Dosen Pembimbing :
Disusun oleh:
402023084
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala karena atas
rahmat dan ridho-Nya, serta shalawat dan salam semoga terlimpah curah kepada Nabi besar
kita Nabi Muhammad Shallalahu ‘alahi wassalam. Tak lupa kepada kedua orang tua dan
kepada orang orang yang dimuliakan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang selalu
mendoakan serta mendukung dengan penuh semangat kepada kami sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah Laporan Pendahuluan ini.
Dalam menyusun laporan ini banyak tahap demi tahap yang harus dilalui oleh penulis
mulai dari awal sampai akhir yang salah satu dari tahapan tersebut adalah persiapan dalam
melakukan penulisan dimana penulis di tuntut lebih terampil dan menguasai materi yang akan
dilaksanakan sehigga dapat melaksanakan dengan sebaik mungkin tanpa ada keraguan
walaupun terdapat sedikit hambatan pada saat melaksanakan penulisan tersebut.
Manfaat yang akan diambil yaitu dengan adanya laporan ini yang mana bertujuan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah Universitas
‘Aisyiyah Bandung menjadikan penulis lebih memahami materi tentang Anemia.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem saraf merupakan suatu kombinasi- kombinasi sinyal listrik
dan kimiawi yang dapat membuat sel-sel saraf (neuron) mampu
berkomunikasi antara satu sama lain. Sistem saraf terdiri dari jutaan sel
saraf yang sering disebut dengan neuron. Neuron dikhususkan untuk
menghantarkan dan mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsangan
atau tanggapan. Setiap satu sel saraf (neuron) terdiri atas bagian utama
berupa badan sel saraf, dendrit, dan akson. Secara umum, sistem saraf
memiliki 3 fungsi pokok yang saling tumpang tindih, yaitu input sensoris,
integrasi, dan output motoris. Input ialah penghantaran atau konduksi
sinyal dari reseptor sensoris. Integrasi adalah proses penerjemahan
informasi yang berasal dari stimulasi reseptor sensoris oleh lingkungan,
kemudian dihubungkan dengan respon yang sesuai. Output motorik adalah
penghantaran sinyal dari pusat integrasi, yaitu Sistem Saraf Pusat ke sel-
sel efektor, sel-sel otot, atau sel kelenjar yang mengaktualisasikan respon
tubuh terhadap stimulus tersebut (Meutia et al., 2021).
Sistem saraf tepi terdiri dari sistem sadar (somatik) dan sistem
saraf tidak sadar (sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol
aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom
mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur otak antara lain denyut
jantung, gerak saluran pencernaan, dan seres keringat. Sistem saraf sadar
(somatik) disusun oleh saraf otak (saraf kranial), yaitu saraf -saraf yang
keluar dari otak, dan saraf sumsum tulang belakang, yaitu saraf-saraf yang
keluar dari sumsum tulang belakang. Sistem saraf tak sadar (sistem saraf
otonom) terdiri dari neuron sensori dan neuron motor yang terdapat di
antara sistem saraf pusat (khususnya hipotalamus) dan berbagai organ
dalam jantung, jeroan, dan banyak kelenjar, baik eksokrin maupun
endokrin (Meutia et al., 2021).
Sistem saraf dalam penjelsaan di atas merupakan sistem kelistrikan
yang saling nyambung menyambung dalam kinerja suatu organ tubuh
untuk menghantarkan suatu respon atau aktivitas tubuh untuk bekerja
dengan baik. Jika dalam sistem saraf yang rusak atau terhambatnnya suatu
saluran maka akan mempengaruhi semua kinerja saraf dalam
menghantarkan sinnyal tubuh dan dapat berpengaruh dalam semua organ
yang di berikan sinyal oleh saraf saraf tersebut. Stroke merupakan
penyakit sistem saraf mendadak akibat sirkulasi darah otak yang
bermasalah. Permasalahan ini meliputi penyumbatan serta pecahnya
pembuluh darah di otak. Oksigenasi otak serta nutrisi terganggu, yang
mengakibatkan kematian sel syaraf. Kondisi ini memicu gejala stroke
(Kune & Pakaya, 2023).
Stroke adalah gangguan fungsi otak yang berkembang pesat
dengan gejala klinis yang terjadi lebih dari 24 jam dan dapat berakibat
fatal. Stroke disebabkan oleh gangguan aliran darah otak. Stroke menjadi
penyebab kematian dan kecacatan utama di Indonesia. Secara teoritis,
stroke merupakan penyakit multikausal dimana ada banyak faktor yang
bisa menyebabkan kejadian stroke. Diantaranya dari faktor yang tidak
dapat dimodifikasi yakni usia, jenis kelamin, dan lain-lain. Faktor kondisi
kesehatan seperti hipertensi, penyakit jantung, dan lain-lain. Faktor
perilaku seperti kebiasaan aktivitas fisik, pola makan, dan merokok. Selain
itu, faktor sosial ekonomi seperti wilayah tempat tinggal, tingkat
pendidikan, dan tingkat pendapatan juga diduga berperan dalam kejadian
stroke (Azzahra & Ronoatmodjo, 2023).
Menurut World Stroke Organization (WSO) tahun 2019 prevalensi
kasus stroke didunia 80,34 juta orang mengalami stroke dan sekitar 13,7
juta stroke baru terjadi setiap tahunnya. WSO mengatakan setiap tahun ada
5,5 juta orang meninggal karena mengalami stroke (World Stroke
Organization, 2019) dalam (Hunaifi et al., 2021). Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Kemenkes RI., 2021) menunjukkan secara nasional angka kejadian
stroke di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 1.992.014 orang. Angka ini
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2015 -
2018 yang hanya sebesar 8,3%. Penyakit stroke telah menjadi masalah
kesehatan yang menjadi penyebab utama kecacatan pada usia dewasa dan
merupakan salah satu penyebab terbanyak di dunia. Stroke menduduki
urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian setelah penyakit jantung
koroner dan kanker di negara berkembang. Negara yang berkembang juga
menyumbang 85,5% dari total kematian akibat stroke di seluruh dunia.
Dua pertiga penderita stroke terjadi di negara yang sedang berkembang.
