DYSPEPSIA
Disusun oleh:
2213020034
Pembimbing:
dr. Fajar Danu Aji., Sp.A
NIM : 2213020034
Dokter Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala
limpahan rahmat, kasih sayang dan ridho-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan OSLER ini dengan kasus ”Dyspepsia”. OSLER ini disusun untuk
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Studi
Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Purwokerto di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Soeselo Slawi.
Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang telah membantu meyelesaikan Case Based Discussion ini terutama
kepada:
1. dr. Fajar Danu Aji., Sp.A selaku pembimbing yang telah memberi masukan
dan saran dalam penyusunan OSLER ini.
2. Teman-teman yang telah memberikan support dan masukan dalam
penyusunan OSLER ini.
Penulis menyadari bahwa OSLER ini masih belum sempurna, oleh karena
itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangatlah penulis harapkan
untuk menyempurnakan OSLER ini di kemudian hari, terlepas dari segala
kekurangan yang ada, penulis berharap semoga OSLER ini dapat bermanfaat bagi
ilmu pengetahuan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
i
BAB I
LAPORAN KASUS
A. DATA PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama : An. DJ
b. Umur : 13 tahun 7 bulan
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Kebangsaan : Indonesia
e. Suku Bangsa : Jawa
f. Agama : Islam
g. Alamat : Dukuhjati Kidul 02/03
2. Data Dasar
a. Anamnesis
Didapatkan keterangan dari pasien (autoanamnesis) pada
tanggal 23 Februari 2024 di Ruang Anggrek 1 Kamar 2 bed 1
RSUD dr. Soeselo Slawi
5
1) Keluhan Utama : Nyeri perut
2) Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Soeselo Slawi pada
tanggal 21 Februari 2024 pukul 17.35WIB dengan keluhan
Nyeri perut sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
perut di regio epigastrik disertai keluhan mual dan muntah
sebanyak 3x muntah menyemprot bening seperti air, seminggu
sebelumnya pasien mengeluhkan demam selama -/+ 7hari
demam naik turun naik pada malam hari dan turun pada pagi
hari. Pasien juga mengeluhkan lemas sehari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien sudah berobat di dokter umum dan di
berikan obat antipiretik untuk menurunkan demamnya.
Keluhan lainnya seperti batuk, pilek disangkal BAK dan BAB
dalam batas normal.
Keluhan nyeri perut disertai mual dan badan lemas.
Nafsu makan pasien berkurang, nyeri ulu hati (+). Keluhan lain
seperti menggigil, gusi berdarah, mimisan, batuk, pilek, sesak
napas disangkal. BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien
tidak memiliki riwayat bepergian sebelumnya.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat keluhan yang sama.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat keluhan yang sama.
5) Riwayat Penyakit Sosial Ekonomi
Pasien berobat menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional
(BPJS).
6
6) Pohon Keluarga
Laki-laki
perempuan
pasien
8) Riwayat Persalinan
a. Persalinan : Spontan pervaginam
b. Penolong persalinan : Bidan
c. Tempat : RS Adella
d. Masa gestasi : 38 minggu
e. Keadaan bayi
Berat lahir : 3000 gram
Panjang badan : 49 cm
7
Menurut Ibu, saat lahir bayi langsung menangis, kulit
bayi berwarna kemerahan, gerakannya aktif, dan tidak
ditemukan adanya kelainan fisik pada bayi.
8
b. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 23 Maret 2024
di Ruang Anggrek 1 Kamar 2 bed 1 RSUD dr. Soeselo Slawi
1) Status Generalisata
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang dengan FLACC
skor 5, dengan kesadaran Compos Mentis E4 M6 V5,
tampak lemas disertai mual, tampak nyeri pada ulu hati
dan nafsu makan menurun
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 102/75 mmHg
Nadi : 124 kali/menit, regular, teraba kuat
Laju Pernapasan : 20 kali/menit, regular,
kedalaman cukup Suhu Tubuh : 37,9oC
SpO2 : 98 %, room air
2) Data Antropometri
a. Berat badan : 39 kg
