Anda di halaman 1dari 13

UNIVERSITAS INDONESIA

“Decentralizing for Development: The developmental potential of local


autonomy and the limits of politics-driven decentralization reforms”
Literature Review

Disusun Oleh:
Kelompok 5

Adilla Rahmatushiva 2206817276


Muhammad Naufal Jabarullah 2206036524
Muhammad Rasikhan Wildan M 2206829805
Sultan Zachri Dipo Arifin 2206092973
Raisya Fitri Humaira 2206825025

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
DEPOK
2023
1. PEMBAHASAN
Di dalam jurnal dijelaskan bahwa desentralisasi demokratis merupakan salah
satu kunci dari agenda “good governance”. Kontribusi yang menekankan sifat dinamis
dari modal sosial dan konstruksi melalui interaksi dengan lembaga-lembaga politik
lokal merupakan faktor penting bagi perkembangan lokal. Akan tetapi, tidak selalu jelas
bahwa hubungan modal sosial dengan perkembangan lokal selalu positif. Oleh karena
itu, fokus pada interaksi antara lembaga politik lokal dan modal sosial sangat kritis
untuk memahami kondisi di mana modal sosial dapat menjadi faktor penting dalam
pembangunan lokal atau malah mengakibatkan penyerapan oleh elit, kolusi, korupsi,
bahkan ekonomi kriminal. Penting untuk menekankan bahwa modal sosial tidak cukup
dan tidak bisa menggantikan sumber daya manusia, fisik, dan keuangan yang diperlukan
untuk proyek pembangunan lokal. Namun, modal sosial dapat menjadi kunci untuk
memobilisasi sumber daya lainnya, dan potensi jaringan sosial untuk memfasilitasi
pembangunan lokal harus diakui dan diaktifkan oleh pemimpin politik lokal yang
memperhatikan pembangunan. Selain itu, pemahaman tentang pentingnya modal sosial
untuk pembangunan lokal endogen dan adopsi strategi pembangunan nasional
terdesentralisasi sangat penting untuk membangun negara berkembang melalui
pendekatan modernisasi yang tidak meniadakan, melainkan melibatkan secara positif
formasi sosial-sosial lokal tradisional
Lalu dijelaskan bahwa konsep "lokal" dalam pembangunan lokal tidak hanya
merujuk pada tempat dimana pembangunan terjadi, tetapi lebih mengacu pada siapa dan
bagaimana pengembangan dilaksanakan. Hal ini menyoroti peran penting pemerintah
lokal dan sumber daya khusus yang mereka dapatkan. Pembangunan lokal tidak hanya
mengandalkan sumber daya lokal, tetapi juga mengkombinasikannya dengan sumber
daya nasional atau global untuk memberikan kontribusi tambahan dalam upaya
pembangunan nasional. Keberhasilan pengembangan desentralisasi yang berdampak
pada pengembangan lokal tidak hanya memerlukan perpindahan perspektif, tetapi juga
memerlukan pemahaman mengenai bagaimana kemandirian lokal dan sumber daya
lokal dapat dimanfaatkan dalam konteks pembangunan. Pentingnya sosial kapital untuk
pengembangan lokal juga diperkuat dengan penekanan pada interaksi antara institusi
politik lokal dan kapital sosial. Namun, keberhasilan pengembangan lokal tidak hanya
bergantung pada sosial kapital, melainkan juga pada sumber daya manusia, fisik, dan
finansial, baik dari tingkat lokal maupun non-lokal.
Local development dan social capital merupakan topik yang penting dalam
konteks pembangunan lokal. Social capital dipandang sebagai produk dari jaringan
hubungan sosial yang efektif, yang memfasilitasi pertukaran ekonomi. Kontribusi ini
menekankan perlunya memahami social capital sebagai faktor kunci dalam strategi
pembangunan lokal. Social capital tidak hanya melibatkan norma budaya yang umum,
tetapi juga melibatkan jaringan sosial yang efektif. Hal ini menekankan bahwa social
capital lebih merupakan hasil dari hubungan sosial yang efektif daripada hanya
kekayaan norma budaya. Selain itu, pengembangan social capital juga sangat
bergantung pada kemandirian lokal dengan memberikan keleluasaan bagi pemerintah
lokal untuk menjalankan fungsi pelayanan dan pengembangan ekonomi lokal. Dengan
demikian, social capital sangat berkaitan dengan peran pemerintah lokal dalam
mempromosikan pembangunan lokal.