Terdapat sekitar 13 juta korban baru setiap tahun, dimana sekitar 4,4 juta
diantaranya meninggal dalam 12 bulan (Rahayu, 2015). Penyakit stroke ini
memberikan dampak yang serius karena bisa terjadinya kematian. Namun
jika penderita stroke tidak meninggal, akibat yang umumnya dirasakan
adalah kelemahan pada anggota gerak (Hemiparesis). Hemiparesis pada
pasien stroke ini biasanya diakibatkan oleh stroke arteri serebral anterior
atau arteri serebri media (MCA) sehingga menyebabkan infark dari
korteks bagian depan pada saraf motorik.
apa yg membuat strok menjadi berbahaya
Provinsi Jawa Barat memiliki prevalensi stroke sebesar 11,4%,
atau diperkirakan sebanyak 131.846 orang. Jumlah penderita stroke
terbanyak pada tahun 2018 adalah pasien berusia 75 tahun keatas sebanyak
50,2% dan terendah pada rentang umur 15-24 tahun yaitu setara dengan
0,6%. Berdasarkan angka kejadian pasien laki-laki lebih banyak
dibandingkan pasien perempuan yaitu sebesar 11% dan 10,9% menurut
Kemenkes 2018 dalam (Dinkes Provinsi Jabar, 2021). Prevalensi kasus
stroke yang terdapat di daerah kota bandung menurut data dari (Dinas
Kesehatan Kota Bandung, 2020) kasus stroke sebanyak 84 orang atau
9,3%, dan data yang mengalami gejala stroke sebanyak 14 orang atau
1,5%, data yang didapat terserang stroke tersering usia 50-59 tahun untuk
laki-laki sedangkan pada perempuan di usia 60-69 tahun, kemudian
menurun di usia lebih dari 70 tahun. Stroke ditemukan lebih banyak pada
penderita laki-laki dibanding perempuan. (Pria:wanita ± 1,3:1), Gejala
awal yang paling sering pada penderita stroke adalah penurunan kesadaran
secara tiba-tiba dan untuk faktor risiko yang terbanyak adalah hipertensi.
Dampak stroke pada aspek fisik adalah adanya kelemahan atau
kekakuan dan kelumpuhan pada kaki dan tangan. Setelah serangan stroke,
tonus otot akan menurun dan bahkan bisa menghilang. Tanpa pengobatan
orang akan cenderung menggunakan bagian tubuh yang tidak lumpuh
untuk melakukan gerakan sehingga bagian tubuh yang lemah akan
menimbulkan kecacatan permanen hal ini tentu saja akan menimbulkan
gangguan pada aktivitas sehari – hari seperti gangguan dalam berbicara,
perawatan diri, gangguan mobilisasi dan perubahan kesadaran. (Nuraliyah
& Burmanajaya, 2019).
Stroke merupakan penyebab kedua kematian dan penyebab keenam
yang paling umum dari kecacatan. Sekitar 15 juta orang menderita stroke
yang pertama kali setiap tahun, dengan sepertiga dari kasus ini atau sekitar
6,6 juta mengakibatkan kematian (3,5 juta perempuan dan 3,1 juta laki-
laki). Stroke adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi otak baik
vokal maupun global (menyeluruh), yang berlangsung capat, berlangsung
lebih dari 24 jam atau sampai menyebabkan kematian, tanpa penyebab lain
selain gangguan vaskular dengan gejala klinis yang kompleks. Masalah
yang sering muncul pada pasien stroke adalah gangguan gerak, pasien
mengalami gangguan atau kesulitan saat berjalan karena mengalami
gangguan pada kekuatan otot dan keseimbangan tubuh atau bisa dikatakan
dengan imobilisasi (Agusrianto & Rantesigi, 2020).
intervensi secara umum pada pasien stroke ??
Imobilisasi merupakan suatu gangguan gerak dimana pasien
mengalami ketidak mampuan berpindah posisi selama tiga hari atau lebih,
dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologik. Seseorang yang mengalami gangguan gerak atau gangguan
pada kekuatan ototnya akan berdampak pada aktivitas sehari-harinya. Efek
dari imobilisai dapat menyebabkan terjadinya penurunan fleksibilitas
sendi. Salah satu bentuk latihan rehabilitasi yang dinilai cukup efektif
untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien stroke adalah latihan
range of motion (ROM). Secara konsep, latihan ROM dapat mencegah
terjadinya penurunan fleksibilitas sendi dan kekakuan sendi (Agusrianto &
Rantesigi, 2020).
Gejala stroke ini timbul berbeda dan bervariasi pada setiap
individu, hal ini bergantung pada area otak yang mengalami gangguan.
Beberapa tanda dan gejala awal yang ditemukan seperti vertigo, sakit
kepala, bicara pelo, sulit berbicara, gangguan menelan, gangguan pada
penglihatan. Sedangkan gejala khas pada pasien stroke yang terlihat yaitu
hilangnya rasa pada separuh badan, buta separuh lapang pandang, dan
lain-lain. Penanganan yang lambat kepada pasien stroke dapat
mengakibatkan pasien datang dalam keadaan buruk atau terlambat.
Kelemahan anggota gerak pada pasien stroke dapat mempengaruhi
kekuatan otot, melemahnya otot disebabkan oleh kurangnya suplai darah
ke otak. Kelainan pada sistem neurologis dapat bertambah jika ada
pembengkakan di area otak (Edema serebri) sehingga tekanan di dalam
rongga otak meningkat. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut
pada jaringan otak. Maka perlu dilakukan latihan otot dengan cara
memberika terapi ROM (Range of Motion) sebagai upaya dalam
meningkatkan rentang gerak serta mobilitas pada pasien stroke menurut
penelitiannya (Nurartianti & Wahyuni, 2020).
Latihan range of motion (ROM) merupakan salah satu bentuk
latihan dalam proses rehabilitasi yang dinilai masih cukup efektif untuk
mencegah terjadinya kecacatan pada pasien dengan stroke. Latihan ini
adalah salah satu bentuk intervensi fundamental perawat yang dapat
dilakukan untuk keberhasilan regimen terapeutik bagi pasien dan dalam
upaya pencegahan terjadinya kondisi cacat permanen pada pasien paska
perawatan di rumah sakit sehingga dapat menurunkan tingkat
ketergantungan pasien pada keluarga (Rahayu, 2015).
Latihan ROM dapat menimbulkan rangsangan sehingga
meningkatkan aktivitas dari kimiawi neuromuskuler dan muskuler.
Rangsangan melalui neuromuskuler akan meningkatkan rangsangan pada
serat saraf otot ekstremitas terutama saraf parasimpatis yang merangsang
untuk produksi asetilcholin, sehingga mengakibatkan kontraksi.