b. Tinggi badan : 145 cm
c. IMT : 19,89
d) BB/U : 114% (cukup)
e) TB/U : 93 % (cukup)
Kesan : Status gizi cukup
9
3) Pemeriksaan Fisik Sistematis
Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan
Sistematis
Kepala
Bentuk Normocephal, jejas (-)
Rambut dan kulit Rambut hitam terdistribusi merata, tidak mudah
kepala dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
Mata
bulat, isokor, reflek cahaya (+/+), mata cekung (-/-)
Telinga Normotia, perdarahan (-/-), sekret (-/-)
Septum deviasi (-), perdarahan (-/-), sekret (-/-),
Hidung
Mulut :
Pucat (-) Sianosis (-) Kering (-)
Bibir
Lidah Lidah kotor (-)
Inspeksi:
Simetris, massa (-)
Palpasi:
Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-) dan
Pembesaran thyroid (-)
Thorax
Inspeksi:
Bentuk normochest, simetris, pengembangan
dinding dada (+/+), retraksi dinding dada (-/-)
Paru-paru
Palpasi:
Vocal fremitus (+/+)
Perkusi:
Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi:
Suara dasar paru vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
1
Inspeksi:
Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi:
Palpasi
- + -
- - -
- - -
1
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 2 1 Februari 2024
jam 18.06 WIB di RSUD dr. Soeselo Slawi
Parameter Jumlah Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Leukosit 24,4 (H) 103/ul 4,5 – 13,0
Eritrosit 4,9 103/ul 3,80 – 5,20
Hemoglobin 12,2 (L) g/dl 12,8 – 16,8
Hematokrit 38 % 35 – 47
MCV 78 (L) fL 80-100
MCH 25 (L) pg 26-34
MCHC 32 g/dL 32-36
3
Trombosit 166 10 /ul 150 – 400
Diff Count
Eosinofil 0,20 (L) % 2,00 – 4,00
Basofil 0,20 % 0–1
Netrofil 81,70 (H) % 50 – 70
Limfosit 15,30 (L) % 25 – 40
Monosit 2,60 % 2–8
Netrofil Limfosit 5,34 (H) <3,13
Ratio
MPV 10,6 fL 7,2 – 11,1
RDW-SD 42,5 fL 35,1 – 42,9
RDW-CV 15,1 (H) % 11,5 – 14,5
Kesan: Leukopenia, Trombositopenia, Eosinofilopenia,.
B. RESUME
1
Pasien datang ke IGD RSUD Soeselo Slawi pada tanggal 21
Februari 2024 pukul 17.35 WIB dengan keluhan nyeri perut sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri perut di regio epigastrik disertai
keluhan mual dan muntah sebanyak 3x muntah menyemprot bening
seperti air, seminggu sebelumnya pasien mengeluhkan demam selama -/+
7hari demam naik turun naik pada malam hari dan turun pada pagi hari.
Pasien juga mengeluhkan lemas sehari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
sudah berobat di dokter umum dan di berikan obat antipiretik untuk
menurunkan demamnya. Keluhan lainnya seperti batuk, pilek disangkal
BAK dan BAB dalam batas normal.
Keluhan nyeri perut disertai mual dan badan lemas. Nafsu makan
pasien berkurang, nyeri ulu hati (+). Keluhan lain seperti menggigil, gusi
berdarah, mimisan, batuk, pilek, sesak napas disangkal. BAK dan BAB
dalam batas normal. Pasien tidak memiliki riwayat bepergian sebelumnya.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
antenatal, natal dan postnatal baik, tidak ada kelainan. Imunisasi dasar dan
booster lengkap. Disekitar rumah pasien ada yang menderita keluhan
serupa.
C. DIAGNOSIS
1
1) Dyspepsia DD Tyfoid Fever DD Gastroentritis Kronis
2) Status Gizi Cukup
3) Imunisasi dasar dan booster lengkap
4) Perkembangan sesuai usia
Usulan Pemeriksaan Penunjang
1) Evaluasi darah lengkap
2) Widal Test
3) Tes SGOT dan SGPT
4) Rontgen Thorax AP
5) Apusan darah tepi
Diagnosis Kerja
1) Dyspepsia
2) Gizi cukup
3) Imunisasi dasar dan booster lengkap
4) Perkembangan sesuai usia
D. TATALAKSANA
1. Rencana Terapi
a. Terapi Medikamentosa
1) Oksigenasi
O2 nasal canul 2-4 lpm
2) Resusitasi Cairan
IVFD RL 20 cc/kgBB/jam BB 31 kg 620 cc
selama 20 mnt lalu evaluasi tiap jam :
Perbaikan: terapi dilanjutkan IVFD RL
5cc/kgBB/jam = 155 cc/jam. Jika terjadi
perbaikan maka cairan diturunkan menjadi 3
cc/kgBB/jam = 93 cc/jam. Jika terjadi perbaikan,
maka cairan dapat dipertahankan dan dapat di
stop setelah 24-48 jam.
1
6% (HES) dosis 30cc/kgbb, sampai perbaikan. Jika memburuk
dapat di tambahkan dopamin dosis 2-5mcg/kgbb/mnt.