Lembaga politik lokal, khususnya pemerintah lokal, diakui sebagai agen yang
memiliki peran utama dalam mempromosikan pembangunan lokal. Mereka memiliki
mandat yang luas untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan multi-sektoral yang
komprehensif yang diperlukan dalam menghadapi tantangan pembangunan lokal.
Pemerintah lokal juga memiliki legitimasi unik untuk memfasilitasi peran dan mencapai
konsensus di antara aktor institusional yang berbeda dan kelompok kepentingan. Selain
itu, pemerintah lokal memiliki kekuatan regulasi yang unik untuk menegakkan tindakan
lokal dan sensitif terhadap tekanan sosial dan kondisi lokal. Mereka juga memiliki
tingkat stabilitas institusional yang lebih besar, memungkinkan mereka untuk bertahan
dan terus menghadapi tantangan pembangunan lokal. Lembaga politik lokal memiliki
keunggulan komparatif yang besar dalam mempromosikan pembangunan lokal,
terutama dalam pengembangan ekonomi lokal. Namun, keberhasilan pemerintah lokal
dalam mewujudkan perkembangan lokal ini juga tergantung pada pemahaman yang
lebih baik tentang politik lokal yang mendasarinya dan penerimaan yang lebih dalam
terhadap prinsip-prinsip dasar dari kerangka pembangunan lokal melalui pemerintah
lokal yang berdaulat. Pentingnya lembaga politik lokal dalam proses pembangunan
lokal menekankan betapa pentingnya pemahaman yang lebih baik tentang peran
kritisnya dan kebutuhan akan dukungan dalam melaksanakan inisiatif-inisiatif
pembangunan lokal.
Desentralisasi membawa konsep kebijakan pengambilan keputusan yang lebih
dekat dengan masyarakat setempat melalui otonomi lokal. Otonomi lokal merujuk pada
kebebasan pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan dan fungsi pembangunan
sesuai kebutuhan lokal, serta pengaturan terkait. Dalam konteks ini, penting untuk
memahami bahwa pemerintah daerah tidak hanya bertindak sebagai agen negara pusat,
tetapi juga sebagai penggerak utama pembangunan lokal. Otonomi lokal memainkan
peran kunci dalam memfasilitasi interaksi antara pemerintah daerah dengan masyarakat
lokal untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Otonomi lokal
juga memainkan peran yang krusial dalam membantu membangun modal sosial di
tingkat lokal. Jadi, keberadaan modal sosial dan lembaga politik lokal yang berkualitas
dapat menentukan bagaimana sumber daya lainnya dapat dikembangkan, dimobilisasi,
dan digabungkan untuk meraih strategi pembangunan lokal yang spesifik .
Potensi dampak pembangunan otonomi pemerintah daerah terletak pada
kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini dapat
mempengaruhi status ekonomi, akses terhadap layanan, lingkungan sehat, serta interaksi
sosial. Studi awal oleh Wolman and Goldsmith (1990) menunjukkan bahwa tindakan
pemerintah daerah yang otonom memiliki dampak yang bervariasi dan potensial pada
kesejahteraan masyarakat setempat. Namun, dampak ini tergantung pada jumlah sumber
daya yang tersedia untuk otonomi pemerintah daerah dalam merencanakan
pembangunan yang sejati. Otonomi pemerintah daerah dapat membantu mereka
memberikan kontribusi tambahan dalam upaya pembangunan nasional, terutama jika
otonomi tersebut didefinisikan sebagai kombinasi dari kekuatan inisiatif dan kebebasan
dari kendali tingkat yang lebih tinggi dari negara. Poin penting dari pengembangan
pembangunan otonom pemerintah daerah adalah kemampuan mereka untuk merespons
langsung terhadap kebutuhan dan prioritas lokal.
