Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PSIKOLOGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


“Faktor ekologis dan sosial”

Dosen pengampu:
Antoni Tsaputra,S.S,MA,Ph.D.

Jihan tria Amanda (22003190)


Arselya Amanda Jeska (22003008)
Siti Aisyah Mawaddah (22003148)
Nadia Ulfa Marten (22003200)
Fadhila Rahmawani (22003016)
Hernandia Rusyda Putri (22003186)

PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH SWT karena dengan rahmat karunia
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Faktor ekologis dan
sosial”. Ini semua hanya sebatas pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki dan kami
juga berterima kasih kepada bapak Antoni Tsaputra, S.S, MA, Ph.D. selaku dosen mata
kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kami mengenai anak berkebutuhan khusus. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam tugas ini terdapat banyak sekali kekurangan dan jauh dari yang diharapkan.
Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usul untuk memperbaiki makalah ini di
masa yang akan datang.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapa pun yang membacanya.
Sehingga laporan yang telah kami susun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan

Penulis

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................................ iii
BAB I..................................................................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ................................................................................................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................................ 1
C. TUJUAN ..................................................................................................................................................... 1
BAB II ................................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ................................................................................................................................................... 2
A. FAKTOR EKOLOGIS ................................................................................................................................ 2
B. FAKTOR SOSIAL ...................................................................................................................................... 5
BAB III ................................................................................................................................................................ 11
PENUTUP ........................................................................................................................................................... 11
A. KESIMPULAN ......................................................................................................................................... 11
B. SARAN ..................................................................................................................................................... 11

iii
BAB I
A. LATAR BELAKANG
Teori ekologi diperkenalkan oleh Uri Bronfenbrenner, seseorang ahli psikologi dari
Cornell University Amerika Serikat. Teori ekologi memandang bahwa perkembangan
manusia dipengaruhi oleh konteks lingkungan. Hubungan timbal balik antara individu dengan
lingkungan akan membentuk tingkah laku individu tersebut. Informasi lingkungan tempat
tinggal anak akan menggambarkan, mengorganisasi, dan mengklarifikasi efek dari
lingkungan yang bervariasi. Bronfenbrenner menyebutkan adanya lima sistem lingkungan
berlapis yang saling berkaitan, yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan
kronosistem.
Dalam teori ekologi memandang perkembangan manusia merupakan hasil interaksi atau
transaksi antara kekuatan internal dan kekuatan eksternal. Interaksi merupakan dasar bagi
perkembangan manusia. Interaksi diartikan sebagai aktivitas saling mempengaruhi antara
kekuatan internal (organisme dengan berbagai atributnya) dan kekuatan eksternal
(lingkungan: fisik, psikologis, maupun sosial). Bentuk interaksi yang terjadi kemungkinan
adalah individu keterampilan untuk meminta bantuan dengan cara yang baik dan sopan,
keterampilan untuk memverbalisasikan pikiran dan perasaan, menjawab pertanyaan terbuka
dan tertutup, berpartisipasi dalam diskusi kelas, dan keterampilan untuk menghubungkan
berbagai ide dan pengalaman.
Rohner dan Khaleque (2002) menyatakan bahwa orang tua yang menerima anaknya
menunjukkan kasih sayang dan kehangatan secara verbal dan nonverbal saat merawat dan
membesarkannya. Falik (1995) mencatat adanya respon yang menerima dan positif dari orang
tua sehingga memungkinkan mereka memfasilitasi perkembangan diri anaknya serta
mendapat bantuan dari lingkungan sekitar. Sebaliknya, penolakan dan tanggapan negatif dari
orang tua membuat mereka sulit memfasilitasi tumbuh kembang anaknya; lebih jauh lagi,
orang tua seperti itu cenderung menolak keterlibatan lingkungan yang dapat membantu anak-
anak mereka. Rohner, Khaleque, dan Cournoyer (2012) juga berpendapat bahwa meskipun
penerimaan orang tua mengarah pada perilaku hangat dan penuh kasih sayang, kenyamanan,
perhatian, dan dukungan dari orang tua, penolakan orang tua ditunjukkan dengan tidak
adanya perasaan dan perilaku penuh kasih sayang serta munculnya emosi. dan perilaku fisik
dan psikologis yang menyakitkan terhadap anak-anak mereka. Oleh karena itu, sangat penting
bagi orang tua untuk menerima anak berkebutuhan khusus. Hanya orang tua yang menerima
kondisi anaknya yang selanjutnya akan membantu perkembangannya termasuk penguasaan
kemampuan sosial emosional sesuai usia yang diharapkan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa faktor ekologis?
2. Apa faktor social?

