Anda di halaman 1dari 43

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Isu Psikososial Penyebab Distres Pada Kasus Kanker Serviks

Distres sebagai suatu pengalaman tidak menyenangkan yang


multifaktorial yaitu dari psikologis (yaitu, kognitif, perilaku, emosional),
sosial, spiritual dan/atau fisik yang dapat mengganggu kemampuan untuk
mengatasi kanker secara efektif, gejala fisiknya, dan pengobatannya. Distres
meluas sepanjang kontinum, mulai dari perasaan normal umum kerentanan,
kesedihan, dan ketakutan untuk masalah yang dapat membuat disabling,
seperti depresi, kecemasan, panik, isolasi sosial, dan krisis eksistensial-
spiritual (Riba et al., 2019). Semakin tinggi level trauma kehidupan seorang
individu berhubungan dengan peningkatan respon terhadap stres pada regio
Limbic-Medial Temporal Lobe (L-MTL) termasuk amigdala (peningkatan
aktivitas) yang memengaruhi aksis HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenal) dan
hipokampus (penurunan volum gray matter) (Daruna, 2004; Seo et al., 2019).
Banyak isu psikososial yang dapat terjadi pada pasien kanker
khususnya kanker serviks dan menjadi penyebab timbulnya distres, isu
psikologis yang paling sering diteliti sebagai risiko pada pasien kanker adalah
major life events/ stres, depresi dan suicide, serta kepribadian atau ciri
kepribadian (dapat dilihat pada gambar 2.1) (Holland et al., 2010). Pengkajian
masalah psikologis dan pemberian dukungan psikologis harus menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari paket perawatan bagi pasien kanker. Penyajiannya
bisa berupa denial, anger, ansietas, atau depresi. Semua profesional
kesehatan harus menyadari seberapa sering masalah psikologis terabaikan
dan semua pasien harus diberi waktu dan ruang untuk menyuarakan
kesusahan mereka (Cassidy, Bissett and Obe, 2002).
Isu sosial yang mungkin berdampak pada pasien kanker yaitu struktur
sosial yang merepresentasikan keberadaan anggota jejaring sosial, seperti

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

status perkawinan, network size, dan integrasi sosial. Salah satu jalur utama
di mana struktur sosial diharapkan dapat mempengaruhi kesehatan adalah
dengan menyediakan sebuah fungsi pendukung, seperti dukungan emosional
dan instrumental. Baik struktur sosial dan fungsi pendukung dapat
mempengaruhi kejadian dan kematian akibat kanker serta kelangsungan
hidup kanker melalui jalur kognitif, afektif, dan perilaku. Jalur kognitif
mencakup akses ke informasi yang datang langsung dari anggota jaringan
atau secara tidak langsung melalui koneksi sosial anggota jaringan. Manfaat
kognitif lainnya berasal dari sekedar menjadi bagian dari jaringan sosial atau
dari fungsi dukungan yang disediakan oleh anggota jaringan. Ini termasuk
perasaan positif tentang diri (yaitu, harga diri), keyakinan positif tentang masa
depan (yaitu, optimisme), dan keyakinan dalam kendali pribadi (Holland et
al., 2010; Peh, Kua and Mahendran, 2016).
Manfaat afektif termasuk peningkatan emosi positif dan pengurangan
emosi negatif yang berasal dari network, menjadi bagian dari keluarga, atau
dari dukungan yang diberikan oleh anggota jaringan. Manfaat perilaku
termasuk penurunan perilaku berisiko dan peningkatan perawatan kesehatan
preventif di antara orang sehat dan respons tepat waktu terhadap gejala dan
kepatuhan terhadap pengobatan di antara mereka yang menderita kanker.
Efek ini dapat tidak langsung karena orang-orang yang terlibat dalam jaringan
sosial lebih menjaga diri mereka sendiri karena anggota jaringan bergantung
padanya atau langsung karena anggota jaringan lebih cenderung mendesak
seseorang untuk mengurangi perilaku berisiko (misalnya, merokok),
meningkatkan perilaku promosi kesehatan (misalnya, pemeriksaan rutin), dan
mencari pengobatan untuk gejala. Manfaat kognitif, afektif, dan perilaku
(yang mungkin saling berhubungan) dari ikatan sosial dan dukungan sosial
dapat memengaruhi kejadian kanker, kematian, dan survival rate dengan
mengubah jalur biologis (Holland et al., 2010).
Demoralisasi, sebagai suatu sindrom yang ditandai dengan
ketidakberdayaan, keputusasaan, rasa gagal dan ketidakmampuan untuk
melakukan koping, telah terbukti terkait dengan tingkat kesedihan yang lebih
tinggi, lebih banyak gejala fisik, kesejahteraan yang lebih buruk, aktivitas
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

waktu luang yang lebih buruk, dan dukungan yang lebih rendah dari ikatan
interpersonal, tingkat kekhawatiran dan preokupasi yang lebih tinggi terkait
kanker (misalnya penyakit itu sendiri, efek pengobatan, perasaan berbeda dari
orang lain, dampak pada kehidupan seksual, masa depan) serta kehilangan
makna dan harapan, martabat yang buruk, rasa ketidakberdayaan pada
kehidupan sendiri dan di masa depan dan ide bunuh diri (Caruso and
Breitbart, 2020).
Dalam sebuah kasus klinis wanita hamil 20 minggu dengan kanker
serviks stadium II, untuk seorang wanita tanpa kehamilan jika dilakukan
histerektomi radikal atau radioterapi kemungkinan 5 tahun survival rate.
Kondisi seperti ini penjelasan dari dokter terutama bagian konseling
merupakan sebuah dilema dan juga dilema bagi pasien yang harus memilih
(membuat keputusan lanjutan) (Bowes Jr, 2007).

2. Tinjauan Biopsikososial Stres pada Kanker Serviks

a. Tinjauan Biologi

1. Jalur Pensinyalan Adrenergik Stres Terhadap Kanker Serviks

Jalur adrenergik (teraktivasi pada kondisi stres baik psikologis maupun


biologis) yang mana kanker juga merupakan bagian dari stres biologi sel yang
dapat memediasi sistem saraf simpatis yang mengiduksi respon stres fight or
flight. Fungsi tersebut melalui reseptor adrenergik dan neurotransmiter
epinefrin dan norepinefrin (Schuller and Al-Wadei, 2012). Reseptor yang
berhubungan adalah reseptor α-sadrenergik dan β-adrenergik (Daly and
McGrath, 2011). Interaksi antara katekolamin dengan reseptornya akan
mengaktivasi jalur transduksi sinyal multipel yang berhubungan dengan
survival dan apoptosis (Eng et al., 2014). Ikatan antara epinefrin dan
norepinefrin dengan reseptor β-adrenergik menghasilkan aktivasi dari protein
pengikat nukleotida guanin G yang mengakibatkan stimulasi dari adenyl
cyclase sintesis cAMP (Cyclic Adenosine Monophosphate) (Cole and Sood,
2012). cAMP berhubungan dengan regulasi proses seluler multipel melalui
Protein Kinase A (PKA) dan Exchange Protein Directly Activated by Cyclic
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

AMP (EPAC) yang merupakan dua sistem efektor utama (Schuller and Al-
Wadei, 2012; Nilsson, Le and Heymach, 2020) (Gambar 2.1).
PKA hasil aktivasi dari cAMP menghasilkan fosforilasi faktor
transkripsi (Schuller and Cole, 1989; Cole and Sood, 2012). PKA
berhubungan dengan regulasi berbagai proses seluler seperti pertumbuhan,
metabolisme, diferensiasi, morfologi, neurotransmisi dan transkripsi gen
(Schuller and Al-Wadei, 2012). Selain itu juga memfosforilasi reseptor kinase
β-arrestin (BARK), yang menghasilkan menghambatan dari β-arrestin dari
pensinyalan β-adrenergik dan stimulasi gen Src (Rocca et al., 1999). Gen Src
mengaktivasi Focal Adhesion Kinase (FAK) yang meningkatkan cytoskeletal
rearrangements dan motilitas sel (Cole and Sood, 2012). Cyclic AMP
(cAMP)-PKA teraktivasi oleh hormon stres yang juga menyebabkan
peningkatan proliferasi dan angiogenesis melalui jalur PI3K
(Phosphoinositide 3-kinase)/ AKT (serine/threonine-specific protein kinase)/
mTOR (mechanistic target of rapamycin)/ P70S6K (P70-S6 Kinase)/
HIF(hypoxia inducing growth factor)-1α. Pada sel kanker serviks, PKA
mengaktivasi defosforilasi Yes-Associated Protein (YAP) dimana translokasi
dari defosforilasi YAP kedalam nukleus menyebabkan inhibisi dari apoptosis
(Yang Li et al., 2020).
Efektor utama ke-2 adalah EPAC, yang mengaktivasi RAS (Rat
Sarcoma) mirip guanin trifosfat RAP (Ras-related protein) 1A, yang mana
menstimulasi protein B-RAF, MAP/ERK 1/2 (Mitogen-activated
protein/Extracellular signal-regulated kinases 1/2) dan ERK 1/2 yang
efeknya pada pertumbuhan sel dan proliferasi (Nilsson, Le and Heymach,
2020), sementara PKA secara predominan memberikan efek pada inflamasi,
angiogenesis dan invasi, EPAC menghasilkan perubahan pada morfologi dan
motilitas sel (Cole and Sood, 2012) (Gambar 2.1).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

Gambar 2.1. Mekanisme dan Jalur Pensinyalan Adrenergik Terhadap Kanker


(Adaptasi dari: Iftikhar et al., 2021)

2. Jalur Pensinyalan Reseptor Glukokortikoid Stres pada Kanker Serviks

Inflamasi diakui sebagai gambaran pokok dalam perkembangan dan


progresivitas kanker, terutama inflamasi kronik oleh Human Pappilomavirus
akan menyebabkan risiko kanker serviks. Kanker sendiri merupakan
penyebab stres biologi dari sel yang juga memengaruhi proses inflamasi vers
versa (Diakos et al., 2014).
Glukokortikoid banyak dihubungkan dengan proses stres di mana
kortisol dilepaskan dari korteks adrenal sebagai respon dari stres.
Glukokortikoid meningkatkan efek anti inflamasi (Mifsud and Reul, 2018).
Glukokortikoid memediasi aksinya melalui Reseptor Glukokortikoid (GR),
sebuah faktor transkripsi ligand-inducible (Petta et al., 2016; Mifsud and
Reul, 2018). Reseptor glukokortikoid merupakan hal yang fundamental pada
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

paparan stres (Scheschowitsch, Leite and Assreuy, 2017). Pada sebuah studi
pada kanker yang menunjukkan TGF-β (Transforming Growth Factor-Beta)
promoted ligand independent, p38 MAPK (Mitogen-Activated Protein
Kinases) yang menginduksi fosforilasi S134 GR (salah satu residu serin target
fosforilasi yang berhubungan dengan pensinyalan glukokortikoid) yang
menyebabkan migrasi dan invasi dari sel kanker (Perez Kerkvliet et al.,
2020).
3. Hormon Stres (Glukokortikoid dan Katekolamin) dan Efeknya pada Kanker
Serviks
Perkembangan kanker adalah proses multipel termasuk inisiasi, promosi dan
progresi, yang mana akibat dari mutasi onkogenik, sel yang normal menjadi
keganasan.

