Anda di halaman 1dari 24

TUGAS ETIKA BISNIS

“Social Innovation, Social Enterpreneurship dan Scaling Up Social


Impact”

Disusun Oleh
Kelompok 5

Dini Izmi Azizah 20090320079


Ummi Yusuf 20090320085
Rabbani Ryanka 20090320101
Imas Kurniawan 20090320116

Dosen Pengajar
Dr. Hendrati Dwi Mulyaningsih, SE., MM.

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN RUMAH SAKIT


UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Inovasi, terutama yang terkait dengan inovasi teknologi produk, dipandang
sebagai elemen penting dalam menghasilkan nilai ekonomi dan sangat penting untuk
mempertahankan daya saing dan umur panjang perusahaan (Tidd, 2001). Dari
meningkatnya kesadaran yang manfaat inovasi dan pertumbuhan ekonominya belum
menjangkau semua orang di dunia dan kebanyakan orang masih hidup dalam kondisi
yang tidak memadai (Hart, 2005), perdebatan tentang perlunya visi didirikan dengan
fokus yang lebih besar pada masalah sosial. (Morais-Da-Silva RL, Takahashi ARW,
Segatto AP, 2016).
Dimulai diskusi tentang inovasi disruptif, termasuk perdebatan tentang
pengembangan produk dan layanan yang dapat meningkatkan kualitas hidup
masyarakat berpenghasilan rendah (Christensen, 1997) tentang inovasi yang
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki dasar piramida kualitas
hidup (Prahalad & Hart, 2002; London & Hart, 2004; Berger & Nakata, 2013), pada
inovasi hemat dengan teknologi sederhana dan biaya rendah (Zeschky, Widen-
mayer, & Gassmann, 2011; Lim, Chaisung, & Ito, 2013) dan yang terbaru tentang
inovasi sosial (SI) menjadi titik sentral dalam makalah ini (Morais-Da-Silva RL,
Takahashi ARW, Segatto AP, 2016).
Konsep inovasi sosial belum menjadi konsensus diantara para ahli. Penelitian
pertama yang membahas tentang inovasi sosial dilakukan oleh Kanter (1998)
mengatakan bahwa istilah tersebut digunakan sebagai cara berinovasi untuk
menjangkau tidak hanya pasar baru tetapi juga memastikan sebuah bisnis kembali ke
masyarakat. Setelah penelitian ini, kemudian bermunculan penelitian-penelitian
selanjutnya yang membahas hal serupa dan memiliki peningkatan yang cukup besar.
(Morais-Da-Silva RL, Takahashi ARW, Segatto AP, 2016).
Peran wirausaha sosial dan idealisasi inovasi sosial dilatarbelakangi oleh
adanya masalah sosial yang sampai saat ini belum terpecahkan (Murray, Caulier-
Grice, & Mulgan, 2010). Oleh karena itu, wirausahawan sosial harus memiliki misi
untuk mendiagnosisnya dan mengusulkan solusi inovatif. Untuk menekuni dunia
kewirausahaan sosial, membutuhkan komitmen tinggi dan rela berkorban dalam
segala hal, mulai dari finansial (uang), waktu, serta pantang menyerah. Dan Indonesia
beruntung memiliki cukup banyak pelaku social entrepreneurship yang dapat
mendukung tumbuhnya semangat social entrepreneurship pada sekelompok
masyarakat.
Kewirausahaan sosial merupakan kegiatan dan proses yang dilakukan untuk
menemukan, mendefinisikan, dan memanfaatkan peluang untuk meningkatkan
kekayaan sosial dengan menciptakan usaha baru atau mengelola organisasi yang ada
dengan cara yang inovatif. (Zahra dkk, 2009).
Inovasi terjadi karena perasaan tidak puas terhadap kondisi dan situasi yang ada
serta adanya peluang untuk memperbaiki keadaan yang ada, inovasi harus dijadikan
sebagai suatu alat dan bukan suatu tujuan, tujuan dari suatu inovasi adalah perubahan
atau perbaikan dari kondisi yang ada menajdi lebih baik, namun tidak semua
perubahan dapat dikategorikan sebagai inovasi (Saiman, 2011).
Wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah
model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar (Karen
Braun, 2009). Hasil yang ingin dicapai bukan keuntungan materi atau kepuasan
pelanggan, melainkan bagaimana gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak
baik bagi masyarakat (Susanto. 2007).
Selain mempertimbangkan berbagai cara untuk mendefinisikan inovasi mereka,
wirausahawan sosial harus mengeksplorasi berbagai mekanisme untuk menyebarkan
dampaknya. Social impact (dampak sosial) merupakan sesuatu yang penting dalam
fenomena kewirausahaan sosial. (Dacin, Dacin & Matear, 2010). Social impact
banyak digunakan dalam istilah-istilah lain dalam social enterpreneurship,
diantaranya sering disebut social value, social performance, social returns, social
return on investment, dan social accounting, dimana meskipun serupa, beberapa
persamaan itu memiliki konstruksi yang berbeda. (Rawhouser H, Cummings M,
Newbert SL, 2019).
Dari banyaknya peneliti yang mendefinisikan social impact, beberapa peneliti
menyimpulkan bahwa pengertian social impact sebagai hasil bermanfaat yang
didapatkan dari perilaku prososial yang dinikmati oleh target yang dimaksudkan dari
perilaku tersebut dan/atau oleh komunitas individu, organisasi, dan / atau lingkungan
yang lebih luas (Rawhouser H, Cummings M, Newbert SL, 2019).
Dari penjelasan di atas, penulis ingin mengetahui lebih lanjut mengenai
wirausaha sosial, inovasinya dan dampaknya bagi masyarakat sehingga dalam
makalah ini penulis akan membahas mengenai inovasi sosial, kerwirausahaan sosial,
dan bagaimana cara meningkatkan dampak sosial dari proses kewirausahaan sosial.

