Anda di halaman 1dari 62

MAKALAH

OBJEK STUDI ISLAM DAN STUDI ILMU KEISLAMAN

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam

Dosen Pembimbing :

Dr. Zulva Ismawati, M. Pd

Disusun Oleh Kelompok 3 :

1. Masy’aril Nur Mauliddia ( 1860311232033 )


2. Shofi Salsabila ( 1860311232037 )
3. Amalia Zuniar Larasati ( 1860311232053 )

PRODI MANAJEMEN DAKWAH 2B

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH


TULUNGAGUNG

FEBRUARI 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas karunia serta hidayah Nya
kami dapat menuntaskan makalah dengan tepat waktu. Tujuan pembuatan
makalah Studi Qur’an Dan Hadist adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Qur’an dan Hadist dan untuk menambah wawasan para pembaca pada
ilmu kajian islam.
Terima Kasih kami ucapkan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Aziz, M.Pd.I. selaku Rektor Universitas
Islam Negri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
2. Bapak Prof. Dr. Akhmad Rizqon Khamami L.c M.A, selaku Dekan
Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) Universitas Islam Negri
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
3. Bapak Amrullah Ali Moebin S.Pd., M. I. Kom, Selaku Ketua Jurusan
Dakwah Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung
4. Ibu Dr. Mutrofin, M.Fil. l, selaku Koordinator Prodi Manajemen Dakwah
Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah

5. Ibu Dr. Zulva Ismawati, M. Pd, selaku dosen pembimbing mata kuliah
Studi Islam

6. Seluruh civitas Akademika Universitas Islam Negeri Sayyid Ali


Rahmatullah Tulungagung yang ikut andil dalam memberikan fasilitas
dan kelancaran dalam penyusunan makalah ini.
7. Teman teman dan semua pihak yang telah membantu dalam
terselesaikan nya penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini sangat
jauh dari kata sempurna, di karenakan terbatasnya pengetahuan dan pengalaman
yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak sangat di harapkan. Akhir kata semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak
lain yang berkepentingan pada umumnya.
Tulungagung, 15 Februari 2024
Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
C. Tujuan Makalah ................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 4

A. Objek Studi Islam ........................................................................................................ 4


1. Akidah (Masy’aril Nur Mauliddia) ...................................................................... 5
2. Syari’ah ................................................................................................................ 11
3. Akhlak (Shofi Salsabila) ...................................................................................... 14
B. Studi Ilmu Keislaman .................................................................................................. 18
1. Studi Ilmu Hadist ................................................................................................. 18
2. Studi Ilmu Fiqih (Amalia Zuniar Larasati) ........................................................... 29
3. Studi Ilmu Tasawuf .............................................................................................. 41

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 54

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 54
B. Saran ..................................................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 56

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara terminologis, Studi Islam adalah proses memperoleh pemahaman yang
mendalam tentang aspek-aspek agama Islam, prinsip-prinsip ajaran Islam, sejarahnya,
serta implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengkaji dimensi-dimensi
tersebut, diperlukan pendekatan metodologis yang mampu memberikan wawasan
operasional dan konseptual tentang Islam.1 Maka perlu adanya integrasi antara
pemahaman teoritis dan aplikasi praktis dalam Studi Islam. Ini mencakup pengembangan
metode dan pendekatan yang tidak hanya mendalam secara konseptual tetapi juga dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Selain itu, pentingnya pendekatan
interdisipliner juga dapat diperkenalkan, yang melibatkan kerjasama antara studi agama,
sejarah, filsafat, sosiologi, dan bidang lainnya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
holistik tentang Islam. Dengan demikian, Studi Islam tidak hanya menjadi bidang
akademik, tetapi juga menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk menghadapi tantangan
dan menemukan solusi dalam kehidupan praktis umat Islam.
Pembagian Studi Islam berkaitan erat dengan Ilmu Akidah, Syari’ah, Akhlak, Hadist,
Fiqih, dan Tasawuf. Namun. Metodologi Studi Islam bertujuan untuk mempelajari
pendekatan dan metode dalam memahami Islam, bukan isi materinya.2 Dengan kata lain,
pembahasan tentang Akidah, Syari’ah, Akhlak, Hadist, Fiqih, dan Tasawuf dimaksudkan
untuk memahami cara mempelajari, bukan untuk mendalami konten-kontennya.
Aqidah adalah fondasi utama dalam hal iman dan keyakinan, terutama dalam hal-hal
yang tidak terlihat atau dirasakan. Sementara itu, Shari'ah adalah sistem aturan yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta dan antara manusia dengan
sesama makhluknya. Akhlak-tasawuf berkaitan dengan nilai-nilai yang
mempersembahkan manusia sebagai individu yang sempurna.
Pada kenyataannya mahasiswa masih belum bisa mengaplikasikan ilmu – ilmu tersebut
pada kehidupakan sehari – harinya, contohnya saja masih ditemukannya informasi atau
kasus bahwasannya terjadi kemerosotan moral dan etika pada mahasiswa. Mahasiswa saat

1
Syafaq, H., Tohari, A., Nadhifah, N. A., Hanifah, U., & Candra, M., Pengantar Studi Islam, (Surabaya:
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2021), hal. 22
2
Hakim, A. A., & Mubarok, J. Metodologi studi islam. Rosda. 2017 hal. 2

1
ini telah menunjukkan kurangnya rasa hormat terhadap dosen, melanggar kode etik
mahasiswa, melibatkan diri dalam pelanggaran seperti berpakaian tidak sesuai norma
kampus, merokok tanpa aturan, terlibat dalam tindakan anarkis yang mengakibatkan
ketidaknyamanan di lingkungan kampus, dan melakukan vandalisme atau merusak
fasilitas kampus, menyebabkan kerugian.
Dengan demikian, mahasiswa diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
mengimplementasikan Obyek dari Studi Islam. Mahasiswa secara praktis memiliki sikap
dan pandangan yang luas tentang Islam dan dapat menghargai pihak lain yang berbeda
pendapat.
Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak orang yang masih belum mempelajari,
memahami, bahkan mempraktikkan ilmu – ilmu Akidah, Syari’ah, Akhlak, Hadist, Fiqih,
dan Tasawuf.

B. Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang dapat dijelaskan pada makalah ini, berdasarkan latar
belakang diatas, sebagai berikut :
1. Bagaimana Penjelasan Akidah dalam Objek Studi Islam?
2. Bagaimana Penjelasan Syari’ah dalam Objek Studi Islam?
3. Bagaimana Penjelasan Akhlak dalam Objek Studi Islam?
4. Apa Saja Yang Dibahas dalam Studi Ilmu Hadist?
5. Apa Saja Yang Dibahas dalam Studi Ilmu Fiqih?
6. Apa Saja Yang Dibahas dalam Studi Ilmu Tasawuf?

C. Tujuan Makalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan pembahasan yang akan dibahas pada
makalah ini, antara lain :
1. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami serta mempraktekan Akidah
dalam Objek Studi Islam.
2. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami serta mempraktekan Syari’ah
dalam Objek Studi Islam.
3. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami serta mempraktekan Akhlak
dalam Objek Studi Islam.
4. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami serta mempraktekan Studi
Ilmu Hadist.
2
5. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami serta mempraktekan Studi
Ilmu Fiqih.
6. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui, memahami serta mempraktekan Studi
Ilmu Tasawuf.

3
BAB II

PEMBAHASAN

Nama : Masy’aril Nur Mauliddia

Nim : 1860311232033

A. OBJEK STUDI ISLAM


Pada saat Al - Qur'an membahas mengenai agama, konsep yang di tekan kan ialah kata
Din, yang dimana kata tersebut berasal dari akar kata ‫ن‬, ‫ي‬, ‫د‬, yang berkaitan dengan istilah
seperti ‫ َمدِينَة‬،‫دَ ْي ٌن‬, dan kata - kata serupa yang memiliki akar yang sama.3 Maka pada Al -
Qur’an penggunaan kata Din tersebut untuk menunjukkan esensi agama yang mencakup
tanggung jawab dan suatu kewajiban, yang dimana dibuktikan dengan adanya keterkaitan
konsep dengan istilah ‫ ( َمدِينَة‬kota ) dan ‫ ( دَ ْي ٌن‬hutang ).
Istilah Al-Din mencakup makna seperti “tanggungan”, “penundukan diri sesuai dengan
perintah”, dan “menciptakan sifat yang lebih manusiwi”, yang dimana bertentangan
dengan sifat binatang, namun membuat manusia lebih menghargai kemanusiaan”. 4 Maka
Al - Din ini sangat bertentangan dengan naluri atau sifat yang lebih primordial seperti
binatang, namun secara keseluruhan sangatlah membantu manusia dalam
memperjuangkan nilai - nilai kemanusiaan.
Disini, "keadaan berhutang" menggambarkan kesadaran akan hutang kita terhadap
Allah SWT, yang telah menciptakan kita dari ketiadaan menjadi ada, serta mengenai
kesadaran akan hutang kita terhadap - Nya dalam hal kebijaksanaan, kebaikan, dan
kekuatan. Maka dari itu Allah menurunkan Islam sebagai Din.
Islam sebagai Din ini di turunkan Allah dengan memerintah Malaikat Jibril untuk
melihatkan kepada manusia tiga elemen yang saling melengkapi untuk mendapatkan
kesempurnaan, yaitu Iman dan keyakinan yang terdapat dalam hati, diungkapkan melalui
perkataan, dan diperkuat dengan tindakan nyata dalam melakukan amal shaleh.5 Dari tiga
elemen tersebut jika kita aplikasikan didalam kehidupan sehari - hari, kita dapat

3
Syafaq, H., Tohari, A., Nadhifah, N. A., Hanifah, U., & Candra, M., Pengantar Studi Islam, (Surabaya:
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2021), hal. 33
4
Ibid, hal. 33
5
Ibid, hal. 34

4
menyempurnakan agama Islam yang kita miliki. Tiga elemen tersebut didalam ajaran
Islam dikelompokkan menjadi: Akidah, Syariah, Dan Akhlak.

1. AKIDAH
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Akidah merujuk pada keyakinan
dasar atau prinsip kepercayaan. Jika dilihat dari perspektif Bahasa Arab, kata
Akidah berasal dari aqada, ya’qidu, aqdan, aqidatan yang mengandung makna
ikatan, simpul, dan komitmen.6 Menurut Asy - Syarif Al - Jurjani definisi Akidah
secara umum mengungkapkan bahwa al – aqa’id (jamak dari akidah) merujuk
pada sesuatu yang ditekankan dalam kepercayaan itu sendiri tanpa memerlukan
tindakan konkret.7 Sedangkan Akidah menurut istilah ialah hasil akhir dari
keyakinan yang melekat, yang berkembang dalam kekuatan batin seseorang dan
tidak dicampuri dengan keraguan atau prasangka, serta memengaruhi perilaku dan
sikap individu tersebut.8 Sehingga dapat disimpulkan bahwasannya Akidah
merupakan sebuah kepercayaan atau bahkan keyakinan yang berkembang pada
jiwa manusia yang berdampak pada perilaku manusia itu sendiri.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Akidah (aqidah) memiliki makna keyakinan
yang tertanam dalam hati. Kata Akidah ini juga berhubungan dengan kata al-'agdu
yang memiliki arti yang serupa, seperti:9 Ikatan (ar-rabt), Pengesahan (al-Ibram),
Penguatan (al-ihkam), Kekokohan (at-tawatstsuq), Pengikatan dengan kuat (al-
syaddu bi quwwah), Pengokohan (At-tamassuk), dan penetapan (al-itsbat). Dengan
demikian, Akidah juga dapat dikatakan sebagai Iman atau Ilmu Tauhid karena
pengartiannya yang saling berhubungan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya
kesepakatan para ulama. Kesepakatan tersebut berisi tentang definisi akidah
menurut mereka, yang berbunyi :10

ْ َ ‫ أ‬، َ‫صدِيق َو ْال َج ْزم د ْونَ شَك‬


‫ي اإليمان‬ ْ َّ ‫ي الت‬
َ ‫ فَ ِه‬،‫ال َعقِيدَة ِب َم ْعنَى ا ِال ْعتِقَاد‬

6
Bushtomi, Y, Objek Kajian Islam Akidah, Syariah, Akhlaq, (Salimiya: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam,
2023), hal. 74
7
Asy-Syarif Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitâb At-Ta’rifat, (Jakarta: Dâr Al-Kutub Al – Islâmiyyah, 2012),
dalam Anshory, M. I., Bukhari, D. S., & Bachtiar, T. A, Pemurnian Akidah Dalam Pendidikan Islam: Telaah
Atas Kitab Bonang Karya Sunan Bonang. (Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam), hal. 167
8
Frarera, A. N., Mariyati, M., Manalu, S. R., & Sinaga, A. I, Metode Studi Akidah dan Akhlak, Vol. 5, No. 3,
(Jurnal Dirosah Islamiyah, 2023), hal. 690
9
Syafaq, H., Tohari, A., Nadhifah, N. A., Hanifah, U., & Candra, M., Pengantar Studi Islam, (Surabaya:
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2021), hal. 35
10
Ibid, hal. 35

5
Artinya: "Meyakini, yakni membenarkan dan menetapkan tanpa ragu suatu
keimanan".

Dengan demikian, ayat tersebut mengarah pada pentingnya keyakinan yang kokoh
dan tanpa keraguan dalam menjalankan akidah. Dengan memahami bahwa akidah
adalah tentang meyakini dan menetapkan keimanan tanpa ragu, kita bisa menyadari
bahwa kekuatan keyakinan yang teguh merupakan fondasi utama dalam
memperkuat iman seseorang. Ini juga menyoroti pentingnya untuk memahami dan
mendalami keyakinan kita dengan mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam
tentang ajaran agama yang dianut.

Pengertian akan Akidah tersebut juga saling berhubungan dengan pengertian


Iman, yang dimana berbunyi :11

ِ ‫ع َمل بِ ْال َج َو ِار‬


‫ح‬ َ ‫ان َو‬
ِ ‫س‬َ ‫ب َوإِ ْق َرار بِ ْال ِل‬
ِ ‫ا ْعتِقَاد بِ ْالقَ ْل‬: ‫َوش َْرعًا‬

Artinya: "Meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan merealisasakan


dengan amal perbuatan". Maka gagasan diatas, menggarisbawahi hubungan erat
antara pemahaman tentang akidah dan iman dalam praktik keagamaan. Dengan
memahami bahwa akidah adalah keyakinan yang tanpa ragu, dan iman adalah
meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mewujudkan dengan
perbuatan, kita menyadari bahwa kedua konsep tersebut saling melengkapi. Hal ini
menyoroti pentingnya menerapkan keyakinan dalam segala aspek kehidupan, baik
dalam pikiran, kata-kata, maupun tindakan. Dengan memahami dan
mengimplementasikan konsep ini, seseorang dapat memperkuat ikatan spiritualnya
dengan Tuhan dan meningkatkan kualitas kehidupan secara menyeluruh.

a. Prinsip - Prinsip Akidah


Dalam Islam, Akidah merupakan inti dari pesan yang dibawa para Nabi,
yaitu mengoreksi keyakinan yang keliru sebelum datangnya Islam,
sehingga kebenaran seseorang dapat tercermin dalam akidahnya. Akidah
merupakan hal yang mendasar yang dimana didalamnya harus memiliki
prinsip - prinsip Akidah Islamiyah yang benar dalam berkehidupan sehari -

11
Zahri, H. A, Pokok-Pokok Akidah Yang Benar, (Deepublish.Zahri, H. A, 2019).

6
hari sebagai panduan untuk menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.12
Terdapat beberapa prinsip - prinsip dasar Akidah, yakni:13
1) Akidah berdasarkan keyakinan tentang keesaan Allah, sehingga
semua tindakan Tauhid hanya ditujukan kepada - Nya, dan Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik karena bertentangan dengan
prinsip - prinsip Akidah Islam.
2) Seseorang harus terus mempelajari dan menerapkan akidah
sepanjang hidupnya, serta mengajarkannya kepada orang lain.
3) Akal manusia digunakan untuk memperkokoh keimanan pribadi
seseorang, bukan untuk mencari akidah, karena akidah Islamiyah
sudah dijelaskan dalam Al - Qur'an dan hadist.
Maka secara garis besar prinsip - prinsip tersebut melarang
tercampurnya Akidah dengan keraguan, menganjurkan kita untuk
mempelajari serta mengamalkan keimanan kita, dan memperkokoh
keimanan kita dengan tidak melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kebenaran.
b. Kedudukan Akidah
Dalam Islam, akidah memiliki posisi yang sangat penting, sehingga
sebagian besar isi Al - Qur'an dan Sunnah membahas tentang akidah dan
berbagai aspeknya. Dalam pembahasan ini, akan dijelaskan tiga fungsi
akidah, yaitu sebagai berikut:14
1) Akidah Sebagai Dasar Setiap Amal
Akidah adalah pondasi dari segala perbuatan manusia. Tanpa
iman, amal perbuatan mereka tidak bernilai dan mereka akan
termasuk dalam golongan yang rugi, karena dasar dari amal
adalah iman. Dimana telah di jelaskan didalam Surah Al - Asher,
Surah An - Nahl ayat 97, dan Surah Az - Zumar ayat 65.
2) Akidah Sebagai Tujuan Dakwah Para Nabi Dan Rasul
Akidah adalah persoalan yang sangat penting karena
penerimaan amal manusia bergantung pada kebenaran akidah.
Oleh karena itu, sebelum menyebarkan ajaran agama, para Nabi

