Anda di halaman 1dari 93

LAPORAN KASUS

“SPEECH DELAYED E.C ADHD (ATTENTION DEFICIT


HYPERACTIVITY DISOLDER”.

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir Kepaniteraan Klinik Madya
di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Disusun oleh :
Alfrid Luis Pasumbung, S.Ked
Thresye Anjela Souhuwat, S.Ked

Dokter Pembimbing :
dr. Rini L. Ansanay, Sp.KFR
dr. Octaviany Hidemi Malamassam, Sp.KFR

SMF ILMU REHABILITASI MEDIK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan karunia-Nya sehingga laporan kasus dengan judul “Speech
Delayed e.c ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disolder” ini dapat
diselesaikan. Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik SMF ILMU REHABILITASI MEDIK Fakultas Kedokteran
Universitas Cenderawasih dan meningkatkan pemahaman penulis maupun
pembaca mengenai “Speech Delayed e.c ADHD Attention Deficit Hyperactivity
Disolder”.

Pada kesempatan ini penulis dengan rendah hati ingin mengucapkan


terima kasih kepada dr. Rini L. Ansanay, Sp.KFR dan dr. Octaviany Hidemi
Malamassam, Sp.KFR selaku pembimbing penulisan laporan kasus ini. Penulis
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan
dalam penyusunan laporan kasus ini akibat keterbatasan ilmu dan pengalaman
penulis. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang
sangat berarti guna menyempurnakan laporan kasus ini. Akhirnya penulis
mengharapkan laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Jayapura, Februari 2022

Penulis

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh penguji LAPORAN


KASUS dengan Judul “Speech Delayed e.c ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disolder”.

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik
Madya Pada SMF Ilmu Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura.

Yang dilaksanakan pada:

Hari : Rabu
Tanggal : 22 Februari 2023
Tempat : SMF Rehabilitasi Medik RSUD Dok II Jayapura

Menyetujui Dosen Menyetujui Dosen


Penguji/Pembimbing Penguji/Pembimbing

dr. Rini L. Ansanay, Sp.KFR dr. Octaviany Hidemi Malamassam, Sp.KFR

iii
LEMBAR PENILAIAN LAPORAN KASUS

Hari/Tanggal : Rabu, 22 Februari 2023


Pembimbing : dr. Rini Lestari Ansanay, Sp.KFR
dr. Oktaviany Hidemi M, Sp.KFR

Judul : SPEECH DELAYED E.C ADHD (ATTENTION


DEFICIT HYPERACTIVITY DISOLDER”.

NO NAMA NILAI
1. Alfrid Luis Pasumbung, S.Ked
(2020086016375)

2. Thresye Anjela Souhuwat, S.Ked


(0130840231)

Pembimbing

dr. Rini Lestari Ansanay, Sp.KFR dr. Oktaviany Hidemi M, Sp.KFR

iv
ABSENSI
LAPORAN KASUS

No Nama Tanda Tangan


1. Alfrid Luis Pasumbung

2. Aswani Asmuruf

3. Sri Wahyuni Rumbarar

4. Thresye Anjela Souhuwat

Jayapura, 22 Februari 2023

Pembimbing

dr. Rini Lestari Ansanay, Sp.KFR dr. Oktaviany Hidemi M, Sp.KFR

v
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL……………………………………………...………………i
KATA PENGANTAR……………………………………………...…………….ii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………..........................iii
LEMBAR PENILAIAN …………………………………………..……………iv
ABSENSI ……………………………………………………………..…………..v
DAFTAR ISI……………………………………………………..………………vi
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………..…………………1
1.1 Latar Belakang……………………………………………..………………..1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………….…………………..6
2.1 Bicara Dan Bahasa Anak ……………………………………......…………..44
2.2.1 Definisi....................................................................................................44
2.2.2. Epidemiologi...........................................................................................44
2.2.3. Etiologi dan Faktor Risiko......................................................................45
2.2.4. Gejala Klinis..........................................................................................48
2.2.7. Diagnosis................................................................................................51
2.2.9 Penatalaksanaan.......................................................................................58
2.2.10 Penanganan rehabilitasi medik pada anak dengan ADHD......................59
2.2.11 Prognosis.................................................................................................64
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................. 66
3.1 Identitas Pasien.......................................................................................... 66
3.2 Anamnesa.................................................................................................. 66
3.3 Pemeriksaan fisik ..................................................................................... 68
3.3.1 Status Generalis......................................................................................... 68
3.3.2 Status Lokalis ........................................................................................... 68
3.4 Diagnosis................................................................................................... 70
3.5 Diagnosis Banding.................................................................................... 70
3.6 Terapi........................................................................................................ 70
3.7 Prognosis.................................................................................................. 70
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 71
4.1 Pembahasan.............................................................................................. 71
4.1.1 Apakah Diagnosis Dari kasus Speech Deleyed dan ADHD Pada Pasien ini
sudah benar ? ...............................................................................................71
4.1.2 Apakah Terapi Pada Pasien Ini Sudah Benar ? .........................................72
4.3.1 Bagaimana Prognosis Dari Pasien Ini ? ....................................................
73
BAB V KESIMPULAN....................................................................................... 74
5.1 Kesimpulan ...............................................................................................74
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 76

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan
perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Keterlambatan bicara
adalah keluhan utama yang sering dicemaskan dan dikeluhkan orang tua
kepada dokter. Gangguan ini semakin hari tampak semakin meningkat pesat.
Beberapa laporan menyebutkan angka kejadian gangguan bicara dan bahasa
berkisar 5 – 10% pada anak sekolah. Kemampuan motorik dan kognisi
berkembang sesuai tingkat usia anak, demikian juga pemerolehan bahasa
bertambah melalui proses perkembangan mulai dari bahasa pertama, usia pra
sekolah dan usia sekolah di mana bahasa berperan sangat penting dalam
pencapaian akademik anak.2,3
Perkembangan bahasa, pada usia bawah lima tahun (balita) akan
berkembang sangat aktif dan pesat. Keterlambatan bahasa pada periode ini,
dapat menimbulkan berbagai masalah dalam proses belajar di usia sekolah.
Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa beresiko mengalami
kesulitan belajar, kesulitan membaca dan menulis dan akan menyebabkan
pencapaian akademik yang kurang secara menyeluruh, hal ini dapat berlanjut
sampai usia dewasa muda. Selanjutnya orang dewasa dengan pencapaian
akademik yang rendah akibat keterlambatan bicara dan bahasa, akan
mengalami masalah perilaku dan penyesuaian psikososial.1,2
Melihat sedemikian besar dampak yang timbul akibat keterlambatan bahasa
pada anak usia pra sekolah maka sangatlah penting untuk mengoptimalkan
proses perkembangan bahasa pada periode ini. Deteksi dini keterlambatan dan
gangguan bicara usia prasekolah adalah tindakan yang terpenting untuk
menilai tingkat perkembangan bahasa anak, sehingga dapat meminimalkan
kesulitan dalam proses belajar anak tersebut saat memasuki usia sekolah.
Beberapa ahli menyimpulkan perkembangan bicara dan bahasa dapat dipakai
sebagai indikator perkembangan anak secara keseluruhan, termasuk
kemampuan kognisi dan kesuksesan dalam proses belajar di sekolah. Hasil

1
studi longitudinal menunjukkan bahwa keterlambatan perkembangan bahasa
berkaitan dengan intelegensi dan membaca di kemudian hari.2,3
Gangguan bicara pada usia prasekolah, diperkirakankan 5% dari populasi
normal dan 70% dari kasus tersebut ditangani oleh terapis (Weiss et al. 1987).
Gangguan perkembangan bicara sangat bervariasi dan masih banyak timbul
kontroversi khususnya mengenai penentuan klasifikasi sesuai dengan etiologi
atau manifestasi klinisnya. Hal penting yang menjadi perhatian para klinisi
adalah mengenai faktor resiko yang mempengaruhi perkembangan bicara dan
bahasa. Faktor resiko yang paling sering dilaporkan adalah riwayat keluarga
yang positif, gangguan pendengaran, pre dan perinatal problem meliputi
kelahiran preterm dan berat badan lahir rendah serta faktor psikososial. 2,3
Faktor resiko yang dipengaruhi oleh kondisi biologi dan lingkungan ini
meningkatkan kemungkinan terjadinya gangguan perkembangan (Brooks-
Gunn, 1990). Mengenali berbagai faktor resiko yang berkaitan dengan
disabilitas perkembangan menjadi perhatian utama, terutama faktor-faktor
yang diyakini dipengaruhi oleh kondisi biologis dan lingkungan pada fase
awal dari suatu proses perkembangan. Faktor biologis yang beresiko negatif
pada perkembangan adalah prematuritas, berat badan lahir rendah, komplikasi
perinatal. Sedangkan faktor resiko dari lingkungan meliputi status
sosioekonomi yang rendah, hubungan tetangga yang buruk, psikopatologi
orang tua. Mengenali lebih dini faktor resiko pada anak merupakan faktor
penting untuk menjamin bahwa mereka ditempatkan dalam bentuk program
remedial yang tepat untuk meminimalkan atau mengurangi dampak dari faktor
resiko tersebut. Peran utama penelitian tersebut adalah melakukan intervensi
dini dan pendidikan khusus yang memperlihatkan bagaimana pendekatan
suatu epidemiologi perkembangan sehingga dapat memberikan informasi bagi
upaya pencegahan. 1,2,

2
Deteksi dini dan penanganan awal terhadap emosi, kognitif atau masalah
fisik adalah hal yang sangat penting. Orang-orang dewasa ini khususnya orang
tua, perawat anak sehari hari,atau dokter anak sering kali gagal menemukan
indikator awal dari disabilitas. Beberapa anak tidak memperoleh penanganan
dengan baik sampai masalah perkembangan itu menjadi sesuatu yang tidak dapat
ditangani atau berdampak secara signifikan terhadap hal-hal lain. 2
Epidemiologi perkembangan adalah suatu metodologi pendekatan yang bisa
sangat membantu mengidentifikasi faktor-faktor resiko dini untuk masalah-
masalah anak, seperti menentukan angka prevalensi dari masalah kesehatan di
masyarakat. Beberapa penelitian menggunakan epidemiologi perkembangan untuk
mengenali anak pada saat lahir, siapa yang paling beresiko nantinya mengalami
gangguan perkembangan. Berbagai penelitian tersebut memperkenalkan faktor-
faktor spesifik yang dapat meningkatkan resiko seorang anak mengalami
gangguan perkembangan, tetapi penelitian tersebut tidak meneliti outcome pada
anak-anak prasekolah atau tidak menggunakan skore penilaian bahasa yang
standart untuk mengidentifikasi anak-anak yang beresiko. 1,3
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan
perilaku yang paling banyak didiagnosis pada anak-anak dan remaja. Gejala
intinya meliputi tingkat atensi, aktivitas dan impulsivitas yang tidak sesuai
perkembangan. Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8-10%, hal
tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling umum pada
masa kanak-kanak. 40-50% kasus ADHD menetap pada masa remaja, bahkan
sampai dewasa. Bila menetap sampai remaja, dapat memunculkan masalah lain
seperti kenakalan remaja dan gangguan kepribadian anti-sosial. Orang dewasa
dengan ADHD sering bertengkar dengan pimpinannya dan dalam melaksanakan
tugasnya seringkali terlihat tidak tekun4.
Anak usia prasekolah adalah anak-anak yang berusia 3-6 tahun, pada usia ini
biasanya anak mengikuti program prasekolah atau Taman Kanak-kanak. Usia
prasekolah merupakan salah satu periode penting, dimana pada masa ini seluruh
aspek perkembangan kecerdasan tumbuh dan berkembang sangat luar bias. Pada
masa perkembangan berbagai masalah klinis yang dapat ditemukan pada anak
prasekolah, salah satunya adalah anak dengan gangguan perkembangan yang

3
cenderung bertingkah hiperaktif atau tidak bisa diam dan kurangnya pemusatan
perhatian yang biasa disebut dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder
(ADHD).
Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) atau dalam bahasa
Indonesia disebut Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif (GPPH) adalah
gangguan perilaku yang ditandai dengan ketidakmampuan dalam memusatkan
perhatian dan konsentrasi, impulsivitas dan hiperaktivitas. Beberapa faktor yang
dapat menyebabkan ADHD antara lain faktor genetik, faktor fungsi otak dan fator
lingkungan . Penelitian terbaru mengatakan bahwa faktor resiko ADHD juga
dapat disebabkan oleh riwayat berat badan lahir rendah (BBLR). Anak yang
memilikiriwayatberat badan lahir rendah (BBLR) dapat meningkatkan risiko
mengalami ADHD, karena berkaitan dengan gangguan fungsi otak yang sering
dijumpai pada anakdengan riwayat ADHD . ADHD merupakan gangguan biologis
pada otak yang berlangsung secara kronis sehingga dapat mengakibatkan
terganggunya perkembangan anak dalam halkognitif, perilaku, sosial, dan
komunikasi5. ADHD adalah salah satugangguan yang paling umum terjadi pada
anak usia dini. Anak dengan ADHD juga dikenal sebagai anak yang nakal, sering
membuat keributan di kelas, sulit diatur dan kebanyakan dari mereka juga
memiliki prestasi akademik yang buruk, sehingga membutuhkan penanganan dan
bimbingan yang tepat untuk menghadapi anak ADHD di sekolah . Prevalensi
ADHD di dunia sebesar 7,2%), di China prevalensi ADHD mencapai 6,26%.
Berdasarkan Survey yang dilakukan National Survey of Children’s Health
(NSCH) di Amerika Serikat pada tahun 2016 menyatakan bahwa pada anak usia
2-17 tahun terdapat 9,4 % atau sekitar 6,1 juta anak yang sudah didiagnosis
ADHD dengan 388.000 anakusia 2-5 tahun, 2,4 juta anak usia 6-11 tahun dan 3,3
juta anak usia 12-17 tahun. Berdasarkan American Psychiatric Association
menyatakan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-
V) bahwa 5% anak memiliki ADHD. Sekitar 11% anak usia 5-17 tahun (6,4 juta)
telah didiagnosis dengan ADHD pada tahun 2019. Presentasi anak dengan
diagnosis ADHD terus meningkat dari 7,8% pada tahun 2020 hingga 9,5% tahun
2021 dan 11% tahun 2022. Sedangkan perbandingan antara anak laki-laki (13,2%)

4
lebih banyak jika dibandingkan dengan anak perempuan (5,6%) yang di diagnosis
dengan ADHD.

5
Penyebab dari ADHD karena faktor genetik dan pengaruh lingkungan.
Gejaladari ADHD adalah tidak bisa diam dan sering mengganggu teman yang lain
di kelas. Guru tidak bias untuk mendeteksi anak dengan ADHD. Guru cukup
kesulitan dalam penanganan dan teknik mengajar pada anak dengan ADHD.
Sedangkan guru dengan inisial B mengatakan ADHD adalah anak yang nakal dan
sulit untuk diatur di kelas. Penyebab dari ADHD karena faktor genetik dan kurang
perhatian dari orangtua. Gejala dari ADHD adalah sulit untuk berkonsentrasi dan
tidak bisa diam. Cara mendeteksi anak ADHD dengan melihat tingkahlakunya
yang hiperaktif dan sulit berkonsentrasi. Cukup kesulitan dalam penanganan dan
teknik mengajar pada anak dengan ADHD karena harus fokus dengan anak
tersebut agar anak tersebut tidak keluar kelas dan mengganggu temannya6.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bicara dan Bahasa Pada Anak

2.1.1 Definisi

Kata bahasa berasal dari bahasa latin “lingua” yang berarti lidah.
Awalnya pengertiannya hanya merujuk pada bicara, namun selanjutnya
digunakan sebagai bentuk sistem konvensional dari simbol-simbol yang
dipakai dalam komunikasi.4

American Speech-Language Hearing Association Committee on


Language mendefinisikan bahasa sebagai : suatu sistem lambang
konvensional yang kompleks dan dinamis yang dipakai dalam berbagai cara
berpikir dan berkomunikasi.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, bahasa didefinisikan sebagai : suatu


sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh suatu anggota
masyarakat untuk bekerja bersama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.
Kamus bahasa Inggris juga memberi definisi yang sama tentang bahasa. 4

Terdapat perbedaan mendasar antara bicara dan bahasa. Bicara adalah


pengucapan yang menunjukkan ketrampilan seseorang mengucapkan suara
dalam suatu kata. Bahasa berarti menyatakan dan menerima informasi dalam
suatu cara tertentu. Bahasa merupakan salah satu cara berkomunikasi. Bahasa
reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan apa yang
didengar. Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara
simbolis baik visual (menulis, memberi tanda) atau auditorik.5

Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja ia


dapat mengucapkan satu kata dengan jelas tetapi tidak dapat menyusun dua
kata dengan baik, atau sebaliknya seorang anak mungkin saja dapat

7
mengucapkan sebuah kata yang sedikit sulit untuk dimengerti tetapi ia dapat
menyusun kata-kata tersebut dengan benar untuk menyatakan keinginannya.6

Masalah bicara dan bahasa sebenarnya berbeda tetapi kedua masalah ini
sering kali tumpang tindih. Gangguan bicara dan bahasa terdiri dari masalah
artikulasi, suara, kelancaran bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam
menggunakan kata-kata, biasanya akibat cedera otak) serta keterlambatan
dalam bicara atau bahasa. Keterlambatan bicara dan bahasa dapat disebabkan
oleh berbagai faktor termasuk faktor lingkungan atau hilangnya pendengaran.
Gangguan bicara dan bahasa juga berhubungan erat dengan area lain yang
mendukung proses tersebut seperti fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran.
Keterlambatan dan gangguan bias mulai dari bentuk yang sederhana seperti
bunyi suara yang “tidak normal” (sengau, serak) sampai dengan
ketidakmampuan untuk mengerti atau menggunakan bahasa, atau
ketidakmampuan mekanisme motorik oral dalam fungsinya untuk bicara dan
makan. 6
Gangguan perkembangan artikulasi meliputi kegagalan mengucapkan satu
huruf sampai beberapa huruf, sering terjadi penghilangan atau penggantian
bunyi huruf tersebut sehingga menimbulkan kesan cara bicaranya seperti anak
kecil. Selain itu juga dapat berupa gangguan dalam pitch, volume atau kualitas
suara.3
Afasia yaitu kehilangan kemampuan untuk membentuk kata-kata atau
kehilangan kemampuan untuk menangkap arti kata-kata sehingga pembicaraan
tidak dapat berlangsung dengan baik. Anak-anak dengan afasia didapat
memiliki riwayat perkembangan bahasa awal yang normal, dan memiliki onset
setelah trauma kepala atau gangguan neurologis lain (contohnya kejang). 4,5
Gagap adalah gangguan kelancaran atau abnormalitas dalam kecepatan
atau irama bicara. Terdapat pengulangan suara, suku kata atau kata atau suatu
bloking yang spasmodik, bisa terjadi spasme tonik dari otot-otot bicara seperti
lidah, bibir dan laring. Terdapat kecendrungan adanya riwayat gagap dalam
keluarga. Selain itu, gagap juga dapat disebabkan oleh tekanan dari orang tua
agar anak bicara dengan jelas, gangguan lateralisasi, rasa tidak aman, dan
kepribadian anak. 4,5

8
2.1.3 Epidemiologi 1,2,3

Gangguan bicara dan bahasa dialami oleh 8% anak usia prasekolah.


Hampir sebanyak 20% dari anak berumur 2 tahun mempunyai gangguan
keterlambatan bicara. Keterlambatan bicara paling sering terjadi pada usia 3-16
tahun. Pada anak-anak usia 5 tahun, 19% diidentifikasi memiliki gangguan
bicara dan bahasa (6,4% keterlambatan berbicara, 4,6% keterlambatan bicara
dan bahasa, dan 6% keterlambatan bahasa). Gagap terjadi 4-5% pada usia 3-5
tahun dan 1% pada usia remaja.

Laki-laki diidentifikasi memiliki gangguan bicara dan bahasa hampir dua


kali lebih banyak daripada wanita. Sekitar 3-6% anak usia sekolah memiliki
gangguan bicara dan bahasa tanpa gejala neurologi, sedangkan pada usia
prasekolah prevalensinya lebih tinggi yaitu sekitar 15%. Menurut penelitian
anak dengan riwayat sosial ekonomi yang lemah memiliki insiden gangguan
bicara dan bahasa yang lebih tinggi daripada anak dengan riwayat sosial
ekonomi menengah ke atas.

Studi Cochrane terakhir telah melaporkan data keterlambatan bicara,


bahasa dan gabungan keduanya pada anak usia prasekolah dan usia sekolah.
Prevalensi keterlambatan perkembangan bahasa dan bicara pada anak usia 2
sampai 4,5 tahun adalah 5-8%, prevalensi keterlambatan bahasa adalah 2,3-
19%. Sebagian besar studi melaporkan prevalensi dari 40% sampai 60%.

Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia belum


pernah diteliti secara luas. Kendalanya dalam menentukan kriteria
keterlambatan perkembangan berbahasa. Data di Departemen Rehabilitasi
Medik RSCM tahun 2006, dari 1125 jumlah kunjungan pasien anak terdapat
10,13% anak terdiagnosis keterlambatan bicara dan bahasa. Penelitian Wahjuni
tahun 1998 di salah satu kelurahan di Jakarta Pusat menemukan prevalensi
keterlambatan bahasa sebesar 9,3% dari 214 anak yang berusia bawah tiga
tahun.

9
2.1.4 Neurolinguistik 6

1) Sistem Saraf Pusat


Pada sebagian besar manusia area bahasa terletak pada hemisfer
serebri kiri. Terdapat empat area bahasa secara konvensional yaitu dua
area bahasa reseptif dan dua lainnya adalah eksekutif yang menghasilkan
bahasa. Dua area reseptif berhubungan erat dengan zona bahasa sentral.
Area reseptif berfungsi mengatur persepsi bahasa yang diucapkan, yaitu
area 22 posterior yang disebut area Wernicke dan girus Heschls (area 41
dan 42). Area yang mengatur persepsi bahasa tulisan menempati girus
angulus (area 39) pada lobus parietal inferior anterior terhadap area
reseptif visual. Girus supra marginal yang terletak di antara pusat bahasa
auditori dan visual dan area temporal inferior yang terletak di anterior
korteks asosiasi visual kemungkinan adalah bagian dari zona bahasa
sentral juga. Area-area ini terletak pada pusat integrasi untuk fungsi
bahasa visual dan auditori.
Area Broadman 44 dan 45 disebut area Broca dan merupakan bagian
eksekutif utama yang bertanggung jawab terhadap aspek motorik bicara.
Secara visual kata-kata yang diterima diekspresikan dalam bentuk tulisan
melalui area tulisan Exner. Area sensori dan motori terhubungkan satu
dengan yang lain melalui fasikulus arkuatum yang melewati ismus lobus
temporal kemudian memutari ujung posterior fisura silvii, sambungan
lainnya melalui kapsula eksterna nukleus lentikular.
Area penerimaan visual dan somatosensori terintegrasi pada lobus
parietal, sedangkan penerimaan auditori terletak di lobus temporal. Serat
pendek, menghubungkan area Broca dengan korteks rolandi bawah yang
menginervasi organ bicara, otot bibir, lidah, farings dan larings. Area
menulis Exner juga terintegrasi dengan organ motor untuk otot tangan.
Area bahasa perisylvian juga terhubungkan dengan striata dan thalamus
dan area korespondensi pada hemisfer non dominan melalui korpus
kalosum dan komisura anterior.

10
Tiga fungsi dasar otak adalah fungsi pengaturan, proses dan formulasi.
Fungsi pengaturan bertanggung-jawab untuk tingkat energi dan tonus serta
korteks secara keseluruhan. Fungsi proses berlokasi di belakang korteks,
mengontrol analisa informasi, pengkodean dan penyimpanan. Korteks yang
lebih tinggi bertanggung jawab untuk memproses rangsangan sensori seperti
rangsangan optik, akustik dan olfaktori. Data dari tiap sumber digabungkan
dengan sumber sensori lainnya untuk dianalisa dan diformulasikan. Proses
formulasi berlokasi pada lobus frontal, bertanggung jawab untuk formasi
intensi dan perilaku. Fungsi utamanya adalah untuk mengaktifkan otak untuk
pengaturan atensi dan konsentrasi.
Meskipun hemisfer kiri dan kanan simetris untuk proses motorik dan
sensoris, namun terdapat juga ketidaksimetrisan untuk fungsi khusus tertentu
seperti bahasa. Dengan demikian, meskipun fungsinya berbeda, kedua
hemisfer tersebut saling berintegrasi dan memberi informasi melalui korpus
kalosum dan subkortikal lainnya. Fungsi yang menonjol dari hemisfer serebri
kiri adalah sebagai fungsi dasar untuk bahasa. Teori yang paling umum
mengatakan traktus kortikospinal berasal dari hemisfer kiri yang berisi lebih
banyak serat dan menyilang lebih tinggi dibanding hemifer kanan. Belajar
juga merupakan suatu faktor, terjadi banyak pergeseran dari kiri ke kanan
(shifted sinistral). Pada sebagian anak terjadi pergeseran ke kanan hemisfer di
usia muda, dan menjadi bertangan kidal..
2.1.5 Proses fisiologi bicara

Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak


untuk berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan
kombinasi yang serasi dari sistem neuromuskular untuk mengeluarkan fonasi
dan artikulasi suara. Proses bicara melibatkan beberapa sistem dan fungsi
tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak
dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur
artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung.3,9
Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan
motoris. Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba
berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek

11
motorik yaitu mengatur laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi
dan laring yang bertanggung jawab untuk pengeluaran suara.6,9
Pada hemisfer dominan otak atau sistem susunan saraf pusat terdapat
pusat-pusat yang mengatur mekanisme berbahasa yakni dua pusat bahasa
reseptif area 41 dan 42 (area wernick), merupakan pusat persepsi auditori-
leksik yaitu mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang
berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 broadman adalah pusat
persepsi visuo-leksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala
sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah
pusat bahasa ekspresif. Pusat-pusat tersebut berhubungan satu sama lain
melalui serabut asosiasi. 6
Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan
masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada
membran timpani. Dari sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil
dalam telinga tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam
terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang disebut Coclea. Saat
gelombang suara mencapai coclea maka impuls ini diteruskan oleh saraf VIII
ke area pendengaran primer di otak diteruskan ke area wernick. Kemudian
jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke
area motorik di otak yang mengontrol gerakan bicara. Selanjutnya proses
bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran
udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan
palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara diperlukan koordinasi sistem
saraf motoris dan sensoris dimana organ pendengaran sangat penting.8,9
Proses reseptif – Proses dekode 6,8
Segera saat rangsangan auditori diterima, formasi retikulum pada
batang otak akan menyusun tonus untuk otak dan menentukan modalitas dan
rangsang mana yang akan diterima otak. Rangsang tersebut ditangkap oleh
talamus dan selanjutnya diteruskan ke area korteks auditori pada girus
Heschls, dimana sebagian besar signal yang diterima oleh girus ini berasal dari
sisi telinga yang berlawanan.

12
Girus dan area asosiasi auditori akan memilah informasi bermakna
yang masuk. Selanjutnya masukan linguistik yang sudah dikode, dikirim ke
lobus temporal kiri untuk diproses. Sementara masukan paralinguistik berupa
intonasi
tekanan, irama dan kecepatan masuk ke lobus temporal kanan. Analisa
linguistik dilakukan pada area Wernicke di lobus temporal kiri. Girus angular
dan supramarginal membantu proses integrasi informasi visual, auditori dan
raba serta perwakilan linguistik. Proses dekode dimulai dengan dekode
fonologi berupa penerimaan unit suara melalui telinga, dilanjutkan dengan
dekode gramatika. Proses berakhir pada dekode semantik dengan pemahaman
konsep atau ide yang disampaikan lewat pengkodean tersebut.
Proses ekspresif – Proses encode 6,8
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur
untuk pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan
melalui fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi
verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang
mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini
merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses
enkode dimulai dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode
gramatika dan berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini
terjadi di otak/pusat pembicara.
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu
pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini
terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode
diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses perkembangan
bahasa, kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus
berkembang dengan baik.

2.1.6 Perkembangan bahasa pada anak usia di bawah 3 tahun

Perkembangan bahasa sangat berhubungan erat dengan maturasi otak.


Secara keseluruhan terlihat dengan berat kasar otak yang berubah sangat cepat
dalam 2 tahun pertama kehidupan. Hal ini disebabkan karena mielinisasi atau

13
pembentukan selubung system saraf. Proses mielinisasi ini dikontrol oleh
hormon seksual, khususnya estrogen. Hal ini menjelaskan kenapa proses
perkembangan bahasa lebih cepat pada anak perempuan.
Pada usia sekitar 2 bulan, korteks motorik di lobus frontal menjadi
lebih aktif. Anak memperoleh lebih banyak kontrol dalam perilaku motor
volusional.
Korteks visual menjadi lebih aktif pada usia 3 bulan, jadi anak menjadi lebih
fokus pada benda yang dekat maupun yang jauh. Selama separuh periode
tahun pertama korteks frontal dan hipokampus menjadi lebih aktif. Hal ini
menyebabkan peningkatan kemampuan untuk mengingat stimulasi dan
hubungan awal antara kata dan keseluruhan. Pengalaman dan interaksi bayi
akan membantu anak mengatur kerangka kerja otak.
Diferensiasi otak fetus dimulai pada minggu ke-16 gestasi. Selanjutnya
maturasi otak berbeda dan terefleksikan pada perilaku bayi saat lahir. Selama
masa prenatal batang otak, korteks primer dan korteks somatosensori
bertumbuh dengan cepat. Sesudah lahir serebelum dan hemisfer serebri juga
tumbuh bertambah cepat terutama area reseptor visual. Ini menjelaskan bahwa
maturasi visual terjadi relatif lebih awal dibandingkan auditori. Traktus
asosiasi yang mengatur bicara dan bahasa belum sepenuhnya matur sampai
periode akhir usia pra sekolah. Pada neonatus, vokalisasi dikontrol oleh batang
otak dan pons. Reduplikasi babbling menandakan maturasi bagian wajah dan
area laring pada korteks motor. Maturasi jalur asosiasi auditorik seperti
fasikulus arkuatum yang menghubungkan area auditori dan area motor korteks
tidak tercapai sampai awal tahun kedua kehidupan sehingga menjadi
keterbatasan dalam intonasi bunyi dan bicara. Pengaruh hormon estrogen pada
maturasi otak akan mempengaruhi kecepatan perkembangan bunyi dan bicara
pada anak perempuan.

14
Perkembangan Bicara dan Bahasa pada Anak Normal (Towne, 1983)2

Umur Bahasa reseptif (bahasa pasif) Bahasa eksprepsif (bahasa aktif)


(bulan)
1 Kegiatan terhenti akibat suara Vokalisasi yang masih sembarang,
terutama huruf hidup
2 Tampak mendengar ucapan Tanda-tanda vokal yang
pembicara, dapat tersenyum pada menunjukkan
pembicaraan perasaan senang, senyum sosial
3 Melihat kearah pembicara Tersenyum sebagai jawaban
terhadap
Pembicara
4 Memberi tanggapan yang Jawaban vokal terhadap rangsang
berbeda social
terhadap suara bernada
marah/senang
5 Bereaksi terhadap panggilan Mulai meniru suara
namanya
6 Mulai mengenal kata-kata “da- Protes vokal, berteriak karena
da, papa, kegirangan
ma-ma”
7 Bereaksi terhadap kata-kata naik, Mulai menggunakan suara mirip
kemari, dada kata-kata
Kacau
8 Menghentikan aktivitas bila Menirukan rangkaian suara
namanya
di panggil
9 Menghentikan kegiatan bila Menirukan rangkaian suara

15
dilarang

16
10 Secara tepat menirukan variasi Kata-kata pertama mulai muncul
suara
Tinggi
11 Reaksi atas pertanyaan sederhana Kata-kata kacau mulai dapat
dengan melihat atau menoleh dimengerti
dengan baik
12 Reaksi dengan melakukan Mngungkapkan kesadaran tentang
gerakan objek
terhadap berbagai pertanyaan yang telah akrab dan menyebut
verbal Namanya
15 Mengetahui dan mengenali Kata-kata yang benar terdengar
namanama diantara
bagian tubuh kata-kata yang kacau, sering
dengan
disertai gerakan tubuhnya
18 Dapat mengetahui dan mengenali Lebih banyak menggunakan kata-
gambar-gambar objek yang kata
sudah daripada gerakan, untuk
akrab dengannya, jika objek mengungkapkan
tersebut keinginannya
disebut namanya
21 Akan mengikuti petunjuk yang Mulai mengkombinasikan kata-
beruurutan (ambil topimu dan kata
letakkan (mobil papa, mama berdiri)
diatas meja)
24 Mengetahui lebih banyak kalimat Menyebut nama sendiri
yang lebih rumit

Lundsteen membagi perkembangan bahasa dalam 3 tahap :10


1. Tahap pralinguistik
 0-3 bulan, bunyinya di dalam (meruku) dan berasal dari tenggorok.

17
 3-12 bulan, meleter, banyak memakai bibir dan langit-langit, misalnya
ma, da,ba.
2. Tahap protolinguitik
 12 bulan-2 tahun, anak sudah mengerti dan menunjukkan alat-alat
tubuh. Ia mulai berbicara beberapa patah kata (kosa katanya dapat
mencapai 200-300).
3. Tahap linguistic
 2-6 tahun atau lebih, pada tahap ini ia mulai belajar tata bahasa dan
perkembangan kosa katanya mencapai 3000 buah.
Tahap perkembangan bahasa di atas hampir sama dengan pembagian
menurut Bzoch yang membagi perkembangan bahasa anak dari lahir sampai
usia 3 tahun dalam empat stadium.

1. Perkembangan bahasa bayi sebagai komunikasi prelinguistik. 0-3 bulan.


Periode lahir sampai akhir tahun pertama. Bayi baru lahir belum bisa
menggabungkan elemen bahasa baik isi, bentuk dan pemakaian bahasa.
Selain belum berkembangnya bentuk bahasa konvensional, kemampuan
kognitif bayi juga belum berkembang. Komunikasi lebih bersifat reflektif
daripada terencana. Periode ini disebut prelinguistik. Meskipun bayi
belum mengerti dan belum bisa mengungkapkan bentuk bahasa
konvensional, mereka mengamati dan memproduksi suara dengan cara
yang unik. Klinisi harus menentukan apakah bayi mengamati atau
bereaksi terhadap suara. Bila tidak, ini merupakan indikasi untuk evaluasi
fisik dan audiologi. Selanjutnya intervensi direncanakan untuk
membangun lingkungan yang menyediakan banyak kesempatan untuk
mengamati dan bereaksi terhadap suara.
2. Kata-kata pertama : transisi ke bahasa anak. 3-9 bulan. Salah satu
perkembangan bahasa utama milestone adalah pengucapan kata-kata
pertama yang terjadi pada akhir tahun pertama, berlanjut sampai satu
setengah tahun saat pertumbuhan kosa kata berlangsung cepat, juga tanda
dimulainya pembetukan kalimat awal. Berkembangnya kemampuan
kognitif, adanya kontrol dan interpretasi emosional di periode ini akan

18
memberi arti pada kata-kata pertama anak. Arti kata-kata pertama
mereka

19
dapat merujuk ke benda, orang, tempat, dan kejadian-kejadian di seputar
lingkungan awal anak.
3. Perkembangan kosa kata yang cepat-Pembentukan kalimat awal. 9-18
bulan. Bentuk kata-kata pertama menjadi banyak, dan dimulainya
produksi kalimat. Perkembangan komprehensif dan produksi kata-kata
berlangsung cepat pada sekitar 18 bulan. Anak mulai bisa
menggabungkan kata benda dengan kata kerja yang kemudian
menghasilkan sintaks. Melalui interaksinya dengan orang dewasa, anak
mulai belajar mengkonsolidasikan isi, bentuk dan pemakaian bahasa
dalam percakapannya. Dengan semakin berkembangnya kognisi dan
pengalaman afektif, anak mulai bisa berbicara memakai kata-kata yang
tersimpan dalam memorinya. Terjadi pergeseran dari pemakaian kalimat
satu kata menjadi bentuk kata benda dan kata kerja.
4. Dari percakapan bayi menjadi registrasi anak pra sekolah yang
menyerupai orang dewasa. 18-36 bulan. Anak dengan mobilitas yang
mulai meningkat memiliki akses ke jaringan sosial yang lebih luas dan
perkembangan kognitif menjadi semakin dalam. Anak mulai berpikir
konseptual, mengkategorikan benda, orang dan peristiwa serta dapat
menyelesaikan masalah fisik Anak terus mengembangkan pemakaian
bentuk fonem dewasa.
Perkembangan bahasa anak dapat dilihat juga dari pemerolehan bahasa
menurut komponen-komponennya.
Perkembangan Pragmatik
Perkembangan komunikasi anak sesungguhnya sudah dimulai sejak
dini, pertamatama dari tangisannya bila bayi merasa tidak nyaman, misalnya
karena lapar, popok basah. Dari sini bayi akan belajar bahwa ia akan
mendapat perhatian ibunya atau orang lain saat ia menangis sehingga
kemudian bayi akan menangis bila meminta orang dewasa melakukan sesuatu
buatnya.
Usia 3 minggu bayi tersenyum saat ada rangsangan dari luar, misalnya
wajah seseorang, tatapan mata, suara dan gelitikan. Ini disebut senyum sosial.
Usia 12 minggu mulai dengan pola dialog sederhana berupa suara balasan

20
bila ibunya memberi tanggapan. Usia 2 bulan bayi mulai menanggapi ajakan
komunikasi ibunya. Usia 5 bulan bayi mulai meniru gerak-gerik orang, serta

21
mempelajari bentuk ekspresi wajah. Pada usia 6 bulan bayi mulai tertarik
dengan benda-benda sehinga komunikasi menjadi komunikasi ibu, bayi dan
bendabenda. Usia 7-12 bulan anak menunjuk sesuatu untuk menyatakan
keinginannya. Gerak-gerik ini akan berkembang disertai dengan bunyi-bunyi
tertentu yang mulai konsisten. Pada masa ini sampai sekitar 18 bulan, peran
gerak-gerik lebih menonjol dengan penggunaan satu suku kata. Usia 2 tahun
anak kemudian memasuki tahap sintaksis dengan mampu merangkai kalimat
2 kata, bereaksi terhadap pasangan bicaranya dan masuk dalam dialog
singkat. Anak mulai memperkenalkan atau merubah topik dan mulai belajar
memelihara alur percakapan dan menangkap persepsi pendengar. Perilaku ibu
yang fasilitatif akan membantu anaknya dalam memperkenalkan topik baru.
Lewat umur 3 tahun anak mulai berdialog lebih lama sampai beberapa kali
giliran. Lewat umur ini, anak mulai mampu mempertahankan topic yang
selanjutnya mulai membuat topik baru. Hampir 50 persen anak 5 tahun dapat
mempertahankan topik melalui 12 kali giliran.
Sekitar 36 bulan, terjadi peningkatan dalam keaktifan berbicara dan
anak memperoleh kesadaran sosial dalam percakapan. Ucapan yang ditujukan
pada pasangan bicara menjadi jelas, tersusun baik dan teradaptasi baik untuk
pendengar. Sebagian besar pasangan berkomunikasi anak adalah orang
dewasa, biasanya orang tua. Saat anak mulai membangun jaringan sosial
melibatkan orang di luar keluarga, mereka akan memodifikasi pemahaman
diri dan bayangan diri dan menjadi lebih sadar akan standar sosial.
Lingkungan linguistik memiliki pengaruh bermakna pada proses belajar
berbahasa. Ibu memegang control dalam membangun dan mempertahankan
dialog yang benar. Ini berlangsung sepanjang usia pra sekolah.
Anak berada pada fase mono dialog, percakapan sendiri dengan
kemauan untuk melibatkan orang lain. Monolog kaya akan lagu, suara, kata-
kata tak bermakna, fantasi verbal dan ekspresi perasaan.

22
Perkembangan Semantik

Karena faktor lingkungan sangat berperan dalam perkembangan


semantik, maka pada
umur 6-9 bulan anak telah mengenal orang atau benda yang berada di
sekitarnya. Leksikal dan pemerolehan konsep berkembang pesat pada masa
pra sekolah. Terdapat indikasi bahwa anak dengan kosa kata lebih banyak
akan lebih popular di kalangan teman-temannya.Diperkirakan terjadi
penambahan 5 kata perhari di usia 18 bulan sampai 6 tahun. Pemahaman kata
bertambah tanpa pengajaran langsung orang dewasa. Terjadi strategi pemetaan
yang cepat di usia ini sehingga anak dapat menghubungkan suatu kata dengan
rujukannya.Pemetaan yang cepat adalahlangkah awal dalam proses
pemerolehan leksikal. Selanjutnya secara bertahap anak akan mengartikan lagi
informasi-informasi baru yang diterima.
Definisi kata benda anak usia pra sekolah meliputi properti fisik seperti
bentuk, ukuran dan warna, properti fungsi, properti pemakaian dan lokasi.
Definisi kata kerja anak pra sekolah juga berbeda dari kata kerja orang dewasa
atau anak yang lebih besar. Anak pra sekolah dapat menjelaskan siapa, apa,
kapan, di mana, untuk apa, untuk siapa, dengan apa, tapi biasanya mereka
belum memahami pertanyaan bagaimana dan mengapa atau menjelaskan
proses.
Anak akan mengembangkan kosa katanya melalui cerita yang
dibacakan orang tuanya. Begitu kosa kata berkembang, kebutuhan untuk
mengorganisasikan kosa kata akan lebih meningkat, dan beberapa jaringan
semantik atau antar relasi akan terbentuk.
Perkembangan Sintaksis

Susunan sintaksis paling awal terlihat pada usia kira-kira 18 bulan


walaupun pada beberapa anak terlihat pada usia 1 tahun bahkan lebih dari 2
tahun. Awalnya berupa kalimat dua kata. Rangkaian dua kata, berbeda dengan
masa “kalimat satu kata” sebelumnya yang disebut masa holofrastis. Kalimat
satu kata bisa ditafsirkan dengan mempertimbangkan konteks penggunaannya.
Hanya mempertimbangkan arti kata semata-mata tidaklah mungkin kita
menangkap makna dari kalimat satu kata tersebut.

23
Peralihan dari satu kata menjadi kalimat yang merupakan rangkaian
kata terjadi secara bertahap. Pada waktu kalimat pertama terbentuk yaitu
penggabugan dua kata menjadi kalimat, rangkaian kata tersebut berada pada
jalinan intonasi. Jika kalimat dua kata tersebut memberi makna lebih dari satu
maka anak membedakannya dengan menggunakan pola intonasi yang berbeda.
Perkembangan pemerolehan sintaksis meningkat pesat pada waktu
anak menjalani usia 2 tahun, yang mencapai puncaknya pada akhir usia 2
tahun.
Tahap perkembangan sintaksis secara singkat terbagi dalam:
1. Masa pra-lingual, sampai usia 1 tahun
2. Kalimat satu kata, 1-1,5 tahun
3. Kalimat rangkaian kata, 1,5-2 tahun
4. Konstruksi sederhana dan kompleks, 3 tahun.
Lewat usia 3 tahun anak mulai menanyakan hal-hal yang abstrak dengan kata
Tanya “mengapa”,”kapan”. Pemakaian kalimat kompleks dimulai setelah anak
menguasai kalimat
empat kata sekitar usia 4 tahun

Perkembangan Morfologi
Periode perkembangan ditandai dengan peningkatan panjang ucapan
rata-rata, yang diukur dalam morfem. Panjang rata-rata ucapan, mean length
of utterance (MLU) adalah alat prediksi kompleksitas bahasa pada anak yang
berbahasa Inggris. MLU sangat erat berhubungan dengan usia dan merupakan
prediktor yang baik untuk perkembangan bahasa.
Dari usia 18 bulan sampai 5 tahun MLU meningkat kira-kira 1,2
morfem per tahun. Penguasaan morfem mulai terjadi saat anak mulai
merangkai kata sekitar usia 2 tahun. Beberapa sumber yang membahas tentang
morfem dalam kaitannya dengan morfologi semuanya merupakan bahasa
Inggris yang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia.

Perkembangan Fonologi

24
Perkembangan fonologi melalui proses yang panjang dari dekode
bahasa. Sebagian besar konstruksi morfologi anak akan tergantung pada
kemampuannya menerima dan memproduksi unit fonologi. Selama usia pra

25
sekolah, anak tidak hanya menerima inventaris fonetik dan sistem fonologi
tapi juga mengembangkan kemampuan menentukan bunyi mana yang dipakai
untuk membedakan makna. Pemerolehan fonologi berkaitan dengan proses
konstruksi suku kata yang terdiri darigabungan vokal dan konsonan. Bahkan
dalam babbling, anak menggunakan konsonan-vokal (KV) atau konsonan-
vokal-konsonan (KVK). Proses lainnya berkaitan dengan asimilasi dan
substitusi sampai pada persepsi dan produksi suara.

2.1.7 Perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif

Myklebust membagi tahap perkembangan bahasa berdasarkan komponen


ekspresif dan
reseptif sebagai berikut:
1. Lahir – 9 bulan: anak mulai mendengar dan mengerti, kemudian
berkembanglah pengertian konseptual yang sebagian besar nonverbal.
2. Sampai 12 bulan: anak berbahasa reseptif auditorik, belajar mengerti apa
yang dikatakan, pada umur 9 bulan belajar meniru kata-kata spesifik
misalnya dada, muh, kemudian menjadi mama, papa.
3. Sampai 7 tahun: anak berbahasa ekspresif auditorik termasuk persepsi
auditorik katakata dan menirukan suara. Pada masa ini terjadi
perkembangan bicara dan penguasaan pasif kosa kata sekitar 3000 buah.
4. Umur 6 tahun dan seterusnya: anak berbahasa reseptif visual (membaca).
Pada saat masuk sekolah ia belajar membandingkan bentuk tulisan dan
bunyi perkataan.
5. Umur 6 tahun dan seterusnya: anak berbahasa ekspresif visual (mengeja
dan menulis).
2.1.8 Faktor resiko gangguan perkembangan bicara dan bahasa 1,2,11

Penyebab gangguan perkembangan bahasa sangat banyak dan luas,


semua gangguan mulai dari proses pendengaran, penerusan impuls ke otak,
otak, otot atau organ pembuat suara. Adapun beberapa penyebab gangguan
atau keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran, kelainan organ
bicara, retardasi mental, kelainan genetik atau kromosom, autis, mutism

26
selektif, keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan deprivasi lingkungan.
Deprivasi

27
lingkungan terdiri dari lingkungan sepi, status ekonomi sosial, tehnik
pengajaran salah, sikap orangtua. Gangguan bicara pada anak dapat
disebabkan karena kelainan organic yang mengganggu beberapa sistem tubuh
seperti otak, pendengaran dan fungsi motoriklainnya.
Beberapa penelitian menunjukkan penyebab ganguan bicara adalah adanya
gangguan hemisfer dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri.
Beberapa anak juga ditemukan penyimpangan belahan otak kanan, korpus
kalosum dan lintasan pendengaran yang saling berhubungan. Hal lain dapat
juga di sebabkan karena diluar organ tubuh seperti lingkungan yang kurang
mendapatkan stimulasi yang cukup atau pemakaian dua bahasa. Bila
penyebabnya karena lingkungan biasanya keterlambatan yang terjadi tidak
terlalu berat.
Terdapat tiga penyebab keterlambatan bicara terbanyak diantaranya adalah
retardasi mental, gangguan pendengaran dan keterlambatan maturasi.
Keterlambatan maturasi ini sering juga disebut keterlambatan bicara
fungsional.
Keterlambatan bicara fungsional merupakan penyebab yang cukup sering
dialami oleh sebagian anak. Keterlambatan bicara fungsional sering juga
diistilahkan keterlambatan maturasi atau keterlambatan perkembangan bahasa.
Keterlambatan bicara golongan ini disebabkan karena keterlambatan maturitas
(kematangan) dari proses saraf pusat yang dibutuhkan untuk memproduksi
kemampuan bicara pada anak. Gangguan seperti ini sering dialami oleh laki-
laki dan sering terdapat riwayat keterlambatan bicara pada keluarga. Biasanya
hal ini merupakan keterlambatan bicara yang ringan dan prognosisnya baik.
Pada umumnya kemampuan bicara akan tampak membaik setelah memasuki
usia 2 tahun. Terdapat penelitian yang melaporkan penderita dengan
keterlambatan ini, kemampuan bicara saat masuk usia sekolah akan normal
seperti anak lainnya.
Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik dan kemampuan
pemecahan masalah visuo-motor anak dalam keadaan normal. Anak hanya
mengalami gangguan perkembangan ringan dalam fungsi ekspresif. Ciri khas

28
lain adalah anak tidak menunjukkan kelainan neurologis, gangguan
pendengaran, ganguan kecerdasan dan gangguan psikologis lainnya.

29
Penyebab Gangguan Bicara dan Bahasa menurut Blager BF2

Penyebab Efek pada perkembangan bicara


Lingkungan Sosial ekonomi kurang Terlambat
Tekanan keluarga Gagap
Keluarga bisu Terlambat memp-eroleh Bahasa
Dirumah menggunakan bahasa Terlambatmemp-eroleh struktur bahasa
bilingual
Emosi Ibu yang tertekan Terlambat mempe-rileh bahasa
Gangguan serius p-ada orangtua Terlmbat atau gangguan p-
erkembangan bahasa
Gangguan serius p-ada anak Terlmbat atau gangguan p-
erkembangan Bahasa
Masalah pe- Kongenital Terlambat / gangguan bicara yang p-
nengaran ermanen
Didapat Terlambat / gangguan bicara yang p-
ermanen
Perkembanga Perkembangan lambat Terlambat bicara
n terlambat Perkembangan lambat, tetapi Terlambat bicara
masih dalam batas rata rata
Retardasi mental p-asti Terlambat bicara
Cacat bawaan Palatoschizis Terlambat dan gangguan kemampuan
Bicaranya
Sindrom Down Kemampuan bicaraya lebih rendah
Kerusakan Kelainan neurouskular Mempengaruhi kemampuan mengisap,
otak menelan, mengunyah, dan akhirnya
timbul
gangguan bicara dan artikulasi seperti
disartria
Kelainan sensorimotor Mempengaruhi kemampuan mengisap
dan menelan, akhirnya timbul
gangguan artikulasi seperti dispraksia
Palsi serebral Berpengaruh pada pernapasan, makan
dan timbul juga masalah artikulasi
yang dapat mengakibatkan disartria

30
dan dispraksia
Kelainan persepsi Kesulitan membedakan suara,
mengerti
bahasa, simbolisasi, mengenai konsep,
akhirnya menimbulkan kesulitan
belajar disekolah

Perkembangan bahasa yang lambat dapat bersifat familial. Oleh karena


itu harus dicari dalam keluarganya apakah ada yang mengalami keterlambatan
bicara juga. Disamping itu kelainan bicara juga lebih banyak pada anak laki-
laki daripada perempuan. Hal ini karena pada perempuan, maturasi dan dan
perkembangan fungsi verbal hemisfer kiri lebih baik. Sedangkan pada laki-
laki perkembangan hemisfer kanan yang lebih baik, yaitu untuk tugas yang
abstrak dan memerlukan keterampilan.
Sedangkan Adam DM (1987), mengatakan bahwa gangguan bicara
pada anak dapat disebabkan oleh kelainan dibawah ini: 2
1. Lingkungan sosial anak
Interaksi antar personal merupakan dasar dari semua komunikasi dan
perkembangan bahasa. Lingkungan yang tidak mendukung akan
menyebabkan gangguan bicara dan bahasa pada anak.
2. Sistem masukan/input
Adalah sistem pendengaran, penglihatan dan integritas taktil-kinestik dari
anak. Pendengaran merupakan alat yang penting dalam perkembangan
bicara. Anak dengan otitis media kronis dengan penuruanan daya
pendengaran akan mengalami keterlambatan kemampuan menerima
ataupun mengugkapkan bahasa. Gangguan bicara juga terdapat pada tuli
oleh karena kelainan genetik dan metabolik (tuli primer), tuli
neurosensorial (infeksi intrauterin : sifilis, rubella, toksoplasmosis,
sitomegalovirus), tuli konduksi seperti akibat malformasi telinga luar, tuli
sentral (sama sekali tidak dapat mendengar), tuli persepsi/afasia sensorik
(terjadi kegagalan integrasi arti bicara yang didengar menjadi suatu
pengertian yang menyeluruh), dan tuli

31
Psikis seperti pada skizofrenia, autisme infantil, keadaan cemas dan reaksi
psikologis lainnya.
3. Sistem pusat bicara dan bahasa
Kelainan sususan saraf pusat akan mempengaruhi pemahaman, interpretasi,
formulasi dan perencanaan bahasa, juga pada aktivitas dan kemampuan
intelektual dari anak. Gangguan komunikasi biasanya merupakan bagian
dari retardasi mental, misalnya pada Sindrom Down.
4. Sistem produksi
Sistem produksi suara seperti laring, faring, hidung, struktur mulut dan
mekanisme neuromuskular yang berpengaruh terhadap pengaturan nafas
untuk berbicara, bunyi laring, pembentukan bunyi untuk artikulasi bicara
melalui aliran udara lewat laring, faring dan rongga mulut.
Faktor Internal
Berbagai faktor internal atau faktor biologis tubuh seperti faktor
persepsi, kognisi dan prematuritas dianggap sebagai faktor penyebab
keterlambatan bicara pada anak.
Persepsi
Kemampuan membedakan informasi yang masuk disebut persepsi.
Persepsi berkembang dalam 4 aspek: pertumbuhan, termasuk perkembangan
sel saraf dan keseluruhan sistem; stimulasi, berupa masukan dari lingkungan
meliputi seluruh aspek sensori, kebiasaan, yang merupakan hasil dari skema
yang sering terbentuk. Kebiasaan, habituasi, menjadikan bayi mendapat
stimulasi baru yang kemudian akan tersimpan dan selanjutnya dikeluarkan
dalam proses belajar bahasa anak. Secara bertahap anak akan mempelajari
stimulasi-stimulasibaru mulai dari raba, rasa, penciuman kemudian
penglihatan dan pendengaran.
Pada usia balita, kemampuan persepsi auditori mulai terbentuk pada
usia 6 atau 12 bulan, dapat memprediksi ukuran kosa kata dan kerumitan
pembentukan pada usia 23 bulan. Telinga sebagai organ sensori auditori
berperan penting dalam perkembangan bahasa. Beberapa studi menemukan
gangguan pendengaran karena otitis media pada anak akan mengganggu
perkembangan bahasa.

32
Sel saraf bayi baru lahir relatif belum terorganisir dan belum spesifik.
Dalam perkembangannya, anak mulai membangun peta auditori dari fonem,
pemetaan terbentuk saat fonem terdengar. Pengaruh bahasa ucapan
berhubungan langsung terhadap jumlah kata-kata yang didengar anak selama
masa awal perkembangan sampai akhir umur pra sekolah.
Kognisi
Anak pada usia ini sangat aktif mengatur pengalamannya ke dalam
kelompok umum maupun konsep yang lebih besar. Anak belajar mewakilkan,
melambangkan ide dan konsep. Kemampuan ini merupakan kemampuan
kognisi dasar untuk pemberolehan bahasa anak.
Beberapa teori yang menjelaskan hubungan antara kognisi dan bahasa:
1. Bahasa berdasarkan dan ditentukan oleh pikiran (cognitive determinism)
2. Kualitas pikiran ditentukan oleh bahasa (linguistic determinism)
3. Pada awalnya pikiran memproses bahasa tapi selanjutnya pikiran
dipengaruhi oleh
bahasa.
4. Bahasa dan pikiran adalah faktor bebas tapi kemampuan yang berkaitan.
Sesuai dengan teori-teori tersebut maka kognisi bertanggung jawab pada
pemerolehan bahasa
dan pengetahuan kognisi merupakan dasar pemahaman kata.

Genetik
Berbagai penelitian menunjukkan, bahwa gangguan bahasa merupakan
kecendrungan dalam suatu keluarga yang dapat terjadi sekitar 40% hingga
70%. Separuh keluarga yang memiliki anak dengan gangguan bahasa,
minimal satu dari anggota keluarganya memiliki masalah bahasa. Orang tua
dapat berpengaruh karena faktor keturunan sehingga mungkin bertanggung
jawab terhadap faktor genetik. Mungkin sulit mengetahui berapa banyak
transmisi intergenerasi gangguan bahasa tersebut, disebabkan oleh kurangnya
dukungan lingkungan terhadap bahasa.
Menurut Bishop Edmundson, Tallal, Whitehurst dan Lewis 1992
dalam berbagai laporan kasus sering memperlihatkan riwayat keluarga positif
pada gangguan komunikasi. Sekitar 28% hingga 60% dari anak-anak dengan

33
Gangguan bicara dan bahasa mempunyai saudara kandung dan/atau orang tua
yang juga mengalami kesulitan bicara dan bahasa.
Sedangkan menurut Tallal, Lewis dan Freebairn, anggota keluarga
laki-laki lebih berpengaruh dari pada wanita. Bagaimanapun, data terbanyak
memperlihatkan anak-anak dengan hanya gangguan bahasa saja dan tidak
pada anak dengan gangguan bicara terpisah (isolated speech disorders).
Lewis dan Freebairn berhipotesa bahwa anak-anak dengan riwayat
keluarga positif terhadap gangguan bicara akan membentuk grup spesifik ke
dalam populasi gangguan bicara. Penemuan mereka tidak mendukung
hipotesa karena tidak ada perbedaan bermakna yang ditemukan pada
pengukuran artikulasi, fonologi, bahasa, kemampuan-kemampuan oral-motor
atau kemampuan membaca dan menulis diantara anak-anak yang memiliki
riwayat keluarga dengan gangguan bicara dibanding yang bukan. Lewis dan
Freebair menyimpulkan bahwa riwayat keluarga dengan gangguan bahasa bisa
dipertimbangkan sebagai faktor risiko yang dapat digunakan untuk identifikasi
awal. Identifikasi awal tersebut memungkinkan dilakukan intervensi dini bagi
anak-anak yang keluarganya memperlihatkan gangguan ini.
Demikian pula anak yang berasal dari keluarga yang memiliki riwayat
keterlambatan atau gangguan bahasa maka beresiko mengalami keterlambatan
bahasa pula. Riwayat keluarga yang dimaksud antara lain anggota keluarga
yang mengalami keterlambatan berbicara, memiliki gangguan bahasa,
gangguan bicara atau masalah belajar.

Prematuritas
Penyebab khusus berkaitan antara permasalahan periode pre atau
perinatal dengan gangguan bicara dan bahasa juga telah dibuktikan. Infeksi
selama kehamilan, imaturitas dan berat badan lahir rendah dilaporkan
mempunyai efek negatif pada perkembangan bicara dan bahasa.
Bax Stevenson dan Menyuk menemukan perbedaan yang tidak
bermakna sejumlah kejadian antara imaturitas dan berat badan lahir rendah
anak. Sebaliknya Byers-Brown dan kawan-kawan melaporkan secara
bermakna tentang keterlambatan proses pengeluaran suara dalam bicara pada
bayi prematur.

34
Weindrich menemukan adanya faktor-faktor yang berhubungan
dengan prematuritas yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak, seperti
berat badan lahir, Apgar score, lama perawatan di rumah sakit, bayi yang
iritatif, dan kondisi saat keluar rumah sakit.

1. Faktor Eksternal (Faktor Lingkungan)


Faktor lingkungan termasuk yang paling menentukan. Faktor
lingkungan di mana seorang anak dibesarkan telah lama dikenal sebagai
faktor penting yang menentukan perkembangan anak. Banyak anak yang
berasal dari daerah yang sosial ekonominya buruk disertai berbagai
layanan kesehatan yang tidak memadai, asupan nutrisi yang buruk
merupakan keadaan tekanan dan gangguan lingkungan yang mengganggu
berbagai pertumbuhan dan perkembangan anak, diantaranya gangguan
bahasa.
2. Pola asuh
Law dkk juga menemukan bahwa anak yang menerima contoh
berbahasa yang tidak adekuat dari keluarga, yang tidak memiliki pasangan
komunikasi yang cukup dan juga yang kurang memiliki kesempatan untuk
berinteraksi akan memiliki kemampuan bahasa yang rendah.
3. Lingkungan verbal
Lingkungan verbal mempengaruhi proses belajar bahasa anak. Anak di
lingkungan keluarga profesional akan belajar kata-kata tiga kali lebih
banyak dalam seminggu dibandingkan anak yang dibesarkan dalam
keluarga dengan kemampuan verbal lebih rendah. Studi lain juga
melaporkan ibu dengan tingkat pendidikan rendah merupakan faktor risiko
keterlambatan bahasa pada anaknya.
Chouhury dan beberapa peneliti lainnya mengungkapkan bahwa
jumlah anak dalam keluarga mempengaruhi perkembangan bahasa seorang
anak, berhubugan dengan intensitas komunikasi antara orang tua dan anak.
Menurut Gore Eckenrode, McLoyd, McLoyd Wilson, masalah
kemiskinan dapat menjadi penyebab meningkatnya risiko berbagai masalah
dalam rumah tangga. Kemiskinan secara signifikan mempertinggi risiko
terpaparnya masalah kesehatan seperti asma, malnutrisi, gangguan kesehatan

35
mental kurang perhatian dan ketidak-teraturan perawatan dari orang tua,
defisit dalam perkembangan kognisi dan pencapaian keberhasilan.
Beberapa penelitian yang dilaporkan Attar Guerra, Brooks-Gunn, Liaw
Brooks-Gunn dan McLoyd menjelaskan bahwa keluarga yang bermasalah,
terpapar lebih besar faktorfaktor risiko daripada keluarga yang tidak berada
dibawah tingkat kemiskinan, dan konsekuensi dari faktor-faktor risiko ini
dapat lebih berat pada anak dalam keluarga ini.
Anak yang terpapar berbagai faktor risiko, memiliki risiko mengalami
gangguan perkembangan yang semakin meningkat. Salah satu yang termasuk
gangguan perkembangan anak tersebut adalah specific language impairment
(SLI). Hal ini telah dilaporkan oleh Spitz dan Tallal Flax, mereka menjelaskan
secara umum tentang pencapaian yang buruk dalam berbahasa pada anak
meskipun anak tersebut memiliki pendengaran dan intelegensinonverbal yang
normal.
Penelitian Fazio, Naremore dan Connell, lebih mengkhususkan hal ini
bahwa dapat diartikan suatu kondisi yang menyebabkan seorang anak
memiliki penilaian spesifik dibawah rata-rata standar tes bahasa, tetapi berada
pada level rata-rata untuk tes intelegensi nonverbal. Dengan demikian,
pencegahan SLI dapat dengan mengidentifikasi faktor resiko anak sebelum
diagnosis formal dibuat.
Beberapa penelitian mengungkapkan faktor-faktor risiko biologi untuk
SLI dan penempatan-penempatan faktor lain dengan melihat “outcome” anak-
anak sekolah yang ditempatkan di neonatal intensive care units (NICUs)
setelah lahir dengan segera. Anak-anak dari populasi ini diketahui memiliki
risiko untuk keterlambatan kognisi dan kesulitan akademik karena mereka
biasanya lahir prematur, berat badan lahir rendah (kurang dari 2500g) atau
mengalami respiratori distres.
Menurut Resnick, Rice, Spitz O’Brien dan Siegel Tomblin, sebagian
besar literature menyatakan bahwa meskipun anak-anak dari NICU lebih
berisiko mengalami kesulitan kognisi seperti retardasi mental dan gangguan
belajar, mereka tidak memiliki risiko yang meningkat untuk masalah spesifik
bahasa, khususnya saat angka penilaian disesuaikan karena prematuritasnya.

36
Beberapa penelitian yang dilakukan Beitchman, Hood Inglis, Spitz,
Tallal Ross, Tomblin telah memperlihatkan bahwa gangguan bahasa
umumnya memiliki kecenderungan dalam suatu keluarga berkisar antara 40%
hingga 70%. Hampir separuh dari keluarga yang anak-anaknya mengalami
gangguan bahasa, minimal satu dari anggota keluarganya memiliki problem
bahasa. Dengan demikian orang tua yang berpengaruh pada keturunan ini
mungkin bertanggung jawab terhadap faktor-faktor genetik. Mungkin tidak
diketahui berapa banyak transmisi intergenerasi gangguan-gangguan bahasa
tersebut disebabkan oleh kurangnya dukungan lingkungan terhadap bahasa.
Kondisi lingkungan merupakan hal yang penting menyangkut hasil
perkembangan seorang anak. Beberapa anak yang datang dari keluarga yang
tidak stabil dan kurangnya perhatian, perawatan, dan kurang memadainya
kebutuhan nutrisi dan perawatan kesehatan, dapat membentuk level stress
lingkungan yang merugikan bagi perkembangan anak termasuk bahasa. Risiko
dari problem-problem bahasa juga dikaitkan dengan faktor sosioekonomi dan
rendahnya status ekonomi.
Peneliti-peneliti lain mendiskusikan beberapa variabel-variabel
lingkungan yang tampak lebih dapat diprediksi. Seperti yang dilaporkan Hoff-
Ginsberg, Neils Aram, Pine, Tallal, Tomblin, Tomblin dan Hardy faktor
permintaan cara persalinan ternyata termasuk faktor risiko gangguan
perkembangan bicara pada anak. Sedangkan menurut Paul, Rice, Tomblin dan
Tomblin menunjukkan pendidikan ibu yang rendah termasuk salah satu factor
risiko gangguan bahasa yang terjadi pada anak. Orang tua tunggal menurut
Andrews, Goldberg, Wellen, Goldberg McLaughlin dan Miller Moore juga
merupakan faktor risiko yang harus diperhitungkan.
Menurut Sameroff dan Barocas, tersusunnya model risiko
perkembangan dapat digunakan untuk memprediksi dengan lebih akurat,
dengan mengkombinasi satu atau lebih faktor-faktor risiko tersebut adalah
efek komulatif dari risiko yang multipel.
Dalam suatu model penelitian dari Sameroff menunjukkan beberapa
faktor risiko sosial dan keluarga diantaranya adalah: masalah-masalah
kesehatan mental ibu, kecemasan ibu, sikap otoriter ibu dalam mengasuh anak,

37
hubungan ibu-anak yang buruk, pendidikan ibu yang kurang dari menengah
atas, orang tua yang kurang atau tidak memiliki ketrampilan dalam pekerjaan,
status etnik minoritas, tidak ada bapak, beberapa tekanan kehidupan tahun
terdahulu, dan ukuran keluarga yang besar.
Dilaporkan bahwa semua faktor tersebut adalah rangkaian individu
yang berkaitan dengan nilai IQ anak-anak pada usia 4 tahun dan sebagian
besar mayoritas masih berhubungan dengan IQ pada usia 13 tahun. Selain itu,
jumlah faktor risiko sebagaimana didefinisikan oleh risiko kumulatif dalam,
adalah prediktor kuat IQ pada usia 4 tahun dengan 58% dan pada umur 13
dengan varians 61%.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hooper, Burchinal, Roberts,
Zeisel dan Neebe juga menyajikan fakta-fakta yang menggunakan model
risiko komulatif untuk memprediksi kemampuan kognitif dan bahasa pada
bayi yang lebih dipengaruhi oleh status sosioekonomi yang rendah pada
populasi Afrika Amerika. Hooper mengidentifikasi satu perangkat dari 10
faktor-faktor risiko sosial dan keluarga berdasarkan pada model risiko dari
Sameroff berupa status kemiskinan, pendidikan ibu kurang dari sekolah
menengah atas, ukuran keluarga yang besar, ibu yang tidak menikah, hidup
yang penuh tekanan, dampak dari ibu yang depresi, interaksi ibu-anak yang
buruk, IQ ibu, kualitas lingkungan rumah, dan kualitas perawatan sehari-hari.
Seluruh faktor risiko sosial dan keluarga dimasukkan ke dalam studi,
saat bayi berusia 6 sampai 12 bulan. Peneliti-peneliti menemukan bahwa 9
dari 10 faktor-faktor risiko (tekanan hidup merupakan pengecualian) terkait
dengan keberhasilan kognisi dan bahasa dari infaninfan. Komulatif indeks
risiko dihubungkan dengan pengukuran bahasa dengan varians sekitar 12%
sampai 17% tetapi bukan pengukuran kognisi.
Evans dan English menyajikan fakta-fakta bahwa anak-anak dengan
orang tua berpenghasilan rendah terpapar faktor-faktor risiko lingkungan
dalam jumlah yang lebih besar daripada yang berpenghasilan menengah.
Mereka memperkenalkan tiga penyebab stress psikososial (kekerasan,
pertengkaran keluarga, perpisahan anak dengan keluarga) dan tiga penyebab
stress fisik yaitu

38
(kekacauan, kegaduhan, kualitas rumah yang rendah) merupakan faktor risiko
yang memberikan pengaruh negatif.
Dalam penelitiannya tentang lingkungan yang miskin, mereka
menemukan hanya 20% anak-anak yang hidup dalam keluarga dengan
penghasilan yang rendah tidak terpapar satupun faktor risiko. Sebaliknya, 61%
keluarga dengan penghasilan menengah tidak terpapar faktor risiko. Temuan
ini menyatakan bahwa mayoritas anak-anak dari keluarga berpenghasilan
rendah terpapar lebih banyak masalah kemelaratan daripada kelompok
berpenghasilan menengah dan disfungsi kognitif, prilaku, atau sosial akan
meningkat.
Sampai saat ini penelitian-penelitian terus mempelajari tentang
perbedaan perkembangan bahasa anak yang diambil dari budaya dan latar-
belakang sosioekonomi yang berbeda dan pengaruh dari perbedaan-perbedaan
ini terhadap pencapaian akademik selanjutnya.
Robertson membandingkan kemampuan fonologi anak TK dari
keluarga dengan kemampuan bahasa tinggi dan rendah dan menemukan
bahwa anak-anak dari kemampuan bahasa rendah secara signifikan lebih
buruk pada rangkaian pengukuran kognisi, linguistik, pra-baca. Dua tahun
pemantauan terlihat bahwa anak-anak ini tidak mengejar anak-anak dari
keluarga kemampuan bahasa baik.
Burt, Holm, and Dodd juga menemukan hubungan antara prestasi yang
buruk dengan kemampuan bahasa yang rendah dengan menilai prestasi anak-
anak pada beberapa tugastugas fonologi. Suatu usaha untuk menjelaskan
keterkaitan antara kelemahan dan kegagalan sekolah. Hart and Risley
mempelajari perbedaan antara kualitas bahasa ditujukan pada anakanak
dengan latar belakang kemampuan bahasa yang berbeda pada 21/2 tahun
pertama kehidupan mereka. Mereka melaporkan bahwa anak-anak dari latar
belakang kemampuan bahasa yang rendah berada dalam kelemahan karena
orang tua mereka atau pengasuh sangat jarang mengajak berbicara; akibatnya
mereka miskin perbendaharaan kata dan kemampuan komunikasi dibanding
kelompok dengan kemampuan bahasa yang lebih tinggi.

39
Otitis media
Menurut Grievink didapatkan sekitar 80% dari seluruh anak
prasekolah mengalami satu atau lebih episode otitis media Akut atau otitis
media effusion Selama episode ini, anakanak mengalami fluktuasi kehilangan
pendengaran, biasanya antara 20 dB dan 50 dB. Dari penilitian Gravel dan
Nozza gangguan tersebut mempengaruhi jumlah dan kualitas bicara dan
bahasa yang didengar.
Roberts, Pagel Paden, Roberts Clarke-Klein, dan Schwartz telah
melaporkan kemungkinan ada hubungan antara otitis media dengan atau tanpa
efusi dan keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa. Artikel-artikel
tersebut menyimpulkan bahwa banyak anak yang mengalami episode infeksi
telinga tengah mempunyai gangguan bicara dan bahasa. Tetapi tidak semua
anak yang mempunyai gangguan bicara dan bahasa mengalami infeksi telinga
tengah.

2.1. 9 Klasifikasi dan Gejala


Terdapat bermacam-macam klasifikasi disfasia, tergantung dari cara
mereka memandang. Kebanyakan sistem klasifikasi berdasarkan atas model
input-output. Beberapa telah didefinisikan dengan menggunakan tes yang
telah distandarisasi. Ada yang menggunakan model yang didasari pendengaran
ada ada pula yang berdasarkan patofisiologi terjadinya disfasia.2
Klasifikasi kelainan bahasa pada anak menurut Rutter (dikutip dari Toback C),
berdasarkan atas berat ringannya kelainan bahasa sebagai berikut: 2
Ringan Keterlambatan akuisisi Dislalia
dari bunyi kata-kata,
bahasa normal
Sedang Keterlambatan lebih berat Disfasia ekspresif
dari akuisisi
bunyi kata-kata dan
perkembangan
bahasa terlambat

40
Berat Keterlambatan lebih berat Disfasia reseptif dan tuli
dari akuisisi Persepsi
dan bahasa, gangguan
pemahaman
bahasa
Sangat berat Gangguan pada seluruh Tuli persepsi dan tuli
kemampuan sentral
bahasa

Sedangkan Rapin dan Allen (dikutip dari Klein, 1991) berdasarkan


patofisiologi, membagi kelainan bahasa pada anak menjadi 6 subtipe, yaitu: 2
1. 2 primer ekspresif:
- disfraksia verbal
- gangguan defisit produksi fonologi
2. 2 defisit represif dan ekspresif
- gangguan campuran ekspresif-represif
- disfasia verbal auditori agnosia
3. 2 defisit bahasa yang lebih berat
- gangguan leksikal-sintaksis
- gangguan semantik-pragmatik

Anak dengan disfraksia verbal (afraksia verbal atau gangguan


perkembangan bicara ekspresif) mengerti segala sesuatu yang dikatakan
padanya, mereka lebih sering menunjuk daripada bicara. Banyak yang
mempunyai riwayat prematur, beberapa menderita disfraksia oromotor (anak
ini mengeluarkan air liur dan mempunyai kesulitan mengikuti gerakan mulut).
Jika mereka bicara, lebih banyak mengeluarkan suara vokal dengan gangguan
pengucapan konsonan. Anak-anak ini setelah dewasa menjadi afemia. Anak
dengan disfraksi verbal kadang-kadang disertai dengan gangguan tingkah laku
(autisme). Rehabilitasi pada anak ini lebih memerlukan terapi wicara yang
intensif. 2

41
Beberapa anak bicara dengan kata-kata dan frase yang sulit dimengerti,
bahkan pada orang-orang yang selalu kontak dengannya. Sehingga mereka
sering marah dan frustasi karena merasa bahwa kata-katanya sulit dimengerti
oleh sekitarnya. Mereka ini tidak ada gangguan dalam pengertian, tetapi
terdapat gangguan defisit produksi fonologi. 2

Anak yang bicaranya sulit dipahami yang juga menunjukkan adanya


gangguan pemahaman terhadap apa yang dikatakan kepadanya, menunjukkan
gangguan campuran ekspresi reseptif. Mereka bicara dalam kalimat yang
pendek dan banyak dari mereka yang autistik. Setelah dewasa mereka menjadi
afasia (afasia Broca), hanya sedikit yang diketahui bagaimana hal ini bisa
terjadi.2

Beberapa anak mengerti sedikit apa yang dikatakan padanya, walaupun


kadangkadang mereka mengikuti suatu pembicaraan dengan cara lain, misalnya
dengan memperhatikan apa yang dilihatnya. Mereka sangat miskin dalam
artikulasi kata-kata. Mereka ini dinamakan disfasia verbal auditori agnosia.
Mereka ini termasuk afasia yang didapat, dimana mereka sebelumnya sering
kejang dan kehilangan kemampuan berbicara setelah periode perkembangan
bahasa yang normal (sindrom Landau Kleffner). Pada EEG anak dengan
sindrom ini, akan tampak bitemporal spike. Anak dengan disfasia jenis ini,
memproses suara yang didengarkan di pusat dengar berbeda dengan anak
normal. Stimulasi bahasa akan memperbaiki keadaan, walaupun hasil akhirnya
masih belum pasti.2

Anak dengan gangguan leksikal-sintaksis mempunyai kesulitan


dalam menemukan kata-kata yang tepat khususnya bercakap-cakap. Mereka
tidak gagap dan tidak menghindar untuk berbicara. Gejalanya seperti orang
dewasa dengan afasia konduksi, dimana mereka akan berhenti bicara sebentar
untuk menemukan kata-kata yang tepat. Biasanya orang tuanya akan membantu
untuk menemukan kata-kata yang tepat. Anak ini biasanya bicara dengan
menggunakan kalimat-kalimat yang pendek pada umurnya.terapi bicara akan

42
membantu melatih anak mencari kata-kata yag tepat pada saat bicara, tetapi
prognosis selanjutnya masihbelum banya diketahui.2

43
Beberapa anak ada yang bicaranya lancar dan dapat menggunakan
kata-kata yang tepat, tetapi mereka bicara tanpa henti mengenai satu topik.
Mereka tidakmengerti tata bahasa. Gejalanya mirip gangguan bicara pada anak
dengan hidrosefalus da oleh Rapin dan Allen isebut gangguan semantik
pregmatik. Anak ini pada umumnya menderita gangguan hubungan sosial dan
didiagnosis sebagai gangguan perkembangan pervasif. Mereka punya sedikit
teman sebaya dan tidak pernah mau belajar aturan permainan dan diperlukan
psikolog dan ahli terapi tingkah laku.2
Aram DM (1987) dan Towne (1983), mengatakan bahwa dicurigai adanya
gangguan perkembangan kemampuan bahasa pada anak, kalau ditemukan
gejala-gejala sebagai berikut:2
1. pada usia 6 bulan anak tidak mampu memalingkan mata serta kepalanya
terhadap suara yang datang dari belakang atau samping.
2. Pada usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi terhadap panggilan namanya
sendiri
3. Pada usia 15 bulan tidak mengerti dan memberi reaksi terhadap kata-kata
jangan, dada, dan sebagainya.
4. Pada usia 18 bulan tidak dapat menyebut sepuluh kata tunggal
5. Pada usia 21 bulan tidak memberi reaksi terhadap perintah (misalnya duduk,
kemari, berdiri)
6. Pada usia 24 bulan tidak bisa menyebut bagian-bagian tubuh
7. pada usia 24 bulan belum mampu mengetengahkan ungkapan yang terdiri
dari 2 buat kata
8. setelah usia 24 bulan hanya mempunyai pembendaharaan kata yang sangat
sedikit/tidak mempunyai kata-kata huruf z pada frase
9. pada usia 30 bulan ucapannya tidak dapat dimengerti oleh anggota keluarga.
10. Pada usia 36 bulan belum dapat mempergunakan kalimat-kalimat sederhana
11. Pada usia 36 bulan tidak bisa bertanya dengan menggunakan kalimat tanya
yang sederhana
12. Pada usia 36 bulan ucapannya tidak dimengerti oleh orang di luar
keluarganya

44
13. Pada usia 3,5 tahun selalu gagal untuk menyebutkan kata akhir (ca untk
cat, ba untuk ban, dan lain-lain)
14. Setelah usia 4 tahun tidak lanca berbicarra/gagap

2.1.10 Diagnosis gangguan bicara pada anak


Seperti pada gangguan perkembangan lainnya, kesulitan utama dalam
diagnosis adalah membedakannya dari variasi perkembangan yang normal.
Anak normal mempunyai variasi besar pada usia saat mereka belajar berbicara
dan terampil berbahasa. Keterlambatan berbahasa sering diikuti kesulitan
dalam membaca dan mengeja, kelainan dalam hubungan interpersonal, serta
gangguan emosional dan perilaku. Untuk menegakkan diagnosa harus
dilakukan pengujian terhadap intelektual nonverbal anak. Pengamatan pola
bahasa verbal dan isyarat anak dalam berbagai situasi dan selama interaksi
dengan anak-anak lain membantu memastikan keparahan bidang spesifik anak
yang terganggu juga membantu dalam deteksi dini komplikasi perilaku dan
emosional.1, 2,3
a. Anamnesis
Pengambilan anamnesis harus mencakup uraian mengenai
perkembangan bahasa anak. Autisme setelah berumur 18 bulan dan bicara
yang sulit dimengerti setelah berumur 3 tahun, paling sering ditemukan.
Dokter anak harus curig bila orang tua melaporkan bahwa anaknya tidak
dapat menggunakan kata-kata yang berarti pada umur 18 bulan atau belum
mengucapkan frase pada umur 2 tahun. Atau anak memakai bahasa yang
singkat untuk menyampaikan.2
Kecurigaan adanya gangguan tingkah laku perlu dipertimbangkan kalau
dijumpai gangguan bicara dan tingkah laku yang bersamaan. Kesulitan
tidur dan makan sering dikeluhkan orang tua pada awal gangguan autisme.
Pertanyaan bagaimana anak bermain dengan temannya dapat membantu
mengungkap tabir tingkah laku. Anak dengan autism lebih senang bermain
dengan huruf balok atau magnetik dalam waktu yang lama. Mereka dapat
saja bermain dengan anak sebaya, tetapi dalam waktu singkat menarik
diri.2

45
Anamnesis pada gangguan bahasa dan bicara mencakup perkembangan
bahasa anak. Beberapa pertanyaan yang dapat ditanyakan antara lain:
 Pada usia berapa bayi mulai mengetahui adanya suara, misalnya dengan
respon berkedip, terkejut atau mengerakkan bagian tubuh

 Pada usia berapa bayi mulai tersenyum (senyum komunikatif), misalnya


diajar berbicara.
 Kapan bayi mulai mengeluarkan suara “aaaggh”.
 Orientasi terhadap suara, misalnya bila ada suara apakah bayi
memalingkan atau mencari arah suara.
 Kapan bayi memberi isyarat daag dan bermain cikkebum.
 Mengikuti perintah satu langkah, seperti “beri ayah sepatu” atau “ambil
koran”.
 Berapa banyak bagian tubuh yang dapat ditunjukan oleh anak, seperti
mata, hidung, kuping dan sebagainya.
American Psychiatric association’s Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder
(DSM IV) membagi gangguan bahasa dalam 4 tipe.12
1. Gangguan bahasa ekspresif
2. Gangguan bahasa reseptifekspresif
3. Gangguan phonological
4. Gagap

Pada gangguan bahasa ekspresif, secara klinis kita bisa menemukan gejala
seperti perbendaharaan kata yang jelas terbatas, membuat kesalahan dalam
kosakata, mengalami kesulitan dalam mengingat kata-kata atau
membentuk kalimat yang panjang dan memiliki kesulitan dalam
pencapaian akademik dan komunikasi sosial, namun pemahaman bahasa
anak tetap relatif utuh.
Gangguan menjadi jelas kira-kira pada usia 18 bulan, saat anak tidak
dapat mengucapkan kata dengan spontan atau meniru kata dan
menggunakan gerakan badannya untuk menyatakan keinginannya. Jika

46
anak akhirnya bisa berbicara, defisit bahasa menjadi jelas, terjadi
kesalahan artikulasi seperti bunyi th, r, s, z, y. Riwayat keluarga yang
memiliki gangguan bahasa ekspresif juga ikut mendukung diagnosis. Pada
gangguan bahasa campuran reseptif-ekspresif, selain ditemukan gejala-
gejala gangguan bahasa ekspresif, juga disertai kesulitan dalam mengerti
kata dan kalimat. Ciri klinis penting dari gangguan tersebut adalah
gangguan yang bermakna pada pemahaman bahasa. Gangguan ini
biasanya tampak sebelum usia 4 tahun. Bentuk yang parah terlihat pada
usia 2 tahun, bentuk ringan tidak terlihat sampai usia 7 tahun atau lebih
tua. Anak dengan gangguan bahasa reseptif-ekspresif campuran memiliki
gangguan auditorik sensorik atau tidak mampu memproses simbol visual
seperti arti suatu gambar. Mereka memiliki defisit dalam menintegrasikan
simbol auditorik maupun visual, contohnya mengenali atribut dasar yang
umum untuk mainan truk atau mainan mobil penumpang. Anak dengan
gangguan bahasa campuran reseptif-ekspresif biasanya tampak tuli. Anak-
anak dengan kesulitan berbicara memiliki masalah dalam pengucapan,
yaitu berhubungan dengan gangguan motorik, diantaranya kemapuan
untuk memproduksi suara. Anak yang gagap dapat diketahui dari cara dia
baerbicara, dimana terjadi pengulangan atau perpanjangan suara, kata, atau
suku kata. Biasanya sering terjadi pada anak laki-laki, sangat sering
disertai mengedipkan mata dan menggoyangkan kepala.
1. Instrumen penyaring
Selain anamnesis yang teliti, disarankan digunakan instrumen
penyaring untuk menilai gangguan perkembangan bahasa. Misalnya Early
Language Milestone Scale (Coplan dan Gleason), atau DDST (pada
Denver II penilaian pada sektor bahasa lebih banyak dari pada DDST yang
lama) atau Reseptive-Expresive Emergent Language Scale. Early
Language Milestone Scale cukup sentitif dan spesifik untuk
mengidentifikasi gangguan bicara pada anak kurang dari 3 tahun.2

47
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat digunakan untuk mengungkapkan penyebab
lain dari gangguan bahasa. Apakah ada mikrosefali, anomali telinga luar,
otitis media yang berulang, sindrom William (fasies Elfin, perawakan
pendek, kelainan jantung, langkah yang tidak mantap), celah palatum dan
lain-lain. 2
Gangguan oromotor dapat diperiksa dengan menyuruh anak menirukan
gerakan mengunyah, menjulurkan lidah dan mengulang suku kata PA, TA,
PA-TA, PA-TA-KA. Gangguan kemampuan oromotor terdapat pada
verbal apraksia.2
3. Pengamatan saat bermain
Mengamati saat anak bermain dengan alat permainan yang sesuai
dengan umurnya, sangat membantu dalam mengidentifikasi gangguan
tingkah laku. Idealnya pemeriksa juga bermain dengan anak tersebut dan
kemudian mengamati orang tuanya saat bermain dengan anaknya. Tetapi
ini tidak praktis dilakukan pada ruangan yang ramai. Pengamatan anak
saat bermain sendiri, selama pengambilan anamnesis dengan orang tuanya,
lebih mudah dilaksanakan. Anak yang memperlakukan mainannya sebagai
objek saja atau hanya sebagai satu titik pusat perhatian saja, dapat
merupakan petunjuk adanya kelainan tingkah laku. 2
4. Pemeriksaan laboratorium
Semua anak dengan gangguan bahasa harus dilakukan tes
pendengaran. Jika anak tidak kooperatif terhadap audiogram atau hasilnya
mencurigakan, maka perlu dilakukan pemeriksaan “auditory brainstem
responses”. 2
Pemeriksan laboratorium lainnya dimaksudkan untuk membuat
diagnosis banding. Bila terdapat gangguan pertubuhan, mikrosefali,
makrosefali, terdapat gejala-gejala dari suatu sindrom perlu dilakukan CT
scan atau MRI, untuk mengetahui adanya malformasi. Pada anak laki-laki
dengan autisme dan perkembangan yang sangat lambat, skrining
kromosom untuk fragil-X mungkin diperluka. Skrining terhadap penyakit-

48
penyakit metabolik baru dilakukan kalau terdapat kecurigaan ke arah itu,
karena pemeriksaan itu sangat mahal. 2
5.. Konsultasi
Pemeriksaan dari psikolog/neuropsikiater anak diperlukan jika ada
gangguan bahasa dan tingkah laku. Pemeriksaan ini meliputi riwayat dan
tes bahasa, kemampuan kognitif dan tingkah laku. Tes intelegensia dapat
dipakai sebagai perbandingan fungsi kognitif anak tersebut. Masalah
tingkah laku dapat diperiksa lebih lanjut dengan menggunakan instrument
seperti Vineland Social Adaptive Scale Revised, Child Behavior Checklist,
atau Childhood Autism Rating Scale. Konsultasi ke psikiater anak
dilakukan bila ada gangguan tingkah laku yang berat.2 Ahli patologi
wicara akan mengevaluasi cara pengobatan anak dengan gangguan bicara.
Anak akan diperiksa apakah ada masalah anatomi yang mempengaruhi
produksi suara. 2
5. Pemeriksaan Penunjang8
 BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) merupakan cara
pengukuran evoked potensial (aktivitas listrik yang dihasilkan saraf
VIII, pusat-pusat neural dan traktus di dalam batang otak) sebagai
respon terhadap stimulus auditorik.
 Pemeriksaan audiometrik
Pemeriksaan audiometrik diindikasikan untuk anak-anak yang sangat kecil
dan untuk anakanak yang ketajaman pendengarannya tampak terganggu. Ada
4 kategori pengukuran dengan audiometrik:
a. Audiometrik tingkah laku, merupakan pemeriksaan pada anak yang
dilakukan dengan melihat respon dari anak jika diberi stimulus bunyi.
Respon yang diberikan dapat berupa menoleh ke arah sumber bunyi atau
mencari sumber bunyi. Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang
atu kedap suara dan menggunakan mainan yang berfrekuensi tinggi.
Penilaian dilakukan terhadap respon yang diperlihatkan anak.
b. Audiometrik bermain, merupakna pemeriksaan pada anak yang dilakukan
sambil bermain, misalnya anak diajarkan untuk meletakkan suatu objek

49
pada tempat tertentu bila dia mendengar bunyi. Dapat dimulai pada usia
3-4 tahun bila anak cukup kooperatif.
c. Audiometrik bicara. Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun
dalam silabus pada daftar yang disebut: phonetically balance word LBT
(PB List). Anak diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar
melalui kaset tape recorder. Pada tes ini dilihat apakah anak dapat
membedakan bunyi s, r, n, c, h, ch. Guna pemeriksaan ini adalah untuk
menilai kemampuan anak dalam berbicara sehari-hari dan untuk menilai
pemberian alat bantu dengar (hearing aid).
d. Audiometri objektif, biasanya memerlukan teknologi khusus.
 CT scan kepala untuk mengetahui struktur jaringan otak, sehingga
didapatkan gambaran area otak yanga abnormal.

 Timpanometri digunakan untuk mengukur kelenturan membrane


timpani dan system osikuler.
Selain tes audiometrik, bisa juga digunakan tes intelegensi. Paling dikenal
yaitu skala Wechsler, yang menyajikan 3 skor intelegen, yaitu IQ verbal, IQ
performance, IQ gabungan:
1. Skala intelegensi Wechsler untuk anak III: penyelesaian susunan gambar.
Tes ini terdiri dari satu set gambar-gambar objek yang umum, seperti
gambar pemandangan. Salah satu bagian yang penting dihilangkan dan
anak diminta untuk mengidentifikasinya. Respon dinilai sebagai salah atau
benar.
2. Skala intelegensi Wechsler utuk anak III: mendesain balok, anak diberikan
pola bangunan dua dimensi dan kemudian diminta untuk membuat
replikanya menggunakan kubus dua warna. Respon dinilai sebagai salah
atau benar.
2.1.11 Penatalaksanaan
Diagnosis yang tepat terhadap gangguan bicara dan bahasa pada anak,
sangat berpengaruh terhadap perbaikan dan perkembangan kemampuan bicara
dan bahasa. Terapi sebaiknya dimulai saat diagnosis ditegakkan, namun hal ini
menjadi sebuah dilema, diagnosis sering terlambat karena adanya variasi

50
perkembangan normal atau orang tua baru mengeluhkan gangguan ini kepada
dokter saat mencurigai adanya kelainan pada anaknya, sehingga para dokter
lebih sering dihadapkan pada aspek kuratif dan rehabilitative dibandingkan
preventif Tata laksana dini terhadap gangguan ini akan membantu anak-anak
dan orang tua untuk menghindari atau memperkecil kelainan di masa
sekolah.1,2
Gangguan bicara dan bahasa pada anak cenderung membaik seiring
pertambahan usia, dan pada dasarnya perkembangan bahasa dilatarbelakangi
perawatan primer orang tua dan keluarga terhadap anak. Usaha preventif pada
masa neonatus, bayi dan balita dapat dilakukan dengan memberi pujian dan
respon terhadap segala usaha anak untuk mengeluarkan suara, serta member
tanda terhadap semua benda dan kata yang menggambarkan kehidupan sehari-
hari. Pola intonasi suara dapat diperbaiki sejalan dengan respon anak yang
semakin mendekati pola orang dewasa.1, 2
Secara umum, anak akan berusaha untuk lebih baik saat orang dewasa
merespon apa yang diucapkannya tanpa menekan anak untuk mengucapkan
suara atau kata tertentu. Sebagai motivasi ketika seorang anak berbicara satu
kata secara jelas, pendengan sebaiknya merespon tanpa paksaan dengan
memperluas hingga dua kata. 1, 2
Tindakan kuratif penatalaksanaan gangguan bicara dan bahasa pada
anak disesuaikan dengan penyebab kelainan tersebut. Penatalaksanaan dapat
melibatkan multi disiplin ilmu dan terapi ini dilakukan oleh suatu tim khusus
yang terdiri dari fisioterapis, dokter, guru dan orang tua pasien. Beberapa jenis
gangguan bicara dapat diterapi dengan terapi wicara, tetapi hal ini
membutuhkan perhatian medis seorang dokter. Anak-anak usia sekolah yang
memiliki gangguan bicara dapat diberikan pendidikan program khusus.
Beberapa sekolah tertentu menyediakan terapi wicara kepada para murid
selama jam sekolah, meskipun menambah hari belajar. 1, 2
Konsultasi dengan psikoterapis anak diperlukan jika gangguan bicara
dan bahasa diikuti oleh gangguan tingkah laku, sedangkan gangguan
bicaranya dievaluasi oleh ahli terapi wicara. 1,2

51
2.1.12 Prognosis
Prognosis gangguan bicara pada anak tergantung pada penyebabnya.
Dengan perbaikan masalah medis seperti tuli konduksi dapat
menghasilkan perkembangan bahasa yang normal pada anak yang tidak
retardasi mental. Sedangkan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak
dengan gengguan pendengaran sensoris bervariasi. Dikatakan bahwa anak
dengan gangguan fonologi biasanya prognosisnya lebih baik. Sedangkan
ganggan bicara pada anak yang intelegensianya normal perkembangan
bahasanya lebih baik daripada anak yang retardasi mental. Tetapi pada
anak dengan gagguan yang multipel, terutama dengan gangguan
pemahaman, gangguan bicara ekspresif, atau kemampuan naratif yang
tidak berkembang pada usia 4 tahun, mempunyai gangguan bahasa yang
menetap pada umur 5,5 tahun.1,2

2.2 Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)


2.2.1. Definisi
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) adalah suatu diagnosis
untuk pola perilaku anak yang berlangsung dalam jangka waktu paling
sedikit 6 bulan, dimulai sebelum usia 7 tahun, yang menunjukkan sejumlah
gejala ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian atau sejumlah gejala
perilaku hiperaktif-impulsif, atau kedua-duanya.1,6 Menurut panduan DSM V
terdapat perubahan dalam hal onset timbulnya gejala yaitu sebelum usia 12
tahun.
2.2.2. Epidemiologi
Prevalensi ADHD di dunia 3.2% prevalensi ini didapatkan dalamr uang
lingkup lingkungan sekolah. Beberapa literatur menunjukkan berbagai
macam variasi dari nilai prevalensi di dunia dengan kisaran terendah 1%
hingga kisaran tertinggi 20%. American Psychiatric Association
menyatakan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
(DSM-5) bahwa 5% anak memiliki ADHD. Sekitar 11% anak usia 5- 17

52
tahun (6.4 juta) telah didiagnosis dengan ADHD pada tahun 2011.
Persentasi anak dengan diagnosis ADHD terus meningkat dari 7.8% pada
tahun 2003 hingga 9.5% tahun 2007 dan 11% tahun 2011. Sedangkan
perbandingan antara anak laki-laki (13.2%) lebih banyak jika dibandingkan
dengan anak perempuan (5,6%) yang didiagnosis dengan ADHD. Namun,
kurang dari 1 diantara 3 anak dengan ADHD menerima pengobatan medis
dan terapi perilaku. Selain itu juga, hanya setengah dari anak usia
prasekolah (4-5 tahun) dengan ADHD menerima terapi perilaku, meskipun
saat ini telah direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada
kelompok usia tersebut. ADHD dapat menyebabkan masalah intelegensia.
Di Indonesia, belum ada data secara nasional yang membahas tentang
masalah intelegensia. Namun masalah intelegensia cukup tinggi
prevalensinya, misalnya kasus anak dengan ADHD 12% dari populasi anak
tingkat sekolah dasar (SD).
2.2.3. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab gangguan ADHD tidak diketahui secara pasti. Sebagian
besar anak dengan ADHD tidak menunjukan tanda tanda cedera struktural
yang besar pada sistem saraf pusat. Walaupun tidak adanya dasar
neurofisiologis atau neurokimiawi spesifik untuk gangguan, ganguan dapat
diperkirakan berhubungan dengan berbagai gangguan lain yang
mempengaruhi fungsi otak. Faktor penyumbang yang dianjurkan untuk
ADHD adalah pemaparan toksin prenatal, prematuritas, dsn kerusakan
mekanis prenatal pada sisitem saraf janin. Bukti awal menunjukkan bahwa
stimulan jangka panjang penggunaan obat mungkin berhubungan dengan
lebih normal aktivasi di berekor tepat selama domain perhatian.
1. Faktor Genetik
Bukti-bukti dasar genetik untuk gangguan
deficit-atensi/hiperaktivitas adalah lebih besar angka kesesuaian
dalam kembar monozigot dibandingkan dengan kembar dizigotik.
Juga, sanak saudara anak-anak hiperaktivitas memiliki resiko dua
kali menderita dibandingkan populasi pada umumnya. Attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD) adalah tidak hanya sangat

53
menonjol, menetap dan merusak tetapi juga salah satu yang paling
diwariskan dari semua gangguan kejiwaan. Hasil studi genetik
terbaru ditinjau dengan gambar yang muncul dan tren masa depan.
ADHD tampaknya menjadi gangguan yang kompleks di mana
beberapa genetic dan risiko lingkungan berkontribusi terhadap sifat kuantitatif
(5, 7)

2. Cedera Otak
Telah lama diperkirakan bahwa anak yng terkena ADHD
mendapatkan cedera otak yang minimal dan samar-samar pada sistem
saraf pusat selama periode janin dan perinatalnya atau cedera otak
mungkin disebabkan oleh efek sirkulasi, toksik, metabolic, mekanik, dan
efek lain ynag merugikan dan oleh stress dan kerusakan fisik pada otak
selama bayi yng disebabkan oleh infeksi, peradangan dan trauma.
Pasien dengan ADHD memiliki konsisten fungsional kelainan pada 2
berbeda domain-dipisahkan kanan hemispherik jaringan ganglia fronto-
basal, termasuk inferiorfrontalcortex, supplementarymotorarea, dan
anterior korteks cingulate untuk penghambatan dan prefrontal
dorsolateral korteks, parietal, dan daerah serebelum perhatian.. (5, 6)
3. Faktor Neurokimiawi
Banyak neurotransmitter yang telah dihubungkan dengan gejala
ADHD. Sebagaian, temuan adalah berasal dari pemakaian banyak
medikasi yang menimbulkan efek positif pada gangguan. Obat yang
paling banyak diteliti dalm terapi ADHD, stimulant, mempengaruhi
dopamine maupun norepineprin, yang menghasilkan hipotesis
neurotansmiter yang menyatakan bahwa kemungkinan disfungsi pada
system adrenergic dan dopaminergik.Pada Positron Emission
Tomography menunjukan daerah hypoperfusi di daerah lobus frontalis
dan basal ganglia dan hypoperfusi daerah striatal otak serta dengan
hiperperfusi area sensoris dan somatosensoris (5, 8)
4. Faktor Neurologis
Otak manusia normalnya menjalani kecepatan pertumbuhan utama
pada beberapa usia : usia 3 sampai 10 bulan, 2 sampai 4 tahun, 6-8 tahun,

54
10-12 tahun dan 14-16 tahun beberapa anak mengalami maturasi
pertumbuhan secara berurutan dan menunjukan gejala ADHD yang
tampaknya sementara.(5)

5. Faktor Psikososial
Kejadian fisik yang menimbulakan stress, suatu gangguan dalam
keseimbangan keluarga, dan factor yang menyebabkan kecemasan
berperan dalam awal terbentuknya ADHD. Factor presdiposisi mungkin
termasuk temperamen anak, factor genetic familial, dan tuntutan social
untuk mamatuhi cara berkelakuan dan bertindak yang rutin. (5)
2.2.4. Patofisiologi
Penyebab pasti dari ADHD belum diketahui. Namun dikatakan bahwa
area kortek frontal, seperti frontrosubcortical pathways dan bagian frontal
kortek itu sendiri, merupakan area utama yang secara teori bertanggung
jawab terhadap patofisiologi ADHD. Mekanisme inhibitor di kortek,
sistem limbik, serta sistem aktivasi retikular juga dipengaruhi. ADHD
dapat mempengaruhi satu, dua, tiga, atau seluruh area ini sehingga muncul
tipe dan profil yang berbeda dari ADHD. Sebagaimana yang diketahui
bahwa lobus frontal berfungsi untuk mengatur agar pusat perhatian pada
perintah, konsentrasi yang terfokus, membuat keputusan yang baik,
membuat suatu rencana, belajar dan mengingat apa yang telah kita pelajari,
serta dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang tepat. Mekanisme
inhibisi di kortek befungsi untuk mencegah agar kita tidak hiperaktif,
berbicara sesuatu yang tidak terkontrol, serta marah pada keadaan yang
tidak tepat. Dapat dikatakan bahwa 70 % dari otak kita berfungsi untuk
menghambat 30 % yang lain. Pada saat mekanisme inhibitor dari otak
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka hasilnya adalah apa
yang disebut dengan ”dis-inhibitor disorder” seperti perilaku impulsif,
quick temper, membuat keputusan yang buruk, hiperaktif, dan lainlain.
Sedangkan sistem limbik mengatur emosi dan kewaspadaan seseorang.
Bila sistem limbik teraktivasi secara berlebihan, maka seseorang
memiliki mood yang labil, temperamen yang meledak-ledak, menjadi

55
mudah terkejut, selalu menyentuh apapun yang ada di sekitarnya, memiliki
kewaspadaan berlebihan. Sistem limbik yang normal mengatur perubahan
emosional yang normal, level energi normal, rutinitas tidur normal, dan
level stress yang normal. Disfungsi dari sistem limbik mengakibatkan
terjadinya masalah pada hal tersebut. Beberapa data mendukung hal ini
yaitu pemeriksaan MRI pada kortek prefrontal mesial kanan penderita
ADHD menunjukkan penurunan aktivasi. Selama pemeriksaan juga
terlihat hambatan respon motorik yang berasal dari isyarat sensorik. MRI
pada penderita ADHD juga menunjukkan aktivitas yang melemah pada
korteks prefrontal inferior kanan dan kaudatum kiri. Neurotransmiter
utama yang teridentifikasi lewat fungsi lobus frontal adalah katekolamin.
Neurotranmisi dopaminergik dan noradrenergik terlihat sebagai fokus
utama aktifitas pengobatan yang digunakan untuk penanganan ADHD.
Dopamin merupakan zat yang bertanggung jawab pada tingkah laku dan
hubungan sosial, serta mengontrol aktivitas fisik. Norepinefrin berkaitan
dengan konsentrasi, memusatkan perhatian, dan perasaan. Dukungan
terhadap peranan norepinefrin dalam menimbulkan ADHD juga
ditunjukkan dari hasil penelitian yang menyatakan adanya peningkatan
kadar norepinefrin dengan penggunaan stimulan dan obat lain seperti
desipramine efektif dalam memperbaiki gejala dari ADHD. Pengurangan
gejala juga terlihat setelah penggunaan monoamine oxidase inhibitor, yang
mengurangi pemecahan terhadap norepinefrin sehingga kadar norepinefrin
tetap tinggi dan menyebabkan gejala ADHD berkurang.
2.2.5. Gejala Klinis
Karakteristik prinsip dari ADHD adalah inatensi, hiperaktifitas, dan
impulsivitas yang mana ini terlihat pada kehidupan awal anak-anak.
Biasanya gejala hiperaktifitas dan impulsivitas mendahului inatensi.
Gejala yang berbeda dapat muncul pada tempat yang berbeda dan
tergantung pada situasi. Anak-anak bisa jadi tidak dapat duduk dengan
tenang di kelasnya atau suka mengacau di sekolah, sedangkan tipe inatensi
sering terlihat melamun. Anak yang impulsif suka bertindak tanpa berpikir
terlebih dahulu, sehingga sering dianggap memiliki masalah dengan

56
kedisiplinan. Sedangkan anak-anak yang pasif atau lebih banyak diam
dapat terlihat tidak memiliki motivasi. Semua anak ADHD terkadang
terlihat gelisah, terkadang bertindak tanpa berpikir, terkadang dapat
terlihat melamun. Saat hiperaktifitas anak, distraktibilitas, konsentrasi
yang kurang, atau impulsivitas mulai berpengaruh pada penampilan anak
di sekolah, hubungan sosial dengan anak lain, atau perilaku anak di rumah
maka terjadinya ADHD dapat diperkirakan. Oleh karena gejalanya
bervariasi pada tempat yang berbeda, maka ADHD sulit didiagnosis
terutama bila inatensi menjadi gejala utamanya.6 Anak yang hiperaktif
biasanya akan terus bergerak. Mereka suka menghancurkan segala sesuatu
di sekitarnya, menyentuh atau bermain dengan apa saja yang dilihatnya,
atau bicara tanpa henti. Anak tersebut menjadi sangat sulit untuk duduk
diam saat makan ataupun di sekolah. Mereka suka menggeliat dan gelisah
di tempat duduknya atau suka mengelilingi kamar. Mereka juga suka
menggoyang-goyangkan kakinya, menyentuh segala sesuatu, atau
membuat keributan dengan mengetuk-ketukan pensilnya. Sedangkan
remaja atau orang dewasa yang hiperaktif lebih sering merasakan
kegelisahan dalam dirinya. Mereka sering memilih untuk tetap sibuk dan
melalukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan.6 Anak yang impulsif
terlihat tidak mampu berpikir sebelum bertindak, sering mengatakan
sesuatu yang tidak sesuai tanpa dipikirkan dahulu, memperlihatkan
emosinya tanpa mampu mengendalikannya. Impulsivitas ini membuat
anak sulit menunggu sesuatu yang mereka inginkan atau menunggu giliran
untuk bermain.
Mereka dapat merampas mainan dari anak lainnya atau memukul anak
lain saat mereka kalah. Pada remaja dan dewasa, mereka lebih memilih
mengerjakan sesuatu dengan segera walaupun gajinya kecil dibandingkan
melakukan sesuatu dengan gaji besar namun penghargaan yang
diterimanya tidak segera didapat.6 Anak dengan tipe inatensi susah
memusatkan perhatiannya pada satu hal, perhatiannya mudah beralih pada
suara-suara yang didengarnya atau apa saja yang dilihatnya, dan mudah
bosan dengan tugasnya setelah beberapa menit. Bila mereka melakukan

57
sesuatu yang sangat disukainya, mereka tidak kesulitan dalam memusatkan
perhatian. Tetapi pemusatan perhatian yang disengaja, perhatian untuk
mengatur dan melengkapi tugas atau belajar sesuatu yang baru sangatlah
sulit. Anak-anak tersebut sering lupa mengerjakan pekerjaan rumahnya
atau meninggalkan tugasnya di sekolah. Mereka juga sering lupa
membawa buku atau salah membawa buku. Bila pekerjaan rumahnya
sudah selesai, biasanya banyak sekali kesalahan dan bekas hapusan.
Adanya pekerjaan rumah sering disertai frustasi baik pada anak maupun
pada orang tua anak tersebut. Anak tipe ini juga jarang sekali dapat
mengikuti perintah, sering kehilangan barang seperti mainan, pensil, buku,
dan alat-alat untuk mengerjakan tugas; mudah beralih dari aktivitas yang
belum diselesaikannya ke aktivitas lainnya.
Anak dengan tipe dominan inatensi sering terlihat melamun, mudah
bingung, bergerak lambat, dan letargis. Mereka sulit memproses suatu
informasi secara cepat dan akurat dibandingkan anak-anak lain. Saat
gurunya memberikan perintah langsung maupun tertulis, anak-anak tipe
ini membutuhkan waktu yang lama untuk mengerti apa yang harus mereka
lakukan dan mereka seringkali membuat kesalahan. Walaupun anak
terlihat dapat duduk diam, tidak mengacau, dan bahkan terlihat serius
bekerja namun sesungguhnya anak-anak ini tidak mengerti sepenuhnya
apa tugasnya. Anak tipe ini tidak memiliki masalah sosial. 6 Diagnosis
ADHD didasarkan pada riwayat klinis yang didapat dari wawancara
dengan pasien dan orang tua serta informasi dari guru. Wawancara dengan
orang tua tentang gejala yang tampak, usia timbulnya gejala, riwayat
perkembangan anak (sejak dalam kandungan), riwayat medis: fungsi
penglihatan dan pendengaran, riwayat pengobatan, riwayat alergi, adanya
penyakit kronis, yang mungkin berpengaruh pada perkembangan anak,
riwayat di sekolah, hubungannya dengan teman, masalah dalam keluarga
misalnya perselisihan dalam keluarga, perceraian, anak kurang kasih
sayang yang mungkin berperan dalam menimbulkan ADHD.
2.2.6. Klasifikasi
Terdapat 3 subtipe ADHD, yaitu :

58
1. Predominan hiperaktif-impulsif (ADHD/HI): Simtom terbanyak
(≥6) ialahkategori hiperaktif-impulsif; <6 simtom inatensi
2. Predominan inatensi: Simtom terbanyak (≥6) ialah kategori
inatensi dan <6simptom dari hiperaktif-impulsif. Anak dengan
subtipe ini kurang berperan atau mempunyai kesulitan bersama
dengan anaklain. Mereka duduk tenang, tetapi tidak memberikan
perhatian kepada apa yang dilakukan. Orang tua mungkin tidak
memperhatikan simtom ADHD
3. Kombinasi hiperaktif-impulsif dan inatensi:≥6simtom inatensi dan
≥6simtom hiperaktif-impulsif.
Kebanyakan anak dengan ADHD mempunyai tipe kombinasi.
2.2.7. Diagnosis
1. Anamnesis
Informasi terperinci mengenai tingkah laku anak di tingkah laku anak
di sekolah dan di rumah sebaiknya diperhatikan, terutama berkenaan
dengan frekuensi, beratnya dan konteks masalah dengan perhatian,
impulsivitas, dan hiperaktivitas. Adanya tingkah laku terkait, misalnya
labilitas emosional dan keterampilan organisasi yang buruk sebaiknya
juga dipastikan. Aspek lain yang penting pada fungsi di sekolah adalah
pencapai an ak ademik anak tersebut.
Riwayat perinatal sebaiknya diulas untuk melihat adanya masalah
yang berkaitan dengan defisit perhatian, misalanya konsumsi alkohol atau
obat-obatan maternal selama kehamilan. Masalah kesehatan pada awal
masa kanak-kanak yang memiliki relevansi khusus adalah otitis media
rekuren atau persisten, keracunan timbal, anemia defisiensi besi dan
cedera yang sering akibat aktivitas yang berlebihan. Riwayat keluarga dan
riwayat sosial dapat mengidentifikasi faktor genetik atau lingkungan yang
memberikan kontribusi.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik memiliki peran terbatas, tetapi penting pada
evaluasi anak yang mengalami ADHD. Observasi umum dapat
menunjukkan adanya gangguan mood, kesedihan atau ansietas. Observasi

59
langsung pada rentang perhatian dan tingkat aktivitas harus
diinterpretasikan secara hati-hati karena tingkah laku anak di tempat
periksa dapat sangat berbeda dari tingkah lakunya di kelas atau rumah.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan jumlah gambaran
atipikal, seperti rambut “elektrik”, lipatan epikantus, letak telinga yang
rendah, arkus palatum yang tinggi, klinodaktili, dan peningkatan jarak
antara jari kaki pertama dan kedua pada anak dengan ADHD. Namun,
sebagian besar anak dengan ADHD tidak memilki ciri fisik tersebut.
Pemeriksaan fisik harus meliputi penglihatan dan skrining pendengaran,
karena defisit sensoris dapat mengakibatkan kurangnya perhatian dan
hiperaktivitas.
3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang terbatas. Skrining
terhadap timbal sebaiknya dipertimbangkan pada semua anak dan secara
pasti diindikasikan pada anak yang memiliki riwayatlampau, lingkungan
tempat tinggal, pika dan pajanan pekerjaan orang tua. Skrining anemia
defisiensi besi sebaiknya dilakukan pada anak yang beresiko karena
riwayat nutrisi atau status sosioekonomi. Prevalensi kelainan tiroid
dilaporkan lebih tinggi pada anak yang mengalami ADHD daripada
populasi normal, sehingga sebaiknya dilakukan tes fungsi tiroid.
Pemeriksaan neurologik rutin (CT-scan kepala, MRI) atau pemeriksaan
neuropsikologik (EEG, neurometrik, atau pemetaan aktivitas listrik otak)
tidak berperan pada anak yang mengalami ADHD.
Untuk menemukan kriteria diagnosisnya, penting untuk mengetahui
gejala di bawah ini :
 Onsetnya sebelum usia 7 tahun (ADHD) atau 6 tahun (HKD)
 Sudah jelas nampak minimal selama 6 bulan
 Harus pervasif (ada pada lebih dari 1 setting, misal : rumah,
sekolah, lingkungan sosial)
 Menyebabkan gangguan fungsional yang signifikan
 Tidak ada penyebab gangguan mental lainnya ( misal :
gangguan perkembangan pervasif, skizofrenia, gangguan

60
psikotik lainnya, depresi atau anxietas)
Baik anak, remaja ataupun orang dewasa yang memiliki ADHD
dapat didiagnosis dengan melakukan penilaian menggunakan
kuisioner ADHD Checklist, Adult ADHD Self Report Scale
(ASRS-V1.1), Swanson, Nolan, and Pelham (SNAP-IV), Weiss
Functional Impairment Rating Scale-Parent Report (WFIRS-P).
Tiap kuisioner memiliki kekhususan masing-masing. Pada kuisioner
yang ditujukan kepada anak-anak digunakan SNAP-IV dan WFIRS-
P. Selain itu, ASRS-V1.1 dapat digunakan untuk orang dewasa
yang ingin menilai apakah mereka memiliki ADHD atau tidak.
Penelitian menunjukkan bahwa diagnosis dengan menggunakan
kuisioner ini murah, mudah, dan dapat dipercaya dikalangan
mahasiswa. Sedangkan ADHD checklist dapat digunakan baik
anak-anak maupun orang dewasa.

4. Kriteria diagnostik ADHD berdasarkan DSM-IV6


- Salah satu (1) atau (2)
1) Gangguan pemusatan perhatian (inatensi) : enam (atau lebih) gejala
inatensi berikut telah menetap selama sekurang-kurangnya 6 bulan
bahkan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan
tingkat perkembangan.
a. Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detil dan
tidak teliti dalam mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas
lainnya. Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan
perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain.
b. Sering tampak tidak mendengarkan apabila berbicara langsung.
c. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas
sekolah, pekerjaan sehari-hari, atau tugas di tempat kerja (bukan
karena perilaku menentang atau tidak dapat mengikuti instruksi).
d. Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas.
e. Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam tugas
yang memiliki usaha mental yang lama (seperti tugas di sekolah dan

61
pekerjaan rumah).
f. Sering menghilangkan atau ketinggalan hal-hal yang perlu untuk tugas
atau aktivitas (misalnya tugas sekolah, pensil, buku ataupun peralatan)
g. Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulasi dari luar.
h. Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.
2) Hiperaktivitas impulsivitas : enam (atau lebih) gejala hiperaktivitas-
impulsivitas berikut ini telah menetap selama sekurang-kurangnya enam
bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat
perkembangan.
3) Hiperaktivitas
a. Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering menggeliat-geliat
di tempat duduk.
b. Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau di dalam situasi
yang diharapkan anak tetap duduk.
c. Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi
yang tidak seharusnya.
d. Sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas
waktu luang secara tenang.

e. Sering dalam keadaan “siap bergerak/pergi” (atau bertindak


seperti digerakkan oleh mesin).

f. Sering bicara berlebihan.


4) Impulsivitas
a. Tidak sabar, sering menjawab pertanyaan tanpa berpikir lebih dahulu
sebelum pertanyaan selesai.
b. Sering sulit menunggu giliran.
c. Sering menyela atau mengganggu orang lain sehingga
menyebabkan hambatan dalam lingkungan sosial, pendidikan, dan
pekerjaan.

- Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan


gangguan telah ada sebelum usia 7 tahun.
- Beberapa gangguan akibat gejala ada selama dua atau lebih situasi.

62
- Harus terdapat bukti jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis
dalam fungsi sosial, akademik, atau fungsi pekerjaan.
- Gejala tidak semata-mata selama perjalanan gangguan perkembangan
pervasif, skizofrenia, atau gangguan psikotik lain, dan tidak diterangkan
lebih baik oleh gangguan mental lain.
Kode berdasarkan tipe :
- 314.01 ADHD tipe kombinasi : jika kriteria A1 dan A2 ditemukan
selama 6 bulan yang lalu.
- 314.00 ADHD predominan tipe inatensi : jika kriteria A1 ditemukan
tetapi kriteria A2 tidak ditemukan selama 6 bulan yang lalu.
- 314.01 ADHD predominan tipe hiperaktif-impulsif : jika kriteria A2
ditemukan tetapi kriteria A1 tidak ditemukan selama 6 bulan yang lalu.

Kriteria diagnosis ADHD menurut DSM IV dan DSM IV TR ini telah


mengalami revisi melalui DSM V.
Tabel 2.1 Kriteria DSM-V untuk Atenttion Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD)
A. Salah satu (1) atau (2)

63
1. Gangguan pemusatan perhatian (inatensi) : enam atau lebih gejala in atensi
berikut telah menetap sekurang – kurangnya 6 bulan bahkan sampai tingkat yang
maladaptive dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan
a. Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detail dan tidak
teliti dalam mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lainnya
b. Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap tugas
atau aktivitas bermain
c. Sering tidak tampak mendengarkan apabila berbicara secara langsung
d. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal penyelesaian tugas sekolah,
pekerjaan atau kewajiban di tempat kerja (bukan karena perilaku menentang
atau tidak dapat mengikuti instruksi)
e. Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas
f. Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam tugasyang
memiliki usaha mental yang lama
g. Sering menghilangkan atau ketinggalan hal – hal yang perlu untuk tugas dan
aktivitas
h. Sering mudah teralihkan perhatiannya oleh stimulasi dari luar
i. Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari
2. Hiperaktivitas impulsivita senam (atau lebih) gejala hiperaktivitas impulsivitas
berikut telah menetap selama sekurang-kurangnya enam bulan sampai tingkat
yang maladaptive dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan
Hiperaktivitas
a. Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering mengeliat-ngeliatkan tubuh di
tempat duduk
b. Sering meninggalkan tempat duduk dikelas atau didalam situasi yang
diharapkan anak untuk tetap tenang
c. Sering berlari –lariatau memanjat secara berlebihandalam situasi yang tidak tepat
d. Sering mengalami kesulitan bermain dan terlibat dalam aktivitas waktu luang
secara tenang

64
e. Sering “siap-siap pergi” atau seakan –akan “didorong oleh sebuah gerakan”
f. Sering berbicara berlebihan impulsivitas
g. Sering menjawab pertanyaan tanpa berfikir lebih dahulu sebelum pertanyaan
selesai
h. Sering sulit menunggu gilirannya
i. Sering menyela atau menggangu orang lain
B. Beberapa gejala hiperaktivitas-impusif yang menyebabkan gangguan telah ada
sebelum usia 12 tahun
C. Beberapa gangguan akibat gejala terdapat dalam dua atau lebih situasi
D. Harus terdapat bukti yang jelas adanya gangguan yang bermakna secara
klinis dalam fungsi sosial, akademik dan fungsi pekerjaan

E. Gejala tidak semata-mata sekama gangguan perkembangan pervasif, skizofrenia


atau gangguan psikotik lain dan bukan merupakan gangguan mental lain

2.2.8 .Diagnosis Banding


1) Autism Spectrum Disorder (ASD)
2) Global developmental delay
3) Gangguan intelektual
4) Gangguan perkembangan bahasa – speech delayed
5) Gangguan pendengaran
6) Gangguan kecemasan
7) Gangguan depresi
8) Gangguan bipolar
9) Intermittent explosive disorder.
10) Gangguan psikotik
11) Obsessive-compulsive disorder

Dalam praktik sehari-hari, ADHD sering kali memiliki gejala yang tumpang
tindih dengan autism spectrum disorder (ASD) dan communication disorder -
speech delayed. Pada penderita speech delayed sendiri harus dipastikan ada

65
tidaknya gangguan pendengaran, retardasi mental atau kurang stimulasi.
Persamaan ADHD dengan ASD adalah adanya gangguan konsentrasi, tak mampu
menunggu giliran, meminta sesuatu dengan cara non verbal, kurang peduli dengan
lingkungan dan bila marah sulit ditenangkan.10
Tabel 2.5 Perbedaan Antara ADHD, ASD Dan Speech Delayed:

Speech
ASD GPPH Delayed

Maju lambat dan


Stimulasi sulit Maju bertahap Maju bertahap

Berganti bila
Objek bermain Ingin terus sama Berganti terus sudah bosan

Bila diarahkan Sangat sulit Sulit Mudah

Reaksi Sering aneh Kadang aneh Wajar

Sangat sulit Mudah


Emosi – marah diredakan Sulit diredakan diredakan

Ingin tetapi ditolak


Sosialisasi Tidak mau teman Tidak

Gangguan Sering
perilaku menyimpang Kadang-kadang Tidak ada

Persepsi Senang
sensorik Menolak dibelai Kadang mau dibelai dibelai

Pengobatan Antipsikotik Psikostimulansia Tanpa obat

2.2.9 Penatalaksanaan

66
ADHD merupakan gangguan yang bersifat heterogen dengan manifestasi
klinis beragam. Sampai saat ini belum ada satu jenis terapi yang dapat diakui untuk
menyembuhkan anak dengan ADHD secara total. Berdasarkan National Institute of
Mental Health, serta organisasi profesi lainnya di dunia seperti American Academy
of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP), penanganan anak dengan ADHD
dilakukan dengan pendekatan komprehensif berdasarkan prinsip pendekatan yang
multidisiplin dan multimodal.6
Tujuan utama penanganan anak dengan ADHD ialah:6
 Memperbaiki pola perilaku dan sikap anak dalam menjalankan fungsinya
sehari-hari terutama dengan memper- baiki fungsi pengendalian diri.
 Memperbaiki pola adaptasi dan penyesuaian sosial anak sehingga terbentuk
kemampuan adaptasi yang lebih baik dan matang sesuai dengan tingkat
perkembangan anak.
Berdasarkan prinsip pendekatan yang multidisiplin dan multimodal ini maka
terapi yang diberikan dapat berupa obat,6,14 diet,14 latihan,14 terapi perilaku, terapi
kognitif dan latihan keterampilan sosial; juga psikoedukasi kepada orang tua,
pengasuh serta guru yang sehari-hari berhadapan dengan anak tersebut.6
 Medikamentosis: Cara ini dapat mengontrol ADHD sampai 70-80%. Obat
yang merupakan pilihan pertama ialah obat golongan psikostimulan.
Meskipun disebut stimulan, pada dasarnya obat ini memiliki efek yang
menenangkan pada penderita ADHD.4,5 Yang termasuk stimulan antara lain:
amphetamine, dextroamphetamine dan derivatnya. Pemberian obat psiko-
stimulan dikatakan cukup efektif mengurangi gejala-gejala ADHD.6 Obat ini
memengaruhi sistem dopaminergik atau sirkuit noradrenergik korteks lobus
frontalis-subkortikal, meningkatkan kontrol inhibisi dan memperlambat
potensiasi antara stimulasi dan respon, sehingga mengurangi gejala impulsif
dan tidak dapat menyelesaikan tugas.5 Efek sampingnya ialah penarikan diri
dari lingkungan sosial, fokus yang berlebih, iritabel, sakit kepala, cemas, sulit
tidur, hilang nafsu makan, sindrom Tourette, serta munculnya tic.6,7
 Diet: Meta-analisis menemukan bahwa menghindari pewarna makanan buatan
dan bahan pengawet sintetik secara statistik bermanfaat mencegah terjadinya
gejala ADHD.15 Keseimbangan diet karbohidrat dan asam amino (triptophan

67
sebagai serotonin substrate) juga dapat menjadi upaya lain.15 Belum ada bukti
bahwa pemanis buatan seperti aspartam memperburuk ADHD.15
 Rehabilitasi medik: Mengembangkan kemampuan fungsio-nal dan psikologis
seorang individu dan mekanismenya sehingga dapat mencapai kemandirian
dan menjalani hidup secara aktif.
2.2.10 Penanganan rehabilitasi medik pada anak dengan ADHD
1. Terapi okupasi
Terapi okupasi terdiri dari terapi relaksasi, terapi perilaku kognitif
(cognitive behavior therapy), terapi sensori integrasi, terapi snoezellen,
dan terapi musik.16
 Terapi relaksasi adalah terapi yang menggunakan kekuatan pikiran
dan tubuh untuk mencapai suatu perasaan rileks. Terapi relaksasi
bertujuan untuk dapat mengontrol ansietas, stres, ketakutan dan
ketegangan, memperbaiki konsentrasi, meningkatkan kontrol diri,
meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri, serta meningkatkan
kreativitas.18
 Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengubah perilaku seseorang
dengan mengubah pemikiran dan persepsi terutama pola berpikirnya.
Terapi perilaku berfokus untuk mengurangi respon kebiasaan (seperti
marah, takut, dan sebagainya) dengan cara mengenal situasi atau
stimulus. Terapi ini melatih kemampuan berpikir, menggunakan
pendapat dan membuat keputusan, dengan fokus memperbaiki defisit
memori, konsentrasi dan atensi, persepsi, proses belajar, membuat
rencana, serta pertimbangan. Pada anak-anak, terapi ini memerlukan
dukungan penuh dari orang tua atau anggota keluarga lain. Intervensi
pada terapi ini juga harus menarik seperti menggunakan media
gambar kartun, role play, menggunakan bahasa menarik sesuai
usianya, media latihan yang menyenangkan dan penuh warna. Bentuk
lain dari intervensi ini dapat juga berupa metode self recording.19
 Terapi sensori integrasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
proses sensoris dengan cara:
- Mengembangkan modulasi sensoris yang berhubungan dengan

68
atensi dan kontrol perilaku
- Mengintegrasikan informasi sensoris untuk membentuk skema
persepsi baik sebagai dasar ketrampilan akademis, interaksi sosial
dan kemandirian fungsional.
- Fokus terapi diarahkan untuk memunculkan motivasi intrinsik anak
untuk bermain interaktif dan bermakna.
Terapi sensori integrasi memberikan stimulasi sensori dan interaksi fisik
untuk dapat meningkatkan integrasi sensori dan peningkatan kemampuan
belajar dan perilaku. Terapi ini merupakan terapi modalitas yang
kompleks dan memerlukan partisipasi aktif pasien dan bersifat
individual melalui aktivitas yang bertujuan melibatkan stimulasi
sensorik untuk perbaikan organisasi dan proses neurologis.
 Terapi snoezellen dilakukan untuk memengaruhi sistem saraf pusat
melalui pemberian rangsangan yang cukup pada sistem sensori primer
(penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah, penciuman) dan juga
pada sistem sensori internal (vestibular dan proprioseptif). Dalam bahasa
Belanda kata snoezellen merupakan gabungan dari 2 kata, yaitu:
“snufflen” yang berarti eksplorasi aktif dan “doezelen” yang berarti
relaksasi atau pasif.
Tujuan terapi snoezellen pada anak ADHD ialah:
- Anak mampu konsentrasi dan atensi terhadap satu stimulus
- Anak mampu rileks secara psikis sehingga mengurangi
perilaku impulsif
- Anak mampu memberikan reaksi yang tepat terhadap lingkungan
- Anak mampu melakukan kontak dengan orang lain
- Anak punya rasa percaya diri
- Anak mampu mengeksplorasi lingkungan
- Anak mampu rileks secara fisik yang ditandai dengan penurunan
muscle tension
Ruangan snoezellen khusus dirancang untuk memberi stimulasi pada
berbagai sensasi, menggunakan efek lampu/cahaya, warna, musik, wangi-
wangian dan sebagainya. Kombinasi dari bahan berbeda pada dinding

69
dieksplorasi menggunakan sensasi taktil, dan pada lantai disesuaikan untuk
merangsang sensasi keseimbangan. Idealnya, snoezellen merupakan terapi
yang tidak diarahkan dan dapat bertahap memberikan pengalaman multi
sensorik atau fokus pada 1 sensorik saja, secara sederhana melalui adaptasi
terhadap lampu/cahaya, atmosfer, suara, dan tekstur kepada kebutuhan
spesifik pasien. Lingkungan snoezellen memberikan stimulasi langsung
dan tidak langsung dari modalitas sensorik dan dapat digunakan secara
individu atau berkelompok untuk memberikan pendekatan sensorik.
Peralatannya disesuaikan dengan tiap-tiap anak ADHD:
- Stimulasi visual: serat optik semprot, proyektor dengan gambar.
- Stimulasi pendengaran (suara): kaset relaksasi, getaran suara dari
peralatan musik.
- Olfaktori (bau): aroma terapi dapat mengurangi tingkat kecemasan.
- Gustatori (rasa): setiap zat makanan menyediakan rasa yang
berbeda atau tekstur.
- Stimulasi taktil (sentuhan): bantal dan kasur dengan vibrasi, kain
bertekstur.
- Rangsangan proprioseptif dan vestibular (gerakan): kursi goyang,
rocking horses.
Terdapat beberapa macam ruang snoezellen yang ditata dengan
tujuan yang berbeda contohnya:
- Ruang relaksasi: Ruang ini dipenuhi dengan warna yang lembut
dan tidak mencolok, lagu-lagu lembut atau musik relaksasi,
pemberian aroma ruangan dengan aroma yang lembut, .ampu
penerangan yang lembut
- Ruang aktivitas/adventure: Ruangan ini dipenuhi dengan warna-
warna yang mencolok, stimulasi visual yang dinamis, musik yang
dinamis, dan alat- alat permainan aktif
- Ruang natural: Ruangan alami seperti kebun bunga/taman, kolam
ikan/ akuarium, terdapat pasir, tanah, dan air
 Terapi musik merupakan terapi efektif dan alat edukasi untuk anak
dengan ADHD sehingga dapat mempengaruhi perubahan

70
keterampilan yang penting pada gangguan belajar atau perilaku.
Terapi musik mencakup beberapa hal, yaitu:23
- Keterampilan kognitif: Musik dapat menstimulasi dan
memfokuskan atensi dan terutama untuk orang yang tidak respon
dengan intervensi lain. Seluruh intervensi terapeutik akan
terstruktur dengan musik, untuk mempertahankan atensi.
- Keterampilan fisik: Terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan
bahwa ritme teratur dapat menstimulasi dan mengorganisasikan
respon otot untuk menimbulkan rasa rileks.
- Keterampilan komunikasi: Efektif untuk menstimulasi dan
memotivasi bicara, serta memberi ruang untuk komunikasi non-
verbal.
- Keterampilan sosial: Memberi kesem- patan untuk orang dengan
disabilitas perkembangan untuk berinteraksi dan bekerja sama
dengan orang lain.
- Keterampilan emosional: Musik mem- beri kesempatan untuk
mengekspresikan dan merasakan berbagai emosi. Keinginan untuk
berpartisipasi pada musik dapat membantu untuk mengontrol emosi
yang meledak-ledak, mengubah mood, serta dapat mencapai efek
positif dari harga diri.
2. Terapi psikologi
Psikoterapi yang diberikan pada penderita ADHD termasuk dalam
pelatihan kepada orang tua untuk memperbaiki lingkungan di sekitar
rumah dan sekolah. Terdapat berbagai pendekatan psikoterapi yang
dapat dilakukan oleh seorang psikolog; penggunaannya tergantung
kepada pasien dan simptomnya yang meliputi support groups, parent
training, dan social skills training.
Memperbaiki lingkungan di sekitar rumah dan sekolah dapat
memperbaiki perilaku anak dengan ADHD, namun kendalanya ialah
orang tua dari anak ADHD memperlihatkan kekurangan yang sama
terhadap diri mereka sendiri, sehingga mereka tidak dapat cukup
membantu anaknya dengan kesulitannya. Intervensi pendidikan yang

71
berbeda untuk orang tua disebut sebagai parent management training.
Teknik ini meliputi operant conditioning yaitu sebuah aplikasi rewards
untuk suatu perilaku yang baik dan hukuman untuk perilaku yang buruk.
Manajemen di dalam kelas (edukasi kepada guru) dilakukan sama
dengan parent management training yaitu guru diajari tentang ADHD
dan teknik untuk memperbaiki perilaku yang diaplikasikan di ruangan
kelas. Strategi yang digunakan meliputi peningkatan penyusunan
aktivitas di kelas atau daily feedback.
3. Terapi sosial medic
Penanganan ADHD dalam peran sosial medik difokuskan pada
bantuan perorangan dan keluarga yang kesulitan dalam penyesuaian diri
dan pelaksanaan fungsi- fungsi sosial diakibatkan oleh kondisi- kondisi
yang disfungsi. Terapi ini berkaitan dengan usaha untuk menjangkau
dan memanfaatkan sumber dalam pemecahan masalah social dengan
tujuan pelayanan untuk sosialisasi dan pengembangan, penyembuhan,
pemberian bantuan, rehabilitasi dan perlindungan sosial, serta pemberian
informasi dan nasehat.24
4. Terapi perilaku
Strategi spesifik yang dapat dilakukan untuk terapi perilaku ini
ialah:7
1. Reward system (anak diberikan ‘hadiah’ bila dapat menyelesaikan
tugas atau berperilaku baik).
2. Time out (misal: anak yang memukul adiknya dihukum duduk di
pojok ruangan selama 5 menit).
3. Response cost (misal: anak dilarang nonton TV bila tidak
menyelesaikan PR).
4. Token economy (anak mendapatkan ‘bintang’ bila menyelesaikan
tugas dan kehilangan ‘bintang’ bila berjalan-jalan di kelas. Jumlah
bintang menentukan reward yang diterima).
Penting pula ditekankan bahwa dukungan orang tua sangat menentukan
suksesnya terapi sehingga terapi perilaku ini disertai dengan edukasi dan
pelatihan pasien serta keluarganya.

72
Modifikasi lingkungan
Anak-anak dengan ADHD tidak beradaptasi dengan baik untuk mengubah
dan tidak berfungsi dengan baik dalam lingkungan yang sangat memberikan
banyak stimulasi. Di sekolah, mereka harus ditempatkan di barisan depan
sehingga mereka dapat lebih memperhatikan guru.
Seringkali, anak dengan ADHD mendapatkan keuntungan lebih dari metode
mengajar satu-satu atau pengajaran dalam kelompok kecil. Rutinitas kelas harus
diprediksi dan hanya satu tugas yang diberikan kepada anak pada suatu
waktu.17,18,25 Rutinitas di rumah juga harus terstruktur dengan baik dan teratur.
Keluarga harus menghindari keramaian, supermarket, dan pusat perbelanjaan
besar yang dapat memberikan terlalu banyak stimulasi bagi anak. Kelelahan juga
harus dihindari ketika anak menjadi tak terkontrol dan hiperaktivitas meningkat
ketika anak menjadi lelah.16,17 Saran dari psikiater, dokter anak dan social worker
diperlukan dalam kasus-kasus individual karena mungkin ada kebutuhan untuk
penempatan sekolah khusus atau program khusus untuk modifikasi perilaku. Anak
yang cerdas juga dapat ditempatkan dalam program sekolah normal. Obat jarang
diindikasikan kecuali terdapt indikasi tertentu seperti hiperaktif atau
ketidakstabilan suasana hati.17,18,25
2.2.11 Prognosis
Perjalanan ADHD bervariasi, ada yang mengalami remisi, ada yang
menetap.
a. Persisten atau menetap. Pada 40-50% kasus, gejala akan persisten
hingga masa remaja atau dewasa.7,8 Gejala akan lebih cenderung
menetap jika terdapat riwayat keluarga, peristiwa negatif dalam
hidupnya, komorbiditas dengan gejala-gejala perilaku, depresi dan
gangguan cemas. Dalam beberapa kasus, hiperaktivitasnya akan
menghilang, tetapi tetap mengalami inatensi dan kesulitan mengontrol
impuls (tidak hiperaktif, tetapi impulsif dan ceroboh). Anak ini rentan
dengan penyalahgunaan alkohol dan narkoba, kegagalan di sekolah, sulit
mempertahankan pekerjaan, serta cenderung melakukan pelanggaran
hukum.
b. Remisi. Pada 50% kasus, gejalanya akan meringan atau menghilang

73
pada masa remaja atau dewasa muda. Biasanya remisi terjadi antara
usia 12 hingga 20 tahun. Gejala yang pertama kali memudar adalah
hiperaktivitas dan yang paling terakhir adalah distractibility.
1) Remisi total. Anak yang mengalami remisi total akan memiliki
masa remaja dan dewasa yang produktif, hubungan interpersonal
yang memuaskan, dan memiliki gejala sisa yang sedikit.
2) Remisi parsial. Pada masa dewasanya, anak dengan remisi
parsial mudah menjadi antisosial, mengalami gangguan mood,
sulit mempertahankan pekerjaan, mengalami kegagalan di
sekolah, melanggar hukum, dan menyalahgunakan alkohol serta
narkoba.

74
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. AZ
No. RM : 489099
Umur : 3 tahun 5 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Koya
Suku : Jawa
Agama : Islam

3.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan secara heteroanamnesa dengan ibu pasien pada
tanggal 16 Februari pukul 11.00 WIT
a. Keluhan Utama : Belum lancar berbicara
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke Poli klinik Rehabilitasi Medik RSUD
Jayapura diantar oleh ibunya dengan keluhan belum dapat
berbicara dengan lancar. Ibu Pasien mengatakan bahwa pasien
mulai berbicara pada saat umur 3 tahun dan hanya dapat
mengucapkan kata “mama” hingga saat ini. Ibu pasien juga
mengatakan bahwa anaknya belum dapat berbicara dengan lancar
dan berbicara namun dengan artikulasi yang tidak jelas (tidak dapat
dimengerti). Menurut Ibu pasien juga mengatakan bahwa pasien
juga hanya bisa mengoceh namun tidak berbentuk kata dari kata-
kata yang diucapkan. Berdasarkan keterangan ibu sebelumnya
pasien juga bahwa pasien tidak bisa fokus jika diajak berbicara
atau berinteraksi. Pasien juga sering melakukan sesuatu atau
bermain sendiri. Pasien juga sangat aktif jika dibandingkan dengan

75
teman sebayanya sehingga tidak bisa diam di satu tempat, hanya
dapat bertahan pada suatu mainan sekitar 5 menit kemudian akan
berpindah ke hal lain.
c. Riwayar Penyakit Dahulu
Riwayat kejang (-) riwayat asma (-), trauma (-), alergi (-),
Serumen Obstruksi (+)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat anggota keluarga mengalami hal serupa disangkal,
kejang (-), asma (-), DM (-), trauma (-), alergi (-), hipertensi (+)

e. Riwayat Antenatal
Ibu pasien mengaku pasien adalah anak pertamanya. Tidak ada
riwayat keguguran. Selama masa kehamilan riwayat konsumsi
minuman beralkohol (-), merokok (-), narkotika (-), konsumsi obat
dalam jangka waktu lama (-), jamu-jamuan (-), rontgen (-). Riwayat
menderita penyakit sistemik yang berat selama masa kehamilan (-),
kencing manis (-), tekanan darah tinggi (-), riwayat penyakit
kelamin (-). Kontrol kehamilan dilakukan ibu pasien rutin di dokter
spesialis kandungan. Selama kontrol kehamilannya ibu pasien
mengaku tidak pernah ditemukan adanya kelainan pada ibu dan
janin.

f. Riwayat Persalinan
Ibu pasien mengaku bahwa persalinan dilakukan secara sesar
karena pembukaan saat persalinan tidak maju selama di Rumah
sakit selama 3 hari . Pasien lahir cukup bulan, dengan berat badan
3000gr.

g. Riwayat Post Natal


Bayi lahir dengan SC, menangis spontan, pernafasan spontan,
kejang (-), koma (-).

76
h. Riwayat Development
 Duduk (Sitting) : bisa sejak + 6 bulan
 Berdiri (Standing) : bisa sejak + 9 bulan
 Berjalan (Walking) : bisa sejak + 1 tahun
 Makan dengan tangan : bisa
 Berbicara : bisa sejak + 3 tahun. Kalimat dan
artikulasi belum jelas hingga saat ini
 Sosial : bisa menyebut nama teman dan
bermain dengan sebaya di Paud

3.3 Pemeriksaan fisik


3.3.1 Status Generalis
a. Tanda-Tanda Vital dan Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,8˚ C
SpO2 : 98% spontan

3.3.2 Status Lokalis


a. Kepala dan Leher
1. Kepala : Normocefali, simetris, tidak ada kelainan, warna
rambut hitam, kulit kepala normal,
alopesia(-)ulkus (-)
2. Muka : Simetris, paresenervus VII (-).
3. Mata : Exoftalmus (-/-), endoftalmus (-/-), konjungtiva
anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema palpebra
(-/-), pupil bulat isokor, diameter pupil Ø 3mm
ODS, reflex cahaya (+/+), gerakan bola mata
baik kesegala arah.

77
4. Hidung : Deformitas (-), deviasi (-), krepitasi(-), secret
(-/-), darah (-/-), napas cuping hidung (-), nyeri
tekan sinus (-).
5. Telinga : Deformitas (-), sekret (-),nyeri tekan tragus (-),
nyeri tarik (-), tidak teraba benjolan/
pembesaran KGB lokal.
6. Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-),stomatitis (-),
caries (-), oral candidiasis (- )
7. Tenggorokan : Uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, faring
hiperemis (-).
b. Thorax
1. Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris, Tidak terdapat
kelainan pada dinding dada, retraksi (-/-).
Palpasi : Ekspansi dada (+) Dextra = Sinistra
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler/vesikuler, wheezing (-/-),
rhonki (-/-).
2. Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi.
Palpasi : Thrill (-).
Perkusi : Pekak, Batas jantung normal.
Auskultasi : BJ I dan BJ II reguler, murmur (-), gallop (-).
c. Abdomen
Inspeksi : Datar, jejas (-).

Auskultasi : Bising usus (+) normal 3-4 x/menit.

Palpasi : supel (+ ), shifting dullnes (-), undulasi (+),


hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba
membesar

Perkusi : Thimpani.

d. Ekstremitas

78
Inspeksi : Massa (-), Jejas (-), Ulkus(-)
Palpasi : Akral hangat, CRT < 2 detik, Udem tungkai (-).

3.4 Diagnosis
 Speech Delayed e.c ADHD (Attention Deficit Hyperactivity
Disolder

3.5 Diagnosis Banding


 Autisme
 Gangguan Pendengaran
 Gangguan tingkah laku (anti sosial)

3.6 Terapi
• Edukasi
• Terapi wicara
• Terapi Okupasi

3.7 Prognosis
• Qua ad vitam : Bonam
• Qua ad functionam : Dubia ad Bonam
• Qua ad sanationam : Dubia ad Bonam

79
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
4.1.1 Apakah Diagnosis Dari kasus Speech Deleyed dan ADHD Pada Pasien
ini sudah benar ?
Pasien merupakan anak laki-laki berusia 3 tahun 5 bulan datang
bersama ibunya ke Poliklinik Rehabilitasi Medik RSUD Jayapura dengan
keluhan keterlambatan berbicara. Berdasarkan hasil heteroanamnesa yang
dilakukan pada tanggal 16 Februari 2023 Ibu Pasien mengatakan bahwa
pasien mulai berbicara pada saat umur 3 tahun dan hanya dapat
mengucapkan kata “mama” hingga saat ini. Ibu pasien juga mengatakan
bahwa anaknya hingga saat ini belum dapat berbicara dengan lancar dan
berbicara namun dengan artikulasi yang tidak jelas (tidak dapat
dimengerti). Menurut Ibu pasien juga mengatakan bahwa pasien juga
hanya bisa mengoceh namun tidak berbentuk kata dari kata-kata yang
diucapkan. Berdasarkan keterangan ibu sebelumnya pasien juga bahwa
pasien tidak bias fokus jika diajak berbicara atau berinteraksi. Pasien juga
sering melakukan sesuatu atau bermain sendiri. Pasien juga sangat aktif
jika dibandingkan dengan teman sebayanya sehingga tidak bisa diam di
satu tempat, hanya dapat bertahan pada suatu mainan sekitar 5 menit
kemudian akan berpindah ke hal lain.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis pada kasus
ini yaitu Speech Delayed ec. ADHD . Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa faktor eksternal (faktor lingkungan) berpengaruh
terhadap perkembangan bicara seorang anak. faktor lingkungan termasuk
yang paling menentukan. faktor lingkungan di mana seorang anak
dibesarkan telah lama dikenal sebagai faktor penting yang menentukan
perkembangan anak. salah satu faktor ekternal yang sesuai dengan kasus
adalah pola asuh dan lingkungan verbal, Law dkk juga menemukan bahwa
anak yang menerima contoh berbahasa yang tidak adekuat dari keluarga,
yang tidak memiliki pasangan komunikasi yang cukup dan juga yang
kurang memiliki kesempatan untuk berinteraksi akan memiliki

80
kemampuan bahasa yang rendah. Sedangkan, ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disolder) merupakan sekelompok masalah yang berkenan
dengan perhatian, konsentrasi, impulsivitas dan overaktivitas yang timbul
selama masa kanak-kanak dan muncul pada berbagai keadaan yang
menandai adanya suatu sindrom tingkah laku. Jadi, bisa di simpulkan
bahwa diagnosis dari kasus ini sudah benar karena dapat dilihat dari gejala
klinis yang dialami pasien.
4.1.2 Apakah Terapi Pada Pasien Ini Sudah Benar ?
Tindakan kuratif penatalaksanaan gangguan bicara dan bahasa serta
ADHD pada anak disesuaikan dengan penyebab kelainan tersebut.
Penatalaksanaan dapat melibatkan multi disiplin ilmu dan terapi ini
dilakukan oleh suatu tim khusus yang terdiri dari fisioterapis, dokter, guru
dan orang tua pasien. Pendekatan rehabilitasi pada anak dengan Speech
Delayed e.c ADHD bersifat komprehensif.
Pada kasus ini untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi yang
serius atau berkepanjangan maka di lakukan terapi wicara dan okupasi.
Tujuan dari terapi ini di berikan salah satunya untuk meningkatkan
kemampuan pada anak. Sedangkan, tujuan rehabilitasi adalah untuk
membantu anak-anak dan orang tua menghindari atau memperkecil
kelainan di masa sekolah. Sedangkan pada prinsipnya program rehabilitasi
dilakukan harus sedini mungkin dan dilakukan dengan teratur serta
berkesinambungan. Gangguan bicara dan bahasa serta atensi pada anak
cenderung membaik seiring pertambahan usia, dan pada dasarnya
perkembangan bahasa dan atensi dilatar belakangi perawatan primer orang
tua dan keluarga terhadap anak. Metode yang diberikan pun harus sesuai
dengan klasifikasi klinis, usia, dan perkembangan anak. Sehingga pada
kasus ini terapi yang diberikan yakni meliputi edukasi, terapi wicara,
terapi okupasi.

81
4.3.1 Bagaimana Prognosis Dari Pasien Ini ?
Prognosis gangguan bicara pada anak tergantung pada penyebabnya.
Dikatakan bahwa anak dengan gangguan fonologi biasanya prognosisnya
lebih baik. Sedangkan ganggan bicara pada anak yang intelegensianya
normal perkembangan bahasanya lebih baik daripada anak yang retardasi
mental.

82
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berikut ini adalah kesimpulan dari kasus Speech Delayed ec ADHD yaitu
sebagai berikut :

1. Gangguan bicara dan bahasa terdiri dari masalah artikulasi, suara,


kelancaran bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-
kata, biasanya akibat cedera otak) serta keterlambatan dalam bicara atau
bahasa. Keterlambatan bicara dan bahasa dapat disebabkan oleh berbagai
faktor termasuk faktor lingkungan atau hilangnya pendengaran. Gangguan
bicara dan bahasa juga berhubungan erat dengan area lain yang
mendukung proses tersebut seperti fungsi otot mulut dan fungsi
pendengaran. Keterlambatan dan gangguan bahasa mulai dari bentuk yang
sederhana seperti bunyi suara yang “tidak normal” (sengau, serak) sampai
dengan ketidakmampuan untuk mengerti atau menggunakan bahasa, atau
ketidakmampuan mekanisme motorik oral dalam fungsinya untuk bicara
dan makan. Sedangkan, ADHD (Attention Deficit HyperactivityDisolder)
ini berkaitan dengan perhatian, konsentrasi, impulsivitas dan overaktivitas
yang timbul selama masa kanak-kanak dan muncul pada berbagai keadaan
yang menandai adanya suatu sindrom tingkah laku.Deteksi dini ADHD
dapat dilakukan dengan melakukan skring pertumbuhan dan
perkembangan. Pendekatan tunggal terhadap ADHD tidak pernah
memberikan hasil yang memuaskan, oleh karena itu perlu dilakukan juga
terapi farmakologi, psikologi dan psikososil, serta pendekatan orang tua
untuk membantu keberhasilan terapi pada pasien ADHD. Diagnosis yang
tepat terhadap gangguan bicara atau bahasa dan ADHD pada anak, sangat
berpengaruh terhadap perbaikan dan perkembangan kemampuan bicara
dan bahasa serta perilaku dari pasien.

83
2. Terapi sebaiknya dimulai saat diagnosis ditegakkan, namun hal ini
menjadi sebuah dilema, diagnosis sering terlambat karena adanya variasi
perkembangan normal atau orang tua baru mengeluhkan gangguan ini
kepada dokter saat mencurigai adanya kelainan pada anaknya, sehingga
para dokter lebih sering dihadapkan pada aspek kuratif dan rehabilitative
dibandingkan preventif . Tata laksana dini terhadap gangguan ini akan
membantu anak-anak dan orang tua untuk menghindari atau memperkecil
kelainan di masa sekolah.
3. Prognosis gangguan bicara pada anak tergantung pada penyebabnya.
Dikatakan bahwa anak dengan gangguan fonologi biasanya prognosisnya
lebih baik. Sedangkan ganggan bicara pada anak yang intelegensianya
normal perkembangan bahasanya lebih baik daripada anak yang retardasi
mental.

84
DAFTAR PUSTAKA

1. Ranuh IG, penyunting. Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja;
Edisi I. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, Sagung Seto,
2002; 91
2. Soetjiningsih. Gangguan bicara dan bahasa pada anak. Tumbuh kembang
anak. Jakarta EGC, 1995 ; 23740
3. Markum, AH. Gangguan perkembangan berbahasa. Dalam : Markum,
Ismael S, Alatas H, Akib A, Firmansyah A, Sastroasmoro S, editor. Buku
ajar ilmu kesehatan anak. Jilid I. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1991;
5669.
4. Salim P, Salim Y, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi
kedua.Jakarta: Modern English Press;1995.
5. Alwi H, Sugono D, Adiwinata SS. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
ketiga, Departement Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai pustaka;2005.
6. Victor M, Ropper AH. Priciples of Neurology Adams and Victor’s,
seventh edition. McGraw-Hill.2001.
7. Wahjuni S. Pemeriksaan Penyaring Keterlambatan Perkembangan Bahasa
pada Anak. Batita dengan Early Language Milestone Scale di Kelurahan
Paseban Jakarta Pusat. Jakarta. FKUI. 1998
8. Virginia W, Meredith G, Dalam : Adam, boeis highler. Gangguan bicara
dan bahasa. Buku ajar penyakit telinga, hidung, tenggorok. Edisi 6. Jakarta
: EGC, 1997 ; 397410.
9. Guyton AC, Hall JE. Dalam : Irawati Setyawan, penyunting. Buku ajar
fisiologi kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC, 2005 ; 90919
10. Rahyono FX. Dalam : Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami
Linguistik. Editor : Kurhayanti.Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2007,hal 32-37.
11. Soedjatmiko. Deteksi dini gangguan tumbuh kembang balita. Sari Pediatri
2005; 3.
12. Kaplan, Harold I. Gangguan komunikasi. Dalam : I Made Wiguna, editor.
Sinopsis psikiatri : Bina Rupa Aksara, 1997 ; 76682

85
13. Anitta Florence ST, Modifikasi Skala Reseptive Expresive Emergent
Language sebagai instrument penyaring keterlambatan bahasa anak usia
18 sampai 36 bulan, Jakarta oktober 2008
14. Fox A. V.1; Dodd B.1; Howard D.1Risk factors for speech disorders in
children. International Journal of Language & Communication Disorders,
Volume 37, Number 2, 1 April 2002 , pp. 117-131(15)

86
87

Anda mungkin juga menyukai