4) Simptomatis
Inj. Paracetamol 10-15 mg/kgBB = 4 x 300 mg
(Bila suhu > 37,5oC) rute IV
Inj. Ranitidin 2 x 25 mg rute IV
E. PROGNOSIS
1. Quo Ad vitam : bonam
2. Quo Ad functionam : bonam
3. Quo Ad sanationam : bonam
1
F. FOLLOW UP
Akral : Hangat
1
Senin, 15 Januari 2024
Demam (-), lemas KU : Tampak lemas, Ensefalopati IVFD RL 93
Dengue cc/jam 31
berkurang, nyeri ulu Tampak sakit ringan tpm makro
hati berkurang, nafsu BLPL
Inj.
makan baik, mual Tanda Vital : Dexamethaso
(-), muntah (-), bercak TD : 100/70mmHg ne 1amp
kemerahan pada kulit HR : 100 x/menit Inj. Ranitidin
(-), BAB dan BAK RR : 21 x/menit 2 x 25 mg IV
dalam batas normal SB : 36,6oC Tirah baring
Monitor
Abdomen : nyeri TTV dan
tekan (minimal) KU
epigastrium dan Cek
hipocondriaca ulang
dextra DR/24
jam
Akral : Hangat
Trombosit 78 10*3/ul
1
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2. EPIDEMIOLOGI
Insidens infeksi dengue meningkat dramatis secara
global dan diperkirakan 390 (284–528) juta orang setiap
tahunnya mulai asimtomatis sampai 96 (67–136) juta di
antaranya bermanifestasi klinis, khusus pada dua dekade
terakhir terjadi peningkatan kasus hingga 8 kali lipat. Studi
prevalens memperhitungkan terdapat 3,9 milyar orang di 129
negara berisiko terinfeksi dengue, namun demikian 70%
mengancam penduduk di Asia. Setiap tahunnya sekitar
500.000 kasus DHF perlu perawatan di rumah sakit, 90%
diantaranya adalah anak – anak usia kurang dari 15 tahun.
Angka kematian DHF diperkirakan sekitar 5% dan sekitar
25.000 kasus kematian dilaporkan setiap harinya.2
3. ETIOLOGI
DHF diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus
dengue merupakan RNA virus dengan nukleokapsid
ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan kapsul lipid. Virus ini
1
termasuk kedalam kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae,
genus Flavivirus. Flavivirus merupakan virus yang berbentuk
sferis, berdiameter 45-60 nm, mempunyai RNA positif sense
yang terselubung, bersifat termolabil, sensitive terhadap
inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksikolat, stabil pada
suhu 70oC.4,7 Virus dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu
DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4.3
2
Gambar 1. Aedes aegypti betina
2
Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh
nyamuk Aedes aegypti, maka virus dengue akan masuk
bersama darah yang diisap olehnya. Didalam tubuh nyamuk
itu virus dengue akan berkembang biak dengan cara
membelah diri dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam kelenjar air
liur nyamuk. Jika nyamuk tersebut menggigit seseorang maka
alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah,
sebelum darah orang itu diisap maka terlebih dahulu
dikeluarkan air liurnya agar darah yang diisapnya tidak
membeku. Bersama dengan air liur inilah virus dengue
tersebut ditularkan.3
4. PATOGENESIS
Patogenesis DHF terbagi dalam dua teori. Dua teori
yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary heterologous infection) dan hipotesis immune
enhancement. Pasien yang mengalami infeksi berulang
dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai
risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai
virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks
antigen antibodi kemudian berikatan dengan reseptor dari
membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena
antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag (respon antibodi anamnestik).11
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan
C5), melepaskan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan
2
permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma
merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma
intravaskular menurun hingga menyebabkan hipovolemia
hingga syok.12
2
Gambar 2. Imunopatogenesis Virus Dengue
2
Gambar 3. Patogenesis syok pada DHF
2
diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan.13
2
Gambar 4. Patogenesis perdarahan pada DHF
5. DERAJAT PENYAKIT
Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011 :
2
Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2009 :9
6. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu:3,13
a. Fase febris
2
c. Fase penyembuhan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan
dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48
– 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik,
nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan
diuresis membaik.
7. DIAGNOSIS
Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis
WHO yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris, yaitu
sebagai berikut:3
Kriteria klinis:
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti
anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang, persendian,
dan kepala, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari
b. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet
3
d. Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi ≤ 20
mmHg, atau hipotensi disertai gelisah dan akral dingin.
3
*Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas
menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah
diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang DHF meliputi:14
Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar
leukosit, eritrosit, hemoglobin, hematokrit, dan jumlah
trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu
dijumpai pada DBD merupakan indikator terjadinya
perembesan plasma. Selain hemokonsentrasi juga
3
NS-1 antigen virus dengue, yaitu suatu glikoprotein yang
diproduksi oleh semua flavivirus.
c. Pemeriksaan Serologi
3
1) IgM Elisa (IgM Captured Elisa = Mac Elisa)8
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji
serologi yang banyak sekali dipakai. Sesuai namanya
test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum
pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji mac
elisa adalah :
a) Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue,
akan timbul IgM yang diikuti oleh IgG.
b) Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara
cepat dapat ditentukan diagnosisyang tepat.
c) Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif,
dalam hal ini perlu diulang.
d) Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka
dilaporkan sebagai negatif.
e) IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3
bulan setelah adanya infeksi. Untuk memeperjelas
hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap
IgG. Untuk itu uji IgM tidak boleh dipakai sebagai
satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan
kasus.
f) Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit
dibawah uji HI, dengan kelebihan uji mac elisa
hanya memerlukan satu serum akut saja dengan
spesifitas yang sama dengan uji HI.