1.2. Identifikasi Masalah


1. Bagaimana hubungan kewirausahaan sosial dan inovasi sosial?
2. Bagaimana meningkatkan sosial impact dari kewirausahaan sosial?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kewirausahaan Sosial


Wirausaha sosial seperti seseorang yang sedang menabung dalam jangka
panjang karena usaha mereka memerlukan waktu dan proses yang lama untuk dapat
terlihat hasilnya (Roger. L. Martin & Sally Osberg, 2007) Wirausaha sosial menjadi
fenomena sangat menarik saat ini karena perbedaan-perbedaannya dengan wirausaha
tradisional yang hanya fokus terhadap keuntungan materi dan kepuasan pelanggan
(Elkington & Hartigan, 2008), serta signifikansinya terhadap kehidupan masyarakat.
Kajian mengenai kewirausahaan sosial melibatkan berbagai ilmu pengetahuan dalam
pengembangan serta praktiknya di lapangan. . Lintas ilmu pengetahuan yang diadopsi
kajian kewirausahaan sosial merupakan hal penting untuk menjelaskan serta membuat
pemikiran-pemikiran baru (Karen Braun, 2009).
Kewirausahaan sosial menjadi penyeimbang bagi kewirausahaan tradisonal
komersial yang semata-mata hanya mengejar keuntungan tanpa memperhatikan
keadaan masyarakat dan lingkungan. Kewirausahaan sosial (social entrepreneurship)
dapat dikatakan sebagai seni untuk menciptakan bisnis sosial yang bertanggung
jawab yang bertujuan bukan hanya untuk menghasilkan keuntungan semata akan
tetapi juga berusaha memecahkan berbagai permasalahan sosial dan lingkungan.
Pengusaha sosial biasanya memulai menjalankan usahanya dengan konsep “triple
bottom line”. Triple bottom line mengacu kepada 3 aspek yang sangat penting yaitu
aspek manusia, aspek keuntungan dan aspek lingkungan. Hal ini mengidentifikasikan
bahwa dalam kewirausahaan sosial, harus dapat berjalan secara finansial, sosial dan
lingkungan bertanggung jawab.
Ada beberapa bentuk wirausaha sosial menurut Tan (2005) dalam Akmalur
Rijal, dkk. (2018) adalah :
1. Organisasi berbasis komunitas; Organisasi semacam ini biasanya dibuat
untuk mengatasi masalah tertentu dalam komunitas (kelompok masyarakat),
misalnya menyediakan fasilitas pendidikan untuk anak-anak miskin, panti
sosial untuk anak terlantar dsb.
2. Socially responsible enterprises; Wirausaha sosial ini berbentuk perusahaan
yang melakukan usaha komersial untuk mendukung/ membiayai usaha
sosialnya. Sebagian keuntungan yang didapatkan dari organisasi profit
ditujukan untuk mendukung/ membiayai usaha sosialnya.
3. Social Service Industry Profesionals, bentuk usaha ini sedikit berbeda, yaitu
pengusaha yang menjadikan jasa sosial sebagai konsumennya. Usaha ini
menggandeng organisasi yang bergerak di bidang sosial sebagai
konsumennya.
4. Socio-economic atau dualistic enterprises; Wirausaha sosial ini berbentuk
perusahaan komersial yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip-
prinsip sosial. Misalnya perusahaan yang melakukan daur ulang sampah
rumah tangga, organisasi yang mempekerjakan orang cacat, kredit mikro
untuk masyarakat pedesaaan. didedikasikan untuk mendukung layanan
sosialnya.
Kemunculan kewirausahaan sosial menjadi fenomena menarik karena terdapat
beberapa perbedaan dengan model wirausaha tradisional sebelumnya. Perbedaan
tersebut tercermin dari karakteristik tersendiri yang merupakan ide dan terobosan
baru dalam memecahkan masalah sosial. Menurut Bill Drayton (1980), pendiri
Ashoka Foundation yang menggagas kewirausahaan sosial bahwa beberapa
karakteristik kegiatan wirausaha sosial adalah :
a. Tugas wirausaha sosial ialah mengenali adanya kemacetan atau kemandegan
dalam kehidupan masyarakat dan menyediakan jalan keluar dari kemacetan
atau kemandegan itu. Ia menemukan apa yang tidak berfungsi, memecahkan
masalah dengan mengubah sistemnya, menyebarluaskan pemecahannya, dan
meyakinkan seluruh masyarakat untuk berani melakukan perubahan.
b. Wirausaha sosial tidak puas hanya memberi ikan atau mengajarkan cara
memancing ikan. Ia tidak akan diam sehingga industri periklanan pun
berubah.
Seorang social entrepreneur selalu melibatkan diri dalam proses inovasi,
adaptasi, pembelajaran yang terus menerus bertindak tanpa menghiraukan berbagai
hambatan atau keterbatasan yang dihadapinya dan memiliki akuntabilitas dalam
mempertanggungjawabkan hasil yang dicapainya, kepada masyarakat.
Di dalam menjalankan kegiatan social entrepreneurship, tentu saja dipengaruhi
oleh berbagai aspek. Menurut Dees (2002) beberapa aspek yang mempengaruhi social
entrepreneurship adalah:
a. Proses mendefinisikan tujuan atau misi.
Misi adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh organisasi agar tujuan
organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik. Misi sangat
diperlukan bagi pegawai dan pihak yang terlibat didalam organisasi tersebut
untuk mengenal organisasi dan mengetahui peran dan program-programnya
serta hasil yang akan diperoleh dimasa mendatang.
b. Proses mengenali dan menilai peluang
Mengenali dan menilai peluang merupakan salah satu aspek yang paling
penting dalam menjalankan social entrepreneurship. Dalam social
entrepreneurship, peluang dianggap sebagai sesuatu yang baru dengan cara
yang berbeda dalam membuat dan mempertahankan nilai sosial. Ide yang
muncul dan menarik mungkin dapat beragam, akan tetapi tidak semua ide
yang menarik tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah pelung untuk
menciptakan dan mempertahankan nilai sosial. Seorang social entrepreneur
haruslah berupaya untuk mengenali berbagai peluang dalam menciptakan
atau mempertahankan nilai sosial. Sedangkan menilai peluang adalah
sebuah proses pengumpulan data yang dicampur dengan insting. Cara ini
merupakan sebuah ilmu dan seni. Mengumpulkan informasi yang
dibutuhkan, yang relevan dengan ukuran, cakupan, dan waktu yang tersedia.
Pada akhirnya, didalam setiap proses pengambilan keputusan tentunya
insting sangat diperlukan.
c. Proses manajemen resiko (risk management)
Dalam merealisasikan misi atau ideidenya, seorang social entrepreneur
dihadapkan pada sebuah resiko dan tantangan. Resiko adalah kemungkinan
yang tidak diharapkan. Dua komponen yang melekat dalam resiko adalah
bahwa yang pertama, resiko dapat didefinisikan sebagai potensi besar yang
tidak diharapkan terjadi karena tidak memperhitungkan sisi buruk, dan
komponen dari resiko yang kedua adalah kemungkinan bahwa hasil-hasil
yang tidak diinginkan tersebut akan benar-benar terjadi. Jadi dalam
merealisasikan ide atau gagasannya, social entrepreneur harus
memperhitungkan segala sesuatunya yang akan terjadi. Hambatan-
hambatan dalam menjalankan suatu kegiatan social entrepreneurship dapat
muncul secara tidak terduga.
d. Mengidentifikasi dan menarik pelanggan
Konsumen atau pelanggan didalam social entrepreneurship sedikit berbeda
dengan konsumen dalam sebuah bisnis umumnya. Dalam definisi social
entrepreneurship, konsumen adalah mereka yang ikut berpartisipasi dengan
sukses dalam mendukung misi sosial. Partisipasi ini bisa dalam bentuk
penggunaan layanan, berpartisipasi dalam suatu kegiatan, relawan,
memberikan dana atau barang untuk sebuah organisasi nirlaba, atau bahkan