Dalam jurnal disimpulkan bahwa pentingnya kebijakan pembangunan lokal
nasional merupakan langkah krusial dalam menggerakkan reformasi desentralisasi dan
mendorong pembangunan lokal. Kebijakan ini seharusnya menjadi pendorong utama
dalam merancang perubahan dalam sistem pemerintahan sub-nasional dan administrasi
publik. Dengan mengakui pentingnya peran pemerintah daerah sebagai agen utama
pembangunan lokal, kebijakan pembangunan lokal nasional diharapkan dapat menjadi
instrumen yang efektif dalam menggerakkan pembangunan ekonomi secara
keseluruhan. Namun, tantangan dalam mengadopsi prinsip-prinsip ini terletak pada
pergeseran perspektif yang sulit bagi banyak pemerintah pusat dan mitra pembangunan,
yang dapat menghambat proses reformasi desentralisasi yang berorientasi pada
pembangunan serta memperkuat praktik-praktik yang tidak selaras dengan tujuan
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang intens antara pemerintah negara
berkembang yang melakukan desentralisasi dan mitra pembangunan dalam membangun
kebijakan lokal yang eksplisit dan efektif.
Selanjutnya, dalam jurnal juga dijelaskan demand akan desentralisasi dan juga
peran kepemimpinan di daerah pemerintah. Penulis menjelaskan pentingnya adopsi
perspektif pembangunan lokal oleh pemerintah nasional untuk efek pembangunan dari
reformasi desentralisasi, keberlanjutan reformasi dan dampak pembangunan yang
sebenarnya bergantung pada inisiatif dan kepemimpinan yang ditunjukkan oleh otoritas
lokal sendiri. Sebagian reformasi desentralisasi cenderung didorong dari atas oleh
pemerintah pusat daripada diminta dari bawah oleh pemerintah lokal atau organisasi
masyarakat sipil. Namun, keberlanjutan dan kesuksesan reformasi desentralisasi lebih
besar ketika inisiatif berasal dari bawah, didorong oleh masyarakat sipil dan gerakan
munisipal yang terorganisir, seperti yang terjadi di Amerika Latin. Keberhasilan
reformasi desentralisasi juga terkait dengan kemampuan otoritas lokal untuk
menggunakan kewenangan yang diberikan. Jika kepemimpinan lokal yang efektif tidak
muncul dan memanfaatkan ruang yang terbuka oleh reformasi desentralisasi, maka
janji-janji pembangunan dari desentralisasi akan tetap tidak terpenuhi.
Pada bagian selanjutnya, penulisan menjelaskan perbedaan antara reformasi
desentralisasi yang didorong secara politis dengan yang didorong oleh pembangunan.
Reformasi desentralisasi yang didorong secara politis cenderung dipicu dari atas oleh
pemimpin yang berkuasa untuk kepentingan politik nasional, namun seringkali tidak
menghasilkan perubahan administratif, fungsional, dan fiskal yang diperlukan untuk
mendorong pembangunan lokal. Sebaliknya, reformasi desentralisasi yang didorong
oleh pembangunan bertujuan untuk menciptakan kondisi bagi otoritas lokal yang
otonom untuk mempromosikan pembangunan lokal. Namun, terlepas dari tujuan
reformasi, implementasinya seringkali terkendala oleh politisasi dan kurangnya
dukungan penuh dari pemerintah pusat serta keengganan untuk memperjuangkan
reformasi yang komprehensif. Kendati demikian, terdapat potensi bahwa pemilihan
dewan lokal dapat membuka dinamika yang tidak dapat sepenuhnya diabaikan, di mana
dewan tersebut dapat memperjuangkan akuntabilitas dan kekuasaan yang lebih besar
serta mulai berperan dalam regulasi inti dan penyediaan layanan negara.
Pada bagian selanjutnya, penulis membahas mengenai bagaimana merancang
dan melaksanakan reformasi desentralisasi yang didorong oleh pembangunan. Pada
bagian ini, reformasi desentralisasi yang didorong oleh pembangunan memerlukan
pendekatan yang berfokus pada tiga aspek utama: kebijakan, kelembagaan, dan output
sektor. Kebijakan dan hukum harus dirancang untuk mendukung otonomi lokal yang
efektif dan alokasi sumber daya yang tepat. Selain itu, perubahan kelembagaan yang
meliputi pengaturan partisipasi politik loka, manajemen pengeluaran publik yang
transparan, dan pemberian layanan publik yang efektif harus diterapkan. Selanjutnya,
investasi dalam infrastruktur dan layanan lokal harus dilakukan untuk meningkatkan
kondisi dasar bagi pertumbuhan ekonomi lokal serta meningkatkan kualitas pelayanan
administratif dan sosial yang tersedia untuk masyarakat setempat. Pentingnya
pendekatan ini terletak pada kebutuhan untuk menyelaraskan reformasi desentralisasi
dengan tujuan pembangunan lokal yang berkelanjutan, sambil memperhitungkan
konteks politik dan ekonomi yang spesifik dari setiap negara.
