Anda di halaman 1dari 10

PERKEMBANGAN SEJARAH SASTRA INDONESIA PERIODE ANGKATAN 45

DOSEN PENGAMPU Dr. ASIZ NOJENG, S.Pd., M.Pd.

KELAS E

DI SUSUN OLEH :

ALMA LISTIANI (230501502058)

ANISAH AGUSMAN (230501501073)

DWI APRILIA BATARI (230501500033)

MUSNENI (230501501082)

RIANG HIDAYAT (230501501080)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan banyak kemudahan dan
limpahan rezeki-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan tugas kelompok dalam
membuatmakalah yang bertajuk “Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia Periode
Angkatan 45”

Kami sadar betul bahwa dalam penggarapan makalah ini tak terlepas dari bantuan banyak pihak,
selain itu makalah yang kami garap jauh dari kata sempurna karna keterbatasan pengalaman dan
pengetahuan kami. Kiranya, kami berharap ada saran dan kritik untuk makalah yang kami buat
ini. Terakhir kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak pembaca

Makassar 02 November 2023

Tim Penyusun

.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................................

LATAR BELAKANG.................................................................................................................

RUMUSAN MASALAH.............................................................................................................

TUJUAN......................................................................................................................................

BAB 2 PEMBAHASAN..............................................................................................................

TOKOH SASTRAWAN PADA ANGKATAN 45....................................................................

PERIODE SASTRA ANGKATAN 45......................................................................................

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA PADA ANGKATAN 45..................................

BAB 3 PENUTUP........................................................................................................................

KESIMPULAN............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Angkatan Pujangga Baru terjadi pada periode 1930 – an. Sejarah Sastra Indonesia periode 1930
– an ini merupakan kesusastraan di Indonesia yang sudah mengalami kemajuan setelah Periode
1920 - an. Semenjak Periode 1920 – an sebenarnya sudah diawali oleh para tokoh pra Pujangga
Baru yang menghasilkan karya – karya nasionalisme. Namun, pada Angkatan Pujangga Baru ini
pengarang mulai menampakkan rasa nasionalisme yang tinggi dan mereka tidak terikat oleh
aturan – aturan yang mengikat sehingga bebas untuk mencurahkan pikiran maupun gagasan.

Nama Pujangga Baru dalam periode ini mempunyai 2 arti, yaitu sebagai nama angkatan karena
ada cita – cita sekelompok pengarang yang akan diperjuangkan dan sebagai nama majalah
karena mulai terbit majalah bahasa dan sastra. . Pada tahun 1930 terbit majalah Timboel (1930 –
1933) dengan menggunakan bahasa Belanda, kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa
Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai redaktur,. Pada tahun 1932 itu pula Sutan Takdir
Alisjahbana sebagai pimpinan dari majalah bahasa dan sastra mengadakan rubrik “Menuju
Kesusastraan Baru” dalam majalah Pandji Poestaka. Para pelopor Angkatan Pujangga Baru
inilah mempunyai tekad bahwa bahasa dan kesusastraan Indonesia harus dibuat maju,
berkembang, dan membawakan ciri keIndonesiaan yang lebih merdeka, dinamis, dan intelektual.

Pada masa perkembangan Angkatan Pujangga Baru karya-karya yang dihasilkan oleh para
penulis golongan ini lebih bersifat idealisme tanpa harus mengurangi nilai-nilai romantisme yang
terdapat di dalamnya. Karya-karya yang dihasilkan juga kebanyakan dipengaruhi oleh tulisan
dan karya-karya yang dihasilkan oleh angkatan 1880 Belanda,yang pada masa itu memang lebih
banyak mengambil tema-tema romantis realistik. Hal ini tak mengherankan sebab pada zaman
itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan
mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda.

RUMUSAN MASALAH

1. Siapa saja tokoh sastrawan pada angkatan 45?


2. Apa yang dimaksud dengan periode sastra angkatan 45?
3. Bagaimana perkembangan sastra Indonesia pada angkatan 45?

TUJUAN

1. Mengtahui siapa saja tokoh sastrawan pada angkatan 45


2. Mengetahui apa yang di maksud dengan periode sastra angkatan 45
3. Mengetahui bagaimana perkembangan sastra Indonesia pada angkatan 45
BAB 2 PEMBAHASAN

A. Tokoh Sastrawan Pada Angkatan 45


1. Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Dia
merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya
berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Ayahnya merupakan
Bupati Indragiri, Riau yang tewas dalam Pembantaian Rengat. Dia masih
memiliki pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama
Indonesia.Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya. namun
Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apapun;
sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.

Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School


(HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda.
Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, dia tidak lagi bersekolah. Chairil
mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, dia telah bertekad menjadi seorang
seniman.

Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya
pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) di mana dia berkenalan dengan dunia sastra;
walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak
dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing
seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan
membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria
Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan
Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan
secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.

2. Asrul Sani
Di dalam dunia sastra, Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan ’45.
Kariernya sebagai sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan
Rivai Apin menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak
Takdir. Kumpulan puisi itu sangat banyak mendapat tanggapan, terutama
judulnya yang mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga
menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan Surat Kepercayaan
Gelanggang sebagai manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar
mempopulerkan mereka.
Selain itu, ia pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana
(kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan pimpinan umum Citra Film
(1981-1982).
Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi
juga penulis cerpen, dan drama. Cerpennya yang berjudul Sahabat Saya Cordiaz
dimasukkan oleh Teeuw ke dalam Moderne Indonesische Verhalen dan dramanya
Mahkamah mendapat pujian dari para kritikus. Disamping itu, ia juga dikenal
sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik di dekade 1950-an. Salah satu
karya esainya yang terkenal adalah Surat atas Kertas Merah Jambu (sudah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda).

Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan
langkahnya ke dunia film. Garapan pertamanya di bidang film adalah skenario
Pegawai Tinggi (1953). Debut pertama penyutradaraan filmnya adalah Titian
Serambut Dibelah Tudjuh (1959). Ia mementaskan Pintu Tertutup karya Jean-Paul
Sartre dan Burung Camar karya Anton P., dua dari banyak karya yang lain.
Skenario yang di tulisnya untuk Lewat Djam Malam (mendapat penghargaan dari
FFI, 1955), Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (mendapat Golden Harvest pada Festival
Film Asia, 1971), dan Kemelut Hidup (mendapat Piala Citra 1979) memasukkan
namanya pada jajaran sineas hebat Indonesia. Ia juga menyutradarai film Salah
Asuhan (1972), Jembatan Merah (1973), Bulan di Atas Kuburan (1973), dan
sederet judul film lainnya.Salah satu film karya Asrul Sani yang kembali populer
pada tahun 2000-an adalah Nagabonar yang dibuat sekuelnya, Nagabonar Jadi 2
oleh sineas kenamaan Deddy Mizwar.

Selain menulis puisi, cerpen, esai, naskah teater, dan skenario film, dia banyak
menerjemahkan karya sastra mancanegara. Sementara bergiat di film, pada masa-
masa kalangan komunis aktif untuk menguasai bidang kebudayaan, Asrul
mendampingi Usmar Ismail ikut menjadi arsitek lahirnya LESBUMI (Lembaga
Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh partai politik Nahdhatul
Ulama. Lembaga yang berdiri pada tahun 1962 itu, didirikan untuk menghadapi
aksi seluruh front kalangan "kiri". Usmar Ismail menjadi Ketua Umum,
sedangkan Asrul sebagai wakilnya. Pada saat itu ia juga menjadi Ketua Redaksi
penerbitan LESBUMI, Abad Muslimin.

Memasuki Orde Baru, sejak tahun 1966 Asrul menjadi angota DPR mewakili NU.
Terpilih lagi pada periode 1971-1976 mewakili Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) untuk provinsi Sumatera Barat. Sementara itu sejak tahun 1968 terpilih
sebagai anggota DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dan pada tahun 1976-1979
menjadi Ketua DKJ. Sejak tahun 1970, Asrul diangkat menjadi salah satu dari 10
anggota Akademi Jakarta. Ia juga pernah menjadi Rektor LPKJ (Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta), yang kini bernama Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Asrul beberapa kali duduk sebagai anggota Badan Sensor Film, dan pada tahun
1979 terpilih sebagai anggota dan Ketua Dewan Film Nasional. Pada tahun 1995,
ia menjadi anggota BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional).
3. Rivai Apin
Rivai Apin (lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 30 Agustus 1927 -
wafat di Jakarta pada April 1995) adalah sastrawan Indonesia. Rivai pernah
menimba ilmu hukum di Jakarta selama beberapa tahun. Ia pernah menjadi
redaktur Nusantara, Gema Suasana, Gelanggang Siasat, Zenith, dan Zaman Baru.
Ia pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, DPRD DKI Jakarta.
Ia merupakan salah seorang pimpinan pusat Lekra (1959-1965). Setelah peristiwa
G30S, ia ditahan di Pulau Buru selama 14 tahun dan dibebaskan pada akhir tahun
1979.Rivai menulis puisi. Puisi-puisinya pernah dimuat dalam Gema Tanah Air
(editor H.B. Jassin) (1948) dan Dari Dua Dunia yang Belum Sudah (editor Harry
Aveling) (1972).[2] Bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani, dia menerbitkan
antologi puisi Tiga Menguak Takdir (1950).
4. Idrus
Idrus nama lengkap Abdullah Idrus. Jika Chairil Anwar ditasbihkan sebagai
pelopor Angkatan '45 untuk puisi, Idrus oleh H.B.
Idrus lahir tanggal 21 September 1921 di Padang, Sumatra Barat dan meninggal
tanggal 18 Mei 1979 di Padang meninggalkan seorang istri dan enam orang anak,
dapat dianggap sebagai tokoh yang kontroversial. Dalam salah satu novel
pendeknya "Surabaya" (1947), pengarang ini mengejek patriot-patriot Indonesia
sebagai cowboy-cowboy dan bandit. Novel pendek ini cukup terkenal sehingga
mendapat dampratan dari sana sini (S. Kendro, 1954). Selain berbentuk cerpen,
karyanya yang lain berbentuk novel, seperti Aki (1950), Dengan Mata Terbuka
(1961, Kuala Lumpur), dan Hati Nurani Manusia (Kuala Lumpur, 1963 & Pustaka
Jaya, 1976). Novelnya yang terakhir berjudul Hikayat Puteri Penelope (1973),
Perempuan dan Kebangsaan (Kuala Lumpur, 1963)