a. Pengaruh Hormon Stres pada Proliferasi Sel

Studi menunjukkan bahwa peningkatan kadar katekolamin dan


glukokortikoid karena respon terhadap stres, menghasilkan aktivitas pro-
tumourigenic (Lutgendorf et al., 2011; Xie et al., 2014). Banyak studi
yang telah mengobservasi pengaruh kortisol dalam proliferasi sel tumor
yang juga meningkatkan ERK1/2 fosforilasi (Extracellular Signal-
Regulated Protein Kinases 1 dan 2) dan ekspresi COX-2
(Cyclooxygenase-2), Cyclin D1, Cyclin E2, CDK 4 (Cyclin-Dependent
Kinase 4), CDK 6, VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) dan
reseptor VEGF di β-Adrenergik, klasik MAPK/ERK (Mitogen‑Activated
Protein Kinase/ Extracellular Signal-Regulated Kinase) dan dependensi
COX-2 (Liu et al., 2008).
Aktivasi dari GR (Reseptor Glukokortikoid) oleh deksametason
didapatkan menginduksi transkripsi dari SGK (Serum/ Glukocorticoid
Regulated Kinase 1). SGK berperan dalam proliferasi, migrasi dan
pertumbuhan serta survival sel kanker (melawan apoptosis) (Mikosz et
al., 2001).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

b. Pengaruh Hormon Stres pada Angiogenesis


Angiogenesis adalah karakteristik utama dari kanker dan memiliki
gambaran penting sebagai progresivitas kanker (Hanahan and Weinberg,
2011). Sebagai penginduksi angiogenesis termasuk VEGF yang
merupakan faktor modulasi terkait stres memengaruhi angiogenesis
tumor, pertumbuhan dan metastasis (Nelson et al., 2008; Chakroborty et
al., 2009; Lu et al., 2019; Iftikhar et al., 2021), angiopoietin,
Transforming Growth Factors (TGF), Platelet-Derived Growth Factors
(PDGF), Tumour Necrosis Factor-Alpha (TNF-α), interleukin dan
bagian dari keluarga Fibroblast Growth Factor (FGF), Insulin-like
Growth Factor (IGF) dan Hypoxia Inducing Growth Factor (HIF1)
(Sakurai and Kudo, 2011; Weis and Cheresh, 2011; Cole and Sood,
2012; Lobo et al., 2017) yang ditemukan meningkat pada keadaan stres
kronik (Wu et al., 2015). Epinefrin dan norepinefrin juga ditemukan
menaikkan regulasi dari ekspresi IL-6 dan VEGF (Yang et al., 2010; Xie
et al., 2015) selain itu juga mengaktivasi langsung STAT (Signal
Transducer and Activator of Transcription) yang merupakan faktor
transkripsi untuk memulai angiogenesis, survival sel, dan proliferasi
(Landen et al., 2007; Lobo et al., 2017).
Jalur pensinyalan glukokortikoid menunjukkan hubungan yang
kuat dengan tumor lethal. Selain itu juga berhubungan dengan
proliferasi, angiogenesis dan invasi perineural (Lu et al., 2016), kortisol
mengaktivasi GR dan menyebabkan rusaknya DNA dan peningkatan
RONS (Reactive Oxygen Nitrogen Species) serta peningkatan ekspresi
VEGF dan TWIST 1 (Twist Family BHLH Transcription Factor 1
(sebuah gen koding protein)) yang memicu angiogenesis dan
invasiveness (progresivitas kanker semakin kuat) (Flaherty et al., 2019).
c. Pengaruh Hormon Stres pada Invasi dan Migrasi Kanker
Metastasis adalah bagian vital dari progresivitas dan merupakan
penyebab kematian, dimana metastasis dan invasi terkait perubahan
biologi dari sel termasuk invasi lokal, intravasasi dari sel kanker ke
pembuluh darah serta limfatik, pindahnya sel kanker ke jaringan yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

jauh (ekstravasasi), formasi nodul kecil (metastasis mikro), dan


pertumbuhan tumor makroskopik (Hanahan and Weinberg, 2011).
Beberapa studi menggarisbawahi adanya akibat dari pensinyalan β-
adrenergik pada invasi dan metastasis (Armaiz-Pena et al., 2013; Le et
al., 2016). Norepinefrin didapatkan meningkatkan kemampuan invasif
dari sel dan juga menunjukkan adanya peningkatan regulasi dari gen pro-
metastase, LYPD3 (Gruet et al., 2020).
d. Pengaruh Hormon Stres pada Survival Sel Kanker
Sebuah studi mendapatkan bahwa perilaku stres dihubungkan
dengan tingginya level fosforilasi FAK (Focal Adhesion Kinase) Y397,
yang berhubungan dengan tingkat kematian yang tinggi. Mekanisme
anti-apoptosis lainnya yang berhubungan dengan epinefrin terkait cAMP
(Cyclic Adenosine Monophosphate)-dependent phosphorylation dan
inaktivasi dari protein pro-apoptosis BAD (Bcl-2-Associated Death
Promoter). Pada saat fosforilasi, BAD melepaskan Bcl-2 dan B-cell
lymphoma-extra-large (Bcl-xL), maka terjadi pencegahan proses
apoptosis (Sastry et al., 2007).
Studi lainnya menunjukkan hormon stres mencegah apoptosis
dengan dimediasi oleh ADRB (Beta Adrenergic Receptor)/ PKA (Protein
Kinase A)/ BAD jalur pensinyalan anti-apoptosis (Wu et al., 2015).
Norepinefrin menginduksi adrenegik beta/ PKA aktivasi dari YAP (Yes
Associated Protein)-1, regulasi dari jalur Hippo-YAP1 menghasilkan
resisten anoikis dan progresivitas tumor pada sel kanker serviks (Yang
Li et al., 2020).
Beberapa mekanisme telah diidentifikasi dari anti-apoptosis
glukokortikoid, yaitu salah satunya dengan jalur komponen reseptor
kematian sel seperti CD95-Ligand, TRAIL (TNF-Related Apoptosis-
Inducing Ligand), FADD (Fas-Associated Protein with Death Domain),
dan CASPASE-8 (Cysteine Protease / protein caspase) yang merupakan
lawan dari aksi pro-apoptosis, selain itu glukokortikoid juga
mengaktivasi jalur PI3K/ AKT yang menyebabkan inaktivasi dari
molekul pro-apoptosis (Herr, Büchler and Mattern, 2009). Pada studi lain
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

menunjukkan glukokortikoid meningkatkan ekspresi dari GR-dependen


TEA Domain Transcription Factor 4 (TEAD-4), yang mana tingginya
ekspresi TEAD-4 berkorelasi dengan survival sel kanker, metastasis dan
perburukan pasien kanker (He et al., 2019).
e. Pengaruh Hormon Stres pada Kerusakan DNA
Infeksi dan inflamasi (stres biologi) didapatkan sekitar 25%
sebagai faktor penyebab kanker, salah satunya infeksi HPV (Human
Papilloma Virus) sebagai risiko utama kanker serviks (Murata, 2018;
Ngune et al., 2020) di mana Reactive Oxygen/ Nitrogen Species (RONS)
yang dihasilkan oleh proses inflamasi tidak hanya menciderai
Deoxyribonucleic Acid (DNA) tetapi biomakromolekul seperti lipid dan
protein yang menyebabkan disfungsi dan akhirnya adalah progresivitas
kanker (Murata, 2018). Gangguan neuropsikiatri seperti depresi juga
berhubungan dengan perubahan oksidatif nukleotida, pemendekan
telomerase dan polimorfisme beberapa gen yang berhubungan dengan
metabolisme ROS, di mana stres oksidatif memengaruhi patofisiologi
depresi melalui aksi dari radikal bebas (superoksida dan radikal
hidroksil), molekul nonradikal (hidrogen peroksida) dan ROS yang
menjadi lingkaran setan dari proses inflamasi (peningkatan sitokin
proinflamasi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF)-α, Interferon (IFN)-γ
dan Interleukin (IL-1α, IL-1β, IL-4, IL-5, IL-6, IL-12)) serta C-Reactive
Protein (CRP) (Vaváková, ɰuračková and Trebatická, 2015) dan
hasilnya dapat memperburuk kondisi dari kanker (gambar 2.2) (Murata,
2018; Kruk et al., 2019).
f. Pengaruh Hormon Stres pada Imunitas
Aktivasi jalur neuroendokrin akibat dari stres kronik berdampak
pada sistem imun yang vital dalam menghadapi sel kanker (sel limfosit
B, limfosit T dan sel NK) yang meregulasi sistem imun secara tidak
langsung dengan mengeluarkan sitokin dan antibodi yang secara
langsung membunuh sel kanker (Yuen, Demissie and Pillai, 2016;
Colon-Echevarria et al., 2019). Diagnosis dan terapi dari kanker
merupakan sebuah stresor biologis yang mana akan memengaruhi aksis
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

psikoneuroimunologi melalui aktivasi SNS dan aksis hipotalamus-


pituitari-adrenal yang menghasilkan kortisol yang memengaruhi sel imun
(sel T helper tipe-2) yang menghasilkan IFN-γ (Interferon gamma) dan
IL-5 (Interleukin-5) yang akan menghilangkan respon anti tumor
(outcome klinis buruk). (Nelson et al., 2008; Chakroborty et al., 2009;
Lu et al., 2019; Iftikhar et al., 2021). Dalam kondisi stres dan inflamasi
didapatkan aktivitas enzim indoleamine 2,3-dioxygenase (IDO) yang
memecah triptofan menjadi katabolit nya (kynurenine, asam kynurenine,
atau asam xanthurenic) sehingga serotonin tidak terbentuk dan
berhubungan dengan beratnya gejala depresi (Vaváková, ɰuračková and
Trebatická, 2015).

b. Tinjauan Psikologi

Faktor psikologis yang paling sering diteliti sebagai risiko kanker adalah
major life events dan stres, depresi dan suicide, serta kepribadian atau ciri
kepribadian (Holland et al., 2010). Pengkajian masalah psikologis dan
pemberian dukungan psikologis harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari paket perawatan bagi pasien kanker. Penyajiannya bisa berupa denial,
anger, ansietas, atau depresi. Semua profesional kesehatan harus menyadari
seberapa sering masalah psikologis terabaikan dan semua pasien harus diberi
waktu dan ruang untuk menyuarakan kesusahan mereka (Cassidy, Bissett and
Obe, 2002).

