Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Nyimas Fatimah, Sp.KFR
Laporan Kasus
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode 12 September – 25 September 2022.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan YME atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Speech Delay et causa Autism Spectrum Disorder” untuk memenuhi tugas
sebagai bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik,
khususnya Departemen Rehabilitasi Medik Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Nyimas Fatimah, Sp.KFR selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan
selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini. Tak lupa ucapan terima kasih
kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan telaah
ilmiah ini yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan
demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat dan pelajaran bagi kita semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN.....................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA........................................................................23
3.1 Speech Delay...........................................................................................23
3.1.1. Definisi.............................................................................................23
3.1.2. Epidemiologi....................................................................................24
3.1.3. Etiologi.............................................................................................25
3.1.4. Klasifikasi dan Gejala......................................................................26
3.1.5. Deteksi Dini.....................................................................................30
3.1.6. Diagnosis..........................................................................................33
3.1.7. Tatalaksana.......................................................................................37
3.1.8. Prognosis..........................................................................................41
3.2 Autism Spectrum Disorder......................................................................41
3.2.1. Definisi.............................................................................................41
3.2.2. Epidemiologi....................................................................................42
3.2.3. Etiologi.............................................................................................43
3.2.4. Klasifikasi........................................................................................44
3.2.5. Manifestasi Klinis............................................................................45
3.2.6. Penegakan Diagnosis.......................................................................46
3.2.7. Diagnosis..........................................................................................48
3.2.8. Tatalaksana.......................................................................................51
3.2.9. Prognosis..........................................................................................54
3.3 Rehabilitasi Medik pada Speech Delay ec ASD......................................54
3.3.1. Prinsip Latihan pada Anak...............................................................54
3.3.2. Perencanaan Program Terapi Latihan..............................................55
3.3.3. Tujuan Terapi Latihan......................................................................55
3.3.4. Pelaksanaan Terapi Latihan dan Kerja Tim.....................................55
3.3.5. Program rehabilitasi medik dengan speech delay ec ASD..............56
3.3.6. Evaluasi Program Latihan................................................................69
BAB IV ANALISIS KASUS................................................................................71
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................76
iv
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
STATUS PASIEN
6
menyilangkan jari telunjuk dan jari tengah. dengan orang sekitar
minim. Kemampuan untuk membedakan orang atau benda
(stereotype) tidak ada.
c. Riwayat Kelahiran
Riwayat Antenatal
Ibu tidak rutin kontrol per bulan selama kehamilan di dokter
kandungan. Pasien pernah tidak periksa kehamilan selama 2x.
Riwayat darah tinggi (-), kencing manis (-), kejang (-), asma (-),
dan stress saat hamil (-), riwayat demam tinggi dan keputihan ada
pada saat usia kehamilan 3 bulan dan dibawa berobat. Obat yang
dikonsumsi selama masa kehamilan berupa asam folat, besi, dan
kalsium. Riwayat merokok (-) dan minum alkohol (-).
Riwayat Kelahiran
Bayi laki-laki lahir dari ibu P1A0, hamil 38 minggu lahir dengan
operasi sectio caesarea oleh dokter spesialis kebidanan. Operasi SC
dikarenakan plasenta yang terdapat tepat di jalan lahir. Bayi lahir
langsung menangis. Berat badan lahir 2900 gram, panjang badan 49
cm, lingkar kepala ibu pasien lupa. Usia ibu saat hamil pasien 24
tahun. Telah diberikan injeksi vitamin K saat lahir, dan imunisasi Hb
0.
Riwayat Post-Natal
Imunisasi Dasar
BCG 10 hari
DPT 1 2 bulan DPT 2 3 bulan DPT 3 4 bulan
Hep.B 1 1 bulan Hep.B 2 2 bulan Hep.B 3 3 bulan Hep.B 4 4 bulan
HiB 1 2 bulan HiB 2 3 bulan HiB 3 4 bulan
Polio 1 7 hari Polio 2 2 bulan Polio 3 3 bulan Polio 4 4 bulan
MR 9 bulan
7
d. Riwayat Perkembangan
Gigi pertama : 6 bulan
Duduk : 7 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri dengan bantuan : 10 bulan
Berjalan : 1 tahun
Berlari : 1 tahun 1 bulan
Berbicara : belum bisa bicara jelas, bahasa planet (+)
Kesan : Terdapat keterlambatan berbicara
e. Riwayat Penyakit/Operasi Dahulu
Pasien suka terjatuh dari tempat tidur sejak berusia 8 bulan, sebanyak 6
kali, pernah terbentur di kepala, tidak dibawa berobat.
f. Riwayat Penyakit pada Keluarga
Riwayat hipertensi : nenek dari ibu
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : ibu memiliki alergi makanan (+)
pada seafood udang dan cumi,
alergi obat (-)
Riwayat asma : kakak laki-laki dari ibu
Riwayat keluhan serupa dengan pasien : tidak ada
g. Riwayat Pekerjaan dan Sosial Ekonomi
Ayah seorang pekerja pengawai swasta, dan ibu bekerja sebagai
ibu rumah tanggal. Pasien tinggal di rumah sendiri dengan
penghasilan dari ayah sebanyak Rp 6.000.000,- per bulan. Kesan
sosial ekonomi menengah kebawah.
h. Riwayat Kebiasaan Keluarga
Riwayat merokok : kakek suka merokok, dan sering terpapar
8
saat pasien di rumah kakek.
Riwayat minum alkohol: disangkal
2.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : GCS E4M6V5
Nadi : 95 x/menit, regular, isi dan tegangan
cukup Pernapasan : 19 x/menit
Suhu : 36,5 °C
Berat Badan : 12 kg
Tinggi Badan : 78 cm
b. Cara Berjalan/Gait
Antalgic gait :-
Hemiparesis Gait :-
Steppage gait :-
Parkinson gait :-
Tredelenburg gait :-
Waddle gait :-
Lain-lain :-
c. Bahasa/Bicara
Komunikasi verbal : bahasa planet (+)
Komunikasi non verbal : ada tapi tidak adekuat
d. Kulit
Tidak ada kelainan
e. Status Psikis
Sikap : Hiperaktif
Orientasi : inadekuat
Ekspresi wajah : ada respon tapi inadekuat
Perhatian : kurang
9
f. Pemeriksaan Saraf Kepala (Nervus Cranialis)
10
Ante /retrofleksi (n 65/50) : Tidak dilakukan
Lateroflexie (D/S) (n 40/40) : Tidak dilakukan
Rotasi (D/S) (n 45/45) : Tidak dilakukan
Tes Provokasi
Lhermitte test/ Spurling : Tidak dilakukan
Test Valsava : Tidak dilakukan
Distraksi test : Tidak dilakukan
Test Nafziger : Tidak dilakukan
i. Pemeriksaan Fisik Thoraks
Bentuk : simetris
Pemeriksaan Ekspansi Thoraks : ekspirasi dan inspirasi maksimum
(tidak dilakukan)
Paru-paru
Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri, pelebaran sela iga (-)
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas-batas jantung normal
Auskultasi : BJ I & II (+) normal, HR 84x/menit, reguler,
murmur (-), gallop (-)
j. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
11
Simetris : simetris
Deformitas: tidak ada
Lordosis : tidak ada
Scoliosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Hairy spot : tidak ada
Pelvic tilt : tidak ada
Palpasi
Spasme otot-otot para vertebrae : tidak ada
Nyeri tekan (lokasi) : tidak ada
l. Anggota Gerak Atas
12
Refleks Patologis Kanan Kiri
Hoffman Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tromner Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensorik Kanan Kiri
Propiopathic Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Proprioseptif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Vegetative Tidak dilakukan Tidak dilakukan
13
Supinasi 0-90 0-90 0-90 0-90
Pronasi 0-90 0-90 0-90 0-90
Fleksi Jari- normal normal normal normal
jari tangan
14
Dorsofleksi 5 5
Pergelangan Kaki
Dorsofleksi Ibu Jari 5 5
Kaki
Plantar Fleksi 5 5
Pergelangan Kaki
Tonus Eutoni Eutoni
Klonus - -
Tropi Eutropi Eutropi
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Refleks Tendon Patella Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Tendon Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Achilles
Refleks Patologis Kanan Kiri
Babinsky Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Chaddock Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensorik Kanan Kiri
Propiopathic Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Proprioseptif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Vegetative Tidak dilakukan Tidak dilakukan
15
Dorsofleksi 0-20 0-20 0-20 0-20
Pergelangan
Kaki
Plantar Fleksi 0-50 0-50 0-50 0-50
Pergelangan
Kaki
Inversi Kaki 0-35 0-35 0-35 0-35
Eversi Kaki 0-20 0-20 0-20 0-20
16
2.4 Skrining Perkembangan
1. Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP)
Interpretasi: Terdapat “Ya” kurang dari 6 yang berarti pada anak ini
kemungkinan adanya penyimpangan, yaitu pada gerak kasar, gerak
halus, sosialisasi dan kemandirian, serta bicara dan bahasa.
17
2. DENVER II
Interpretasi:
Personal Sosial = 9D 3C Suspek
Motorik Halus = 1D 4C Suspek
Bahasa = 16D 7C Suspek
Motorik Kasar = 3D 5C Suspek
18
3. Abbreviated Conner’s Teacher
19
4. M-CHAT
20
5. DSM-V Kriteria Diagnostik Gangguan Spektrum Autisme
Interpretasi:
Terdapat gejala yang memenuhi kriteria A, B, C, dan D yang
ditemukan saat ini atau dari riwayat.