C. TUJUAN
1. Untuk menentukan faktor ekologis
2. Untuk menentukan faktor sosial

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. FAKTOR EKOLOGIS
Teori ekologi diperkenalkan oleh Uri Bronfenbrenner, seseorang ahli psikologi dari
Cornell University Amerika Serikat. Teori ekologi memandang bahwa perkembangan
manusia dipengaruhi oleh konteks lingkungan. Hubungan timbal balik antara individu dengan
lingkungan akan membentuk tingkah laku individu tersebut. Informasi lingkungan tempat
tinggal anak akan menggambarkan, mengorganisasi, dan mengklarifikasi efek dari
lingkungan yang bervariasi. Bronfenbrenner menyebutkan adanya lima sistem lingkungan
berlapis yang saling berkaitan, yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan
kronosistem.
Satu hal yang terpenting dalam teori ekologi Brofenbenner adalah bahwa pengkajian
perkembangan anak dari subsistem manapun, harus berpusat pada anak, artinya pengalaman
hidup anak yang dianggap menjadi penggerak utama bagi perkembangan karakter dan
habitnya di kemudian hari. Masing-masing subsistem dalam teori Brefenbrenner tersebut
dapat diuraikan sebagaimana berikut:
a. Mikrosistem
Mikrosistem merupakan lingkungan yang paling dekat dengan pribadi peserta
didik yaitu meliputi keluarga, guru, individu, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan
tempat tinggal, dan hal-hal lain yang sehari-hari ditemui oleh peserta didik. Dalam
mikrosistem inilah terjadi interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial
tersebut. Individu tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam
setting ini, tetapi individu bahkan ikut aktif membangun setting pada mikrosistem ini.
Karakteristik individu dan karakteristik lingkungan akan berkontribusi dalam proses
interaktif yang terjadi, sehingga membentuk sebuah karakter dan habit tertentu.
Keluargaterutama orangtua dan lingkungan sekolah merupakan agen sosialisasi
terdekat dalam kehidupan setiap individu, sehingga keluarga mempunyai pengaruh
besar pada pembentukan karakter dan habit seseorang.
b. Mesosistem
Mesosistem mencakup interaksi di antara mikrosistem di mana masalah yang
terjadi dalam sebuah mikrosistem akan berpengaruh padakondisi mikrosistem yang
lain. Misalnya hubungan antara pengalaman keluarga dengan pengalaman sekolah,
pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan
pengalaman teman sebaya, serta hubungan keluarga dengan tetangga. Dalam kaitannya
dengan proses pendidikan, tentunya pengalaman apapun yang didapatkan oleh peserta
didik di rumah akan ikut mempengaruhi kondisi peserta didik di sekolah baik secara
langsung maupun tidak. Sebagai contoh, ada tidaknya dukungan atau perhatian
keluarga terhadap kebutuhan literasi tentunya akan mempengaruhi kinerja peserta didik
di sekolah. Sebaliknya, dukungan sekolah dan keluarga akan mempengaruhi seberapa
jauh peserta didik akan menghargai pentingnya literasi.
c. Ekosistem
Eksosistem adalah sistem sosial yang lebih besar di mana anak tidak terlibat
interaksi secara langsung, akan tetapi dapat berpengaruh terhadap perkembangan
karakter anak. Sebagai contoh, jam kerja orangtua bertambah yang menyebabkan
peserta didik kehilangan interaksi dengan orang tuanya sehingga kurangnya
keterlibatan orang tua dalam pola asuh tersebut tentunya mempengaruhi perkembangan
anak. Subsistem dari eksosistem lain yang secara tidak langsung menyentuh pribadi

2
peserta didik akan tetapi berpengaruh besar adalah koran, televisi, dokter, keluarga
besar, dan lain sebagainya.
d. Makrosistem
Makrosistem adalah sistem lapisan terluar dari lingkungan anak. Subsistem
makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat
istiadat, budaya, nilai masyarakat secara umum, dan lain sebagainya, di mana individu
berada. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapisan makrosistem tersebut akan
berpengaruh pada keseluruhan interaksi di semua lapisan. Misalnya, jika kebudayaan
masyarakat menggariskan bahwa orangtua bertanggungjawab untuk membesarkan
anak-anaknya, maka hal tersebut akan mempengaruhi struktur di mana orangtua akan
menjalankan fungsi psikoedukasinya. Menurut Berk, budaya yang dimaksud dalam
subsistem ini adalah pola tingkah laku, kepercayaan, dan semua produk dari
sekelompok manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi.
e. Kronosistem
Kronosistem mencakup pengaruh lingkungan dari waktu ke waktu beserta
caranya mempengaruhi perkembangan dan perilaku.Contohnya seperti perkembangan
teknologi dengan produk-produk turunannya, seperti internet dan gadget, membuat
peserta didik mahir, nyaman, dan terbiasa menggunakannya untuk pendidikan maupun
hiburan. Demikian halnya dengan maraknya fenomena wanita karir akibat
industrialisasi, telah mengubah kehidupan keluarga. Perhatian ibu terhadap anak
menjadi berkurang. Kronosistem meliputi keterpolaan peristiwaperistiwa sepanjang
rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris.

Dalam teori ekologi memandang perkembangan manusia merupakan hasil interaksi atau
transaksi antara kekuatan internal dan kekuatan eksternal. Interaksi merupakan dasar bagi
perkembangan manusia. Interaksi diartikan sebagai aktivitas saling mempengaruhi antara
kekuatan internal (organisme dengan berbagai atributnya) dan kekuatan eksternal (lingkungan:
fisik, psikologis, maupun sosial). Bentuk interaksi yang terjadi kemungkinan adalah individu
keterampilan untuk meminta bantuan dengan cara yang baik dan sopan, keterampilan untuk
memverbalisasikan pikiran dan perasaan, menjawab pertanyaan terbuka dan tertutup,
berpartisipasi dalam diskusi kelas, dan keterampilan untuk menghubungkan berbagai ide dan
pengalaman.
Keterampilan komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa
tunarungu uisa pra sekolah dalam komunikasi ekspresif dan reseptif dengan media komunikasi
verbal maupun non verbal. dipengaruhi lingkungan, lingkungan dipengaruhi individu, atau
individu dan lingkungan secara menetap berinteraksi satu sama lain sehingga mengalami
perubahan. Dalam konsep lingkungan perkembangan manusia, lingkunganadalah sesuatu yang
melekat pada individu. Setiap saat individu tidak dapat lepas dari lingkungannya, bahkan terus
berinteraksi tiada henti (intensif dan berkesinambungan) dalam suatu proses yang dinamis dan
saling mempengaruhi. Interaksi antara individu dengan lingkungan dipandang positif apabila
interaksi tersebut berlangsung dalam proses yang saling menguntungkan (mutual) dan
fiingsional. Fungsional artinya lingkungan tersebut mampu memberikan kemudahan,
kesempatan atau peluang, stimulasi atau dorongan, dan keteladanan bagi berkembangnya fitrah,
potensi, atau kompentensi pribadi individu secara bermakna.
Dalam kaitannya dengan anak tunarungu, perkembangan komunikasi mengalami
hambatan sebagr: dampak dari ketunarunguan. Hambatan ini muncul diakibatkan
ketidakmampuan orang tua sebagai lingkungan terdekat dengan anak, kurang mampu untuk
menjalin interaksi yang seimbang dan selaras dengan kebutuhan perkembangan anak tunarungu.
Orang tua cenderung tidak berfungsi sebagai partner komunikasi yang baik. Akibatnya,
perkembangan komunikasi anak tunarungu kurang berkembang.