12
Bushtomi, Y, Objek Kajian Islam Akidah, Syariah, Akhlaq. (Salimiya: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam,
2023), hal. 74
13
Ibid , hal. 74
14
Zahri, H. A, Pokok-Pokok Akidah Yang Benar, (Deepublish.Zahri, H. A, 2019), hal. 5

7
dan Rasul melakukan pemurnian akidah terlebih dahulu. Yang
dimana telah dibuktikan didalam surah An - Nahl ayat 36, yang
berbunyi:15

‫علَ ْي ِه الض َََّللَة‬ ْ َّ‫ّللا َومِ ْنهم ِم ْن َحق‬


َ ‫ت‬ َّ ‫ّللا َوا ْجتَنِبوا ال‬
َّ ‫طاغوتَ فَمِ ْنهم ِم ْن َهدَى‬ َ َّ ‫َولَقَدْ بَعَثْنَا فِي ك ِل أ َّمة َّرسوالً أ َ ِن اعْبدوا‬
َ‫عاقِبَة ْالمك َِذ ِبين‬ َ ‫ض فَانظروا َكي‬
َ َ‫ْف َكان‬ ِ ‫فَسِيروا فِي ْاْل َ ْر‬
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada
tiap- tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja),
dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-
orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang- orang yang mendustakan (rasul-
rasul).”
3) Akidah Membawakan Kedamaian Dan Kegembiraan, Baik
Didunia Maupun Diakhirat
Orang dengan keyakinan yang kokoh dan Akidah yang benar
akan meraih kebaikan sepanjang hidupnya, sementara mereka
yang kurang memiliki keyakinan dan Akidah yang benar akan
mengalami kesulitan dan kesialan. Yang dimana telah dibuktikan
dengan adanya Surah Al - Baqarah ayat 2 - 5, Surah Ibrahim ayat
24 - 25, Dan Surah Yusuf ayat 87.
Dari uraian diatas, dapat disumpulkan bahwasannya dalam Islam,
Akidah memiliki posisi yang sangat penting dan menjadi dasar
utama dari setiap amal manusia. Para nabi dan rasul pun
menjadikan pemurnian Akidah sebagai tujuan utama dakwah
mereka sebelum menyebarkan ajaran agama. Akidah yang benar
membawa kedamaian dan kegembiraan, baik di dunia maupun di
akhirat, sementara yang kurang memiliki keyakinan akan
mengalami kesulitan dan kesialan. Dengan demikian,
memperkuat dan memperdalam akidah merupakan kunci untuk
menjalani kehidupan yang bermakna dan penuh berkah.

15
Didiek A. S, M.M., Ayoeb Amin, LIS,M.Ag., & Abdullah Arief Cholil, S. H.,M. Ag, Studi Islam II, ( Jakarta :
PT. Raja Grafindo, 2015 ), hal. 8

8
c. Sumber Akidah
Saat membicarakan Akidah Islam, kita menghubungkannya dengan
rukun iman yang keenam, karena semua konsep tersebut tidak dapat
diverifikasi secara langsung melalui penca indra manusia. Kecuali Allah
dan Rasulullah, tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allah, oleh
karena itu, sumber utama untuk menetapkan Akidah adalah Al-Qur’an
dan Hadis.16 Keyakinan dalam Islam bersandar pada Al-Quran dan
Hadist sebagai sumber utama. Informasi krusial hanya dapat dipahami
melalui dua sumber ini. Al-Quran memberikan pandangan menyeluruh
tentang kehidupan manusia.17 Dengan demikian, penting bagi umat
Islam untuk menggali dan memahami Al-Qur'an dan Hadis untuk
memperkuat akidah dan keyakinan mereka.
Ayat 103 dari Surah Ali Imran menjelaskan bahwa Allah telah
memberikan jaminan bagi mereka yang mematuhi Al-Quran dan Sunnah
Rasul-Nya, yang berbunyi:18

‫ّللا َجمِ ي ًعا َو َال تَف ََّرقوا‬


ِ َّ ‫َصموا ِب َح ْب ِل‬
ِ ‫َوا ْعت‬

Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)


Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,” Dalam kutipan surah diatas,
menunjukan bahwasannya pentingnya untuk bersatu dalam memegang
teguh ajaran agama Allah dan menjauhi perpecahan. Ini menyoroti
perlunya persatuan umat dalam memahami dan mengamalkan ajaran
agama dengan benar, serta menolak perpecahan yang dapat
melemahkan kekuatan umat.

Pada surah Thaha ayat 123 juga dijelaskan, yang dimana


berbunyi:19

ْ
‫ضل َو َال يَ ْشقَى‬ َ َ‫فَإِ َّما يَأتِيَنَّكم َمنِى هدًى فَ َم ِن اتَّبَ َع هد‬
ِ َ‫اي فَ ََل ي‬

Artinya: "Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada - Ku, lalu


barang siapa yang mengikut petunjuk - Ku, ia tidak sesat dan tidak

16
Ibid, hal 11
17
Frarera, A. N., Mariyati, M., Manalu, S. R., & Sinaga, A. I, Metode Studi Akidah dan Akhlak, Vol. 5, No. 3,
(Jurnal Dirosah Islamiyah, 2023), hal. 693
18
Zahri, H., Pokok-Pokok Akidah Yang Benar, (Deepublish.Zahri, H. A, 2019), hal. 12
19
Ibid, hal. 12

9
akan celaka."Dari kutipan kedua menekankan bahwa petunjuk yang
diberikan oleh Allah adalah jalan yang benar, dan siapa pun yang
mengikuti petunjuk tersebut akan mendapat keselamatan dan
kebahagiaan. Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan dan
menghadapi tantangan, penting bagi umat Islam untuk bersatu dalam
memegang teguh ajaran agama dan mengikuti petunjuk yang diberikan
oleh Allah.

d. Korelasi Antara Akidah Dan Islam


Keyakinan dan Islam adalah sepasang yang tak terpisahkan. Mereka
seperti dua sisi dari satu koin. Tidak ada Islam tanpa keyakinan, dan
tidak ada keyakinan tanpa Islam. Namun, hal ini tidak berarti bahwa
Islam sama dengan keyakinan dan sebaliknya.
Ketika Iman dan Islam disebutkan bersama - sama, ini mengacu pada
aspek - aspek batiniah seperti kepercayaan kepada Allah, malaikat, hari
akhir, dan lain- lain untuk iman. Sedangkan untuk Islam, mengacu pada
aspek - aspek lahiriah seperti syahadat, sholat, puasa, dan sebagainya.20
Dengan demikian kesimpulan dari pembahasan tersebut adalah bahwa
ketika iman dan Islam disebutkan bersama-sama, ini menyoroti
perbedaan antara aspek batiniah dan lahiriah dalam konteks keagamaan.
Iman mengacu pada keyakinan dalam hati terhadap hal-hal seperti Allah,
malaikat, hari akhir, dan aspek-aspek lainnya yang bersifat spiritual.
Sementara itu, Islam merujuk pada ekspresi lahiriah dari iman
tersebut, yang melibatkan praktik-praktik seperti syahadat, sholat, puasa,
dan kewajiban-kewajiban lainnya yang terlihat secara fisik. Kedua
konsep ini saling melengkapi, dengan iman sebagai landasan batiniah
dan Islam sebagai pengamalan nyata dari iman tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
Namun, ketika Iman disebutkan secara terpisah tanpa menyertakan
Islam, hal itu mencakup makna Islam dan tidak dapat dipisahkan
darinya. Sebab, Iman secara hakiki adalah keyakinan, perkataan, dan
tindakan. Demikian pula, ketika Islam disebutkan secara terpisah tanpa
menyertakan Iman, hal itu mencakup makna Iman dan tidak boleh

20
Ibid, hal. 13

10
dipisahkan darinya. Karena Islam pada dasarnya adalah penyerahan diri
secara lahiriah dan batiniah kepada Allah SWT, dengan mengikuti
semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.21 Dengan
demikian dapat diartikan bahwasannya Iman dan Islam merupakan satu
kesatuan yang dimana keduanya tetap mencakup satu sama lain
walaupun keduanya dipisahkan.

2. SYARI’AH
Hukum Islam berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti "jalan yang
lurus", sedangkan secara etimologis berarti “jalan tempat keluarnya
air untuk minum”.22 Menurut para ahli hukum Islam fuqaha, syari'ah atau syari'at
adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui rasul - Nya untuk hamba - Nya,
agar mereka mematuhinya berdasarkan keyakinan, baik dalam hal akidah,
amaliyah (ibadah dan muamalah), maupun akhlak.23 Dari konsep syari'at yang
telah dijelaskan, kita memperoleh istilah Tasyri' yang mengacu pada pembuatan
peraturan hukum, baik yang bersumber dari wahyu/agama (tasyri samawi) maupun
dari pemikiran manusia (tasyri wadh'i).24 Dengan demikian, Hukum Islam atau
Syari'ah merupakan panduan bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan yang
sesuai dengan ajaran agama dan kehendak Allah.
a. Sumber Syari’ah Islam
Terdapat dua sumber Syariah, yaitu Al - Qur'an dan As - Sunnah, yang
dianggap sebagai Hukum Ilahi. Menurut ajaran Islam, Al - Qur'an
merupakan firman Allah yang bersifat tidak dapat diubah, dan sebagian
besar aturan moral dalam Al - Qur'an memerlukan persetujuan kolektif,
hanya sekitar 80 ayat Al - Qur'an yang mengandung konsep hukum.25

َ َّ ‫ّللا َو ْاليَ ْو َم ْاْلخِ َر َوذَك ََر‬


َ ‫ّللا‬ َ َّ ‫سنَةٌ ِل َمن َكانَ يَ ْرجوا‬ ِ َّ ‫لَقَدْ َكانَ لَك ْم فِي َرسو ِل‬
َ ‫ّللا أس َْوة ٌ َح‬

21
Ibid, hal 14
22
Syafaq, H., Tohari, A., Nadhifah, N. A., Hanifah, U., & Candra, M, Pengantar Studi Islam, (Surabaya:
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2021), hal. 39
23
Purkon, A. Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam, (Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah, 2001),
hal. 13.
24
Muhammad Sallam Madkur, Al-Madkhal lil Fiqih Al-Islamy, (Cairo: Dar An-Nahdhah Al-Arabiyah, 1960),
hlm. 9
25
Corinna Standke, Sharia - The Islamic Law (GRIN Verlag, 2008), dalam Mudawam, S. (2012). Syari'ah-
Fiqih-Hukum Islam: Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer. Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan
Hukum, 46(2). hal. 409

11
‫َكثِيرا‬

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri


teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rabmat)
Allah dan (kedatangan) bari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Dengan demikian, al - Qur'an dan as - Sunnah dianggap sangat penting


sebagai dua sumber utama Syariah dalam Islam. Al - Qur'an dipandang
sebagai firman Allah yang tidak dapat diubah, sementara as - Sunnah
merupakan praktik dan ajaran Nabi Muhammad yang menjadi teladan
bagi umat Islam. Meskipun Al - Qur'an mengandung banyak aturan
moral yang memerlukan persetujuan kolektif, namun hanya sebagian
kecil ayat yang secara spesifik mengandung konsep hukum. Hadis
yang disebutkan juga menunjukkan pentingnya mengikuti teladan
Rasulullah dalam menjalani kehidupan sehari - hari sebagai bagian
dari ajaran Islam.

b. Bentuk - Bentuk Syari’at


Berdasarkan obyek penerapannya, para ulama membagi tasyri' menjadi
dua jenis:26
1) Tasyri’ Samawi
Tasyri' Samawi merupakan penegakan hukum yang disahkan secara
langsung oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Al - Qur'an dan Sunnah.
Aturan - aturan ini bersifat kekal dan tidak berubah karena hanya Allah
yang memiliki kewenangan untuk mengubahnya.
2) Tasyi’ Wadl’i
Tasyri' wadl'i adalah pengaturan hukum yang dibuat oleh para mujtahid.
Keputusan hukum yang dihasilkan dari kajian mereka tidak bersifat
absolut, melainkan dapat berubah karena dipengaruhi oleh pemikiran
rasional para ulama yang terkadang terpengaruh oleh pengalaman
akademis mereka serta lingkungan sosial dan dinamika budaya
di sekitar mereka.

26
Syafaq, H., Tohari, A., Nadhifah, N. A., Hanifah, U., & Candra, M, Pengantar Studi Islam, (Surabaya:
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2021), hal. 39

12
Dengan demikian, Tasyi’ Samawi merupakan bentuk penerapan yang
mutlak dengan bersumber dari Al - Qur’an dan Sunnah. Sedangkan
Tasyi’ Wadl’i merupakan bentuk penerapan yang dapat berubah sesuai
dengan konteks sosial dan budaya.

c. Aspek – Aspek Hukum Kategori Syari’ah


Dalam sebuah Syari’ah terdapat aspek hukum yang didalamnya terdapat
kategori Syari’ah, yang dimana didalamnya memuat aturan - aturan
hubunga, yakni:27
1) Ubudiyah
Konsep Ubudiyah dalam Islam, yang merupakan aturan atau
tata cara yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah.
Ini mencakup aspek ibadah, ketaatan, dan pengabdian kepada
Allah dalam segala aspek kehidupan, seperti shalat, puasa, zakat,
dan lainnya. Konsep ini menekankan pentingnya mengakui
keesaan Allah, mentaati perintah - Nya, dan menghindari segala
bentuk penyembahan selain Allah.
2) Mu’amalah / Ijtima’iyyah
Muamalah Atau Ijtima'iyyah dalam Islam, yang merupakan
aturan atau tata cara yang mengatur hubungan antara manusia
dengan sesama manusia. Ini mencakup berbagai aspek interaksi
sosial dan transaksi dalam kehidupan sehari - hari, seperti
perdagangan, jual - beli, pinjam - meminjam, perkawinan, dan
lainnya. Konsep ini menekankan pentingnya menjaga hubungan
yang adil, menghormati hak - hak sesama manusia, serta
mempromosikan keadilan, kesetaraan, dan kerjasama
dalam masyarakat.
Menurut Rifyal Ka'bah, perkembangan hukum Islam dapat
dibagi menjadi enam fase yang memiliki karakteristik
tersendiri:28

27
Syafaq, H., Tohari, A., Nadhifah, N. A., Hanifah, U., & Candra, M., Pengantar Studi Islam, (Surabaya:
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2021), hal. 41
28
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, hal. 51

13
a) Fase kerasulan Nabi Muhammad di mana semua aspek
hukum Islam merujuk langsung kepada Nabi sendiri.
b) Fase para sahabat Nabi yang senior, dari masa setelah
kematian Nabi hingga akhir periode Khulafa' rasyidin.
c) Fase para sahabat Nabi yang junior, dari masa dinasti
Umayyah hingga sekitar satu abad setelah hijrah.
d) Fase di mana fiqh menjadi disiplin ilmu tersendiri, mulai
dari awal abad kedua Hijriah hingga akhir abad ketiga.
e) Fase di mana terjadi perdebatan di antara para fuqaha'
mengenai berbagai masalah hukum, dari awal abad
keempat Hijriah hingga akhir masa dinasti 'Abbasiyyah
dan penaklukan Tartar pada abad ketujuh.
f) Fase taqlid, dari periode setelah kejatuhan dinasti
'Abbasiyyah hingga masa kini.
Dengan sejarah hukum Islam dapat dibagi menjadi enam
fase yang berkembang dari masa kerasulan Nabi
Muhammad hingga era taqlid saat ini. Setiap fase
memiliki karakteristik dan dinamika tersendiri yang
mempengaruhi evolusi hukum Islam dari masa ke masa.