1. Major Life Events dan Stres Pada Kanker Serviks

Faktor risiko untuk menimbulkan distres atau gangguan mental pada


pasien dengan kanker adalah nyeri, tingginya beban gejala, fatigue, gangguan
mental sebelumnya dan disabilitas yang bisa terjadi akibat dari kanker itu
sendiri maupun efek dari terapi yang dilakukan (kemoterapi maupun
radioterapi) (Andrijono et al., 2017). Pasien dengan distres psikologis berupa
gangguan terkait stres (reaksi stres, gangguan penyesuaian, depresi dan
cemas) dan stressful life events (kehilangan anggota keluarga karena
kematian, penyakit berat pada anggota keluarga, perceraian dan masalah
pekerjaan) dari satu tahun sebelum diagnosis kanker sampai selanjutnya akan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

meningkatkan risiko mortalitas (rasio hazard 1,33) dibandingkan dengan


pasien tanpa distres (Kruk et al., 2019; Lu et al., 2019).
Distres psikologis pada pasien dengan kanker serviks disebabkan oleh
lima faktor diantaranya masalah praktikal (masalah ekonomi, tidak ada waktu
untuk merawat anak/ orang tua, tidak ada waktu dan energi untuk melakukan
tugas rumah tangga, sekolah, transportasi), masalah emosional (khawatir,
cemas, depresi, sedih, takut, gangguan tidur, kesepian, penurunan memori),
masalah komunikasi (kebersamaan dengan orang tua, anak, kerabat, teman
dan pekerja medis), masalah fisik (makan, fatigue, dispepsia, mual, nyeri,
diare, hubungan seksual yang tidak nyaman, edema, dll.) serta masalah
spiritual dan religius (Cassidy, Bissett and Obe, 2002; Asyraf, 2015; Li et al.,
2017; Conway et al., 2020).
Menderita kanker saat sedang hamil merupakan faktor distres, di mana
pasien mengalami konflik pengambilan keputusan antara harus melakukan
terapi dan janin yang dikandung nya (terkait beberapa efek regimen
kemoterapi yang berisiko menyebabkan keguguran maupun persalinan
prematur) (Kozu, Masujima and Majima, 2020). Selain dari pada faktor-
faktor diatas, distres seksual pascaterapi (radioterapi maupun kemoterapi)
menunjukkan memiliki hubungan dengan tingginya tingkat gejala seksual
vaginal, kekhawatiran nyeri seksual, disatisfaksi hubungan dan kekhawatiran
citra tubuh (Bakker et al., 2017).
Pada manusia, stres psikologis memengaruhi proses utama dari
patogenesis kanker seperti perbaikan DNA, aging sel, perubahan di sistem
imun, dan apoptosis. Proses-proses biokimiawi termasuk aktivasi aksis HPA
(Hipotalamus-Pituitari-Adrenal) melalui jalur adrenokortikoid, disregulasi
sistem saraf simpatis (SNS), inflamasi dan penurunan imunitas seluler (jalur
indoleamine 2,3-dioxygenase (IDO) dan tryptophan 2,3-dioxygenase (TDO))
adalah menjadi landasan terjadinya progresivitas atau perburukan kanker
(kortisol berperan dalam pertumbuhan tumor dan metastasis). Pada stimulasi
SNS dikeluarkannya CATs (katekolamin) yaitu adrenalin dan noradrenalin
ke sistem darah yang dapat mempengaruhi perkembangan kanker, mengatur
beberapa jalur pensinyalan seluler melalui reseptor adrenergik (ADR) yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

ekspresinya ditemukan pada beberapa sel kanker (Tank and Wong, 2015).
ADR berperan sebagai peningkat proliferasi sel kanker dan modulator
interaksi sel kanker dengan lingkungan mikro mereka untuk mendorong
perkembangan tumor. Dalam kondisi stres yang parah, CAT mengaktifkan
reseptor β-adrenergik pada sel tumor dan meningkatkan ekspresi
metaloproteinase matriks (MMP) dan faktor pertumbuhan endotel vaskular
(VEGF) di jaringan adiposa, membentuk pembuluh darah baru/ angiogenesis
(Chakroborty et al., 2009; Iftikhar et al., 2021).
Bukti telah menunjukkan bahwa respon imun seluler selama
karsinogenesis kompleks dan multidirectional dengan aktivitas anti- atau
proinflamasi tergantung pada rangsangan lingkungan mikro spesifik jaringan.
Ada bukti kuat bahwa PS kronis bertindak untuk menekan aktivitas sel
natural killer (NK) dan kekuatan sistem kekebalan selama pertumbuhan,
perkembangan, dan metastasis kanker (Reiche et al., 2004; Moreno-Smith,
Lutgendorf and Sood, 2010; Mandal and Viswanathan, 2015). Disfungsi
imunitas yang menyertai stres psikologis (PS), yang disebabkan oleh
penurunan produksi antibodi, makrofag, monosit, dan sel T serta
penghambatan aktivitas sel NK memainkan peran kunci dalam
karsinogenesis (Soung and Kim, 2015).

2. Depresi dan Suicide Pada Kanker Serviks

Seorang wanita memiliki kecenderungan 50% lebih besar mengalami


depresi dibandingkan pria dalam masa hidupnya. Mayoritas wanita dengan
depresi datang ke dokter ginekologis dengan gejala fisik, dan hanya 11 %
yang datang dengan keluhan psikologis serta 30% dengan distres psikologis,
maka sering sekali depresi tidak menjadi skrining rutin yang menyebabkan
missed diagnose. Wanita dengan keganasan ginekologi memiliki distres yang
signifikan. Prevalensi depresi pada wanita dengan keganasan serviks sekitar
7% sampai dengan 50%. Depresi pada wanita dengan keganasan serviks
memiliki risiko untuk memiliki kualitas hidup yang rendah, malnutrisi dan
tingkat kekambuhan setelah operasi serta memiliki risiko untuk bunuh diri 1,4
hingga 10 kali lipat dibandingkan populasi umum (Asyraf, 2015; Kye and
Park, 2017; Zimbrean, Oldham and Lee, 2019).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

Gejala depresi dan dukungan sosial berpengaruh pada adanya ide


bunuh diri pada pasien dengan kanker ginekologi dan mekanisme koping
konfrontasi, avoidance dan acceptance-resignation berhubungan dengan
pencegahan ide bunuh diri (Tang et al., 2016).

IDO ↑

Triptofan → Asam Quinolinic

Gambar 2.2. Skema peran stres psikologis pada karsinogenesis dan aging
(sumber : Kruk et al., 2019)

3. Pengaruh Kepribadian atau Ciri Kepribadian Terhadap Progresivitas Kanker

Pada beberapa analisis studi didapatkan kepribadian neurotik dengan


kepuasan hidup tidak berhubungan dengan kejadian kanker namun ada juga
yang menemukan sebaliknya di mana dihubungkan bahwa kepribadian
anxious menjadi predisposisi atau memengaruhi mekanisme koping dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

respon terhadap stres (Lai, Tang and Chung, 2010; Dhabhar et al., 2012;
Asyraf, 2015). Di Jepang, “Ikigai” yang diartikan sebagai sesuatu untuk
dijalani, kegembiraan dan tujuan hidup untuk kebahagiaan dan manfaat dari
hidup berdampak pada rendahnya risiko kanker. Penelitian kohort Belanda
mendapatkan tidak adanya hubungan antara 10 ciri kepribadian dengan
kejadian kanker (Holland et al., 2010). Optimistik ditemukan menjadi faktor
yang penting dalam prediktor distres psikologis dari pasien kanker,
optimisme bisa membantu individu untuk lebih menyesuaikan diri dengan
peristiwa kehidupan negatif dan penyakit serius, termasuk kanker. Orang
optimis terutama menggunakan gaya koping adaptif dan positif untuk
menghadapi kanker, termasuk menerima kenyataan, menempatkan cahaya
positif, dan humor (Yang et al., 2014).

General self-efficacy, sebagai konstruksi turunan dari self-efficacy,


mengacu pada keyakinan kompetensi pribadi yang relatif stabil untuk
menangani secara efektif berbagai situasi stres. Berbeda dari definisi asli self-
efficacy yang dianggap sebagai situasi spesifik, self-efficacy umum terutama
mencerminkan keyakinan positif umum dalam kemampuan seseorang untuk
mencapai tujuan atau menghadapi tantangan di berbagai situasi. Self-efficacy
umum dianggap sebagai sumber psikologis penting yang telah diperiksa
dalam kaitannya dengan penyesuaian pasien terhadap kanker. Oleh karena
itu, konsep self-efficacy umum semakin banyak diterapkan dan dievaluasi
pada berbagai jenis pasien kanker (Yang et al., 2014).

Resiliensi psikologis dari seorang individu juga merupakan faktor


psikologis yang positif, di mana merupakan kemampuan seseorang dalam
kembali bangkit setelah adanya keterpurukan/ distres. Menurut beberapa
teori, resiliensi dikaitkan dengan hope, optimistik, dan meaning-making.
Resiliensi pada pasien kanker dikaitkan dengan peningkatan efektivitas
terapi, less fatigue, peningkatan kualitas hidup serta peningkatan survival dan
lebih rendah risiko untuk terjadi ansietas dan depresi (Asyraf, 2015).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

4. Mekanisme Faktor Psikologis Memengaruhi Kanker

Telah dihipotesiskan bahwa faktor psikologis (peristiwa atau stres besar


dalam hidup, depresi atau suasana hati depresi, dan kepribadian atau ciri-ciri
kepribadian) bertindak seperti stres melalui sumbu hipotalamus-hipofisis-
adrenal dalam sistem umpan balik yang kompleks antara pikiran, sistem
kekebalan, dan kadar kortisol aktual, yang berdampak buruk pada fungsi
kekebalan secara keseluruhan. Telah dihipotesiskan lebih lanjut bahwa sistem
kekebalan terlibat dalam menghilangkan/ melawan sel-sel yang bermutasi
(sel kanker), dan ada kemungkinan bahwa penurunan kekebalan dapat
menyebabkan perkembangan kanker yang lebih cepat/ progresif. Selain itu,
faktor pikiran juga dapat bertindak sebagai promotor perbaikan DNA yang
salah dan penghambat apoptosis dan perbaikan DNA. Sistem dan perubahan
fungsi ini disarankan untuk menjadi prekursor jenis kanker tertentu, seperti
kanker hormonal dan hematologis-limfatik (Holland et al., 2010).

c. Tinjauan Sosial

Struktur sosial merepresentasikan keberadaan anggota jejaring sosial, seperti


status perkawinan, network size, dan integrasi sosial. Salah satu jalur utama
di mana struktur sosial diharapkan dapat mempengaruhi kesehatan adalah
dengan menyediakan fungsi pendukung, seperti dukungan emosional dan
instrumental. Baik struktur sosial dan fungsi pendukung dapat mempengaruhi
kejadian dan kematian akibat kanker serta kelangsungan hidup kanker
melalui jalur kognitif, afektif, dan perilaku. Jalur kognitif mencakup akses ke
informasi yang datang langsung dari anggota jaringan atau secara tidak
langsung melalui koneksi sosial anggota jaringan. Manfaat kognitif lainnya
berasal dari sekedar menjadi bagian dari jaringan sosial atau dari fungsi
dukungan yang disediakan oleh anggota jaringan. Ini termasuk perasaan
positif tentang diri (yaitu, harga diri), keyakinan positif tentang masa depan
(yaitu, optimisme), dan keyakinan dalam kendali pribadi (Holland et al.,
2010; Peh, Kua and Mahendran, 2016). Manfaat afektif termasuk
peningkatan emosi positif dan pengurangan emosi negatif yang berasal dari
network, menjadi bagian dari keluarga, atau dari dukungan yang diberikan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

oleh anggota jaringan. Manfaat perilaku termasuk penurunan perilaku


berisiko dan peningkatan perawatan kesehatan preventif di antara orang sehat
dan respons tepat waktu terhadap gejala dan kepatuhan terhadap pengobatan
di antara mereka yang menderita kanker. Efek ini dapat tidak langsung karena
orang-orang yang terlibat dalam jaringan sosial lebih menjaga diri mereka
sendiri karena anggota jaringan bergantung padanya atau langsung karena
anggota jaringan lebih cenderung mendesak seseorang untuk mengurangi
perilaku berisiko (misalnya, merokok), meningkatkan perilaku promosi
kesehatan (misalnya, pemeriksaan rutin), dan mencari pengobatan untuk
gejala. Manfaat kognitif, afektif, dan perilaku (yang mungkin saling
berhubungan) dari ikatan sosial dan dukungan sosial dapat memengaruhi
kejadian kanker, kematian, dan kelangsungan hidup dengan mengubah jalur
biologis (Holland et al., 2010).