2) IgG Elisa
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang
sebanding dengan uji HI , hanya sedikit lebih spesifik.
Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi dengue
IgM / IgG dengue blot, dengue rapid IgM, IgM elisa,
IgG elisa, yang telah beredar di pasaran. Pada
dasarnya,hasil uji serologi dibaca dengan melihat
kenaikan titer antibodi fase konvalesen terhadap
3
titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau
lebih).8
3
Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi dan USG, terdapat beberapa
kelainan yang dapat dideteksi pada kasus DHF yaitu:
a. Efusi pleura
b. Kardiomegali dan efusi perikard
c. Hepatomegali, dilatasi V. heapatika dan kelainan parenkim hati
d. Cairan dalam rongga peritoneum
8. DIAGNOSIS BANDING
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari DHF:16
a. Pada awal perjalanan penyakit diagnosis banding
mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi parasite
seperti: demam tifoid, influenza, hepatitis, demam
cikungunya, leptospira dan malaria. Adanya
trombositopenia yang jelas disertai hemokonstentrasi
dapat membedakan DHF dengan penyakit lain.
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam
chikungunya. Pada demam chikungunya biasanya seluruh
anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip
dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DHF, demam
chikungunya memperlihatkan serangan demam mendadak,
masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir
selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva
dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proposi uji
tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama
dengan DHF. Pada demam chikungunya tidak ditemukan
perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Idiopathic Trombocytopenic Purpura (ITP) sulit
dibedakan dengan DHFderajat II, oleh karena didapatkan
demam disertai perdarahan kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DHF,
tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai
3
leukopeni,tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai
pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase
penyembuhan DHF jumlah trombosit lebih cepat kembali
ke normal dari pada ITP.
3
d. Perdarahan juga dapat terjadi pada leukemia atau anemia
aplastik. Pada leukemia demam tidak teratur, kelenjar
limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan
darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis
leukemia. Pada anemia aplastik anak sangat anemis
demam timbul karena infeksi sekunder. Pada pemeriksaan
darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin, dan
trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan
hebat, pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein
dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda
perembesan plasma.
9. TATALAKSANA
Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi
dengue dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B,
dan C.5 Pasien yang termasuk Grup A dapat menjalani rawat
jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus
menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai saat ini belum
tersedia terapi antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi
bersifat simptomatis dan suportif.
a. Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa
disertai warning signs dan mampu mempertahankan
asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine
minimal sekali dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat
jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan. Pasien
dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan. Terapi
di rumah untuk pasien Grup A meliputi edukasi mengenai
istirahat atau tirah baring dan asupan cairan oral yang
cukup, serta pemberian parasetamol. Pasien beserta
keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs
3
secara jelas dan diberikan instruksi agar secepatnya
kembali ke rumah sakitjika timbul warning signs selama
perawatan dirumah.5
b. Grup B
3
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan
warning signs dan pasien dengan kondisi penyerta
khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi
penyerta khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, diabetes
mellitus, gagal ginjal atau dengan indikasi sosial seperti
tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri
harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu
mentoleransi asupan cairan secara oral dalam jumlah yang
cukup, terapi cairan intravena dapat dimulai dengan
memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate
dengan kecepatan tetes maintenance. Monitoring meliputi
pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan cairan keluar),
produksi urine, dan warning signs.5 Tatalaksana pasien
infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai
berikut:
1) Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau
RL) 5-7 ml/kg/jam selama 1-2jam, kemudian kurangi
kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4
jam, dan kemudian kurangi lagi menjadi 2-3
ml/kg/jam sesuai respons klinis.
4
hematokrit di bawah nilai baseline.
4
5) Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam
sampai pasien melewati fase kritis), produksi urine,
hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti
cairan,kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan
fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati, dan fungsi
koagulasi sesuai indikasi).
c. Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran
plasma
(plasma leakage) berat yang menimbulkan syok
dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan distres nafas,
perdarahan berat, atau gangguan fungsi organ berat.
Terapi terbagi menjadi terapi syok terkompensasi
(compensated shock) dan terapi syok hipotensif
(hypotensive shock).5 Terapi cairan pada pasien dengan
syok terkompensasi meliputi:
1) Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-
10 ml/kg/jam selama 1 jam. Nilai kembali kondisi
pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan
tetes secara gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-
2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam,
kemudian 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan
selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien. Terapi
cairan intravena dipertahankan selama 24-48 jam.
2) Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit
setelah bolus cairan pertama. Jika nilai hematorit
meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi bolus
cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam
selama 1 jam. Jika membaik dengan bolus kedua,
kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam
selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan kecepatan
tetes secara gradual seperti dijelaskan pada poin
4
sebelumnya.