Nama : Shofi Salsabila

NIM : 1860311232037

3. AKHLAK
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari Khuluqun yang menurut
bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.29 Kata akhlak juga
berasal dari kata khalaqa atau Khalqun, artinya kejadian, serta erat hubungannya
dengan khaliq, artinya pencipta dan makhluq, artinya yang diciptakan.30 Akhlak
mencerminkan bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam kehidupan
sehari-hari.

29
H.A Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hal. 11
30
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Cetakan ke-I, hal. 13

14
Menurut Sidi Gazalba, akhlak adalah tingkah laku, tabiat, perangai, peri-
kemanusiaan, kebiasaan kehendak atau kehendak yang dibiasakan. Akhlak dalam
ajaran Islam dibentuk oleh Rukun Islam dan Rukun Iman melalui proses Ihsan,
Ikhlas, dan Taqwa dan ia melahirkan amal saleh.31 Al-Ghazali menyatakan Akhlak
adalah sikap dalam jiwa yang menghasilkan perbuatan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Perbuatan baik dan terpuji, maka itu
disebut sebagai akhlak yang baik, begitu juga sebaliknya.32 Menurut ibnu Manzur,
akhlak pada hakikatnya adalah dimensi medalam, tersembunyi manusia yang
berkenan dengan jiwa, sifat, dan karakteristiknya secara khusus, yang baik maupun
yang buruk.33 Dari beberapa pengertian akhlak diatas, saya memahami bahwa
akhlak adalah suatu sifat yang ada dalam jiwa seseorang sejak lahir, bersifat
spontan dan bebas dari pemikiran. Sifat-sifat yang dihasilkan dari perbuatan baik
disebut akhlak mulia, sedangkan perbuatan buruk disebut akhlak tercela.

a. Macam – Macam Akhlak


Akhlak terbagi dalam dua macam yaitu, akhlak terpuji atau akhlak
Mahmudah dan akhlak tercela atau akhlak Mazmumah. Berikut penjelasannya.
1) Akhlak Mahmudah (Akhlak Terpuji)
Akhlak Mahmudah atau disebut juga akhlakul karimah. Akhlakul
karimah berasal dari Bahasa Arab yang berarti akhlak yang mulia. Akhlakul
karimah biasanya disamakan dengan perilaku atau perbuatan terpuji.34
Ketika kita belajar tentang moral, kita menemukan banyak sifat terpuji
yang harus dipahami, diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari seperti yang di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satu misi
yang diutus Rasulullah kepada umatnya adalah memperbaiki akhlak,
sehingga sifat-sifat terpuji menjadi identitas keimanan seseorang.35 Maksud
dari kalimat tersebut yaitu, seseorang yang menunjukkan sifat terpujinya
berarti dia mengamalkan ajaran islam.

31
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Buku IV (Pengantar Teori Nilai), (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 282
32
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 99.
33
Jamaluddin Abdul Fadal Muhammad bin Makram Ibnu Manzil Al-Ansariyyi Al-Ifriyyi, Lisanul Arab, Jilid X,
cet. 1, (Beirut: Darul Fikr, 2003/1424), dalam Dr. Hj. Siti Rohmah, M.A, Akhlak Tasawuf, (Pekalongan : NEM -
Anggota IKAPI. 2021) hal. 1
34
Helmy Juliansyah dan Muhyani, Hubungan antara Akhlak dengan Soft Skill Siswa di SMA Negeri 1 Kota
Bogor, (Reslaj: Religion Education Social Laa Roiba Journal Volume 4 Nomor 2.2022). hal. 163
35
Damanhuri, Akhlak Tasawuf (Aceh: Yayasan Pena Banda Aceh, 2010). hal, 183.

15
Berdasarkan firman Allah SWT yaitu :

”Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan perbanyaklah mengingat Allah”.36 Ayat
tersebut mengandung makna bahwa dalam diri Rasulullah terdapat contoh
yang baik bagi mereka yang berharap akan mendapat rahmat dari Allah dan
menghadapi hari kiamat. Rasulullah banyak menyebut nama Allah,
menunjukkan keteladanan, dan menjadi panutan bagi mereka yang memiliki
keyakinan dan harapan kepada Allah serta menyadari adanya hari kiamat.
Akhlak Mahmudah terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai
berikut:
a) Akhlak Terhadap Allah
Akhlak terhadap Allah di antaranya sebagai berikut:
(1) Tauhid
Yaitu mempertegas keesaan Allah, atau mengakui bahwa
tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dzat, Sifat, dan Asma
Allah.37 Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud akhlak kepada Allah ialah perbuatan yang harus
dilakukan manusia sebagai makhluk yang diciptakan-Nya.
(2) Beriman dan Bertakwa Kepada Allah
Beriman itu mempercayai dalam hati dan pikiran dengan
bersungguh-sungguh memahami wujud-Nya, kesempurnaan,
keagungan, keindahan, perbuatan ilmu dan kebijaksanaan,
nama- nama dan sifat-sifat-Nya. Kemudian iman itu
terimplementasikan dalam perbuatan dan semua aktivitas, sikap
dan tindakannya dengan memelihara dan melaksanakan hak-hak
nya yang absolut yakni mengesakan-Nya.38 Akhlak terhadap
Allah berarti melibatkan ketaatan dan ketakwaan terhadap-Nya.
Ini mencangkup ibadah, doa dan perilaku yang mencerminkan
ketaatan terhadap ajaran-Nya dalam kehidupan sehari- hari.
36
Quran, Halimah, (Bandung : Penerbit Marwah, 2009), Q.S Al- ahzab 33: 21, hal. 420
37
Helmy Juliansyah dan Muhyani, Hubungan antara Akhlak dengan Soft Skill.....hal. 164
38
Ibid. hal. 164

16
b) Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Akhlak terhadap sesama manusia adalah sebagai berikut:
(1) Akhlak Terhadap Diri Sendiri
Yaitu bagaimana seseorang bersikap dan berbuat yang
terbaik untuk dirinya terlebih dahulu, karena dari sinilah
seseorang akan menentukan sikap dan perbuatan terbaik untuk
orang lain. Hal ini sebagaimana dipesankan oleh Nabi
Muhammad SAW tentang memulai sesuatu dari diri sendiri
(ibda’binafsih).39 Begitu juga ayat al-Quran, yang
memerintahkan untuk memperhatikan diri terlebih dahulu
sebelum orang lain. “Hai orang-orang yang beriman peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka”.40 Bentuk aktualisasi
akhlak manusia terhadap diri sendiri berdasakan sumber ajaran
islam adalah menjaga harga diri, menjaga makanan dan
minuman dari hal yang diharamkan dan merusak, menjaga
kehormatan seksual, mengembangkan sikap berani dalam
kebenaran serta bijaksana dalam mengambil keputusan.
(2) Akhlak Terhadap Orang Lain
Agama Islam memerintahkan agar berbuat baik pada sanak
saudara atau kaum kerabat, sesudah menunaikan kewajiban
kepada Allah swt, dan ibu bapak.41 Hidup rukun dan damai
dengan saudara seiman dan setanah air dapat tercapai apabila
hubungan tetap terjalin dengan saling pengertian dan saling
menolong.
c) Akhlak Terhadap Alam
Bentuknya adalah dengan menjaga kelestarian alam, karena alam
juga merupakan makhluk Allah SWT yang berhak hidup seperti
manusia. Hal itu dapat dilakukan dengan cara menyadari bahwa diri
manusia diciptakan dari unsur alam, yaitu tanah.42 Dengan
demikian, alam adalah bagian dari diri manusia.
2) Akhlak Madzmumah (Akhlak Tercela)

39
Akilah Mahmud. Akhlak Islam menurut Ibnu Miskawaih. Jurnal Aqidah-Ta, VI(1), 2020. hal. 95-96
40
Quran, Halimah, (Bandung : Penerbit Marwah, 2009), Q.S At- Tahrim 66: 6, hal. 560
41
Akilah Mahmud. Akhlak Islam.....hal. 96
42
H. Hammis Syafaq, dkk, Pengantar Studi Islam, UIN Sunan Ampel Press. 2013. hal. 70

17
Akhlak Mazmumah ialah perangai atau tingkah laku yang tercermin dari
tutur kata, tingkah laku, dan sikap tidak baik. Perbuatan tersebut termasuk
munkar, tingkah laku seperti ini dilarang oleh Allah dan diwajibkan untuk
menjauhinya.43 Akhlak madzmumah adalah akhlak yang seharusnya dijauhi
oleh setiap Muslim. Orang yang memiliki sifat tercela ini termasuk orang
yang tidak sempurna keimananya.44 Beberapa contoh sifat tercela yaitu
dengki, serakah, malas, angkuh dan lain sebagainya.

Studi Ilmu Keislaman merupakan kajian mendalam tentang aspek-aspek agama Islam,
termasuk ajaran, prinsip-prinsip, sejarahnya, dan implementasinya dalam kehidupan sehari-
hari. Pada makalah ini mencakup pemahaman tentang studi ilmu Hadis, Fiqh (hukum Islam),
dam Tasawuf (mistisisme Islam). Tujuan studi ini adalah untuk mendapatkan pemahaman
yang komprehensif tentang Islam dan bagaimana ajarannya dapat diterapkan dalam
kehidupan individu dan masyarakat. Berikut penjelasannya.

B. STUDI ILMU KEISLAMAN


1. Studi Ilmu Hadits
a. Definisi Ilmu Hadis
Secara etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis
yang berarti pembicaraan. Secara terminologi ilmu Hadis dirumuskan
dalam defenisi yang dikemukan oleh Ulama Mutaqaddimin sebagai
berikut: “Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara
persambungan hadis kepada Rasulullah SAW dari segi hal, ihwal para
perawinya, yang menyangkut kedhabitan dan keadilanya dan dari
bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.”45 Kalimat diatas
mengacu pada analisis mendalam terhadap validitas dan keandalan
hadis melalui pemahaman tentang perawi, sanad, dan konteks
keberlanjutan.

43
Putri, R. A. Representasi Akhlak Mahmudah Dan Mazmumah Dalam Program “ Oh Ternyata” Di Trans TV.
(Skripsi UIN Walisongo Semarang. 2015). Walisongo Institutional Repository. hal 33-34
44
Damanhuri, Akhlak Tasawuf (Aceh: Yayasan Pena Banda Aceh, 2010). hal, 202.
45
Jalal al-Din al Suyuthi, Tadrib al-Rawi fiy Syarh Taqrib al-Nawawi. Jilid I Dar al-Fikrr, Beirut, 1998. Dalam
Alfiah, dkk, Studi Ilmu Hadis. 2016. Kreasi Edukasi hal. 43

18
'Ulum al- Hadits terdiri atas dua kata, yaitu 'ulum dan al-Hadits.
Kata ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari 'ilm, yang
berarti "ilmu-ilmu", sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadis
berarti "segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari
perkataan, perbuatan, toqrir, atau sifat."46 Jadi, gabungan kata Ulum al-
Hadits mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan dengan Hadis Nabi SAW.
Pada perkembangan selanjutnya, oleh ulama Mutaakhirin, Ilmu
hadis ini dibagi menjadi dua yaitu :
1) Ilmu Hadis Riwayah
Yang dimaksud Ilmu Hadis Riwayah, ialah : “Ilmu pengetahuan
yang mempelajari hadis-hadis yang berdasarkan kepada Nabi
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun
tingkah lakunya”.47 Ibnu al-Akhfani mengatakan bahwa yang
dimaksud ilmu Hadis riwayah adalah: “Ilmu pengetahuan yang
mencakup perkataan Nabi SAW, baik periwayatan, pemeliharan,
maupun penulisannya atau pembukuan lafaz-lafaznya.”48 Dapat
disimpulkam bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah
membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan
penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW.
2) Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu hadis Dirayah biasanya juga disebut ilmu Mustalah Hadis,
ilmu Ushul al-Hadis, Ulum al-Hadis dan Qawa`id al-Tahdis. Al-
Tirmizi menta`rifkan ilmu ini dengan : “Undang-undang atau
kaedah-kaedah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara
menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain”.49 Al-
Tirmisi mendefenisikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: “Ilmu
Pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat,
macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui

46
Mahmud al-Thahhan,Taisir Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar Al-Qur'an al-Karim, 1979). Dalam Nawir
Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998), hal. 1
47
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuh wa Mushtholahuh, Dar al-Fikr, Beirut, 1990. Dalam
Alfiah, dkk, Studi Ilmu Hadis. 2016. Kreasi Edukasi hal. 43
48
Jamaluddin al-Qasimiy, Qawa`id al-Tadhdist Min Funun Mushtholah al-HAdis, Dar al-Fikr, Beirut, tt Dalam
Alfiah, dkk, Studi Ilmu Hadis. 2016. Kreasi Edukasi hal. 43-44
49
Muhammad Mahfuzh bin Abdullah al-Tirmizi, Manhaj Dzawi al- Nazhar, Dar al-Fikr, Beirut, 1981,hlm. 200.

19
keadaan para perawi, baik persyaratan, macam- macam hadis yang
diriwayatkan dan segala yang berkaitan denganya”50. Kalimat
tersebut menjelaskan bahwa Ilmu Hadis Dirayah merupakan suatu
cabang ilmu yang membahas prinsip-prinsip dan metode-metode
dalam menganalisis hadis, engetahuan yang menggali hakikat dari
proses penyampaian hadis, memahami persyaratan, jenis-jenis, dan
hukum-hukum yang terkait, serta mendalami informasi mengenai
keadaan para perawi, termasuk syarat-syarat, variasi hadis yang
diriwayatkan, dan aspek-aspek terkait lainnya.
b. Istilah- Istilah Dasar Dalam Ilmu Hadits
Beberapa ini merupakan istilah- istilah dasar dalam ilmu hadis
diantaranya :51
1) Hadits
Hadits menurut bahasa artinya baru. Hadits secara bahasa juga
bisa diartikan ucapan, perkataan, khabar, cerita dan wawancara.
2) Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita, bentuk jamaknya akhbar.
Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat:
a) Ada yang mengatakan bahwa khabar itu sama dengan hadits,
sehingga maknanya sama secara istilah.
b) Ada pula yang berpendapat bahwa hadits adalah segala yang
datang dari Nabi, sedang khabar adalah yang datang dari selain
Nabi seperti sahabat dan tabi’in.
c) Ada juga yang berpendapat bahwa khabar lebih umum dari
hadits. Kalau hadits segala apa yang datang dari Nabi, sedang
khabar adalah yang datang dari Nabi atau dari selain beliau.52
3) Atsar
Atsar menurut bahasa adalah sisa dari sesuatu. Sedangkan
menurut istilah ada dua pendapat:
a) Ada yang mengatakan bahwa atsar sama dengan hadits, makna
keduanya adalah sama.