1. Pengaruh Struktur dan Faktor Dukungan Sosial Terhadap Kanker Serviks

Adanya hubungan antara status pernikahan dan integrasi sosial dengan


cancer survival, di mana orang yang bercerai memiliki risiko kematian lebih
besar dibandingkan yang masih dalam status pernikahan namun penemuan
ini terbatas pada kanker payudara, paru dan serviks. Penyebab yang paling
memungkinkan adalah dukungan sosial (Holland et al., 2010; Carneiro et al.,
2017). Perubahan pada status pekerjaan dan peran dalam keluarga yang
biasanya mendadak, berat dan signifikan juga bisa berdampak pada
psikologis dari pasien kanker (Asyraf, 2015).

Studi menunjukkan bahwa dukungan sosial terutama dari keluarga,


teman atau orang lain yang signifikan ternyata memberikan dampak positif
pada cancer survival (Holland et al., 2010; Banovcinova and Baskova, 2016).
Wanita dengan dukungan emosional dan ekspresi emosional yang rendah
memiliki risiko yang besar untuk angka survival yang jelek dibandingkan
yang memiliki dukungan emosional dan ekspresi emosional yang tinggi
namun ada beberapa studi juga gagal menemukan hubungan antara dukungan
fungsional terhadap survival rate dari kanker (Holland et al., 2010).
Komunikasi dari pasien kanker dan/ atau caregiver penting sekali
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

terutama diskusi mengenai prognosis (keinginan pasien dan/ atau keluarga


untuk mengetahui estimasi waktu bertahan hidup dari pasien dan apakah
penyakit kanker nya ini bisa disembuhkan) yang ternyata berbeda
communication needs nya antara manajer caregiver, caregiver karir,
caregiver partner dan lone caregiver (J. Li et al., 2020). Aspek lain dari relasi
sosial adalah keinginan untuk memiliki seorang anak, rencana dalam
berkeluarga bisa sangat rumit terutama pada pasien yang mendapatkan
kemoterapi, terapi anti hormonal, atau radioterapi maka dokter harus
menginformasikan kemungkinan terburuk dan alternatif lain yang ada karena
ini merupakan hal yang menyebabkan rasa kehilangan yang mendalam dan
berdampak pada psikososial pasien (Goerling and Mehnert, 2018). Pasien
dengan kanker serviks bisa berhubungan dengan label negatif dari masyarakat
sehingga dapat muncul rasa malu, menyalahkan diri dan ketakutan pada
ekslusi sosial (Yang et al., 2014).

2. Mekanisme Hubungan Antara Lingkungan Sosial terhadap Biologi Kanker

Penelitian banyak menunjukkan adanya pengaruh antara lingkungan


sosial terhadap kondisi kesehatan secara biologi pada kanker; adanya
dukungan sosial dikaitkan dengan rendahnya kortisol. Beberapa penelitian
mendapatkan bahwa network size berinteraksi dengan stresful life events
untuk memprediksi respon imun (semakin besar jaringan sosial berhubungan
dengan semakin baiknya respon imun) serta didapatkan pasien yang
mendapatkan dukungan sosial berhubungan dengan rendahnya IL-6 pada
kanker ginekologi (sitokin yang berhubungan dengan progresivitas kanker)
serta berhubungan dengan status fungsi dan klinis yang lebih baik.
Kemungkinan hal tersebut akibat pengaruh dukungan sosial pada aksis HPA
dan jalur simpatis (Lutgendorf et al., 2000; Holland et al., 2010). Efek
menguntungkan dari dukungan sosial yang tinggi juga didapatkan aktifitas
dari natural killer (NK), rendahnya IL-4 dan IL-13 dan perubahan pada
keseimbangan Th1/ Th2 (Osann et al., 2019).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

3. Pengaruh Gaya Hidup terhadap Perkembangan Kanker Serviks

Meskipun jelas bahwa wanita yang memiliki sistem kekebalan yang


terganggu karena sebab apa pun (misalnya genetik, iatrogenik, infeksius)
memiliki risiko lebih besar untuk mengembangkan infeksi HPV yang
persisten namun tidak ada cara untuk memprediksi wanita sehat mana yang
tidak dapat membersihkan virus secara spontan dari dirinya (Lobo et al.,
2017). Mayoritas faktor risiko yang terkait dengan kanker serviks adalah yang
terkait dengan penularan infeksi HPV dan termasuk aktivitas seksual dini
(sebelum 17 tahun), banyak pasangan seksual, riwayat infeksi menular
seksual, penggunaan kontrasepsi oral, dan riwayat displasia vulva atau
vagina, yang juga merupakan terkait dengan infeksi HPV (Cassidy, Bissett
and Obe, 2002; Lentz, Axtell and Vasilev, 2011; Lobo et al., 2017). Merokok
didapatkan berhubungan dengan perkembangan karsinoma sel skuamosa
serviks tapi tidak untuk adenokarsinoma (Lobo et al., 2017). Pada penelitian
case-control di Algeria didapatkan infeksi HPV multipel tidak menunjukkan
rasio odds yang lebih tinggi untuk kanker serviks dibandingkan infeksi
tunggal. Selain infeksi HPV, hubungan seksual di luar nikah suami dengan
perempuan lain (OR=4,8) atau prostitusi (OR=3,2), tinggal di lingkungan
pedesaan untuk sebagian besar hidup seseorang (OR=4,9) dan indikator
sanitasi yang buruk atau kebersihan yang buruk merupakan faktor risiko
terkuat untuk kanker serviks (Hammouda et al., 2005).

Sebuah studi di Korea Selatan menduga bahwa diet semi-Barat (asupan


roti, produk susu, telur, dan minuman ringan yang lebih tinggi dan rasio
asupan lemak yang relatif lebih tinggi) dan kombinasinya dengan mikroflora
yang dominan atopobium vaginae mungkin merupakan faktor risiko penting
untuk neoplasia serviks (mungkin dikarenakan kehilangan banyak
kemampuan untuk menunda atau memblokir perkembangan CIN (cervical
intraepithelial neoplasia), termasuk antioksidan, metilasi, dan respons imun).
Folat, vitamin B6 dan B12 penting karena berpengaruh dalam sintesis dan
perbaikan DNA serta metilasi DNA, yang berperan penting dalam integrasi
virus serta stabilitas gen (Seo et al., 2016). Hal serupa didapatkan pada studi
cross-sectional di Italia yang mendapatkan bahwa pola diet western lebih
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

berisiko untuk progresivitas dari infeksi persisten hrHPV (High-Risk Human


Papillomavirus) menjadi kanker serviks dibandingkan dengan pola diet
prudent (kaya akan buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian,
polong-polongan, produk susu rendah lemak, ikan, dan potongan daging
tanpa lemak) seperti Mediterranean-like (Barchitta et al., 2018).

Pada beberapa kasus kanker memiliki karakteristik glucose dependency


yang menuju pada stres oksidatif dan proliferasi seluler. Peran asupan
karbohidrat dalam perkembangan dan prognosis kanker baru-baru ini menjadi
bidang yang menarik karena munculnya kembali perhatian pada "efek
Warburg", pandangan bahwa sel kanker memetabolisme glukosa secara
eksklusif sebagai bahan bakar, menggunakan metabolisme glikolitik aerobik
(sel kanker secara kuat mengatur pengambilan glukosa dan glikolisis untuk
meningkatkan hasil metabolit glikolitik menengah dan produk akhir piruvat.
Selain itu, glikolisis terlepas / tidak melalui siklus asam trikarboksilat (TCA)
mitokondria dan fosforilasi oksidatif (OXPHOS) dalam sel. Akibatnya,
sebagian besar piruvat yang diturunkan dari glikolisis dialihkan ke fermentasi
laktat dan dijauhkan dari metabolisme oksidatif mitokondria (Lu, Tan and
Cai, 2015; Sarnyai, Kraeuter and Palmer, 2019) (gambar 2.3). Sel kanker
membutuhkan glukosa dalam jumlah tinggi untuk bisa melakukan proses
mitosis dan proliferasi lanjutan (yang mungkin disebabkan karena kerusakan
mitokondria sel) sehingga sel kanker bergantung pada glikolisis untuk
produksi energi (Arthur et al., 2018).

Studi preklinik menunjukkan kombinasi diet ketogenik/ restriksi


glukosa dengan N-Acetylcysteine secara signifikan menurunkan
pertumbuhan tumor secara in vivo dan in vitro (Aggarwal et al., 2020), dan
secara tunggal diet ketogenik/ restriksi kalori menurunkan pertumbuhan
kanker dan meningkatkan survival pada model xenograft (Morscher et al.,
2015).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

Gambar 2.3. Representasi skematis metabolisme glukosa dan produksi energi


dalam sel (Sumber: Sarnyai et al., 2019)

Aspek lain dari gaya hidup yang berpengaruh pada proses terkait kanker
adalah proses tidur selain dari durasi adalah kualitas tidur yang mungkin lebih
mewakili gangguan sirkadian, yang secara efektif menurunkan sirkulasi
melatonin. Melatonin dikenal sebagai sesuatu yang penting dalam regulasi
sirkadian, dan memiliki efek anti-inflamasi dan modulasi imunitas. Gen yang
terlibat dalam ritme sirkadian terlibat dengan perbaikan DNA, karena protein
yang terkait dengan jam biologis dikaitkan dengan check point kerusakan
DNA (Soucise et al., 2017). Melatonin telah ditemukan untuk menekan fase
inisiasi tumorigenesis dan menghambat proliferasi sel kanker manusia dalam
studi eksperimental yang mana gangguan fisiologi sirkadian karena
penurunan durasi tidur annual atau gangguan tidur dapat menyebabkan
gangguan pada metabolisme glukosa, penurunan kontrol nafsu makan (Chen
et al., 2018) yang akan memperberat progresivitas kanker.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

