermasyarakat
F. Masyarakat dan ketertibannya
A. Pendahuluan
B. Pengertian hukum
C. Pembagian hukum
A. Pendahuluan
B. Hukum Dalam arti formil dan materiil
C. Tujuan hukum
D. Fungsi hukum
A. Pendahuluan
B. Subjek hukum
C. Manusia sebagai subjek hukum
D. Obyek hukum
BAB V PERISTIWA AKIBAT HUBUNGAN HUKUM
A. Pendahuluan
B. Peristiwa Hukum
C. Akibat hukum
D. Hubungan hukum
A. Pendahuluan
B. Teori-teori dalam hukum
A. Pendahuluan
B. Sumber hukum formil
C. Sumber hukum materiil
A. Pendahuluan
B. Penggolongan hukum menurut wujudnya
C. Penggolongan hukum menurut fungsi
D. Penggolongan hukum menurut sifatnya
E. Penggolongan hukum berdasarkan waktu berlakunya
F. Penggolongan hukum menurut isinya
A. Pendahuluan
B. Cara penafsiran hukum
C. Penjelasan tentang berbagai macam metode Penafsiran
D. Hakim mengisi kekosongan hukum dan konstruksi hukum
A. Pendahuluan
B. Pengertian Asas Legalitas
C. Tujuan Asas Legalitas
BAB XI HUKUM SUBYEKTIF DAN HUKUM OBYEKTIF
A. Pendahuluan
B. Pengertian Hukum Subyektif dan Hukum Obyektif
C. Hak
A. Pendahuluan
B. Antropologi hukum
C. Antropologi dan hukum
D. Sosiologi hukum
E. Psikologi hukum
F. Sejarah hukum
G. Perbandingan hukum
H. Fungsi perbandingan hukum
A. Pendahuluan
B. Proses hukum
C. Tahapan pembuatan hukum
A. Pendahuluan
B. Dua fungsi hukum yang menonjol dalam masyarakat
C. Dua sistem besar dari hukum.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
HUKUM DAN MASYARAKAT
A. Pendahuluan
Pengantar ilmu hukum terdiri dari kata pengantar dan ilmu hukum. Bila
dikehendaki ilmu hukum dapat dipecah lagi menjadi ilmu dan hukum.
Contoh: tidak boleh mencuri milik orang lain (dikuatkan dengan pasal 362
KUHP).
2. Norma agama
Norma agama berpangkal pada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Norma agama ditentukan oleh Tuhan. Melanggar norma agama berarti
melanggar perintah Tuhan. Sanksinya mendapat hukuman dari Tuhan di akhirat.
Adapun kehadiran peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai tuntunan dan
petunjuk ke arah jalan yang benar dalam kehidupan manusia.
Pada garis besarnya dan pada umumnya isi norma agama tersebut terdiri
dari tiga hubungan:
1. Peraturan-peraturan yang memuat tata hubungan manusia dengan Tuhan
secara vertikal
2. Peraturan-peraturan yang memuat tata hubungan manusia dengan manusia
secara horisontal
3. Peraturan-peraturan yang memuat tata hubungan manusia dengan alam sekitar.
Ketiga tata hubungan tadi satu sama lain saling berhubungan, tidak merupakan
satu kemandirian.
Contoh: jangan membunuh sesama manusia (dikuatkan di dalam pasal 338
KUHP).
3. Norma kesopanan
Norma yang dekat dengan kenyatan.Mutlak berlaku sosiolog. Sanksinya
adalah dikucilkan/bersifat sanksi sosial dari masyarakat bersifat Das Sein. Tata
aturan yang hidup dalam pergaulan sekelompok manusia lebih dikenal dengan
norma kesopanan, demikian pula timbulnya tata aturan tersebut adalah pergaulan
sekelompok manusia pula. Peraturan tersebut mengatur tingkah laku sesama
manusia di dalam lingkunganya, oleh sebab itu norma kesopanan ditaati dan
diikuti oleh semua individu di dalam masyarakat.
Tempat berlakunya norma kesopanan ini sangat terbatas. Norma
kesopanan tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang luas, jika di bandingkan
dengan lingkungan norma agama dan kesusilaan, norma kesopanan tidak berlaku
bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional)
dan hanya berlaku bagi golongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap
sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian.
Contohnya :
1. Dalam masyarakat Indonesia pada umunya selalu terdapat norma dimana
kaum muda menghormati orang yang lebih tua. Adapun generasi tua
membimbing dan membina kearah positif.
2. Di dalam masyarakat masih tertanam norma bahwa siapapun tidak pantas
mengucapkan kata-kata yang menjijikan di depan orang yang sedang makan
minum, apalagi meludah atau muntah dengan di sengaja.
4. Norma Hukum
Pengaturan yang dibentuk oleh penguasa negara menimbulkan norma
hukum. Kaidah tersebut berupa peraturan-peraturan dalam segala bentuk dan
jenisnya. Di dalam kehidupan sehari-hari terbukti bahwa norma hukum mengikat
setiap orang. Pelaksanaan norma hukum dapat dipaksakan dan dipertahankan oleh
negara.
Dipertahankannya atau dipaksakannya norma hukum oleh negara
merupakan salah satu keistimewaan norma hukum dengan ancaman pidana (bagi
hukum pidana), hukuman (bagi perdata atau hukum dagang). Upaya mewujudkan
pertahanan dan paksaan tidak mungkin dapat berjalan dengan sendirinya, tetapi
hal itu harus dilaksanakan oleh alat-alat kekuasaan negara. Pelaksanaan tersebut
bukan berarti tindakan sewenang-wenang, akan tetapi merupakan upaya agar
peraturan tersebut ditaati dan terlaksana dengan sebaik-baiknya.
Ada beberapa contoh kaidah hukum:
1. Hukum Pidana
Baragsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan penjara paling lama lima
tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (pasal 362
KUHP), di dalam pasal ini ditentukan besarnya pidana penjara yakni paling
lama lima tahun. Apabila seorang pencuri itu dikenakan pidana sebagaimana
telah ditentukan di dalam pasal ini maka pelaksanaan tersebut dapat
dipaksakan oleh negara.
2. Hukum Perdata
Jual beli barang milik orang lain adalah batal, dan dapat
memberikan dasar untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli
tidak telah mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain (pasal 1471
KUHPerdata). Di dalam ayat ini dijelskan bahwa jual beli barang orang adalah
batal. Maksudnya, adalah apabila terkjadi perselisihan mengenai jual beli
sebagaimana isi undang-undang maka negara dapat memaksakan pembatalan
tersebut agar pihak-pihak yang bersedia mematuhi (inisiatif).
3. Hukum Dagang
Demikian di bidang hukum dagang terdapat banyak norma-norma
hukum yang mengikat para pihak misalnya:
a. Syarat-syarat mendirikan perseroan
b. Ketentuan-ketentuan wesel
c. Masalah hukum paten
d. Masalah aksep.
BAB II
PENGERTIAN HUKUM
A. Pendahuluan
Bagi yang ingin mempelajari tentang hukum, pasti timbul pertanyaan “apakah
Hukum itu? Sebenarnya para sarjana telah lama mencari suatu batasan tentang hukum
tetapi belum ada yang memberikan suatu batasan atau definisi yang tepat. Batasan-
batasan yang diberikan adalah bermacam-macam, berbeda satu sama lain dan tidak
lengkap. Maka masih tepatlah ucapan sarjana hukum Belanda Immanuel Kant (tahun
1800) yang pernah mengatakan “Noch suchen die juristen eine Definition zu ihren
Begtiffe von Recht” yang artinya lebih kurang; Para juris masih mencari suatu deinisi
mengenai pengertian tentang hukum.
Apabila ucapan tersebut dikaji memang terkandung kebenaran karena :
1. Sampai sekarang para sarjana belum ada yang memberikan definisi yang sama,
baik mereka itu sarjana Hukum dari luar maupun dari dalam negeri;
2. Dalam pemberian definisi tentang hukum, para sarjana Hukum meninjau hukum
dari segi yang berbeda-beda seperti; segi sejarah, sosial, ekonomi, filsafat dan
sebagainya, sesuai latar belakang dari sejarah itu sendiri.
3. Hukum adalah gejala sosial yang berubah-ubah, mengikuti perkembangan yang
ada di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh zamannya.
4. Hukum merupakan pengatur dan petunjuk dalam kehidupan masyarakat sehingga
hukum selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri.
5. Hukum selalu dipengaruhi oleh kebiasaan/adat, kesusilaan, kebudayaan, agama
dan sebagainya.
B. Pengertian hukum
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa.
Berisikan suatu perintah, larangan, atau ijin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu,
dengan tujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. Untuk mencari
definisi hukum adalah sulit dan sampai sekarang masih dicari-cari, seandainya ada
yang mendefinisikan akan dipengaruhi oleh latar belakang mereka masing-masing
yang dapat dikutip sebagai berikut:
1. Van Vollenhoven: Hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang
bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur membentur tanpa henti dengan
gejala-gejala lainnya;
2. Van Kan: hukum adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan penghidupan bersifat
memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingan orang dalam masyarakat;
3. Prof. Sudirman: hukum adalah pikiran/anggapan orang tentang adil dan tidak
adil mengenai hubungan antar manusia
4. Kantorowich: Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan sosial yang
mewajibkan perbuatan lahir yang mempunyai sifat keadilan serta dapat
dibenarkan.
5. Dr. E. Ultrecht SH: Hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib
suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan.
6. M.H. Tirtaamidjaja, SH: Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus ditaati
dalam tingkah laku, tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman
harus mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan membahayakan
diri sendiri atau harta, umpama orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda
dan sebagainya.
Dari beberapa pengertian tentang hukum di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa hukum adalah:
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3. Peraturan itu bersifat memaksa;
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah memaksa.