Idrus meninggalkan kesan yang besar karena untuk pertama kali dengan jelas
sekali memperlihatkan pemisahan antara prosa zaman revolusi dan prosa
Pujangga Baru (Teeuw, 1978: 217), meskipun peranan Idrus tidaklah sepenting
Chairil Anwar dalam Angkatan '45.

5. Achdiat Karta Mihardja


Achdiat lahir pada tanggal 6 Maret 1911 di Garut, Jawa Barat. Ayahnya, seorang
manajer bank, memiliki koleksi buku yang dianggap Achdiat sebagai pemicu
minatnya pada sastra. Dia bekerja sebagai jurnalis di awal kariernya. Pada tahun
1949, ia menerbitkan karyanya yang paling penting, Atheis, yang berpusat pada
seorang pria Muslim dari Jawa Barat, Hasan, dan hubungannya dengan teman-
temannya, yang telah dipengaruhi oleh ide-ide asing, seperti Marxisme. Buku ini
dianggap sebagai salah satu karya sastra modern terpenting di Indonesia. Atheis
kemudian diadaptasi menjadi film tahun 1974, yang disutradarai oleh Sjumandjaja
dan dibintangi oleh Christine Hakim dan Deddy Sutomo. Achdiat adalah
penerima penghargaan sastra nasional Indonesia pada tahun 1956 untuk karyanya.
Achdiat mengawali pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School di Kota
Bandung. Ia lulus pada tahun 1925. Kemudian melanjutkan ke MULO di
Bandung (lulus 1929) dan AMS-A Solo (lulus tahun 1932) dan melanjutkan ke
Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Indonesia pada tahun 1958 namun tidak
selesai. Ia pernah bekerja sebagai guru di perguruan Taman Siswa, redaktur Balai
Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dosen Fakultas
Sastra Universitas Indonesia (1956-1961), dan sejak 1961 hingga pensiun dosen
kesusastraan Indonesia pada Australian National University, Canberra, Australia.
Achdiat juga pernah menjadi redaktur harian Bintang Timur dan majalah
Gelombang Zaman (Garut), Spektra, Pujangga Baru, Konfrontasi, dan Indonesia.
Di samping itu, ia pernah menjadi Ketua PEN Club Indonesia, Wakil Ketua
Organisasi Pengarang Indonesia, anggota BMKN, angggota Partai Sosialis
Indonesia, dan wakil Indonesia dalam Kongres Internasional PEN Club di
Lausanne, Swiss (1951)

6. Siti Rukiah
S. Rukiah juga dikenal dengan nama Siti Rukiah Kertapati (25 April 1927 – 6
Juni 1996) adalah seorang tokoh sastra Indonesia yang menulis karya sastra
roman, cerita anak, cerita pendek, dan puisi.

Setelah lulus dari Sekolah Guru, Rukiah mengajar di Purwakarta selama dua
tahun. Pada tahun 1945, ia mengajar di Sekolah Gadis Purwakarta. Sejak tahun
1946, Rukiah mengisi majalah Gelombang Zaman dan Godam Djelata. Rukiah
menerbitkan puisi yang dimuat di majalah Gelombang Zaman menggunakan
nama lengkapnya Siti Rukiah.