Mekanisme melalui muskulus terutama otot polos ekstremitas akan
meningkatkan metabolisme pada metakonderia untuk menghasilkan ATP
yang dimanfaatkan oleh otot ekstremitas sebagai energi untuk kontraksi
dan meningkatan tonus otot polo sekstremitas (Merdiyanti et al., 2021).
kenapa yg dipilih ROM apa implikasi terhadap keperawatan
hasil analisis RS al ihsan tentang pasien strok dan ROM
Peran perawat untuk meningkatkan proses penyembuhan dalam
aktivitas sehari- hari pasien. Dampak aktivitas ini untuk meningkat
kemandirian pasien pada pasien stroke yang mengalami penurunan
kemampuan fungsional ini untuk meningkatkan mobilitas sangat terbatas
sehingga harus dibantu untuk memberikan, kenyamanan, dan kemampuan
dengan menciptakan lingkungan yang mendukung dengan
mengompensasi perubahan fungsi, penanganan pasien stroke yang
mengalami hemiparesis yang dilakukan perawat dan fisioterapi adalah
latihan pergerakan range of motion (ROM) setiap hari sehari 2x lebih
kurang 15-30 menit (Sandra et al., 2021).
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk
melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien strok karena banyak sekali
yang mengalami gangguan mobilitas fisik dimana dampak mobillitas fisik
dapat mempengaruhi aktivitas sehari- hari, stroke ini juga berdampak
adanya kelemahan otot, kekakuanotot maka penulis melakukanpemberian
dengan menggunakan proses keperawatan dengan judul “Analisis
Pemberian Rom Pasif Pada Pasien Dengan Masalah Keperawatan
Gangguan Mobilitas Fisik Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Di
Ruang Usman Bin Affan Rumah Sakit Al Ihsan Bandung : Pendekatan
Evidence Based Nursing” Bagaimana Asuhan Keperawatan pemberian
ROM untuk melatih meningkatkan kekuatan otot pada pasien Stroke Infak
?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada karya ilmiah akhir ini adalah mampu melakukan
asuhan keperawatan dengan saling percaya dengan proses keperawatan
secara langsung pada klien Ny. A dan Ny. E dengan gangguan stroke
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penulisan karya ilmiah akhir dalam
mengelola kasus yaitu pemberian terapi ROM dengan gangguan stroke
pada Ny. A dan Ny. E
a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan gangguan
stroke.
b. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan medikal bedah dengan
kasus sroke.
c. Mampu melakukan perencanaan keperawatan medikal bedah
dengan kasus sroke.
d. Mampu melakukan implementasi keperawatan medikal bedah
kasus sroke dengan pemberian terapi ROM untuk meningkatkan
kekuatan otot.
e. Mampu mengevaluasi proses keperawatan medikal bedah
padakasus stroke dengan pemberian terapi ROM.
BAB 2
LANDASAN TEORI
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
2. Klasifikasi
Menurut Muttaqin, Arif (2017) dalam (Pratama et al., 2022) stroke
dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Stroke Non Hemoragik
Suatu gangguan peredaran darah otak tanpa terjadi suatu
perdarahan yang ditandai dengan kelemahan pada satu atau
keempat anggota gerak atau hemiparese, nyeri kepala, mual,
muntah, pandangan kabur dan dysfhagia (kesulitan menelan).
Stroke non haemoragik dibagi lagi menjadi dua yaitu:
1) Stroke trombotik
Stroke yang terjadi ketika gumpalan darah terbentuk dari salah
satu pembuluh darah arteri yang memasok darah ke otak.
Pembentukan gumpalan darah ini disebabkan oleh timbunan
lemak atau plak yang menumpuk di arteri (aterosklerosis) dan
menyebabkan menurunnya aliran darah.
2) Stroke embolik
Stroke yang terjadi ketika gumpalan darah atau gumpalan yang
terbentuk di bagian tubuh lain, umumnya jantung, terbawa
melalui aliran darah, dan tersangkut di pembuluh darah otak,
sehingga menyebabkan arteri otak menyempit. Jenis gumpalan
darah ini disebut embolus. Salah satu gangguan irama jantung,
yaitu fibrilasi atrium, sering menyebabkan stroke embolik.
b. Stroke Hemoragik
a. Usia
b. Jenis kelamin
Insidensi pada pria 40% lebih tinggi daripada wanita. Hal ini
c. Genetik
Hal ini terkait dengan riwayat stroke pada keluarga. Orang dengan
stroke.
d. Hipertensi
e. Diabetes
perfusi otak menurun dan akhirnya terjadi stroke. Pada DM, akan
makrovaskulerisasi.
f. Obesitas
pria dan usia 65- 94 tahun pada wanita. Namun, pada kelompok
g. Konsumsi Alkohol
Minum terlalu banyak alkohol meningkatkan tekanan darah
arteri anda.
h. Merokok
i. Kolesterol Tinggi
4. Faktor Resiko
a. Usia
pada umumnya pada orang lanjut usia pembuluh darahnya lebih kaku
b. Jenis kelamin
Insidensi pada pria 40% lebih tinggi daripada wanita. Hal ini
c. Genetik
Hal ini terkait dengan riwayat stroke pada keluarga. Orang dengan
riwayat stroke pada keluarga, memiliki resiko yang lebih besar untuk
Riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota
d. Hipertensi
e. Diabetes
makrovaskulerisasi.
f. Obesitas
stroke,terutama pada kelompok usia 35-64 tahun pada pria dan usia
65- 94 tahun pada wanita. Namun, pada kelompok yang lain pun,
kelainan aterosklerosis.
g. Konsumsi Alkohol
anda.
h. Merokok
i. Kolesterol Tinggi
6. Patofisiologi
Otak bergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan
oksigen. Jika terjadi anoksia seperti halnya yang terjadi pada CVA,
mengalami perubahan metabolisme di otak, dalam waktu 3-10 menit
dapat terjadi kematian sel dan kerusakan permanen. Tiap kondisi yang
menyebabkan perubahan perfusi otak akan menimbulkan hipoksia atau
anoksia. Hipoksia menyebabkan iskemik otak. Iskemik otak dalam
waktu lama menyebabkan sel mati permanen dan berakibat terjadi
infark otak yang disertai dengan edema otak karena pada daerah yang
dialiri darah terjadi penurunan perfusi dan oksigen, serta meningkatkan
karbondioksida dan asam laktat (Ariani, 2013).
Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi cepat dan mendadak pada
pembuluh darah otak sehingga aliran darah terganggu. Jaringan otak
yang kekurangan oksigen selama lebih dari 60-90 detik akan menurun
fungsinya. Trombus atau penyumbatan seperti arterosklerosis
menyebabkan iskemia pada jaringan otak dan membuat kerusakan
jaringan neuron sekitarnya akibat proses hipoksia dan anoksia.
Seumbatan emboli yang terbentuk di daerah sirkulasi lain dalam sistem
peredaran darah yang biasa terjadi didalam jantung atau sebagai
komplikasi dari fibrilasi atrium yang terlepas dan masuk ke sirkulasi
darah otak, dapat pula mengganggu sistem sirkulasi otak. Setelah
aliran darah terganggu, jaringan menjadi kekurangan oksigen dan
glukosa yang menjadi sumber utama energi untuk menjalankan proses
potensi membran. Kekurangan energi ini membuat daerah yang
kekurangan oksigen dan gula darah tersebut menjalankan metabolisme
7 anaerob. Metabolisme anaerob ini merangsang pelepasan senyawa
glutamat. Glutamat bekerja pada reseptor di sel-sel saraf,
menghasilkan infulks natrium dan kalsium. Influks natrium membuat
jumlah cairan intraseluler meningkat dan pada akhirnya menyebabkan
edema pada jaringan. Infulks kalsium merangsang pelepasan enzime
protolisis (protese, lipase, nuklease) yang mencegah protein, lemak,
dna struktur sel. kalsium menyebabkan kegagalan mitokondria, suatu
organel membran yang mengatur metabolisme sel.
Kegagalankegagalan tersebut yang membuat sel otak mati atau
nekrosis (Haryono & Utami, 2019).
7. Manifestasi Klinis
Kehilangan Motorik CVA (Cerebro Vaskuler Accident) adalah
penyakit otot neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik, misalnya:
a. Hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi tubuh)
b. Hemiparesis (kelemahan pada salah satu sisi tubuh)
c. Menurunnya tonus otot abnormal
d. Kehilangan komunikasi Fungsi otak yang mempengaruhi oleh
CVA (Cerebro Vaskuler Accident) adalah bahasa dan komunikasi,
misalnya : 1) Disartria, yaitu kesulitan berbicara yang ditunjukan
dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis
otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. 2)
Disfasia atau afasia atau kehilangan bicara yang terutama ekspresif
atau arefresif. Apraksia yaitu ketidakmampuan untuk melakukan
tindakan yang dipelajari sebelumnya.
e. Gangguan persepsi 1) Hemonimus hemianopsia, yaitu kehilangan
setengah lapang pandang dimana sisi visual yang terkena berkaitan
dengan sisi tubuh yang paralisis. 2) Amorfosintesis, yaitu keadaan
dimana cenderung berpaling dari sisi tubuh yang sakit dan
mengabaikan sisi atau ruang yang sakit tersebut.
f. Gangguan hubungan visual spasia, yaitu gangguan dalam
mendapatkan hubungan dua atau lebih objektif dalam area spasial.
4) Kehilangan sensori, antara lain tidak mampu merasakan posisi
dan gerakan bagian tubuh (kehilangan propioseptik) sulit
menginterprestasikan stimulasi visual, taktil auditorius (Mega
2021)
8. Komplikasi
b. Bekuan darah merupakan bekuan darah yang mudah terjadi pada kaki
dan 31% menderita depresi pada 3 bulan paska stroke s dan keadaan
obat.
a. Terapi farmakologi
1) Obat anti-trombosit
Aspirin.
2) Antikoagulan
3) Agen trombolitik
gerakan.
c. Terapi bedah
dengan bantuan dari orang lain perawat ataupun alat babtu setiap
b. Latihan ROM aktif yaitu latihn ROM yang dilakukan mandiri oleh
c. Kontraindikasi ROM
3. Tujuan
ROM memiliki banyak tujuan diantaranya yaitu memelihara
fleksibilitas dan kemampuan gerak sendi, mengurangi rasa nyeri,
mengembalikan kemampuan pasien menggerakkan otot, dan
melancarkan peredaran darah. Adapun menurut (Masliah et al., 2022).
pergerakan
4. Pengaruh EBN
penyakit ataupun gejala sisa. Ada dua jenis latihan ROM yaitu ROM
aktif dan ROM pasif. ROM aktif yaitu pasien menggunakan ototnya
adalah latihan yang dilakukan dengan bantuan orang lain. ROM pasif
secara mandiri.
5. Fatofisiologi rom
Menurut Guyton (2007) dalam (Anggriani et al., 2018) mekanisme
kontraksi dapat meningkatkan otot polos pada ekstremitas. Latihan
ROM pasif dapat menimbulkan rangsangan sehingga meningkatkan
aktivasi dari kimiawi, neuromuskuler dan muskuler. Otot polos pada
ekstremitas mengandung Filamen aktin dan Myosin yang mempunyai
sifat kimiawi dan berintraksi antara satu dan lainnya. Proses interaksi
diaktifkan oleh ion kalsium, dan adeno triphospat (ATP), selanjutnya
dipecah menjadi adeno difosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi
kontaraksi otot ekstremitas. Rangsangan melalui neuromuskuler akan
meningkatkkan rangsangan pada serat syaraf otot ekstremitas terutama
syaraf parasimpatis yang merangsang untuk produksi Asetilcholin,
sehingga mengakibatkan kontraksi. Mekanisme melalui muskulus
terutama otot polos ekstremitas akan meningkatkan metabolisme pada
metakonderia untuk menghasilkan ATP yang dimanfaatkan oleh otot
polos ekstremitas sebagai energi untuk kontraksi dan meningkatkan
tonus otot polos ekstremitas.
6. Waktu dan frekuensi rom
Menurut (Andriani et al., 2022) waktu daan frekuensi rom yang
dilakukan yaitu :
bertahap.
memaksakan gerakan.
seluruh gerakan.