Terakhir, penulis menjelaskan mengenai donor dan lembaga bantuan
internasional semakin menyadari bahwa reformasi desentralisasi pada dasarnya
didorong oleh politik, dan mereka semakin berkomitmen untuk “berpikir secara politis”
dalam menilai ruang lingkup dan modalitas dukungan eksternal terhadap proses
reformasi tersebut. Namun, langkah selanjutnya yang lebih sulit bagi mitra
pembangunan adalah untuk “bertindak secara politis”. Hal ini memerlukan untuk
memihak, mendorong, dan mengambil risiko, serta mengidentifikasi dan mendukung
para pemimpin reformasi, termasuk menerima kompromi dan pengunduran taktis yang
diperlukan agar reformasi tetap berjalan dan membangun dukungan sosial untuknya.
Meskipun pemahaman akan pentingnya politik dalam reformasi semakin meningkat,
lembaga bantuan internasional masih kesulitan untuk benar-benar terlibat secara politis
dalam proses yang berantakan demi mencapai tujuan pembangunan lokal yang
berkelanjutan.
2. KRITIK DAN SARAN TERHADAP ARTIKEL
Kemungkinan kekurangan dari langkah-langkah desentralisasi tidak dianalisis
secara kritis dalam artikel ini. Artikel ini mengabaikan potensi dampak negatif atau
kegagalan yang dapat terjadi akibat reformasi ini dan hanya berkonsentrasi pada
keuntungan dan kemungkinan yang muncul dari desentralisasi. Artikel ini memberikan
perspektif yang agak bias tentang masalah ini dengan tidak membahas kelemahan dan
kekurangan inisiatif desentralisasi, yang dapat menyebabkan pembaca mengabaikan
bahaya dan kesulitan yang terlibat dalam menerapkan perubahan desentralisasi.
Selain itu, artikel tersebut dapat memperoleh manfaat dari eksplorasi yang lebih
mendalam mengenai peran korupsi dan dinamika kekuasaan dalam proses
desentralisasi. Korupsi di tingkat lokal dapat secara signifikan menghambat efektivitas
reformasi desentralisasi dan mengurangi manfaat yang diharapkan bagi masyarakat
lokal. Dengan tidak membahas masalah korupsi dan perebutan kekuasaan dalam sistem
desentralisasi, artikel ini mungkin terlalu menyederhanakan kompleksitas pelaksanaan
inisiatif desentralisasi yang berhasil.
Lebih jauh lagi, artikel tersebut dapat memberikan contoh-contoh yang lebih
konkret atau studi kasus untuk menggambarkan poin-poin yang dibuat dalam teks.
Contoh-contoh dunia nyata dari upaya desentralisasi yang berhasil maupun yang gagal
akan menambah kedalaman dan wawasan praktis dalam diskusi, sehingga pembaca
dapat lebih memahami nuansa dan tantangan yang terkait dengan reformasi
desentralisasi.
Secara keseluruhan, meskipun artikel ini menawarkan wawasan yang berharga
mengenai kompleksitas reformasi desentralisasi, artikel ini dapat memperoleh manfaat
dari pendekatan yang lebih berimbang yang mengakui adanya potensi kekurangan,
membahas peran korupsi, dan memasukkan contoh-contoh praktis untuk meningkatkan
pemahaman para pembaca.

SARAN
Dalam makalah ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai tantangan dan
peluang yang berkaitan dengan reformasi desentralisasi di negara-negara berkembang,
dengan menekankan pentingnya pembangunan dan otonomi daerah dalam mendorong
keberhasilan reformasi. Namun, untuk meningkatkan kedalaman dan dampak dari
analisis ini, ada beberapa saran yang dapat diajukan. Pertama, makalah ini dapat
memperoleh manfaat dari pemeriksaan yang lebih kritis terhadap potensi kelemahan dan
keterbatasan reformasi desentralisasi yang digerakkan oleh politik yang mengutamakan
kontrol pusat daripada pembangunan lokal yang sesungguhnya. Dengan mengeksplorasi
risiko dan kegagalan yang terkait dengan pendekatan semacam itu, makalah ini dapat
menawarkan perspektif yang lebih seimbang tentang kompleksitas proses desentralisasi.