C. Pembagian hukum
A. Pendahuluan
Mengingat banyak pendapat yang berbeda-beda tentang tujuan hukum, maka
untuk menatakan secara tegas apakah tujuan hukum itu adalah sulit. Ada yang
beranggapan bahwa tujuan itu kedamaian, keadilan, kefaedahan, kepastian hukum dan
sebagainya. Semua itu menunjukkan bahwa hukum itu gejala masyarakat.
Dalam pergaulan masyarakat aneka macam hubungan antar anggota
masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan dalam
masyarakat itu. Dengan banyak dan aneka ragamnya hubungan itu, para anggota
masyarakat memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar
dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat.
Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan antara anggota
masyarakat, diperlukan aturan-aturan hukum yang diadakan atas kehendak dan
keinsyafan antar anggota masyarakat itu. Peraturan-peraturan yang bersifat mengatur
dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, menyebabkan
terdapatnya keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat. Setiap
pelanggar peraturan hukum yang ada, akan dikenai sanksi yang berupa hukuman
sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukannya.
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus
dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum
yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari
masyarakat tersebut. Dengan demikian, hukum itu bertujuan menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada
keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.
B. Tujuan hukum
Mengenai pendapat dari berbagai ahli sejarah dan sarjana hukum dapat
diketengahkan sebagai berikut:
1. Dr. Wirjono Projodikoro
Dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum” mengemukakan bahwa
tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan kebahagiaan dan tata tertib dalam
masyarakat.
Ia mengatakan bahwa masing-masing anggota masyarakat mempunyai
kepentingan yang beraneka ragam. Ujud dan jumlah kepentingan tergantung pada
ujud dan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh para anggota masyarakat
masing-masing.
Untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut timbul berbagai usaha
untuk mencapainya, yang menyebabkan timbulnya bentrokan-bentrokan antara
berbagai macam kepentingan-kepentingan para anggota masyarakat. Akibat
bentrokan tersebut masyarakat menjadi guncang dan keguncangan itu harus di
hindari. Mengindarkan keguncangan dalam masyarakat inilah sebetulnya maksud
dari pada tujuan hukum, maka hukum menciptakan pelbagai hubungan tertentu
dalam masyarakat. Hubungan ini bermacam-macam ujudnya.
2. Prof. Subekti
Dalam bukunya “Dasar-dasar hukum dan Pengadilan”, Prof. Subekti, SH
mengemukakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya ialah
mendatangkan kemakmuran dan kebahagian rakyatnya. Pengabdian tersebut
dilakukan dengan cara menyelenggarakan “Keadilan dan Ketertiban”. Keadilan ini
digambarkan sebagai suatu keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam
hati orang yang apabila melanggar menimbulkan kegelisahan dan guncangan.
Kaidah ini menurut “dalam keadaan yang sama dan setiap orang menerima bagian
yang sama pula”.
Dengan demikian hukum tidak hanya memberikan keseimbangan antara
kepentingan yang bertentangan satu sama lain., akan tetapi juga untuk
mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan ketertiban
atau kepastian hukum.
5. Jeremy Betham
Dalam bukunya “introduction the morals and legislation”, ia mengatakan
bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Pendapat
ini dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat
umum tanpa memperhatikan soal keadilan. Teori yang berhubungan dengan
kefaedahan ini dinamakan teori utilitis, yang berpendapat bahwa pada dasarnya
bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah bagi orang yang satu dapat juga
merugikan orang lain, maka tujuan hukum adalah memberikan faedah sebanyak-
banyaknya. Di sini kepastian melalui hukum bagi perorangan merupakan tujuan
utama daripada hukum. Teori ini berkembang di Inggris dan pengikutnya adalah
John Stuart Mill dan John Austin.
6. Mr.J.H.P Bellfroid
Bellroid menggabungkan dua pandangan ekstrem tersebut, ia menyatakan
dalam bukunya “Inleiding tot de Rehtswetenshap in Nederland” bahwa isi hukum
harus ditentukan menurut dua asas yaitu asas keadilan dan asas faedah.
7. Prof. Mr. J. Van Kan
Ia bependapat bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap
manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu. Di sini
jelaslah bahwa hukum bertugas menjamin kepastian hukum di dalam masyarakat
dan juga menjaga serta mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim sendiri
(eigenriching in verboden). Tetapi tiap perkara harus diselesaikan melalui poses
pengadilan berdasarkan hukum yang berlaku.
C. Fungsi hukum
Dengan banyaknya peran hukum yang tak terhingga banyaknya itu, maka
hukum mmepunyai fungsi: “menertibkan dan mengatur dalam pergaulan dalam
masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Dalam perkembangan
masyarakat fungsi hukum dapat terdiri dari:
1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan. Manusia
dalam masyarakat, hukum menunjukkan mana yang baik dan mana yang tidak.
Hukum juga memberikan petunjuk mana yang harus diperbuat dan mana yang
tidak boleh, sehingga segala sesuatunya dapat berjalan tertib dan teratur.
Semuanya ini dimungkinkan karena hukum mempunyai sifat dan watak mengatur
manusia serta mempunyai ciri memerintah dan melarang. Begitu pula hukum
dapat memaksa supaya hukum ditaati anggota masyarakat. Sebagai contoh: “orang
yang mau menonton di bioskop sama-sama tahu apa yang harus dilakukan: beli
karcis harus antri, mau masuk harus antri, bila pertunjukan selesai penonton keluar
lewat pintu keluar yang sudah ditentukan. Kesemuanya berjalan tertib dan teratur,
karena semua sama-sama mengerti dan mentaati peraturan-peraturan yang telah
ditentukan.
2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin
Hukum mempunyai ciri memerintah dan melarang, hukum mempunyai sifat
memaksa, hukum mempunyai daya yang mengikat fisik dan psikologis. Karena
hukum mempunyai ciri, sifat dan daya mengikat tersebut, maka hukum dapat
memberikan keadilan ialah dapat menentukan siapa yang salah dan siapa yang
benar. Hukum dapat menghukum siapa yang salah dan memaksa agar mentaati
peraturan dan siapa yang melanggar diberi sanksi hukuman.
Contoh: siapa yang berhutang harus membayar adalah perwujudan daripada
keadilan.
3. Sebagai sarana penggerak pembangunan
Daya pengikat dan pemaksa dari hukum dapat digunakan atau
didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan alat
untuk membawa masyarakat kearah yang lebih maju. Dalam hal tersebut sering
timbul kritik, bahwa hukum hanya melaksanakan dan mendesak masyarakat
sedangkan aparatur otoritas lepas kontrol hukum. Sebagai imbangan dapat dilihat
dari fungsi kritis daripada hukum.
4. Sebagai fungsi kritis
Dr. Soedjono Dirdjosiworo, SH dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum,
halaman 115 menyatakan bahwa “Dewasa ini sedang berkembang suatu
pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak
semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah saja melainkan
aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya.
Demikianlah hukum memiliki fungsi-fungsi yang sedemikian rupa sehingga
di dalam suatu kehidupan bermasyarakat, diharapkan terwujudnya ketertiban,
keteraturan, keadilan dan keseimbangan sedemikan rupa sehingga dijumpai
masyarakat yang senantiasa berkembang. Agar hukum dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik dan seyogyanya, maka bagi pelaksana penegak hukum
dituntut kemampuan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dengan
menafsirkan hukum sesuai dengan seni yang dimiliki masing-masing, antara lain
dengan menafsirkan hukum sesuai keadaan dan posisi pihak-pihak sedemikian
rupa.
Bila perlu dengan menerapkan penafsiran analogis (menentukan kebijakan
untuk hal yang sama, atau hampir sama), serta penghalusan hukum bagi
tercapainya kebijakan yang kongkrit. Di samping itu perlu diperhatikan faktor
pelaksana penegak hukum, yang membutuhkan kecekatan dan ketangkasan serta
ketrampilanya. Ingat yang penting adalah The singer but not the song. Si penyanyi
adalah semua insan dimana hukum berlaku baik warga masyarakat ataupun para
pejabat, termasuk para penegak hukum.
D. Hukum Dalam arti formil dan materiil
Secara materiil bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah laku berupa
norma atau kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan
menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota
masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum itu
Secara formal adalah kehendak ciptaan manusia berupa norma-norma yang
berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan
BAB IV
SUBYEK DAN OBYEK HUKUM
A. Pendahuluan
Pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban disebut
subjek hukum. Jadi boleh dikatakan bahwa tiap manusia baik warga negara maupun
orang asing dengan tidak memandang agama atau kebudayaan adalah subjek hukum.
Manusia sebagai pembawa hak (subjek) mempunyai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban untuk melakukan tindakan hukum. Ia dapat mengadakan pesetujuan,
menikah, membuat wasiat, dan sebagainya. Di samping manusia pribadi pembawa
hak, terdapat badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status
“persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia sebagai badan hukum.
Pembawa hukum sebagai pembawa hak tidak berjiwa dapat melakukan sebagai
pembawa hak manusia, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan
anggota-anggotanya. Manusia sebagai pembawa mahluk hidup sebagai subjek hukum.
Apakah binatang yang merupakan makhluk hidup dan berjiwa dapat menjadi subjek
hukum?
B. Subjek hukum
Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk
melakukan perbedaan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk
bertindak dalam hukum. Subjek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut
hukum berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak (Rechtsbevoegdheid).
Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.
Pada dasarnya yang menjadi subjek hukum adalah manusia/orang atau
persoon. Ada dua pengertian orang/persoon sebagai subjek hukum:
1. Natuurlijk person adalah mens persoon yang disebut orang atau manusia pribadi
dan,
2. Rechtsperson adalah yang berbentuk badan hukum yang dapat dibagi dalam:
a. Publiek Rechts-person, yang sifatnya ada unsur kepentingan umum seperti
negara, daerah Tk. I, Tk. II desa dan,
b. Privaat rechtpersoon/badan hukum privat yang mempunyai sifat/adanya unsur
kepentingan individual.
