Anda di halaman 1dari 16

KODIFIKASI AL-QUR’AN PADA MASA UTSMAN BIN ‘AFFAN

Dosen Pengampu : Abdul Jalil, S.Th.I., M.Si.

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tarikh Al-Qur’an

Oleh :

Amirah Saniyah Serepa 20105030115

M. Alif Fajri 20105030136

Muh. Sahlan Yunus 20105030127

Mochammad Ridwan Al-Haq 20105030134

Revi Mahersa 20105030139

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2022
A. Latar Belakang Kodifikasi
Tersebarnya Al-Qur’an di beberapa negeri ternyata berdampak
negatif terhadap persatuan umat Islam karena masing-masing daerah
memiliki karakter bahasa dan dialek yang berbeda. Hal ini memicu
egosentris masing-masing pemegang mushaf di daerah dengan menyangka
bahwa riwayat qiro’at merekalah yang paling benar dan lebih baik dari
qiro’at yang lain. Yang lebih ironinya adalah timbul konflik antara murid-
murid yang belajar Al-Qur’an dari guru yang berbeda. Tak menghiraukan
Al-Qur’an lagi dan tak menghormati guru (sahabat) yang mengajar di antara
mereka saling mengkafirkan yang lain.
Terjadi perbedaan cara membaca (qiro’at) di beberapa negara Islam.
Maka, Usman menyatukannya dalam satu bacaan yang sering dibaca
Rasulullah. Dia satukan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan bacaan tadi
dan memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain. Ras
Utsmani merupakan bacaan kaum muslimin hingga masa kini. Perilaku
menyimpang dan terlalu gampang mengklaim kafir terhadap sesama
muslim itu akhirnya didengar oleh Usman bin Affan. Berita tersebut
merisaukan Usman dan menjejaskan persatuan umat. Menyikapi berita itu
dia berpidato di hadapan kaum muslimin: “Kalian yang ada di hadapanku
berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari ku
pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Salah seorang sahabat yang sangat prihatin melihat prilaku kaum
muslimin ini adalah Huzaifah. Dia sangat menyayangkan sikap kaum
muslimin yang semakin hari semakin hebat perselisihan tentang qiro’at.
Maka serta dia mengusulkan kepada Usman agar mengatasi permasalahan
dan menghentikan perselisihan qiro’at. Ketika terjadi perselisihan tentang
Al-Qur’an seyogyanya tidak menghukum sendiri akan tetapi merujuk
kepada orang yang ahli. Sebaiknya adalah menghindari terjadinya
perselisihan tersebut. Menurut As-Sayyid Nada hendaknya seseorang
membubarkan diri jika terjadi pereselisihan tentang Al-Qur’an sebagaimana
dianjurkannya manusia berkumpul untuk membaca Al-Qur’an. Jika terjadi
perselisihan di antara mereka tentang Al-Qur’an, lafazh-lafazh, hukum-
hukumnya, atau yang selainnya dan perselisishan itu berlarut-larut hingga
dikhawatirkan akan membawa akibat-akibat buruk, hendaknya mereka
membubarkan diri. Sebab, dikhawatirkan syaitan akan menjadikan mereka
bercerai-berai.
Ditunjuklah beberapa orang sahabat untuk menjadi tim penulis
wahyu setelah melalui penelitian. Mereka yang terpilih adalah orang yang
paling tulisannya dan paling menguasai Bahasa Arab yaitu Zaid bin Tsabit
Sang Penulis Wahyu sejak zaman Rasul dan Sa’id bin Ash yang dialek
Arabnya sangat mirip dengan Rasul. Mereka berdua dibantu oleh Abdullah
bin Zubair. Di samping itu Usman juga mengadakan penelitian terhadap