50
Ibid. hal. 201.
51
Muhammad Hambal Shafwan, STUDI ILMU HADITS, CV. Pustaka Learning Center. 2020. Hal. 10- 19
52
Ridwan Nasir, Ulumul Hadis dan Musthalah Hadist, (Jombang : Darul Hikmah, 2008), hal. 21

20
b) Ada yang berpendapat bahwa atsar berbeda dengan hadits,
yaitu segala yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in, baik
berupa ucapan dan perbuatan mereka
4) Rawi
Secara bahasa rawi dapat diartikan dengan “yang
meriwayatkan”. Sedangkan secara istilah, rawi dapat didefinisikan
dengan “orang yang menyampaikan sebuah hadits yang pernah
didengar dan diterimanya dari seorang guru”
5) Sanad
Secara bahasa, sanad bermakna al-mu’tamad yaitu “yang
disandari”. Dinamakan demikian karena hadits disandarkan
kepadanya. Sedangkan secara istilah, sanad adalah: Rangkaian para
rawi yang menyampaikan kepada matan.
6) Matan
Secara bahasa, matan berarti “permukaan tanah yang tinggi”.
Bentuk jamaknya adalah mutun. Sedangkan secara istilah, matan
didefinisikan dengan: Akhir dari sanad yang berupa perkataan.53
7) Mukharrij
Mukharrij adalah orang yang telah menukil/mencatat hadits
pada kitabnya.
8) Sunan
Sunan adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab
tentang fiqih (seperti bab bersuci, shalat, zakat), dan hanya memuat
hadits yang marfu’ saja agar dijadikan sebagai sumber bagi para
fuqaha dalam mengambil kesimpulan hukum. Di antara kitab
sunan yang terkenal adalah: sunan Abi Dawud, sunan al-Tirmidzi,
sunan al-Nasa’i, sunan Ibnu Majah.
9) Musnad
Musnad adalah kitab hadits yang penyusunan haditsnya
dikelompokkan berdasarkan sahabat Nabi saw secara tersendiri.
10) Al-Jami’

53
Muhammad Hambal Shafwan, STUDI ILMU HADITS, CV. Pustaka Learning Center. 2020. Hal. 10- 19

21
Jami’ adalah kitab hadits yang memuat semua bab agama, baik
aqidah, fiqih, sejarah, tazkiyah nafs, dan lain sebagainya. Di antara
kitab jami’ yang terkenal adalah jami’ shahih al- Bukhari dan jami’
shahih Muslim.54
11) Al-Mushannaf
Al-mushannaf adalah kitab yang disusun berdasarkan urutan
bab-bab fiqih, yang meliputi hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’,
atau di dalamnya terdapat hadits-hadits Nabi, perkataan sahabat,
fatwa- fatwa tabi’in, dan terkadang fatwa tabi’ut tabi’in. Perbedaan
antara mushannaf dengan sunan, bahwa mushannaf mencakup
hadits-hadits marfu’, mauquf, dan maqthu’. Sedangkan kitab sunan
tidak mencakup selain hadits yang marfu’ kecuali sedikit sekali.
12) Al-Muwaththa’
Al-Muwaththa’ adalah kitab yang tersusun berdasarkan urutan
bab-bab fiqih dan mencakup hadits-hadits marfu’, mauquf, dan
maqthu’, sama seperti mushannaf, meskipun namanya berbeda.
13) Al-Mu’jam
Al-Mu’jam adalah kitab yang berisi kumpulan hadits-hadits
yang berurutan berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru
penyusun, atau negeri, sesuai huruf hijaiyah.
14) Al-Muhaddits
Al-Muhaddits adalah gelar untuk ulama yang menguasai hadits,
baik dari segi ilmu riwayah maupun dari segi ilmu dirayah, mampu
membedakan hadits dho’if dari yang shahih, menguasai
periwayatan hadits-hadits yang mukhtalif, dan lain-lain yang
berhubungan dengan ilmu hadits.55
15) Al-Hafidz
Al-Hafidz adalah gelar untuk ulama yang memiliki sifat-sifat
seorang muhaddits dan sangat kuat ingatannya. Ulama yang
mendapat gelar al-hafidz adalah ulama yang menguasai dan
menghafal 100.000 hadits, baik matan maupun sanadnya.
16) Al-Hujjah

54
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998), hal. 191-192
55
Muhammad Hambal Shafwan, STUDI ILMU HADITS, CV. Pustaka Learning Center. 2020. Hal. 10- 19

22
Al-Hujjah adalah gelar yang diberikan kepada ulama yang dapat
menghafal hadits sekitar 300.000 hadits beserta sanadnya. Ulama
yang mendapat gelar seperti ini di antaranya adalah Hisyam bin
Urwah dan Muhammad bin Abdullah bin Umar.
17) Al-Hakim
Al-Hakim adalah gelar yang diberikan kepada ulama yang dapat
menguasai seluruh hadits, baik dari sudut matan dan sanadnya, jarh
dan ta’dilnya, maupun sejarahnya. Ulama yang mendapat gelar
seperti ini antara lain adalah Ibnu Dinar, al-Laits bin Sa’ad, dan
imam Syafi’i.56
18) Amirul Mukminin fil Hadits.
Gelar ini diberikan kepada ulama hadits yang memiliki
keistimewaan hafalan dan pengetahuan dalam bidang ilmu hadits
(baik matan maupun sanadnya). Gelar ini diberikan antara lain
kepada Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan al-Tsauri, Ishaq bin
Rahawaih, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, al-Bukhari, al-
Daruquthni, dan Ibnu Hajar al-Atsqalani
19) Al-Shahaby
Al-Shahaby atau yang sering disebut dengan sahabat adalah:
Orang yang bertemu dengan Nabi saw dalam keadaan Islam dan
meninggal juga dalam keadaan Islam, walaupun dia pernah murtad
(menurut pendapat yang paling shahih)
20) Al-Tabi’iy
Al-Tabi’iy atau yang sering disebut dalam bentuk jama’nya
yaitu tabi’in adalah orang yang bertemu dengan sahabat Nabi saw
21) Muhadhramun
Muhadhramun adalah orang-orang yang mengalami hidup pada
zaman jahiliyah dan hidup pada zaman Nabi saw dalam keadaan
Islam, tetapi tidak sempat menemuinya dan mendengarkan hadis
darinya. Dengan demikian mereka termasuk tabi’in.57
Pemahaman terhadap istilah-istilah ini sangat penting untuk
menganalisis, meneliti, dan menilai keabsahan hadis. Dengan

56
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998), hal. 191-192
57
Ibid, hal. 183

23
memahami konsep-konsep dasar ini, para ahli hadis dapat
melakukan evaluasi kritis terhadap sanad dan matan hadis,
memastikan integritasnya sebagai sumber ajaran Islam.
c. Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya.
Ditinjau dari segi kualitas sanad dan matannya, atau berdasarkan
kepada kuat dan lemahnya, Hadis terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
Hadis Maqbul dan Hadis Mardud.58 Yang dimaksud dengan Hadis
Maqbul adalah Hadis yang memenuhi syarat-syarat qabul, yaitu syarat
untuk dapat diterima sebagai dalil. Yang termasuk pada hadis maqbul
yaitu hadis shahih dan hadis hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan
Hadis Mardud adalah Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat qabul
yaitu hadis Dho’if.
1) Hadist Shahih
Kata Shahih secara etimologi berarti lawan dari sakit, selamat
dan bebas dari cacat, atau hak lawan dari batil.59 Menurut
terminologi ilmu hadis, sebagaimana diungkapkan oleh Ajjaj al–
Khatib, hadis Shahih adalah : “Hadis yang sanadnya bersambung
yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabit dari awal
hingga akhir sanadnya serta tidak ada syadz dan tidak ada ‘illat.”60
Sedangkan Subhi al-Shalih memberikan pengertian hadis shahih,
dengan: “Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung,
dikutip oleh periwayat yang adil dan cermat dari orang yang sama
sampai berakhir pada Rasulullah Saw. atau kepada sahabat dan
tabi’in, bukan hadis yang syadz (kontroversial) dan tidak ada
‘illat.”61 Inti dari kalimat tersebut, hadis shahih merupakan hadis
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
a) Syarat – Syarat Hadist Shahih.62
(1) Seluruh sanadnya bersambung.

58
Subhi al-Shalih, Ulum al- Hadis wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al- ‘Ilm li al- Malayin, 1977), dalam Nawir
Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998), hal. 218
59
M. Hasbi Ash- Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987) Hal. 192
60
Ajjaj al- Khatib, Ushul al- Hadis ‘Ulumuh Wa Musthalahuh (Beirut : Dar al- Fikr 1989), dalam Zulfahmi
Alwi, dkk. Studi Ilmu Hadis. Jilid 1.(Depok : Rajawali Pers. 2021). Hal. 116.
61
Subhi al-Shalih, Ulum al- Hadis wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al- ‘Ilm li al- Malayin, 1977), dalam Zulfahmi
Alwi, dkk. Studi Ilmu Hadis. Jilid 1.(Depok : Rajawali Pers. 2021). Hal. 116.
62
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998), hal. 225

24
(2) Periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadis harus
‘adil.
(3) Diriwayatkan atas periwayat yang dhabit.
(4) Tidak terdapat Syadz.
(5) Tidak terdapat ‘illat.
b) Macam – Macam Hadist Shahih
Para ulama membagi hadis sahih kepada dua macam yaitu :
(1) Hadis Shahih Lidzatihi (Sahih dengan sendirinya)
Hadis Shahih Lidzatihi adalah Hadis yang dirinya sendiri
telah memenuhi kriteria ke shahihan sebagaimana yang
disebutkan di atas, dan tidak memerlukan penguat dari yang
lainnya.63 Hadis ini telah memenuhi lima kriteria hadis
sahih sebagaimana definisi, contoh dan keterangan di atas.
(2) Hadis Shahih Lighairihi (Shahih karena yang lain)
Hadis Lighairihi ini ke shahihannya tidaklah
berdasarkan pada sanadnya sendiri, tetapi berdasarkan pada
dukungan sanad yang lain yang sama kedudukannya
dengan sanad nya atau lebih kuat daripadanya.64 Hadis ini
keshahihannya tidak lahir langsung pada dirinya sendiri
tidak seperti hadis Shahih Lidzatihi di atas.
2) Hadist Hasan
Hasan secara etimologi merupakan shifat musyabbahah, yang
berarti al-jamal yaitu indah, bagus. Sedangkan pengertian Hadis
Hasan menurut istilah Ilmu Hadis tercakup dalam beberapa definisi
seperti berikut: “Setiap Hadis yang diriwayatkan dan tidak terdapat
pada sanad-nya perawi yang pendusta, dan Hadis tersebut tidak
syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang lain.”65 Definisi
yang dianggap baik menurut Al-Thahhan adalah definisi yang
dikemukakan oleh Ibn Hajar, yaitu : “Hadis yang bersambung
sanadnya dengan periwayatan perawi yang adil, ringan (kurang) ke
dhabithannya, dari perawi yang sama (kualitas) dengannya sampai

63
Ibid, hal. 225
64
Ibid, hal. 225
65
Al-Tirmidzi, Jami' al-Tirmidzi ma'a Syarhihi Tuhfat al-Ahvadzi (Kairo: Muhammad 'Abd al- Muhsin al-
Kutubi, t.t.).luz 10, dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998), hal. 228

25
ke akhir sanad, tidak syadz dan tidak ber'illat.”66 Berdasarkan
definisi- definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hadis Hasan
sama dengan Hadis Shahih, namun pada Hadis Hasan terdapat
perawi yang tingkat kedhabithannya kurang, atau lebih rendah, dari
yang dimiliki oleh parawi Hadis Shahih.
a) Kriteria Hadist Hasan67
(1) Sanad Hadis tersebut harus bersambung
(2) Perawinya adalah adil
(3) Perawinya mempunyai sifat dhabith, namun kualitasnya
lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi Hadis
Shahih
(4) Bahwa Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syadz.
Artinya, Hadis tersebut tidak menyalahi riwayat perawi
yang lebih tsiqat dari padanya
(5) Bahwa Hadis yang diriwayatkan tersebut selamat dari 'illat
yang merusak.
b) Macam – Macam Hadist Hasan
Hadis Hasan terbagi kepada duamacam, yaitu Hasan
Lidzatihi dan Hasan Lighairihi.
(1) Hasan Lidzatihi
Yang dimaksud dengan Hadis Hasan Lidzatihi adalah
Hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria Hasan
sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dan tidak
memerlukan bantuan yang lain untuk mengangkatnya ke
derajat Hasan sebagaimana halnya pada Hasan Lighairihi.
(2) Hasan Lighairihi
Tingkatan Hadis Hasan Lighairihi ini adalah tingkatan
yang paling rendah di antara Hadis Maqbul, yaitu di bawah
Hadis Shahih, Shahih Lighairihi dan Hasan Lidzatihi.
3) Hadist Dha’if

66
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushlhatah al-Hadits (Beirut: Dar Al-Qur'an al-Karim, 1979). Dalam Nawir
Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998), hal. 229
67
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis..........hal. 229- 230.

26
Hadis Dha'if adalah Hadis Mardud, yaitu Hadis yang ditolak
atau tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan
sesuatu hukum.68 Hadis Dha’if yaitu hadis yang dianggap lemah
atau tidak dapat diandalkan karena adanya kelemahan dalam sanad,
matan, atau kedua-duanya.
a) Kriteria Hadist Dha’if
(1) Terputusnya hubungan antara satu perawi dengan perawi
lain di dalam sanad Hadis tersebut, yang seharusnya
bersambung.
(2) Terdapatnya cacat pada diri salah seorang perawi atau
matan dari Hadis tersebut .
b) Macam- Macam Hadist Dha’if
Berdasarkan kepada sebab- sebab ke dha'ifan suatu Hadis,
Hadis Dha'if terbagi kepada beberapa macarn, yaitu :
Pembagian Hadis Dha'if ditinjau dari segi terputusnya
sanad:69
(1) Hadis Muallaq: hadis yang terputus sanadnya di awal,
baik terputus satu rawi atau lebih secara berurutan.
(2) Hadis Mursal: hadis yang terputus sanadnya di akhir
setelah tabi’in.
(3) Hadis Mu’dhal: hadis yang terputus sanadnya dua rawi
atau lebih secara berurutan.
(4) Hadis Munqati’: hadis yang sanadnya tidak sambung
dengan cara terputusnya sanad di manapun posisinya.
(5) Hadis Mudallas (Tadlis): hadis yang aib perawinya
(sanadnya) disembunyikan dengan beberapa cara, antara
lain menghilangkan mata rantai sanad yang dhaif
diantara dua rawi yang tsiqah. Ini disebut tadlis
taswiyah atau dengan cara menyebutkan gurunya
dengan sebutan atau julukan yang tidak dikenal audien.
Ini disebut tadlis syuyukh.

68
Ibid, hal. 236
69
IBnu Hajar al-Asqolani, Nuzhatun Nadzor Syarh Nukhbatul Fikar (Damascus: Percetakan AlShobah, 2000),
Cet III, tahkik: Dr. Nurudin Itr. Dalam Ahmad Farih Dzakiy, dkk, Hadis Dhaif dan Hukum Mengamalkannya,
(Al-Bayan: Journal of Hadith Studies, 2022, Volume 1, No. 1, hal. 7.

27
(6) Hadis mursal khafi: meriwayatkan hadis dari orang
yang pernah ia temui atau sezaman, akan tetapi riwayat
(hadis) tersebut tidak pernah ia dengar darinya.
(7) Hadis Muan’an : hadis yang diriwayatkan dengan

menggunakan kata ‘Fulan ( dari si fulan)


(8) Hadis Muannan hadis yang diriwayatkan dengan

dengan menggunakan kata ‘Fulan Qola.


Hadis Dha'if ilihat dari segi terputusnya sanad, hal ini
merujuk pada keadaan di mana suatu hadis dianggap
lemah karena terdapat kesenjangan atau putus dalam
rantai perawi (sanad). Dalam metode klasifikasi hadis,
kesinambungan atau kesambungan rantai perawi
memiliki peran penting dalam menilai kekuatan atau
kelemahan suatu hadis.
Pada uraian berikut akan dijelaskan macam-macam Hadis
Dha'if berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya:70
(1) Maudhu’: hadis palsu, imitasi, yang disandarkan kepada
Nabi dari perawi yang pendusta.
(2) Hadis Matruk: hadis yang diriwayatkan oleh perawi
yang dituduh berdusta.
(3) Hadis Munkar: hadis yang diriwayatkan oleh perawi
yang banyak salah dan lupa.
(4) Hadis Mu’allal: hadis yang terdapat cacat yang
signifikan (illah qadihah), yang dapat menghilangkan
kesahihan hadis.71
(5) Hadis Mudraj: hadis yang matan (redaksi hadisnya)
dirubah atau disisipi lafat lain.
(6) Hadis Maqlub: hadis yang sanad atau matannya diganti
dari awal ke akhir atau sebaliknya.

70
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis..........hal. 256
71
IBnu Hajar al-Asqolani, Nuzhatun Nadzor Syarh Nukhbatul Fikar (Damascus: Percetakan AlShobah, 2000),
Cet III, tahkik: Dr. Nurudin Itr. Dalam Ahmad Farih Dzakiy, dkk, Hadis Dhaif dan Hukum Mengamalkannya,
(Al-Bayan: Journal of Hadith Studies, 2022, Volume 1, No. 1, hal. 7.

28
(7) Hadis Majhul: hadis yang perawinya tidak diketahui
namanya atau status keadaannya.
(8) Hadis Bid’ah: hadis yang diriwayatkan perawi yang
aliran atau keyakinannya berseberangan dengan aliran
ahlu sunnah wal jama’ah.72
Beberapa cacat yang bisa menyebabkan hadis dianggap
dha'if berdasarkan karakter perawi yaitu keadilan,
dhabt, kesesuaian, kesamaan hafalan. Hadis Dha'if
berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya
merujuk pada lemahnya suatu hadis karena adanya
cacat atau kekurangan dalam karakteristik perawi yang
meriwayatkannya.