membeli layanan atau produk yang dihasilkan organisasi tersebut. Fokus
social entrepreneurship adalah untuk menyalurkan semua hasil sumberdaya
sehingga tercipta nilai sosial. Mengidentifikasi pelanggan sangat penting
karena pelanggan merupakan pasar untuk menyalurkan barang dan jasa.
e. Proyeksi Arus Kas
Untuk dapat terus menjalankan kegiatannya, social entrepreneur harus dapat
memproyeksikan kebutuhan uang tunai untuk usaha mereka. Mereka harus
memutuskan bagaimana mereka dapat memeproleh kas untuk kelangsungan
usahanya. . Tentu saja, tugas ini lebih rumit bagi social entrepreneur
daripada business entrepreneurs pada umumnya Pada beberapa kesempatan,
penyandang dana pihak ketiga (misalnya, instansi pemerintah atau
perusahaan) dapat menjadi alternatif untuk menutupi biaya operasional.
Namun dalam banyak kasus, pendapatan yang diperoleh dari layanan yang
diberikan seringkali lebih kecil dari jumlah biaya operasional yang
dibutuhkan. Dalam kasus tersebut, dana relawan dapat digunakan untuk
mengisi kesenjangan, sehingga perencanaan penggalangan dana haruslah
dibuat dengan matang dan realistis. yang masuk akal. Tantangan bagi
pelaku social entrepreneur adalah bahwa mereka harus selektif dalam
merencanakan aliran pendapatan tunai (arus kas) agar kegiatannya tetap
berfokus pada misi yang telah ditetapkan.
Peran social entrepreneur dapat berperan baik dari segi internal maupun
eksternal. Peran social entrepreneur dari segi internal adalah mengurai tingkat
ketergantungan terhadap orang lain, menciptakan rasa kepercayaan diri, dan dapat
meningkatkan daya tarik pelakunya. Dari segi eksternal, kewirausahaan dapat
berperan sebagai menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang belum
mendapatkan peluang kerja. Dengan cara itulah kewirausahaan dapat juga membantu
mengurai atau memberantas tingkat pengangguran yang selama ini jadi beban pikiran
masyarakat dan permasalahan sosial lainnya.
Social entrepreneurship juga berperan dalam pembangunan ekonomi karena
ternyata mampu memberikan daya cipta nilai–nilai sosial maupun ekonomi, seperti
yang dipaparkan oleh Santosa (2007) berikut:
a. Menciptakan kesempatan kerja
Manfaat ekonomi yang dirasakan dari Social entrepreneurship di berbagai
negara adalah penciptaan kesempatan kerja baru yang meningkat secara
signifikan.
b. Melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap produksi barang ataupun jasa
yang dibutuhkan masyarakat.
Inovasi dan kreasi baru terhadap jasa kemasyarakatan yang selama ini tidak
tertangani oleh pemerintah dapat dilakukan oleh kelompok Social
Entrepereneurship seperti misalnya : penanggulangan HIV dan narkoba,
pemberantasan buta huruf, kurang gizi. Seringkali standar pelayanan yang
dilakukan pemerintah tidak mengena sasaran karena terlalu kaku mengikuti
standar yang ditetapkan. Di lain sisi, Social entrepreneurs mampu untuk
mengatasinya karena memang dilakukan dengan penuh dedikasi dan
berangkat dari sebuah misi sosial.
c. Menjadi modal sosial
Modal sosial yang terdiri dari saling pengertian (shared value), kepercayaan
(trust) dan budaya kerjasama (a culture of cooperation) merupakan bentuk
yang paling penting dari modal yang dapat diciptakan oleh social
entrepreneur (Leadbeater dalam Santosa, 2007). Siklus modal sosial diawali
dengan penyertaan awal dari modal sosial oleh pengusaha sosial.
Selanjutnya dibangun jaringan kepercayaan dan kerjasama yang makin
meningkat sehingga dapat akses kepada pembangunan fisik, aspek
keuangan dan sumber daya manusia. Pada saat unit usaha dibentuk
(organizational capital) dan saat usaha sosial mulai menguntungkan maka
makin banyak sarana sosial dibangun.
d. Peningkatan Kesetaraan
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi adalah terwujudnya kesetaraan
dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Melalui social entrepreneurship,
tujuan tersebut akan dapat diwujudkan karena para pelaku bisnis yang
semula hanya memikirkan pencapaian keuntungan yang maksimal,
selanjutnya akan tergerak pula untuk memikirkan pemerataan pendapatan
agar dapat dilakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
2.2 Inovasi Sosial
Inovasi sosial terkait dengan peningkatan hubungan sosial dan peningkatan
kesejahteraan (Moulaert et al, 2013), maoulert (2013) juga berpendapat bahwa
inovasi sosial dapat dimuali di mana-mana dalam bidang perekonomian, tidak hanya
di sektor non-profit, tetapi juga disektor publik dan swasta. Di sisi lain, inovasi sosial
tidak terbatas pada masalah kesejahteraan teteapi juga mungkin terkait dengan isu-isu
perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Definisi inovasi sosial (SI) dapat bervariasi dari pandangan yang luas seperti
menurut Moulaert, F., Mar- tinelli, F., González, S., & Swyngedouw (2007), yang
mendefinisikan SI sebagai alat untuk pembangunan perkotaan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Hingga pandangan yang paling spesifik seperti Mulgan (2006, p.
146), yang menganggap SI sebagai "kegiatan dan layanan inovatif yang dimotivasi
oleh tujuan memenuhi kebutuhan sosial". Meskipun terdapat perbedaan konseptual
antara kedua pendapat tersebut, perlu dicatat bahwa keduanya menangani masalah
sosial yang sampai saat ini belum terselesaikan, dengan kata lain fokusnya adalah
aspek sosial dari inovasi (Maclean Harvey, Gordon, & Shaw 2012).
Menurut Mulgan (2006) SI memiliki hubungan yang lebih erat dengan konsep
kewirausahaan sosial (social entrepreneurship), usaha sosial dan bisnis sosial, oleh
karena itu fokus pada penyelesaian masalah sosial, khusunya yang berkaitan dengan
kemiskinan. Meskipun terdapat spesifikasi yang membedakan setiap definisi akan
tetapi semanya terkait dengan “inisiatif yang secara eksplisit berupaya menciptakan
nilai sosial melalui penggunaan dan pengelolaan sumber daya manusia dan keuangan
yang sebgaian dihasilkan dari pasar. Choi dan majumdar (2014) menyarankan
memperlakukan kewirausahaan sosial sebagai cluster yang menggabungkan konsep
penciptaan nilai sosial, wirausaha dan sosial, orientasi pasar dan juga SI. Oleh karena
itu, meskipun adanya perbedaan pada pesifikasi masing-masing konsep, secara umum
semuanya berupaya untuk menciptakan nilai sosial (Marshall, 2011).
Terdapat beberapa tahap dalam proses inovasi sosial, yaitu dimana fase pertama
adalah Peran wirausaha sosial dan idealisasi SI dilatarbelakangi oleh adanya masalah
sosial yang sampai saat ini belum terpecahkan, dan oleh karena itu misi dari
wirausahawan sosial untuk mendiagnosisnya dan mengusulkan solusi inovatif.
Tahap kedua dari proses SI adalah pengembangan (Bhatt & Altinay, 2013).
Perkembangan tersebut selain wiusahawan dan timnya, membutuhkan sumber daya
sendiri atau di proleh dari filantropi atau melalui kemitraan strategis yang membantu
pengambangan proses SI. Selain sumberdaya keunagan, kemitraan strategis dapat
membantu dalam hal arahan, pertukaran pengalaman, berbagai pengetahuan dan
bahkan kependudukan dilingkunngan yang rapuh dengan infrastruktur yang buruk,
peraturan yang tidak ditetapkan dengan baik.