3
Oleh karena itu, dalam prinsip konseling perkembangan manusia yang menempatkan
keluarga sebagai salah satu lingkungan perkembangan individu yang paling utama, maka
program keterampilan orang tua dalam mengembangkan komunikasi anak tunarungu usia
pra sekolah merupakan suatu konsep yang harus dikembangkan dalam mengembangkan
keterampilan komunikasi anak tunarungu, agar program ini dapat dijadikan panduan bagi orang
tua dalam rangka membantu dalam pengembangan komunikasi anak tunarungu usia
pra sekolah.
Program pelatihan orang tua dalam mengembangkan komunikasi anak tunarungu
merupakan hasil analisis peneliti yang didasarkan dari data empirik tentang keterampilan
komunikasi anak tunarungu usia pra-sekolah, strategi pembelajaran guru dalam
mengembangkan keterampilan komunikasi, pola layanan orang tua di rumah serta pendekatan
auditori verbal, yang pada prinsipnya mengutamakan stimulasi dini oleh orang terdekat dengan
anak yang akan sangat berdampak terhadap pengembangan keterampilan komunikasi anak
tunarungu.
Dalam meninjau perkembangan manusia, kekuatan internal (internal forces) dan kekuatan
eksternal (external forces) merupakan dua hal menarik yang banyak diperdebatkan oleh para
ahli psikologi perkembangan. Perdebatan ini akhirnya bermuara pada munculnya berbagai teori
dalam studi tentang perkembangan manusia, diantaranya teori sosial, behavior, psikodinamik,
biologis, dan ekologi.
Baik teori sosial, behavior, psikodinamik, maupun biologis setuju bahwa kekuatan
internal dan kekuatan eksternal beroperasi bersama dalam menghasilkan perilaku manusia,
namun secara signifikan berbeda dalam penekanannya. Teori sosial dan behavior lebih
menekankan pada kekuatan eksternal. Sebaliknya, teori psikodinamik dan biologis pada
kekuatan internal.
Prinsip behavioral memandang bahwa memahami perkembangan manusia melalui
kerangka berpikir dengan penekanan pada salah satu kekuatan di atas, tidaklah tepat. Teori ini
menawarkan cara pandang baru yang secara konseptual lebih luas dari pada teori-teori yang
lebih tradisional tersebut. Dalam pandangan behavioristik, perkembangan manusia merupakan
hasil interaksi atau transaksi antara kekuatan internal dan kekuatan eksternal. Interaksi
merupakan dasar bagi perkembangan manusia. Interaksi diartikan sebagai aktivitas saling
mempengaruhi antara kekuatan internal (organisme dengan berbagai atributnya) dan kekuatan
eksternal (lingkungan: fisik, psikologis, maupun sosial), Bentuk interaksi yang terjadi
kemungkinan adalah individu dipengaruhi lingkungan, lingkungan dipengaruhi individu, atau
individu dan lingkungan secara menetap berinteraksi satu sama lain sehingga mengalami
perubahan.
Kleinman (Herr, 1996:81) menegaskan bahwa berd ~arkan visi antropologi, cara-cara
interaksi antara dunia sosial (konteks ekologis) dengan manusia bersumber dari pikiran, emosi,
dan kegiatan. Tidak mengherankan jika Von dracek, Lerner, dan Sculenberg (Herr, 1996:8)
menyatakan bahwa dalam interaksi, manusia dapat memainkan peranannya secara aktif dalam
mengembangkan dirinya.
Interaksi merujuk pada terdapatnya saling pengaruh {mutual affect) antara dua orang atau
lebih. Dalam hubungan orang tua dan anak, keduanya saling mempengaruhi. Orang tua tidak
hanya mensosialisasikan anak tetapi anak juga mensosialisasikan orang tua. Perilaku anak
dipengaruhi orang tua dan sebaliknya perilaku orang tua juga dipengaruhi oleh anak. bahkan
tidak jelas siapa yang mengontrol interaksi tersebut.
Konsep interaksi timbal balik, pertama kali dikenalkan oleh Sear (1951) dalam teori
sosialisasinya, walaupun dalam pandangan Sear waktu itu pengaruh orang tua lebih menonjol.
Selanjutnya, Bell (1968) dalam teori sosialisasinya menyatakan bahwa antara ibu dan anak,
keduanya terdapat saling pengaruh sama baiknya. Bell mencatat bahwa bagaimana Telaah Teori
Ekologi PermanarianSomad anak mempengaruhi perilaku orang tua, terjadi dalam dua cara:

4
1. Variabel status anak. Respon orang tua berbeda berdasarkan pada jenis kelamin, urutan
kelahiran, karakteristik fisik, dan sebagainya.
2. Perbedaan perilaku anak mendatangkan perbedaan respon pada orang tua.
Pengaruh perilaku anak terhadap orang tua muncul sejak anak lahir dan terus berlangsung
dalam sepanjang perkembangannya. Bronfenbrenner (Apter, 1982:60) mendefinisikan ekologi
perkembangan manusia adalah:
"The scientific study of the progressive, mutual accomodation, throughout the lifespan,
between a growing human organism and the immediate enviroments in which it lives; this process
is affected by relation whitin and between these immediate settings, as well as the large social
contexts, both formal and informal, in which the settings are embedded".
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa lingkungan merupakan suatujaringanyang terdiri atas
microsistem, mesosistem, eksosistem, dan makrosistem. Definisi ini mengandung makna bahwa
dalam lingkungan perkembangan manusia, kemajuan atau perkembangan yang terjadi sepanjang
kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks, setting, atau lingkungannya, terutama
lingkungan terdekat. Individu adalah bagian tidak terpisahkan dari sistem sosial yang
mengitarinya, terutama mini sosial sistemnya.
Dalam konsep lingkungan perkembangan, lingkungan adalah sesuatu yang melekat pada
individu. Setiap saat individu tidak dapat lepas dari lingkungannya, bahkan terus berinteraksi
tiada henti (intensif dan berkesinambungan) dalam suatu proses yang dinamis dan saling
mempengaruhi. Interaksi antara individu dengan lingkungan dipandang positif apabila interaksi
tersebut berlangsung dalam proses yang saling menguntungkan (mutual) dan fungsional.
Fungsional artinya lingkungan tersebut mampu memberikan kemudahan, kesempatan atau
peluang, stimulasi atau dorongan, dan keteladanan bagi berkembangnya fitrah, potensi, atau
kompentensi pribadi individu secara bermakna.
Uraian di atas memberi petunjuk bahwa lingkungan perkembangan pada hakikatnya
adalah lingkungan belajar, karena dalam setiap interaksinya, apakah dengan lingkungan fisik,
sosial, ataupun psikologis, individu akan memperoleh pengalaman-pengalaman baru yang
bermakna bagi kehidupannya.
Sebagai lingkungan belajar perkembangan manusia terdiri dari tiga komponen atau
struktur, yaitu: (1) struktur kesempatan, (2) struktur dukungan atau transaksi, dan (3) struktur
ganjaran. Struktur kesempatan, mengacu pada sejumlah situasi yang memungkinkan individu
dapat mencoba dan mengembangkan tingkah laku barumenuju ke arah keberhasilan atau
kesuksesan. Struktur dukungan, merujuk padaperlunya dorongan atau kekuatan dari lingkungan
yang mampu menunjang keberhasilan belajar, sedangkan struktur penguatan berhubungan dengan
pentingnya pemberian penghargaan dari lingkungan bagi keberhasilan belajar individu. Berkaitan
dengan ini, maka prinsip dalam lingkungan perkembangan adalah perlunya menata dan
mengembangkan ke tiga struktur tersebut dalam suatu keutuhan sehingga keberfungsiannya dapat
dijadikan sebagai wahana yang mampu memberikan kemudahan bagi terjadinya proses perubahan
tingkah laku yang efektifsesuai dengan keragaman perilaku yang diharapkan.

B. FAKTOR SOSIAL
Semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, dilahirkan dengan berbagai kondisi.
Anak berkebutuhan khusus biasanya mengalami berbagai bentuk keterlambatan
perkembangan fisik, kognitif, dan/atau sosial emosional. Greenspan, Wieder, dan Simons
(1998) berpendapat bahwa aspek perkembangan sosial-emosional merupakan landasan bagi
pengembangan kognisi, bahasa, dan keterampilan adaptif dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan itu, Magee (2012) menyatakan bahwa ketika landasan aspek
sosial emosional kokoh, anak dapat menikmati interaksi positif dengan orang lain,
menikmati kesuksesan di sekolah, dan meningkatkan kesehatan mental dan fisik. Sebaliknya,

