Anda di halaman 1dari 2

Kelompok 6

Rosyid Hidayatul Fadilah : 21/477144/EK/23441


Arfhan Firdaus : 21/476627/EK/23418
Raihan Mufid Rufiano : 21/477191/EK/23445
Cindy Dwi Lestari : 21/475234/EK/23402
Azfa Fathurrahman : 21/474424/EK/23363
Menyikapi Kondisi Pandemi sebagai Pemilik Perusahaan
Pandemi Covid-19 yang muncul di Indonesia sejak awal tahun 2020 tidak hanya mendestruksi
aspek kehidupan saja melainkan pendapatan dari jutaan pekerja di Indonesia. Salah satunya
adalah Bapak Jumairi yang merupakan buruh pembuatan sepatu di Jakarta. Beliau tidak
mendapatkan jatah upah yang semestinya dan bahkan dipecat dari tempat ia bekerja.
Pemerintah memberikan bantuan dana kepada mereka yang terkena dampak Covid-19.
Wabah Covid-19 juga telah membuat beberapa bisnis harus tutup dan melakukan pemberhentian
karyawan karena adanya aturan menjaga jarak. Lebih dari 1,2 juta pekerja dari 74.439
perusahaan baik di sektor formal maupun informal telah diperintahkan untuk tinggal di rumah
atau telah diberhentikan sebagai akibat dari pandemi.
Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, memberikan alternatif pilihan untuk perusahaan
dalam menjaga produksinya. Dengan mengimbau seluruh pelaku industri untuk menjadikan PHK
sebagai pilihan terakhir di masa pandemi ini atau perusahaan dapat menurunkan gaji,
mengurangi hari dan jam kerja karyawan. Menurut Ida Fauziyah, “situasi dan kondisi memang
menantang. Namun dalam momentum inilah pemerintah, pelaku usaha dan pekerja bersama -
sama mencari solusi mitigasi dampak COVID-19”. Pilihan ini kami dasarkan juga berdasarkan
ketetnuan hukum mengenai PHK. Perlindungan hukum mengenai Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) secara sepihak telah diatur dalam Pasal 153 Undang-Undang Cipta Kerja, yang dimana
dalam pemutusan hubungan kerja pengusaha memiliki larangan untuk melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK). Kemudian, Peraturan mengenai Ketenagakerjaan telah diatur secara
khusus dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 pasal 77 sampai pasal 85. Dimana, Pasal 77
ayat 1, UU No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja.
Ketentuan jam kerja ini mengatur 2 sistem, yaitu:

1) 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja
dalam 1 minggu; atau
2) 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja
dalam 1 minggu.
Pada kedua sistem jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat
puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka
waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja atau buruh
berhak atas upah lembur.
Berikut adalah Upaya kami sebagai pemilik perusahaan untuk sebisa mungkin tidak
memecat karyawan walau kondisi sedang genting.
1. Penerapan shift bergantian
2. Pengurangan jam kerja
3. Penawaran paket “voluntary layoff”
Dampak dari upaya yang kami pilih adalah sebagai berikut:
1) Kuantitas produksi yang dihasilkan menurun karena jam kerja serta keoptimalan
bekerja berkurang
2) Penurunan pendapatan nominal konsumen dan perusahaan sebagai imbas dari
penurunan jumlah produksi
3) Kesejahteraan pekerja tidak benar-benar hilang walau saat kondisi sedang kritis
4) Perusahaan harus membuat rancangan baru karena berkaitan dengan penerapan
shift serta pengurangan jam kerja yang mana sebelumnya ini belum dilakukan
oleh perusahaan.
Menurut laporan ILO, Krisis COVID-19 menyebabkan hilangnya 6,7% jam kerja secara
global atau setara 195 juta pekerja full-time pada kuartal II 2020
Risiko kehilangan pekerjaan pada akhir tahun akan lebih tinggi daripada proyeksi awal ILO
yaitu 25 juta tergantung pada perkembangan dan kebijakan yang diambil.
Pemerintah telah mengumumkan rencana untuk membelanjakan Rp 405 triliun belanja
negara tambahan untuk mendanai perawatan kesehatan, belanja sosial dan program pemulihan
bisnis. Pakar hukum ketenagakerjaan Universitas Airlangga, M. Hadi Subhan, mengatakan
bahwa stimulus ekonomi saat ini dan kartu prakerja yang telah diluncurkan pada bulan lalu tidak
cukup untuk meredam guncangan jangka pendek di sektor tenaga kerja. Dia menyarankan
pemerintah untuk memberikan kompensasi tunai kepada pekerja yang mengalami kehilangan
pendapatan untuk menghindari kerusuhan sosial dalam jangka pendek. Di lain sisi, sembari
menunggu wabah Covid-19 berlalu, pemilik biro perjalanan, M. Sela Sulyadi, yang berdomisili
di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terpaksa merumahkan karyawannya sambil terus membantu
mereka membayar kebutuhan pokok mereka, seperti listrik, air, dan beras.

Anda mungkin juga menyukai