C. Manusia sebagai subjek hukum
1. Dasar Hukum
Menurut hukum yang berlaku setiap manusia mempunyai hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban ini dilindungi oleh hukum misalnya:
a. Adanya larangan mengenai perampasan atas pendukung hak tersebut
mengakibatkan Burgelijke dood (kematian perdata) misalnya perbudakan dan
sebagainya.
b. Larangan kematian perdata ini dicantumkan dalam pasal 3 KUHPerdata, dan
Pasal 15 UUDS 1940 ayat (2) yang berbunyi: “Generlei straf heeft de
burgelijke dood of het verlies van alle bergelijke reghten tengevolge”.
(hukuman tidak dapat merampas semua hak dari yang dikenai hukuman itu).
Pasal 15 UUDS 1950 ayat 2 berbunyi “tidak suatu hukumanpun
mengakibatkan kematian perdata atau hilangnya semua hak-hak
kewarganegaraan”
c. Sidang pleno Konstituante tanggal 11 September 1988 menerima perumusan
”orang tidak boleh dihukum dengan mengakibatkan hilangnya hak asasi
manusia/warga negara”
d. Sila dari Pancasila Perikemanusiaan “melarang manusia dijadikan obyek
hukum, sehingga diperlakukan sebagai benda (objek yang dapat dijualbelikan,
digadaikan dan sebagainya).
e. UUDS 1950 menyatakan bahwa perbudakan orang/perdagangan budak dan
penghambaan budak dilarang. Pasal 10 UUDS 1950 tersebut berbunyi: “Tidak
seorangpun boleh diperbudak, diberlakukan atau diperhamba. Perbudakan,
perdagangan budak dan perhambaan dan segala perbuatan berupa apapun yang
tujuanya sama dilarang.
4. Pandangan dunia
Setiap manusia/pribadi menjadi subjek hukum sejak saat dia lahir yang
berakhir dengan kematian.
5. Pandangan agama
Seorang manusia/pribadi menjadi subjek hukum sejak benih/pembibitan
ada pada kandungan ibunya, selama ia hidup dan setelah ia meninggal dunia
sampai akhirat, sehingga menurut hukum agama pengguguran kandungan
merupakan pembunuhan anak itu dan telah melanggar hak sebagai subjek hukum
dari anak yang akan lahir.
Agama menegaskan bahwa manusia adalah subjek hukum, sebagai
makhluk yang dimuliakan Tuhan. Menurut Undang-Undang Perkawinan, No. 1
Tahun 1974 Pasal 1, hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan
kedudukan suami di rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Di dalam
Undang-undang ini disebutkan pula adanya pembagian tugas diantara suami dan
istri. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga.
6. Pandangan hukum di Indonesia
a. Bahwa setiap manusia/pribadi adalah pendukung hak.
Pasal 7 UUDS 1950 menyebutkan: Ayat 1 „Setiap orang diakui sebagai
manusia pribadi terhadap undang-undang‟. Ayat 2 „Setiap orang berhak
menuntut perlindungan yang sama oleh undang-undang‟. Ayat 3 „ Segala
yang berhak terhadap tiap-tiap pembelakangan dan terhadap tiap-tiap
penghasutan untuk melakukan pembelakangan demikian‟. Ayat 4 „Setiap
orang berhak menuntut perlindungan bantuan hukum yang sungguh-sungguh
dari hakim-hakim yang ditentukan untuk itu, melawan perbuatan-perbuatan
yang berlawanan dengan hak-hak dasar yang diperkenankan kepadanya
menurut hukum‟.
b. Dalam sidang Pleno tanggal 11 September 1958 oleh Konstituante diterima
sebagai salah satu hak asasi manusia, setiap orang berhak atas kehidupan dan
penghidupan. Kemerdekaan dan keselamatan pribadinya.
c. Asas tersebut dalam UUD 1945 hanya menjamin secara tegas bagi warga
negara saja, tetapi dapat diperluas untuk warga negara asing sepanjang tidak
merugikan kedudukan warga negara Indonesia sendiri.
Ayat 1 „Segala warga negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya‟. Ayat 2 „Tiap-tiap warga negara berhak atas
penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan‟.
d. Mengenai hukum privat berlaku Pasal 1 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa dalam menikmati hak-hak perdata tidak tergantung pada hak-hak
kenegaraan (het genot van burgelijke reghten is onanfhankelijk van
staatkundige reghten).
e. Dimuka telah dijelaskan bahwa orang asingpun menjadi subjek hukum asala
perlindungan atas kedudukan orang asing itu tidak merugikan kedudukan
warga negara sendiri. Jadi orang asing tidak mempunyai semua hak hukum
yang dimiliki oleh warga negara. Pasal 23 UUDS menunjukkan hak-hak yang
hanya dimiliki oleh warga negara.
Ayat1 „Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerntahan
dengan langsung atau dengan perantaraan wkil-wakil yang dipilih dengan
bebas menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang‟. Ayat 2 „Setiap
warga negara dapat diangkat dalam tiap jabatan pemerintahan menurut
peraturan yang ditetapkan oleh Undang-undang.
D. Obyek hukum
Manusia dapat menjadi subjek hukum sepanjang hak dan kewajibannya
sebagai subjek hukum dilenyapkan atau dicabut.
1. Zaman pendudukan
Dalam keadaan demikian itu, maka manusia dianggap sebagai benda yang
dapat diperjualbelikan, dapat disewakan, disiksa, bahkan dapat disembelih seperti
binatang tanpa adanya suatu pembelaanpun. Keadaan yang demikian itu pernah
terjadi pada zaman perbudakan/sebelum abad pertengahan sampai abad 17-18.
Dibawanya orang-orang negro dengan dibujuk, dijanjikan pekerjaan dan dipaksa
meninggalkan benua hitam Afrika. Di bawa oleh orang-orang kulit putih, antara
lain ke benua Amerika melalui perantara dan perdagangan budak untuk
dipekerjakan di perkebunan kapas dan lain-lain.
Terlihat bahwa budak-budak itu diperdagangkan diantara pedagang budak,
diternakkan seperti ayam atau sapi dengan bibit-bibit unggul, sehingga melahirkan
budak-budak yang kuat yang dapat dijual dengan harga yang tinggi. Memaksa
merka dipekerjakan di perkebunan kapas di negeri bagian selatan Amerika
Serikat. Kalau budak itu malas atau letih akan dicambuki atau disiksa secara
kejam.
2. Pandangan hukum modern
Setiap manusia mempunyai kepribadian yang dijamin oleh hukum, sejak
lahir di muka bumi sampai ia mati dan dimaksukkan ke liang lahat. Selama itu hak
asasinya tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Jika seseorang memperlakukan
orang lain sebagai subjek hukum, hal ini merupakan pelanggaran hak asasi
manusia secara universal dan merupakan pelanggaran hukum yang berlaku di
negara itu. Kalau kita hubungkan perhatian bahwa orang tidak dapat diperlakukan
sebagai obyek hukum, maka setiap orang (naturlijk persoon) haruslah
diperlakukan seperti manusia sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Dalam sila ke 2 dalam Pancasila disebutkan bahwa manusia diakui dan
diberlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang
Maha Esa, sama hak dan kewajiban tanpa membedakan suku, keturunan, agama
dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
3. Pandangan agama
Menurut ketentuan agama, maka tidak dibenarkan manusia diperlakukan
dan dianggap sebagai obyek hukum seperti binatang. Di dalam Al Qur‟an Surat
Al Isra, menyebutkan: „Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkat mereka dari darat dan di lautan, Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah Kami ciptakan.
Adanya ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah SWT telah memuliakan
manusia dengan akal pikiran, kemampuan berkata-kata, kemampuan mengatur
kehidupan dan masa depannya sendiri. Dan ini menegaskan bahwa dalam agama,
manusia adalah mahluk yang sempurna di muka bumi ini, yang mempunyai
kedududkan lebih tinggi dari mahluk lainnya atau binatang.
BAB V
PERISTIWA AKIBAT HUBUNGAN HUKUM
A. Pendahuluan
Anggota-anggota masyarakat tiap hari mengadakan hubungan satu dengan
yang lain menimbulkan berbagai peristiwa kemasyarakaan. Peristiwa-peristiwa
kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat dinamakan Peristiwa
hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit).
Apabila seseorang meminjamkan sebuah sepeda dari orang lain, maka
terjadilah suatu peristiwa, yakni peristiwa pinjam meminjam. Dalam dunia hukum
ditentukan kaidah yang menetukan, bahwa si peminjam berkewajiban mengembalikan
benda yang dipinjamnya dan pemiliknya berhak meminta kembali benda yang
dipinjamkan.
B. Peristiwa Hukum
Suatu hubungan hukum memberikan hak dan kewajian yang telah ditentukan
oleh undang-undang, sehingga kalau dilanggar akan mempunyai akibat, bahwa orang
yang melanggar dapat dituntut di muka pengadilan. Suatu hubungan pergaulan
persahabatan biasa seperti ingkar janji untuk menonton bioskop bersama tidak
membawa akibat hukum. Namun secara non hukum misalnya ganjalan dan tidak enak
dari yang dijanjikan bisa saja terjadi.
D. Hubungan hukum
1. Beberapa Pengertian
Hubungan hukum ialah buhungan antara dua atau lebih subjek hukum.
Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan
dengan hak dan kewajiban pihak lain. Kita semua mengetahui bahwa hukum itu
mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara orang
dengan masyarakat yang lain. Jadi dalam semua hubungan di dalam masyarakat
diatur oleh hukum.