shuhuf yang telah sempurna pengumpulannya pada zaman Abu Bakar dan
Umar. Shuhuf yang disimpan Hafsah itulah yang mewarnai Mushaf pertama
yang dijadikan sebagai pegangan
B. Metode Kodifikasi dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya
Terdapat dua riwayat yang menjelaskan bagaimana utsman
melakukan tugas pengumpulan al-Qur’an, satu diantaranya yang lebih
masyhur menyatakan, bahwa Utsman membuat naskah mushaf semata-mata
berdasarkan kepada suhuf yang disimpat dibawah penjagaan Hafsah, bekas
istri Nabi Muhammad saw. Riwayat kedua yang tidak begitu terkenal
menyatakan, Utsman terlebih dahulu memberi wewenang pengumpulan
mushaf dengan menggunakan sumber lama, sebelum membandingkannya
dengaan suhuf yang sudah ada. Kedua versi riwayat tersebut sepaham,
bahwa suhuf yang ada pada Hafsah memainkan peranan penting dalam
pembuatan mushaf Utsmani. Berdasarkan dengan riwayat pertama, utsma
memutuskan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melacak suhuf dari
hafsah, mempercepat penulisan lalu memperbanyak naskah. Al-Bara’
meriwayatkan, kemudian Utsman mengirim surat kepada hafsah yang
mmennyatakan “ kirimkanlah suhuf kepada kami, agar kami dapat
mmembuat naskahh yang sempurna dan kemudian suhuf akan kami
kembalikan kepada anda.” Hafsah lalu mengirimkannya kepada Utsman,
yang memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin az-Zubair, Sa’id bin
al-Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam agar memperbanyak
salinan naskah. Dalam riwayat lain Utsman juga membentuk panitia yang
berjumlah 12 orang yang di tunjuk untuk mengawasi tugas ini. Diantaranya,
Sa’id bin al-Ash, Nafi’ bin Zubair, Zaid bin Tsabit, Ubayy bin Ka’ab,
‘Abdullah bin az-Zubair, Abdur-Rahman bin Hisyam, Kathir bin Aflah,
Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi Amir, Abdullah bin
Umar, dan Abdullah bin Amr bin al-Ash. Identitas ke dua belas tokoh ini di
lacak melalui berbagai macam sumber.1
Dengan ditugaskannya empat orang sahabat pilihan tersebut, maka
hal itu merupakan sebuah langkah yang sangat benar untuk mengatasi
kenyataan pahit yang terjadi. Apabila pada masa-masa khalifah
sebelumnnya, mushaf Abu Bakar yang hanya disimpan di rumah, maka
Utsman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu. Langkah Utsman
memang lebih tepat dianggap memasyarakatkan mushaf Abu Bakar
sekaligus menyatukan bacaan. Alasannya yaitu karena Utsman tetap
menyertakan Zaid bin Tsabit di dalam panitia. Zaid yang sejak zaman
Rasulullah dan Abu Bakar terlibat langsung dalam penulisan dan
penghimpunan al-Qur’an, dapat dipastikan didalam kepanitiaan ini lebih
banyak berperan ketimbang ketiga anggota panitia lainnya. Sehingga
kemungkinan terjadinya perubahan, penambahan, serta hilangnya kalimat
tertentu dapat di tekan sampai denga titik nol dan keaslian al-Qur’an tetap
terjamin.2
Zaid pun juga mengumpulkan bahan al-Qur’an yang terdapat pada
daun kering, dan hafalan para sahabat Rasulullah. Caranya adalah dia
mendengarkan dari orang-orang yang hafal, kemudian dicocokannya
dengan yang telah dituliskan pada bahan-bahan tersebut. Dia tidak
mencukupkan dari sumber yang didengarnya saja, tapi juga mencocokan