(Hudak et al. 2012). Semakin tinggi nilai NIHSS pada pasien stroke
NIHSS yaitu : Skor >25 (Sangat berat), Skor 14-25 (Berat), Skor 5-14
o. ia r
Sadar 0
Mengant 1
uk 2
Tingkat kesadaran
Stupor 3
Koma 0
Menjawab dua pertanyaan 1
Respons terhadap
1. Menjawab satu pertanyaan dengan 2
pertanyaan
benar Tidak menjawab pertanyaan
dengan benar 0
Melakukan keduanya dengan 1
Perintah LOC
benar Melakukan satu dengan 2
benar
Tidak melakukan satupun dengan benar
Normal 0
Kelumpuhan tatapan
2. Tatapan terbaik 1
sebagian Kelumpuhan
tatapan total 2
Tidak ada kehilangan 0
penglihatan Hemianopia 1
3. Lapangan pengelihatan
sebagian Hemianopia komplet 2
Hemianopia bilateral 3
Normal 0
Paralisis 1
4. Paralisis wajah minor 2
Paralisis sebagian 3
Paralisis total
5. Motorik lengan kanan - Tanpa penyimpangan 0
- Menyimpang tapi tidak sepenuhnya 1
menurun
- Menahan gravitasi tetapi jatuh <10 2
detik
- Tidak ada upaya melawan gravitasi 3
- Tidak ada gerakan
4
- Tanpa penyimpangan 0
- Menyimpang tapi tidak sepenuhnya 1
menurun
- Menahan gravitasi tetapi jatuh <10 2
Motorik lengan kiri
detik
- Tidak ada upaya melawan gravitasi 3
- Tidak ada gerakan 4
- Tanpa penyimpangan 0
- Menyimpang tapi tidak sepenuhnya
1
menurun
2
- Menahan gravitasi tetapi jatuh <10
Motorik tungkai kanan
detik
3
- Tidak ada upaya melawan gravitasi
4
- Tidak ada gerakan
6.
- Tanpa penyimpangan 0
- Menyimpang tapi tidak sepenuhnya
1
menurun
2
- Menahan gravitasi tetapi jatuh <10
Motorik tungkai kiri
detik
3
- Tidak ada upaya melawan gravitasi
4
- Tidak ada gerakan
- Tidak ada 0
7. Ataksia ekstremitas - Ada di satu ekstremitas 1
- Ada di dua ekstremitas 2
- Normal 0
8. Sensorik - Kehilangan ringan hingga sedang 1
- Kehilangan berat hingga total 2
9. Bahasa - Normal 0
- Afasia ringan 1
- Afasia berat 2
- Berat 3
- Normal 0
10. Disartria - Disantria ringan – sedang 1
- Disartria berat 2
- Tidak ada abnormalitas 0
11. Perhatian - Gangguan ringan 1
- Gnagguan berat 2
3. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko perfusi serebral tidak efektif ditandai dengan embolisme
(SDKI D.0017)
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan (SDKI D.0019)
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan massa
otot (SDKI D.0054)
d. Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan saraf kranialis
(SDKI D.0063)
e. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (SDKI
D.0077)
f. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan
sirkulasi serebral (SDKI D.0119)
g. Resiko gangguan intregitas kulit ditandai dengan tirah baring
(SDKI D.0139)
h. Resiko jatuh ditandai dengan penurunan kekuatan otot (SDKI
D.0143)
4. Intervensi Keperawatan
5. Implementasi Keperawatan
Tahap implementasi atau pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari
proses keperawatan dengan melaksanakann berbagai strategi
keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam
rencana tindakan keperawatan. Pada tahap ini, perawat harus
mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya-bahaya fisik dan
perlindungan pada klien, tehnik komunikasi, kemampuan dalam
prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta
dalam memahami tingkat perkembangan pasien.
6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari
rencanakeperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi
perawat seharusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan
menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta
kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada
kriteria hasil.
D. Evidence based nursing
1. Kriteria inklusi dan ekslusi
Comparison - -
Study Design
2. Pico
Kesimpulan :
V2 :
dibandingkan.
Kesimpulan :
rinci.
V3 :
ini.
Kesimpulan :
V4:
Kesimpulan:
V5:
Kesimpulan:
Pengaruh Range Of Pada jurnal ini menggunakan sampel menjelaskan pengaruh latihan menjelaskan manfaat
Motion (ROM) Terhadap penelitian sebanyak 44 orang. otot ROM terhadap latihan otot ROM terhadap
Peningkatan Kekuatan
Penelitian ini terdapat satu kelompok peningkatan kekuatan otot peningkatan kekuatan otot
Otot Pada Pasien Stroke
berdasarkan kriteria inklusi dan pada pasien stroke. Penelitian pada pasien stroke.
ekslusi. Kriteria inklusi pada penelitian ini memiliki konteribusi Sehingga dapat diterapkan
Penulis:
ini pasien stroke harus berdasarkan dalam meningkatkan asuhan sebagai evidence base
Dian andriani
pada hasil CT Scan, MRI, atau keperawatan pada pasien practice dalam pemberian
Annisa fitria nigusyanti
diagnosis stroke, kelompok perlakuan stroke dengan memiliki asuhan keperawatan non-
Ayu nalaratih
dengan diberikan intervensi berupa gangguan mobilitas fisik. farmakologi pada pasien
Fani afifah latihan ROM 2x/hari dengan durasi stroke dengan masalah
Kesimpulan :
Kesimpulan :
V3 :
tersebut.
V4:
V5:
digeneralisasi
Kesimpulan:
V5 :
V5 :
V4 :
V5 :
V3 :
V4 :
V3 :
V5 :
Berdasarkan lima jurnal yang telah
direview tentang efektivitas ROM pasif
terhadap peningkatan kekuatan otot
pada pasien stroke membuktikan bahwa
latihan ROM pasif efektif untuk
meningkatkan kekuatan otot pada
pasien stroke. Pemberian latihan ROM
dilakukan minimal 2 kali dalam sehari
dengan durasi waktu 15-35 menit dan
dilakukan minimal 4 kali pengulangan
setiap gerakan selama 1-4 minggu
latihan.
4. Deskripsi Topik
5. Prosedur CBT
Terapi yang
Range Of Montion (ROM)
diberikan
A. Pengkajian
1. Hasil Anamnesis Biodata dan Riwayat Kesehatan Pasien dengan
Stroke Infark
Pemeriksaan Fisik
Data sosial Aktivitas sehari- hari klien Aktivitas sehari- hari klien
adalah di rumah, tidak aktif adalah iburuma tangga
di kegiatan sosial di yang memiliki 1 anak
masyarakat. Selama di
rumah sakit klien dapat
berinteraksi dengan perawat,
dan pasien yang lain.