Barangsiapa yang menganggu atau tidak mengindahkan hubungan ini,
maka ia dapat dipaksa oleh hukum untuk menghormatinya. Misalnya: hubungan
hukum yang diatur oleh hukum ialah Pasal 1457 KUHPerdata tentang perikatan
(verbintenis), yang timbul karena adanya suatu perjanjian. Jadi setiap hubungan
hukum mempunyai dua segi: „bevoegdheid‟ (kekuasaan/kewenangan atau hak)
dengan lawannya „plicht‟ atau kewajiban. Kewenangan yang diberikan oleh
hukum kepada subyek hukum ( orang atau badan hukum) dinamakan „hak‟.
Dengan demikian hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan sosial memberikan suatu hak kepada subyek hukum untuk
berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu yang diwajibkan oleh hak itu, dan
terlaksananya kewajiban/hak dan kewajiban tersebut dijamin oleh hukum.
Mengenai hubungan hukum ini, Logeman berpendapat bahwa, tiap
hubungan hukum tersebut pihak yang berwenang/berhak meminta prestasi yang
disebut dengan “prestatie subject” dan pihak yang wajib melakukan prestasi yang
disebut “plicht subject”.
Hak dan kewajiban ini kedua-duanya timbul dari satu peristiwa hukum
(misalnya jual beli) dari satu pasal hukum obyektif (Pasal 1474 KUHPerdata).
Pun lenyapnya hak dan kewajiban juga bersamaan.
A. Pendahuluan
Tanpa memperhatian adanya sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum,
timbul pertanyaan-pertanyaan “Dari manakah asal hukum itu, mengapa hukum ditaati
orang dan mengapa kita harus tunduk pada hukum itu?”.
Persoalan ketaatan terhadap hukum telah menimbulkan berbagai teori dan
aliran pendapat atau mahzab-mahzab dalam ilmu penegtahuan Hukum.
Teori Teokrasi
Teori tentang Hukum alam yang telah dijelskan di atas merupakan bagian
dari Filsafat Hukum, yang bertujuan menemukan jawaban atas pertanyaan “
Darimanakah asalnya Hukum dan mengapa kita harus tunduk pada hukum”.
Pada masa lampau Eropa para ahli fikir (Filosof) menganggap dan
mengajarkan, bahwa hukum itu berasal dati Tuhan Yang maha Esa, dan oleh
karena itulah amaka manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada Hukum.
Perintah-perintah yang datang dari Tuhan itu dituliskan dalam Kitab Suci.
Tinjauan mengenai Hukum dikaitkan dengan kepercayaan dan Agama, dan ajaran
tentang legitimasi kekuasaan hukum di dasarkan atas Kepercayaan dan Agama.
Adapun teori-reori yang mendasarlan berlakunya Hukum atas kehendak
Tuhan Yang Maha Esa dinamakan Teori Ketuhanan (Teori Teokrasi). Berhubung,
peraturan perundangan itu ditetapkan penguasa negara, maka oleh penganjur teori
Teokrasi diajarkan, bahwa para penguasa negara itu mendapat kuasa dari Tuhan‟
seolah-olah Raja dan penguasa lainnya merupakan wakil Tuhan. Teori Teokrasi
ini di Eropa Barat diterima umum hingga Zaman Renaissance.
2. Mahzab Sejarah
Sebagai reaksi terhadap para pemuja hukum Alam, di Eropa timbul aliran
baru yang dipelopori oleh Federich Carl Von Savigny (1779-1861) yang terkenal
dengan bukunya “Vom Beruf unserer Zeit Fur Gesetzgebung und
Rechtswissenschaft 1814”. Von Savigny berpendapat, bahwa hukum itu harus
dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa, selalu ada suatu
hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa.
Hukum itu menurut von Savigny, bukanlah disusun atau diciptkan oleh
orang, tetapi hukum itu tumbuh sendiri di tengah-tengah rakyat; hukum itu adalah
penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati apabila
suatu bangsa itu kehilangan kepribadiannya.
Menurut pendapat tersebut, jelaslah bahwa hukum itu merupakan suatu
rangkaian kesatuan dan tak terpisahkan dari suatu sejarah bangsa, dan karena
hukum itu senantiasa berubah-ubah menurut tempat dan waktu. Jelaslah pula,
bahwa pendapat Savigny ini bertentangan dengan ajaran mahzab hukum Alam,
yang berpendapat bahwa hukum alam itu berlaku abadi di mana-mana di seluruh
dunia.
Aliran yang menghubungkan hukum dan Sejarah bangsa dinamakan
Mahzab Sejarah. Mahzab Sejarah itu menimbulkan ilmu pengetahuan positif.
Hukum positif atau Ius Constitutum (oleh Prof. Sudirman Kartohadiprodjo, S.H.
disebut tata hukum) menurut Dr. W.L.G. Lemaire ialah “Het hier en nu geldend
recht” yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara) tertentu pada waktu tertentu.
6. Asas Keseimbangan
Prof. Mr. R. Kranenburg, murid dari pengganti Prof. Krabbe berusaha
mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang.
Kranenburg membela ajaran Krabbe, bahwa kesadaran hukum orang itu
menjadi sumber hukum. Menurut Kranenburg, Hukum itu berfungsi menurut
suatu dalil yang nyata (riil). Dalil yang nyata yang menjadi dasar berfungsinya
kesadaran hukum orang dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut: Tiap orang
menerima keuntungan atau mendapatkan kerugian sebanyak dasar-dasar yang
telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu.
Pembagian keuntungan dan kerugian dalam hal tidak ditetapkan terlebih
dahulu dasar-dasarnya, ialah bahwa tiap-tiap anggota masyarakat hukum sederajat
dan sama. Hukum atau dalil ini oleh Kranenburg dinamakan Asas Keseimbangan,
berlaku di mana-mana dan pada waktu apapun.
BAB VII
SUMBER-SUMBER HUKUM
A. Pendahuluan
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang
mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan
menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.
Yang dimaksud dengan segala sesuatu adalah faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan
berlakunya hukum secara formal artinya di mana hukum itu dapat ditemukan, dari
mana asalnya mulanya hukum, dimana hukum dapat dicari atau hakikm menemukan
hukum, sehingga dasar keputusanya dapat diketahui mengikat atau berlaku dan lain
sebaginya.
Maka dari itu menurut Prof. Dr. Sudikno SH. Dalam bukunya “Mengenal
Hukum” terbitan Liberty 1986 halaman 62 sumber hukum itu sendiri digunakan
dalam beberapa arti seperti:
1. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum misalnya
kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa, hukum romawi.
2. Menunjukkan hukum terlebih yang memberi bahan-bahan kepada hukum yang
sekarang berlaku, misalnya hukum Prancis, hukum Romawi.
3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan, berlaku secara formal
kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat).
4. Sebagai sumber dari mana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen,
Undang-Undang, Lontar, batu bertulis dan sebagainya.
5. Sebagai sumber terjadinya hukum sumber yang menimbulkan hukum.
a. Sumber isi hukum, di sini ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada
tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan itu yaitu:
Pandangan teoritis, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari Tuhan.
Pandangan hukum kodrat, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari
akal manusia.
Pandangan Mazhab historis, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari
kedasaran hukum.
b. Sumber hukum mengikat dari hukum, mengapa hukum mmepunyai kekuatan
mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaidah
hukum bukan semata-mata di dasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa,
tetapi karena kebanyakan orang di dorong alasan kesulilaan atau
kepercayaan. 3. Sumber hukum dalam arti Sosiologis
Teleologis merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif,
seperti misalnya keadaan agama, pandangan agama dan sebagainya.
4. Sumber hukum dalam arti formiil
Yang dimaksudkan ialah sumber dilihat dari cara terjadinya hukum positif
merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat hakim
dan penduduk. Sisanya timbul dari kesadaran rakyat. Agar dapat berupa peraturan
tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, kebiasaan,
traktat atau perjanjian antar bangsa, yurisprudensi, doktrin. a. Undang-undang
PENGGOLONGAN HUKUM
A. Pendahuluan
Tujuan dari pada penggolongan hukum adalah:
1. Dari segi nilai-nilai teoritis adalah untuk dapat dicapai suatu pengertian yang lebih
baik.
2. Dari segi praktis supaya lebih mudah dapat menemukan dan menerapkan hukum
yang ada.
Tujuan praktis ini dapat memberikan petunjuk-petunjuk umum bagi:
a. Para anggota badan-badan kenegaraan, demikian juga para fungionaris hukum
seperti para hakim dan para pejabat administrasi untuk membuat alasan-alasan
hukum dalam menerapkan hukum dan mempertahankannya.
b. Orang-orang yang kedudukanya sebagai perorangan atau sebagai kuasa dan
pembela yang berkepentingan, baik dalam memproleh suatu hak, maupun
dalam mempertahankan langsung kepada para pihak dan di muka fungsionaris-
fungsionaris.
Walaupun hukum itu terlalu luas sekali sehingga orang tidak dapat membuat
definisi singkat yang meliputi segala-galanya namun dapat juga hukum dibagi dalam
beberapa golongan hukum menurut beberapa asas pembagian. Penggolongan atau
pembagian tersebut akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.
2. Hukum privat
Ialah hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang
lain, dan juga negara sebagai pribadi. Yang termasuk hukum privat lalah:
a. Hukum Perdata
ialah hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian di dalam hubungan
antara orang yang satu dengan orang yang lain kedua-duanya sebagai anggota
masyarakat dan menjamin adanya kepastian hukum dalam hubungan antara
seseorang dengan pemerintah. Peraturan yang mengatur soal-soal perdata telah
dihimpun (dikodifikasi) dalam kitab undang-undang hukum perdata
KUHPerdata.
b. Hukum Dagang ialah keseluruhan peraturan yang meliputi perbuatan manusia
perniagaan/perdagangan. Keseluruhan peraturan hukum dagang di himpun
dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD).
c. Hukum Perselisihan. Di samping hukum perdata dan hukum dagang dikenal
pula hukum perselisihan.