3) Jika nilai hematokrit menurun, hal ini
mengindikasikan adanya perdarahan dan memerlukan
transfusi darah (PRC atau whole blood).
4
Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif
meliputi:
4
Beberapa tatalaksana yang diberikan adalah sebagai
15,17
berikut:
a. Resusitasi Cairan
DHF Derajat I dan II
4
DHF Derajat III dan IV
4
b. Pemeriksaan Hematokrit untuk memantau penggantian
volume plasma20,21
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun
tanda vital telah membaik dan kadar hematokrit turun.
Tetesan cairan segera diturunkan menjadi
10ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung
dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Pemasangan CVP yang kadangkala pada pasien pasien
SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila
hematokrit telah turun, diabndingkan nilai Ht
sebelumnya. Jumlah urin 1 ml/kgBB/jam atau lebih
merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik.
Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi setelah
48 syok dpaat teratasi. Apabila cariantetap diberikan
dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorbi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan
kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan),
maka akan menyebabkan hypervolemia dengan akibat
edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit
pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai
tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi.
Nadi yang kuat, tekanan darah yang normal, diuresis
cukup, tanda vital baik merupakan tanda terjadinya fase
reabsorbsi.
c. Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit20,21
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering
menyertai pasien DBD/DSS, maka analisa gas darah dan
kadar elektrolit diperiksa pada DBD berat. Apabila
asidosis tidak terkoreksi, akan memicu terjadinya KID,
sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
4
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma
diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis
dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai
akibat KID tidak akan terjadi sehingga heparin tidak
diperlukan
4
d. Pemberian oksigen20,21
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu
diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian
oksigen dengan menggunakan masker, tetapi harus diingat
pula pada anak seringkali menjadi gelisah apabila
dipasang masker oksigen.
e. Transfusi darah20,21
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus
dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok
yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian
transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi
peradarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk
mengetahui perdarahan interna (internal hemorrhage)
apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit
(misalnya dari 50 % menjadi 40 %) tanpa perbaikan klinis
walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi,
merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah
segar dimaksudkan untuk mengatasi perdarahan karena
cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor
pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspens
trombosit berguna untuk pasien dengan KID (Koagulasi
Intravaskular Diseminata) dan perdarahan massif. KID
biasanya terjadi pada menimbulkan kematian.
Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin
parsial, waktu protrombin, dan fibrinogen degradation
products harus diperiksa pada pasien syok untuk
mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID.
Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis.
4
Indikasi pemberian darah:
5
g. Nafsu makan membaik
5
10. KOMPLIKASI
a. Ensefalopati Dengue10
Pada umumnya ensefalopati dengue terjadi sebagai
komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdarahan,
tetapi juga dapat terjadi pada DHF yang tidak disertai
syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia,
hiponatremia atau perdarahan dapat menjadi penyebab
terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DHF bersifat
sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh
trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat
dari koagulasi intravascular diseminata (KID). Dilaporkan
pula bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah-
otak, tetapi sangat jarang menginfeksi jaringan otak.
Dilaporkan juga keadaan ensefalopati yang berhubungan
dengan kegagalan hati.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien
menurun menjadi apati atau somnolen, dapat disertai
kejang, dan dapat terjadi paada DHF/DSS. Apabila ada
pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk
memastikan adanya ensefalopati syok harus diatasi
terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi, maka perlu
dievaluasi kembali mengenai kesadaran pasien. Pungsi
lumbal dikerjakan apabila syok telah teratasi dan
kesadaran tetap menurun. Pada ensefalopati dengue dapat
dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT).
PT dan PTT memanjang, kadar gula menurun, alkalosis
pada analisa gasdarah, dan hiponatremia (bila mungkin
periksa kadar amoniak darah)
b. Kelainan ginjal10
Gagal ginjal akut pada umunya terjadi pada fase
terminal, sebagaiakibat dari syok yang tidak teratasi
5
dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik
walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka
setalah syok diobati dengan menggunakan volume
intravascular, pentingdiperhatikan apakah benar syok telah
teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang
penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah
syok telah teratasi. Diuresis
5
diusahakan > 1 ml/kgBB/jam. Oleh karena itu jika syok
belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan
telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan
syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis,
ditandaipenurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar
ureum kreatinin.
c. Edem paru10
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin
terjadi akibat pemberian cairan yang berlebihan
(overload). Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai
kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak
akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan
plasma masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi
reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, cairan masih
diberikan (kesalahan memperhatikan hari sakit) pasien
akan mengalami distrespernafasan, disertai sembab pada
kelopak mata, dan ditunjang dengan gangguan udem paru
pada foto dada.
11. PROGNOSIS
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat
tidaknya penanganandiberikan, umur, dan keadaan nutrisi.
