Anda di halaman 1dari 5

Menelaah Ragam Bentuk Redaksi Hadis Dalam Perspektif Kajian Ilmu

Ma’anil Hadis
Muhammad Rifqi Maulana Fahmi
rifqifahmimaulana@gmail.com
Dalam sejarahnya, kajian terhadap teks hadis merupakan kajian yang banyak sekali
melahirkan kajian-kajian baru. Meski pada awalnya kajian terhadap teks hadis hanya terbagi
menjadi dua, yaitu kajian yang mempelajari cara periwayatan hadis atau kajian riwayah hadis
dan kajian yang mempelajari kaidah-kaidah yang bisa menyebabkan suatu hadis diterima atau
ditolak atau kajian dirayah hadis.(Ajjaj Al Khatib, 1998) Namun pada perkembangannya, kedua
kajian hadis tersebut melahirkan banyak sekali cabang-cabang kajian ilmu hadis, salah satu dari
banyaknya cabang kajian tersebut adalah kajian ma’anil hadis. kajian ma’anil hadis adalah kajian
yang berfokus kepada penggalian teks hadis Nabi dan cara memahami ajaran yang terkandung
dalam teks hadis Nabi untuk dapat diamalkan dengan mempertimbangkan berbagai aspek
(Mustaqim, 2016). Oleh karenanya kajian ini juga sering disebut dengan kajian fahmil hadis atau
kajian fiqhul hadis.
Kajian ini bisa dikatakan kajian yang kontemporer klasik, dikatakan kontemporer karena
memang istilah kajian ma’anil hadis ini baru dipopulerkan pada abad ke-20, tepatnya dikenalkan
secara eksplisit oleh Prof. Syuhudi Ismail, seorang pakar ilmu hadis modern asal Indonesia,
dalam bukunya Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Ismail, 2009). Tapi pada praktiknya,
kajian yang membahas cara memahami teks hadis sudah ada sejak zaman tabi’ut tabi’in, bahkan
sudah ada sejak zaman sahabat. Meskipun dalam zaman sahabat, jika ada di antara mereka yang
tidak paham, maka mereka tinggal bertanya langsung kepada Rasulullah, namun setelah
Rasulullah wafat dan para sahabat telah wafat, maka para ahli ilmu memikirkan berbagai macam
metode supaya hadis-hadis Nabi ini tetap bisa terjaga dan menjadi salah dua sumber hukum
dalam Islam (setelah Al-Qur’an), mengingat pada masa-masa tersebut pemalsuan hadis marak
terjadi (Ismail, 2009). Sehingga pada masa tersebut munculah kajian-kajian yang membahas
ilmu secara spesifik, di antaranya adalah kajian asbabul wurud hadis yaitu kajian yang berfokus
kepada sebab mikro dan makro mengapa hadis tersebut ada dan kajian gharibul hadis yaitu
kajian yang berfokus kepada cara mengetahui lafaz-lafaz dalam hadis yang sulit dimengerti
(kedua kajian ini sering dikatakan sebagai embrio dasar terbentuknya kajian ma’anil hadis).
Salah satu persoalan yang dikaji dalam kajian ma’anil hadis adalah persoalan ragam
bentuk redaksi hadis. Walaupun persoalan mengenai ragam bentuk redaksi atau penyusunan kata
dalam hadis ini terkesan remeh, namun perkara ini merupakan hal yang penting dipelajari,
mengingat jika kita ingin memahami maksud dari suatu hadis Nabi, maka salah satu faktor yang
harus kita ketahui sebelumnya adalah bagaimana bentuk penyusunan kata yang digunakan oleh
Nabi dalam mengeluarkan hadis Nabi. Dalam bukunya Hadis Nabi Yang Tekstual Dan
Kontekstual, Dr. Syuhudi Ismail menyatakan jika dilihat dari isi hadis dan bentuk penyusunan
kata dalam hadis, maka hadis Nabi terbagi menjadi empat macam, yaitu qiyas, jawamil kalim,
tamsil, dan simbolis (Ismail, 2009). Sedangkan dalam buku Metodologi Pemahaman Hadis,
keempat macam bentuk redaksi hadis diatas dikotakkan menjadi dua bagian besar, bagian yang
pertama adalah dialog, bentuk yang masuk ke dalam bagian ini adalah qiyas, dan bagian yang
kedua adalah pengajaran, bentuk yang masuk ke dalam bagian ini adalah jawamil kalim, tamsil,
dan simbolis.(Maizuddin, 2008).
Bentuk redaksi hadis yang pertama adalah analogi atau qiyas. Apa itu qiyas? Qiyas
adalah mempersamakan sebagian dari dua hal yang berlainan, biasanya bentuk redaksi ini
digunakan oleh Nabi ketika sedang berdialog dengan para sahabat, dan juga (dikatakan oleh
Imam Suyuthi) Nabi menggunakan bentuk redaksi ini untuk mempermudah pemahaman sahabat
mengenai hal yang disampaikan oleh Nabi. Seperti contohnya dalam hadis berikut.

‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َر ِض َي ُهَّللا َع ْنُه َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َج اَءُه َأْع َر اِبٌّي َفَقاَل َيا َر ُسوَل‬
‫ِهَّللا ِإَّن اْمَر َأِتي َو َلَد ْت ُغ اَل ًم ا َأْس َو َد َفَقاَل َهْل َلَك ِم ْن ِإِبٍل َقاَل َنَعْم َقاَل َم ا َأْلَو اُنَها َقاَل ُح ْم ٌر َقاَل َهْل‬
‫ِفيَها ِم ْن َأْو َر َق َقاَل َنَعْم َقاَل َفَأَّنى َك اَن َذ ِلَك َقاَل ُأَر اُه ِع ْر ٌق َنَز َعُه َقاَل َفَلَع َّل اْبَنَك َهَذ ا َنَز َعُه ِع ْر ٌق‬
Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah Saw pernah kedatangan seorang arab badui
dan berujar: 'Wahai Rasulullah, istriku melahirkan bayi hitam.' Nabi bertanya: "Apakah kamu
punya unta?" 'ya' jawabnya. Nabi bertanya lagi: "Apa warnanya?" 'Merah' Jawabnya. Nabi
bertanya lagi: "apakah disana ada warna kecoklatan?" 'ya' jawabnya. Nabi bertanya lagi:
"darimana warna itu ada?" 'pendapat saya, warna itu diturunkan karena akar keturunan.' Nabi
bersabda: "warna anakmu bisa jadi juga karena akar keturunan." (Al-Bukhari, 2004).
Dalam hadis diatas disebutkan bahwa ada seorang sahabat yang meragukan bahwa bayinya
adalah keturunannya, hanya karena berkulit hitam. Maka Nabi kemudian menyindir sahabat
tersebut dengan menggunakan analogi anak unta dari si sahabat tersebut.
Bentuk redaksi berikutnya adalah jawami’ul kalim. Jawami’ul kalim sendiri merupakan
istilah yang dipopulerkan oleh Nabi sendiri dalam salah satu hadis. Menurut beberapa ulama
adalah bentuk redaksi hadis yang menggunakan ungkapan singkat dan kata yang sedikit, namun
memiliki makna yang luas dan jelas (Al-Asqolani, 2005). Dan bentuk redaksi ini merupakan
bentuk redaksi yang sering Nabi gunakan dalam menyampaikan hadis, terutama ketika beliau
sedang menyampaikan pengajaran kepada para sahabat. Salah satu contoh hadis yang
menggunakan jawami’ul kalim adalah hadis di bawah ini.

‫َع ْن اْبِن َعَّباٍس َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ُك ُّل ُم َخ ِّم ٍر َخ ْم ٌر َو ُك ُّل ُم ْس ِكٍر َحَر اٌم‬
Dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw, beliau bersabda: "Segala sesuatu yang memabukkan adalah
khamr, dan segala sesuatu yang memabukkan adalah haram. (As-Sijistan, 2010).
Aspek jawami atau jami’ dari hadis diatas adalah semua yang memabukkan adalah haram,
maka setiap makanan dan minuman yang memabukkan (secara umum) masuk dalam kategori
haram untuk dikonsumsi. Salah satu keistimewaan dalam redaksi jawami’ul kalim selain dari
kata yang ringkas dan padat, hadis yang menggunakan redaksi ini tidak terikat oleh zaman dan
ruang, sehingga bisa relevan digunakan kapan pun dan dimana pun.
Bentuk redaksi hadis yang ketiga adalah redaksi bahasa tamsil atau persamaan makna.
Nabi menggunakan redaksi ini biasanya agar sabda-sabda yang beliau ajarkan kepada para
sahabat bisa diterima dengan baik dan meninggalkan kesan yang kuat dan mendalam. Salah
satu contoh hadis yang menggunakan redaksi bahasa tamsil seperti dibawah ini.

‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َقاَل َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم الُّد ْنَيا ِس ْج ُن اْلُم ْؤ ِم ِن َو َج َّنُة اْلَك اِفِر‬
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Dunia
penjara orang mu`min dan surga orang kafir." (Hajjaj, 2010).
Maksud penjara dalam hadis ini, bukanlah benar-benar diartikan sebagai penjara, Nabi
menggunakan pengibaratan penjara dengan makna tidak bisa menikmati kenikmatan di dunia
secara maksimal. Karena pada hakikatnya, seorang mukmin, tidak bisa melakukan keinginan
sebebas-bebasnya karena sudah terikat oleh norma ajaran Islam, dengan larangan dan
kewajiban.
Dan bentuk redaksi hadis yang terakhir adalah bentuk redaksi bahasa simbolik atau
lambang. Nabi menggunakan redaksi ini dengan tujuan bisa dipahami benar oleh para sahabat.
Salah satu contoh penggunaan redaksi ini, seperti hadis dibawah ini.
‫َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َك اَن َم َع ِإْح َدى ِنَس اِئِه َفَم َّر ِبِه َر ُجٌل َفَدَعاُه َفَج اَء َفَقاَل َيا ُفاَل ُن َهِذِه‬
‫َز ْو َجِتي ُفاَل َنُة َفَقاَل َيا َر ُسوَل ِهَّللا َم ْن ُكْنُت َأُظُّن ِبِه َفَلْم َأُك ْن َأُظُّن ِبَك َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه‬
‫َو َس َّلَم ِإَّن الَّش ْيَطاَن َيْج ِر ي ِم ْن اِإْل ْنَس اِن َم ْج َر ى الَّد ِم‬
Pada suatu ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berdua dengan salah seorang
isteri beliau. Kemudian lewat di dekat beliau seorang laki-laki. Orang itu dipanggil oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia datang menemui beliau. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam berkata kepadanya: "Hai, Fulan! Ini isteriku, si Fulanah." orang itu menjawab: "Ya,
Rasulullah! Aku tidak menduga-duga dengan Anda." Beliau bersabda: "Sesungguhnya setan
berjalan dalam tubuh manusia melalui aliran darah." (Hajjaj, 2010).
Makna kata setan dalam hadis di atas adalah suatu simbol bagi sesuatu yang jahat,
keadaan yang sangat jauh dari kebaikan. Oleh karenanya, setan dapat berupa manusia maupun
jin. Pernyataan Nabi bahwa syaitan mengalir dalam darah manusia merupakan pernyataan
simbolik di mana godaan-godaannya dapat menimpa siapa saja, kapan dan dimana saja serta dari
segala arah. Ini berkaitan dengan sebab sabda ini diucapkan oleh Nabi (sabab al-wurud) di mana
Nabi berada di dalam masjid bersama salah seorang isterinya. Seseorang datang memasuki
masjid, lalu ia segera saja keluar karena melihat Rasul bersama seorang perempuan. Lalu Nabi
memanggil orang tersebut supaya tidak berperasangka jelek dan menjelaskan bahwa perempuan
tersebut adalah isterinya. Lalu kemudian Nabi mengucapkan sabda di atas.(Maizuddin, 2008)
Dari keempat ragam bentuk hadis yang telah disebutkan, bentuk tamsil dan simbolik
merupakan bentuk hadis yang seringkali disalahpahami oleh orang-orang ajam atau non Arab,
dikarenakan terkadang Nabi menggunakan perumpamaan atau simbol yang hanya diketahui oleh
orang Arab pada masa itu, sehingga terkadang sulit dipahami bagi orang modern terutama non
Arab. Sehingga dalam memahami bentuk tamsil dan simbolik, biasanya orang terdahulu
menggunakan kajian-kajian yang berkaitan dengan sebab dan tujuan munculnya hadis tersebut,
seperti asbabul wurud dan gharibul hadis. Barulah pada awal abad 20 muncul kajian yang secara
khusus membahas cara memahami suatu hadis dengan baik dan benar, dan kajian tersebut
dinamakan kajian ma’anil hadis. Wa Allahu A’lam Bil Showab.
Daftar Rujukan
Ajjaj Al Khatib (1998) Ushulul Hadis Ulumuhu wa musthalahuhu. 4th edn. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Asqolani, I. H. (2005) Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari. Beirut: Baitul Afkar Ad-Dauliyah.
Al-Bukhari, M. (2004) Jami’u Shahih Bukhari. Kairo: Darul Hadit.
As-Sijistan, A. D. (2010) Sunan Abi Dawud. Kairo: Darul Hadit.
Hajjaj, M. I. (2010) Jami’u Shahih Muslim. Beirut: Darul ’Alamiyyah.
Ismail, S. (2009) Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang.
Maizuddin (2008) Metodologi Pemahaman Hadis. Padang: Hayfa Press.
Mustaqim, A. (2016) Ilmu Ma`anil Hadîts: Paradigma Interkoneksi Berbagai Metode dan
Pendekatan dalam Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Idea Press.

Anda mungkin juga menyukai