A. Scaling Up Social Innovation


Pada tahap ketiga pada prosesi S1 terdiri dari perluasan operasi diluar dimensi
lokal (Bhatt & Altinay, 2013). Meskipun tingkat terakhir penyebaran SI adalah
perubahan yang diharapkan yang disebabkan oleh sistem, akan tetapi dalam
praktiknya sebagian besar SI tidak mencapai hingga tahap ini.
Skalabilitas proses SI terjadi ketika proyek percontohan mencapai tingkat
kinerja yang memuaskan dan dapat diterapkan pada skala yang lebih besar untuk
memberikan penciptaan nilai sosial yang lebih besar (Webb et al., 2010). Secara rinci,
proses ini terjadi ketika organisasi yang berfokus pada SI atau wirausaha sosial
memulai usahanya di tingkat lokal (kondisi awal). Seiring waktu, mereka
mengembangkan strategi replikasi (scaling out), membuat jaringan dan
mengembangkan pengetahuan, mendapatkan pengalaman dan tation. Ketika mereka
berhasil pada langkah sebelumnya, usaha sosial mencapai perubahan tingkat sistemik
(perubahan sistem) (Westley et al., 2014) Skalabilitas SI dapat dikelompokan dalam
dua tren, yiatu:
1. Terkait dengan tempat SI akan diperluas: scaling up dan scaling deep (Smith &
Stevens, 2010). Strategi scaling up berupaya untuk memperluas peran SI ke
wilayah geografis lain dengan tujuan menjangkau lebih banyak orang (Taylor,
Dees, & Emerson, 2002). Strategi deep penskalaan sudah terkait dengan
kemampuan untuk meningkatkan penciptaan nilai sosial di tempat asal, baik
dengan meningkatkan layanan yang ditawarkan atau dengan meningkatkan
jumlah pilihan yang tersedia untuk populasi (Taylor et al., 2002)
2. Terkait dengan bagaimana proses ekspansi SI terjadi. Dees dkk. (2004)
menyatakan bahwa mereka terjadi di antara dua ekstrim kontinum, yiatu di
mana wirausahawan sosial berbagi informasi dengan pengusaha lain atau
wirausaha sosial agar agen ini mempraktikkan SI di wilayah lain sehingga
skalabilitas SI dicapai melalui pengembangan "cabang", struktur organisasi
baru, terkait dengan usaha sosial awal (ditandai dengan biaya yang lebih tinggi
dan kontrol yang lebih besar). Strategi yang paling umum adalah up and
branching scaling, yaitu perluasan SI ke lokasi lain melalui struktur
ekspansinya sendiri.
Namun, untuk memperluas operasi, SI harus mengatasi hambatan untuk
menjangkau lebih banyak orang di berbagai tempat, dari lokal hingga regional, dari
nasional hingga global (Westley & Antadze, 2010). Dengan skalabilitas, misi untuk
menyebarkan SI guna memaksimalkan perubahan sosial dan memecahkan masalah
yang dimaksud dilakukan (Perrini, Vurro, & Costanzo, 2010). Namun, perlu dicatat
bahwa tidak semua inovasi sosial ditakdirkan untuk menyebar, beberapa dapat
mempertahankan operasi lokalnya tanpa memperhatikan pertumbuhan (Westley et al.,
2014).