Pengkajian spiritual
Dukungan sosial Klien dapat dukungan dari Klien dapat dukungan dari
anak-anaknnya klien suami dan anak-anaknya
berharap dapat sembuh klien berharap dapat
kembali dan dapat berkumpul dengan
berkumpul dengan keluargannya dan anak
keluarganya anaknya
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Pemeriksaan Radiologi
Foto Thorax Tidak tampak tb paru aktif Tidak tampak tb paru aktif
maupun bronchopneumonia maupun bronchopneumonia
tidak nampak kardiomegali tidak nampak kardiomegali
Fungsi Liver - - -
SGOT 21 - 10-31
SGPT 12 - 9-36
Fungsi ginjal - - -
Ureum 41 - 10-50
Kreatinin 0.79 - 0.7-1.13
3. Program Terapi
Pasien sudah diberika terapi obat berupa
1. Pasien 1 Ny. A
Nama Obat Cara Pemberian Dosis Jam Pemberian
RL IV 500 ml 08.00
2. Pasien 2 Ny. E
Nama Obat Cara Pemberian Dosis Jam Pemberian
RL IV 500 ml 08.00
No Hari Analisa Data Etiologi Masalah Hari Analisa data Etiologi Masalah
tanggal tanggal
kesemutan di area Trombosis dan emboli sering kesemutan Trombosis dan emboli
ektremitas kanan serebral namun yang sering serebral
atas atau bawah kesemutan di area
Merangsang perubahan Merangsang perubahan
DO : tangan
kimia dan stimulasi endotel kimia dan stimulasi endotel
- klien terlihat bibir DO :
pucat, kering Perubahan lapisan intima - klien terlihat bibir Perubahan lapisan intima
CRT<3 detik, akral Plak pada pembuluh darah pucat, kering Plak pada pembuluh darah
dingin, terdapat edema, - CRT<3 detik, akral
Plak ruptur Plak ruptur
tugor kulit lama dingin, terdapat nyeri,
kembali, Emboli dan trombus Bicara rero Emboli dan trombus
ektremitas sebelah meningkat dalam darah ektremitas sebelah meningkat dalam darah
- Gerakan terbatas Plak pada pembuluh darah - Gerakan terbatas Plak pada pembuluh darah
sebalah kanan sebelah kiri
Plak ruptur Plak ruptur
- Kekuatan otot - Kekuatan otot
menurun Emboli dan trombus menurun Emboli dan trombus
- Fisik lemah
Penyumbatan pada vaskuler Penyumbatan pada vaskuler
cerebral cerebral
pucat Emboli dan trombus sedikit kotor, bibir Emboli dan trombus
pucat
Penyumbatan pada vaskuler Penyumbatan pada vaskuler
cerebral cerebral
Disfungsi N IX Disfungsi N IX
Merangsang perubahan
kimia dan stimulasi endotel
Plak ruptur
Gangguan komunikasi
● Tekanan darah ketidak simetrisan respon memper cepat tingkat kesadaran pasien
sistolik dan pupil karen posisi ini suplai oksigen cept di
diastolik menurun - Monitor kadar CO2 terimaataudikirimkan ke otak sehingga
- Monitor tekanan perfusi oksigen akan terpenuhi dengan baik
serebral lagi.
- Monitor
jumlah,kecepatan,dan
karakteristrik darainase
cairan serebrospinal
- Monitor efek stimulus
lingkungan terhadap TIK
Terapetik
- pertahankan posisi kepala
dan leher netral
- atur interval pemantauan
sesuai kondisi pasien
Kolaborasi
- jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
No Diagnosa Perencanaan Tindakan Rasional
. Keperawatan
Tujuan (SLKI, 2019) Intervensi (SIKI, 2018)
2. Mobilitas Fisik Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi - pemberian mobilisasi sangat diperlukan
b.d penurunan tindakan keperawatan Observasi terutama oleh penderita stroke karena
otot d.d sulit selama 2x24 jam - Identifikasi adanya nyeri atau aktivitas fisiknnya terbatas sehingga
menggerakan mobilitas fisik keluhan fisik memerlukan bantuan atau dukungan
ekstremitas meningkat, dengan - Identifikasi toleransi fisik agar dapat melatih pergerakan otot –
kriteria hasil: melakukan pergerakan otot agar selama proses pengobatan
- Monitor frekuensi jantung bisa meminimalisir komplikasi yang
● Pergerakan
dan tekanan darah sebelum ada dan mempercepat penyembuhan
ekstremitas
dan sesudah mobilisasi - melibatkan keluarga untuk lebih
meningkat
- Monitor kondisi umum membantu klien dalam penyembuhan
● Kekuatan otot selama melakukan mobilisasi - mobilisasi terutamapemberianlatihan
meningkat Terapetik rom dan mikamiki sangat di butuhkan
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi untuk membiasakankembali otot-
● Rentang gerak rom
degaan alat bantu (bantal, ototyang tegang karena dengan pasien
meningkat
guling, tihang tempat tidur stroke lebih dominan tidur di kasur
● Kaku sendi - Fasilitasi melakukan tanpaadannya gerakan otot otot maka di
pergerakan seperti miring
menurun kini dan miring kanan perlukannya latihan ini
ditambah latihan ROM
● Gerakan terbatas
- Libatkan keluarga membantu
menurun
pasien dalam neningkatkan
● Kelemahan fisik pergerakan
menurun - jelaskan tujuan dan prosedur
mobilitas sederhana
No Diagnosa Perencanaan Tindakan
Rasional
. Keperawatan Tujuan (SLKI, 2019) Intervensi (SIKI, 2018)
3. Difisit Perawatan Setelah dilakukan Dukungan Perawatan Diri : - Dapat mempermudah untuk proses
Diri b.d tindakan keperawatan Mandi perawatan diri
kelemhan d.d selama 2x24 jam Observasi - Untuk mengetahui apakah kotor atau
tidak mampu diharapkan perawatan 1. Identifikasi jenis bantuan tidak pada bagian rambut , mulut, kulit,
mengerakan diri meningkat yang dibutuhkan dan kuku
secara mandiri dengan kriteria hasil: 2. Monitor kebersihan tubuh - Untuk mempermudah saat melakukan