21
2.5 DIAGNOSIS KLINIS
Speech delay et causa Autism Spectrum Disorder
2.8 PROGNOSIS
Medik : dubia
Fungsional : dubia
2.9 FOLLOW-UP
Tidak dilakukan.
22
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Prevalensi keterlambatan bicara pada anak usia 2-7 tahun di Amerika
Serikat berkisar antara 2,3-19%. Keterlambatan bicara 1,5 kali lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki. Di Klinik khusus Tumbuh Kembang, RS Harapan
Kita Jakarta (2008-2009), pasien yang datang dengan keluhan utama
keterlambatan bicara sebagian besar (69,6%) terdiagnosis pada usia antara 13-36
bulan, lebih banyak (71,2%) pada anak laki-laki. Kemungkinan anak mengalami
23
keterlambatan bicara dan bahasa meningkat jika ada riwayat keterlambatan
bahasa, membaca, menulis, dan kesulitan belajar pada keluarga. Faktor sosial,
ekonomi, dan pendidikan orang tua juga menjadi faktor terjadinya keterlambatan
bicara dan bahasa pada anak. Studi kohort di Inggris yang melibatkan 18.000 anak
menemukan bahwa anak dengan tingkat sosio-ekonomi rendah memiliki risiko
keterlambatan bicara dan bahasa 2 kali lipat.7
3.1.3 Etiologi
Keterlambatan bicara primer termasuk keterlambatan perkembangan
bicara dan bahasa, gangguan bahasa ekspresif, gangguan bahasa reseptif
(Wernicke’s aphasia). Keterlambatan bicara dan bahasa sekunder merupakan
atribut kondisi lain seperti gangguan pendengaran, disabilitas intelektual,
gangguan autism, retardasi mental, kelainan fisik, mutism, dan gangguan
psikososial. Anak yang seharihari menggunakan dua bahasa (bilingual)
mengalami ketertinggalan dalam bahasa dibandingkan anak yang berbahasa
tunggal (monolingual) karena anak dengan dua bahasa perlu membedakan aturan
dan susunan kata masing-masing bahasa, menghasilkan pola perkembangan
bahasa yang berbeda dengan anak berbahasa tunggal.7
Penyebab gangguan bicara dan bahasa bermacam-macam, yang
melibatkan berbagai faktor yang saling mempengaruhi, seperti lingkungan,
kemampuan pendenganran, kognitif, fungsi saraf, emosi psikologis, dan lain
sebagainya (Tabel 1).6
24
Tabel 1. Penyebab Gangguuan Bicara dan Bahasa pada Anak.6
Penyebab Efek pada Perkembangan Bicara
1. Lingkungan
a. Sosial ekonomi kurang a. Terlambat
b. Tekanan keluarga b. Gagap
c. Keluarga bisu c. Terlambat pemrolehan bahasa
d. Di rumah menggunakan bahasa d. Terlambat pemrolehan struktur bahasa
bilingual
2. Emosi (physicosocial deprivation)
a. Ibu yang tertekan
b. Gangguan serius pada orang a. Terlambat pemrolehan bahasa
tua b. Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa
c. Gangguan serius pada anak c. Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa
3. Masalah Pendengaran
a. Kongenital a. Terlambat/gangguan bicara yang permanen
b. Terlambat/gangguan bicara yang permanen
b. Didapat
4. Perkembangan terlambat
(maturation delay)
a. Perkembangan lambat a. Terlambat bicara
b. Perkembangan lambat, tetapi b. Terlambat bicara
masih dalam batas rata-rata
c. Retardasi mental c. Pasti terlambat bicara
5. Cacat bawaan
a. Palatoschizis a. Terlambat dan tergangguan kemampuan bicara
b. Kemampuan bicaranya lebih rendah
b. Sindrom Down
6. Kerusakan Otak
a. Kelainan neuromuskular a. Mempengaruhi kemampuan mengisap, menelan,
mengunyah, dan akhirnya timbul gangguan
bicara dan artikulasi seperti disartia.
b. Mempengaruhi kemampuan mengisap dan
b. Kelainan sensorimotor menelan, akhirnya menimbulkan gangguan
artikulasi, seperti dispraksia.
c. Berpengaruh pada pernapasan, makan dan
c. Palsi serebral timbul juga masalah artikulasi yang dapat
mengakibatkan disartia dan dispraksia.
d. Kesulitan membedakan suara, mengerti bahasa,
simbolisasi, mengenai konsep, akhirna
d. Kelainan persepsi menimbulkan kesulitan belajar di sekolah.
25
Tabel 2. Gangguan bicara dengan kelainan primer dan sekunder 7
Kelainan Temuan Klinis
Primer
Perkembangan bicara dan Anak terlambat berbicara.
bahasa yang terlambat Anak memiliki pemahaman, kecerdasan, keterampilan
artikulasi yang normal.
Gangguan bahasa ekspresif Anak terlambat berbicara.
Anak memiliki pemahaman, kecerdasan, pendengaran, emosi,
dan keterampilan artikulasi yang normal.
Gangguan bahasa ekspresif sulit dibedakan pada usia dini
daripada gangguan perkembangan bicara dan bahasa yang
lebih umum.
Gangguan bahasa reseptif Bicara terlambat dan jarang, tidak menggunakan tatanan
bahasa yang baik, dan tidak jelas dalam artikulasi.
Anak mungkin tidak melihat atau menoleh benda atau orang
yang ditunjuk oleh orang tua (menunjukkan defisit dalam
pemahaman).
Anak-anak memiliki respon yang normal terhadap rangsangan
pendengaran nonverbal.
Sekunder
Autism spectrum disorder Anak memiliki berbagai kelainan bicara, termasuk
keterlambatan bicara (terutama jika dengan keterbatasan
intelektual), echolalia (mengulangi frase), kesulitan memulai
dan mempertahankan percakapan, susunan kata yang terbalik,
dan regresi berbicara dan bahasa.
Anak-anak memiliki gangguan komunikasi, gangguan
interaksi sosial, dan perilaku repetitif.
Cerebral palsy Keterlambatan bicara pada anak dengan cerebral palsy
disebabkan kesulitan dalam koordinasi atau spastisitas otot
lidah, gangguan pendengaran, keterbatasan intelektual, atau
gangguan di korteks serebral.
Apraxia Apraxia adalah masalah fisik di mana anak mengalami
kesulitan membuat suara dalam urutan yang benar, sehingga
sulit untuk dipahami oleh orang lain.
Anak dapat berkomunikasi dengan gestur (menunjukkan
motivasi untuk berkomunikasi, tetapi kurangnya kemampuan
bicara).
Disartria Disartria adalah masalah fisik di mana anak memiliki
kesulitan berbicara mulai dari yang ringan, dengan artikulasi
sedikit cadel dan suara bernada rendah, sampai yang lebih
parah dengan ketidakmampuan untuk menghasilkan katakata
yang dapat dipahami orang lain.
Anak dapat berkomunikasi dengan gestur (menunjukkan
motivasi untuk berkomunikasi, tetapi kurangnya kemampuan
bicara).
Gangguan pendengaran Bicara dan bahasa sering secara bertahap terpengaruh, dengan
setelah anak berbicara dan penurunan ketepatan artikulasi dan kurangnya kemajuan
berbahasa dalam penguasaan kosa kata.
26
Orang tua sering mengeluhkan anak sulit mendengarkan,
kemampuan anak dalam berbicara lebih baik daripada
mendengarkan.
Gangguan pendengaran Bicara terlambat
sebelum onset berbicara Anak mungkin memiliki distorsi intonasi, kecepatan, irama,
dan kenyaringan suara.
Anak mungkin tidak melihat atau menoleh ke benda atau
orang yang ditunjuk oleh orang tua (menunjukkan defisit
dalam pemahaman).
Anak-anak memiliki keterampilan komunikasi visual normal.
Keterbatasan intelektual Bicara terlambat „ Penggunaan gesture terlambat, dan
keterlambatan secara umum semua aspek dalam milestone.
Anak mungkin tidak melihat atau menoleh ke benda atau
orang yang ditunjuk oleh orang tua (menunjukkan defisit
dalam pemahaman).
Mutism selektif Anak dengan mutism selektif menunjukkan kegagalan yang
konsisten dalam situasi sosial yang spesifik (misal: di
sekolah).
27
Tabel 3. Klasifikasi gangguan bicara menurut Rutter 6
Derajat Gambaran
Ringan Keterlambatan akuisisi dari bunyi,kata- Dislalia
kata,bahasa normal
Sedang Keterlambatan lebih berat dari akusisi Disfasia ekspresif
bunyi,kata-kata dan perkembangan
bahasa terlambat
Berat Keterlambatan lebih berat dari akusisi Disfasia reseptif dan tuli persepsi
dan bahasa, gangguan pemahaman
bahasa
Sangat berat Gangguan pada seluruh kemampuan Tuli persepsi dan tuli sentral
bahasa
28
mengalami gangguan dalam pengertian, tetapi terdapat gangguan berupa
defisit produksi fonologi.
2. Defisit Represif dan ekspresif
a. Gangguan campuran ekspresif-represif
Anak yang berbicara sulit dipahami dan juga menunjukkan adanya
gangguan pemahaman terhadap apa yang dikatakan kepadanya
menunjukkan gangguaan campuran ekspresif-represif. Mereka bicara
dengan kalimat yang pendek; dan banyak di antara mereka yang autistik.