Nama : Amalia Zuniar Larasati


NIM : 1860311233053
2. Studi Ilmu Fiqh
Dalam agama Islam, fiqih memegang peranan penting dalam mengatur
kehidupan umat Muslim. Fiqih bukanlah penciptaan hukum baru, tetapi
merupakan upaya untuk memahami dan mengaplikasikan hukum-hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT. Fiqih menurut bahasa berarti al-fahm
(pemahaman), yang pada hakikatnya adalah pemahaman terhadap ayat-ayat
ahkam yang terdapat di dalam Alqur'an dan hadis-hadist Ahkam. Fiqih
merupakan interperetasi Ulama terhadap ayat-ayat dan hadist-hadist ahkam.
Para Fuqoha mengeluarkan hukum dari sumbernya dan tidak disebut membuat
hukum, sedangkan yang membuat hukum adalah Allah SWT. Fiqh dalam
pengertian sederhana adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' mengenai
perbuatan manusia mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia
dengan manusia dan alam, digali dari dalil-dalil terperinci. Hukum yang
dibahas dalam Fiqih menyangkut 'amaliyyi atau hukum mengenai perbuatan
manusia, menyangkut bidang ibadah, bidang muamalah, perkawinan, mawaris,
jinayah dan siyasyah dan yang lainnya73. Fiqih merupakan pemahaman dan
interpretasi ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi

72
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis..........hal. 269.
73
Hafsah. Pembelajaran Fiqh. 2013, Medan. hal. 3

29
Muhammad SAW dalam mengeluarkan hukum-hukum syariah yang mengatur
kehidupan manusia.
Ilmu Fiqh ialah Ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Islam yang
berhubungan dengan perbuatan manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari
syariat Islam dalam arti luas. Syariat Islam dalam arti luas meliputi hukum-
hukum yang bertalian dengan perbuatan manusia.
Fiqh sebagai ilmu, yang merupakan interperetasi para ulama terhadap garis
hukum yang difahami dari sumbernya yaitu Alqur'an dan hadist, ijma' dan
Qiyas adalah merupakan hasil ijtihat para ulama yang telah disusun secara
sistematis dalam bentuk buku teks yang merupakan bangunan pengetahuan
dari berbagai madzhab. Para ulama madzhab berbeda dalam metode istimbat
hukum.
a. Dalam Fiqh sebagai ilmu, oleh para ulama mengkategorikan hukum
perbuatan manusia (mukallaf) kepada lima kategori yaitu74:
1) Wajib atau fardhu artinya segala sesuatu yang bila dikerjakanakan
mendapat pahala, sedang bila ditinggalkan akan mengakibatkan
dosa.
2) Mandhub atau Sunna' atau mushtahab adalah segala sesuatu yang
bila dikerjakan akan mendapat pahala dan bila tidak dikerjakan
tidak berimplikasi dosa.
3) Ibaha dan muba' berarti perbuatan yang tidak mendatangkan pahala
bila dilakukan dan tidak berdosa bila melakukannya.
4) Karaha' atau makruh adaah sesuatu yang diberi pahala orang yang
meninggalkannya dan tidak berdosa bila meninggalkannya.
5) Haram adalah sesuatu yang diberi pahala orang yang
meninggalkannyam dan diberi dosa orang yang melakukannya.

b. Fiqih sebagai ilmu yang digali dari dalil-dalil secara terperinci, dalam
membahas setiap masalah hukum selalu ada unsur-unsur berikut:
1) Dalil/ayat dan hadist yang menjadi landasan hukum darisuatu
permasalahan hukum.

74
Ibid, hal. 4

30
2) Sabab atau sebab yaitu sesuatu yang keberadaannya dijadikan
sebagai pertanda keberadaan suaru hukum bagi sesuatu. Misalya,
sebab wajibnya sholat adalah masuknya waktu sholat, seperti fajar
atau terbenamnya matahari menjadi sebab wajib sholat subuh dan
maghrib.
3) Syarat, yaitu sesuatu yangtergantung padanya keberadaan hukum
syara' dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya
mengakibatkan tiadanya hukum. Misalnya, syarat sholat adalah
wudhu', sholat dianggab tidak dilakukan bila tidak berwudhu' dulu
sebelumnya, namum wudhu' bukanlah bagian dari sholat.
4) Rukun, yaitu sesuatu yang harus ada dalam melakukan perbuatan
hukum, bila tidak ada maka perbuatan menjadi tidak sah. Misalnya,
membaca al-fatihah adalah rukun shaolat, bila seorang lupa atau
sengaja tidak membaca al-fatihah maka sholatnya tidak sah.
5) Azima dan rukhsha'. Azima adalah kewajiban-kewajiban sedang
rukhsha adalah keringanan meninggalkan kewajiban karena ada
uzhur/halangan.
6) Sah, batal dan fasad. Sah artinya terlaksananya perbuatan sejalan
dengan aturannya, memenuhi syarat dan rukunnya. Batal dan fasad
artinya perbuatan yang dalam pelaksanaannya tidak memenuhi
ketentuan yang telah ditetapkan, atau tidak memenuhi syarat dan
rukunnya.75 Konsep sah, batal, dan fasad dalam fiqih memberikan
kerangka kerja untuk menilai keabsahan suatu perbuatan dalam
konteks hukum syariah. Melalui pemahaman tentang ketentuan dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi, fiqih membantu umat Muslim
untuk memahami dan mengikuti hukum syariah dengan benar.

c. Pokok Ilmu Fiqh


Ilmu Fiqh adalah cabang ilmu dalam Islam yang mempelajari dan
mengkaji hukum-hukum syariat Islam serta cara aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari. Ini mencakup pemahaman terhadap prinsip-
prinsip hukum Islam, sumber-sumber hukum seperti Al-Quran dan

75
Ibid, hal. 5

31
hadis, serta penerapannya dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari
ibadah hingga muamalah (urusan dagang dan sosial). Ilmu Fiqh
berfungsi sebagai panduan bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan
sesuai dengan ajaran agama.
Ilmu Fiqh juga melibatkan analisis kritis terhadap situasi
kontemporer dan perkembangan baru dalam masyarakat untuk
menyesuaikan prinsip-prinsip hukum Islam dengan zaman. Sebagai
disiplin ilmu, ia terus berkembang untuk menghadapi tantangan zaman
modern sambil tetap setia pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
Selain itu, Ilmu Fiqh memainkan peran penting dalam memberikan
pedoman tentang bagaimana menjalani kehidupan yang bermoral, adil,
dan sesuai dengan ajaran Islam. Dengan merinci hukum-hukum yang
berkaitan dengan ibadah, transaksi, pernikahan, dan berbagai aspek
lainnya, Ilmu Fiqh membentuk kerangka kerja untuk memastikan
kehidupan umat Islam sejalan dengan prinsip-prinsip moral dan etika
agama.76 Ilmu fiqih memainkan peran penting dalam memberikan
pedoman tentang bagaimana menjalani kehidupan yang bermoral, adil,
dan sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam konteks akademis, Ilmu Fiqh menciptakan sarana untuk
diskusi dan ijtihad (penelitian hukum) yang terus mendorong
perkembangan dan peningkatan pemahaman terhadap hukum Islam.
Secara keseluruhan, Ilmu Fiqh adalah landasan hukum yang vital
dalam Islam yang mengarahkan umat Islam untuk hidup sesuai dengan
prinsip-prinsip agama mereka.
Tentu, berikut adalah penjabaran singkat untuk masing-masing pokok
ilmu fiqh:77
1) Usul al-Fiqh
Merupakan kajian prinsip-prinsip dasar dalam pengambilan
keputusan hukum Islam. Ini mencakup metode istinbat (deduksi)
hukum dari sumber-sumber utama seperti Al-Quran, hadis, ijma
(kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi).

76
Mohamad Jaenudin. Fiqh Ibadah. (Bandung 2019). hal.7
77
Wahyyudin. Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Pengetahuan Lainnya. (Jurnal pendidikan Kreatif) , Vol. 2,
No 2, 2021. hal.59

32
2) 'Ilmu al-Quran
Memfokuskan pada pemeriksaan dan pemahaman terhadap
ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan hukum, memberikan
konteks dan tafsir untuk memahami implikasi hukumnya.
3) Ilmu al-Hadis
Memfokuskan pada hadis Nabi Muhammad SAW sebagai
sumber hukum kedua. Ini melibatkan pengkajian terhadap sanad
(rantai perawi) dan matan (teks) hadis untuk menentukan
keabsahan dan aplikasi hukumnya.
4) Ilmu al-Fiqh
Mempelajari aplikasi hukum Islam dalam konteks kehidupan
sehari-hari, mencakup bidang seperti ibadah, muamalah, dan
akhlak. Fokusnya adalah memberikan panduan praktis bagi umat
Islam.
5) Ilmu al-Mu'amalah
Mempelajari hukum-hukum yang terkait dengan hubungan
sosial dan transaksi manusia. Ini termasuk hukum waris,
pernikahan, perdagangan, dan hukum-hukum lainnya yang
mengatur interaksi manusia.78 Dengan mempelajari hukum-hukum
yang terkait dengan hubungan sosial dan transaksi manusia dalam
ilmu fiqih, umat Muslim dapat memahami dan mengikuti
ketentuan-ketentuan syariah yang mengatur interaksi mereka dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini membantu menjaga keadilan, etika,
dan moralitas dalam hubungan sosial dan transaksi ekonomi, serta
memastikan bahwa kehidupan umat Muslim berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip agama Islam.
Ketiga ilmu pertama (Usul al-Fiqh, 'Ilmu al-Quran, dan 'Ilmu al-
Hadis) memberikan landasan teoritis, sedangkan 'Ilmu al-Fiqh dan
'Ilmu al-Mu'amalah lebih menitikberatkan pada implementasi
praktis dalam kehidupan sehari-hari. Keseluruhan, ilmu fiqh
membentuk kerangka hukum Islam yang komprehensif untuk
panduan umat Islam dalam menjalani kehidupan mereka.

78
Ibid, ha.l 60

33
d. Madzhab Fiqh
Menurut bahasa Arab, "mazhab (‫ )مذهب‬berasal dari shighah masdar
mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunujukkan
keterangan tempat) dari akar kata fiil madhy" dzahaba (5) yang
bermakna pergi. Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, "tempat
pergi", yaitu jalan (ath-thariq).
Sedangkan menurut istilah ada beberapa rumusan79:
1) Menurut M. Husain Abdullah, mazhab adalah kumpulan
pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali
dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa'id)
dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang
saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh.
2) Menurut A. Hasan, mazhab adalah mengikuti hasil ijtihad
seorang imam tentang hukum suatu masalah atau tentang hukum
suatu masalah atau tentang kaidah- kaidah istinbathnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang
digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah;
atau mengistinbathkan hukum Islam. Disini bisa disimpulkan
pula bahwa mazhab mencakup; (1) sekumpulan hukum-hukum
Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fiqh yang
menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuk
menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.

Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman
sahabat. Misalnya mazhab Aisyah ra, mazhab Ibn Mas'ud ra, mazhab
Ibn Umar. Masing- masing memiliki kaidah tersendiri dalam
memahami nash Al-Qur'an Al-Karim dan sunnah, sehinga terkadang
pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan dengan pendapat Ibn Mas'ud
atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa disalahkan karena
masing-masing sudah melakukan ijtihad.

79
Nanang Abdillah. Madzhab dan Faktor Terjadinua Perbedaan. (Jurnal Fikroh, Vol. 8, No. 1, 2014), hal.21

34
Di masa tabi'in, kita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang
tujuh orang yaitu: Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn
Muhammad, Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan
Ubaidillah. Termasuk juga Nafi maula Abdullah ibn Umar. Di kota
Kufah kita mengenal ada Al-Qamah ibn Mas'ud, Ibrahim An-Nakha'i
guru al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan di kota. Bashrah ada al-Hasan
Al-Bashri.80 Dengan adanya ulama-ulama seperti Fuqaha al-Madinah,
Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan Al-Bashri, dan Nafi maula Abdullah ibn
Umar, pengembangan ilmu fiqih pada masa Tabi'in menjadi semakin
berkembang. Mereka memberikan kontribusi penting dalam
pemahaman dan aplikasi hukum syariah serta menjadi sumber inspirasi
bagi generasi ulama selanjutnya. Keberadaan mereka juga
menunjukkan pentingnya peran kota-kota seperti Madinah, Kufah, dan
Bashrah dalam perkembangan ilmu fiqih pada masa tersebut.

Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah
Maula Ibn Abbas dan Atha ibn Abu Rabbah, Thawus ihn Kiisan,
Muhammad ibn Sirin, Al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn al-A'raj,
Alqamah an Nakha'i, Sya'by, Syuraih, Said ibn Jubair, Makhul ad
Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani, Di awal abad II hingga pertengahan
abad IV hijriyah yang merupakan fase keemasan bagi itjihad fiqh,
yakni dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah
yang berkuasa sejak tahun 132 H. Pada masa ini, muncul 13 mujtahid
yang madzhabnya dibukukan dan diikuti pendapatnya. Mereka adalah
Sufyan ibn Uyainah (w.198H) dari Mekah, Malik ibn Anas (w.179H)
di Madinah, Hasan Al- Basri (w.110H) di Basrah, Abu Hanifah
(w.150H) dan Sufyan Ats Tsaury (w. 160H) di Kufah, Al-Auza'i (157
H) di Syam, asy-Syafi'i (w.204H), Laits ibn Sa'ad (w.175H) di Mesir,
Ishaq ibn Rahawaih (w.238H) di Naisabur, Abu Tsaur(w.240H),
Ahmad ibn Hanbal (w.241H), Daud Adz Dzhahiri (w.270H) dan Thn
Jarir At Thabary (w. 310 H)", keempatnya di Baghdad.

80
Ibid, hal.22

35
e. Sebab Munculnya Madzhab
Madzhab dalam konteks agama Islam muncul karena perbedaan
pendapat di antara ulama terkait interpretasi hukum-hukum agama.
Faktor seperti perbedaan budaya, lingkungan, dan metode interpretasi
Al-Qur'an serta Hadis memainkan peran dalam pembentukan
madzhab-madzhab tersebut. Madzhab memberikan kerangka hukum
dan panduan praktis bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah dan
aspek kehidupan sehari-hari.81 Dengan adanya perbedaan pendapat
ulama, faktor budaya dan lingkungan, serta metode interpretasi Al-
Qur'an dan Hadis, terbentuklah madzhab-madzhab dalam agama Islam.
Madzhab memberikan kerangka hukum dan panduan praktis yang
membantu umat Islam dalam menjalankan ibadah dan aspek kehidupan
sehari-hari dengan kepastian dan konsistensi.
Madzhab-madzhab dalam Islam muncul sebagai hasil dari upaya
ulama untuk menginterpretasikan ajaran agama dan menentukan
pandangan hukumnya. Beberapa faktor yang berkontribusi termasuk
perbedaan linguistik, kultural, dan metodologi penafsiran. Misalnya,
dalam menganalisis Al-Qur'an dan Hadis, ulama menggunakan metode
yang berbeda, seperti qiyas (analogi) atau ijtihad (penafsiran pribadi).
Perbedaan pandangan ini menyebabkan perbedaan hukum dan praktek
di antara madzhab-madzhab seperti Hanafi, Maliki, Shafi'i, dan
Hanbali. Madzhab memberikan kerangka hukum yang terorganisir bagi
umat Islam untuk mengikuti, memfasilitasi pengamalan agama sesuai
konteks mereka82. Dalam menganalisis Al-Qur'an dan Hadis, ulama
menggunakan metode penafsiran yang berbeda-beda, seperti qiyas
(analogi) atau ijtihad (penafsiran pribadi). Meskipun terdapat
perbedaan, madzhab-madzhab ini tetap mengakui keabsahan satu sama
lain dan menghormati perbedaan pendapat yang ada.
Madzhab dalam Islam merupakan warisan intelektual yang
kompleks yang berasal dari upaya para ulama untuk merinci dan
mengaplikasikan ajaran Islam dalam berbagai konteks. Proses

81
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, (Jakarta: Bulan
Bintang), hal. 30
82
Noor Halimah & Yuli Lailiyah Mahmudah. Mazhab Fiqh di Indonesia: Perbedaan Pendapatan Kontruka
Hukum Islam. Vo. 1, No. 1, 2023, hal. 97