2.3 Hubungan Kewirausahaan Sosial dan Inovasi Sosial


Inovasi sosial adalah dasar bagi seorang kewirausahaan sosial dalam
menjalankan bisnis atau kegiatannya untuk mencari kesempatan, memperbaiki
sistem, menemukan pendekatan yang baru serta menciptakan solusi terhadap
perubahan lingkungan yang lebih baik (Widiastusy, 2011). Seorang kewirausahaan
sosial mencari cara yang inovatif untuk memastikan bahwa usahanya akan memiliki
akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan selama mereka dapat menciptakan nilai
sosial (Mort & Weerawardena, 2003). Inovasi sosial tidak dilakukan secara terpisah
oleh wirausahawan tunggal, tetapi merupakan proses interaktif yang dibentuk oleh
berbagi pengetahuan secara kolektif antara berbagai organisasi dan lembaga yang
mempengaruhi perkembangan di bidang tertentu untuk memenuhi kebutuhan sosial
atau untuk mendorong pembangunan sosial. Interaksi tidak hanya mendorong
generasi pengetahuan baru tetapi juga membantu wirausaha sosial memperoleh dan
mengembangkan kemampuan. Karena kapabilitas organisasi membantu menentukan
aktivitas inovatifnya.
Moulaert (2013) mengemukakan bahwa inovasi sosial dapat dimulai di mana-
mana dalam bidang perekonomian, tidak hanya di sektor non-profit, tetapi juga di
sektor publik dan swasta. Di samping itu, inovasi sosial tidak terbatas pada masalah
kesejahteraan tetapi juga mungkin terkait dengan isu-isu perlindungan lingkungan
dan pembangunan berkelanjutan. Inovasi sosial sangat berkaitan dengan
kewirausahaan sosial
Dees (1998) memandang bahwa kewirausahaan sosial dimaknai sebagai proses
dimana warga masyarakat membangun atau menstranformasikan lembaga untuk
mengembangkan berbagai solusi bagi masalah sosial seperti kemiskinan, kesakitan,
kebutaaksaraan, kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan
lain sebagainya, supaya terbangun kehidupan sosial yang baik untuk semua(Bornstein
& Davis, 201 0:1). Zahra dkk. (2009) mendefinisikan kewirausahaan sosial sebagai
kegiatan dan proses yang dilakukan untuk menemukan, mendefinisikan, dan
memanfaatkan peluang untuk meningkatkan kekayaan sosial dengan menciptakan
usaha baru atau mengelola organisasi yang ada dengan cara yang inovatif.
Phills, Deiglmeier, dan Miller (2008), mendefinisikan inovasi sosial adalah
solusi baru untuk masalah sosial yang lebih efektif, efisien, atau hanya daripada
solusi yang ada dan yang nilai yang diciptakan diperoleh terutama untuk masyarakat
secara keseluruhan daripada individu pribadi. Inovasi sosial juga didefinisikan
sebagai kegiatan dan layanan inovatif yang dimotivasi oleh tujuan memenuhi
kebutuhan sosial (Mulgan, 2006, p. 146), terjadi di beberapa bentuk organisasi, dari
perusahaan nirlaba yang sering menciptakan nilai sosial melalui program Corporate
social responsibility (CSR) mereka, kepada organisasi misi ganda yang membentuk
model hybrid baru (Dees & Anderson, 2006).
Berdasarkan definisi diatas, kewirausahaan sosial dan inovasi sosial adalah
tentang mengidentifikasi peluang pemecahan masalah untuk memenuhi kebutuhan
sosial (De Bruin & Ferrante, 2011; Korsgaard, 2011; Lehner & Kansikas, 2012;
Monllor & Attaran, 2008; Perrini, Vurro, & Costanzo, 2010).
Kewirausahaan sosial dan inovasi sosial semakin banyak dilakukan sebagai
cara untuk mengatasi mekanisme berbasis pasar yang mengatur organisasi
nirlaba/non profit, dan investasi kembali keuntungan mereka untuk memberikan hasil
yang positif bagi masyarakat atau kelompok pemangku kepentingan.
Menurut Bill Drayton (pendiri Ashoka Foundation) selaku penggagas social
entrepreneurship terdapat dua hal kunci dalam social entrepreneurship, yaitu adanya
inovasi sosial yang mampu mengubah sistem yang ada di masyarakat dan hadirnya
individu bervisi, kreatif, berjiwa wirausaha (entrepreneurial), dan beretika di
belakang gagasan inovatif tersebut.
Hulgard (2010) merangkum definisi social entrepreneurship secara lebih
komprehensif yaitu sebagai penciptaan nilai sosial yang dibentuk dengan cara bekerja
sama dengan orang lain atau organisasi masayarakat yang terlibat dalam suatu inovasi
sosial yang biasanya menyiratkan suatu kegiatan ekonomi.
Kewirausahaan sosial didefinisikan sebagai aktivitas yang bernilai sosial dan
inovatif yang terjadi dalam atau lintas sektor non profit, bisnis, dan pemerintahan.
Stevenson & Wei- Skillern (2006) menekankan pula bahwa karakteristik
kewirausahaan sosial mencakup: (Cartert & Evans, 2006:70)
1) Inovasi, yang berarti kewirausahaan merupakan proses kreatif yang
menggunakan suatu kesempatan untuk menghasilan sesuatu yang baru,
2) Penciptaan nilai sosial, dimana tujuan sosial dari kegiatan wirausaha sosial
dinyatakan dengan jelas, dan
3) Loci yang bermakna bahwa aktivitas kewirausahaan sosial terjadi dalam semua
sektor dan interaksi kolaboratifnya
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan ahli di atas, Nicholls (2006:103)
menyatakan kewirausahaan sosial memiliki dimensi: socialibity, market orientation,
dan innovation. Ketiga dimensi ini merupakan satu kesatuan dalam konsep
kewirausahaan sosial. Dimensi sosial mengandung makna bahwa aktivitas
wirausahaan sosial tidak lepas dari kegiatan yang terkait dengan konteks kehidupan
sosial misalnya terkait dengan pengentasan kemiskinan, pengangguran, peningkatan
kesehatan masyarakat, dan sebagainya, melibatkan berbagai pihak dalam
operasionalnya, dan mengandung makna bahwa aktivitas kewirausahaan ini
dimaksudkan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Orientasi pasar menunjukkan
bahwa aktivitas kewirausahaan sosial dilakukan dalam bentuk kegiatan
pengembangan masyarakat melalui usaha sosial (social entreprise).
Dari berbagai definisi di atas memberikan pemahaman bahwa kewirausahaan
sosial terdiri dari empat elemen utama yakni social value, civil society, innovation,
and economic activity : (Hulgard, 2010).
1) Social Value. Ini merupakan elemen paling khas dari kewirausahaan sosial
yakni menciptakan manfaat sosial yang nyata bagi masyarakat dan lingkungan
sekitar.
2) Civil Society. Kewirausahaan sosial pada umumnya berasal dari inisiatif dan
partisipasi masyarakat sipil dengan mengoptimalkan modal sosial yang ada di
masyarakat.
3) Innovation. Kewirausahaan sosial memecahkan masalah sosial dengan cara-
cara inovatif antara lain dengan memadukan kearifan lokal dan inovasi sosial.
4) Economic Activity. Kewirausahaan sosial yang berhasil pada umumnya dengan
menyeimbangkan antara aktivitas sosial dan aktivitas bisnis. Aktivitas.