Yang dimaksud degan hukum perselisihan ialah hukum yang menerangkan
peraturan apa yang menjadi peraturan hukum atau peraturan hukum mana
yang berlaku mengenai sesuatu hubungan hukum yang diadakan oleh karena
suatu peristiwa hukum yang memuat anasir-anasir yang dapat menyangkutkan
dua atau lebih tata hukum (sistem hukum) yang berlainan. Hukum perselisihan
ini dibagi menjadi:
1) Hukum perselisihan (Privat) Internasional
yaitu hukum yang menerangkan peraturan apa yang menjadi peraturan
hukum yang berlaku mengenai sesuatu hubungan hukum yang diadakan
oleh karena suatu peristiwa hukum yang memuat anasir-anasir yang dapat
menyangkut dua atau lebih tata hukum privat nasional yang berlaku
diwilayah dua atau lebih negara nasional masing-masing.
2) Hukum perselisihan Nasional digolongkan menjadi Hukum integentil,
hukum interlokal, hukum antar agama dan hukum interregional.
BAGAN PENGGOLONGAN/KLASIFIKASI HUKUM MENURUT
PENAFSIRAN HUKUM
A. Pendahuluan
Penafsiran atau interpretasi peraturan undang-undang ialah mencari dan
menetapkan atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang yang dikehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Untuk itu ada beberapa cara dan
metode. Penafsiran (interpretasi) peraturan perundang-undangan sebagai kewajiban
hukum dari hakim. Setelah mempelajari tentang arti, fungsi, serta tujuan dari hukum,
maka ternyata bahwa dua faktor sebagai pembentuk hukum, ialah faktor formil dan
faktor materiil.
Sebagai faktor –faktor (determinan) formil yang membentuk hukum ialah:
1. Perundang-undangan (Wetgeving)
2. Administrasi (tata usaha) negara
3. Peradilan (rechtspraak)
4. Tradisi (kebiasaan)
5. Ilmu pengetahuan (wetenschap).
Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa? Dalam hal kita melakukan
penafsiran sistematis dengan melihat Pasal 330 KUHperdata yang memberikan
batas belum berumur 21 tahun.
A. Pendahuluan
Pada Jaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria,
yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika
hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal extra
ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa
untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan yang dikatakan
jahat, namun belum diatur di dalam undang-undang. Lahirnya Magna Charta
Libertatum di Inggris pada tahun 1215 merupakan salah bentuk reaksi terhadap
praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase pertama ketika
manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia.
Upaya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya telah ada sebelum
lahirnya Magna Charta. Kitab suci agama Hindu, Veda, telah membicarakan perlunya
penghormatan atas hak-hak asasi manusia sejak 3000 tahun yang lalu. Piagam
Madinah yang ditandatangani Nabi Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi,
sebenarnya juga merupakan deklarasi kesepakatan penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia.
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup
sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari
perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan,
kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu,
selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum
atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen
penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan
demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas
peraturan, bukan kekuasaan. Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada
mulanya dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan
menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Akar
gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris,
yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan,
pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-
undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus
Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam
waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas
hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas
hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum
(rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John
Locke (1760).
A. Pendahuluan
Hukum adalah kekuasaan yang mengatur dan memaksa. Dengan tiada
berkesudahan ia mengatur hubungan-hubungan yang ditimbulkan oleh pergaulan
masyarakat manusia (hubungan yang timbul dari perkawinan, keturunan, kerabat
darah, ketetanggaan, tempat kediaman, kebangsaan, dari perdagangan dan pemberian
berbagai jasa dari perkara-perkara lainnya), dan hal-hal tersebut dilakukannya dengan
menentukan batas kekuasaan-kekuasaan dan kewajiban-kewajiban tiap-tiap orang
terhadap mereka dengan siapa ia berhubungan.
Hukum misalnya, ia mengatur hubungan antara orang yang meminjamkan
uang dengan orang yang menerima dan itu dilakukan dengan anatar lain membentuk
peraturan-peraturan; siapa yang meminjam uang kepada orang lain, berhak meminta
kembali uangnya sejumlah yang sama, dan pihak yang lain wajib memenuhinya.
Hubungan yang diatur oleh hukum sedemikian itu dinamakan hubungan hukum. Tiap-
tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu yang satu pihak ia merupakan hak
dan pada pihak yang lain merupakan kewajiban.
Hubungan hukum yang sedemikian disebut juga hukum. Kita biasa memakai
perkataan hukum dalam dua arti:
1. Untuk menyatakan peraturan (atau kaidah) yang mengatur hubungan antara dua
orang atau lebih. Hukum dalam arti tersebut kita sebut hukum obyektif. Kita sebut
demikian karena berlaku untuk umum, bukan terhadap seseorang yang tertentu,
subyek hukum tertentu.
2. Untuk menyatakan hubungan yang diatur oleh hukum obyektif, berdasarkan mana
yang satu mempunyai hak, yang lain mempunyai kewajiban terhadap sesuatu.
Hukum dalam arti itu kita sebut hukum subyektif, karena dalam hal ini hukum
dibuhungkan dengan seseorang yang tertentu sesuatu subyek yang tertentu. Dalam
kedua pengertian itu dipakai perkataan latin ius dan perkataan-
perkataan droit dan diritio. Berlainan dalam bahasa Inggris: right dan law, demikian
juga dalam bahasa Indonesia digunakan kata-kata hak dan hukum. Disini tidak
mungkin terdapat kekacauan dari kedua pengertian tersebut. Tetapi kita harus berhati-
hati terhadap kekacauan lain, kekacauan anatar law (Hukum) dan a law (undang-
undang).
C. Hak
Hukum mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang
lainnya, antara orang yang satu dengan masyarakat atau antar masyarakat yang satu
dengan masyarakat lainnya, yang akan menimbulkan kekuasaan atau kewenangan dan
kewajiban.
Seperti tersebut dalam bab “hubungan hukum kekuasaan dan kewenangan”
inilah yang disebut dengan hak. Dalam ilmu hukum hak disebut juga hukum
subyektif. Hukum subyektif merupakan segi aktif dari pada hubungan hukum. Hak ini
sering tidak hanya meliputi atau kewenangan/hak saja, tetapi kadang-kadang
merupakan suatu kumpulan hak/kewenangan (bundel an bevoegdheden) misalnya
Egendom (pemilikan).
Dalam Pasal 570 KUHperdata disebutkan, bahwa hak milik adalah hak untuk
menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan cara bagaimanapun juga asal tidak
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu
kekuasaan yang berhak menetapkan, dan tidak menganggu hak-hak orang lain.
Hak kepemilikan (eigendomrecht) ini terdiri dari dua hak/kewenagan yang
penting, ialah:
1. Yang mempunyai (eigenaar) berwenang/berhak memungut kenikmatan dari
kepunyaanya, dan
2. Yang mempunyai juga berwenang/berhak memindah tangankan (vetveemden)
kepunyaan itu.
Hukum subyektif ini juga dikatakan hak yang diberikan oleh hukum obyektif
(norma-norma, kaidah, recht). Sebaliknya hukum obyektif adalah peraturan (norma,
kaidah, recht) yang mengatur suatu hubungan sosial. Misal: KUHPerdata yang terdiri
atas peraturan-peraturan hukum, yang mengatur hubungan sosial antara subyek
hukum yang satu dengan subyek hukum yang lainnya disebut hukum obyektif,
sedangkan yang disebut hukum subyektif adalah peraturan-peraturan hukum yang
dihubungkan dengan seseorang sehingga menimbulkan kewenangan/hak dan
kewajiban.
Perbedaan antara hukum subyektif dengan hukum obyektif ini sejalan dengan
hak dalam sistematika kita. Di Inggris hukum disebut “law” dan hak disebut “right”.
D. Macam-macam Hak
Untuk mudahnya maka uraian tentang macam-macam hak ini kita dasarkan
atas skema berikut:
1. Hak mutlak
a. Hak pokok (dasar manusia)
b. Hak publik absolut
c. Sebagian dari hak privat:
1). Hak pribadi (persoonlijke rechten)
2). Hak keluarga mutlak (absolute familie rechten)
Hak pengampuan
Hak marital
Hak orangtua (ouderlijke macht)
Hak perwalian (voogdij)
3). Hak atas kekayaan (rechten op vermogen)
Hak kebendaan (zakelyke rechten)
Hak atas benda immateriil (immateriil rechten).
2. Hak nisbi
a. Hak publik relatif
b. Hak keluarga relatif
c. Hak kekayaan relatif
Biasanya hak dibagi dalam dua golongan besar:
1. Hak mutlak (absolute rechten, onpersoonlijke rechten)
Hak mutlak setiap kekuasaan mutlak yang oleh hukum diberikan kepada
subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau bertindak akan memperhatikan
kepentinganya. Kekuasaan ini dikatakan mutlak karena berlaku setiap subyek
hukum lain.
Hak mutlak juga merupakan hak yang meberikan kekuasaan kepada yang
bersangkutan untuk wajib dihormati oleh setiap orang lain.
a. Hak pokok
Hak pokok manusia menjadi hak yang oleh hukum diberikan kepada
manusia, yang disebabkan hal oleh sesuatu berdasarkan hukum yang
kelahirannya secara langsung menimbulkan hak-hak itu.
b. Hak publik absolut
Hak bangsa atau kemerdekaan dan kedaulatan seperti yang tersebut dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “ Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”. Hak pemerintah unutuk memungut pajak dari
rakyatnya (Pasal 23 ayat 2 UUD 1945)
c. Sebagian dari hak privat (keperdataan) yang terdiri dari:
1). Hak pribadi manusia, yaitu hak atas dirinya yang oleh hukum
diberikan kepada manusia. Hak ini adalah onverreemdbaar aan een
ander rechsobyect artinya tidak dapat diberikan kepada subyek
hukum lainnya.