Prognosis DHF derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat
III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat
ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol
sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan yang
baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa
prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang dewasa
umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus
DHF yang disertai komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati
5
prognosisnya buruk.3
B. ENSEFALOPATI DENGUE
1. Definisi
Ensefalitis dengue merupakan manifestasi neurologi akibat
infeksi dengue; dapat terjadi sejak hari pertama terinfeksi. Sifat
neurotropik beserta neuropatogenesis dengue melibatkan respons
imun dengan berbagai spektrum gejala, mulai dari dapat sembuh
sendiri tanpa sekuel hingga mengalami gejala klinis berat. Diagnosis
ensefalitis dengue melalui tanda serebral akut disertai penemuan
imunoglobulin M atau antigen dengue dalam jaringan, serum, atau
likuor serebrospinalis23.
2. Epidemiologi
Infeksi dengue diketahui pertama kali pada tahun 1779 di
kota Batavia dalam jurnal yang ditulis David Babylon. Setiap tahun
ditemukan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue. Infeksi dengue
endemik pada hampir seluruh dunia, terutama di kawasan Asia
Tenggara dan Pasifik Barat dengan beban global dengue lebih dari
75% dan meningkat 30 kali dalam 50 tahun terakhir. Beban penyakit
meningkat signifikan dari 2,2 juta pada tahun 2010 menjadi 3,34 juta
kasus di tahun 201624..
WHO melaporkan peningkatan proporsi kasus dengue dan
derajat keparahannya di kawasan Asia Tenggara, terutama di
Indonesia. Sejumlah manifestasi neurologis lainnya telah dilaporkan
sejak awal tahun 1900, yang paling sering adalah ensefalitis.
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) akibat infeksi dengue makin
meningkat setiap tahun23.
3. Etiologi
Dengue merupakan virus genom asam ribonukleat (ARN)
rantai tunggal berukuran 50 nanometer, genus Flavivirus dari famili
5
Flaviviridae. Virionnya berupa nukleokapsid kubis simetris dengan
kapsul lipoprotein. Virus dengue berbentuk batang, termolabil,
sensitifterhadap inaktivasi dietileter ataupun natrium dioksikolat, dan
stabil pada suhu 70°C. Panjang genom 11.644 nukleotida dengan
tiga struktur protein, yaitu nukleokapsid, protein membran asosiasi,
protein kapsul, serta tujuh gen protein non-struktural (NS), yaitu
NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5 yang berperan dalam
hemaglutinasi eritrosit, induksi aktivitas netralisasi antibodi, dan
perlindungan virus terhadap respons imun. NS1 merupakan
glikoprotein berkapsul berukuran 45 kDa yang penting untuk
diagnostik. NS3 membantu translasi ARN, NS2b/NS3 dan NS5
membantu transkripsi dan replikasi virus, serta NS4a dan NS4b
mengatur respons imun bawaan, perakitan, dan pelepasan virion25.
Terdapat 4 serotip dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4. Keempat serotip telah ditemukan di Indonesia dengan
DEN-3 yang sering dijumpai. Berkembangnya evolusi dengue
menunjukkan proses adaptasi terhadap vektor virus baru dengan
inang secara berulang sejak 300 hingga 1.500 tahun di kawasan Asia
dan Oseania. Adanya infeksi salah satu serotip membuat inang
menghasikan imunitas silang yang muncul dalam beberapa bulan
dan bersifat permanen, sedangkan imunitas terhadap tiga serotip
lainnya bersifat sementara. Infeksi sekunder terhadap serotip lain
atau infeksi multipel dengan serotip berbeda menimbulkan
manifestasi klinis dengue yang berat26.
Manifestasi ensefalitis, meningitis, dan mielitis biasanya
berkaitan dengan infeksi DEN-2 dan DEN-3. Meskipun demikian,
DEN-4 juga ditemukan pada penderita ensefalitis melalui
pemeriksaan imunohistokimia sel otak dan likuor serebrospinalis
(LSS)27.
Vektor dengue, yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Aedes aegypti merupakan vektor primer area urban; nyamuk ini
menggigit di siang hari dan tersebar di sepanjang kawasan tropis dan
5
subtropis. Sedangkan Aedes albopictus adalah vektor sekunder di
Asia; nyamuk ini muncul sebagai vektor dengue di sejumlah negara.2
Sarangnya ditemukan di genangan air jernih26.
4. Patogenesis
5
5. Manifestasi klinis
Manifestasi klinisnya beragam, mulai dari dapat sembuh
sendiri tanpa sekuel hingga gejala klinis berat, seperti hemiparesis,
tetraparesis, hemihipestesia, kaku kuduk, kejang, gangguan
kesadaran, amnesia. Atrofi nervus optikus, perdarahan otak, dan
ensefalopati dapat ditemukan. Beberapa ahli melaporkan
ensefalopati, ensefalitis, meningoensefalitis, ADEM, mielitis
transversa, SGB, meningitis dengue, dan mioklonus. WHO
5
menggolongkan manifestasi neurologis pada expanded dengue
syndrome; sindrom ini dapat terjadi pada organ saraf, hepar, ginjal,
dan sejumlah organ lain sebagai komplikasi syok berat, proses
koinfeksi, atau kondisi inang28.