2.4 Scaling Up Social Impact


Tantangan untuk membuat inovasi sosial yang kuat berjalan ke tempat yang
paling membutuhkan terus menghalangi para wirausahawan sosial dan
pendukungnya. Banyak upaya yang gagal untuk meningkatkan skala program sosial
dapat dilacak pada ketergantungan yang berlebihan pada kebijaksanaan konvensional
dari sektor bisnis, di mana upaya peningkatan skala biasanya berfokus pada
peningkatan ukuran organisasi. Namun, paradigma baru telah muncul dalam beberapa
tahun terakhir yang berfokus pada penskalaan dampak sosial tanpa perlu
meningkatkan ukuran organisasi di belakangnya. Richard Bradach (2010)
mengatakan bahwa menemukan cara untuk mengukur dampak tanpa menskalakan
ukuran organisasi adalah batas baru untuk pekerjaan di bidang enterpreneurship. (J.
Bradach, 2010).
Banyak orang mulai melihat tantangan skala di sektor sosial ketika mereka
menyadari perbedaan yang mencolok antara kewirausahaan sosial dan bisnis. Begitu
mereka mengamati perbedaan antar sektor ini, banyak wirausahawan sosial secara
alami beralih ke dunia bisnis untuk mendapatkan panduan. Dengan demikian,
sebagian besar model penskalaan berfokus pada peningkatan dampak dengan
meningkatkan ukuran organisasi di belakangnya, dan ini menawarkan banyak
kenyamanan awal bagi pengadopsinya: penelitian pendukung yang ekstensif,
penerapan metrik konvensional yang mudah, kemampuan untuk mempertahankan
operasional (dan emosional) kendali atas perusahaan, dan keakraban yang nyaman
bagi penyandang dana yang berpengalaman dalam konsep bisnis.
Namun, secara komparatif hanya sedikit dari model ini yang berhasil membantu
inovasi sosial benar-benar berkembang di seluruh dunia. Sementara wirausahawan
bisnis diberi kompensasi atas kompleksitas yang lebih besar dari organisasi yang
sedang tumbuh dengan aliran pendapatan dan skala ekonomi baru, organisasi sosial
umumnya merasa semakin sulit untuk mendapatkan pendanaan untuk setiap anak
perusahaan baru dan mengalami skala ekonomi yang jauh lebih kecil daripada mitra
bisnis mereka. Lebih jauh, bidang kewirausahaan sosial semakin menyadari bahwa
“praktik manajemen yang lebih baik hanya dapat menciptakan perubahan sosial
secara bertahap, bukan terobosan perubahan sosial, bahkan bisnis terbaik tidak dapat
memberi tahu kita bagaimana mengubah dunia, karena itu bukan tujuan utama
mereka (L. Crutchfield and H. M.Grant, 2008).
Sebagai contoh kasus, Dr. Steve Collins, pendiri Valid Nutrition, adalah salah
satu wirausaha sosial yang frustrasi dengan upaya untuk mengadaptasi model bisnis
tradisional untuk meningkatkan dampaknya. Beberapa tahun yang lalu, Steve
merevolusi pengobatan malnutrisi akut yang parah dengan mengembangkan metode
baru yang melibatkan porsi individu "makanan terapeutik siap pakai" yang diberikan
langsung oleh anggota komunitas. Pendekatan ini menghilangkan perjalanan jauh ke
pusat perawatan rawat inap yang penuh sesak, mengurangi risiko kontaminasi, dan
pada akhirnya memangkas tingkat kematian lima kali lipat sekaligus meningkatkan
cakupan secara dramatis.
Berdasarkan hasil ini, dan pengetahuan bahwa permintaan akan pengobatan
masih jauh melebihi pasokannya, Valid Nutrition merasakan kewajiban yang
membara untuk memperluas dampak kerjanya seluas mungkin. Memanfaatkan model
ekspansi perusahaan yang lazim di industri ini dan ingin mempertahankan kontrol
ketat atas kualitas, ia membangun pabrik, menyewa tim distribusi, dan membangun
seluruh rantai pasokan di bawah manajemen Nutrisi Valid langsung.
Namun, dengan sangat cepat, pendekatan ini menemui masalah: pertumbuhan
pendapatan tidak sejalan dengan biaya, dan tugas mengelola secara langsung begitu
banyak proses membuat tim inti Valid Nutrition kewalahan. Lebih lanjut, tim Steve
merasa frustrasi karena model organisasi mereka yang sangat terpusat gagal
mempromosikan otonomi dan pemberdayaan ekonomi lokal secara memadai — nilai
inti dari ideal perawatan berbasis komunitas mereka. Steve telah mengalami salah
satu kesulitan utama dalam menskalakan dampak sosial: saat Anda melayani semakin
banyak, kompleksitas pekerjaan Anda meningkat lebih cepat daripada kemampuan
organisasi Anda untuk mengelolanya (Paul JMW and Paul R, 2010).
Wirausahawan sosial dapat secara efektif meningkatkan dampaknya untuk
menjangkau banyak orang dan komunitas yang dapat memperoleh manfaat dari
inovasi mereka. Selain mempertimbangkan berbagai cara untuk mendefinisikan
inovasi mereka, wirausahawan sosial harus mengeksplorasi berbagai mekanisme