2). Hak keluarga mutlak (absolute familie rechten) yaitu hak yang
ditimbulkan karena hubungan antara anggota keluarga yang satu
dengan yang lain. Hak keluarga ini ada beberapa macam:
Hak pengampuan. Orang yang sudah dewasa yang menderita
sakit ingatan menurut Uindang-Undang harus ditaruh di
bawah pengampuan/pengawasan atau curatele. Selanjutnya
diterangkan bahwa seorang dewasa juga dapat ditaruh di
bawah curatele dengan alasan bahwa ia mengobralkan
kekayaannya. Dalam hal sakit ingatan, tiap anggota keluarga
berhak untuk memintakan curatele, sedangkan terhadap
seorang yang mengobralkan kekayaannya, permintaan itu
hanya dapat dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang
sangat dekat saja.
Hak marital dari suami. Pasal 105 KUHPerdata berbunyi
“setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-istri”.
Sebagai kepala keluarga ia berkewajiban memberikan bantuan
kepada istrinya, atau menghadap untuknya di muka hakim,
dengan tak mengurangi beberapa pengecualian yang ada
sebagai berikut: sebagai suami ia harus mengemudikan urusan
harta kekayaan milik pribadi istrinya, kecuali apabila tentang
hal itu telah diperjanjikan sebaliknya. Ia menguruskan harta
kekayaan itu diuruskan seorang bapak rumah tangga yang
baik, (een goede hiisvader) dan oleh karenanya bertanggung
jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu. Ia tidak
boleh memindahtangankan atau membebani harta kekayaan
itu bergerak milik istrinya, tanpa persetujuan si istri. Hak
suami untuk menguasai barang kepunyaan suami istri berdua
setelah mereka kawin (beheersrecht over de goederen der
gemenschap) diatur dalam Pasal 124 KUHPerdata.
Hak perwalian (voogdij). Ialah pengawasan anak di bawah
umur, yang tidak di bawah kekuasaan orang tua serta
pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh
undang-undang. Anak yang berada di bawah perwalian adalah:
1. Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut
kekuasaanya sebagai orang tua
2. Anak sah yang orang tuanya telah bercerai
3. Anak lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind).
3). Hak atas kekayaan, adalah hak yang dapat dihargai dengan uang (op
geld waardeerbare rechten) yang terdiri dari:
A. Pendahuluan
Hukum sebagai gejala masyarakat, jadi sebagai keseluruhan kebiasaan-
kebiasaan hukum yang berlaku di dalam masyarakat, adalah obyek dari ilmu
pengetahuan hukum. Sebagai juga halnya dengan tiap-tiap ilmu pengetahuan lainnya,
ia tak puas dengan mencatat gejala-gejala yang dilihatnya, akan tetapi sebanyak
mungkin juga mencoba menerangkan dari hubungan sebab akibat dengan gejala-gejala
lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, ia memakai tiga buah cara:
1. Cara sosiologis, yang menyelidiki sangkut paut hukum dengan gejala-gejala
masyarakat lainya.
2. Cara sejarah, yang menyelidiki sangkut paut hukum dari sudut perjalanan
sejarahnya atau dengan perkataan lain yan menyelidiki pertumbuhan hukum
secara historis.
3. Cara perbandingan hukum, yang membandingkan satu sama lain tatana-tatanan
hukum dari pelbagai masyarakat hukum.
B. Antropologi hukum
Antropologi hukum adalah suatu cabang ilmu pemgetahuan yang mempelajari
pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat-masyarakat sederhana,
maupun masyarakat yang sedang mengalami proses perkembangan dan pembangunan.
D. Sosiologi hukum
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris
dan analitis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum seagai gejala sosial
dengan gejala-gejala sosial lainnya. Atau Sosiologi hukum adalah ilmu yang
mempelajari fenomen hukum dari sisi yang demikian itu. Berikut ini disampaikan
beberapa karakteristik studi hukum secara sosiologis itu:
1. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-
praktek hukum. Apabila praktek itu dibeda-bedakan ke dalam pembuatan undang-
undang, penerapan dan pengadilan, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek
yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut.
2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (emprical validity) dari
suatu peraturan atau pernyataan hukum. Perbedaan yang besar antara pendekatan
tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah bahwa yang pertama
menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sedang yang kedua
senantiasa mengujinya dengan data empris.
3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang
mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan obyek
pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatian
yang utama adalah pada memberikan penjelasan terhadap obyek yang dipelajari.
Sosiologi hukum diantaranya mempelajari “pengorganisasian sosiologi dari
hukum”. Obyek sasarannya ialah badan-badan yang terlibat dalam kegiatan
penyelengaraan hukum, seperti pembuat undang-undang, pegadilan, advokat dan
sebagainya. Untuk mengetahui sikap sosiologi hukum terhadap bidang-bidang yang
dipelajari, maka bentuk pertanyaanlah yang memudahkannya, seperti yang diajukan
oleh Prof. Dr. Satjipto rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum (1982):
1. Dalam mempelajari pembuatan undang-undang, sosiologi hukum tidak hanya
menanyakan apakah undang-undang itu, melainkan jauh daripada itu sosiologi
hukum juga tertarik kepada komposisi dari badan legislatif, misalnya siapa saja
anggotanya, berapa usianya, pendidikannya, latar belakang sosialnya dan
sebagainya. Hal ini semua mendapat perhatian, karena pembuatan undang-undang
juga dilihat dari manifestasi kelakuan manusia. Jadi yang dipermasalahkan oleh
sosiologi hukum adalah sangat kompleks.
2. Bagi pengadilan sosiologi hukum mempelajari sebagai suatu institusi yang
menghimpun berbagai macam pekerjaan, menghimpun hukum-hukum yang
mempunyai kecenderungan idiologi yang bermacam-macam pula, pertanyaan-
pertanyaan juga timbul seperti: “Apakah dampak-dampak daripada keputusan
pengadilan negeri ini kepada masyarakat”.
3. Bagi sosiologi hukum, polisi juga merupakan obyek yang mendapat perhatian
tersendiri. Dilihat dari sosiologi hukum, polisi adalah sekaligus hakim, jaksa
bahkan juga pembuat undang-undang. Dalam diri polisi, hukum secara langsung
dihadapkan kepada rakyat yang diatur oleh hukum itu sendiri. Dalam kedudukan
yang demikian itulah ia bisa menjadi hakim dan sebagainya sekaligus, sekalipun
semua itu barang tentu hanya dalam garis-garis besarnya saja. Pekerjaan polisis
adalah melayani masyarakat, tetapi dengan cara mendisiplinkan masyarakat. Dua
hal yang bertentangan satu sama lain. Oleh karena adanya konflik dalam pekerjaan
polisi itulah bidang ini merupakan bahan garapan yang sangat subur bagi sosiologi
hukum.
4. Bidang advokat atau kepengacaraan juga merupakan bidang yang sangat menarik
bagi sosiologi hukum. Ia mengamati pengorganisasian sosial dari hukum dan
apakah sesungguhnya yang bisa diharapkan dari advokat. Advokad dapat
mempunyai dwifungsi, di satu pihak sebagai pejuang hukum dan di lain pihak
sebagai seorang pengusaha menjalankan kepengacaraannya secara komersial.
Kedua bidang yang harus dilakukan sekaligus dapat dikatakan bahwa tugasnya
bertolak belakang. Sosiologi hukum yang berusaha untuk mengupas hukum
sehingga hukum itu tidak dapat dipisahkan dari praktek penyelengaraannya, tidak
hanya bersifat kritis tapi juga kreatif. Kreatifitasnya itu terletak pada
kemampuannya untuk menunjukkan adanya tujuan-tujuan serta nilai-nilai tertentu
yang ingin dicapai oleh hukum.
Sosiologi hukum akan bisa mengingatkan orang kepada adanya memberikan
informasi mengenai hambatanhambatan apa saja yang menghalangi pelaksanaan dari
suatu ide hukum dan dengan demikian akan sangat berjasa guna menghindari dan
mengatasi hambatan-hambatan tersebut di atas.
E. Psikologi hukum
Psikologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah
ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behavior) maka dengan kaitanya
dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu pencerminan dari
perilaku manusia. Suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum,
terutama pada hukum modern adalah penggunaannya yang secara sadar sebagai alat
untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak
hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi sosial (Soedjono, 1983:
58). Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang terkait
rapat dengan psikologi, terutama yang berkaitan dengan paksaan psikologis, peranan
sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain-lain sebagainya yang menunjukkan
hubungan hukum dan psikologi.
Contoh studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon
Petrazycki (1867-1931), ahli ilsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam
hukum dengan menempatkannya sebagai unsusr utama. Leon Petrazycki beranggapan
bahwa fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses psikis yang unik, yang tepat
dilihat dengan metode introspeksi. Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita
serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka semua itu
bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan saja, melainkan
karena keyakinan sendiri bahwa kita harus berbuat sepert itu. Petrazycki memandang
hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang hanya ada dalam pikiran manusia, tetapi
yang mempunyai arti sosial (Soedjono Dirdjosisworo 1983:57).
Leon Petrazycki masih ada sarjana atau penulis lain yang membicarakan dan
mengupas masalah psikologi hukum, di antaranya adalah Jerome Frank dalam
bukunya “Lawand the Modern Mind” (1930) yang sangat terkenal bahwa ada yang
menamakan suatu karya klasik dalam ilmu hukum umum.
Frank mengupas apa yang disebutnya sebagai suatu “mitos dasar” dalam
hukum. Sebagai seorang hakim, Frank melihat bahwa hukum itu tidak akan pernah
bisa memuaskan kita untuk memberikan kepastian. Dan pada umunya orang akan
mengharapkan bahwa hukum akan memberikan kepastian yang berlebihan. Menurut
Frank masalah ini tentunya akan berakhir pada suatu yang nyata, melainkan
menginginkan sesuatu yang tidak nyata (unreal).