Kedua, makalah ini dapat menguraikan lebih lanjut peran mitra pembangunan
dalam mendukung para pejuang reformasi dan mendorong proses desentralisasi di dunia
nyata. Dengan membahas strategi khusus dan praktik-praktik terbaik untuk melibatkan
para pemangku kepentingan dan membina kepemimpinan lokal, makalah ini dapat
memberikan wawasan praktis bagi para pembuat kebijakan dan praktisi yang terlibat
dalam prakarsa desentralisasi.
Lalu, makalah ini juga menggali lebih dalam mekanisme akuntabilitas horizontal
dan pengawasan demokratis yang sangat penting untuk memastikan otonomi dan
efektivitas pemerintah daerah. Dengan mengeksplorasi bagaimana struktur
pertanggungjawaban dapat memberdayakan pemerintah daerah untuk mendorong
perubahan yang berkelanjutan dalam tata kelola pemerintahan dan administrasi,
makalah ini dapat memberikan wawasan yang berharga mengenai faktor-faktor kunci
yang berkontribusi terhadap keberhasilan reformasi desentralisasi.
Secara keseluruhan, makalah ini dapat memberikan analisis yang lebih
menyeluruh dan bernuansa mengenai reformasi desentralisasi di negara-negara
berkembang dengan membahas rekomendasi-rekomendasi ini dan memperluas
tema-tema pembangunan lokal, otonomi, dan akuntabilitas. Hal ini pada akhirnya akan
memberikan kontribusi pada wacana yang lebih berdampak dan terinformasi mengenai
topik penting ini.

3. RELEVANSI TERHADAP INDONESIA


Di Indonesia desentralisasi tidak dapat dipisahkan dengan reformasi serta politik
itu sendiri. Desentralisasi juga dianggap penting karena dapat meningkatkan keefektifan
dalam pemerintahan. Reformasi yang di maksud dalam artikel salah satunya adalah
pembangunan, setiap negara pasti akan melakukan pembangunan. Pembangunan dapat
membersamai serta mendorong perekonomian Indonesia, salah satu contohnya adalah
pembangunan infrastruktur atau jalan yang dapat memberikan manfaat sebagai salah
satu akses jalannya distribusi perekonomian Indonesia.
Pembangunan daerah di Indonesia masih belum merata, oleh sebab itu adanya
desentralisasi daerah agar pemerintah daerah tidak harus menunggu dari pemerintah
pusat, artinya bahwa pemerintah daerah mempunyai wewenang atas daerahnya dalam
menangani permasalahan yang ada. Setiap daerah memiliki potensi serta sumber daya
alam dan manusia yang berbeda, pemerintah pusat tidak dapat menyamaratakan
kebijakan untuk setiap daerah. Oleh karena itu, desentralisasi ini hadir agar setiap
daerah memiliki kewenangan untuk memajukan daerahnya sendiri yang sesuai dengan
ciri khas atau kebudayaan daerah tersebut.
Pemerintah daerah selalu berupaya agar daerahnya makmur serta dapat
terpenuhi kebutuhannya. Tata kelola yang baik serta pemerintahan yang baik dapat
menghasilkan desentralisasi yang baik pula. Salah satu produk dari desentralisasi daerah
adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Yaitu anggaran yang
dimiliki oleh daerah itu sendiri, dikelola dengan baik untuk memenuhi kebutuhan
daerahnya itu sendiri. APBD ini merupakan bentuk dari penerimaan serta pengeluaran
daerah, dalam APBD juga biasanya memuat rancangan apa saja yang akan dilakukan
oleh daerah selama periode tertentu dan berapa anggaran yang dibutuhkan dalam
rancangan tersebut. Selain itu, di Indonesia ada pula Pendapatan daerah yang berasal
dari pajak daerah, hasil kekayaan SDA daerah, retribusi daerah dll.