Setelah dewasa, mereka menjadi afasia (afasia Broca), hanya sedikit yang
diketahui bagaimana hal ini bisa terjadi.
b. Disfasia verbal auditori agnosia
Beberapa anak mengerti sedikit pada apa yang dikapatakn
kepadanya, walaupun kadang mereka mengikuti suatu pembicaraan
dengan cara lain, misalnya dengan memperhatikan apa yang dilihatnya.
Mereka sangat miskin artikulasi kata-kata, oleh karena itu dinamakan
disfasia verbal auditori agnosia. Anak termasuk afasia yang didapat.
Sebelumnya, mereka sering kejang dan kehilangan kemampuan berbicara
setelah periode perkembangan bahasa yang normal (sindrom landau
Kleffner). Pada EEG anak dengan sindrom ini, akan tampak bitemporal
spike. Anak dengan disfasia jenis ini memproses suara yang
didengarkannya di pusat-dengar, berbeda dengan anak normal. Stimulus
bahasa akan memperbaiki keadaan, walaupun hasil akhirnya masih belum
pasti.
3. Defisit bahasa yang lebih berat
a. Gangguan leksikal-sintaksis
Anak dengan gangguan leksikal-sintaksis mempunyai kesulitan
menemukan kata-kata yang tepat, khususnya saat bercakap-cakap. Mereka
tidak gagap dan tidak menghindar untuk berbicara. Gejala mirip seperti
orang dewasa dengan afasia konduksi, yaitu mereka akan berhenti bicara
sebentar untuk menemukan kata-kata yang tepat. Biasanya oran tua akan
membantuk menemukan kata-kata yang tepat. Anak ini biasanya bicara
29
dengan menggunakan kalimat yang pendek untuk umurnya. Terapi bicara
akan membantu melatih anak, tetapi prognosis selanjutnya masih belum
banyak diketahui.
b. Gangguan sematik-pragmatik
Ada beberapa anak yang berbicara lancar dan dapat menggunkan
kata-kata yang tepat, tetapi mereka berbicara tanpa henti mengenai satu
topik. Mereka tidak mengerti tata bahasa. Gejalanya mirip gangguan
bicara pada anak hidrosefalus. Gangguan ini disebut sebagai gangguan
semantik-prgmatik. Anak pada umumnya menderita gangguan hubungan
sosial dan didiagnosis sebagai gangguan perkembangan pervasif. Mereka
mempunyaki sedikit teman sebaya dan tidak pernah ingin belajar aturan
permainan dan aturan bicara dari teman sebayanya. Ada baiknya anak
dilatih keterampilan berbicara, bahkan diperlukan psikolog dan ahli terapi
tingkah laku.
30
Tabel 4. Pola normal perkembangan bicara dan bahasa anak 9
Usia Kemampuan
1-6 bulan Berkata "ooh", "aah", "coo", dalam merespon suara / bunyi-
bunyian.
6-9 bulan Bergumam
10-11 bulan Menirukan suara seperti "mama", "dada", tanpa arti.
12 bulan Mengatakan "mama", "dada", dengan arti. Sering menirukan 2
sampai 3 suku kata.
13-15 bulan Perbendaharaan 4-7 kata, hanya <20% ucapan anak yang
dimengerti orang lain.
16-18 bulan Perbendaharaan 10 kata, beberapa echolalia, 20-25% ucapan anak
yang dimengerti orang lain.
19-21 bulan Perbendaharaan 20 kata, 50% ucapan anak yang dimengerti orang
lain.
22-24 bulan Perbendaharaan > 50 kata, frase 2 kata, 60-70% ucapan anak yang
dimengerti orang lain.
2-2, 5 tahun Perbendaharaan 400 kata, menyebutkan nama, frase 2-3 kata,
penggunaan kata ganti, hilangnya echolalia, 75% ucapan anak yang
dimengerti orang lain.
2, 5-3 tahun Penggunaan bentuk jamak (plural), mampu menyebutkan jenis
kelamin dan usia, menghitung 3 objek dengan benar, penggunaan 3
sampai 5 kata dalam kalimat, 80-90% ucapan anak yang dimengerti
orang lain.
3-4 tahun Penggunaan 3 sampai 6 kata dalam kalimat, menanyakan
pertanyaan, melakukan percakapan, bercerita, mengungkapkan
pengalaman, hampir seluruh ucapan anak dimengerti orang lain.
4-5 tahun Penggunaan 6 sampai 8 kata dalam kalimat, menyebutkan 4 warna,
menghitung 1-10 dengan benar
31
tahapan usia. 11 Salah satu instrumen skrining yang dapat secara akurat menilai
aspek-aspek perkembangan utama termasuk komponen bahasa dan visual-motor
adalah Capute scales. Pengukuran secara cepat aspek perkembangan akan
membantu menegakkan diagnosis banding sebagian besar kategori utama
gangguan perkembangan masa bayi dan kanak-kanak dini (Gambar 1). Capute
scales terdiri dari 2 jenis pemeriksaan yaitu cognitive adaptive test (CAT) dan
clinical linguistic and auditory milestone scale (CLAMS).7,10
Capute scales terdiri dari CLAMS untuk skrining gangguan bicara dan
CAT untuk menilai kemampuan kognitif (visual-motor). Pada CLAMS akan
dinilai kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif anak; terdapat 43 milestones
yang terdiri dari 26 milestones gugus tugas bahasa ekspresif (berdasarkan laporan
orang tua saja) dan 17 milestones gugus tugas bahasa reseptif (6 laporan orang tua
dan 11 demonstrasi anak). Pada CAT terdapat 57 milestones visual-motor/kognitif
adaptif yang harus dilakukan oleh anak dan tidak berdasarkan keterangan orang
tua.7
32
Gambar 1. Contoh lembar Capute Scales(CAT/CLAMS)7
3.1.6 Diagnosis
Keterlambatan maupun gangguan bicara dan bahasa dapat dideteksi secara
klinis dengan mengacu pada milestone perkembangan bicara dan bahasa, dan
menggunakan instrumen tertentu. Deteksi secara klinis ditujukan untuk mencari
faktor predisposisi dan gejala penyakit atau gangguan lain yang dapat disertai
keterlambatan bicara dan bahasa. 11
Beberapa instrumen khusus telah tersedia, misalnya The Early Language
Milestone Scale (ELMS), The Clinical Adaptive Test/Clinical Linguistic and
Auditory Milestone Scale (CAT/CLAMS), atau MacArthur-Bates Communicative
Developmental Inventory. Berdasarkan milestone perkembangan bicara dan
bahasa, dikenal adanya red flags, yaitu tanda awal saat anak mulai terlihat
mengalami keterlambatan bicara dan bahasa dan memerlukan evaluasi lebih
lanjut. Dalam practice parameter yang diterbitkan oleh American Academy of
Neurology, indikasi mutlak untuk evaluasi lebih lanjut adalah bila dijumpai anak
dengan keadaan:11
Tidak menunjukkan babbling, menunjuk, atau mimik yang baik pada umur12
bulan
Tidak ada kata pada umur 16 bulan
33
Tidak ada 2 kata spontan pada umur 2 tahun
Hilangnya kemampuan bicara atau kemampuan sosial pada umur berapapun
34
Tabel 6. Riwayat Anak yang Mengalami Keterlambatan Bicara 6
Riwayat Kemungkinan Penyebab
Riwayat Perkembangan
Milestone perkembangan bahasa terlambat Terlambat bicara
Milestone perkembangan motorik terlambat Palsi serebral
Global delay developmental milestones Retardasi mental
Ibu sakit selama kehamilan
Infeksi intrauterin (rubella, toksoplasmosis, Tuli, retardasi mental
cytomegalovirus)
Maternal phenylketonuria Retardasi mental
Maternal hiptiroid Retardasi mental
Ibu pengguna obat-obat terlarang (misal: Retardasi mental
alkohol)
Gangguan pada plasenta Retardasi mental, palsi serebral
Riwayat perinatal
Prematuritas Palsi serebral
Hipoksia Retardasi mental, palsi serebral, tuli
Trauma lahir Palsi serebral
Perdarahan intrakranial Retardasi mental, tuli, palsi serebral
Kernicterus Retardasi mental, tuli, palsi serebral
Kesulitan makan, drooling berlebihan Palsi serebral
Penyakit sebelumnya
Encephalitis, meningitis Retardasi mental, tuli
Otitis media berulang Tuli
Gondong Tuli
Hipotiroid Retardasi mental, tuli
Trauma kepala Retardasi mental, tuli
Kejang Palsi serebral, retardasi mental
Penggunaan obat
Obat-obat ototoksik Tuli
Riwayat psikososial
Stres psikososial, masalah keluarga Deprivasi psikososial, mutism elektif
Gangguan perilaku sosial, tidak empati, tidak Autism
mampu berinteraksi dengan orang lain
Menggunakan lebih dari satu bahasa
Bilingualism
Riwayat keluarga
Terlambat bicara Maturasi lambat, retardasi mental
Kelainan kromosom Retardasi mental
Pendred sindrom, weardenberg sindrom, usher Tuli
sindrom
Prader-willi sindrom, william sindrom, bardet- Retardasi mental
bield sindrom
35
Pemeriksaan fisik yang teliti (Tabel 7) harus dilakukan untuk mencari
adanya gejala-gejala dari sindrom tertentu atau kelaina dismorfik yang mungkin
ada.6
Tabel 7. Kelainan Fisik yang Sering Ditemukan pada Anak dengan Gangguan
Bicara dan Bahasa.6
Kelainan Fisik Kemungkinan Etiologi
Perawakan pendek, obesitas, hipogonadism Sindrom Pradel-Willi
Mikrosefali, makrosefali Retardasi mental, palsi serebral, tuli
Deformitas telinga atau kanalis telinga luar Tuli
Pinna membesar, macro-orchidism Sindrom fragile X
Upward slanting eyes, brushfield spot, epicanthic Sindrom down
fold, brachycephaly, simian creases
Goiter Sindrom pendred
Cafe au lait spot Neurofribromatosis
Adenoma sebaceum, shagreen patches, Tuberous sclerosis
hypopigmented spots
White forelock, cutaneus hypopigmentation, Sindrom waardenberg
hypertelorism, heterochromia
Retinitis pigmentosa, katarak Sindrom usher
Korioretinitis Toksoplasmosis kongenital,
sitomegalovirus kongenital
Kontak mata tidak ada, stereotipi gerakan yang Autism
diulang-ulang
Spastisitas, hiperrefleksia, klonus, extensor plantar Palsi serebral
respons, kontraktur
Athetosis, koreoathetosis, ataksia Palsi serebral
Disarthria Palsi serebral
36
Gambar 2. Bagan Alur Gangguan Bahasa dan Bicara pada Anak5
3.1.7 Tatalaksana
Target utama terapi keterlambatan bicara adalah mengajarkan anak strategi
untuk memahami secara komprehensif bahasa yang diucapkan orang lain dan
menghasilkan sikap komunikasi yang baik, serta membantu orang tua
mempelajari cara mendorong keterampilan komunikasi anak. Studi Wallace
37
mendukung adanya efektivitas terapi bicara (speech-language therapy), terutama
pada anak dengan gangguan bahasa ekspresif primer.7
Anak-anak yang memiliki gangguan bicara dan bahasa harus sesegera
mungkin dirujuk ke ahli patologi bicara dan bahasa sebelum usia perkembangan
bahasa, yaitu 2- 3 tahun. Periode 36 bulan pertama kehidupan adalah periode
kritis perkembangan bahasa. Kecepatan perkembangan bahasa selama periode ini
tidak pernah diulang pada waktu lain di kehidupan. Intervensi dini sangat penting,
risiko gangguan bicara dan bahasa permanen meningkat dibandingkan dengan
teman seusianya yang normal.7
38
sistem komunikasi augmentatif dan alternatif, seperti
grafikdan simbol, meningkatkan bentuk alami dari
komunikasi.