(mis.rambut, ,mulut, kulit, proses perawatan diri
● Kemampuan
kuku) - Untuk menjaga privasi saat melakuka
mandi (meningkat)
Terapeutik proses perawatan diri
● Mempertahankan 3. Sediakan peralatan mandi - Dapat mempermudah dalam menggosok
kebersihan diri (mis. Sabun, sikat gigi, gigi
(meningkat) shampoo, pelembab kulit) - Dapat mempermudah saat melakukan
4. Sediakan lingkungan yang mandi
● Mempertahankan
aman dan nyaman - Agar pasien merasa nyaman dengan
kebersihan mulut
5. Fasilitasi menggosok gigi, menjaga kebersihan diri
(meningkat)
sesuai kebutuhan - Untuk mempermudah dalam melakukan
6. Fasilitasi mandi, sesuai perawatan diri
kebutuhan - Maanfaat mandi untuk menjaga
7. Pertahankan kebiasaan kebersihan diri dan membuat diri merasa
kebersihan diri nyaman serta meningkatkan proses
8. Berikan bantuan sesuai penyembuhan
tingkat kemandirian - Dapat mempraktikan bagaimana
Edukasi memandikan pasien jika berada di rumah
9. Jelaskan manfaat mandi dan
dampak tidak mandi
terhadap kesehatan
10. Ajarkan kepada keluarga
cara memandikan pasien,
jika perlu
No Diagnosa Perencanaan Tindakan
Rasional
. Keperawatan Tujuan (SLKI, 2019) Intervensi (SIKI, 2018)
4. Resiko Jatuh b.d Setelah dilakukan Pencegahan Jatuh - Untuk mengetahui apa yang
kekuaan otot tindakan keperawatan membuat pasien beresiko mengalami
Observasi
menurun selama 2x24 jam jatuh
diharapkan tingkat jatuh - Identifikasi faktor risiko - Untuk menurunkan risiko jatuh pada
menurun dengan jatuh (mis. Gangguan pasien saat melakukan aktivitas
kriteria hasil: penglihatan) - Dengan memastikan terkunci dapat
- Identifikasi faktor memberikan keselamatan pada
● Jatuh dari tempat lingkungan yang pasien
tidur menurun meningkatkan risiko jatuh - Dalam jurnal “hubungan metode
(mis. Lantai licin, pelaksanaan epeep (explain, pain,
● Jatuh saat
penerangan) elimination, environment and plan of
dipindahkan
Terapeutik return) dengan kepuasan pasien
menurun
- Pastikan roda tempat tidur diruang rawat inap pandoria rumah”
dan kursi roda selalu dalam diruang rawat inap pandoria rumah”
Diagnosa Hari/ Implementasi dan Evaluasi Pasien 1 Hari/ Implementasi dan Evaluasi Pasien 2
Keperawatan Tanggal, Tanggal,
Jam Implementasi Evaluasi Jam Implementasi Evaluasi
Hari/ Hari/
Diagnosa
Tanggal, Pasien 1 Tanggal, Pasien 2 Paraf
Keperawatan
Jam Jam
Selasa, 07 1, 2, 3,4 S: Jumat, 10 S: Niar
November - Pasien mengatakan masih nyeri di bagian November - Pasien mengatakan masih nyeri di bagian
2023 ektremitas kanan dan terasa sulit di gerakan 2023 ektremitas kiri dan terasa sulit di gerakan
- Pasien masih merasa pusing - Pasien masih merasa lemas
Hari ke 1 - Keluarga pasien mengatakan jarang di Hari ke 1 - Keluarga pasien mengatakan jarang di lakukan
lakukan gerakan miring kiri dan kanan gerakan miring kiri dan kanan
- Pasien mengatakan merasapegal-pegal dan - Pasien mengatakan merasa kesemutan karena
09.00 kesemutan karena jarang digerakan 09.00 jarang digerakan
O: - Pasien mengatakan sulit berbicara dengan lancar
- Pasien Pasien dalam kedaan compos mentis O:
12:00 12:00 - Pasien Pasien dalam kedaan compos mentis GCS
GCS 15,
15,
TD : 107/90 mmHg
TD : 130/80 mmHg
N: 104
N: 90
S : 37.0 C
S : 37.5 C
R : 20
R : 20
- Terdapat hasil CT Scan Infark lama di daerah
ganglia basalis kanan Tidak terdapat - Terdapat hasil CT Scan Infark di daerah cortical
pendarahan Atrofi cerebri senilis lobus temporooccipitalis kiri Multiple infark
- Terapi obat sudah diberikaan melalui IV lakuler didaerah ganglia basalis bilateral Atrofi
- Skala nyeri 6 cerebri senilis Tidak nampak pendarahan
- Ttv sebelum dilakukan rom - Terapi obat sudah diberikaan melalui IV
TD : 120/99 mmHg - Berbicara rero namun masih bisa sedikit
dimengerti oleh orang lain
N: 115
- Skala nyeri 8
S : 36.5 C Ttv sebelum dilakukan rom
TD : 135/90 mmHg
R : 21
N: 100
- Kekuatan otot ekstremitas atas sebelum 4
tidak dapat digerakan sehingga dibantu S : 37.5 C
secara perlahan
R : 20
- Kekuatan ekstremitas bawah sebelum tidak
dapat digerakan sehingga dibantu secara - Kekuatan otot ekstremitas atas sebelum tidak
perlahan dapat digerakan sehingga dibantu secara perlahan
- Ttv setelah dilakukan rom - Kekuatan ekstremitas bawah sebelum tidak dapat
TD : 125/80 mmHg digerakan sehingga dibantu secara perlahan
- Ttv setelah dilakukan rom
N: 111
TD : 134/88 mmHg
S : 36.8 C
N: 105
R : 21
S : 37.5 C
- Kekuatan otot ekstremitas atas sesudah
R : 20
tidakdapat di gerakan sendiri masih harus di
bantu - Kekuatan otot ekstremitas atas sesudah
- Kekuatan ekstremitas bawah sesudah tidakdapat di gerakan sendiri masih harus di
tidakdapat di gerakan sendiri masih harus di bantu
bantu - Kekuatan ekstremitas bawah sesudah tidak dapat
- Kelurga pasien memahami dan akan di gerakan sendiri masih harus di bantu
melaksanakan sesuai anjuran dari perawat - Kelurga pasien memahami dan akan
- Pasien diberikan terapi obat keterolak melaksanakan sesuai anjuran dari perawat
melalui IV obat untuk meredakan nyeri pada - Pasien diberikan terapi obat keterolak melalui IV
pasien. obat untuk meredakan nyeri pada pasien.