4. Pengaruh Stigma terhadap Progresivitas Kanker Serviks


Stigma tampaknya memengaruhi tekanan emosional dan kesejahteraan
serta perilaku penderita kanker (Lebel et al., 2016; Medine et al., 2020), tetapi
perbedaan lintas budaya telah diabaikan. Studi sebelumnya menunjukkan
bahwa stigma mungkin sangat relevan untuk orang yang survive dari kawasan
Asia. Banyak orang dari budaya Asia terus percaya bahwa kanker itu
menular, fatal, tidak dapat disembuhkan, bahwa ia memiliki dasar moral, hasil
dari 'karma' yang buruk, atau merupakan hukuman Tuhan atas kesalahan yang
dilakukan sebelumnya (Lebel et al., 2016). Pasien kanker yang memiliki
tingkat stigma yang tinggi memiliki keparahan gejala yang lebih tinggi secara
signifikan pada perasaan distres, masalah dalam mengingat sesuatu, dan
perasaan sedih, dan gangguan gejala yang lebih besar terkait dengan mood,
hubungan dengan orang lain, dan kenikmatan hidup (Johnson et al., 2019;
Zhang et al., 2020), yang mana harapan dan dukungan sosial yang dirasakan
secara positif berhubungan dengan kualitas hidup yang baik (Zhang et al.,
2020).
Stigma terkait kanker berhubungan dengan rendahnya self-esteem,
ansietas, depresi, rendahnya kepatuhan berobat, penundaan pencarian
bantuan medis, isolasi sosial, terbatasnya ruang kehidupan, permasalahan
dengan pekerjaan, eksklusi sosial, rendahnya dukungan sosial dan rendahnya
kualitas hidup (Medine et al., 2020) yang ditunjukkan pada gambar 2.4.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

Gambar 2.4. Kerangka konseptual stigma kanker (Sumber: Medine et al., 2020)

3. Psiko-onkologi Sebagai Sebuah Landasan Terapi Pada Kasus Kanker

Psiko-onkologi merupakan subspesialisasi dalam pengembangan yang


umumnya berfokus pada aspek psikologis, sosial, perilaku, dan psikiatri-
onkologi (Watson and Dunn, 2016). Pondasi dari dukungan dan esensi psiko-
onkologi pada sejumlah kasus pasien dengan penyakit terminal atau berat dan
keluarga nya adalah hubungan yang saling percaya dan berkelanjutan.
Pentingnya hubungan dalam situasi paliatif tidak boleh dianggap hal yang
sepele karena kebanyakan pasien mengalami sense of loss of control dan
kerentanan (Goerling and Mehnert, 2018).
Ada beberapa target dari intervensi psiko-onkologi yang dilakukan,
yaitu: 1) Peningkatan kondisi kesehatan umum (gaya hidup, nutrisi, aktivitas
fisik, manajemen stres (gambar 2.1)); 2) Mengoptimalisasi terapi (kepatuhan
berobat, keputusan terapi, penggunaan painkillers, penggunaan alternative
medicine); 3) Gejala fisik (nyeri, fatigue, seksualitas, insomnia, gangguan
kognitif); 4) Masalah emosi (komorbiditas psikiatri, ketakutan akan
progresivitas, dan kondisi psikologis lainnya); 5) Pendampingan terhadap
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

masalah praktikal atau sosial (kembali bekerja, masalah keuangan,


pengurusan anak, rumah tangga dan lainnya); 6) Masalah keluarga/ dukungan
caregiver; 7) Aspek spiritual (religious concerns, meaning/personal growth,
kematian/ berkabung) (Lang-rollin and Berberich, 2018).
Pendekatan terhadap caregiver juga penting dilakukan, beberapa
intervensi untuk mendukung caregiver pasien kanker memberikan dampak
positif seperti intervensi psikoterapi integratif yang goal-oriented, terstruktur
dan berbatas waktu (penting untuk mengurangi distres pada caregiver yang
merawat pasien dengan angka harapan hidup kecil hingga melewati periode
berkabung) (Goerling and Mehnert, 2018).

Gambar 2.5. Ilustasi dampak stres psikososial dan manajemen stres pada respons
imun yang relevan dengan kanker (Antoni and Dhabhar, 2019).

Model pada gambar 2.1 merangkum dampak potensial dari stres kronis
(masalah atau isu psikososial kronis, depresi, afek negatif, kecemasan, dan
loneliness/ isolasi sosial) pada proses neuroendokrin (sistem saraf simpatis
[SNS] dan aktivasi aksis hipotalamus-pituitari adrenal [HPA]), yang terkait
dengan aktivitas sistem imun yang berubah (penurunan imunoproteksi,
peningkatan imunosupresi, dan peningkatan inflamasi kronis), yang pada
akhirnya dapat mempercepat progresivitas kanker dan metastasis serta
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

berdampak pada penurunan kualitas hidup dan survival rate. Model ini juga
merangkum sumber daya manajemen stres (dukungan sosial), keterampilan
(koping adaptif dan reappraisal kognitif, relaksasi, meditasi kesadaran,
latihan fisik), dan intervensi farmakologis (blokade β-adrenergik dan
inhinitor cyclooxygenase-2 [COX2]), yang dapat berfungsi untuk mengurangi
masalah psikososial kronis dan/atau memodulasi neuroendokrin dan/atau
proses sistem kekebalan yang dapat berkontribusi pada hasil kesehatan yang
positif (penurunan perkembangan kanker dan metastasis serta peningkatan
kualitas hidup dan survival) (Antoni and Dhabhar, 2019).

4. Psikoterapi Integratif

Dalam buku Integrative and Eclectic Counselling Psychotherapy


dikatakan bahwa sebuah psikoterapi integratif menunjukkan unsur-unsur
yang diambil merupakan satu bagian dari gabungan pendekatan teori dan
praktik, sedangkan eklektik hanya menarik sebagian dari beberapa
pendekatan psikoterapi untuk menangani kasus tertentu (Woolfe and Palmer
2000). Terapis eklektik tidak terikat pada teori, dogma, konvensi ataupun
metodologi dari satu sekolah psikoterapi tertentu, mereka menggunakan apa
yang mereka yakini atau rasakan atau pengalaman yang mereka dapatkan
efektif secara umum maupun kebutuhan pasien / klien (Nocross and
Goldfried, 2005).

Psikoterapi integratif adalah integrasi antara unsur-unsur dari berbagai


aliran psikoterapi dalam tatalaksana pasien / klien. Psikoterapi integratif juga
dapat merujuk pada proses psikoterapi mengintegrasikan kepribadian:
menyatukan "sistem afektif, kognitif, perilaku, dan fisiologis dalam diri
seseorang" (Beutler, Consoli and Lane, 2005). Psikoterapi integratif
memanfaatkan banyak perspektif tentang fungsi manusia, tetapi selalu dari
sudut pandang bahwa hubungan klien dengan terapis sangat penting (Erskine
and Trautmann, 1996). Psikoterapi integratif menghargai penelitian dan bukti
yang mendukung penggunaan modalitas khusus untuk masalah dan pasien.
Ini mengintegrasikan layanan berbasis bukti yang menguntungkan untuk
memenuhi kebutuhan pasien tertentu (Zarbo et al., 2016).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

Ada 4 rute umum dalam metode integrasi: common factors,


eklektisisme teknikal, integrasi teoretikal dan integrasi asimilatif (Zarbo et
al., 2016; Nocross and Goldfried, 2005).
a. Pendekatan common factors
Common factors berarti menemukan suatu bahan utama yang sama-sama
dimiliki oleh berbagai jenis terapi yang berbeda (berfokus pada praktik
terapetik efektif yang umum untuk semua pendekatan psikoterapi) (Zarbo et
al., 2016). Kelebihan nya adalah penekanan terapi ada pada tindakan
terapeutik yang terbukti efektif, sedangkan kerugiannya adalah mengabaikan
teknik-teknik khusus yang dikembangkan dalam teori-teori tertentu
(Wampold and Imel, 2015).
b. Eklektisisme Teknikal (Psikoterapi Eklektik)
Psikoterapi eklektik ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan terapis
memilih terapi terbaik bagi pasien / klien dipandu oleh data tentang apa yang
paling berhasil bagi orang lain di masa lalu (Nocross and Goldfried, 2005).
Keuntungannya adalah mendukung penggunaan strategi terapi yang beragam
tanpa terhalang oleh perbedaan teoritis, namun kerugiannya adalah mungkin
tidak ada kerangka konseptual yang jelas yang dapat menjelaskan bagaimana
teknik dari suatu teori yang berbeda bisa cocok dilakukan bersama. Teknis
eklektik pertama kali dikenalkan oleh Arnold Lazarus (Beutler, Consoli, and
Lane, 2005).
c. Integrasi Teoritis
Integrasi teoritis merupakan gabungan / integrasi antara 2 atau lebih terapi
dengan harapan hasilnya akan lebih baik daripada terapi konstituen saja
(Nocross and Goldfried, 2005). Beberapa model integrasi teoritis berfokus
pada penggabungan dan sintesis sejumlah kecil teori pada tingkatan yang
dalam sedangkan yang lain menggambarkan hubungan beberapa sistem
psikoterapi (Prochaska and DiClemente, 2005). Integrasi teoritis ini
melampaui model psikoterapi yang beragam dengan menciptakan pendekatan
tunggal tetapi berbeda (Zarbo et al., 2016).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

d. Integrasi Asimilatif
Integrasi asimilatif ini mengenai sebagian besar psikoterapis memilih
orientasi teoritis yang berfungsi sebagai landasantetapi, dengan pengalaman,
menggabungkan ide dan strategi dari sumber lain kedalam praktik nya. Model
integrasi ini mendukung landasan kuat dalam salah satu sistem psikoterapi
(bekerja dengan satu model psikoterapi utama), tetapi dengan kesediaan
untuk menggabungkan atau mengasimilasikan nya dengan psikoterapi lain,
dengan cara yang dipertimbangkan, perspektif atau praktik dari psikoterapi
lainnya (Zarbo et al., 2016; Messer, 1992).

5. Psikoterapi sebagai Intervensi Psiko-onkologi Pasien Kanker Serviks

a. Psikoedukasi

1. Konsep Utama Psikoedukasi

Psikoedukasi disini menekankan pada komunikasi dan materi edukasi


(diagnosis hingga pemilihan terapi pasien), dimana hasil nya adalah
peningkatan kepuasan pasien dan komunikasi yang berimplikasi dalam
pengambilan keputusan oleh pasien dan caregiver serta edukasi mengenai
efek gejala yang muncul seperti nyeri juga didapatkan pengurangan derajat
nyeri (Teo, Krishnan and Lee, 2019). Berdasarkan data yang ada bahwa terapi
psikologis diberikan sesuai dengan tahapan proses dari kanker dimana pada
fase inisial (diagnosis dan terapi primer kanker) kerentanan berhubungan
dengan peningkatan awareness dan regulasi emosi, terapi psikoedukasi dan
manajemen stres yang berfokus pada pemahaman dan pengurangan ancaman
dari stresor inisial (tindakan bedah, kemoterapi dan radioterapi) mungkin
cocok diberikan (pasien masih berada dalam tahap asimilasi) (Arnedo et al.,
2019).