Sebuah tinjauan Cochrane tidak menemukan bukti kuat efek
positif dari terapi wicara-bahasa, tetapi menemukan tren
positif terhadap peningkatan keterampilan komunikasi.
Apraxia Banyak teknik terapi wicara-bahasa yang telah digunakan.
Sebuah tinjauan Cochrane menyimpulkan bahwa tidak ada
bukti penelitian level tinggi yang secara definitif
menganjurkan pendekatan tertentu untuk praktek klinis.
Disartria Studi observasional menyarankan bahwa untuk beberapa
anak, terapi wicarabahasa memberikan perubahan positif
dalam kejelasan berbicara.
Sebuah tinjauan Cochrane tidak menemukan bukti kuat
tentang efektivitas terapi wicara-bahasa untuk meningkatkan
kemampuan bicara anak dengan disartria yang diperoleh
sebelum usia tiga tahun.
Gangguan pendengaran Anak-anak dengan gangguan pendengaran harus dirujuk ke
setelah anak berbicara dan ahli audiologi.
berbahasa Audiolog, sebagai bagian dari tim interdisipliner profesional,
akan melakukan evaluasi dan menyarankan program
intervensi yang paling tepat.
Intervensi awal yang berpusat pada keluarga membantu
keterampilan bicara, bahasa, dan perkembangan kognitif.
Anak dengan gangguan pendengaran yang diintervensi secara
dini mungkin dapat mengembangkan bahasa setara dengan
lawan bicaranya.
Gangguan pendengaran Anak-anak dengan gangguan pendengaran harus dirujuk ke
sebelum onset berbicara ahli audiologi.
Audiolog, sebagai bagian dari tim interdisipliner profesional,
akan melakukan evaluasi dan menyarankan program
intervensi yang paling tepat.
Intervensi awal yang berpusat pada keluarga membantu
keterampilan bicara, bahasa, dan perkembangan kognitif.
Anak dengan gangguan pendengaran yang diintervensi secara
dini mungkin dapat mengembangkan bahasa setara dengan
lawan bicaranya.
Keterbatasan intelektual Anak perlu dirujuk untuk evaluasi perkembangan, termasuk
rujukan ke pusat perkembangan anak tingkat tersier, yang
dapat memberikan evaluasi interdisipliner (termasuk terapi
wicara-bahasa dan audiologi). Rujukan harus mencakup
konsultasi dengan ahli genetika medis untuk membantu dalam
mendiagnosis penyebab keterbatasan intelektual.
Mutism selektif Anak harus dirujuk ke ahli patologi wicara-bahasa untuk
evaluasi, dan terapi perilaku dan kognitif,
Intervensi gabungan termasuk modifikasi perilaku, partisipasi
keluarga, keterlibatan sekolah, dan pada kasus yang berat,
dapat diberikan pengobatan dengan fluoxetine
39
Intervensi atau terapi disesuaikan dengan masalah atau kelainan yang
diderita anak (Tabel 9). Intervensi ini diperlukan untuk mengoptimalkan
kemampuan komunikasi anak yang kelak dapat mempengaruhi kualitas hidup
anak. Pada anak yang mengalami deprivasi berat diperlukan penelusuran riwayat
sosial dan dilakukan rujukan untuk mendapatkan pelayanan sosial, kesehatan
mental dan tumbuh kembang yang memadai.6
Perkembangan lambat
a. Perkembangan lambat
b. Perkembangan lambat, a. Tingkatkan stimulasi a. Terapis/klinisi wicara
tetapi masih dalam batas
rata-rata b. Tingkatkan stimulasi b. Terapis/klinisi wicara
c. Retardasi mental
Cacat bawaan
a. Palatoschizis a. Monitor dan operasi a. Terapis wicara setelah
operasi
b. Sindrom Down b. Monitor dan stimulasi b. Terapis wiacara, SLB-C,
monitor pendengaran
40
Kerusakan Otak
a. Kelainan neuromuskular a. Mengatasi masalah makan dan a. Terapis okupasi, ahli gizi,
meningkatkan kemampuan ahli patologi wicara
b. Kelainan sensorimotor bicara anak b. Terapis okupasi, ahli gizi,
b. Mengatasi masalah makan dan ahli patologi wicara
c. Palsi serebral meningkatkan kemampuan c. Fisioterapis, terapi
bicara anak okupasi, dan terapis
c. Mangoptimalkan kemampuan wicara
d. Kelainan persepsi fisik, kognitif, dan bicara anak d. Ahli patologi wicara,
d. Mengatasi masalah kelompok bermain/
keterlambatan bicara PAUD/BKB
3.1.8 Prognosis
Anak-anak usia 2 tahun dengan keterlambatan bahasa ekspresif, 2-5 kali
lebih berisiko gangguan bahasa menetap pada akhir prasekolah sampai sekolah
dasar dibandingkan anak tanpa keterlambatan bahasa ekspresif.3 Gangguan
perhatian dan kesulitan berinteraksi sosial lebih sering terjadi pada anak dengan
gangguan bicara dan bahasa yang menetap sampai melewati usia 5,5 tahun. Anak
dengan gangguan bicara dan bahasa pada usia 7,5 sampai 13 tahun terbukti
memiliki gangguan keterampilan menulis, kesulitan pengejaan, dan penggunaan
tanda baca dibandingkan anak-anak tanpa gangguan bicara dan bahasa.5,12
41
dibentuk untuk mereka yang memiliki disabilitas dalam komunikasi sosial, tetapi
tidak memiliki perilaku berulang dan terbatas.13,14
3.2.2 Epidemiologi
Ukuran yang paling sering dilaporkan dari frekuensi autisme adalah
prevalensi titik atau prevalensi periode. Tingkat insiden kegunaan yang lebih
terbatas dalam epidemiologi autisme karena tidak hanya diagnosis autisme jauh
dari permulaan penyakit tetapi juga waktu antara permulaan dan diagnosis
kemungkinan besar dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang secara potensial
tidak terkait dengan risiko. Banyak survei prevalensi berbasis populasi autisme
sudah dilakukan sejak tahun 1960-an dengan sejumlah ulasan terbaru yang
merangkum survei ini dan mengevaluasi perubahannya perkiraan yang dilaporkan
dari waktu ke waktu. Tren waktu prevalensi untuk gangguan autistik tersedia
untuk jangka waktu yang lebih lama dari ASD sebagai grup, mengingat PDD-
NOS tersebut dan diagnosis gangguan Asperger diperkenalkan masing-masing
pada tahun 1987 dan 1994. Perkiraan prevalensi gangguan autis dipusatkan pada
∼5 per 10.000 pada 1960-an dan 1970-an, cenderung menjadi ∼10 per 10.000
pada 1980-an, dan memiliki sangat bervariasi sejak 1990-an dengan estimasi yang
dilaporkan serendah 5 per 10.000 dan setinggi 72 per 10.000.14,15
Sebagian besar tinjauan literatur prevalensi cenderung baru untuk
menyimpulkan bahwa prevalensi gangguan autistik turun antara 10 dan 20 per
10.000. Perkiraan prevalensi baru untuk ASD secara kolektif ternyata konsisten,
di perbandingan dengan heterogenitas perkiraan gangguan autis, turun mendekati
60 per 10.000. Namun, survei prevalensi paling baru yang tersedia pada tulisan ini
melaporkan prevalensi ASD dari ASD di populasi lebih dari 55.000 Inggris
delapan dan sembilan tahun menjadi lebih dari 110 per 10.000. Penelitian yang
dilakukan Center for Disease Control and Prevention tahun 2013 menyatakan
bahwa prevalensi autism di dunia saat ini berkisar 0,15-0,20%, termasuk
Indonesia. Suatu penelitian memperkirakan adanya peningkatan jumlah anak
autisme di Indonesia mencapai 6.900 anak/tahun.15,16
42
3.2.3 Etiologi
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang autisme yaitu:
1. Teori Psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan bahwa
autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak
menolak orang tuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka.