5
jika fondasinya tidak kokoh, dampak negatif bisa muncul, misalnya kegagalan di sekolah,
masalah mental, dan kejahatan.
Lima domain yaitu, kesadaran diri, kesadaran sosial, manajemen diri, manajemen
hubungan, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dituangkan dalam kerangka
sosial-emosional yang dikemukakan oleh Collaborative for Academic, Social, and Emotional
Learning (CASEL) (Zhou & Ya, 2012). Berbeda dengan CASEL, Child Trends dan Tauck
Family Foundation merumuskan lima kemampuan sosial-emosional yang berhubungan
langsung dengan keberhasilan akademis anak termasuk pengendalian diri, ketekunan,
kemampuan sosial, orientasi pada keterampilan, dan efikasi diri (Scarupa, 2014). Aspek
sosial-emosional sangat penting agar individu dapat memahami dirinya dan membangun
hubungan positif dengan lingkungan sekitarnya. Penguasaan anak terhadap kemampuan
aspek sosial emosional merupakan hal yang sangat penting ketika anak mulai bersekolah dan
diharapkan dapat lebih mandiri termasuk mengatur interaksi dengan orang lain.
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa anak membentuk kemampuan sosial
emosional sejak ia dilahirkan dan membentuk keterikatan dengan orang tuanya (Mahoney &
Perales, 2003; Magee, 2012; Case-Smith, 2013; Hartshorne & Schmittel, 2016). Pada tahap
selanjutnya dalam perkembangan anak, orang tua berperan penting dalam membantu anak
mengatur dirinya sendiri, menikmati interaksi sosial, terlibat dalam proses pembelajaran,
memecahkan masalah, dan menunda kesenangan (Boris & Page, 2012). Misalnya, ketika
seorang anak mengalami ketidaknyamanan karena faktor-faktor seperti rasa takut dan stres,
otak dan tubuhnya menunjukkan dorongan dan tindakan primitif termasuk memukul,
menggigit, menjerit, dan berlari sehingga menekankan pentingnya bantuan dari orang tua
agar anak dapat menguranginya. desakan (Malik, 2012). Menurut Han, Yang, dan Hong
(2018), peran orang tua lebih besar terhadap anak berkebutuhan khusus karena anak
berkebutuhan khusus cenderung memerlukan lebih banyak perhatian, perhatian, dan bantuan
dalam proses tumbuh kembangnya dibandingkan dengan anak pada umumnya. Anak
berkebutuhan khusus juga cenderung bergantung pada orang tuanya dalam jangka waktu
yang lebih lama.
Meskipun peran orang tua dalam membantu anak berkebutuhan khusus dinilai sangat
penting, namun pada kenyataannya peran tersebut sulit dilakukan karena banyaknya
tantangan yang dihadapi. Auriemma (2016) mencatat berbagai penelitian mengungkapkan
bahwa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus cenderung memiliki tingkat stres
yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
Stres yang dialami orang tua anak berkebutuhan khusus bermula ketika mereka menyadari
bahwa mereka memiliki anak berkebutuhan khusus. Solnit dan Stark (1961, dalam
Silverstein, 2015) mengibaratkan kelahiran anak berkebutuhan khusus dengan kehilangan
orang yang dicintai karena orang tua mengalami kehilangan anak normal sebelum akhirnya
mampu menerima kondisi anaknya. Silverstein (2015) mencatat bahwa pada awalnya ketika
orang tua menyadari anaknya memiliki kebutuhan khusus, sebagian besar menolak kenyataan
tersebut. Selanjutnya, mereka mungkin akan melakukan tawar-menawar, menunjukkan
kemarahan, dan mengalami depresi hingga akhirnya mereka menerima kenyataan.
Rohner dan Khaleque (2002) menyatakan bahwa orang tua yang menerima anaknya
menunjukkan kasih sayang dan kehangatan secara verbal dan nonverbal saat merawat dan
membesarkannya. Falik (1995) mencatat adanya respon yang menerima dan positif dari orang
tua sehingga memungkinkan mereka memfasilitasi perkembangan diri anaknya serta
mendapat bantuan dari lingkungan sekitar. Sebaliknya, penolakan dan tanggapan negatif dari
orang tua membuat mereka sulit memfasilitasi tumbuh kembang anaknya; lebih jauh lagi,
orang tua seperti itu cenderung menolak keterlibatan lingkungan yang dapat membantu anak-
anak mereka. Rohner, Khaleque, dan Cournoyer (2012) juga berpendapat bahwa meskipun

6
penerimaan orang tua mengarah pada perilaku hangat dan penuh kasih sayang, kenyamanan,
perhatian, dan dukungan dari orang tua, penolakan orang tua ditunjukkan dengan tidak
adanya perasaan dan perilaku penuh kasih sayang serta munculnya emosi. dan perilaku fisik
dan psikologis yang menyakitkan terhadap anak-anak mereka. Oleh karena itu, sangat penting
bagi orang tua untuk menerima anak berkebutuhan khusus. Hanya orang tua yang menerima
kondisi anaknya yang selanjutnya akan membantu perkembangannya termasuk penguasaan
kemampuan sosial emosional sesuai usia yang diharapkan.
Rupu (2015) mencatat tujuh faktor yang mempengaruhi proses penerimaan orang tua
terhadap anak berkebutuhan khusus, yaitu dukungan sosial, ekonomi keluarga, latar belakang
agama yang kuat, tingkat pendidikan, status keharmonisan perkawinan, usia orang tua, dan
fasilitas pendukung. Rohner dan Khaleque (2008) menyatakan bahwa salah satu faktor yang
paling berhubungan dengan penerimaan orang tua adalah dukungan sosial dari lingkungan
terdekat. Demikian pula, Luong, Yoder, dan Canham (2009) mengungkapkan bahwa 90%
alasan utama orang tua menganggap kesulitan dalam menerima anak autis adalah perasaan
terisolasi dari keluarga mereka sendiri karena mereka merasa kurangnya dukungan dalam
membesarkan anak. Menurut Sarafino (1998), dukungan sosial mencakup kenyamanan,
perhatian, harga diri, dan/atau bantuan yang tersedia bagi individu dari orang orang di
sekitarnya. Sarafino mengklasifikasikan empat bentuk dukungan sosial, yaitu dukungan
emosional, dukungan nyata/instrumental, dukungan informasi, dan dukungan pendampingan
seperti yang berasal dari komunitas.
Dukungan sosial ini relevan di Indonesia karena kondisi sosial dan budaya negara yang
cenderung mengutamakan kebersamaan dan interaksi dengan keluarga besar. Rupu (2015)
mengungkapkan bahwa 82,4% orang tua yang memiliki anak tunagrahita yang memiliki
dukungan sosial yang baik menerima kondisi anaknya. Rahayu (2014) menemukan bahwa
faktor yang mempengaruhi penerimaan ayah terhadap anak autis antara lain dukungan sosial
dan/atau respon lingkungan terhadap ayah. Dengan demikian, diketahui bahwa dukungan
sosial dapat berpengaruh terhadap penerimaan orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus.
Selain itu, penerimaan ini juga dapat mempengaruhi kemampuan sosial emosional anak
berkebutuhan khusus. Dengan demikian, penerimaan orang tua terhadap anaknya dapat
menjadi mediator antara dukungan sosial yang diterima orang tua dengan kemampuan sosial
emosional anak berkebutuhan khusus. Meskipun beberapa penelitian mengenai pengaruh
dukungan sosial terhadap penerimaan orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus di
Indonesia telah dilakukan, namun belum ada satupun penelitian yang meneliti dampak
sebenarnya dari hal tersebut terhadap kemampuan sosial emosional anak berkebutuhan
khusus. Selain itu, belum diketahui penelitian yang menjelaskan apakah setiap bentuk
dukungan sosial yang diberikan mempunyai dampak nyata yang sama terhadap pencapaian
kemampuan sosial emosional anak berkebutuhan khusus. Hipotesis pada penelitian ini ada 4,
yakni bahwa masing-masing dimensi dukungan sosial (emosional, nyata, informasi,
kelompok) berpengaruh terhadap kemampuan sosial-emosional anak berkebutuhan khusus
melalui variabel penerimaan orang tua pada anak.
Karena manusia mahluk social, dari proses social ia memperoleh beberapa karakteristik
yang mempengaruhi perilakunya. Ada tiga komponen yang berkaitan dengan factor
sosiopsikologis ini, yaitu :
• komponen kognitif adalah aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui,
dipikirkan, dipahami, dan diingat oleh manusia.
• Komponen afektif yang merupakan aspek emosional, dan berkaitan dengan factor
sosiopsikologis seperti senang, marah, benci, setuju, dendam, kecewa, dsbnya.
• Komponen konatif adalah aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan
kemauan bertindak.