36
pembentukan madzhab melibatkan sejumlah faktor, termasuk
perbedaan linguistik, kultural, dan metodologi penafsiran. Dalam
konteks ini, berbagai pendekatan terhadap penafsiran Al-Qur'an dan
Hadis berkembang, menciptakan kerangka hukum yang khas untuk
masing-masing madzhab.
Perbedaan bahasa dan budaya antar komunitas Islam di berbagai
wilayah menyebabkan variasi dalam pemahaman terhadap ajaran
agama. Misalnya, masyarakat Arab memiliki pemahaman yang lebih
mendalam terhadap bahasa Arab dan konteks budaya yang
melingkupinya, yang dapat mempengaruhi penafsiran mereka terhadap
teks-teks suci Islam. Di sisi lain, komunitas Muslim di wilayah Asia
atau Afrika dapat membawa pengalaman dan konteks budaya yang
unik dalam menafsirkan dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Metodologi penafsiran yang berbeda juga menjadi faktor penting
dalam pembentukan madzhab. Para ulama menggunakan pendekatan
seperti qiyas (analogi), ijtihad (penafsiran pribadi), dan istihsan
(penilaian yang dianggap baik) untuk menghadapi situasi dan
pertanyaan hukum yang baru. Ini menyebabkan variasi dalam
pandangan hukum di antara madzhab-madzhab, bahkan jika mereka
semua merujuk pada sumber-sumber hukum yang sama, yaitu Al-
Qur'an dan Hadis.83 Dalam menjalankan agama, umat Muslim dapat
memilih untuk mengikuti salah satu madzhab atau menggabungkan
pendapat dari berbagai madzhab yang dianggap relevan dengan
konteks dan kebutuhan mereka. Yang terpenting adalah menjalankan
ajaran agama dengan pemahaman yang baik, menghormati perbedaan
pendapat, dan menjaga persatuan dalam kerangka keberagaman umat
Muslim.
Madzhab Hanafi, misalnya, dikenal karena menggunakan ijtihad
(penafsiran pribadi) secara luas. Madzhab ini didirikan oleh Imam Abu
Hanifa, dan pengikutnya menekankan rasionalitas dan fleksibilitas
dalam penafsiran hukum Islam. Di sisi lain, madzhab Maliki, yang

83
Ibid, hal. 97

37
banyak ditemui di wilayah Afrika Utara, mengutamakan qiyas
(analogi) dan menjadikan amalan masyarakat setempat sebagai dasar
hukum.
Madzhab Shafi'i menekankan pada penafsiran tekstual dan istihsan
(penilaian yang dianggap baik). Madzhab ini mempertimbangkan
prinsip-prinsip hukum Islam yang diambil langsung dari teks-teks suci.
Sementara itu, madzhab Hanbali, yang mendapat pengaruh dari
pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal, cenderung memegang teguh teks-
teks Al-Qur'an dan Hadis tanpa banyak melakukan ijtihad.
Madzhab-madzhab dalam Islam juga muncul sebagai respons
terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat. Seiring
dengan perkembangan zaman, tuntutan baru muncul, dan madzhab-
madzhab berperan dalam menyusun pandangan hukum yang relevan
dengan kebutuhan umat Islam. Mereka tidak hanya memberikan
pedoman hukum, tetapi juga menjadi wadah intelektual untuk
memahami dan menjawab tantangan zaman.
Pentingnya madzhab terlihat dalam konteks pengembangan hukum
Islam. Meskipun madzhab memiliki perbedaan, konsep keadilan, etika,
dan nilai-nilai Islam tetap menjadi pijakan bagi hukum yang mereka
bentuk. Oleh karena itu, madzhab dapat dianggap sebagai warisan
intelektual dan hukum yang mengakar dalam tradisi Islam.
Peran madzhab juga mencakup masalah ijtihad kontemporer, yaitu
kemampuan untuk memberikan pandangan hukum terkini dalam
menghadapi perubahan zaman. Beberapa ulama kontemporer mencoba
menggabungkan tradisi madzhab dengan fleksibilitas untuk mengatasi
isu-isu baru yang tidak diatur secara eksplisit dalam sumber-sumber
hukum Islam klasik. Ini mencerminkan semangat adaptasi dan evolusi
yang selalu ada dalam tradisi hukum Islam.84 Meskipun madzhab
memiliki kerangka hukum yang terstruktur, tradisi madzhab juga
memiliki fleksibilitas yang memungkinkan adaptasi terhadap
perubahan zaman. Ulama kontemporer mencoba menggabungkan
tradisi madzhab dengan fleksibilitas untuk mengatasi isu-isu baru yang

84
Ibid, hal. 98

38
tidak diatur secara eksplisit dalam sumber-sumber hukum Islam klasik.
Dengan menggunakan metodologi penafsiran yang relevan dan
mempertimbangkan konteks zaman, mereka berusaha memberikan
pandangan hukum yang sesuai dengan kebutuhan umat Muslim saat
ini.
Namun, penting untuk diingat bahwa madzhab bukanlah sesuatu
yang bersifat dogmatis atau mengikat. Meskipun seseorang dapat
mengikuti suatu madzhab, umat Islam diizinkan untuk memilih
berdasarkan pemahaman dan kebutuhan mereka sendiri. Fleksibilitas
ini memungkinkan umat Islam untuk menyesuaikan ajaran agama
dengan kehidupan mereka, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip
pokok Islam.
Selain itu, peran madzhab dalam Islam mencakup aspek pendidikan
dan penyebaran ilmu agama. Madrasah-madrasah yang diakui oleh
suatu madzhab memiliki peran penting dalam menyebarkan
pengetahuan agama dan membentuk generasi ulama yang mampu
menjelaskan dan mengajarkan ajaran Islam sesuai dengan pandangan
madzhab mereka.
Dalam konteks kehidupan umat Islam sehari-hari, madzhab
memberikan panduan praktis terkait ibadah, perkawinan, ekonomi, dan
aspek kehidupan lainnya. Masyarakat yang berada di bawah pengaruh
suatu madzhab memiliki landasan hukum dan etika yang kohesif,
membantu mereka menjalani hidup sesuai dengan ajaran agama.
Secara keseluruhan, madzhab-madzhab dalam Islam bukan hanya
sekadar perbedaan hukum, tetapi juga mencerminkan kekayaan
intelektual dan warisan tradisional umat Islam. Melalui madzhab, umat
Islam dapat menjalankan keyakinan mereka dengan cara yang
memadukan keteguhan prinsip dan adaptasi terhadap perubahan
zaman.
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani", berbagai mazhab itu
terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah ushul
maupun furu sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munazharat) di
kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian (thariqah al-

39
istinbath), sedangkan furu' terkait dengan hukum-hukum syariat yang
digali berdasarkan metode istinbäth tersebut.
Menurut Abu Ameenah Bilal Philips, alasan utama adanya
perbedaan dalam ketetapan hukum di kalangan imam mazhab meliputi;
1).interpretasi makna kata dan susunan gramatikal 2).Riwayat hadith,
(keberadaannya, kesahihannya, syarat- syarat penerimaan, dan
interpretasi atas teks hadith yang berbeda) 3). Diakuinya. penggunaan
prinsip-prinsip tertentu (ijma", tradisi, istihsan, dan pendapat sahabat);
dan (4). Metode-metode qiyas.85 Dengan adanya perbedaan dalam
interpretasi makna kata dan susunan gramatikal, riwayat hadis,
penggunaan prinsip-prinsip tertentu, dan metode-metode qiyas,
terdapat perbedaan dalam ketetapan hukum di antara imam madzhab.
Perbedaan ini mencerminkan keragaman dalam tradisi hukum Islam
dan memberikan ruang bagi umat Muslim untuk memilih madzhab
yang sesuai dengan pemahaman dan keyakinan mereka.
Sedang menurut Abdul Wahab Khallaf, perbedaan penetapan
hukum tersebut berpangkal pada tiga persoalan; (1). Perbedaan
mengenai penetapan sehagian sumber-sumber hukum (sikap dan cara
berpegang pada sunah, standar periwayatan, fatwa sahabat, dan qiyas);
(2). Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari tasyri
(penggunaan hadith dan ra'yu) dan; (3). Perbedaan mengenai prinsip-
prinsip bahasa dalam memahami nash-nash syari'at (ushlub bahasa).
Dengan adanya perbedaan dalam penetapan sumber-sumber hukum,
pertentangan dalam penetapan hukum dari tasyri, dan perbedaan dalam
prinsip-prinsip bahasa dalam memahami nash-nash syari'at, terdapat
perbedaan dalam penetapan hukum di antara madzhab-madzhab.
Perbedaan ini mencerminkan keragaman dalam tradisi hukum Islam
dan memberikan ruang bagi umat Muslim untuk memilih madzhab
yang sesuai dengan pemahaman dan keyakinan mereka.
Penting untuk diingat bahwa perbedaan dalam madzhab-madzhab
tidak mengindikasikan adanya kesalahan atau ketidakbenaran. Setiap
madzhab memiliki landasan dan argumen yang kuat dalam interpretasi

85
Nanang Abdillah. Madzhab dan Faktor Terjadinua Perbedaan. (Jurnal Fikroh, Vol. 8, No. 1, 2014), hal.24

40
hukum syari'ah. Persatuan dan saling menghormati dalam kerangka
keberagaman adalah penting dalam menjaga keharmonisan umat
Muslim.

3. Studi Ilmu Tasawuf


Studi ilmu Tasawuf, atau sufisme, melibatkan penyelidikan dan
pemahaman mendalam terhadap dimensi spiritual dan mistik dalam Islam. Ini
mencakup eksplorasi konsep-konsep seperti ma’rifah (pemahaman yang
mendalam tentang Tuhan), tazkiyah (pembersihan jiwa), dan tawakkul
(kepercayaan sepenuhnya kepada Tuhan). Studi ilmu Tasawuf juga memeriksa
ajaran-ajaran para tokoh sufi, metode-metode spiritual, serta praktik-praktik
seperti zikir, meditasi, dan murāqabah (pengamatan hati). Para peneliti dalam
studi ilmu Tasawuf sering memeriksa tulisan-tulisan klasik dan kontemporer
86
yang membahas aspek-aspek ini. Tujuan utama dari studi ilmu Tasawuf
adalah untuk mendalami pengalaman mistik, mencapai pemahaman mendalam
tentang hubungan pribadi dengan Tuhan, dan menerapkan prinsip-prinsip
sufisme dalam kehidupan sehari-hari.

a. Definisi Ilmu Tasawuf


Tasawuf adalah dimensi spiritual atau mistik dalam Islam yang
mengeksplorasi hubungan pribadi seseorang dengan Tuhan. Juga
dikenal sebagai sufisme, Tasawuf menekankan pengalaman pribadi,
pengejaran keberkahan, dan pencarian makna kehidupan melalui
aspek-aspek seperti meditasi, zikir (pengulangan nama Tuhan), dan
mendalami ajaran-ajaran Islam. Para pengikut Tasawuf, atau sufi,
berupaya mencapai maqam, yaitu tingkat kesadaran spiritual yang
tinggi, dengan menghilangkan ego dan meresapi keberadaan Tuhan
dalam segala hal.87 Tasawuf tidak hanya mencakup aspek ritual, tetapi
juga menekankan transformasi batiniah dan kecintaan kepada Tuhan
serta sesama. Pendekatan Tasawuf bertujuan untuk mencapai maqam
ma’rifah, pemahaman yang mendalam tentang keberadaan Tuhan, dan
mengarahkan hati menuju kehidupan yang penuh rahmat dan kebaikan.

86
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah), 2022. hal. 1.
87
Ibid., hal. 3.

41
b. Ajaran Para Sufi
Ajaran para sufi merupakan bagian penting dari dimensi spiritual
dalam Islam yang dikenal sebagai tasawuf. Sufisme, atau tasawuf,
adalah bentuk kehidupan spiritual yang mengeksplorasi dimensi
batiniah Islam melalui praktik-praktik dan prinsip-prinsip khusus yang
diterapkan oleh para sufi. Ajaran ini melibatkan perjalanan spiritual
dan pencarian kebenaran yang mendalam, melampaui aspek-aspek
formal dan ritualistik Islam.
1) Dzkir
Ajaran para sufi mencakup konsep zikir sebagai salah satu
elemen sentral yang mendefinisikan praktik rohaniah mereka.
Zikir, yang berasal dari bahasa Arab yang berarti “mengingat,”
merupakan bentuk meditasi dan pengulangan nama Tuhan yang
dianggap memiliki dampak mendalam pada kesadaran spiritual
seseorang. Dalam ajaran sufi, zikir bukan hanya serangkaian kata-
kata, tetapi merupakan suatu upaya untuk mendekatkan diri pada
Tuhan, meresapi keberadaan-Nya, dan mencapai tingkat kesadaran
spiritual yang lebih tinggi.
Konsep zikir dalam tasawuf tidak hanya terbatas pada aspek
ritual, tetapi juga mencakup dimensi psikologis, emosional, dan
spiritual. Para sufi meyakini bahwa dengan intensifikasi zikir,
seseorang dapat mencapai maqam, yang merupakan tingkat
kesadaran spiritual yang tinggi.88 Dalam perjalanan zikir, para sufi
berupaya mengatasi ego dan mengeksplorasi dimensi spiritualitas
yang lebih dalam.
Zikir dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, termasuk
pengulangan nama-nama Tuhan, kalimat-kalimat suci, atau mantra-
mantra khusus. Metode zikir dapat bervariasi antar tarekat sufi,
tetapi tujuannya tetap sama, yaitu mencapai kehadiran Tuhan
dalam hati dan pikiran.89 Melalui pengulangan ini, para sufi
percaya bahwa mereka dapat membersihkan diri dari pengaruh

88
Ecep Ismail, Landasan Qur’ani Tentang Zikir Dalam Ajaran Tarekat, Syifa Al-Qulub 1 (2), 2017. hal. 198.
89
Ibid, hal. 200.

42
negatif, meraih kedamaian batin, dan mendekatkan diri pada sifat-
sifat Ilahi.
Para sufi percaya bahwa intensitas zikir menciptakan ikatan
khusus antara pencari kebenaran dan Tuhan.90 Dalam momen-
momen zikir yang mendalam, mereka mengalami keadaan ekstasis
atau kesadaran yang melebihi batas-batas duniawi. Pada tingkat ini,
para sufi meyakini bahwa mereka dapat meresapi keberadaan
Tuhan dalam segala aspek kehidupan, mencapai pencerahan, dan
meraih maqam-maqam tertentu dalam perjalanan spiritual mereka.
Pentingnya zikir dalam ajaran sufi juga terkait dengan konsep
tasawuf yang menekankan pentingnya pengalaman pribadi dan
kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Zikir menjadi alat
untuk meresapi kehadiran Ilahi dalam setiap momen, menciptakan
kesadaran akan Tuhan yang berkelanjutan dan menyeluruh.
Dalam praktik zikir, sufi sering menggabungkan gerakan tubuh,
bernyanyi, dan fokus batin. Ini menciptakan pengalaman holistik
yang melibatkan seluruh eksistensi manusia. Zikir juga
dipraktikkan secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok sufi,
menciptakan suasana kebersamaan dan saling mendukung dalam
pencarian spiritual.
Namun, peran zikir tidak terbatas pada dimensi pribadi. Para
sufi meyakini bahwa pengaruh positif zikir dapat meluas ke
masyarakat secara keseluruhan.91 Dengan membawa kehadiran
Tuhan ke dalam kehidupan sehari-hari, para sufi berupaya untuk
menciptakan lingkungan yang dipenuhi dengan cinta kasih,
kedermawanan, dan keadilan.
Dalam konteks lebih luas, zikir juga memainkan peran penting
dalam musik dan seni dalam tradisi sufi. Qawwali, misalnya,
adalah bentuk musik sufi yang melibatkan pengulangan lirik-lirik
yang meresapi makna keagamaan. Seni ini menjadi sarana ekspresi

90
Hasanuddin Chaer, Ahmad Sirulhaq, Abdul Rasyad, Zikir Hening Sufi Dalam Analisis Semiotika, Jurnal Studi
Psikoterapi Sufistik 4 (2), 2020. hal. 50.
91
Ibid., hal 51

43
spiritual dan sarana untuk membawa keindahan dan kebijaksanaan
ke dalam kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, konsep zikir dalam ajaran para sufi
mencerminkan usaha untuk meresapi kehadiran Tuhan dan
mencapai pencerahan melalui pengulangan dan meditasi yang
mendalam. Praktik zikir memperkaya dimensi rohaniah dan
psikologis seseorang, menciptakan ikatan khusus antara pencari
kebenaran dan Sang Pencipta. Dengan demikian, zikir menjadi
pondasi dari perjalanan spiritual dalam tradisi sufi, membawa
individu pada perjalanan mendalam untuk mencapai maqam dan
meraih keberkahan Ilahi.
2) Meditasi
Praktik meditasi dalam tradisi sufi memiliki tujuan utama untuk
membawa para praktisi ke dalam keadaan transendental, di mana
mereka dapat merasakan kehadiran Tuhan secara lebih intens.92
Meditasi dalam konteks sufi bukan hanya sebagai teknik relaksasi
mental, melainkan sebagai sarana untuk menembus lapisan-lapisan
batiniah dan meraih pengalaman spiritual yang mendalam.
Sufi meyakini bahwa meditasi merupakan kunci untuk
membuka pintu gerbang menuju dimensi spiritual yang lebih
tinggi. Praktik meditasi dalam tradisi sufi melibatkan proses
pemusatan pikiran dan hati, memungkinkan para sufi untuk
memahami realitas spiritual yang tersembunyi di balik
keduniawian.93 Dalam meditasi, mereka menciptakan ruang batin
untuk berkomunikasi dengan Tuhan secara lebih intens dan
meresapi keberadaan-Nya.
Pada dasarnya, meditasi sufi tidak hanya bersifat sebagai teknik
relaksasi atau introspeksi, tetapi sebagai upaya untuk mencapai
kesatuan dengan Tuhan.94 Para sufi menggunakan meditasi sebagai
alat untuk mencapai maqam, tingkat kesadaran spiritual yang lebih

92
Hasanuddin Chaer, Ahmad Sirulhaq, Abdul Rasyad, Membaca: Sebagai Meditasi Pikiran Dan Bahasa, Jurnal
Bahasa Lingua Scientia 11 (1), 2019. hal. 167.
93
Ibid, hal.168.
94
Ibid., hal. 171.