2. Efek Psikoedukasi terhadap Kognitif, Afektif, dan Psikomotor Pasien Kanker


Serviks.
Intervensi psikoedukasi yang memberikan edukasi mengenai
manajemen gejala juga dapat efektif ketika diberikan secara online/
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

menggunakan internet (Riba et al., 2019; Wang et al., 2020). Psikoedukasi


berbasis konsultasi sesi tunggal dapat diberikan selama 30 menit yang berisi
tentang informasi tentang situasi rawat inap, pertanyaan mengenai
komunikasi antara pasien dengan keluarga atau teman serta pertanyaan terkait
perspektif masa depan (Goerling et al., 2014) yang memengaruhi kognitif
(reappraisal kognitif) sehingga pasien dapat mengerti tentang penyakitnya
secara jelas serta berpengaruh kepada suasana perasaan/ afektif pasien (Chow
et al., 2016). Penelitian intervensi psikoedukasi terhadap pasien dengan
kanker ginekologis juga menunjukkan penurunan pada ambiguitas,
inkonsisten dan ketidakpastian terhadap penyakit yang menimbulkan distres
(4 sesi terapi selama 12 minggu) (Chow et al., 2019). Selain itu inkorporasi
psikoedukasi dengan perubahan perilaku seperti aktivitas fisik dan diet pada
pasien dilakukan sehingga perilaku sakit tersebut (akibat depresi dan fatigue)
pada pasien kanker dapat diperbaiki (peningkatan kualitas hidup) (Wang et
al., 2020).
Dalam psikoedukasi terkandung makna reframing ekspektasi dari
pasien yang dapat memengaruhi tubuh pasien (dalam menghadapi stres)
dimana reframing ekspektasi (belief pasien terhadap tindakan/ terapi yang
diberikan) ini memberikan efek positif pada pasien yang dapat dilihat dalam
penurunan inflamasi. Dicontohkan oleh Klopfer tahun 1957 dimana ada
seorang laki-laki dengan kanker dan masif kemudian diberikan psikoedukasi
untuk mau diberikan terapi krebiozen (karena atensi media yang
memberitakan efek keajaiban dari obat maka pasien berespon terhadap terapi
hingga kanker tidak terdeteksi) namun ketika media memberitakan negatif
obat tersebut kondisi pasien mengalami penurunan dan tumor masif kembali
muncul hingga pasien meninggal (Daruna, 2004).

b. Psikoterapi Suportif
1. Psikoterapi Suportif sebagai Mediator Distres Pasien Kanker Serviks
Psikoterapi suportif dapat didefinisikan sebagai terapi diadik yang
menggunakan tindakan langsung untuk memperbaiki gejala dan untuk
mempertahankan, memulihkan, atau meningkatkan self-esteem, fungsi ego,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

dan keterampilan adaptif yang tidak memerlukan latihan dan ketrampilan


khusus selain kemampuan interpersonal dan kapasitas untuk empati (Odejayi
and Flynn, 2017), ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasien yang berubah
secara fleksibel banyak digunakan dan menunjukkan hasil positif dari
perbaikan suasana perasaan (mood) dan mengontrol nyeri pasien kanker yang
metastase (Riba et al., 2019). Psikoterapi suportif disini sebagai mediator
tingkat distres pasien dengan meningkatkan dukungan sosial, menerapkan
strategi koping yang positif, dan mengurangi isolasi sosial (Colwell and
Fiore, 2020).
Untuk mempertahankan sebuah gaya pembicaraan suportif seorang
terapis harus bersikap responsif (menanggapi setiap apa yang diberikan
pasien baik secara verbal maupun nonverbal), serta dalam psikoterapi suportif
ini aliansi yang baik antara pasien dan terapis sangat dibutuhkan. Kadang-
kadang teknik CBT digunakan secara informal di psikoterapi suportif,
beberapa teknik psikoterapi suportif (dilihat pada tabel 2.1) (Winston,
Rosenthal and Weiss, 2020).

Tabel 2.1 Teknik psikoterapi suportif


Membangun aliansi
Ekspresi ketertarikan
Ekspresi empati
Ekspresi pengertian
Mempertahankan komentar
Pengungkapan diri
Memperbaiki ketidaksesuaian
Membangun Kepercayaan Diri / self-esteem
Praise (memuji) – Ketika ada pencapaian dari pasien (meningkatkan adaptive effort)
Reassurance (penjaminan kembali) – Mengerti situasi unik yang sedang dihadapi
Normalisasi
Universalisasi
Encouragement (dorongan) – Dukungan terhadap hal-hal positif
Nasihat
Membangun keterampilan – perilaku adaptif
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

Memberi saran (suggestion / advice) – tidak pada area dimana pasien menentukan pilihan sendiri
Pengajaran (teaching) – pada area dimana terapis adalah ahli dibidangnya (berkompeten)
Pemodelan perilaku adaptif
Bimbingan antisipatif (guidance) - mengantisipasi hambatan potensial dan menyiapkan strategi
Mempromosikan otonomi
Meningkatkan fungsi ego
Menurunkan dan mencegah ansietas
Gaya percakapan suportif (conversational)
Sharing the agenda
“Padding” verbal
Menyebutkan masalah
Normalisasi
Rasionalisasi
Membingkai ulang (reframing)
Minimalisasi
Modulasi afek
Pertahanan pendukung (supporting defences)
Limit-setting
Memperluas awareness
Klarifikasi - meringkas, memparafrasekan, atau mengorganisasikan
Konfrontasi – bukan secara hostility atau agresi
Interpretasi – penjelasan mengenai makna dari pikiran dan perbuatan pasien
Sumber: Adaptasi dari Winston, Rosenthal and Weiss, 2020

c. Terapi Relaksasi Guided Imagery dan Musik sebagai Mediator Distres Pasien
Kanker Serviks
Pada seseorang individu, yang memengaruhi kondisi psikologisnya
terhadap kondisi distres adalah Locus of Control (LOC) yang
mendeskripsikan persepsi seseorang terhadap apa atau siapa yang
memengaruhi kesehatan individu serta Sense of Coherence (SOC) dimana
merefleksikan seseorang dalam melihat dunia ini bisa di manage, meaningful
dan comprehensible serta dapat memobilisasi sumber internal maupun
eksternal untuk membentuk sebuah koping (Burns et al., 2018).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

Terapi relaksasi merupakan pendekatan teknik noninvasif yang paling


efektif untuk pasien kanker dalam CAM (Complementary and Alternative
Medicine) dan implementasinya tidak memerlukan teknologi dan peralatan
spesifik, termasuk ruang dan waktu (Harorani et al., 2019). Contoh relaksasi
seperti musik, guided imagery, massage (pemijatan), meditasi dan yoga yang
diberikan selama 20-30 menit dan sebanyak dua hingga empat sesi terapi
didapatkan efek positif pada perbaikan kualitas hidup, penurunan nyeri dan
kecemasan, serta peningkatan rasa relaksasi pada individu (Carlson et al.,
2017; Riba et al., 2019; Teo, Krishnan and Lee, 2019), dimana didapatkan
bukti adanya penurunan kortisol pada pasien yang diberikan terapi yoga
(Carlson et al., 2017).
Kebanyakan dari sugesti dalam konteks terapi seperti relaksasi,
calmness, dan imajinasi (imagery) sangat mudah dan tidak memerlukan
tingkat sugestibilitas hipnotik yang tinggi (Terhune et al., 2017). Terapi
musik (genre yang disenangi pasien) serta kombinasi musik dan imagery
(guided imagery) dapat bermanfaat pada pasien untuk memunculkan
perasaan nyaman dan range emosi (antara positif dan distressfull) yang
sempit dari proses sensoris khususnya pendengaran (Burns et al., 2018;
Yanfei Li et al., 2020). Guided imagery mengacu pada "membimbing"
imajinasi (berorientasi visual-sensorik) individu terhadap tempat (lingkungan
atau situasional) yang membantu individu merasa tenang, aman, bahagia,
puas, dan santai dengan membangkitkan satu atau lebih indera untuk
mengakses dimensi fisik, emosional dan spiritual untuk memengaruhi
perubahan tubuh (Carlson et al., 2017). Terapi berdasarkan musik ataupun
suara melalui stimulasi vibroakustik dapat menurunkan aktivitas aksis HPA
dilihat dari adanya penurunan kortisol plasma serta menurunkan aktivitas
sistem saraf simpatis sehingga didapatkan status relaksasi (stabilnya denyut
jantung) (Sandler et al., 2017).
Dasar dari perubahan yang diberikan baik pada terapi relaksasi adalah
restorasi energi tubuh serta pengurangan autonomic arousal (SNS) serta
pengaruh terhadap aspek emosional dari pasien, serta dalam perbaikan gaya
koping yaitu problem-focused coping (dukungan instrumental, koping aktif,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

planning) yang digunakan pasien dalam mengubah atau modifikasi penyebab


fundamental dari stres serta emotion-focused coping (acceptance, reframing
positif, dan penggunaan dukungan emosional) yang membantu pasien
mengontrol emosi (Gok et al., 2019). Relaksasi juga menunjukkan efek
positif dalam perbaikan self-esteem pasien dengan kanker (Harorani et al.,
2019).
Terapi relaksasi integratif guided imagery (guided imagery dan musik)
didapatkan dapat meningkatkan produksi beta endorfin di hipofisis anterior
(McKinney and Honig, 2017; Qiu et al., 2017; Gagrani et al., 2018; Gautam
et al., 2020), dimana akan menginhibisi stres psikologis kronik (dengan
berikatan dengan reseptor opioid miu di sistem saraf pusat mengakibatkan
aktivasi neurotransmiter inhibitori GABA dan memproduksi dopamin yang
berhubungan dengan aktivitas analgesik dan stress buster) yang di mediasi
oleh inhibisi aksis HPA melalui sistem saraf autonom serta mengaktivasi
sitokin anti inflamasi (IL-18, IL-10 dan IFN-gama) (Shrihari, 2019; Pilozzi,
Carro and Huang, 2021) yang dapat membantu dalam penurunan
progresivitas kanker (Shrihari, 2019). Integrasi guided imagery dan musik
(GIM) didapatkan signifikan menurunkan fatigue yang berbanding lurus
dengan penurunan kortisol dan perbaikan mood (McKinney et al., 1997).
Pada sebuah studi pada memberian GIM dan dilakukan pemeriksaan
fMRI (Fungtional Magnetic Resonance Imaging) didapatkan hasil
dibandingkan guided imagery maupun musik yang diberikan secara terpisah,
pada GIM dapat meningkatkan aktivasi neural yang berhubungan dengan
emosi negatif (amigdala kiri, girus singulata anterior, insula kiri, kulmen
bilateral, dan girus angular kiri) dan pemrosesan memori episodik yang dalam
konteks emosional (girus singulata posterior kanan, girus parahipokampal
bilateral, dan girus angular kiri) (Lee, Han and Park, 2016). Dibandingkan
dengan lima intervensi relaksasi yang berbeda (GIM, mendengarkan musik
tunggal (ML), relaxation lighting (RL), kombinasi GIM dan RL, kombinasi
GIM dan ML) dengan kontrol (duduk dalam keheningan) selama periode 3-6
minggu didapatkan berdasarkan preferensi, kesederhanaan, dan efek
fisiologis dan psikologis, GIM dan ML diidentifikasi sebagai alat yang paling
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