7
A. Komponen Afektif
Yang termasuk komponen afektif adalah :
a) Motif Sosiogenis
b) Sikap
c) Emosi

a) Motif Sosiogenis
Motif ini sering juga disebut motif sekunder sebagai lawan motif primer (motif biologis).
Yang termasuk motif sosiogenis adalah sebagai berikut :
➢ W.I. Thomas dan Florian Znaniecki : keinginan memperoleh pengalaman baru keinginan
untuk mendapat respons keinginan akan pengakuan keinginan akan rasa aman
➢ David McClelland kebutuhan berprestasi kebutuhan akan kasih sayang kebutuhan
berkuasa Abraham Maslow : kebutuhan fisiologis kebutuhan akan rasa aman Kebutuhan
akan keterikatan dan cinta kebutuhan akan penghargaan kebutuhan untuk pemenuhan
diri/aktualisasi diri
➢ Melvin H. Marx :  kebutuhan Organisme : motif ingin tahu motif kompetensi motif
prestasi  Motif-motif social motif kasih sayang motif kekuasaan motif kebebasan
Penjelasan motif-motif tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1) Motif ingin tahu
Setiap orang berusaha memahami dan memperoleh arti dari dunianya. Kita memerlukan
kerangka rujukan untuk mengevaluasi situasi baru dan mengarahkan tindakan yang sesuai.
Karena kecendrungan untuk memahami dan memberi arti pada apa yang dialami, bila
informasi yang diperoleh bersifat terbatas, maka orang akan mencari jawaban sendiri. Orang
akan menarik kesimpulan sendiri tanpa menunggu informasi itu lengkap terlebih dahulu.
Misalnya bila hujan tiba-tiba turun dengan lebat siang ini, maka orang akan menafsirkannya
karena tadi pagi Pak Ali yang dermawan meninggal dunia.
2) Motif kompetensi
Setiap orang ingin membuktikan bahwa ia mempunyai kemampuan untuk mengatasi
masalah yang dihadapinya. Perasaan mampu ini sangat bergantung pada perkembangan
intelektual, sosial, dan emosional. Motif kompetensi ini berhubungan erat dengan kebutuhan
akan rasa aman, misalnya kita ingin memproleh jaminan masa depan, jaminan bahwa anak
kita bisa sekolah dengan baik. Bila orang sudah memenuhi kebutuhan biologinya, yakin
bahwa masa depannya akan lebih baik, maka ia dianggap sudah memenuhi kebutuhannya
akan kemampuan diri (kompetensi).
3) Motif cinta
Perasaan dan kemampuan mencintai dan dicintai adalah hal yang esensial dari
perkembangan kepribadian manusia. Setiap orang ingin diterima di dalam kelompoknya
sebagai anggota secara sukarela. Berbagai penelitan membuktikan bahwa kebutuhan akan
kasih sayang yang tidak terpenuhi akan menimbulkan perilaku manusia yang kurang baik;
orang akan menjadi agresif; kesepian; pendiam, dan bahkan bisa bunuh diri. Konsep
utamanya adalah keterasingan/alienasi. Jika seseorang merasa terasing dari lingkungan di
mana dia berada, maka akan berakibat buruk pada kepribadian dan perilakunya.
4) Motif harga diri dan kebutuhan akan identitas
Erat kaitannya dengan kebutuhan untuk memperlihatkan kemampuan dan memperoleh
kasih sayang, ialah kebutuhan untuk menunjukkan eksistensi di dunia. Kita ingin kehadiran
kita di manapun kita berada diperhitungkan oleh orang-orang di sekitar kita. Hilangnya
identitas diri akan menimbulkan perilaku yang patologis seperti gelisah, impulsif, mudah
terpengaruh, dan sebagainya. Identitas diri dari perspektif kepribadian dan sosial, adalah