- Pasien terlihat lepek dan kusan karena belum - Pasien terlihat lepek dan kusan karena belum di
di mandikan oleh keluarganya mandikan oleh keluarganya
- Terlihat keluarga pasien belum memastikan - Terlihat keluarga pasien belum memastikan hal-
hal- hal yang beresiko jatuh seperti bel belum hal yang beresiko jatuh seperti bel belum di
di dekatkan kepasien dan pengaman kasur dekatkan kepasien dan pengaman kasur tidak di
tidak di pasang pasang
- Pasien diberikan obat melalui IV ceftriaxone, - Pasien diberikan obat melalui IV ceftriaxone,
pantoprazole, citicolin dan oral cpg pantoprazole, citicolin, mecobalamine dan oral
A: cpg
- Masalah Belum Teratasi - Saat dilakukan latihan berbicara alfabet pasien
P: masih belum jelas menyebutkannya
- Lanjutkan pemberian intervensi dx 1,2,3,4 - Pasien bisa melakukan komunikasi menggunakan
kertas dan pulpen menggunakan tangan kananya
A:
- Masalah Belum Teratasi
P:
Lanjutkan pemberian intervensi
Andriani, D., Fitria Nigusyanti, A., Nalaratih, A., Yuliawati, D., Afifah, F.,
Fauzanillah, F., Amatilah, F., Supriadi, D., & Firmansyah, A. (2022).
Pengaruh Range of Motion (ROM) Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot
Pada Pasien Stroke. Indogenius, 1(1), 34–41.
https://doi.org/10.56359/igj.v1i1.59
Anggriani, A., Aini, N., & Sulaiman, S. (2020). Efektivitas Latihan Range of
Motion Pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit Siti Hajar. Journal of
Healthcare Technology and Medicine, 6(2), 678.
https://doi.org/10.33143/jhtm.v6i2.974
Anggriani, A., Zulkarnain, Z., Sulaiman, S., & Gunawan, R. (2018). PENGARUH
ROM (Range of Motion) TERHADAP KEKUATAN OTOT
EKSTREMITAS PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIC. Jurnal
Riset Hesti Medan Akper Kesdam I/BB Medan, 3(2), 64.
https://doi.org/10.34008/jurhesti.v3i2.46
Annisa Pratiwi, B., Diah Ananda Putri Atmaja, P., & Pratiwi, Q. (2022). Gut-
Brain Connection: Peran Mikrobiota Usus dalam Mencegah Stroke. Jurnal
Syntax Fusion, 2(01), 38–47. https://doi.org/10.54543/fusion.v2i01.143
Azzahra, V., & Ronoatmodjo, S. (2023). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stroke pada P
Dinas Kesehatan Kota Bandung. (2020). Profile Kesehatan Kota Bandung Tahun
2020. Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 5–24.
Eka Pratiwi Syahrim, W., Ulfah Azhar, M., & Risnah, R. (2019). Efektifitas
Latihan ROM Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke:
Study Systematic Review. Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia
(MPPKI), 2(3), 186–191. https://doi.org/10.56338/mppki.v2i3.805
Feigin, V. L., Brainin, M., Norrving, B., Martins, S., Sacco, R. L., Hacke, W.,
Fisher, M., Pandian, J., & Lindsay, P. (2022). World Stroke Organization
(WSO): Global Stroke Fact Sheet 2022. International Journal of Stroke,
17(1), 18–29. https://doi.org/10.1177/17474930211065917
Hosseini, Z. S., Peyrovi, H., & Gohari, M. (2019). The Effect of Early Passive
Range of Motion Exercise on Motor Function of People with Stroke: a
Randomized Controlled Trial. Journal of Caring Sciences, 8(1), 39–44.
https://doi.org/10.15171/jcs.2019.006
Hunaifi, I., Harahap, H. S., Sahidu, M. G., Suryani, D., Susilowati, N. N. A., &
Dewi, A. B. C. (2021). Pemeriksaan Stroke Riskometer Pada Populasi Risiko
Tinggi Dalam Rangka Hari Stroke Sedunia. Abdi Insani, 8(2), 193–197.
https://doi.org/10.29303/abdiinsani.v8i2.407
Kune, N., & Pakaya, N. (2023). Range Of Mottion (Rom) Terhadap Kekuatan
Otot Pada Pasien Stroke : Literature Review. Jambura Nursing Journal, 5(1),
51–67. https://doi.org/10.37311/jnj.v5i1.17896
Masliah, M., Muftadi, M., & Rahayu, A. N. (2022). Literature Review : Pengaruh
Range Of Motion (ROM) Terhadap Kekuatan Otot Pasien Stroke.
Malahayati Nursing Journal, 5(2), 414–419.
https://doi.org/10.33024/mnj.v5i2.5914
Merdiyanti, D., Ayubbana, S., & Sari HS, S. A. (2021). Penerapan Range of
Motion (Rom) Pasif Untuk Meningkatkan Kekuatan Otot Pasien Stroke Non
Hemoragik. Jurnal Cendikia Muda, 1, 98–102.
http://jurnal.akperdharmawacana.ac.id/index.php/JWC/article/viewFile/
187/98
Meutia, S., Utami, N., Rahmawati, S., & Himayani, R. (2021). Sistem Saraf Pusat
dan Perifer. Medical Profession Journal of Lampung, 11(2), 306–311.
Pratama, A. D., Pratama, A. D., Noviana, M., & Pahlawi, R. (2022). Jurnal
Fisioterapi Terapan Indonesia or Indonesian Journal of Applied
Physiotherapy Efektivitas Balance dan Core Exercise untuk meningkatkan
Keseimbangan Statis pada Kasus Stroke Hemiparese Sinistra Efektivitas
Balance dan Core Exercise untuk meningkatkan. 1(1).
Yoshimura, S., Sakai, N., Yamagami, H., Uchida, K., Beppu, M., Toyoda, K.,
Matsumaru, Y., Matsumoto, Y., Kimura, K., Takeuchi, M., Yazawa, Y.,
Kimura, N., Shigeta, K., Imamura, H., Suzuki, I., Enomoto, Y., Tokunaga,
S., Morita, K., Sakakibara, F., … Morimoto, T. (2022). Endovascular
Therapy for Acute Stroke with a Large Ischemic Region. New England
Journal of Medicine, 386(14), 1303–1313.
https://doi.org/10.1056/nejmoa2118191
Yusuf, F., Rahman, H., Rahmi, S., & Lismayani, A. (2023). Pemanfaatan Media
Sosial Sebagai Sarana Komunikasi, Informasi, Dan Dokumentasi:
Pendidikan Di Majelis Taklim Annur Sejahtera. JHP2M: Jurnal Hasil-Hasil
Pengabdian Dan Pemberdayaan Masyarakat, 2, 1–8.
https://journal.unm.ac.id/index.php/JHP2M