Pertama, pajak daerah terdiri dari pajak kendaraan, pajak air, pajak rokok, pajak
hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame pajak penerangan jalan, pajak
mineral yang bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak bumi, pajak bangunan.
Kedua, pajak dari hasil kekayaan sumber daya alam. seperti beras, kopi, gula, dan
lain-lain yang akan dijual kepada masyarakat atau diekspor ke luar negeri. Ketiga, pajak
retribusi merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan Mardiasmo (2018).
Otonomi daerah pastinya memiliki dampak positif serta negatif bagi masyarakat.
Dampak positifnya adalah potensi yang ada pada daerah tersebut akan berkembang
karena didorong oleh pemerintah daerah serta dikelola dengan baik sumber daya nya,
daerah memiliki kewenangan dalam mengatasi permasalahan yang ada tanpa harus
menunggu dari pemerintah pusat, sumber daya yang dimiliki oleh daerah dapat
dikembangkan dan di inovasikan sehingga dapat memajukan daerah tersebut bahkan
dapat bersaing dengan daerah lain, otonomi daerah juga bertujuan dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sehingga masyarakat lebih sejahtera dan lebih makmur.
Dampak negatifnya adalah karena kewenangan yang dimiliki oleh daerah itu
sendiri terkadang membuat pejabat politik berperilaku sewenang-wenang terhadap
masyarakat karena merasa bahwa dirinya memiliki kekuasaan dan kewenangan dari
pemerintah pusat, daerah yang kurang atau yang tidak memiliki dana yang cukup serta
sumber daya yang tidak memadai lebih condong untuk susah beradaptasi sehingga dapat
tertinggal dengan daerah lain, serta konflik antar daerah pun sering terjadi karena
merasa paling unggul daerahnya sehingga dapat menimbulkan konflik.Hal yang lebih
penting adalah pengawasan dari pemerintah pusat yang kurang terhadap pemerintah
daerah, sehingga tak sedikit pemerintah daerah melakukan hal-hal yang menyimpang
seperti korupsi. Dana yang seharusnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya
malah dipergunakan untuk kepentingan pribadinya. Sehingga masyarakat di daerah
tidak tercukupi kebutuhannya.
Diadakannya desentralisasi adalah agar waktu serta biaya yang dikeluarkan oleh
pemerintah lebih efektif dalam mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia. Namun,
tidak dapat dipungkiri bahwa tidak menutup kemungkinan adanya permasalahan
lainnya. Apalagi dalam pemerintahan beriringan dengan kepentingan-kepentingan
politik yang ada. Tak heran, bahwa kepentingan politik hadir dalam permasalahan
otonomi daerah.
Dalam artikel disebutkan juga potensi dan batasan dari reformasi desentralisasi
yang didorong oleh politik untuk mendorong pembangunan lokal. Hal ini dapat
dikaitkan dengan pengalaman Indonesia yang telah melaksanakan reformasi
desentralisasi sejak tahun 1999, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan,
demokrasi, dan pemberdayaan daerah. Hal ini terimplementasi melalui pengkudetaan
rezim Orde Baru yang lebih menitikberatkan pada sentralisasi dengan dasar hukum
Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (UU
5/1974 Pemda). Melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda 22/1999) untuk menggantikan UU 5/1974
desentralisasi mulai diberlakukan di Indonesia (Samadhi, 2005). Dalam UU ini,
otonomi daerah diperkuat dan beberapa kewenangan pemerintah pusat dialihkan ke
pemerintah daerah. UU tersebut setidaknya mengandung beberapa poin penting, yaitu
pembentukan daerah otonom, memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah
untuk mengelola urusan pemerintahan yang tidak termasuk dalam daftar urusan
pemerintah pusat—pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lingkungan hidup—, dana
alokasi umum (DAU), dan pemilihan kepala daerah.
Artikel tersebut berbicara tentang pentingnya pemerintah pusat untuk
mendukung desentralisasi melalui pemberian otonomi daerah dengan kebijakan yang
mendukung pembangunan lokal. Hal ini juga terlihat di Indonesia melalui perubahan
dan perbaikan terhadap setiap kebijakan pemerintah untuk mendukung otonomi daerah.