8
faktor yang membedakan seseorang dengan orang lain di tengah-tengah lingkungan
sosialnya.
5) Kebutuhan akan nilai dan makna hidup
Dalam kehidupannya, manusia memerlukan nilai-nilai yang berguna untuk menuntunnya
dalam mengambil keputusan atau memberikan makna pada kehidupannya. Nilai adalah
sesuatu hal yang berguna atau berharga bagi manusia sebagai subyek, dalam rangka mencapai
tujuan dalam hidup dan kehidupannya. Nilai itu sangat luas dan bisa mengacu pada apa saja
seperti perjuangan, kasih sayang, solidaritas, kesopanan, ekonomi, sahabat, dan sebagainya.
Nilai buaknlah tujuan, tetapi nilai berhubungan dengan tujuan. Nilai menuntun manusia untuk
mencapai tujuannya. Bila manusia tidak mempunyai nilai, atau bahkan kehilangan nilai,
maka manusia tidak tahu tujuan hidupnya dan ia tidak mempunyai kepastian dalam bertindak.
6) Kebutuhan akan pemenuhan diri
Manusia bukan saja ingin mempertahankan kehidupannya, akan tetapi ia juga butuh
peningkatan kualitas kehidupan. Kebutuhan akan pemenuhan diri ini dilakukan melalui
berbagai bentuk sebagai berikut :
• menggunakan dan mengembangkan segenap potensi kita dengan cara kreatif
konstruktif, misalnya dengan seni, musik, lukis, dan lain-lain.
• memperkaya kualitas kehidupan dengan memperluas kualitas pengalaman serta
pemuasan, misalnya dengan piknik, jalan-jalan ke tempat wisata, atau berkunjung ke
tempat-tempat yang bersejarah.
• Membentuk hubungan yang hangat dan berarti dengan orang-orang lain di sekitar kita,
misalnya bersikap ramah dan toleran pada orang lain.
• Berusaha ”memanusiakan” diri, dalam arti menjadi pribadi/person yang didambakan
orang dan berarti bagi orang lain, atau mampu membahagiakan orang lain.
b) Sikap
Sikap adalah konsep yang paling penting dalam psikologi social dan yang paling banyak
didefinsikan. Ada yang menganggap sikap hanyalah sejenis motif sosiogenis yang diperoleh
melalui proses belajar. Ada pula yang melihat sikap sebagai kesiapan syaraf sebelum
memberikan respon. Beberapa kesimpulan tentang sikap adalah :
• Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam
menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan
kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek
sikap bisa berupa benda, orang, tempat, gagasan, atau situasi, atau kelompok.Sikap
haruslah diikuti oleh kata “terhadap”, atau “pada” objek sikap.
• Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan merupakan rekaman
masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu.
• Sikap relatif lebih menetap/persistence
• Sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak
menyenangkan.
• Sikap timbul dari pengalaman, artinya tidak dibawa dari lahir, dan merupakan hasil
belajar, oleh karena itu sikap bisa berubah atau diperteguh.
c) Emosi
Emosi menunjukkan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala gejala kesadaran,
perilaku, dan proses fisiologis. Misalnya, bila orang yang kita cintai mencemooh kita, kita
akan bereaksi secara emosional, kemudian jantung akan berdetak cepat dan napas terengah-
engah, kemudian kita akan balas mencemooh atau bahkan memukulnya.
Emosi tidak selalu jelek. Emosi merupakan bumbu dalam kehidupan; tanpa emosi hidup
manusia kering dan gersang. Ada 4 fungsi emosi sebagai berikut :
1) Emosi adalah pembangkit energi/energizer.

9
Tanpa emosi kita tidak sadar atau mati. Hidup berarti merasakan, mengalami, bereaksi,
dan bertindak. Emosi membangkitkan dan memobilisasi energi kita; misalnya marah
menggerakkan kita untuk menyerang, takut menggerakkan kita untuk lari, cinta
menggerakkan kita untuk berdekatan dan bermesraan, dan sebagainya.
2) Emosi adalah pembawa informasi/messenger
Bagaimana keadaan diri kita dapat kita ketahui dari emosi kita. Jika kita marah, kita
mengetahui bahwa kita diserang oleh orang lain; sedih berarti kita kehilangan sesuatu
atau seseorang, jika kita bahagia berarti kita memperoleh sesuatu yang kita senangi, dan
sebagainya.
3) Emosi bukan saja pembawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, akan tetapi juga
pembawa pesan dalam komunikasi interpersonal.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa ungkapan emosi dapat dipahami secara
universal. Dalam retorika diketahui bahwa pembicara yang menyertakan seluruh
emosinya dalam pidato dipandang lebih hidup dan menarik, dan dinamis serta lebih
meyakinkan. Pembicara yang menyampaikan materi pidatonya dengan luapan penuh
emosi dan diperkuat dengan komunikasi nonverbal lebih menarik untuk diperhatikan oleh
khalayak daripada pembicara yang statis dan „datar-datar” saja.
4) Emosi merupakan sumber informasi mengenai keberhasilan kita.
Jika mendambakan kesehatan, maka kita mengetahuinya ketika kita merasa sehat wal
afiat. Jika kita menginginkan keindahan, maka kita memperolehnya ketika kita
merasakan kenikmatan estetika dan merasakan adanya ”rasa halus” dalam jiwa dan hati
kita.
Dari sisi lamanya, ada emosi yang berlangsung singkat dan ada yang berlangsung
lama. Mood adalah emosi yang menetap selama berjama-jam atau beberapa hari. Mood
mempengaruhi persepsi atau penafsiran kita pada stimuli yang merangsang alat indera
kita. Bila mood atau suasana emosional ini menjadi kronis dan menjadi bagian dari
struktur kepribadian orang, kita menyebutnya temperamen, misalnya pemarah, penyedih,
dan ceria.
B. Komponen Kognitif
Yang termasuk komponen kognitif adalah :
1) Pengetahuan
2) Kepercayaan