44
tinggi. Proses ini melibatkan pemurnian batin dan peningkatan
kualitas hubungan dengan Tuhan.
Meditasi sufi sering kali dimulai dengan fokus pada napas atau
pengulangan nama-nama Tuhan. Pada tahap awal, para sufi
berusaha meredakan gangguan pikiran dan memusatkan perhatian
mereka pada satu titik fokus. Ini membantu menciptakan
keheningan dalam pikiran mereka, mempersiapkan diri untuk
pengalaman transendental.
Selama meditasi, sufi berusaha untuk melampaui dimensi
duniawi dan menyelami ke dalam dimensi spiritual.95 Mereka
memandang meditasi sebagai sarana untuk melepaskan diri dari
identitas egois dan meresapi keberadaan Tuhan yang hadir di
dalam dan di sekitar mereka. Pengalaman transendental ini dapat
mencakup perasaan kedekatan dengan Tuhan, pencerahan spiritual,
atau bahkan ekstase mistik.
Meditasi sufi juga sering kali melibatkan aspek-aspek seperti
visualisasi simbol-simbol spiritual, penggunaan mantra, atau
kontemplasi terhadap ajaran-ajaran sufi. Selama meditasi, sufi
dapat merasakan transformasi batiniah yang mendalam, membawa
mereka pada pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat
kehidupan dan hubungan dengan Tuhan.
Secara keseluruhan, meditasi sufi menjadi alat penting dalam
perjalanan spiritual mereka, membuka jalan untuk pengalaman-
pengalaman yang mendalam dan pencapaian tingkat kesadaran
spiritual yang lebih tinggi. Dalam upaya untuk mencapai maqam
dan mendekatkan diri pada Tuhan, meditasi menjadi bagian
integral dari praktik sufi yang mendalam dan bermakna.
3) Cinta kepada Tuhan
Dalam ajaran para sufi, tema cinta kepada Tuhan dan pencarian
cinta itu sendiri menjadi inti dari perjalanan spiritual.96 Mereka
meyakini bahwa melalui cinta, seseorang dapat mencapai tingkat

95
Mukhammad Anieg, Makna Hidup Sufi di Era Modern, Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam Sekolah Tinggi Ilmu
Tarbiyah Muhammadiyah Kendal 13 (01), 2022. hal. 40.
96
Ida Faridatul Hasanah, & Fitriyah, Konsep Ajaran Tasawuf: Studi Perbandingan Pemikiran Al-Ghazali dan
Rabi’ah Adawiyah, Jurnal Keislaman dan Pendidikan 11 (2), 2020. hal. 157.

45
kesucian batiniah yang membawa pada pemahaman hakiki tentang
keberadaan Tuhan. Konsep cinta dalam tradisi sufi tidak hanya
terbatas pada aspek romantisme, tetapi melibatkan hubungan
pribadi yang mendalam dengan Sang Pencipta.Cinta kepada Tuhan
dalam ajaran sufi sering kali disebut sebagai “Ishq,” sebuah cinta
yang melampaui batas-batas kemanusiaan biasa dan membawa
seseorang pada perjalanan pencarian spiritual yang mendalam.97
Ishq dianggap sebagai kekuatan mendorong para sufi untuk
melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan meresapi keberadaan
Tuhan dengan sepenuh hati.
Dalam pencarian cinta tersebut, sufi memandang cinta sebagai
sarana untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang
kehidupan dan hakikat eksistensi. Cinta kepada Tuhan tidak hanya
sebagai perasaan kasih sayang, tetapi sebagai kekuatan yang
memotivasi untuk melampaui ego dan nafsu duniawi. Para sufi
percaya bahwa cinta adalah daya penggerak utama yang membantu
mereka mengatasi hambatan-hambatan batiniah dan meraih
kesatuan dengan Tuhan.
Pencarian cinta dalam tradisi sufi melibatkan proses mendalam
untuk memurnikan hati dan jiwa. Para sufi meyakini bahwa cinta
yang tulus harus melepaskan diri dari ikatan dunia materi, nafsu
duniawi, dan ego. Cinta ini menciptakan hubungan yang mengalir
secara alami antara pencari dan Tuhan, sehingga mencapai
pemahaman yang mendalam tentang kasih sayang dan rahmat-Nya.
Cinta kepada Tuhan dalam ajaran sufi juga dapat terwujud
melalui praktik-praktik spiritual seperti dzikir (pengulangan nama
Tuhan), meditasi, dan refleksi dalam.98 Dengan memusatkan
perhatian pada keberadaan Tuhan melalui berbagai praktik ini, sufi
merasakan kedekatan yang lebih dalam dengan Sang Pencipta dan
meresapi keberadaan-Nya dalam setiap aspek kehidupan.

97
Mutohharun Jinan, Konteks Religio-politik Perkembangan Sufisme: Telaah Konsep Mahabbah dan Ma’rifah,
Jurnal Studi Islam 18 (1), 2017. hal. 67.
98
Ibid, hal.68

46
Dalam praktik cinta kepada Tuhan, sufi berusaha untuk
melepaskan diri dari keterikatan dunia material dan menjalani
kehidupan dengan kasih sayang dan belas kasihan. Cinta ini
menjadi sumber motivasi untuk mengatasi ujian dan cobaan dalam
hidup, karena sufi percaya bahwa melalui cinta, mereka dapat
mencapai pemahaman penuh akan keberadaan Tuhan dan
mengalami kasih sayang-Nya secara mendalam.
4) Etika dan Moralitas
Ajaran para sufi selain menekankan dimensi spiritualitas, juga
merangkul unsur-unsur etika dan moralitas Islam. Mereka
mengajarkan bahwa perjalanan spiritual tidak dapat dipisahkan dari
tanggung jawab etis dan moral dalam kehidupan sehari-hari.99
Pemahaman ini menciptakan hubungan erat antara pengembangan
diri secara spiritual dengan perilaku etis yang baik.
Salah satu aspek sentral dalam ajaran sufi terkait etika dan
moralitas adalah penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Mereka meyakini bahwa keberhasilan dalam perjalanan
spiritual tidak hanya diukur dari ketakwaan kepada Tuhan, tetapi
juga melibatkan penerapan prinsip-prinsip moral dan etis yang
diajarkan oleh Islam.
Para sufi menekankan pentingnya karakter baik, yang mencakup
sifat-sifat seperti kejujuran, kesabaran, kerendahan hati, dan kasih
sayang. Mereka meyakini bahwa karakter yang baik adalah
cerminan dari kesucian batiniah dan mencerminkan kedalaman
pemahaman seseorang terhadap ajaran Islam.100 Oleh karena itu,
sufi mengajarkan agar seorang pengikutnya tidak hanya fokus pada
aspek ritual, tetapi juga membimbing perilaku sehari-hari sesuai
dengan prinsip-prinsip moral Islam.
Selain karakter baik, ajaran sufi juga menekankan prinsip
keadilan dan berbuat baik kepada sesama manusia. Mereka
meyakini bahwa cinta kepada Tuhan harus tercermin dalam cinta

99
Bayu Fermadi, Humanisme Sebagai Dasar Pembentukan Etika Religius; Dalam Perspektif Ibnu Athā’Illah
Al-Sakandarī, Jurnal Islam Nusantara 2 (1), 2020. hal. 74.
100
Nur Chotimah Azis, Relasi Hukum Dan Etika Islam (Integrasi Ajaran Eksoteris dan Esoteris Dunia Islam),
Jurnal Studi Ilmu Pendidikan dan Keislaman 6 (1), 2023. hal. 17.

47
dan kepedulian terhadap sesama. Pemahaman akan persamaan hak-
hak manusia dan keadilan dalam interaksi sosial dianggap sebagai
bagian integral dari perjalanan spiritual.
Praktik-praktik etika dan moral dalam ajaran sufi juga tercermin
dalam perilaku keseharian, termasuk dalam hubungan
interpersonal, bisnis, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Mereka meyakini bahwa integritas moral tidak boleh terpisah dari
pengabdian kepada Tuhan.101 Oleh karena itu, sufi mendorong
pengikutnya untuk membangun hubungan yang baik dengan
sesama manusia, bersikap adil, dan memberikan kontribusi positif
dalam Masyarakat.
Dalam konteks etika sufi, kesadaran akan tanggung jawab sosial
dan kemanusiaan sangat ditekankan. Para sufi meyakini bahwa
kehidupan yang bermakna dan bertaqwa mencakup pengabdian
kepada masyarakat dan membantu mereka yang membutuhkan. Hal
ini menjadi wujud nyata dari pengamalan nilai-nilai moral dan
etika dalam ajaran sufi.
5) Maqam
Maqam, dalam konteks ajaran sufi, merepresentasikan
pencapaian tertinggi dalam perjalanan spiritual. Lebih dari sekadar
tingkat pemahaman konseptual, maqam adalah pengalaman
langsung dan kesatuan dengan Tuhan. Para sufi menjadikan
pencapaian maqam sebagai tujuan utama dalam upaya mereka
untuk mendekatkan diri pada Ilahi dan mencapai pencerahan
spiritual yang lebih tinggi.
Perjalanan menuju maqam tidak hanya melibatkan proses
intelektual, tetapi juga melibatkan dimensi emosional, rohaniah,
dan mistik. Pada hakikatnya, mencapai maqam berarti meresapi
keberadaan Tuhan dalam segala hal dan mencapai tingkat
kesadaran spiritual yang mencakup seluruh eksistensi manusia.
Langkah awal dalam pencarian maqam melibatkan pemurnian
hati. Para sufi meyakini bahwa hati yang murni dan terbebas dari

101
Ibid., hal.17.

48
ikatan-ikatan duniawi memiliki kemampuan untuk meresapi cahaya
Ilahi dan mencapai pemahaman yang mendalam tentang
keberadaan Tuhan.102 Pemurnian hati mencakup pengendalian diri,
penolakan terhadap nafsu duniawi, dan fokus pada kebajikan
moral.
Selain pemurnian hati, melepaskan ikatan-ikatan duniawi juga
menjadi langkah penting dalam mencapai maqam. Para sufi
meyakini bahwa keterikatan pada hal-hal materi dan hubungan
dunia hanya dapat menjadi penghalang dalam mencapai kesatuan
dengan Tuhan. Oleh karena itu, melepaskan diri dari keduniawian
menjadi bagian integral dari perjalanan spiritual menuju maqam.
Aspek mistik Islam memainkan peran kunci dalam pencapaian
maqam. Ini melibatkan praktik-praktik seperti meditasi, zikir, dan
kontemplasi yang bertujuan untuk mendekatkan diri pada Ilahi.
Melalui pengalaman mistik, para sufi berupaya meleburkan diri
dalam kehadiran Tuhan dan mencapai pemahaman yang lebih
dalam tentang realitas spiritual.
Cinta dan pengabdian kepada Tuhan serta sesama manusia
merupakan nilai sentral dalam perjalanan menuju maqam. Para sufi
meyakini bahwa cinta kepada Tuhan adalah pendorong utama
dalam mencapai kesatuan dengan-Nya. Pencarian maqam tidak
hanya mencakup keinginan untuk mencapai kesadaran spiritual
tinggi, tetapi juga tumbuhnya cinta yang mendalam kepada Sang
Pencipta.
Pentingnya cinta dalam ajaran sufi tercermin dalam konsep
“ishq,” yaitu cinta yang penuh gairah dan penuh pengorbanan. Para
sufi menganggap ishq sebagai daya dorong yang kuat untuk
mencapai maqam. Cinta kepada sesama manusia juga ditekankan
sebagai bagian integral dari perjalanan spiritual. Para sufi meyakini
bahwa cinta dan pengabdian kepada sesama menciptakan ikatan
yang mendalam dalam persaudaraan kemanusiaan.

102
Evin Juliasti, Indo Santalia, Andi Aderus, Puncak - Puncak Capaian Sufistik Dalam Perspektif Metodologis,
Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran (JRPP) 7 (1), 2024. hal. 86

49
Perjalanan menuju maqam juga melibatkan pengalaman ekstasis
atau kesadaran yang melebihi batas-batas duniawi.103 Para sufi
percaya bahwa pada tingkat ini, individu dapat merasakan
keberadaan Tuhan secara langsung dan mencapai pemahaman yang
mendalam tentang realitas spiritual.
Dalam konteks praktik sufi, guru atau pemandu spiritual,
dikenal sebagai murshid, memegang peran penting dalam
membimbing murid menuju pencapaian maqam. Murshid
membimbing dengan memberikan petunjuk mistik, pelajaran
spiritual, dan memberikan dukungan moral dalam perjalanan
spiritual.
Mencapai maqam bukanlah akhir dari perjalanan sufi, tetapi
menjadi awal dari perjalanan baru yang lebih dalam dalam
kesadaran spiritual.104 Para sufi meyakini bahwa setiap maqam
yang dicapai membawa individu lebih dekat pada realitas Ilahi, dan
perjalanan menuju Tuhan adalah perjalanan yang tidak pernah
berakhir.
Secara umum, maqam dalam ajaran sufi merepresentasikan
pencapaian tertinggi dalam perjalanan spiritual yang mencakup
pemurnian hati, pembebasan dari ikatan-ikatan duniawi,
pengalaman mistik, cinta kepada Tuhan dan sesama, serta
kesadaran spiritual yang mendalam. Perjalanan menuju maqam
bukan hanya pencarian intelektual, tetapi juga melibatkan aspek
emosional dan rohaniah yang mendalam. Dalam upaya mencapai
maqam, para sufi menunjukkan dedikasi dan pengabdian yang
tinggi untuk mendekatkan diri pada Ilahi dan mencapai pencerahan
spiritual yang lebih tinggi.
Ajaran tasawuf juga menekankan nilai pentingnya seorang guru
atau mentor spiritual dalam perjalanan sufi. Seseorang yang telah
mencapai tingkat kesempurnaan spiritual dianggap sebagai
pemimpin spiritual yang dapat membimbing muridnya menuju

103
Ibid, hal.88
104
Irham, & Yudril Basith, Revitalisasi Makna Guru Dari Ajaran Tasawuf Dalam Kerangka Pembentukan
Karakter, Ulul Albab 19 (1), 2018. hal. 45.