Terhitung, sudah tiga kali UU Pemda diubah setelah UU Pemda 22/1999—pada tahun
2004, 2014, 2015. Hal ini bisa menjadi indikator untuk menilai komitmen pemerintah
untuk terus memperbaiki dan meningkatkan otonomi daerah di Indonesia. Jika dilihat
dari rasio tingkat ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia, terdapat penurunan
dari 0,41 tahun 2015 menjadi 0,38 tahun 2020 (Badan Pusat Statistik, 2020). Diperkuat
oleh data Indeks Pembangunan Inklusif yang dirilis oleh Bappenas pada aspek
pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan, terdapat kenaikan dari 5.34 tahun
2011 menjadi 6.57 (semakin tinggi, semakin baik). Berdasarkan data tersebut,
komitmen pemerintah pusat untuk terus-menerus memperbaiki kebijakan dalam rangka
meningkatkan desentralisasi yang menurunkan ketimpangan dari perspektif dapat
dikatakan berhasil.
Memang, UU Pemda yang mengalami tiga kali perubahan, menunjukkan
semangat yang baik dalam menunjang pemerataan dan kemandirian masing-masing
daerah. Akan tetapi, perlu disadari bahwa setiap kebijakan memiliki tantangannya
tersendiri. Salah satu tantangan terbesarnya adalah ketimpangan antardaerah. Daerah
yang memiliki sumber daya—manusia maupun alam—akan memiliki daya saing yang
kuat sehingga menimbulkan potensi ketimpangan antara daerah satu dengan daerah
lainnya. Dan juga, permasalahan akuntabilitas pemerintah daerah juga menjadi suatu
permasalahan. Pasalnya, desentralisasi membuat pelimpahan kewenangan dari pusat ke
daerah sehingga pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang meminimalisir intervensi
dari pusat. Alhasil, daerah-daerah yang tidak memiliki akuntabilitas yang baik akan
memonopoli kekuasaan tersebut hanya untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan
mereka. Hal inilah yang perlu disadari dan dimitigasi sehingga desentralisasi tidak
membuat negara menjadi semakin buruk (Fuhr, 2011).
Meskipun sebelumnya dibahas tentang kenaikan indeks pemerataan dari
perspektif pendapatan, tetapi perlu disadari ternyata masih terdapat ketimpangan antara
Indonesia bagian barat (meliputi Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) dengan Indonesia
bagian timur. Hal ini terlihat dari data BPS yang memperlihatkan kontribusi Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia bagian barat sangat dominan, lebih dari 80
persen (dalam Nasution, 2020). Hal ini menjadi bukti bahwa masih terdapat
ketimpangan antara Indonesia bagian barat dengan timur. Selain itu, data peringkat
Inclusive Development Index (indeks pembangunan inklusif) yang dirilis oleh World
Economic Forum tahun 2018, menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat
ke-36, mengalami penurunan dari peringkat ke-22 pada tahun 2017. Peringkat tersebut
masih di bawah Malaysia yang menempati peringkat ke-13, Thailand ke-17, dan
Vietnam ke-33 pada tahun 2018. Melalui data tersebut, dapat terlihat bahwa pemerataan
dari aspek pembangunan di Indonesia ternyata mengalami penurunan. Hal ini menjadi
suatu evaluasi bagi pemerintah untuk terus memperbaiki sistematika desentralisasi
untuk meningkatkan pemerataan pembangunan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2020). Statistik Indonesia. Jakarta: BPS


Fuhr, H. (2011). The Seven Traps of Decentralization Policy. nternational Journal of
Administrative Science & Organization, 18(2).
Nasution, M. (2020). Ketimpangan antar Wilayah & Hubungannya dengan Belanja
Pemerintah: Studi Di Indonesia. Jurnal Budget : Isu dan Masalah Keuangan
Negara, 5(2), 84-102. https://doi.org/10.22212/jbudget.v5i2.101
Romeo, L. (2013). Decentralizing for Development: The developmental potential of
local autonomy and the limits of politics-driven decentralization reforms. The
imperative of good local governance: Challenges for the next decade of
decentralization, 60-90.
Samadhi, Willy P. "Desentralisasi Setengah Hati: Berpindahnya “Sentralisme” ke
Daerah." Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, 2005.
WEF. 2018. The Inclusive Development Index 2018 Summary and Data Highlights.
http://www3.weforum.org/docs/WEF_Forum_IncGrwth_2018.pdf

Anda mungkin juga menyukai