efektif untuk mengurangi stres dan meningkatkan relaksasi (Dib, Wells and
Fewtrell, 2020).
d. Terapi Pasangan dan Keluarga terhadap Pasien Kanker Serviks
1. Konsep utama Terapi Pasangan dan Keluarga
Diagnosis kanker tidak hanya memberikan distres pada pasien namun
juga keluarga terutama pasangan, dimana ketika afeksi negatif muncul pada
keluarga atau pasangan akan memengaruhi kondisi psikologis dari pasien
kanker. Pemberian dalam terapi ini berupa komunikasi mutual constructive
yang menghasilkan koping yang adaptif dan berfokus masalah menghasilkan
kohesi hubungan (interaksi sosial) yang lebih baik (Riba et al., 2019)
sehingga komunikasi antara caregiver/ keluarga/ pasangan terhadap pasien
dapat terjalin dengan baik.
Komunikasi dari pasien kanker dan/atau caregiver penting sekali
terutama diskusi mengenai prognosis (keinginan pasien dan/atau keluarga
untuk mengetahui estimasi waktu bertahan hidup dari pasien dan apakah
penyakit kanker nya ini bisa disembuhkan) yang ternyata berbeda
communication needs nya antara pimpinan caregiver, caregiver karir,
caregiver partner dan lone caregiver (J. Li et al., 2020). Aspek lain dari relasi
sosial adalah keinginan untuk memiliki seorang anak, rencana dalam
berkeluarga bisa sangat rumit terutama pada pasien yang mendapatkan
kemoterapi, terapi anti hormonal, atau radioterapi maka dokter harus
menginformasikan kemungkinan terburuk dan alternatif lain yang ada karena
ini merupakan hal yang menyebabkan rasa kehilangan yang mendalam dan
berdampak pada psikososial pasien (Goerling and Mehnert, 2018).
2. Efek Terapi Pasangan dalam Manajemen Stres Kasus Kanker
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa network size dari interaksi
sosial berhubungan dengan stresful life events untuk memprediksi respon
imun (semakin besar jaringan sosial berhubungan dengan semakin baiknya
respon imun) serta didapatkan pasien yang mendapatkan dukungan sosial
berhubungan dengan rendahnya IL-6 pada kanker ginekologi (sitokin yang
berhubungan dengan progresivitas kanker) serta berhubungan dengan status
fungsi dan klinis yang lebih baik. Kemungkinan hal tersebut akibat pengaruh
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

dukungan sosial pada aksis HPA dan jalur simpatis (Lutgendorf et al., 2000;
Holland et al., 2010).
Ikatan sosial atau lebih umum sebagai interaksi sosial
didokumentasikan dalam beberapa studi epidemiologi berefek positif pada
individu (menjaga kesehatan dan hidup lebih lama) yang kemudian
diasumsikan sebagai hasil dari dukungan sosial (namun pada beberapa
kondisi dan beberapa individu interaksi sosial mungkin berefek sebaliknya)
namun dukungan sosial ini sering masuk dalam rubrik manajemen stres
bersama edukasi, manajemen nyeri, dan modulasi kognitif dari pengalaman
yang membuat distres. Studi khusus, terutama yang berfokus pada sampel
dalam kondisi stres, menemukan bahwa intervensi yang mencakup beberapa
bentuk dukungan sosial (salah satunya terapi keluarga) memiliki efek
peningkatan pada sitotoksisitas Natural Killer (NK), proliferasi limfosit, dan
imunitas yang dimediasi sel (perubahan pada keseimbangan Sel T-helper 1/T-
helper 2) (Daruna, 2004; Osann et al., 2019), seperti yang ditampilkan yaitu
berkurangnya titer antibodi pada infeksi Herpes Simplex Virus (HSV). Efek
ini diharapkan jika dukungan sosial dapat meningkatkan fungsi kekebalan
setidaknya untuk individu yang sedang stres (Daruna, 2004).

6. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif membangun premisnya pada penalaran induktif (analisis
nya berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi
sebuah hipotesis/ konsep teori baru), bukan deduktif. Ada lima desain
penelitian kualitatif: studi kasus, studi etnografi, studi fenomenologis, studi
grounded theory, dan analisis isi (content analysis), pembagian lain dan
perbedaan masing-masing secara ringkas dapat dilihat pada tabel 2.2. Kelima
bidang ini mewakili penelitian yang dibangun di atas penalaran induktif dan
metodologi terkait. Studi kasus dan penelitian grounded theory
mengeksplorasi proses, kegiatan, dan peristiwa sementara penelitian
etnografi menganalisis perilaku berbagi budaya yang luas dari individu atau
kelompok. Studi kasus serta fenomenologi dapat digunakan untuk
mempelajari individu (William, 2017).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

Table 2.2 Pendekatan Penelitian Kualitatif dan Implikasinya untuk Pengumpulan Data
Tipe Pendekatan Definisi Gambaran Implikasi Pengumpulan Data
Fenomenologi - Berfokus pada - Pertanyaan dan observasi
pengalaman, keyakinan, ditujukan untuk menggambarkan
dan persepsi individu. pengalaman dan persepsi
- Teks digunakan sebagai individu.
proxy untuk pengalaman - Dalam kelompok fokus,
manusia. pengalaman kelompok dan
persepsi normatif biasanya dicari.
- Wawancara mendalam dan
kelompok fokus adalah metode
yang ideal untuk mengumpulkan
data fenomenologis.

Etnografi - Berorientasi pada - Pertanyaan dan pengamatan


mempelajari makna dan umumnya terkait dengan proses
praktik bersama (yaitu, sosial dan budaya dan makna
budaya). bersama dalam kelompok orang
- Menekankan perspektif tertentu.
etnik. - Secara tradisional, ini terkait
- Dapat memiliki fokus dengan kerja lapangan jangka
kontemporer atau historis. panjang, tetapi beberapa aspek
digunakan dalam pengaturan
yang diterapkan.
- Observasi partisipan sangat cocok
untuk penyelidikan etnografi.

Inductive - Menggunakan metode - ITA membutuhkan pembuatan


Thematic analitik induktif (ini juga data yang mengalir bebas.
Analysis (ITA) berlaku untuk Grounded - Wawancara mendalam dan
Theory di bawah). kelompok fokus adalah teknik
- Melibatkan pengumpulan data yang paling
pengidentifikasian dan umum yang terkait dengan ITA.
pengkodean tema yang - Catatan dari kegiatan observasi
muncul dalam data. partisipan dapat dianalisis
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

- Pendekatan analitik yang menggunakan ITA, tetapi data


paling umum digunakan wawancara/kelompok fokus lebih
dalam penyelidikan baik.
kualitatif.

Grounded Theory - Pengumpulan data - Seperti di atas, wawancara


induktif dan metode mendalam dan kelompok fokus
analitik. adalah teknik pengumpulan data
- Menggunakan paling umum yang terkait dengan
perbandingan segmen GT.
teks yang sistematis dan - Ukuran sampel untuk grounded
lengkap untuk theory lebih terbatas daripada
membangun struktur dan ITA karena proses analitik lebih
teori tematik dari intensif dan memakan waktu.
kumpulan teks.
- Pendekatan analitik umum
dalam studi kualitatif.

Studi Kasus - Analisis satu hingga - Kasus dipilih berdasarkan kualitas


beberapa kasus yang unik yang unik (sering jarang diamati).
sehubungan dengan topik - Pertanyaan dan pengamatan harus
penelitian fokus pada, dan mempelajari
- Analisis terutama secara mendalam, fitur unik yang
difokuskan pada menarik.
eksplorasi kualitas yang
unik.

Analisis Naratif - Narasi (bercerita) - Jika menghasilkan narasi (melalui


digunakan sebagai wawancara mendalam), maka
sumber data. pertanyaan/tugas perlu ditujukan
- Narasi dari satu atau lebih untuk memunculkan cerita dan
sumber (misalnya, pentingnya cerita tersebut,
wawancara, literatur, bertahan bagi peserta, serta
surat, buku harian). makna budaya yang lebih besar.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

Mixed Method - Didefinisikan sebagai - Pengumpulan data kualitatif


pengintegrasian metode dalam studi mixed method dapat
penelitian kuantitatif dan diinformasikan dari berbagai
kualitatif dalam satu perspektif teoretis dan
penelitian. pendekatan analitik.
- Dua desain yang paling - Peneliti harus menentukan
umum adalah sequential terlebih dahulu, dan secara rinci,
dan concurrent. bagaimana, kapan, dan mengapa
kumpulan data kualitatif dan
kuantitatif akan diintegrasikan.
Sumber: (Britten, 1996)

a. Studi Fenomenologi
Fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filosofis terkait pengalaman/
penampakan manusia (William 2017; Hadi, Asrori, dan Rusman, 2021). Studi
fenomenologi mencari jawaban tentang makna dari suatu fenomena, ada dua
hal utama yang menjadi fokus dalam penelitian fenomenologi (Hadi, Asrori,
dan Rusman, 2021), yaitu:
1. Deskripsi tekstual: apa yang dialami (aspek objektif, data faktual,
terjadi secara empiris) Subjek tentang sebuah fenomena.
2. Deskripsi struktural: bagaimana Subjek mengalami dan memaknai
pengalamannya (aspek pendapat, penilaian, perasaan, harapan, serta
respon Subjektif lainnya).

b. Grounded Theory
Metode riset kualitatif yang menggunakan satu kumpulan prosedur sistematis
untuk mengembangkan grounded theory induktif yang diturunkan dari
sebuah fenomena. Tujuan utamanya adalah untuk memperluas penjelasan
tentang fenomena dengan mengidentifikasi elemen kunci dari fenomena itu,
dan kemudian mengkategorikan hubungan dari elemen-elemen dengan
konteks dan proses percobaan (Hadi, Asrori, dan Rusman, 2021).
Analisis data dilakukan dengan tiga tahap yaitu: open coding
(membuat kategori-kategori dari informasi tentang fenomena/ yang paling
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

dekat dengan data asli) sering disebut in vivo coding, axial coding (menyusun
kategori-kategori dalam bentuk model). Ini adalah proses menghubungkan
pengkodean (kategori dan konsep) bersama-sama. Dalam arti tertentu, ini
adalah pengerjaan ulang utama kedua dari data, meskipun penekanannya
lebih pada pengkodean terbuka daripada data. Baik penalaran induktif dan
deduktif mungkin terlibat dalam pembuatan pengkodean aksial. Pengkodean
aksial adalah tentang hubungan antara berbagai aspek dari teori yang
berkembang. dan selective coding (menuliskan jalan cerita berasarkan
hubungan antar kategori dan mengembangkan hipotesis-hipotesis yang
menjelaskan keterhubungan kategori-kategori itu). Ini adalah proses dimana
peneliti mengidentifikasi sebuah kategori menjadi inti dari analisis dan
menghubungkan setiap kategori lainnya dengan kategori tersebut. Ini pada
dasarnya melibatkan pengembangan tema utama atau alur cerita di mana
semua aspek lain dari analisis terintegrasi (Gambar 2.6) (Hadi, Asrori, dan
Rusman, 2021; Howitt, 2016).

Selective coding
Pengumpulan data Open coding Axial coding
- Pemilihan
- Observasi - Pelabelan - Pencarian
kategori utama
- Wawancara konseptual hubungan antar
- Pemeriksaan
- Ulasan materi - Pengkategorian kategori
densitas
audiovisual konseptual

Memo Perbandingan konstan


Catatan lapangan Antara insiden, data, dan teori agar presisi
Dapatkan detail konseptual dan konsisten untuk menghindari bias

Gambar 2.6 Analisis Data Grounded Theory (Hadi, Asrori, dan Rusman, 2021)

c. Etnografi
Model etnografi merupakan model penelitian kualitatif yang memiliki tujuan
mendeskripsikan karakteristik kultural yang terdapat dalam diri individu atau
sekelompok orang yang menjadi anggota dalam sebuah kelompok
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

masyarakat kultural (menyelidiki masyarakat dan budaya). Menurut


Spradley, siklus etnografi ada 6 langkah yaitu: pemilihan proyek etnografi,
pengajuan pertanyaan, pengumpulan data, perekaman data, analisis data dan
penulisan laporan (gambar 2.7). Analisis data yang dilakukan juga dalam 6
tahapan yaitu: (1) memilih salah satu dari sembilan hubungan semantis yang
bersifat universal jenis, spasial, sebab-akibat, rasional/alasan, lokasi, fungsi,
cara mencapai tujuan, urutan/tahap, dan karakteristik/pelabelan/pemberian
nama; (2) menyiapkan lembar analisis domain; (3) memilih salah satu sampel
catatan lapangan terakhir untuk memulai analisis; (4) memberi istilah acuan
dan istilah bagianyang cocok dengan hubungan semantis dari catatan
lapangan; (5) mengulangi usaha pencarian domain hingga semua hubungan
semantis habis; dan (6) membuat daftar domain yang telah teridentifikasi
(Hadi, Asrori, dan Rusman, 2021).