Ensefalitis dengue (ED) dapat terjadi pada DD tidak
terkomplikasi dan dapat terjadi sejak hari pertama terinfeksi.
Ensefalitis dan ensefalopati perlu dibedakan; ensefalitis terjadi
akibat proses inflamasi, sedangkan ensefalopati terjadi karena
gangguan metabolik akibat kegagalan hati atau ginjal, infeksi
sistemik, dan anoksia. Faktor risiko ensefalopati meliputi masalah
syok, perdarahan saluran cerna, gangguan fungsi hati berat,
tingginya kebutuhan cairan, gangguan elektrolit, dan edema otak
akibat perubahan permeabilitas vaskular. Sebagian besar
ensefalopati yang dilaporkan adalah ensefalopati hepatik27.
Beberapa bentuk ED di antaranya ensefalitis fokal,
panensefalitis, ADEM, dan meningoensefalomielitis. Onset-
nya mendadak dengan gejala prodormal demam, lemas, nyeri otot,
muntah, dan diare. Beberapa hari kemudian timbul nyeri kepala,
disorientasi, dan penurunan kesadaran. Gejala lain meliputi
munculnya refleks primitif, postur tubuh abnormal, kelumpuhan
saraf wajah, tetraparesis, amnesia, dan kejang tanpa perdarahan
intrakranial. Pasca infeksi dapat muncul ensefalomielitis, NMO,
mononeuropati, polineuropati, dan poliradikulopati29.
6. Diagnosis
Kriteria diagnostik ED, yaitu demam dengan tanda serebral
akut disertai temuan imunoglobulin M (IgM) antidengue atau
antigen dengue dalam SSP, serum, dan/atau LSS. Spesimen yang
digunakan yaitu darah, serum, plasma, jaringan, LSS sesuai
metode pemeriksaan, dengan saat pengambilan terbaik dalam lima
hari pertama dari onset gejala27.
Diagnosis infeksi akut dapat dikonfirmasi menggunakan
5
metode isolasi virus dengan pemeriksaan antibodi serotip, deteksi
ARN virus dengan metode real time-polymerase chain reaction
(RT-PCR), pemeriksaan NS1(sensitivitas pada serum 52% dan
plasma 66%, spesifisitas pada serum 90% dan plasma 100%),
serokonversi IgM antidengue secara berpasangan, atau
peningkatan empat kali lipat imunoglobulin G (IgG)
menggunakan metode enzyme linked immunoassay (ELISA),
dengan pengambilan serum fase akut dalam lima hari pertama dan
serum konvalesen lebih dari 15 hari kemudian. Standar baku emas
melalui kultur virus dari LSS dengan identifikasi antibodi
fluoresen. Pada pemeriksaan LSS bisa ditemukan peningkatan
kadar protein dan kadar glukosa normal. Computed tomography
(CT) scan menunjukkan edema otak, perubahan substansia alba,
atrofi, dan nekrosis otak. Temuan pada magnetic resonance
imaging (MRI) berupa hiperintensitas di globus pallidus, talamus,
hipokampus, lobus temporal, pons, dan korda spinalis28.
Abnormalitas fokal lebih mengarah ke ensefalitis,
sedangkan keterlibatan difus tanpa temuan spesifik sugestif
ensefalopati. Meskipun demikian, gambaran MRI pada ED tidak
spesifik karena dapat ditemukan pula pada infeksi Japanese
encephalitis virus (JEV) atau virus herpes. Pada pemeriksaan
elektroensefalogram (EEG) didapatkan gelombang latar belakang
lambat pada sebagian besar pasien dan membaik seiring perbaikan
klinis29.
7. Diagnosis Banding
Kecurigaan penyebab demam disertai perubahan
kesadaran, yaitu perdarahan intrakranial dan meningoensefalitis
bakterial. Virus campak, enterovirus, Epstein-Barr, herpes
simpleks, influenza, mumps, dan varisela zoster dapat
menyebabkan ensefalitis akut. Ensefalitis dimediasi imun biasanya
muncul pasca-infeksi virus campak, mumpsatau rubella seperti
ADEM (acute disseminated encephalomyelitis) dengan tanda
6
neurologis multifokal akibat infeksi di otak, korda spinalis, dan
radiks saraf perifer. Selain itu, ADEM juga dapat ditemukan pada
mielitis transversa, neuritis optika, dan ataksia serebral. Ensefalitis
Chikungunya memiliki gejala mirip ED dengan temuan MRI T2-
weighted berupa lesi hiperintens substansia alba dengan difus
terbatas29 .