Anak tersebut meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada
dunia sehingga menciptakan ”benteng kekosongan” untuk melindungi
dirinya dari penderitaan dan kekecewaan.
2. Teori Genetika
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko lebih
tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara kandung
yang juga autis sekitar 3%. Kelainan gen dari pembentuk metalotianin juga
berpengaruh pada kejadian autis. Metalotianin adalah kelompok
protein yang merupakan mekanisme kontrol tubuh terhadap tembaga dan
seng. Fungsi lainnya yaitu perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam
berat, pematangan saluran cerna, dan penguat sistem imun. Disfungi
metalotianin akan menyebabkan penurunan produksi asam lambung,
ketidakmampuan tubuh untuk membuang logam berat dan kelainan sistem
imun yang sering ditemukan pada orang autis. Teori ini juga dapat
menerangkan penyebab lebih berisikonya laki-laki dibanding
perempuan. Hal ini disebabkan karena sintesis metalotianin ditingkatkan
oleh estrogen dan progesteron.
3. Studi biokimia dan riset neurologis
Pemeriksaan post mortem otak dari beberapa penderita
autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang
kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampu. Kedua
daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan
belajar. Penelitian ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinje di
serebelum. Dengan menggunakan MRI, telah ditemukan dua daerah di
43
serebelum, lobulus VI dan VII yang pada individu autistik secara nyata
lebih kecil daripada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami
sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Dari
segi biokimia jaringan otak, banyak penderita autistik menunjukkan
kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan serebrospinal
dibandingkan dengan orang normal.7,14
3.2.4 Klasifikasi
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian
berdasarkan gejalanya. Sering kali pengklasifikasian disimpulkan setelah
anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood
Autism Rating Scale (CARS). Pengklasifikasiannya adalah sebagai
berikut:16
1. Autis Ringan
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata
walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan
sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi
muka, dan dalam berkomuni-kasi dua arah meskipun terjadinya hanya
sesekali.
2. Autis Sedang
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata
namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan
agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik
yang stereopik cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa
dikendalikan.
3. Autis Berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan
yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan
kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti.
Ketika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan
respon dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di pelukan
44
orang tuanya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru
berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur.17
45
c) Abnormal terhadap respon rangsangan sensorik
Dari usia yang sangat muda, respon abnormal sensorik stimulus dapat hadir,
kadang-kadang menyesatkan klinisi ke mencurgai bahwa anak ini buta atau tuli.
Mesikupun sentuhan ringan dapat mengakibatkan penarikan, anak snegaja dapat
menggigit dan membakar bagian tubuh mereka. Tanggapan terhadap rangsangan
visual yang mungkin termasuk pesona dengan kontras cahaya dan mengintip
pada objek dalam cara yang tidak biasa dengan visi perifer. Hiperaktif bersamaan
dan mode makanan yang umum. Fitur mencolok adalah hilangnya makanan yang
umum.
d) Intelijen
Sekitar tiga perempat dari individu autis memiliki IQ dibawah 70. Terlepas
dari IQ ada profil kognitif yang berbeda dengan kemampuan
visuospasial, pemahaman tentang ide-ide abstrak dan keterampilan pemahaman
tentang ide-ide abstrak dan keterampilan kreatif.18
46
Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau anak
menurut usia :
a. Usia 0-6 bulan
Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
Tidak “babbling”
Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
b. Usia 6 – 12 Bulan
Kaku bila digendong
Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
Tidak mengeluarkan kata
Tidak tertarik pada boneka
Memperhatikan tangannya sendiri
Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
c. Usia 2 – 3 tahun
Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
Melihat orang sebagai “benda”
Kontak mata terbatas
Tertarik pada benda tertentu
Kaku bila digendong
d. Usia 4 – 5 Tahun
Sering didapatkan ekolalia (membeo)
Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
Temperamen tantrum atau agresif
47
3.2.7 Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis gangguan autisme para klinisi sering
menggunakan pedoman DSM V, ICD 10 (International Classification of Disease)
dan CHAT (Checklist Autism in Toddlers).20,21
Kriteria diagnosis ASD menurut DSM-5 adalah adanya gejala yang
memenuhi kriteria A, B, C, dan D yang ditemukan saat ini atau dari riwayat
sebelumnya.
a) Hambatan komunikasi dan interaksi sosial, dengan semua gejala:
Defisit dalam hubungan sosial-emosional secara timbal balik:
pendekatan sosial yang aneh; percakapan tidak bisa dua arah; tidak bisa
berbagi minat, emosi, afek; tidak bisa memulai/ merespons interaksi
sosial
Defisit dalam komunikasi non verbal dalam interaksi sosial: kurang
dapat menggunakan/ mengartikan bentuk mata, gestur tubuh, ekspresi
wajah, dan komunikasi non verbal.
Defisit untuk mengembangkan, mempertahankan, dan mengerti suatu
relasi sosial: sulit beradaptasi di lingkungan tertentu, sulit berteman,
berbagi minat/ permainan.
b) Perilaku, minat, aktifitas yang terbatas dan repetitif/ monoton, minimal 2
gejala:
Gerak motorik/ perkataan yang repetitif/ streotipi: deret-deret mainan,
ekolalia, flapping. Perilaku verbal/ non verbal yang ritual, tidak
fleksibel, tidak suka perubahan, pola pikir yang kaku, makanan/
kebiasaan yang monoton
Minat yang terbatas, terfiksasi, yang tidak normal dalam intensitas/
fokus.
Hiper/ hiporeaktifitas terhadap sensori atau minat/ respon yang tidak
biasa terhadap obyek.
c) Gejala timbul dalam tahap perkembangan awal, dapat tidak tampak sampai
tuntutan sosial melebihi kemampuan anak
48
d) Gejala menyebabkan hambatan yang bermakna dalam kehidupan sosial dan
fungsional sehari-hari.
e) Hambatan tersebut bukan disebabkan oleh disabilitas intelektual/ global
developmental delayed.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada anak dengan ASD adalah sebagai berikut.
Anamnesa
1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non verbal
Telambat bicara
Meracau dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain
Bicara tidak dipakai untuk berkomunikasi
Meniru atau membeo (echolalia)
Pandai meniru nyanyian, nada maupun kata-katanya tanpa mengerti
artinya
Sebagian (20 %) anak-anak ini tetap tak dapat bicara sampai dewasa
Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang terdekat dan
mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial
Menolak / menghindar untuk bertatap mata (kontak mata tidak ada)
Tak mau menengok bila dipanggil
Seringkali menolak untuk dipeluk
Tidak ada usaha melakukan interaksi dengan orang lain, asyik main
sendiri
Bila didekati untuk diajak main malah menjauh
3. Gangguan dalam bidang perilaku
Pada anak autis terdapat perilaku yang berlebihan dan kekurangan
Contoh perilaku yang berlebihan:
Hiperaktivitas motorik seperti tidak bisa diam, lari ke sana ke mari tak
terarah, melompat-lompat, berputar-putar, memukul-mukul pintu atau
meja, mengulang-ulang gerakan tertentu. Perilaku ini dapat
49
membahayakan diri sendiri dan dapat berupa agresifitas melawan orang
lain
Perilaku yang kekurangan, contohnya:
Duduk dia bengong dengan tatap mata yang kosong, bermain secara
monoton dan kurang variatif secara berulang-ulang.
Duduk diam terpaku oleh sesuatu hal, misalnya bayangan atau benda
yang berputar. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti
sepotong tali, kartu, kertas, gambar, gelang karet atau apa saja yang terus
dipegangnya dan dibawa ke mana-mana
4. Gangguan dalam bidang perasaan/ emosi
Tidak ada atau kurangnya empati, misalnya melihat anak menangis tidak
merasa kasihan melainkan merasa terganggu sehingga anak yang
menangis tersebut mungkin didatangi dan dipukulnya
Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah-marah tanpa sebab yang
nyata
Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum). Terutama bila tidak
mendapatkan apa yang diinginkannya, ia bisa menjadi agresif dan
destruktif (merusak)
5. Gangguan dalam persepsi sensoris (tactile, auditory hipersensity )
Mencium-cium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja
Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
Tidak menyukai rabaan atau pelukan
Merasa sangat tidak nyaman bila memakai pakaian dari bahan yang
kasar
6. Gangguan tidur dan makan
7. Gangguan efek dan mood (suasana hati)
8. Gangguan kejang
9. Aktivitas dan minat yang terbatas
10. Gangguan kognitif : 75-80% anak autis mengalami retardasi mental.
Gejala-gejala diatas tidak harus ada semuanya pada setiap anak,
tergantung pada berat atau ringannya keadaan autisnya.
50
Pemeriksaan fisik dan tambahan
1) Berat badan, tinggi badan, lingkar kepala dapat normal atau abnormal
2) Pemeriksaan beberapa fungsi syaraf kranial, sistem motorik (kekuatan otot,
tonus otot, refleks-refleks), sistem sensorik, cara berjalan dan lain-lain dapat
mendeteksi adanya gangguan tumbuh kembang anak
3) Temuan khas yaitu tidak adanya kontak mata pada anak, adanya gerakan
repetitif , stereotipik, hiperaktif, dan hipoaktif
4) Melakukan skrining perkembangan DENVER, Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP), CHAT (Checklist Autism in Toddlers), dan CARS
rating system (Childhood Autism Rating Scale) 22
Komorbiditas
Prevalensi ADHD pada mereka dengan ASD berkisar antara 14% sampai
78% Dalam penelitian terbaru menemukan bahwa 18% anak-anak dan remaja
dengan ASD juga memiliki diagnosis komorbid AD/HD. Prevalensi epilepsi di
antara semua anak diperkirakan 2-3% dibandingkan dengan sekitar 30% pada
autisme. Pada anak dengan ASD pun dapat ditemukan gangguan gastrointestinal
dengan konstipasi sebagai adalah gejala gastrointestinal yang paling umum,
dengan 85% dari mereka dengan ASD dan gejala gastrointestinal menyertainya.
34% hingga 80% anak-anak dengan disabilitas intelektual (ID), dan sebagian lagi
memiliki gangguan tidur, ganggan makan, toileting problem.20,21
3.2.8 Tatalaksana
Nutrisi
Dalam beberapa tahun terakhir, intervensi diet termasuk diet bebas gluten
atau diet bebas kasein (gluten-free or casein-free diets/ GFCF) telah diketahui
signifikan untuk managemen pada ASD. Pada kasus ini juga, anak dapat diberi
suplemen makanan, termasuk suplementasi mineral (misalnya kalsium, seng,
besi), serta asam folat. Suplementasi vitamin D telah mendapat perhatian yang
signifikan karena dampaknya pada perkembangan saraf, bersifat anti-inflamasi
dan efek pada jalur detoksifikasi.23,24
51
Terapi edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan
sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode penganjaran
antara lain metode TEACHC (Treatment and Education of Autistic and related
Communication Handicapped Children) metode ini merupakan suatu program
yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal yang individual,
metode pengajaran yang sistematik terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata
khusus.
Terapi perilaku
Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun
metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin yang
dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak dipakai adalah
ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana keberhasilannya sangat tergantung
dari usia saat terapi itu dilakukan (terbaik sekitar usia 2 – 5 tahun).
Sensori integrasi
Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan,
sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)untuk menghasilkan
respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada otak menerima informasi
mengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya, sehingga diharapkan semua
gangguan akan dapat teratasi.
52
pendengaran dengan perangkat audiometer. lalu diikuti seri terapi yang
memperdengarkan suara-suara yang direkam, tetapi tidak disertai dengan suara
yang menyakitkan. Selanjunya dilakukan desnsitisasi terhadap suara yang
menyakitkan tersebut.
Hyperbaric oxygen
Terapi oksigen hiperbarik (hyperbaric oxygen therapy/HBOT)
memberikan konsentrasi oksigen yang lebih tinggi dengan mengirimkan oksigen
ke ruangan dengan tekanan atmosfer yang tinggi. Alasan untuk HBOT pada
individu dengan autisme termasuk potensinya untuk meningkatkan perfusi otak,
mengurangi peradangan dan stres oksidatif, sehingga dipercayai dapat
memberikan perbaikan dari mekanisme patofisiologis yang mendasari pada ASD.
Terapi farmakologis
Terapi medikamentosa dapat diberikan pada kasus dengan gejala
komorbiditas iritabilitas, agresi, dan hiperaktif pada individu ASD. FDA telah
menyetujui dua obat antipsikotik atipikal, risperidone dan aripiprazole untuk
terapi ini. SSRI juga sering diresepkan untuk mengobati gejala komorbiditas pada
ASD. Berikut ini obat-obatan yang dapat diberikan pada kasus ASD.
Risperidon, dimulai dengan dosis 2 x 0,1 mg, dapat dinaikkan 0,05 mg
setiap 1 – 2 minggu, dosis bisa mencapai 1-2 mg/hari. Dapat
memperbaiki hubungan sosial, atensi, agresifitas, hiperaktifitas dan
perilaku menyakiti diri sendiri.
Aripiprazole, dimulai dengan dosis 2 mg sekali sehari, dapat dinaikkan
bertahap hingga maksimal 10 mg/hari.Dapat mengurangi gangguan
iritabilitas yang berhubungan dengan autis (tantrum, agresivitas,
perubahan mood tiba-tiba, perilaku yang merugikan diri sendiri).
Digunakan pada anak usia 6-17 tahun.
Haloperidol, dosis 0,25-3 mg/ hari, dibagi 2-3 dosis. Dapat memperbaiki
agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotifik.
Thioridazine, dosis 0,5-3 mg/ kg/ hari dibagi 2-3 dosis. Dapat
menurunkan agresifitas dan agitasi.18,25
53
3.2.9 Prognosis
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan
autisme, anak yang mempunyai IQ di atas 70 dan mampu menggunakan
komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Pasien dengan IQ rendah
mungkin tidak pernah hidup mandiri; mereka biasanya membutuhkan perawatan
di rumah atau tempat tinggal selama mereka hidup. Pasien yang berfungsi tinggi
dapat hidup mandiri, berhasil mempertahankan pekerjaan, dan bahkan menikah
dan memiliki anak. Berdasarkan gangguan pada otak, autisme tidak dapat
sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi, perilaku dapat di ubah ke arah
positif dengan berbagai terapi.6,11
54
b. Diberikan penilaian untuk terapi latihan tertentu misalnya fisioterapi, terapi
okupasi atau keterampilan atau terapi wicara
c. Tujuan terapi sesuai dengan dasar-dasar terapi tersebut
d. Teknik terapi dipilih sesuai dengan masalah masing-masing anak
e. Pemeriksaan secara berkala mengenai perkembangan anak
Waktu pemeriksaan anak bervariasi. pemeriksaan secara lengkap tidak
selalu mungkin dilakukan pada 1 hari pertama. Jika anak tidak terbiasa terhadap
lingkungan baru atau merasa tertekan anak justru tidak bisa menunjukkan potensi
yang sebenarnya. Selain melihat kemampuan setelah ketidakmampuan anak harus
diperhatikan pula kepribadian anak secara individu serta keluarganya. Perlu juga
memperhatikan aspek sosial dan budaya pada semua orang yang mempunyai
hubungan dengan anak dan keluarganya.6
55
edukasi kepada orangtua atau pengasuh anak untuk bisa memberikan program di
rumah karena waktu yang dimiliki anak jauh lebih banyak di rumah. Pemeriksaan
dan pelaksanaan terapi bergantung pada kerja tim. Diperlukan kerja tim yang baik
antara spesialis anak spesialis dokter rehabilitasi medis, pisikiater, spesialis
ortopedi, spesialis THT, fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, guru, pekerja
sosial psikologi dan orang tua.6
3.3.5 Program rehabilitasi medik pada anak dengan speech delay ec ASD
1. Terapi edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan
sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode penganjaran
antara lain metode TEACHC (Treatment and Education of Autistic and related
Communication Handicapped Children) metode ini merupakan suatu program
yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal yang individual,
metode pengajaran yang sistematik terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata
khusus.26
TEACCH mulai dikembangkan tahun 1972. Metode ini dilakukan dengan
menciptakan situasi belajar yang sesuai dengan kondisi anak autis: kemampuan
visual baik, perhatian mudah teralih, membutuhkan struktur yang jelas. Orangtua
perlu menerapkan juga terapi di rumah, 15 menit - 1 jam setiap harinya.26
56
2. Terapi perilaku
Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun
metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin yang
dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak dipakai adalah
ABA (Applied Behaviour Analysis) dimana metode ini merupakan metode yang
terstruktur dan mudah diukur hasilnya, dan keberhasilannya sangat tergantung
dari usia saat terapi itu dilakukan (terbaik sekitar usia 2-5 tahun).27
ABA terdiri dari tiga kata. Yaitu Applied yang berarti terapan, Behavior
yang berarti perilaku sedangkan Analysis memiliki pengertian:
mengurai/memecah menjadi bagian-bagian kecil, mempelajari bagian-bagian
tersebut, melakukan dan memodifikasi. Dari tiga kata tersebut ABA dapat
diartikan sebagai ilmu terapan yang mengurai, mempelajari dan memodifikasi
perilaku.27
Prinsip dasar metode ABA merupakan cara pendekatan dan penyampaian
materi kepada anak yang harus dilakukan seperti berikut ini:27
1) Kehangatan yang berdasarkan kasih sayang yang tulus, untuk menjaga
kontak mata yang lama dan konsisten
2) Tegas (tidak dapat ditawar-tawar anak)
3) Tanpa kekerasan dan tanpa marah
4) Prompt (bantuan, arahan) secara tegas tapi lembut.
5) Apresiasi anak dengan imbalan yang efektif, sebagai motivasi agar selalu
bergairah27
Terapi ABA merupakan suatu bentuk modifikasi perilaku melalui
pendekatan perilaku secara langsung, dengan lebih mem- fokuskan pada
perubahan secara spesifik. Baik berupa interaksi sosial, bahasa dan perawatan diri
sendiri. Adapun teknik ABA menurut Handojo sebagai berikut:27
1) DTT (Discrete Trial Training). Adalah salah satu tehnik utama dari ABA,
sehingga kadang ABA disebut juga DTT. Arti harfiah dari DTT adalah
latihan uji coba yang jelas/nyata. DTT terdiri dari “siklus” yang dimulai
dengan intruksi, prompt, dan di akhiri dengan imbalan.
57
Gambar 4. Metode ABA; Discrete Trial Training
2) Discrimination Training atau Discriminating. Teknik membedakan ini
dipakai untuk melabel atau identifikasi. Tahap kognitif atau kemmapuan
reseptif ini digunakan untuk menamai atau mengenal hal-hal seperti huruf,
warna, bentuk, tempat, orang dan sebagainya. Untuk meyakinkan bahwa
anak benar- benar memahami/mengenali hal secara konsisten, diperlukan
pembanding. Apabila anak tetap dapat mengidentifikasi hat tersebut tanpa
ragu, maka anak telah benar-benar mengenal- nya.
58
Gambar 6. Metode ABA; Matching
4) Fading berarti meluntur. Yang dilunturkan adalah prompt ke- pada anak.
Dari prompt penuh kemudian dikurangi secara bertahap sampai anak
berhasil melakukan tanpa prompt lagi.
59
Gambar 8. Metode ABA; Shaping
6) Chaining adalah menguraikan perilaku kompleks menjadi beberapa mata
rantai perilaku yang paling sederhana. Tiap mata rantai diajarkan tersendiri
dengan siklus DTT. Apabila anak menguasai tiap mata rantai, maka
diadakan pengga bungan kembali sehingga menjadi perilaku yang utuh.
Teknik ini dipakai sewaktu terapis mengajarkan memasang kaos kaki,
melepaskan kaos kaki, memakai baju kaos, melepaskan baju kaos dan
sebagainya.26
60
3. Terapi wicara
Terapi wicara adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang gangguan
bahasa, wicara dan suara yang bertujuan untuk digunakan sebagai landasan
membuat diagnosis dan penanganan. Dalam perkembangannya terapi wicara
memiliki cakupan pengertian yang lebih luas dengan mempelajari hal-hal yang
terkait dengan proses berbicara, termasuk di dalamnya adalah proses menelan,
gangguan irama/kelancaran dan gangguan neuromotor organ artikulasi
(articulation) lainnya.27
Terapis wicara adalah seseorang yang telah lulus pendidikan terapi wicara
baik di dalam maupun luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. (Peraturan MENKES RI No:
867/MENKES/PER/VIII/2004). Terapis wicara memiliki tugas, tanggung jawab,
kewenangan serta memiliki hak secara penuh untuk melaksanakan pelayanan
terapi wicara secara profesional di sarana pelayanan kesehatan.27
Prosedur kerja terapi wicara secara lebih terperinci diuraikan sebagai
berikut:27
1) Assesment, bertujuan untuk mendapatkan data awal sebagai bahan yang
harus dikaji dan dianalisa untuk membuat program selanjutnya. Assesment
ini meliputi tiga cara, yaitu melalui anamnesa, observasi, dan melakukan
tes, di samping itu juga diperlukan data penunjang lainnya seperti hasil
pemeriksaan dari ahli lain.
2) Diagnosis dan prognosis, setelah terkumpul data, selanjutnya data
tersebut digunakan sebagai bahan untuk menetapkan diagnosis dan jenis
gangguan untuk membuat prognosis tentang sejauh mana kemajuan
optimal yang bisa dicapai oleh penderita.
3) Perencanaan terapi wicara, perencanaan terapi wicara ini secara umum
terdiri dari: (a) Tujuan dan program (jangka panjang, jangka pendek dan
harian), (b) Perencanaan metode, teknik, frekuensi dan durasi, (c)
Perencanaan penggunaan alat, (d) Perencanaan rujukan (jika diperlukan),
(e) Perencanaan evaluasi.
61
4) Pelaksanaan terapi wicara, pelaksanaan terapi harus mengacu pada
tujuan, teknik/metode yang digunakan serta alat dan fasilitas yang
digunakan.
5) Evaluasi, kegiatan ini terapis wicara menilai kembali kondisi pasien
dengan membandingkan kondisi, setelah diberikan terapi dengan data
sebelum diberikan terapi. Hasilnya kemudian digunakan untuk membuat
program selanjutnya.
6) Pelaporan hasil, pelaporan pelaksanaan dari asesmen sampai selesai
program terapi dan evaluasi.
62
bicara yang dipakai untuk berkomunikasi dengan orang lain. Goal terkhir
yang ingin dicapai adalah kemampuan berkomunikasi dua arah.27
3)Kemampuan bahasa reseptif (kognitif), Kemampuan bahasa reseptif
(kognitif) adalah kemampuan mengenalkan akan beragam benda atau hal.
Kemampuan ini disebut juga identifikasi dan dapat berlanjut ke
kemampuan melabel, kemudian kemampuan bahasa ekspresif. Bagi
anak-anak dengan daya tangkap yang baik, pada saat diajarkan
kemampuan bahasa reseptif, dapat langsung dilanjutkan dengan
kemampuan ekspresif. Akan tetapi pada anak-anak dengan daya tangkap
lemah sebaiknya kedua kemampuan ini diajarkan terpisah.27
4)Kemampuan bahasa ekspresif, Mengajarkan bahasa ekspresif adalah
memberikan kemampuan pada anak untuk mengingat hal-hal yang sudah
terekam dalam memori untuk diekspresikan. Oleh karena itu kemampuan
ini harus diajarkan setelah konsep meniru dan konsep bahasa kognitif
sudah cukup dikuasai anak.
5)Kemampuan pre-akademik, Kemampuan Pra-akademik diindikasikan
dengan adanya kemampuan mengenal warna, bentuk, angka, huruf,
deskripsi orang, tempat, profesi dan lain-lain. Di sini dibutuhkan banyak
alat perega, untuk membantu anak menggunakan kemampuan visualnya.
Mereka akan lebih mudah mengingatnya. Sebaiknya alat peraga yang
digunakan tidak terlalu kecil dan juga jangan terlalu besar. Minimal 6x6
cm 2 dan maksimal 8x8 cm2 . Oleh karena penggunaannya tidak terlalu
lama dan jumlahnya sangat banyak, sebaiknya memakai alat peraga yang
semurah mungkin.27
6)Kemampuan bantu diri, Kemampuan membantu diri bertujuan untuk
memampukan anak hidup mandiri melakukan kegiatan rutin sehari-hari,
yaitu makan, minum, mandi, buang ait besar, buang air kecil, memakai
dan melepas baju, memakai dan melepas kaos kaki, dan kegiatan-
kegiatan rutin lainnya. Untuk melengkapi semuanya ini peranan guru dan
orang tua sangat mempercepat kemampuan seorang anak.27
63
Gambar 10. Terapi wicara
Untuk kemampuan advanced ada tiga tambahan kategori yaitu kemapuan
sosialisasi dan kemampuan bahasa abstrak serta kesiapan masuk sekolah.
Kepatuhan dan kontak mata yang termasuk dalam kategori A merupakan kunci
masuk metode Loovas. Tanpa penguasaan kedua kemampuan ini, anak autisma
atau gangguan yang lain termasuk terlambat bicara akan sangat sulit sekali
diajarkan aktivitas-aktivitas perilaku yang lain. Setelah kedua hal ini dikuasai
anak, kemudian dapat dilanjutkan dengan mengajarkan kemampuan bahasa
reseptif, bahasa ekspresif, kemampuan pre akademik, kemampuan bantu diri,
kemampuan bahasa abstrak dan kemampuan sosialisasi dapat diajarkan secara
bertahap dan teratur.27
64
4. Terapi okupasi
Terapi okupasi merupakan salah satu bentuk psikoterapi suportif yang
penting dilakukan meningkatkan kesembuhan untuk pasien, Terapi okupasi adalah
prosedur rehabilitasi yang di dalam aturan medis menggunakan aktivitas yang
membangkitkan kemandirian secara manual, kreatif, rekreasional, edukasional,
dan sosial serta industrial untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan atas
fungsi fisik dan respon-respon mental pasien.27,28
Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat melakukan
gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan teratur sesuai
kebutuhan saat itu. Terapi okupasi memberikan aktivitas bimanual, mulai dari
menjangkau, memegang, membawa, dan melepaskan benda/mainan. Terapi
bermain adalah terapi yang menggunakan media aktivitas permainan yang
bertujuan terapeutik, bermakna, dan menyenangkan bagi anak. Pelaksanaan terapi
bermain bisa berbeda-beda, bergantung pada metode pendekatan yang dipakai.