Pengumpulan data
etnografi
Pengajuan Perekaman data
pertanyaan etnografi etnografi

Pemilihan
proyek etnografi Analisis data
etnografi

Penulisan laporan
etnografi

Gambar 2.7. Langkah Penelitian Etnografi (Hadi, Asrori, dan Rusman, 2021).

d. Content Analysis Study (Studi Analisis Isi)


Metode ini dirancang untuk mengidentifikasi karakteristik tertentu dari
konten dalam komunikasi manusia. Peneliti mengeksplorasi verbal, visual,
pola perilaku, tema, atau bias. Pengumpulan data adalah proses dua langkah.
Pertama, peneliti harus menganalisis bahan dan menempatkannya dalam tabel
frekuensi karena masing-masing karakteristik atau kualitasnya disebutkan.
Kedua, peneliti harus melakukan analisis statistik sehingga hasilnya
dilaporkan dalam format kuantitatif. Laporan penelitian memiliki lima
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

bagian: deskripsi materi yang dipelajari, karakteristik dan kualitas yang


dipelajari, deskripsi metodologi, analisis statistik yang menunjukkan tabel
frekuensi, dan. menarik kesimpulan tentang pola, tema, atau bias yang
ditemukan dalam komunikasi manusia dan pengumpulan data (William,
2017).

e. Studi Kasus
Studi kasus adalah penelitian yang penelaahannya kepada suatu kasus yang
dilakukan secara intensif mendalam, mendetail, dan komprehensif baik pada
tingkat perorangan, sekelompok orang, lembaga atau organisasi untuk
memperoleh pengetahuan mendalam tentang peristiwa tersebut, Penelitian
studi kasus melibatkan "suatu studi intensif dari satu unit untuk tujuan
memahami kelompok yang lebih besar dari unit (serupa), diamati pada satu
titik waktu atau selama beberapa periode waktu yang dibatasi" (Hadi, Asrori,
dan Rusman, 2021; Baškarada, 2014). Studi kasus memperbolehkan
penemuan untuk confirmatory (deduktif) maupun explanatory (induktif), dan
penemuan tersebut tidak digunakan untuk tujuan mengeneralisasi ke populasi
(generalisasi statistikal) tapi sama dengan eksperimen yaitu untuk
mengeneralisasi ke teori (generalisasi analitikal) (Baškarada, 2014).
Langkah-langkah dalam studi kasus dimulai dengan satu siklus yang
terdiri dari empat tahapan (Hadi, Asrori, dan Rusman, 2021), yaitu:
1. Pemilihan kasus, (dilakukan dengan tujuan/ purposive) dan bukan
secara rambang (yang dipilih dapat berupa orang, lingkungan, program,
proses, dan masyarakat atau unit sosial)
2. Pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, dan analisis
dokumentasi (peneliti sebagai instrumen, dapat menyesuaikan cara
pengumpulan data dengan masalah dan lingkungan penelitian), untuk
analisis datanya tidak menunggu data terkumpul (peneliti dapat mulai
mengagresi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi unit-
unit yang dapat dikelola)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

3. Perbaikan/ refinement, ketika data sudah terkumpul hendaknya ada


penyempurnaan atau penguatan data baru terhadap kategori yang telah
ditemukan
4. Penulisan laporan, laporan yang ada ditulis secara komunikatif, mudah
dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial secara
jelas, sehingga memudahkan pembaca untuk memahami seluruh
informasi penting.
Studi kasus terdiri dari beberapa tipe (Baxter and Jack, 2015;
Baškarada, 2014), diantaranya:
1. Eksplanatori: Jenis studi kasus ini akan digunakan jika Anda ingin
menjawab pertanyaan yang berusaha menjelaskan dugaan hubungan
sebab akibat dalam intervensi kehidupan nyata yang terlalu rumit untuk
strategi survei atau eksperimen. Dalam bahasa evaluasi, penjelasannya
akan menghubungkan implementasi program dengan efek program
(digunakan untuk menguji teori, karena mereka menyelidiki hubungan
yang diusulkan antara komponen teori yang berbeda).
2. Eksploratori: Jenis studi kasus ini digunakan untuk mengeksplorasi
situasi di mana intervensi yang dievaluasi tidak memiliki serangkaian
hasil yang jelas (dilakukan sebelum definisi pertanyaan penelitian dan
hipotesis/ utama digunakan untuk membangun teori).
3. Deskriptif: Jenis studi kasus ini digunakan untuk menggambarkan suatu
intervensi atau fenomena dan konteks kehidupan nyata di mana hal itu
terjadi.
4. Studi multiple-case: Sebuah studi kasus multiple-case memungkinkan
peneliti untuk mengeksplorasi perbedaan di dalam dan di antara kasus-
kasus. Tujuannya adalah untuk mereplikasi temuan di seluruh kasus.
Karena perbandingan akan ditarik, sangat penting bahwa kasus dipilih
dengan hati-hati sehingga peneliti dapat memprediksi hasil yang serupa
di seluruh kasus, atau memprediksi hasil yang kontras berdasarkan
teori.
5. Intrinsik: Stake (1995) istilah intrinsik dan menyarankan bahwa peneliti
yang memiliki minat yang tulus dalam kasus harus menggunakan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

pendekatan ini ketika tujuannya adalah untuk lebih memahami kasus


tersebut. Hal ini tidak dilakukan terutama karena kasus tersebut
mewakili kasus lain atau karena menggambarkan suatu sifat atau
masalah tertentu, tetapi karena dalam semua kekhususan dan
keteraturannya, kasus itu sendiri menarik. Tujuannya bukan untuk
memahami beberapa konstruksi abstrak atau fenomena umum.
Tujuannya bukan untuk membangun teori.
6. Instrumental: Digunakan untuk mencapai sesuatu selain memahami
situasi tertentu. Ini memberikan wawasan tentang masalah atau
membantu memperbaiki teori. Kasus ini merupakan kepentingan
sekunder; itu memainkan peran yang mendukung, memfasilitasi
pemahaman kita tentang sesuatu yang lain. Kasusnya sering dilihat
secara mendalam, konteksnya diteliti, kegiatannya yang biasa dirinci,
dan karena itu membantu peneliti mengejar kepentingan eksternal.
Kasus ini mungkin atau mungkin tidak dilihat sebagai tipikal kasus
lainnya.
7. Kolektif: Studi kasus kolektif memiliki sifat dan deskripsi yang mirip
dengan beberapa studi kasus.
Pada studi kasus ini dapat menggunakan teknik analisis yang umum
digunakan dalam analisis kualitatif yaitu Constant Comparative Method
(CCM) yang dikembangkan untuk pembentukan dari teori yang grounded
pada data yang ada (Studi kasus dengan grounded theory analysis) (Alzaanin,
2020; Baškarada, 2014), selain CCM ada beberapa teknik yang juga dapat
digunakan untuk menganalisis studi kasus (dilihat pada tabel 2.3).

Table 2.3 Analisis data studi kasus selain Constant Comparative Method
Jenis Analisis Gambaran Utama
Pattern Salah satu teknik yang paling diinginkan karena melibatkan
Matching perbandingan pola dan/atau efek yang diprediksi dengan yang telah
diamati secara empiris, dan identifikasi varians atau kesenjangan.
Explanation Jenis pencocokan pola khusus yang bertujuan untuk menganalisis
Building data studi kasus dengan membangun penjelasan tentang kasus
tersebut. Dalam konteks ini, menjelaskan mengacu pada proses
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

membangun serangkaian hubungan sebab akibat tentang bagaimana


atau mengapa sesuatu terjadi. Prosesnya biasanya berulang dan
melibatkan pembuatan prediksi awal, dan membandingkannya
dengan bukti studi kasus. Kemudian, berdasarkan varians apa pun,
prediksi awal direvisi dan dibandingkan dengan bukti dan/atau kasus
tambahan. Proses ini diulang sampai kecocokan yang memuaskan
diperoleh
Time-series Juga dapat dianggap sebagai jenis pattern matching, melibatkan pola
Analysis temporal, dan mungkin melibatkan teknik analisis statistik
(misalnya, analisis regresi). Analisis kronologis peristiwa dapat
melibatkan salah satu aturan berikut: peristiwa X harus selalu terjadi
sebelum peristiwa Y, peristiwa X harus selalu diikuti oleh peristiwa
Y berdasarkan kontingensi, peristiwa X hanya dapat mengikuti
peristiwa Y setelah selang waktu yang ditentukan, dan periode waktu
tertentu dalam studi kasus dapat ditandai oleh kelas peristiwa yang
berbeda secara substansial dari periode waktu lainnya
Logic Models Persilangan antara pencocokan pola dan analisis deret waktu, di
mana rantai sebab-akibat yang diprediksi dari peristiwa
dibandingkan dengan bukti yang diamati secara empiris. Model
logika seperti itu, yang dapat direpresentasikan sebagai diagram
pengaruh (peta kausal), dapat digunakan untuk memodelkan
penjelasan yang bersaing secara kausal.
Cross-case Berlaku untuk banyak kasus dan dapat melibatkan salah satu teknik
Analysis/ yang dijelaskan di atas
Synthesis
Sumber: (Baškarada, 2014)

f. Metode/ Model Kualitatif untuk Mempelajari Proses Perubahan


Psikoterapi
Secara umum penelitian pada psikoterapi, konseling dan intervensi dibagi
menjadi dua bagian: penelitian outcome dan penelitian proses. Change
Process Research (CPR) di ajukan sebagai jembatan diantara kedua bagian
dimana kebanyakan CPR yang digunakan adalah secara kuantitatif dan uji
hipotesis, namun di pertengahan tahun 1990 CPR kualitatif (penelitian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

kualitatif transformatif) yang merupakan penelitian kualitatif dengan disertai


intervensi/ kualitatif transformatif mulai banyak muncul (salah satu nya
penelitian psikoterapi oleh Elliott 2008), diluar kualitatif yang sering sekali
bersifat naturalistik. Strategi penelitian CPR kualitatif masih terbatas dengan
variasi Grounded Theory. Potensi pendekatan kualitatif yang mengacu pada
epistemologi fenomenologi hermeneutik, konstruktivis atau konstruksionis
sosial masih harus dimanfaatkan sepenuhnya (Harper and Thompson, 2012).

B. KERANGKA TEORI

Gambar 2.8. Kerangka teori

Anda mungkin juga menyukai