1) Pengetahuan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan panca indra kita. Ketika
mata kita melihat sesuatu, hidung kita mencium bau sesuatu, telinga kita mendengar
sesuatu, pucuk-pucuk jari kita merasakan sesuatu, atau lidah kita mengecap rasa, berarti
kita telah ”mengetahui” sesuatu.
2) Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan adalah
keyakinan bahwa sesuatu itu benar, atau salah, atas dasar bukti, sugesti otoritas,
pengalaman,atau intuisi. Sesungguhnya isi dari pengetahuan adalah juga kepercayaan,
hanya bobot dari kepercayaan itu lebih kuat dan mendalam dari hanya sekedar
pengetahuan.
C. Komponen Konatif
Yang termasuk komponen konatif adalah :
1) Kebiasaan
2) Kemauan
Jadi jika dikatakan bahwa konatif sebagai bagian dari sikap, maksudnya adalah adanya
kecenderungan seseorang untuk bertindak. Artinya lagi, bahwa ia mempunyai kemauan untuk
melakukan sesuatu/berperilaku tertentu.

10
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Teori ekologi diperkenalkan oleh Uri Bronfenbrenner, seseorang ahli psikologi dari
Cornell University Amerika Serikat. Teori ekologi memandang bahwa perkembangan
manusia dipengaruhi oleh konteks lingkungan. Hubungan timbal balik antara individu dengan
lingkungan akan membentuk tingkah laku individu tersebut. Informasi lingkungan tempat
tinggal anak akan menggambarkan, mengorganisasi, dan mengklarifikasi efek dari
lingkungan yang bervariasi. Bronfenbrenner menyebutkan adanya lima sistem lingkungan
berlapis yang saling berkaitan, yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan
kronosistem.
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa anak membentuk kemampuan sosial
emosional sejak ia dilahirkan dan membentuk keterikatan dengan orang tuanya (Mahoney &
Perales, 2003; Magee, 2012; Case-Smith, 2013; Hartshorne & Schmittel, 2016). Pada tahap
selanjutnya dalam perkembangan anak, orang tua berperan penting dalam membantu anak
mengatur dirinya sendiri, menikmati interaksi sosial, terlibat dalam proses pembelajaran,
memecahkan masalah, dan menunda kesenangan (Boris & Page, 2012). Misalnya, ketika
seorang anak mengalami ketidaknyamanan karena faktor-faktor seperti rasa takut dan stres,
otak dan tubuhnya menunjukkan dorongan dan tindakan primitif termasuk memukul,
menggigit, menjerit, dan berlari sehingga menekankan pentingnya bantuan dari orang tua
agar anak dapat menguranginya. desakan (Malik, 2012). Menurut Han, Yang, dan Hong
(2018), peran orang tua lebih besar terhadap anak berkebutuhan khusus karena anak
berkebutuhan khusus cenderung memerlukan lebih banyak perhatian, perhatian, dan bantuan
dalam proses tumbuh kembangnya dibandingkan dengan anak pada umumnya. Anak
berkebutuhan khusus juga cenderung bergantung pada orang tuanya dalam jangka waktu
yang lebih lama.

B. SARAN
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang kami miliki dalam menulis
makalah ini, baik dari tulisan maupun bahasa yang kami gunakan serta pembahasan yang
disajikan dalam pembuatan makalah ini, oleh karena itu kami selaku penulis memohon di
berikan saran dan kritik agar kami dapat membuat makalah lebih baik lagi, dan semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi kami sendiri selaku tim penulis. dan menjadi
wawasan kita dalam memahami “Faktor ekologis dan sosial”

11
DAFTAR PUSTAKA

(Fajarina 2020)Fajarina. 2020. “MODUL Psikom 4.” 1–16.


Fauzia, Jimny Hilda. 2023. “Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kemampuan Sosial
Emosional Anak Berkebutuhan Khusus Factors Affect Social Emotional Ability of
Children with Special NeedsJimny Hilda Fauzia.” 02(01):41–50.
Hidayati, Nurul. 2011. “Dukungan Sosial Bagi Keluarga Anak Berkebutuhan Khusus.” Journal
Unair
13(01):12–20.
Masturoh, Imas, and Nauri Anggita. 2018. “No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者に
おける健康関連指標に関する共分散構造分析Title.” 2(2):83–102.
Permanarian Somad. 2016. “Teori Ekologi Sebagai Dasar Pengembangan Keterampilan
KomunikasiSiswa Tunarungu Usia Pra-Sekolah.” Jassi Anakku 12(1):97–111.
Fajarina. 2020. “MODUL Psikom 4.” 1–16.
Fauzia, Jimny Hilda. 2023. “Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kemampuan Sosial
Emosional Anak Berkebutuhan Khusus Factors Affect Social Emotional Ability of
Children with Special NeedsJimny Hilda Fauzia.” 02(01):41–50.
Hidayati, Nurul. 2011. “Dukungan Sosial Bagi Keluarga Anak Berkebutuhan Khusus.” Journal
Unair
13(01):12–20.
Masturoh, Imas, and Nauri Anggita. 2018. “No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者に
おける健康関連指標に関する共分散構造分析Title.” 2(2):83–102.
Permanarian Somad. 2016. “Teori Ekologi Sebagai Dasar Pengembangan Keterampilan
KomunikasiSiswa Tunarungu Usia Pra-Sekolah.” Jassi Anakku 12(1):97–111.
(Fauzia 2023)(Hidayati 2011)(Masturoh and Anggita 2018)(Permanarian Somad 2016)

12

Anda mungkin juga menyukai