untuk menyebarkan dampaknya. Penyebaran secara aktif memberikan informasi, dan
terkadang bantuan teknis kepada orang lain yang ingin membawa inovasi ke
komunitas mereka. Afiliasi adalah hubungan formal yang ditentukan oleh perjanjian
berkelanjutan antara dua pihak atau lebih untuk menjadi bagian dari jaringan yang
dapat diidentifikasi. Jaringan afiliasi berkisar dari koalisi longgar organisasi yang
berkomitmen untuk tujuan yang sama, hingga sistem yang lebih ketat yang beroperasi
serupa dengan bisnis waralaba.
Perjanjian afiliasi mungkin memiliki pedoman umum atau khusus yang
mengatur area seperti penggunaan nama merek umum, konten program, tanggung
jawab pendanaan, dan persyaratan pelaporan. Branching adalah pembuatan situs lokal
melalui satu organisasi besar, mirip seperti toko milik perusahaan di dunia bisnis.
Mekanisme ini bisa digunakan untuk menyebarkan dampak sebagai suatu kontinum,
dari penyebaran ke afiliasi ke percabangan yang membutuhkan tingkat koordinasi
pusat yang semakin meningkat dan biasanya memerlukan sumber daya yang lebih
besar (Dees BG, Anderson BB, 2004).
Penyebaran. Mekanisme ini paling sederhana dan biasanya paling sedikit
menggunakan sumber daya, meskipun organisasi penyebar hanya memiliki sedikit
kendali atas implementasi di lokasi baru. Sebagai contoh kasus, KaBOOM!, Sebuah
organisasi nirlaba nasional yang membina pengembangan peluang bermain yang
aman dan dapat diakses untuk anak-anak, telah menggunakan strategi penyebaran
untuk memperluas dampaknya secara dramatis. Pada tahun 1996, KaBOOM!
bergabung dengan Home Depot dan komunitas lokal untuk membangun taman
bermain pertamanya di Washington, D.C. Sejak itu, KaBOOM! telah terlibat
langsung dalam membangun atau merehabilitasi lebih dari 600 taman bermain
melalui program pembangunan tim berbayar untuk layanan, di mana perusahaan
membayar KaBOOM! biaya untuk menyelenggarakan acara pembangunan taman
bermain sepanjang hari dengan perusahaan dan relawan komunitas.
Namun, jika itu satu-satunya gerai KaBOOM !, dampaknya akan dibatasi oleh
kapasitasnya untuk mengawasi pembangunan taman bermain secara langsung.
KaBOOM! ingin menyebarkan pendekatannya secara lebih luas, dan untuk tujuan ini,
mulai menawarkan berbagai sumber gratis atau berbiaya rendah, dari alat dan
publikasi online hingga seminar pelatihan dan KaBOOM tahunan! Playground
Institute bagi mereka yang tertarik untuk membangun atau memfasilitasi taman
bermain lokal. Dengan cara ini, orang bisa belajar tentang KaBOOM! program dan
manfaatkan keahliannya, mengadaptasi dan melaksanakan program secara lokal,
sesuai dengan kebutuhan mereka.
Pendekatan "open source" ini memungkinkan organisasi untuk memacu orang
lain untuk membangun atau merehabilitasi taman bermain di ribuan komunitas baik
di sini maupun di luar negeri, menyebarkan dampak KaBOOM! Jauh melampaui 600
lebih taman bermain yang telah terlibat langsung di dalamnya. bangunan. “Kami
memberikan akses kepada orang-orang agar mereka dapat menggunakan model
tersebut dan secara mandiri menirunya,” jelas Darell Hammond, salah satu pendiri
dan kepala eksekutif. “Kami merasa bahwa bentuk sanjungan terbaik adalah imitasi;
jika orang terinspirasi oleh model pembangunan komunitas kami, maka melalui
distribusi berbiaya rendah, kami dapat memberi mereka resep untuk
menggunakannya. ” (Dees BG, Anderson BB, 2004).
Untuk menghadapi berbagai pilihan ini, pengusaha sosial dapat menemukan
jalan yang terbaik dengan 5R, merupakan panduan penskalaan untuk para pengusaha
agar mendapatkan jalan berinovasi dengan baik. 5R mencakup; Readiness (kesiapan),
Receptivity (Penerimaan), Resources (Sumber Daya), Risks (Resiko) dan Returns
(Pengembalian). (Dees BG, Anderson BB, 2004. Inovasi yang akan dikembangkan
dan disebarluaskan harus sangat matang difikirkan dari berbagai aspek tersebut dan
dipertimbangkan apakah akan membawa dampak yang baik bagi masyarakat dan bagi
perusahaan atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Akmalur Rijal, dkk. 2018. Jurnal. Kewirausahaan Sosial Pada Lembaga Zakat
Nasional. Human Falah: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Volume 5. No. 1
2. Christensen, C. (1997). The innovator’s dilemma: when new technologies cause
great firms to fail. Bos- ton: Harvard Business School Press.
3. Cukier, Wendy, Susan Trenholm, dan Dale Carl, 2011, “Social
Entrepreneurship : A Content Analysis”, Journal of Strategic Innovation and
Sustainability. Hardi Utomo 2014. Jurnal. Menumbuhkan Minat