8. Tatalaksana24,25
Indikasi Dosis dan Administrasi
Edema Otak
Herniasi otak Manitol 0,25-1 g/kgBB bolus tiap 4-6 jam, atau
6
hari
9. Prognosis
ED memiliki prognosis memuaskan. Tingkat morbiditas
dan mortalitas ED rendah seiring banyaknya kasus sembuh
sempurna. Sekuel dapat berupa kelemahan, paresis spastik,
paralisis residual, mielopati statik akibat mielitis transversa,
mengantuk berkepanjangan, dan sindrom Parkinson. Penderita
pasca-mielitis dapat memburuk menjadi ensefalomielitis.
Penderita mielitis dapat mengalami retensi urin dan paraparesis
spastis. Gangguan penglihatan dapat terjadi akibat makulopati,
neuritis optik, dan neuropati. Kematian terjadi karena herniasi
tonsiler akibat edema otak dan perdarahan pons28.
Prognosis tergantung pada penegakan diagnosis sedini
mungkin dan penanganan agresif untuk mengantisipasi ensefalitis
beserta komplikasinya29.
6
6
DAFTAR
PUSTAK
A
6
9. WHO. (2009) Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention, andControl. Hal 3-147
10. Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K., Pohan, H. T. (2006) Demam
Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid
III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
11. Sumarno, S., Soedarmo, P., Garna, H. ,Rezeki, S., Satari, H.
(2008). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta:
IDAI ,ed.2, 155-179
12. Aru W, Sudoyo. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II,
edisi V. Jakarta:Interna Publishing.Hal 1709-1713
13. WHO. (1998) Dengue in the WHO Western Pacific Region.
Weekly Epidemiology Record;73:273
14. Kementerian Kesehatan RI. (2010) Demam Berdarah Dengue di
Indonesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi
Agustus 2010, 2:1-14. Jakarta: Kemenkes RI
15. Nainggolan, F. (2007). Epidemiology and Clinical Pathogenesis
of Dengue in Indonesia; presented at Seminar on Management of
Dengue Outbreaks. Jakarta: University of Indonesia
16. Novriani, H. (2002) Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam
Berdarah Dengue dan Dengue Syndrome Pada Anak. Cermin
Dunia Kedokteran; Vol134:46-9.
17. Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack
CE, et al. (2001). Kinetics of Dengue Virus-specific
Immunoglobulin Classes and Subclasses Correlate with Clinical
Outcome of Infection. J Clin Microbio, Vol.39 4332-8.
18. Candra. Aryu. (2010) Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi,
Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan. Aspirator, Vol. 2
(2):110- 19
19. Lim, H., Lindarto, D., Zein, U. (2014) Prinsip Farmakologi
Endokrin - Infeksi Pengobatan Berbasis Patobiologi Edisi I.
6
Jakarta: Sofmedia
20. Depkes RI. (2004) Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia
Edisi
III. Jakarta: Depkes RI
21. Sukohar, A. (2014) Demam Berdarah Dengue (DBD), Medula; 2(2):1-10
22. IDAI. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI
23. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and
control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Rev. and Expanded.
ed. New Delhi, India: World Health Organization Regional Office
for South-East Asia; 2011. 196 p.1-158 (SEARO Tech Pub
Series).
24. Saxena SK, Kumar S, Maurya VK, Bhatt MLB. The global distribution and
burden of dengue and Japanese encephalitis co-infection in acute encephalitis
syndrome. Current topics in neglected tropical diseases [Internet].
IntechOpen; 2019 [cited 2019 Nov 9]. Available from:
https://www.intechopen.com/online-first/the-global- distribution-and-
burden-of-dengue-and-japanese-encephalitis-co-infection-in-
acute-encepha
25. Dar W, Sofi P. A rare complication of dengue fever. J Gen Pract [Internet].
2015 [cited 2019 Nov 9];04(02). Available from:
http://www.esciencecentral.org/journals/a- rare-complication-of-dengue-
fever-2329-9126-1000237.php?aid=69450
26. Vasanthapuram R, Shahul Hameed SK, Desai A, Mani RS, Reddy V,
Velayudhan A, et al. Dengue virus is an under-recognised causative agent
of acute encephalitis syndrome (AES): Results from a four year AES
surveillance study of Japanese encephalitis in selected states of India. Int J
Infect Dis. 2019;84:S19–24.
27. Calderón-Peláez M-A, Velandia-Romero ML, Bastidas-Legarda LY, Beltrán
EO, Camacho-Ortega SJ, Castellanos JE. Dengue virus infection of blood–
brain barrier cells: Consequences of severe disease. Front Microbiol.
2019;10:1435.
28. Puccioni-Sohler M, Rosadas C, Cabral-Castro MJ. Neurological
complications in dengue infection: A review for clinical practice. Arq
Neuropsiquiatr. 2013;71(9B):667– 71.
29. Wijesinghe A, Gnanapragash N, Ranasinghe G, Ragunathan M. Dengue
meningitis: A typical presentation of dengue virus infection. OA Case
Reports. 2013;2(12):115.
30. Rao SM, Pradeep M, Dnyaneshwar M, Alai T. Dengue encephalitis –
clinical spectrum and outcome. Intern Med Inside. 2013;1(1):8.