50
pemahaman yang mendalam tentang Tuhan. Hubungan antara guru
dan murid menciptakan lingkungan belajar yang penuh kasih dan
dukungan, di mana pengalaman dan pengetahuan spiritual dapat
dialami dan ditransmisikan.
Secara keseluruhan, ajaran para sufi tidak hanya mencakup
praktik-praktik mistik dan spiritual, tetapi juga merangkum nilai-
nilai etika, moralitas, dan kecintaan kepada sesama. Melalui
perjalanan mereka, para sufi berusaha mencapai pemahaman yang
mendalam tentang keberadaan Tuhan, mengeksplorasi dimensi
spiritual Islam, dan membawa dampak positif dalam kehidupan
mereka dan komunitas di sekitar mereka.

c. Thariqah
Thariqah, atau tarekat dalam Islam, merujuk pada sekte-sekte
spiritual atau ordo-ordo mistik yang menekankan pada perjalanan
rohaniah dan pencapaian kesatuan dengan Tuhan. Istilah ini berasal
dari kata “thariq”, yang berarti jalan atau cara, mencerminkan tujuan
utama tarekat yaitu menciptakan metode atau cara untuk mencapai
pemahaman mendalam tentang hakikat keberadaan Tuhan.105 Thariqah
memiliki peran penting dalam tradisi tasawuf (sufisme), dan setiap
tarekat memiliki karakteristik, metode, dan ajaran tersendiri.
Setiap thariqah memiliki silsilah atau rantai guru-murid yang
dianggap sebagai warisan spiritual yang berasal dari Nabi Muhammad.
Warisan ini diyakini sebagai garis keturunan spiritual yang membawa
cahaya kebenaran dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kedudukan dan otoritas seorang guru dalam thariqah sangat dihormati
dan dianggap sebagai sumber inspirasi dan bimbingan rohaniah.
Masing-masing thariqah memiliki tata cara atau wirid, yaitu
serangkaian amalan dan dzikir yang dilakukan oleh para pengikutnya
untuk mencapai tingkat kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Wirid ini
sering kali melibatkan pengulangan zikir, doa-doa tertentu, dan

105
Ecep Ismail, Landasan..., hal. 195.

51
amalan-amalan khusus lainnya yang dirancang untuk membersihkan
hati dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Thariqah juga dikenal dengan sufi yang mendirikannya. Contoh
tarekat yang terkenal meliputi Tarekat Naqshbandi yang didirikan oleh
Baha-ud-Din Naqshband, dan Tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh
Abdul Qadir al-Jilani.106 Setiap tarekat memiliki fokus dan ajaran
khusus yang membedakannya dari yang lain.
Selain itu, thariqah sering memiliki metode pelatihan dan inisiasi
yang rumit. Proses ini melibatkan murid yang berkomitmen sepenuh
hati kepada guru dan tarekat, dengan harapan akan mendapatkan
pengalaman spiritual yang mendalam. Inisiasi sering kali melibatkan
pemberian dzikir khusus dan petunjuk batin yang hanya diberikan
kepada anggota yang telah mencapai tingkat tertentu dalam perjalanan
spiritual mereka.
Thariqah juga memegang peranan penting dalam menjaga adab atau
norma-norma perilaku dan etika. Pengikut thariqah diharapkan untuk
hidup sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika Islam, mempraktikkan
cinta kasih, kejujuran, dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari.
Tarekat juga berperan dalam memelihara tradisi tasawuf dan
mendukung pengembangan individu menuju kedekatan dengan Tuhan.
Mereka mencoba mengatasi hambatan-hambatan duniawi, seperti
nafsu, keserakahan, dan keduniawian, untuk mencapai tingkat
pemahaman yang lebih dalam terhadap kebenaran Ilahi.
Namun, walaupun thariqah memiliki peran yang signifikan dalam
tradisi Islam, terdapat perbedaan pandangan di kalangan Muslim
tentang praktik-praktik tasawuf dan peranan tarekat dalam
pengembangan spiritual. Beberapa orang melihat tasawuf sebagai cara
untuk mencapai pemahaman mendalam tentang Islam, sementara yang
lain berpendapat bahwa fokus seharusnya lebih pada praktek-praktek
keagamaan yang lebih umum.
Dengan demikian, thariqah mencerminkan keragaman dan
kekayaan warisan spiritual dalam Islam, menyediakan sarana bagi

106
Arbi, Thoriqah dan Pengaruhnya Didunia Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 6 (2), 2016. hal. 179.

52
individu untuk mengeksplorasi dimensi rohaniah dan mencapai
kedekatan dengan Tuhan sesuai dengan ajaran Islam.107 Meskipun
pandangan terhadap tasawuf dapat bervariasi, thariqah tetap menjadi
bagian penting dari sejarah dan budaya Islam, mencerminkan upaya
manusia untuk mengenali dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta
melalui jalan rohaniah yang khusus.
Studi ilmu Tasawuf melibatkan eksplorasi mendalam terhadap
dimensi spiritual dan mistik dalam Islam. Definisi ilmu Tasawuf
menyoroti pengalaman pribadi, meditasi, zikir, dan pencarian makna
kehidupan. Ajaran para sufi mencakup dzikir, meditasi, cinta kepada
Tuhan, etika, moralitas, dan pencapaian maqam.
Thariqah, sebagai sekte spiritual dalam Islam, memiliki peran
penting dengan silsilah guru-murid, wirid, dan metode pelatihan.
Setiap tarekat memiliki fokus khusus dan mengedepankan norma-
norma perilaku Islam. Meskipun terdapat perbedaan pandangan,
thariqah tetap menjadi bagian integral dari sejarah dan budaya Islam,
menyediakan sarana eksplorasi dimensi rohaniah dan kedekatan
dengan Tuhan.

Abul ‘Alaa ‘Afify, Fi al Tashawwuf al Islam wa Tarikhikhi, (Iskandariyah: Lajnah al Ta’lif wa al-Tarjamah
107

wa al Nasyr), tt., hal. 66.

53
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Akidah dalam konteks agama Islam mengacu pada keyakinan yang teguh dan
kokoh, yang tidak terpengaruh oleh keraguan atau kebimbangan. Prinsip-prinsip
akidah, seperti keyakinan kepada keesaan Allah, pentingnya mempelajari dan
menerapkan akidah, serta peran akal dalam memperkokoh keimanan, menjadi
landasan utama dalam menjalani kehidupan beragama. Akidah memiliki
kedudukan yang penting, baik sebagai dasar dari setiap amal, tujuan dalam dakwah
para nabi, maupun sebagai sumber kedamaian bagi individu. Dengan demikian,
pemahaman dan penguatan akidah menjadi kunci dalam menjalani kehidupan yang
bermakna dan harmonis sesuai dengan ajaran Islam.
2. Syariah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui rasul-Nya untuk
memandu umat-Nya agar mematuhi atas dasar keyakinan. Para ulama membagi
tasyri menjadi dua bentuk, yaitu tasyri' samawi dan tasyri' wadl'i. Tasyri' samawi
adalah penetapan hukum yang berasal langsung dari Allah dan Rasul-Nya dalam
Al-Qur'an dan Sunnah, yang bersifat abadi dan tidak berubah. Sedangkan tasyri'
wadl'i adalah penentuan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid berdasarkan
pemikiran dan penalaran mereka.
3. Akhlak dalam objek studi Islam merujuk pada perilaku, sikap, dan karakter moral
yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Pada makalah ini akhlak studi islam
membahas tentang pengertian serta macam macam akhak. Adanya 2 macam akhlak
yaitu akhlak terpuji atau juga disebut akhlak mahmudah dan juga akhlak tercela
atau juga disebut dengan akhlak mazmumah.
4. Studi Ilmu Hadis memegang peranan penting dalam memahami dan
mengaplikasikan ajaran Islam. Dengan mempelajari hadis-hadis yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW, umat Islam dapat memahami lebih dalam tentang
tuntunan agama, praktik ibadah, etika, dan perilaku yang diinginkan oleh Allah.
Studi ilmu hadis melibatkan proses kritis untuk memverifikasi keaslian dan
keabsahan hadis, serta memahami konteks historis dan budaya di mana hadis

54
tersebut disampaikan. Kesimpulan ini menegaskan pentingnya ilmu hadis sebagai
sumber otoritatif dalam menjalankan ajaran Islam sehari-hari.
5. Studi Ilmu Fiqh merupakan pemahaman terhadap ayat-ayat ahkam yang terdapat di
dalam Alqur'an dan hadis-hadist Ahkam. Fiqih merupakan interperetasi Ulama
terhadap ayat-ayat dan hadist-hadist ahkam. Ilmu fiqh memainkan peran kunci
dalam memahami dan mengaplikasikan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan mempelajari prinsip-prinsip fiqh yang terkandung dalam Al-Qur'an, hadis,
dan tradisi Islam, umat Islam dapat memahami tata cara beribadah, perilaku sosial,
dan tata hukum yang diinginkan oleh Allah. Studi ilmu fiqh melibatkan analisis
mendalam terhadap masalah-masalah kehidupan yang kompleks, serta
menawarkan panduan praktis bagi umat Islam dalam menjalankan ajaran agama
secara akurat dan tepat. Kesimpulan ini menekankan pentingnya ilmu fiqh sebagai
landasan bagi individu Muslim dalam mengambil keputusan dan bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam.
6. Tasawuf merupakan cabang ilmu Islam yang menekankan pengembangan spiritual
dan hubungan pribadi dengan Allah. Melalui praktik-praktik seperti dzikir,
meditasi, dan introspeksi, para penganut tasawuf berusaha untuk mencapai
kebersamaan dengan Tuhan dan mencapai keadaan kesadaran yang lebih tinggi.
Studi ilmu tasawuf menawarkan wawasan tentang dimensi batiniah agama Islam
dan memberikan pandangan tentang bagaimana individu dapat meningkatkan
keimanan dan spiritualitas mereka melalui pengalaman pribadi dan refleksi diri.
Kesimpulan ini menyoroti pentingnya pengembangan spiritual dalam Islam serta
peran tasawuf dalam membantu individu mencapai kedekatan dengan Tuhan dalam
kehidupan sehari-hari.

B. Saran

Makalah ini dibuat untuk memberi motivasi kepada pembaca agar pembaca lebih
memahami tentang pengertian Objek Ilmu Islam dan Studi Ilmu Keislaman. Semoga makalah
ini berguna, saran dan kritiknya saya harapkan dari pembaca demi penyempurnaan makalah
ini.

55
DAFTAR RUJUKAN

Abidin Ibnu Rusn, 1998, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka

Abul ‘Alaa ‘Afify, Fi al Tashawwuf al Islam wa Tarikhikhi, (Iskandariyah: Lajnah al Ta’lif


wa al-Tarjamah wa al Nasyr), tt.

Ahmad Farih Dzakiy, dkk, 2022, Hadis Dhaif dan Hukum Mengamalkannya, (Al-Bayan:

Akilah Mahmud. 2020, Akhlak Islam menurut Ibnu Miskawaih. Jurnal Aqidah-Ta, VI(1).

Alfiah, dkk, 2016, Studi Ilmu Hadis. Kreasi Edukasi.

Anshory, M. I., Bukhari, D. S., & Bachtiar, T. A, Pemurnian Akidah Dalam Pendidikan
Islam: Telaah Atas Kitab Bonang Karya Sunan Bonang. (Edukasi
Islami: Jurnal Pendidikan Islam).

Arbi, 2016, Thoriqah dan Pengaruhnya Didunia Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 6 (2).

Bayu Fermadi, 2020, Humanisme Sebagai Dasar Pembentukan Etika Religius; Dalam
Perspektif Ibnu Athā’Illah Al-Sakandarī, Jurnal Islam Nusantara 2
(1).Beirut.

Beni Ahmad Saebani 2010,, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia), Cetakan ke-I.Bintang).

Bushtomi, Y, Objek Kajian Islam Akidah, Syariah, Akhlaq, 2023, (Salimiya: Jurnal Studi
Ilmu Keagamaan Islam).

Damanhuri, 2010, Akhlak Tasawuf (Aceh: Yayasan Pena Banda Aceh).

Didiek A. S, M.M., Ayoeb Amin, LIS,M.Ag., & Abdullah Arief Cholil, S. H.,M. Ag, 2015,
Studi Islam II, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo).

Ecep Ismail, 2017, Landasan Qur’ani Tentang Zikir Dalam Ajaran Tarekat, Syifa Al-Qulub
1 (2).

56
Evin Juliasti, Indo Santalia, Andi Aderus, 2024, Puncak - Puncak Capaian Sufistik Dalam
Perspektif Metodologis, Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran
(JRPP) 7 (1).

Frarera, A. N., Mariyati, M., Manalu, S. R., & Sinaga, A. I, 2023, Metode Studi Akidah dan
Akhlak, Vol. 5, No. 3, (Jurnal Dirosah Islamiyah).

H. Hammis Syafaq, dkk, 2013, Pengantar Studi Islam, UIN Sunan Ampel Press.

H.A Mustofa, 2014, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia).

Hafsah. 2013, Pembelajaran Fiqh, Medan.

Hasanuddin Chaer, Ahmad Sirulhaq, Abdul Rasyad, 2019, Membaca: Sebagai Meditasi
Pikiran Dan Bahasa, Jurnal Bahasa Lingua Scientia 11 (1),

Hasanuddin Chaer, Ahmad Sirulhaq, Abdul Rasyad, 2020, Zikir Hening Sufi Dalam Analisis
Semiotika, Jurnal Studi Psikoterapi Sufistik 4 (2),

Helmy Juliansyah dan Muhyani, 2022, Hubungan antara Akhlak dengan Soft Skill Siswa di

Ida Faridatul Hasanah, & Fitriyah, 2020, Konsep Ajaran Tasawuf: Studi Perbandingan
Pemikiran Al-Ghazali dan Rabi’ah Adawiyah, Jurnal Keislaman dan
Pendidikan 11 (2),

Irham, & Yudril Basith, 2018, Revitalisasi Makna Guru Dari Ajaran Tasawuf Dalam
Kerangka Pembentukan Karakter, Ulul Albab 19 (1),

Journal of Hadith Studies, Volume 1, No. 1.

M. Hasbi Ash- Shiddieqi, 1987, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan

Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali,
(Jakarta: Bulan Bintang)

Mohamad Jaenudin. 2019, Fiqh Ibadah. (Bandung)

Mudawam, S., 2012, Syari'ah-Fiqih-Hukum Islam: Studi tentang Konstruksi Pemikiran


Kontemporer. Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum.

57
Muhammad Hambal Shafwan, 2020, STUDI ILMU HADITS, CV. Pustaka Learning Center.

Muhammad Mahfuzh bin Abdullah al-Tirmizi, 1981, Manhaj Dzawi al- Nazhar, Dar al-Fikr,

Muhammad Sallam Madkur, 1960, Al-Madkhal lil Fiqih Al-Islamy, (Cairo: Dar An-Nahdhah
Al-Arabiyah).

Mukhammad Anieg, 2022, Makna Hidup Sufi di Era Modern, Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Kendal 13 (01),

Mutohharun Jinan, 2017, Konteks Religio-politik Perkembangan Sufisme: Telaah Konsep


Mahabbah dan Ma’rifah, Jurnal Studi Islam 18 (1),

Nanang Abdillah. 2014, Madzhab dan Faktor Terjadinua Perbedaan. (Jurnal Fikroh, Vol. 8,
No. 1).

Nawir Yuslem, 1998, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya).

Noor Halimah & Yuli Lailiyah Mahmudah. 2023, Mazhab Fiqh di Indonesia: Perbedaan
Pendapatan Kontruka Hukum Islam. Vo. 1, No. 1

Nur Chotimah Azis, 2023, Relasi Hukum Dan Etika Islam (Integrasi Ajaran Eksoteris dan
Esoteris Dunia Islam), Jurnal Studi Ilmu Pendidikan dan Keislaman 6
(1).Pelajar)

Purkon, A., 2001, Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam, (Ahkam: Jurnal
Ilmu Syariah).

Putri, R. A. 2015, Representasi Akhlak Mahmudah Dan Mazmumah Dalam Program “ Oh

Quran, 2009, Halimah, (Bandung : Penerbit Marwah), Q.S Al- ahzab 33: 21.

Ridwan Nasir, 2008, Ulumul Hadis dan Musthalah Hadist, (Jombang : Darul Hikmah).

Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia.

Samsul Munir Amin, 2022, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah),

Sidi Gazalba, 1973, Sistematika Filsafat, Buku IV (Pengantar Teori Nilai), (Jakarta: Bulan

58
Siti Rohmah, 2021, Akhlak Tasawuf, (Pekalongan : NEM - Anggota IKAPI).

SMA Negeri 1 Kota Bogor, (Reslaj: Religion Education Social Laa Roiba Journal Volume 4
Nomor 2)

Syafaq, H., Tohari, A., Nadhifah, N. A., Hanifah, U., & Candra, M., 2021, Pengantar Studi
Islam, (Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel).

Ternyata” Di Trans TV. (Skripsi UIN Walisongo Semarang). Walisongo Institutional


Repository.

Wahyyudin. 2021, Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ilmu Pengetahuan Lainnya. (Jurnal
pendidikan Kreatif) , Vol. 2, No 2.

Zahri, H. A, 2019, Pokok-Pokok Akidah Yang Benar (Deepublish.Zahri, H. A).

Zulfahmi Alwi, dkk. 2021, Studi Ilmu Hadis. Jilid 1.(Depok : Rajawali Pers).

59

Anda mungkin juga menyukai