Pendidikan S. Rukiah berawal dari sekolah Rendah Gadis kemudian ia


melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru (CVO) selama dua tahun. Setelah
menyelesaikan pendidikan dari CVO, S. Rukiah memutuskan untuk menjadi guru
di Sekolah Rendah Gadis Purwakarta. Di samping itu, ia juga pernah menjadi
sekretaris redaksi majalah Pujangga Baru dan menjadi redaksi di majalah Bintang
Timur/ Lentera bersama Pramoedya Ananta Toer, serta pernah bekerja di majalah
pendidikan anak-anak, Cendrawasih, dan anggota Pimpinan Pusat Lekra 1959—
1965. Sejak tahun 1946, S. Rukiah sudah menulis di berbagai majalah, antara lain
dalam Gelombang Zaman dan Mimbar Indonesia. Berkat dorongan Hendra
Gunawan, temannya, S. Rukiah akhirnya bisa menjadi penulis. Padahal
sebelumnya, S. Rukiah beberapa kali mengirimkan hasil karyanya ke berbagai
majalah ditolak, tetapi ia tidak putus asa. S. Rukiah menerima saran dan kritik
diberikan untuk karya-karyanya. Dia pernah menulis surat kepada H.B. Jassin,
bahwa ada orang yang memfitnahnya dan mengatakan karangan dan sajaknya
yang telah dimuat di berbagai majalah adalah hasil jiplakan. Sementara itu, H.B.
Jassin menanggapi surat S. Rukiah dan menyarankan supaya S. Rukiah
mendiamkan saja persoalan itu dan harus memperkuat keberadaan dirinya dalam
dunia sastra dengan cara terus mencipta dan meningkatkan mutu karyanya.

7. Trisno Sumarjo
Trisno Sumardjo (6 Desember 1916 – 21 April 1969) adalah seorang sastrawan,
penerjemah, dan pelukis Indonesia. Sebagai penerjemah, ia banyak
menerjemahkan drama William Shakespeare. Ia adalah ketua Dewan Kesenian
Jakarta yang pertama dan salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan.

Ia pernah bekerja sebagai guru swasta (1938-1942) dan pegawai jawatan Kereta
Api (1942-1946). Sebagai redaktur, ia pernah bekerja di majalah Seniman (1947-
1948), Indonesia (1950-1952), Seni (1954), dan Gaya (1968). Di bidang
kerorganisasian ia pernah menjadi sekretaris umum BMKN (1956), menjadi ketua
pertama Dewan Kesenian Jakarta (1968-1969).

Pada tahun 1950-an Trisno pernah berdebat dengan Sudjojono tentang haluan seni
rupa Indonesia. Dalam polemik tersebut, Trisno menanggapi anjuran Sudjojono
pada seniman Indonesia untuk kembali pada realisme. Tanggapannya, "Rakyat
kita tidak hanya mengerti realisme, melainkan juga cara-cara lain. Sebab,
umumnya rakyat dari dahulu kala telah mengenal deformasi, baik dalam bentuk
maupun warna. Perhatikan wayang-wayang kulit, relief-relief Borobudur, patung-
patung serta lukisan Bali, dan sebagainya. Bukankah hal-hal yang ekspresif,
stylistis, dan dekoratif di dalamnya itu jauh dari realisme?"

8. Utuy Tatang Sontani


Utuy Tatang Sontani (1 Mei 1920 – 17 September 1979) adalah seorang
sastrawan (penulis dan dosen ilmu bahasa) Indonesia. Dia pernah bersekolah di
Taman Dewasa, Bandung. Dia pernah bekerja di RRI Tasikmalaya, Balai Pustaka,
Jawatan Pendidikan Masyarakat (Bagian Naskah dan Majalah), Jawatan
Kebudayaan Kementerian PP & K, dan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan
Indonesia. Dia adalah anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kebudajaan Rakjat
(Lekra) (1959–1965).

Karyanya yang pertama adalah Tambera (versi bahasa Sunda 1937) sebuah novel
sejarah yang berlangsung di Kepulauan Maluku pada abad ke-17. Novel ini
pertama kali dimuat dalam koran daerah berbahasa Sunda Sipatahoenan dan Sinar
Pasundan pada tahun yang sama. Setelah itu, Utuy menerbitkan kumpulan cerita
pendeknya, Orang-orang Sial (1951), yang diikuti oleh cerita-cerita lakonnya
yang membuatnya terkenal. Lakon pertamanya (Suling dan Bunga Rumahmakan,
1948) ditulis sebagaimana lakon ditulis, tetapi selanjutnya ia menemukan cara
menulis lakon yang unik, yang bentuknya seperti cerita yang enak dibaca. Selain
itu, ia pernah menerjermahkan karya sastra.

B. Periode Sastra Angkatan 45

Anda mungkin juga menyukai