Kewirausahaan Sosial. Among Makarti, Vol.7 No.14.
4. Dacin, M. T., Dacin, P. A., & Tracey, P. (2011). Social entrepreneurship: A
critique and future direc- tions. Organization Science, 22(5), 1203–1213.
5. Dacin, P. A., Dacin, M. T., & Matear, M. (2010). Social entrepreneurship: Why
we don’t need a new theory and how we move forward from here. The
Academy of Management Perspectives, 24(3), 37–57.
6. Dees BG, Anderson BB, Wei-skillern J. Strategies for spreading social
innovations. Stanford Soc Innov Rev. 2004;1(4):24-32. doi:10.1007/s10614-
005-6245-1
7. Hardi Utomo. 2014. Menumbuhkan Minat Kewirausahaan Sosial. Among
Makarti. Vol.7 (14) .
8. Hart, S. L. (2005). Capitalism at the crossroads: the unlimited business
opportunities in solving the world’s most difficult problems. New Jersey:
Pearson Education.
9. Hulgard. Lars, 2010, Discourses of Social Entrepreneurship-Variation of The
Same Theme? EMES European Research Network. Irma Paramita Sofia. 2015,
Jurnal. Model Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship) Sebagai
Gagasan Inovasi Sosial Bagi Pembangunan Perekonomian. Universitas
Pembangunan Jaya #2 Volume 2.
10. Irma Paramita Sofia. 2015. Konstruksi Model Kewirausahaan Sosial (Social
Entrepreneurship) Sebagai Gagasan Inovasi Sosial Bagi Pembangunan
Perekonomian. Jurnal Universitas Pembangunan Jaya. Vol. 2.
11. J. Bradach, “Scaling Impact: How to Get 100x the Results with 2x the
Organization,” Stanford Social Innovation Review 6, no. 3 (2010): 27-28.
12. L. Crutchfield and H. M.Grant, Forces for Good: The Six Practices of High-
Impact Nonprofits (San Francisco, CA: Jossey-Bass, 2008).
13. Le Ber, M. J., & Branzei, O. (2010a). (Re)forming strategic cross-sector
partnerships relational processes of social innovation. Business & Society,
49(1), 140-172.
14. Lyon F, Fernandez H. Strategies for scaling up social enterprise: lessons from
early years providers. Soc Enterp J. 2012;8(1):63-77.
doi:10.1108/17508611211226593
15. Maclean, M., Harvey, C., Gordon, J., & Shaw, E. (2012). ‘World-making’ and
major philanthropy. Exeter University. Retrieved February 3rd, 2016, from:
https://goo.gl/mjsuJC.
16. Morais-Da-Silva RL, Takahashi ARW, Segatto AP. Scaling up Social
innovation: A meta-SyntheSiS. Rev Adm Mackenzie. 2016;17(6):134-163.
doi:10.1590/1678-69712016/administracao.v17n6p134-163
17. Murray, R., Caulier-Grice, J., & Mulgan, G. (2010). The open book of social
innovation. London: National Endowment for Science, Technology and the
Art/Young Foundation. Retrieved February 3rd, 2016, from:
http://goo.gl/FwhPdt.
18. Nur Firdaus 2014 .Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan. Pengentasan
Kemiskinan Melalui Pendekatan Kewirausahaan Sosial. Peneliti Pusat
Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Vol 22, No. 1.
19. Palesangi, Muliadi, 2013, Jurnal. Pemuda Indonesia dan Kewirausahaan Sosial,
Universitas Katolik Parahyangan.
20. Paul JMW and Paul R. Scaling Social Impact. Scaling Soc Impact; When
Everybody Contributes, Everybody Wins. 2010;6(2):143-155.
doi:10.1057/9780230113565
21. Prahalad, C. K., & Hart, S. L. (2002).The fortune at the bottom of the pyramid.
Strategy+ Business, 26(1), 54-67.
22. Rawhouser H, Cummings M, Newbert SL. Social Impact Measurement:
Current Approaches and Future Directions for Social Entrepreneurship
Research. Entrep Theory Pract. 2019;43(1):82-115.
doi:10.1177/1042258717727718
23. Ririn Gusti, Citra Dwi Palenti, Erma Kusumawardani. 2017. Kewirausahaan
Sosial Dalam Meningkatkan Kemampuan Enterpreneur Pada Mahasiswa
Pendidikan Luar Sekolah Untuk Menghadapi Abad 21. Seminar Nasional
Pendidikan Nonformal FKIP Universitas Bengkulu. Vol. 1(1).
24. Sofia, Irma Paramita (2015): Konstruksi Model Kewirausahaan Sosial Sebagai
Gagasan Inovasi Sosial Bagi Pembangunan Perekonomian. Di unduh April
2021 : https://ojs.upj.ac.id/index.php/journal_widya/article/view/7/9
25. Takasashi, adriana roseli wunsch, dkk (2016) Scaling Up Social Innovatiob: A
Meta-Synthesis.
26. Tidd, J. (2001). Innovation management in context: environment, organization
and performance. International Journal of Management Reviews, 3(3), 169-183.
27. Wendy Phillips, Hazel Lee, Abby Ghobadian, Nicholas O’Regan, and Peter
James. 2014. Social Innovation and Social Entrepreneurship: A Systematic
Review. Group & Organization Management.
28. Zeschky, M., Widenmayer, B., & Gassmann, O. (2011). Frugal innovation in
emerging markets. ResearchTechnology Management, 54(4), 38-45.

Anda mungkin juga menyukai