Dalam usahanya untuk menjawab masalah di atas Frank mulai memasuki
bidang psikologi. Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang
psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget, khususnya yang menyangkut soal
ketergantungan yang demikian itu, pada saat anak tersebut menjadi dewasa, berupa
kecenderunagn (Hanker) kepada penganti sang ayah (Satjipto Rahardjo 1982:319).
F. Sejarah hukum
Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari
perkembangan dan asal ususl sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan
membandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Sejarah ini terutama dengan bangkitnya suatu pemikiran dalam hukum yang
dipelopori Dirdojosisworo, 1983: 58 Savigny (1779-1861).
Dalam studi sejarah hukum ditekankan mengenai hukum suatu bangsa
merupakan suatu ekspresi jiwa yang bersangkutan dan oleh karenanya senantiasa
yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini terletak pada karakteristik
pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Apabila dikatakan
bahwa sistem hukum itu tumbuh, maka yang diartikan bahwa adalah hubungan yang
terus menerus antara sistem yang sekarang dengan yang lalu. Apabila dapat diterima
bahwa hukum yang sekarang dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada
masa yang lampau (Soedjono Dirdojosisworo, 1983: 58).
Sudah menjadi kelaziman bahwa sejarah itu menghubungkan keadaan yang
lampau dengan keadaan sekarang maupun yang akan datang atau bahwa keadaan
sekarang berasal dari keadaan yang lampau. Maka apabila dihubungkan dengan
hukum, maka dapat diterima bahwa hukum dewasa ini merupakan
lanjutan/pertumbuhan dari hukum yang lampau, sedangkan hukum yang akan datang
terbentuk dari hukum sekarang.
Untuk dapat mengetahui sejarah hukum, dapat dimulai dari pertanyaan-
pertanyaan (Satjipto Rahardjo, 1982:318):
1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terbentuknya suatu lembaga
hukum tertentu dan bagaiman jalannya proses pembentukan itu?
2. Faktor apakah yang dominan pengaruhnya dalam proses pembentukan suatu
lembaga hukum tertentu dan apa sebabnya?
3. Bagimanakan interaksi antara pengaruh-pengaruh yang datang dari luar dengan
kekuatan pengembangan diri dalam masyarakat sendiri.
4. Bagaimanakah jalannya poses adaptasi terhadap lembaga-lembaga yang diambil
dari sistem hukum asing.
5. Apakah suatu lembaga hukum tertentu selalu menjalankan fungsi yang sama?
Apakah terjadi perubahan fungsi? Apa yang menyebabkannya? Apakah
perubahan itu bersifat formal atau informal?
6. Faktor-aktor apakah yang menyebabkan hapusnya atau tidak digunakanya lagi
suatu lembaga hukum tertentu?
7. Dapatkah dirumuskan suatu pola perkembangan yang umum yang dijalani oleh
lembaga-lembaga hukum dari suatu sistem hukum tertentu?
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas dapat diketahui pula bahwa antara sejarah
hukum dan perbandingan hukum terdapat hubungan yang cukup erat. Di samping itu
juga kita bisa mengatakan, bahwa sifat studi kesejahteraan ini pada hakekatnya
bersifat interdisipiliner, oleh karena itu ia menggunakan berbagai macam cara
pendekatan sekaligus, seperti pendekatan soisologis, antropologis dan positivistis.
Seperti telah dijelaskan dimuka bahwa sejarah hukum merupakan salah satu
bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum
mengungkapkan fakta dan membandingkannya antara hukum yang lampau dengan
hukum sekarang ataupun yang akan datang. Dalam peranannya sejarah hukum juga
berusaha mengenali dan memahami secara sistematis proses-proses terbentuknya
hukum, faktor-faktor yang menyebabkan dan sebagainya dan memberikan tambahan
pengetahuan yang berharga dan memahami fenomena hukum dalam masyarakat.
Di samping itu sejarah juga mempunyai kegunaan (Soerjono Soekanto,
1983:40):
1. Sejarah hukum dapat meberikan pandangan yang luas bagi kalangan hukum.
Hukum tak akan mungkn berdiri sendiri, karena sellau dipengaruhi aspek-aspek
kehidupan lain dan juga mempengaruhinya. Hukum merupakan hasil
perkembangan dari salah satu aspek kehidupan manusia.
2. Hukum sebaagi kaidah merupakan patokan perilaku atau sikap tindak yang
sepantasnya. Patokan tersebut memberikan pedoman, bagaimana seharusnya
manusia berkelakuan atau bersikap tindak, merupakan hasil perkembangan
pengalaman manusia semenjak dahulu kala.
3. Sejarah hukum juga berguna dalam praktek hukum. Sejarah hukum sangat penting
untuk mengadakan penafsiran secara historikal terhadap peraturan-peraturan
tertentu.
4. Dalam bidang pendidikan hukum, sejarah hukum akan sangat membantu
mahasiswa hukum untuk lebih memahami hukum yang dipelajarinya. Untuk
penelitian hukum, sejarah hukum juga berguna, terutama untuk mengungkapkan
kebenaran dalam kaitannya dengan masa lampau dan masa kini.
5. Sejarah hukum dapat mengungkapkan fungsi dan efektifitas lembaga-lembga
hukum tertentu. Artinya pada situasi-situasi semacam apakah suatu lembaga
hukum benar-benar berfungsi atau malahan tidak berfungsi sama sekali. Ini sangat
penting terutama bagi pembentuk dan penegak hukum. Akhirnya sejarah hukum
memberikan kemampuan, untuk dapat menilai keadaan-keadaan yang sedang dan
memecahkan masalah-masalahnya.
G. Perbandingan hukum
Perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang usianya relatif muda.
Dari sejarah kita ketahui bahwa perbandingan hukum sejak dulu dipergunakan orang,
tetapi baru secara insidental. Perbandingan hukum baru berkembang secara nyata
pada akhir abad ke 20. Lebih-lebih sekarang, dimana negara-negara di dunia saling
ketergantungan dan saling membutuhkan hubungan yang erat, perbandingan hukum
lebih diperlukan karena:
1. Dengan perbandingan hukum dapat diketahui jiwa serta pandangan hidup bangsa
lain termasuk hukumnya.
2. Dengan saling mengetahui hukumnya, sengketa dan kesalahpahaman dapat
dihindari.
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan perbandingan hukum tidak semata-
mata untuk mengetahui perbedaan dan persamaan saja, tetapi jauh dari itu ialah untuk
mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan
perbedaan tersebut. Perbandingan hukum mempunyai peranan penting di bidang
hukum secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu semakin perlu diketahui
atau dipelajari karena mempunyai berbagai manfaat, antara lain dapat membantu
dalam rangka pembentukan hukum nasional, disamping mempunyai peranan penting
dalam rangka hubungan antar bangsa/negara dan sebagainya. Perbandingan hukum
juga memberikan fungsi penting dalam rangka penyempurnaan, pembinaan dan
pembentukan hukum nasional.
Dengan mendalami ilmu pengetahuan perbandingan hukum kita dapat
mengetahui hukum secara lebih luas dan mendapatkan hukum secara lebih luas dan
mendapat pandangan jauh ke muka, sehingga lewat perbandingan hukum akan
terbentuk legal planners atau ahli-ahli perencanaan hukum yang semakin dirasakan
kebutuhannya. Dari uraian diatas, dengan singkat dapat dikatakan bahwa
perbandingan hukum perlu dipelajari secara lebih baik serta lebih mendalam, karena
perbandingan hukum berperan sekali di bidang hukum secara ilmiah maupun praktis
bagi hukum di masa yang akan datang.
Pada hakekatnya perbandingan hukum adalah suatu metode penelitian dan
bukan hanya suatu ilmu hukum dengan mempergunakan metode membanding-
bandingkan hukum yang satu dengan hukum yang lain. Sebagai metode penelitian
perbandingan hukum dapat dipergunakan di semua bidang hukum seperti hukum
privat, hukum publik, hukum tata negara dan sebagainya, bahkan juga dapat
digunakan di bidang ekonomi, eksakta dan teknik.
Tujuan perbandingan hukum bahwa kenyataan menunjukkan bahwa tiap
negara mempunyai kebudayaan dan hukumnya sendiri yang berbeda dengan hukum
dan kebudayaan negara lainya, misalnya hukum Anglo Saxon berbeda dengan hukum
Continental, berbeda pula dengan hukum negara-negara sosialis, bahkan hukum
menurut BW yang berlaku di Indonesia berbeda juga dengan hukum adat kita. Untuk
mengetahui adanya perbedaan dan persamaan serta untuk mengetahui adanya
perbedaan dan persamaan serta untuk mengetahui sebab-sebabnya, perbandingan
hukum mempunyai peranan penting.
Menurut Randall bahwa tujuan perbandingan hukum adalah:
1. Usaha mengumpulkan berbagai inormasi menegnai hukum asing
2. Usaha mendalami pengalaman-pengalaman yang dibuat dalam studi hukum asing
dalam rangka pembaharuan hukum.
Kalau ditelaah lebih lanjut, maka sebenarnya tujuan perbandingan hukum tidak
semata-mata untuk mengetahui adanya perbedaan dan persamaan daripada hukum
yang kita banding-bandingkan, tetapi penting ialah untuk mengetahui sebab-sebab dan
latar belakang dari pada perbedaan dan persamaan tersebut.
PROSES HUKUM
A. Pendahuluan
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan manusia, hukum
harus menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan aktivitas dengan kualitas
yang berbeda-beda. Dalam garis besarnya aktivitas tersebut berupa pembuatan hukum
dan penegakan hukum. Yang dimaksud dengan pembuatan hukum di sini adalah tidak
lain pembuatan undang-undang tersebut.
Dalam banyak kepustakaan hukum di negeri kita pembicaraan mengenai
proses hukum sebagaimana dipakai di sini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu
baik kita berhati-hati, oleh karena pembicaraan secara demikian itu, orang segera
berfikir kepada “jalannya suatu proses peradilan‟. Sebab itulah sejak awal perlu
ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan proses hukum disini adalah perjalanan
yang ditempuh hukum untuk menjalankan fungsinya, yaitu mengatur masyarakat atau
kehidupan bersama.
Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan
tersebut. Ia merupakan momentum yang memisahkan keadaan tanpa hukum dengan
keadaan yang diatur oleh hukum. Ia merupakan pemisah antara duania sosial dengan
dunia hukum, oleh karena sejak saat itu, kejadian dalam masyarakatpun mulai
ditundukkan pada tatanan hukum. Sebagaimana telah dibicarakan pada bab-bab
terdahulu, maka tunduk pada tatanan hukum berarti tunduk pada penilaian hukum,
ukuran hukum dan akibat-akibat hukum. Oleh karena itulah kita berbicara tentang
adanya suatu dunia tersendiri yaitu dunia hukum.
B. Proses Hukum
1. Pembuatan hukum
a. Bahan pembuatan hukum dimulai dari gagasan atau ide yang kemudian
diproses lebih lanjut sehingga pada akhirnya benar-benar menjadi bahan yang
siap untuk diberi sanksi hukum gagasan ini muncul di masyarakat dalam
bentuk keinginan agar suatu masalah diatur oleh hukum. Pada dasarnya kita
dapat membagi proses dalam pembuatan hukum ini ke dalam dua golongan
tahapan besar, yaitu tahap sosiopolitis dan tahap yuridis. Di dalam tahapan
sosio politis, maka gagasan awal tadi diolah oleh masyarakat sendiri,
dibicarakan, dikritik, dipertahankan, melalui pertukaran pendapat antara
berbagai golongan dan kekuatan dalam masyarakat. Tahapan berikutnya atau
tahap akhir adalah pemberian sanksi hukum terhadap bahan tersebut. Secara
garis besarnya pembuatan hukum itu bisa dirinci dalam garis besarnya,
pembuatan hukum itu bisa dirinci dalam tahap-tahap sebagai berikut:
Tahap inisiasi: muncul suatu gagasan dalam masyarakat
Tahap sosio politis: pematangan dan penajaman gagasan
Tahap yuridis: penyususnan bahan kedalam rumusan hukum dan
kemudian diundangkan.
b. Struktur pembuatan hukum
Struktur serta organisasi pembuatan hukum di dunia dewasa ini didasarkan
pada pembagian kekuasaan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif. Intisari
pendapatnya mengenai bagaimana seharusnya hukum itu dibuat adalah
sebagai berikut:
Gaya hendaknya padat dan sederhana
Istilah-istilah yang dipilih, hendaknya sedapat mungkin bersifat mutlak
dan tidak relatif, sehingga mempersempit kemungkinan untuk adanya
perbedaan pendapat.
Aktual, menghindari penggunaan perumpamaan atau bersifat hipotesis
Tidak rumit.
Tidak kabur oleh penggunaan pengecualian, pembatasan atau modifikasi.
Jangan berupa penalaran
Di atas itu semua, isinya hendaknya dipikirkan secara masak terlebih
dahulu serta janganlah membingungkan pemikiran serta rasa keadilan
biasa dan bagaimana umumnya sesuatu itu berjalan secara alami, sebab
hukum yang lemah, tidak perlu dan tidak adil akan menyebabkan
keseluruhan sistem perundangan menjadi ambruk dan merusak
kewibawaan.
PEMBUATAN HUKUM
BAHAN
HUKUM
PEMBUATAN
UNDANG-UNDANG
STRUKTUR HUKUM
TAHAP TAHAP
SOSIOPOLITIS YURIDIS
MASYARAKAT DI BICARAKAN
DI KRITIK
DI PERTAHANKAN
2. Penegakan hukum
Dengan berakhirnya pembuatan hukum sebagaimana telah diuraikan di
atas, proses hukum baru menyelesaikan satu tahap saja dari suatu perjalanan
panjang untuk mengatur masyarakat. Tahap pembuatan hukum itu harus disusul
oleh pelaksanaannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Inilah yang dimaksud dengan penegakan hukum.
Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegakan hukum itu
dijalankan oleh komponen eksekutif dan dilaksanakan oleh birokrasi dari
eksekutif tersebut, sehingga sering disebut juga birokrasi penegakan hukum. Sejak
negara itu mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan dalam masyarakat,
maka memang campur tangan hukum juga makin intensif, seperti dalam bidang-
bidang kesehatan, perumahan, produksi, dan pendidikan. Tipe negara dengan
birokrasinya merupakan bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang
tercantum dalam (peraturan) hukum yang menangani bidang-bidang tertentu.
3. Peradilan
Peradilan bisa disebut sebagai suatu macam penegakan hukum pula, oleh
karena aktivitasnya juga tidak terlepas dari hukum yang telah dibuat dan
disediakan oleh badan pembuat hukum itu. Dengan demikian, maka baru hukum
itu dibuat kita bisa berbicara mengenai adaya dan berjalanya peradilan.
Perbedaanya adalah, apabila komponen eksekutif tersebut diatas menjalankan
penegakan hukum itu dengan aktif, maka peradilan bisa disebut pasif, karena
harus menunggu datangnya pihak-pihak yang membutuhkan jasa peradilan. Para
yustisiabel itu datang dengan mmebawa persoalan mereka untuk diselesaikan
melalui proses peradilan.
Berjalanya proses peradilan tersebut, berhubungan erat dengan substansi
yang diadili, yaitu berupa perkara perdata ataukah pidana. Keterlibatan lembaga-
lembaga dalam proses peradilan secara penuh hanya terjadi pada saat mengadili
perkara pidana. Dalam perkembangannya, kita menjumpai adanya diferensiasi
dalam forum pengadilan, sehingga terbentuklah berbagai forum pengadilan,
seperti Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha
Negara. Tidak ada struktur universal dalam kelembagaannya pengadilan itu,
sehingga pada negara-negara di dunia dijumpai fora pengadilan yang berbeda-
beda.
4. Administrasi keadilan
Disebabkan oleh pengaruh kontinental yang kuat, maka di Indonesia
hukum acara lebih dikenal daripada administrasi keadilan (administrtion justice).
Dalam administrasi keadilan nampak lebih menonjol pendekatan administrasi
daripada hukum. Secara singkat boleh dikatakan bahwa pendekatan hukum yang
menggunkan doktrin normatif, teritama memikirkan tentang pembuatan aturan
yang menyeluruh atau melarang untuk menertibkan jalannya proses mengadili itu.
Sedangkan pendekatan administratif, yang menggunakan doktrin administratif,
lebih memikirkan tentang efesiensi kerja lembaga-lembaga yang terlibat dalam
proses mengadili tersebut. Pendekatan administratif tersebut beberapa dekade
terakhir ini didukung oleh penggunaan analisis sistem dan pendekatan sistem atau
rancangan sistem (laPatra, 1978).
Administrasi keadilan tidak lain mengandung pengertian, bahwa
penerapan keadilan dalam masyarakat itu membutuhkan pengeloaan, tidak hanya
dapat diserahkan kepada masyarakat begitu saja. Diserahkan kepada masyarakat,
artinya dipercayakan kepada masing-masing anggota masyarakat (Dias, 1976/88-
106).
Keadilan dibagi dalam keadilan-keadilan “perdata” dan keadilan
“kriminal”, yang disebut belakangan ini di Indonesia lebih dikenal dengan
“pidana”. Ciri yang membedakan keduanya adalah, bahwa pada keadilan perdata
kita berhadapan dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap perseorangan,
sedangkan pada yang lain kita berhadapan dengan pelanggaran-pelanggaran
terhadap umum.
Pada administrasi keadilan pidana keadaanya cukup berbeda. Salah satu
ciri pembeda yang sangat menonjol adalah, bahwa pada administrasi ini badan-
badan yang terlibat cukup banyak dan oleh karena itu benar-benar membutuhkan
pengelolaan yang seksama. Badan-badan yang terlibat adalah: kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan.
Masalah yang paling rumit adalah bagaimana kita akan mengorganisasikan
badan-badan kedalam kesatuan kerja, masing-masing mempunyai wewenang dan
tugas yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tersebut mungkin belum berarti
apa-apa, tetapi apabila diingat, bahwa semua badan itu mengurusi orang yang
sama yaitu tersangka, terdakwa atau terhukum, maka keadaannya bisa lain.
Apabila misalnya, masing-masing badan itu memegang teguh birokrasinya, maka
efisiensi dari administrasinya bisa sangat terganggu.
Kemampuan untuk menyelesaikan daftar bekerjanya pengadilan (LaPatra,
1978:65).
a. Pastikan bahwa terdakwa tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif
b. Pastikan bahwa rakyat tidak diabaikan untuk diwakili secara efektif.
c. Ciptakan kondisi yang mendukung ke arah penilaian yang adil dan nalar.
d. Mungkinkan pemrosesan suatu perkara dengan kecepatan terukur.
e. Kurangi sampai minimum beban di pundak pihak-pihak yang berperkara.
f. Kurangi sampai minimum beban dari pihak-pihak lain.
g. Kurangi sampai minimum ongkos-ongkos perkara.
BAB XIV
A. Pendahuluan
Hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi
sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dalam bab ini
membicarakan tentang bagaimana hukum itu dipakai sebagai sarana yang demikian
itu, dimulai dari pembicarakan mengenai hukum dalam konteks perubahan
masyarakat.
SUMBER PUSTAKA
1. Ali Achmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).
Jakarta: Chandra Pratama
2. Apeldoorn, L.J. Van. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
3. Dirdjosisworo, Soedojo. 2003. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada
4. Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Laksana Hukum Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
5. Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
6. Soedarsono. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
7. Soetami, Siti. 1995. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: PT. Eresco.
8. Soeroso. R. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
9. Wignyodipuro, Surojo. 1985. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Gunung Agung.
10. Ali Achmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis).