Anda di halaman 1dari 10

[Jurnal Hukum

[UNIVERSITAS MATARAM]
JATISWARA]

PERUBAHAN SOSIAL DALAM KODIFIKASI HUKUM ADAT


ANTARA STABILITAS DAN PERUBAHAN TATA HUKUM

Yamin 1
Fakultas Hukum Universitas Pancasila

ABSTRAK
Setiap teks niscaya memiliki konsteks. Hukum yang dikodifikasi, termasuk hukum adat
yang didokumentasi, pun cenderung mencerminkan perubahan sosial. Dalam konteks ini
hukum berada dalam dua pasangan nilai, antara nilai kepastian dan nilai perubahan.
Kodifikasi hukum merupakan upaya untuk memastikan keberlakuan yuridis. Dengan
demikian, kodifikasi mengkondisikan stabilitas norma. Namun, konteks sosiologis berjalan
dinamis. Dalam konteks sosiologis kodifikasi hukum tersebut berubah dalam konstelasi tata
hukumnya. Jadi dalam kodifikasi dapat tercermin perubahan sosialnya.
Kata kunci: perubahan sosial, stabilitas, kodifikasi, hukum adat, dan tata hukum

ABSTRACT
Each text undoubtedly has konsteks. Codified law, including customary law
documented, also tend to reflect social change. In this context the law is within the two pairs
of values, the values of certainty and value changes. Codification of the law is an effort to
ensure the validity of the juridical. Thus, the stability condition is reflected by codification
norms. However, the sociological context is dynamic walking. In the context of the legal
codification sociological change can be viewed in the constellation of the legal system. So it
may be reflected in the codification of its social change.
Keyword: perubahan sosial, stabilitas, kodifikasi, hukum adat, dan tata hukum

Pokok Muatan
PERUBAHAN SOSIAL DALAM KODIFIKASI HUKUM ADAT
ANTARA STABILITAS DAN PERUBAHAN TATA HUKUM ........................................ 197
A. PENDAHULUAN........................................................................................................... 198
B. PEMBAHASAN ............................................................................................................. 199
1. Kodifikasi Naskah Pribumi sebagai Upaya Stabilitas.............................................. 199
2. Dinamika Kodifikasi Hukum Adat dalam Tata Hukum di Indonesia ...................... 201
C. PENUTUP ....................................................................................................................... 204
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 206

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 197


[Jurnal Hukum
[FAKULTAS HUKUM]
JATISWARA]
A. PENDAHULUAN setiap kerajaan muncul dalam kaitannya
dengan pemikirn politik dan filsafat.
Pada bagian awal tulisan ini
dikemukakan pendapat Roscoe Pound Dengan kata lain, pada masa ini
yang dikutip Benjamin Cardozo dalam kitab-kitab muncul sebagai pemikiran
Growth of The Law dengan menyatakan negara yang mencerahkan, seperi teman
bahwa law must be stable, but yet it cannot Voltaire, Fredeick II dari Prusia, Joseph II
stand still [hukum harus pasti (atau stabil), dari Austria, serta administrasi birokrasi
tetapi hukum tersebut juga tidak diam mereka. Upaya kodifikasi tidak selamanya
begitu saja]. Dengan kata lain, yang berhasil, The Prussian General
menjadi fokus dalam tulisan ini adalah Terrioterial Law pada 1794.
kodifikasi hukum adat yang berkembang Ada dua kitab yang mempunyai
sejak gagasan negara bangsa atau paham pengaruh yang luas secara ideologis dalam
nasionalisme. kaitannya dengan tradisi civil law, yaitu
Dengan merujuk pendapat Organski French Civil Code 1804 dan German Civil
dan Wallace, Nurhasan Ismail (2012) Code 1896.2 Dengan merujuk Soetandyo
menunjukkan bahwa perubahan hukum Wignjosoebroto, Civil Code dan Penal
merupakan fakta adanya pergeseran dan Code ini bermigrasi ke Belanda; dan oleh
ilmu hukum perspektif positivistik ke ilmu Belanda ditransplantasi –atau bahkan
hukum perspektif sosiologis.1 Beberapa dalam berbagai literatur digunakan istilah
sarjana (seperti Edwin M. Schur, konkordansi.
Vilhemaubert, William M. Evan, Satjipto Tulisan ini mengikuti sistematika
Rahardjo, dan Soetandyo Wignjosoebroto) yang dikemukakan oleh C. van
menggunakan optic sosiologi dalam Vollenhoven. Hukum pribumi (inlandsch
mempelajari hukum. Pergeseran demikian recht) terdiri atas:
oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick
disebut sebagai hukum responsif di tengah (1) hukum adat pribumi yang belum
dominannya hukum otonom. Konfigurasi dikodifikasi [adatrecht der indlanders
dinamika masyarakat dapat tercermin yang terdiri atas hukum asli pribumi
dalam kodifikasi tata hukum yang dalam (inheemsch recht der inlanders) dan
beberapa situasi menjadi aksara-aksara bagian-bagian yang bersangkutan
yang mati. dengan agama (Godsdienstige
bestanddeelen)];
Di beberapa bagian di Eropa, pada
(2) hukum pribumi yang sudah
awalnya nasionalisme hukum meng-
dikodifikasi (gecodificeerd recht der
ekspresikan bentuk kodifikasi, Pertama
kali kitab-kitab hukum nasional muncul di inlanders). Klasifikasi yang sama
diterapkan pula terhadap hukum Timur
negara-negara Scandinavia di pada abad
asing.3
ke-17 dan ke-18. Pada perkembangan
selanjutnya gagasan kesatuan hukum pada Yang melatarbelakangi tulisan ini
adalah kondisi faktual tentang kodifikasi
naskah-naskah hukum ada yang beberapa
1
Nurhasan Ismail, “Ilmu Hukum dalam
2
Perspektif Sosiologis: Obyek Perbincangan Yang Marry Ann Glendon, Michael W. Gordon,
Teringgirkan,” Makalah dalam Kongres Ilmu dan Palulo G. Caroza, Comparative Legal
Hukum dengan tema “Refleksi dan Rekonstruksi Traditions, (St. Paul: West Group, 1999), hlm.9.
Ilmu Hukum” Yang Diselenggarakan oleh Asosiasi 3
C. van Vollenhoven, Orientasi dalam
Sosiologi Hukum Indonesia pada 19-20 Oktober Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 191),
2012 di Semarang. p.8.
198 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[Jurnal Hukum
[UNIVERSITAS MATARAM]
JATISWARA]

di antaranya belum banyak dikaji. adat-istiadat berarti melakukan perubahan.


Beberapa fiolog (seperti hollander, P.S. Justru karena merupakan hal nonpositif,
van Ronkel, Windstedt, Liaw Yok Fang, adat-istiadat tidak mengenal pembedaan
dan Sudjiman) pernah menaruh perhatian antara keteraturan dan norma atau antara
terhadap teks-teks normatif hukum pemilahan peraturan dan penerapannya.4
pribumi. Akan tetapi, para filolog tersebut
B. PEMBAHASAN
cenderung belum menempatkan teks-teks
normatif tersebut ke dalam hukum positif 1. Kodifikasi Naskah Pribumi sebagai
pada masa itu. Upaya Stabilitas
Di lain pihak, beberapa pakar hukum Kodifikasi adalah proses
adat (seperti R. Soepomo, Djojodiguno, pengumpulan dan penyusunan secara
Mochamad Koesnoe, Bushar Muhammad, sistematis biasanya berdasarkan susunan
Imam Sudiyat, Hilman Hakikusuma, dan tertentu, hukum suatu negara atau daerah,
Soekanto) kurang menaruh perhatian aturan-aturan dan pengaturan-pengaturan
terhadap teks-teks normatif yang tertulis yang melingkupi wilayah hukum partikular
dalam naskah. Dengan kata lain, para atau subyek hukum dan penerapannya (the
pemerhati hukum adat cenderung process of collecting and arranging
mengabaikan kodifikasi naskah-naskah systematically, usually by subject, the laws
hukum pribumi, karena hal tersebut of state or country, or rules and
merupakan bagian masa lalu. regulations covering a particular).5
Pengertian kodifikasi di bidang hukum
Di kalangan pengkaji hukum adat
berkaitan dengan pengkitaban norma-
dikembangkan sebuah doktrin bahwa
norma dalam suatu kode.
hukum adat adalah hukum kebiasaan yang
tidak tertulis. Apabila ada yang tertulis, hal Code is a systematic collection,
itu hanya merupakan dokumentasi hukum copendium or revision of the laws,
adat dalam bentuk undang-undang rules, of regulation (e.q. Uniform
(gedocumenterd wet). Disamping itu, Commercial Code). A private or
hukum adat mengikuti dinamika official complication of permanent
masyarakat, sehingga hukum adat laws in force consolidated and
merupakan hukum yang dinamis (non classified according to subject matter
statuuter). (e.q. inted states code). many states
have published official codes of law
Dalam tulisan ini dikemukakan
in force, including the common law
sekelumit tentang kodifikasi hukum
and statutes as judicially interpreted
pribumi yang lazimya dikenal hukum adat
which have been comiled by code
dalam konteks stabilitas dan realitas
commissions and enacted by
dinamis. Roberto M. Unger (2012)
menunjukkan bahwa adat-istiadat lebih
bersifat tersirat daripada terungkap secara 4
Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis:
lisan. Adat-istiadat berlaku untuk kategori
Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern,
orang dan hubungan yang didefinisikan diterjemahkan Dariyanto dan Derta Sri Widowati,
secara sempit, bukan secara umum. (Bandung: Ujung Berung, 2012), hlm.64—65.
5
Henry Chambell Black, Black’s Law
Di samping itu, adat-istiadat tidak Dictionary: Definition of the Terms and Phrases of
bisa disederhanakan menjadi seperangkat American and English Jurisprudence, Ancien, and
aturan, Namun, upaya pengkodifikasian Modern, (St. Paul: West Publishing Co., 1980),
hlm.258.
[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 199
[Jurnal Hukum
[FAKULTAS HUKUM]
JATISWARA]
legislatures.6 kemungkinannya adalah besar sekali
bahwa seorang ahli yang baru pertama kali
Menurut Soekanto (1982), pengertian mempelajari hukum adat Indonesia akan
kodifikasi berasal dari kata codex (atau berhadapan dengan hal-hal atau gejala-
codices dalam bentuk plural) yang berarti gejala yang sulit sekali untuk dipahami
‘buku’ dan facere yang berarti ‘membuat’. secara konkret atas dasar latar belakang
Jadi kodifikasi hukum berarti “upaya teoretis yang dimilikinya.
pembuatan buku yang memuat bidang Bahkan pada masa dahulu ada yang
hukum tertentu secara sistematis dan menyatakan bahwa hukum adat seolah-
konsisten. Kodifikasi hukum sebenarnya olah hanyalah merupakan aturan-aturan
diadakan dengan sasaran sebagai berikut. yang ajaib dan simpang siur sehingga
(1) kesatuan hukum (rechtseenheid atau membingungkan sekali. Menurut van
unifikasi), Vollenhoven dan Mallinckrodt (dalam
(2) kepastian hukum (rechtszekerheid), Seokanto, 1982:10), pandangan negatif
dan tersebut dikemukakan sarjana Barat
(3) penyederhanaan hukum (rechts- (terutama kaum Orientalis) karena kode
7
vereenvoudiging). budaya dalam masyarakat hukum adat
Pada umumnya dalam sistem hukum belum dipahami dengan baik.
tradisional terdapat hukum yang tidak Dengan kata lain, para sarjana Barat
ditulis atau yang tidak dikodifikasikan (kaum Orientalis) yang mempunyai
dalam suatu kitab undang-undang. Hukum pandangan negatif terhadap eksistensi
yang tidak ditulis itu dinamakan hukum hukum adat tersebut dapat dipakai sebagai
adat yang merupakan sinonim dari hukum bahan refleksi guna mengatasi
kebiasaan. permasalahan dalam menegakkan hukum
Apabila menemukan hukum adat (supremacy of law) di masa yang akan
yang ‘tertulis’, hal itu merupakan hukum datang.
adat yang tercatat (bescrhreven adatrecht) Dengan mengutip pendapat Girault
dan hukum adat yang terdokumentasikan dalam Principes de Colonisation (asas
(gedocumenteerd adatrecht). Pada umum- kolonialisasi yang dikenal dengan asas
nya hukum adat yang tercatat merupakan konkordansi), C. van Vollenhoven
hasil penelitian para ahli yang yang menyatakan, “Apabila kita menuruti
kemudian dibukukan dalam bentuk kecenderungan alam untuk menyusun
monografi-monografi. Hukum adat yang redaksi kitab undang-undang pribumi
didokumentasikan merupakan pencatatan menurut rencana yang sama (sur le meme
norma adat yang dilakukan fungsionaris- plan) dengan yang kita punya, kita akan
fungsionaris dan pejabat-pejabat. merusakkan (mengubah bentuk) hukum
Jika dilihat dari sudut pandangan ahli pribumi.” Penganjur-penganjur hukum
hukum adat yang terkesan pada unifikasi adat sampai sekarang dalam suatu hal tetap
atau kodifikasi, keseluruhan hukum adat lalai.
Indonesia cenderung dianggap tidak Bahan-bahan untk pengetahuan yang
teratur, tidak sempurna, tidak tegas, dan lebih baik tentang hukum adat telah dan
mungkin tidak pasti. Dengan demikian, sedang dikumpul dalam usaha untuk
memasukanya menjadi isi peraturan
6 pemeritah (Regelingsreglement) pada masa
Ibid, hlm.257
7
Soejarno Soekanto, Kedudukan dan
itu. Usaha tersebut kadang-kadang
Peranana Hukum Adat di Indonesia, (Jakarta: mendapat nada celaan, namun ada juga
Kurnia Esa, 1982), hlm.64
200 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[Jurnal Hukum
[UNIVERSITAS MATARAM]
JATISWARA]

yang memberikan masukan konstruktif.8 Untuk mengatasi kesulitan


Setelah menyatakan bahwa Undang- pengkodifikasian, Pemerintah Kolonial
Undang yang tidak diumumkan dan tidak Hindia Belanda. Keadaan ini pun membuat
ada gunanya bagi Hindia Belanda harus kodifikasi hukum pribumi hanya menjadi
segera diakhiri (oportet faniri), C. van artefak norma-norma yang menjadi koleksi
Vollenhoven mengusulkan sebuah di berbagai museum dan kolektor benda-
Rancangan Kitab Hukum Adat untuk benda antrik. Padahal di dalam kodifikasi
Hindia Belanda yang akan ditetapkan tersebut terdapat tata hukum yang pernah
dengan Ordonansi. Rancangan tersebut berlaku.
terdiri atas sembilan bab dan 111 pasal. 2. Dinamika Kodifikasi Hukum Adat
Adapun sistematikannya adalah dalam Tata Hukum di Indonesia
sebagai berikut: Sebelum dikemukakan dinamika
(1) Bab 1 Peraturan-Peraturan Umum kodifikasi hukum adat, pada bagian ini
(Pasal 1-9); dinukil kembali konsep hukum adat.
(2) Bab 2 Hukum Keluaraga (Pasal 10-20); Menurut Imam Sudiyat (1982), sebelum
(3) Bab 3 Hukum Waris (Pasal 21-28); diperkenalkan istilah Adat-Recht yang
(4) Bab 4 Hukum Tanah (Pasal 29-51); kemudian diterjemahkan menjadi hukum
(5) Bab 5 Hukum Utang-Piutang (Pasal adat oleh Christian Snouck Hurgronje dan
52-70); Cornelis van Vollenhoven, berbagai istilah
(6) Bab 6 Peraturan-Peraturan yang telah dipakai untuk menjelaskan ‘konsep
Bersamaan untuk hukum tanah dan yang sepadan’ dengan hukum adat telah
utang-piutang (Pasal 71-91); dipergunakan oleh Pemerintah Hindia
(7) Hukum Pelanggaran/delik (Pasal 92- Belanda.
96); Beberapa konsep tersebut dapat
(8) Peraturan-Peraturan Perubahan (Pasal ditemukan dalam Peraturan Perundang-
97-102); Undangan Pemerintahan Hindia Belanda di
(9) Peraturan-Peraturan Penutup (Pasal bawah ini:
103-111). 1. Dalam Pasal 11 Algemeine Bepalingen
Proyek pengkodifikasian tersebut van Wetgeving [Ketentuan Umum
tampaknya tidak berkembang sebagaimana Perundang-Undangan] yang biasa
mestinya karena tingkat keberagamannya disingkat A.B. digunakan
sungguh sangat luar biasa, sehingga Godsdienstige Wetten, Volks
diperlukan ketekunan, sumber daya Instellingen en Gebruiken [Peraturan
manusia, dan biaya yang tinggi. Di balik Keagamaan, Lembaga-Lembaga
upaya kodifikasi tersebut, politik hukum Rakyat dan Kebiasaan-Kebiasaan].
pada masa itu juga menunjukkan upaya 2. Dalam redaksi lama Pasal 75 ayat (3)
unifikasi dengan memberikan semacam Regerings Reglement 1854 yang biasa
panduan penyusunan atau disingkat R.R.digunakan istilah
pengkodifikasian. Godsdienstige Wetten, Volks
Instellingen en Gebruiken [Peraturan-
8
C. van Vollenhoven, Suatu Kitab Hukum
Peraturan Keagamaan dan Kebiasaan-
Adat untuk Seluruh Hindia Belanda, [diterjemahkan Kebiasaaan].
dari Dewan Redaksi Een Adatwetboektje voor heel
Indie], (Jakarta: Bhratara, 1972), hlm.1.
3. Dalam Pasal 128 ayat (4) Indische
Staatsregeling [Peraturan Hukum
[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 201
[Jurnal Hukum
[FAKULTAS HUKUM]
JATISWARA]
Negara Belanda, semacam Undang- Indonesia. Beberapa sarjana (seperti
Undang Dasar bagi Pemerintah Hindia Wignjodipoero dan Soekanto) pernah
Belanda] yang biasa disingkat I.S. – membicarakan kedudukan hukum adat
ketentuan sebelumnya dinyatakan dalam hukum positif Indonesia.9 Berikut
dalam Pasal 71 ayat (2) sub b redaksi ini ditunjukkan beberapa inventarisasi
baru yang menggantikan Pasal 75 ayat hukum positif yang mengakomodasi
(3) redaksi lama R.R. 1854— keberlakuan hukum adat.
dipergunakan istilah Instellingen des (1) Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1960
Volks [Lembaga-lembaga Rakyat]. Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
4. Dalam Pasal 131 ayat (2) sub b Agraria (biasanya disingkat menjadi
digunakan istilah Met Hunne UUPA Lembara Negara Tahun 1960
Godsdienten en Gewonten Nomor 104; Tambahan Lembaran
Samenhangen de Rects Regelen Negara Nomor 2034). Dalam Pasal 5
[Aturan-Aturan Hukum yang UUPA dirumuskan bahwa hukum
berhubungan dengan Agama-Agama agraria yang atas bumi, air, dan ruang
dan Kebiasaan-Kebiasaan mereka]. angkasa ialah hukum adat, sepanjan
tidak bertentangan dengan kepentingan
5. Dalam Pasal 78 ayat (2) R.R.
nasional dan negara, yang berdasarkan
digunakan istilah Godsdientige Wetten
atas persatuan bangsa, dengan
en Oude Herkomsten [Peraturan-
sosialisme Indonesia. serta dengan
Peraturan Keagamaan dan Kebiasaan-
peraturan-peraturan yang tercantum
Kebiasaan Lama/Kuno]. Pengertian
dalam Undang-Undang ini dan dengan
Godsdienstige Wetten en Oude
peraturan perundang-undangan lainnya,
Herkomsten imi oleh Indische
segala sesuatu dengan mengindahkan
Staatsblaad Tahun 1929 Nomor 487
unsur-unsur yang bersandar pada
diganti dengan istilah Adat-Recht.9
hukum agama. Dalam penjelasan Pasal
Eksistensi konsep hukum adat dalam 5 UUPA ditegaskan bahwa hukum adat
tata hukum Pemerintahan Kolonial tersebut dijadikan dasar dari hukum agraria
diteruskan untuk mencegah kekosongan yang baru (lihat juga Penjelasan Umum
hukum melalui Pasal II Aturan Peralihan III Angka I UUPA).
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
(2) Pasa 27 undang-undang Nomor 14
hukum transisi (transitoir recht). Namun,
Tahun 1970 tentang Ketentuan-
setelah Perubahan Keempat Undang-
Ketentuan Pokok Kekuasaan
Undang Dasar 1945 patut dikaji kembali
Kehakiman (Lembaran Negara
apakah eksistensi konsep hukum adat
Republik Indonesia Tahun 1970
terakomodasi dalam sistem atau tata
Nomor 74; Tambahan Lembaran
hukum Indonesia saat ini.
Negara Republik Indonesia Nomor
Kalau dasar eksistensi kon- 2951), Dalam Pasal 27 Undang-
stitusionalnya tercabut, beberapa peraturan Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
perundang-undangan sempat terakomodasi ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
ke dalam beberapa hukum positif di Kehakiman dinyatakan bahwa hakim,
sebagai penegak hukum dan keadilan,
9
Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat: wajib menggali, mengikuti, dan
Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1982), memahami nilai-nilai hukum yang
hlm.1—2. Bandingkan dengan Bushar Muhammad,
Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Jakarta:
hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini
Pradnya Paramita,1994), hlm. 9—10 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor
Wulansari, Op.Cit., hlm.1—2. 5 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok
202 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[Jurnal Hukum
[UNIVERSITAS MATARAM]
JATISWARA]

Kekuasaan Kehakiman yang terakhir Undang ini, yang dimaksud adat


diubah pada 2009. adalah aturan atau perbuatan yang
bersendikan syariat islam yang lazim
(3) Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1
dituruti, dihormati, dan dimuliakan
Tahun 1974 tentang Perkawinan
sejak dahulu yang dijadikan landasan
(Lembaran Negara Republik Indonesia
hidup. Dalam Pasal 6 undang-undang
Tahun 1974 Nomor 1; Tambahan
ini dinyaakan bahwa daerah dapat
Lembaran Negara Republik Indonesia
menetapkan berbagai kebijakan dalam
Nomor 3919). Dalam Pasal 37
upaya pemberdayaan, pelestarian, dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
pengembangan adat di wilayahnya
Tentang Perkawinan diatur masalah
yang dijiwai dan sesuai dengan syariat
harta benda perkawinan dengan
islam. Dalam pasal 7 Undang-undang
rumusan bahwa apabila perkawinan
ini dinyatakan daerah dapat
putus karena perceraian, harta bersama
membentuk lembaga adat dan megakui
diatur menurut hukum-hukumnya
lembaga adat yang sudah ada sesuai
masing-masing. Dalam penjelasan
dengan kedudukannya masing-masing
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1974
di Propinsi, Kabupaten/Kota,
tentang perkawinan dinyatakan bahwa
Kecamatan, Kemukiman, dan
yang dimaksud dengan ‘hukumnya’
Kelurahan/Desa, atau Gampung.
masing-masing adalah hukum agama,
hukum adat, dan hukum-hukum Pada bagian ini dikemukakan contoh
lainnya. kodifikasi yang menjadi hukum positif
sehingga eksistensi mapan dalam tata
(4) Pasal 111 ayat (1) dan (2) undang-
hukum masyarakatnya. Beberapa ketentu-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
an di antaranya sudah di-saneer atau
Pemerintahan Daerah (Lembarah
diselaraskan dengan peraturan perundang-
Negara Republik Indonesia Tahun
undangan, citahukum (rechtsidee), serta
1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran
ditransformasi dari Pancasila.
Negara Republik Indonesia). Dalam
pasal 111 ayat (1) dinyatakan bahwa Salah satu model yang unik adalah
pengaturan lebih lanjut mengenai desa hukum tradisi di Bali yang mengenal awig-
ditetapkan dalam Peraturan Daerah awig atau angger-angger yang bermuara
Kabupaten, sesuai dengan pedoman pada proses legislasi dan berkelindan
umum yang ditetapkan Pemerintah dengan hukum positif Indonesia. Awig-
dalam undang-undang ini. Dalam pasal awig adalah perangkat aturan yang
111 ayat (2) dinyatakan bahwa mengatur tatanan kehidupan komunitas
Peraturan Daerah, sebagaimana tradisional Bali, seperti desa pakraman,
dimaksud pada ayat (1), wajib subak, dan sekaa.
mengakui dan menghormati hak, asal- Ada beberapa tonggak sejarah yang
usul, dan adat-istiadat desa. patut dicatat terkait eksistensi awig-awig
(5) Pasal 6 dan Pasal 7 undang-undang sebagai perangkat aturan yang mengatur
Republik Indonesia Nomor 44 tentang tatanan kehidupan penduduk desa
penyelenggaraan Keistimewaan pakraman yang terdiri dari karma desa,
Propinsi Daerah Aceh (Lembaran karma tamiu, dan tamiu (hlm.1). Zaman
Negara Republik Indonesia Tahun dulu ada beberapa istilah yang digunakan
1999 Nomor 172; Tambahan Lembaran untuk menyebut perangkat aturan yang kini
Negara Noor 3898). Dalam Undang- dikenal dengan awig-awig. Ada yang
[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 203
[Jurnal Hukum
[FAKULTAS HUKUM]
JATISWARA]
menyebut simai, dresta, adat, hukum adat, (4) Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
gama, perarem, pangeling-eling, tunggul, Daerah Bali Nomor 10/D.P.R.D.
geguet, dan lain-lain. tanggal 12 Juli 1953 tentang
Pencabutan Peswara tahun 1910 yang
Beberapa produk yang tertulis adalah
diubah dengan Beslit Residen Bali dan
sebagai berikut:
Lombok tanggal 13 April 1927 Nomor
(1) Contract met Tabanan van 20 Januari 532 sepanjang mengenai Asu Pundung
1904 (Afschaffting van Het Mesatia) (perkawinan campur antarwangsa/
tentang Perlarangan Mesatya di kasta) dan Anglangkahi Karang Hulu
Kerajaan Tabanan (20 Januari 1904), dan Penetapan Peswara yang mengatur
Kerajaan Klungkung (23 November hubungan antarcatur wangsa di Bali
1904), Kerajaan Badung (22 Desember dengan argumentasi satu bangsa, satu
1904), dan Kerajaan Bangli (19 Januari bahasa, dan satu negara.
1905).
(5) Hasil Pasamuhan Majelis Pembina
(2) Peraturan (Peswara) tanggal 13 Lembaga Adat (MPLA) Daerah
Oktober 1900 tentang Hukum Waris Tingkat I Bali, Ke-17 tanggal 27
Berlaku bagi Penduduk Hindu Bali dari Februari 1997 tentang Pedoman
Kabupaten Buleleng yang dikeluarkan Pelaksanaan Penunjang Batu. Yang
oleh Residen Bali dan Lombok dengan dimaksud penanjung batu adalah suatu
permusyawarahan bersama-sama syarat (kewajiban adat) yang harus
pedanda-pedanda dan punggawa- dipenuhi umat Hindu yang tidak
punggawa. Pada Pasal 11 terdapat berstatus Krama Desa Adat, apabila
ketentuan tentang pengangkatan anak ingin menggunakan setra (kuburan
sentana peperasan –adopsi anak laki- Hindu), milik desa adat. Penunjang
laki untuk meneruskan garis keturunan. batu tidak dapat ditambah hukuman
(3) Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (pamidanda). Hasil Pasumahan
Daerah Bali Nomor 10/D.P.R.D. tersebut juga mengatur panunjang batu
tanggal 12 Juli 1953 yang berisi dalam hubungan dengan kanoyangan
penghapusan adat yang disebut Manak (pengucilan, penyisihan, atau sanksi
Salah atau Buncing karena sudah tidak adat lain) dan kesuweng mekrama
sesuai lagi dengan keadaan masa itu – (dieksmomunikasikan dari karma desa)
dipandang menyalahi perikemanusiaan serta batas maksimal pembayaran
dan kesehatan. Dalam konsiderasinya penanjung batu.
diperhatikan bahwa beranak sekelamin (6) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
(laki-laki dan perempuan/ hemaprodit) 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman
yang telah terbiasa disebutkan berlaku dan Peraturan Daerah Provinsi Bali
melulu mengenai golongan Sudra Nomor 3 Tahun 2003 tentang
wangsa saja karena menurut paham Perubahan Peraturan Daerah Provinsi
kuno memada mada sang ratu dan Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang
mamanesi negeri. Di samping itu, Desa Pekraman.
bahasa bayi yang baru dilahirkan itu
bersama ibu dan bapaknya harus
dipindahkan dari rumahnya selama 42 C. PENUTUP
hari. Setelah sampai batas waktunya, Setelah dikemukakan upaya
orang tua bayi itu harus membuat acara kodifikasi hukum adat sebagai salah satu
prascita untuk desa yang banyak fase untuk stabilitas dan dinamika
menelan biaya.
204 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]
[Jurnal Hukum
[UNIVERSITAS MATARAM]
JATISWARA]

kodifikasinya, pada bagian akhir tulisan ini ada suasana tidak teratur disorder)
perlu dicermati hal-hal sebagai berikut: sebagaimana yang diilustrasikan
Sudjito dalam tulisannya yang berjudul
(1) Kodifikasi hukum adat niscaya berada
“Chaos Theory of Law: Penjelasan atas
pada nilai kepastian dan perubahan.
Keteraturan dan Ketidakteraturan
Demi menjaga stabilitas hukum harus
dalam Hukum.” Menurutnya, chaos
pasti, tetapi kebiasaan masyarakat terus
adalah sebuah kata yang berasal dari
bergerak sehingga dalam beberapa
bahasa Inggris, Maknanya adalah
konteks harus bersifat dinamis atau
‘keadaan kacau balau.’ Dalam Kamus
plastis.
Besar Bahasa Indonesia kata kacau
(2) Dalam persepektif sosiologi hukum mempunyai banyak arti, yaitu:
upaya kodifikasi merupakan rekaman (a)campur aduk (sehingga tidak
dari akomodasi kepentingan sosial membeda-bedakan lagi); (b) kusut,
untuk menyelenggarakan tertib hukum kalut, tidak karuan; (c) rusuh, tidak
(legal order) di masyarakat. aman, dan tidak tentram; serta (d)
(3) Kodifikasi hukum tersebut tersebut bercampur aduk dengan (tidak dibeda-
akan dibawa ke mana? Apakah hukum bedakan dengan), bertukan dengan.
adat hanya menjadi kenangan dan ‘Kacau balau’ adalah keadaan yang
catatan sejarah norma yang sangat kacau.
bergentayangan tanpa mendapat badan (5) Kerumitan teks hukum mempunyai
dalam tata hukum Indonesia. Tulisan konsekuensi tersendiri mulai dari
ini berangkat dari proposisi bahwa pembentukannya sampai dengan
hukum merupakan teks yang hidup pelaksanaannya. Menurut sistem
pada konteksnya. Dalam konteks hukum yang berlaku di Indonesia saat
keindonesiaan yang terdiri atas ini, pembentukan hukum di Indonesia
kemajemukan teks-teks hukum yang mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 20
diliputi suasana religius, magis, terang, Undang-Undang Dasar 1945 serta
dan tunai yang merupakan asas hukum Undang-Undang Nomor 10 Tahun
asli di Indonesia. Namun, teks-teks 2004 tentang Tata Cara Pembentukan
hukum itu berserakan dan tercecer di Peraturan Perundang-Undangan dan
mana-mana. Beberapa yuris yang Undang-Undang Nomor 12 Tahun
memiliki keteladanan ilmiah dengan 2011 tentang Tata cara Pembentukan
tekun menghimpunnya dalam suatu Peraturan Perundang-undangan. Di
sistematika dengan konsisten agar masa lalu pembentukan hukum di
mudah menemukan teks-teks hukum Indonesia diamanahkan dalam
yang memiliki kategori bidang hukum Penjelasan Umum III Undang-Undang
tertentu menurut perspektif klasik, Dasar 1945 yang dinyatakan bahwa
modern, dan bahkan postmodern sesuai Pancasila yang ditransformasi ke
dengan disiplin atau bidang hukum pokok pikiran negara dan fungsi negara
tertentu. dijadikan Rechtsidee (atau Citahukum),
(4) Penyusunan teks-teks hukum sebenar- baik hukum dasar tertulis (biasanya
nya merupakan upaya untuk membuat peraturan perundang-undangan) mau-
sistem norma yang teratur (cosmos) pun hukum dasar tidak tertulis (adat-
dan menghindarkan suasana ketidak- istiadat atau kebiasaan yang lazim).
aturan (chaos). Dalam realitas memang

[Fakultas Hukum Universitas Mataram] | Jurnal Hukum JATISWARA 205


[Jurnal Hukum
[FAKULTAS HUKUM]
JATISWARA]
DAFTAR PUSTAKA dan Derta Sri Widowati. Bandung:
Ujung Berung, 2012.
Aubert, Vilhelm, ed. Sociology of Law. Vollenhoven, C. van, Suatu Kitab Hukum
New York: Peguin Book, Ltd., Adat untuk Seluruh Hindia
1977. Belanda, [diterjemahkan dari
Dewan Redaksi Een Adatwet-
Black, Henry Chambell. Black’s Law
boektje voor heel Indie]. Jakarta:
Dictionary: Definition of the Terms
Bhratara, 1972.
and Phrases of American and
English Jurisprudence, Ancien, and ---------. Orientasi dalam Hukum Adat
Modern. St. Paul: West Publishing Indonesia. Jakarta: Djambatan,
Co., 1980. 1981.
Cardozo, Benjamin. Growth of The Law. Wigjosoebroto, Soetandyo. Hukum:
Ohio: Yale University, 1980. Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta: Huma, 2002.
Evan, William M. The sociology of Law: A
Social-Stuctural Persepective. New
York: The Free Press, 1980.
Glendon, Marry Ann, Michael W. Gordon,
dan Palulo G. Caroza. Comparative
Legal Traditions. St. Paul: West
Group, 1999.
Ismail, Nurhasan. “Ilmu Hukum dalam
Perspektif Sosiologis: Obyek
Perbincangan Yang Teringgirkan,”
Makalah dalam Kongres Ilmu
Hukum dengan tema “Refleksi dan
Rekonstruksi Ilmu Hukum” Yang
Diselenggarakan oleh Asosiasi
Sosiologi Hukum Indonesia pada
19—20 Oktober 2012 di Semarang.
Schur, Edwin M. Law and Society. New
York: Random House, 1969.
Soekanto, Soerjono. Kedudukan dan
Peranana Hukum Adat di
Indonesia. Jakarta: Kurnia Esa,
1982.
Sudjito. “Chaos Theory of Law: Penjelasan
atas Keteraturan dan Ketidak-
teraturan dalam Hukum.” Dalam
Mimbar Hukum Volume 18 Nomor
2 Juni 2006:159—292.
Unger, Roberto M. Teori Hukum Kritis:
Posisi Hukum dalam Masyarakat
Modern, diterjemahkan Dariyanto

206 Jurnal Hukum JATISWARA | [ Fakultas Hukum Universitas Mataram]

Anda mungkin juga menyukai