Tiap-tiap metode mempunyai prinsip yang spesifik dan hasil akhir setiap metode
adalah meningkatnya kemampuan sikap tubuh dan gerakan yang simetris, inhibisi
gerakan yang abnormal, pengurangan spastisitas, dan fasilitas gerakan normal
secara bertahap.27,28
Posisi (positioning) di tempat tidur, posisi duduk, posisi lengan bertujuan
mengurangi atau mencegah spastisitas dan fasilitas gerakan normal. Anak diajari
agar mampu membedakan gerakan yang salah dan benar untuk memfasilitasi
reaksi otomatik.27,28
65
Gambar 11. Terapi Okupasi
Terapi okupasi bergerak pada tiga area, atau yang biasa disebut dengan
occupational performance yaitu, activity of daily living (perawatan diri),
productivity (kerja), dan leisure (pemanfaatan waktu luang).27,28
1) Activity of daily living
Aktivitas yang dituju untuk merawat diri yang juga disebut Basic
Activities of Daily Living atau Personal Activities of Daily Living terdiri
dari: kebutuhan dasar fisik (makan, cara makan, kemampuan berpindah,
merawat benda pribadi, tidur, buang air besar, mandi, dan menjaga
kebersihan pribadi) dan fungsi kelangsungan hidup (memasak, berpakaian,
berbelanja, dan menjaga lingkungan hidup seseorang agar tetap sehat).
2) Productivity
Kegiatan produktif, baik dibayar atau tidak dibayar. Pekerjaan di mana
seseorang menghabiskan sebagian besar waktunya biasanya menjadi
bagian penting dari identitas pribadi dan peran sosial, memberinya
posisinya dalam masyarakat, dan rasa nilai sendiri sebagai anggota yang
66
ikut berperan. Pekerjaan yang berbeda diberi nilai-nilai sosial yang
berbeda pada masyarakat.
3) Leisure
Aktivitas mengisi waktu luang adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu
luang yang bermotivasi dan memberikan kegembiraan, hiburan, serta
mengalihkan perhatian pasien. Aktivitas tidak wajib yang pada hakekatnya
kebebasan beraktivitas. Adapun jenis-jenis aktivitas waktu luang seperti
menjelajah waktu luang (mengidentifikasi minat, keterampilan,
kesempatan, dan aktivitas waktu luang yang sesuai) dan partisipasi waktu
luang (merencanakan dan berpatisipasi dalam aktivitas waktu luang yang
sesuai, mengatur keseimbangan waktu luang dengan kegiatan yang
lainnya, dan memperoleh, memakai, dan mengatur peralatan dan barang
yang sesuai).
67
Sensori integrasi merupakan proses neurobiologi yang mengacu pada
pengintegrasian dan penafsiran stimulus sensori dari lingkungan oleh otak.
Sedangkan disfungsi sensori integrasi adalah suatu kekacauan dimana input
sensori tidak terintegrasi atau tertata sewajarnya di dalam otak sehingga
menimbulkan permasalahan dalam pengembangan, pengolahan informasi serta
perilaku.27
68
rencana atau diorganisasi dengan apa yang semestinya ia lakukan. Jadi, tidak
belajar secara mudah.27
Sensori integrasi terpusat di tiga dasar yaitu tactile, vestibular dan proprioceptive,
ketiganya terbentuk dan terhubung sebelum seseorang dilahirkan dan akan terus
berkembang ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Tactile, vestibular dan
proprioceptive tidak hanya saling berhubungan, tetapi juga terhubung dengan sistem lain
di dalam otak, sistem yang saling terhubung ini akan membantu seseorang untuk survive,
dan proses timbal baliknya akan dapat menginterpretasikan dan bereaksi terhadap
stimulus yang datang dari tubuh dan lingkungan. Sensori integrasi membantu secara
memadai proses sensorik seorang anak agar tercapai: kemampuan dalam mengolah
informasi secara tepat, kemampuan dalam berkonsentrasi, kemampuan organisasi, self-
esteem, kemampuan kontrol diri, percaya diri, kemampuan akademis, kemampuan
berpikir abstrak, kemampuan spesialisasi dari masing-masing sisi tubuh dan otak.27
69
Metode testing refleks digunakan untuk mengevaluasi perkembangan
fungsi sistem saraf pusat: level spinal, level brainstem, level midbrain,
level kortikal, reaksi otomatis (automatic movement reaction)
Diperlukan tes intelegensi (terutama pada palsi serebral, sindrom
Down)
Lamanya/waktu evaluasi sangat bervariasi
Dipakai instrument khusus untuk skrining, misalnya Denver II atau
yang lainnya
Perlu perencanaan program lainnya (missal perlu tindakan bedah)
Perlu dicermati kondisi lain yang muncul selama program latihan (over
training, penyakit lain)
70
BAB IV
ANALISIS KASUS
71
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan fisik
anak ASD pada umumnya dalam batas normal. Pada pemeriksaan skrining KPSP
anak usia 48 bulan didapatkan skor total 2 dengan interpretasi kemungkinan ada
penyimpangan pada perkembangan anak, dengan rincian gangguan pada 1 aspek
bicara dan bahasa, 2 aspek gerak kasar, 1 aspek gerak halus, dan 3 aspek sosial
dan kemandirian. Pada skrining perkembangan anak DENVER II didapatkan hasil
PS 9D 3C, MH 1D 4C, B 16D 7C, MK 3D 5C, dengan interpretasi suspect
gangguan perkembangan pada aspek personal sosial, motorik halus, bahasa, dan
motorik kasar. Berdasarkan skrining perkembangan tersebut, pada anak ini
terdapat keterlambatan pada lebih dari dua aspek perkembangan, sehingga
memenuhi diagnosis Global Developmental Delayed.
74
BAB V
KESIMPULAN
75
DAFTAR PUSTAKA
76
10. Wallace IF, Berkman ND, Watson LR, Beasley TC, Wood CT, Cullen K, et
al. Screening for speech and language delay in children 5 years old and
younger: A systematic review. Pediatrics 2015;136(2):1-15
11. Pusponegoro, H. Widodo, D. Mangunadjmadja, D. What l Why l How in
Child Neurology. UKK Neurologi IDAI Cabang DKI Jakarta. 2014
12. Dale PS, Patterson JL. Language development and literacy: Early
identification of language delay. Encyclopedia on Early Childhood
Development [Internet]. 2017.
13. Masi A, DeMayo MM, Glozier N, Guastella AJ. An Overview of Autism
Spectrum Disorder, Heterogeneity and Treatment Options. Neurosci Bull.
2017;33(2):183-193. doi:10.1007/s12264-017-0100-y
14. Hodges H, Fealko C, Soares N. Autism spectrum disorder: definition,
epidemiology, causes, and clinical evaluation. Transl Pediatr. 2020;9(Suppl
1):S55-S65. doi:10.21037/tp.2019.09.09
15. Mashabi, Nurlaila Abdullah; Tajudin, Nur Rizka. Hubungan antara
pengetahuan gizi ibu dengan pola makan anak autis. Makara kesehatan, 2009,
13.2: 84-86.
16. Newschaffer, C. et al. The Epidemiology of Autism Spectrum Disorders.
Annu. Rev. Public Health 2007. 28:21.1–21.24
17. Sari, Stefani Harum. Childhood Autism: the internal consistency Childhood
Autism Rating Scale for use in Indonesia and descriptive study of autism
clinical variance. 2009. PhD Thesis. Medical faculty.
18. Campisi L, Imran N, Nazeer A, Skokauskas N, Azeem MW. Autism
spectrum disorder. Br Med Bull. 2018 Sep 1;127(1):91-100. doi:
10.1093/bmb/ldy026. PMID: 30215678.
19. Mardiyono A (2010). http://www.pdkjateng.go.id/index.php/upt/bpdiksus/
196-deteksi-dini autism.
20. Mannion, A., & Leader, G. (2013). Comorbidity in autism spectrum disorder:
A literature review. Research in Autism Spectrum Disorders, 7(12), 1595–
1616. doi:10.1016/j.rasd.2013.09.006
21. Sharma SR, Gonda X, Tarazi FI. Autism Spectrum Disorder: Classification,
diagnosis and therapy. Pharmacol Ther. 2018 Oct;190:91-104. doi:
10.1016/j.pharmthera.2018.05.007. Epub 2018 May 12. PMID: 29763648.
77
22. Mukherjee SB. Autism Spectrum Disorders - Diagnosis and Management.
Indian J Pediatr. 2017 Apr;84(4):307-314. doi: 10.1007/s12098-016-2272-2.
Epub 2017 Jan 19. PMID: 28101829.
23. Ginting, SA. Terapi Diet pada Autisme. Sari Pediatri. 2004; 6(2): 47-51
24. Monteiro MA, Santos AAAD, Gomes LMM, Rito RVVF. AUTISM
SPECTRUM DISORDER: A SYSTEMATIC REVIEW ABOUT
NUTRITIONAL INTERVENTIONS. Rev Paul Pediatr. 2020;38:e2018262.
Published 2020 Mar 16. doi:10.1590/1984-0462/2020/38/2018262
27. Sunanik. Pelaksanaan Terapi Wicara dan Terapi Sensori Integrasi pada Anak
Terlambat Bicara. Jurnal Pendidikan Islam. 2013; 7(1): 20-42
28. Hermawati D, Utari A, Desiningrum DR, Kristiana IF, et al. 2014. Penerapan
Pemeriksaan dan Terapi Komprehensif Terhadap Anak Autis. Majalah INFO
ISSN : 0852 – 1816 Edisi XVI, Nomor 3, Oktober 2014.
78