1 M.M al-A’zami, Sejarah teks Al-Qur’an – Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, (Jakarta: Gema

Insani, 2005) hal.98


2 Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an – Studi Kompleks Al-Qur’an (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 1992) hal. 75


kepada yang di tulis. Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan
“Al-Mushaf”, dan paniti menulisnya menjadi lima buah naskah, empat buah
diantaranya dikirim ke Mekah, Syria, Basrah, dan Kuffah, agar ditempat-
tempat itu disalin juga masing-masing mushaf itu, dan satu buah diantaranya
ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri dinami dengan “Mushaf Al-
Imam”. Sesudah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua
lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an yang ditulis sebelum itu dan
membakarnya. Ia khawatir kalau mushaf yang bukan salinan panitia empat
itu beredar. Padahal pada mushaf-mushaf yang peredarannya
dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur’an. Karena
merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ juga terdapat
beberapa kalimat yang merupakan tafsiran dan bukan kalimat Allah.
C. Hasil Kodifikasi Di Masa Itu
Setelah selesai melakukan kodifikasi al-Qur’an, beberapa salinan
dari mushaf tersebut disembarkluaskan ke berbagai kota islam. Untuk
penyebarannya sendiri terdapat beberapa Riwayat yang menjelaskan
tentang jumlah mushaf yang di kirim ke berbagai daerah islam. Riwayat
pandangan luasnya, satu mushaf al-Qur’an di simpan di Madinah dan 3 dari
salinanya dikirim ke kota Kuffah, Bashrah dan Damaskus. Penulis Itqan
memegang pendapat popular lainnya, menyebutkan terdapat lima eksemplar
dan menambahkan kota Makkah kedalam empat kota diatas. Sementara al-
Zarqani berpendapat bahwa mushaf yang digandakan itu ada enam
eksemplar, lima diantaranya dikirim ke lima kota diatas dan sisa satu
eksemplarnya di simpan oleh utsman. Mushaf inilah yang disebut dengan
al-Imam (mushaf induk). Kemudian Ibn abi Dawud menyampaikan
pandangan Abu Hatim al-Sijistani, bahwa mushaf yang telah diselesaikan
terdapat tujuh eksemplar dengan tambahan kota Yaman dan Bahrain
kedalam jajaran lima kota penerima Salinan mushaf.
Setelah mushaf utsmani tersebut disebarluaskan, kemudian mushaf
fragmen al-Qur’an lainnya dimusnahkan atas perintah dari Khalifah. Hanya
saja pemusnahan ini dilakukan di lima kota yang disebutkan diatas bahkan
terbatas pada daerah Irak dan Siria. Juga Ibn Mas’ud dan Abu Musa yang
menolak untuk menyerahkan mushafnya untuk dimusnahkan. Pemusnahan
dilakukan dengan cara dirobeknya – Kharaqa. Sebagian kalangan tidak
membenarkannya karena sisa-sisa dari sobekannya bisa disalahgunakan.
Kebanyakan otoritas Muslim membenarkannya pemusnahan al-Qur’an
dilakukan dengan cara membakarnya – haraqa dengan demikian tidak
tertinggal sesuatupun.
Dalam penyebaran mushaf utsmani ini, nyatanya tidak sempurna
secara absolut. Kenyataan ini diakui oleh sejumlah otoritas, yang paling
popular adalah Riwayat yang mengungkap bahwa Utsman sendiri yang
menemukan ungkapan-ungkapan keliru tersebut akan tetapi Utsman
mengatakan kekeliruan itu tidak perlu diubah, karena orang-orang Arab
dengan lisan mereka dapat membetulkannya. Riwayat popular lainnya
mengemukakan bahwa Aisyah menemukan beberapa kekeliruan penulisan
antara lain: dalam 2:17, “wa-l-mûfûna … wa-l-shãbirîna” (untuk “wa-l-
shãbirûna”); (ii) dalam 4:162, “lãkini-l-rãsikhûna…wa-l-muqîmîna … wa-
l-mu’tûna” (untuk “lãkinna …wa-l-muqîmûna”); dalam 5:69, “inna-
lladzîna ãmanû … wa-l-shãbi’ûna” (untuk “wa-l-shãbi’îna”); dan dalam
20:63, “in hãdzãni la-sãhirãni” (untuk “hãdzayni”)
Al-Qur’an yang telah disebarkan ke beberapa kota Islam memiliki
sejumlah Variasi yang keberadannya dikaitkan dengan kesalahan yang
dilakukan secara tidak sengaja oleh para penyalin al-Qur’an. Varian mushaf
ini sampai ke tangan kita melalui kitab Fadla’il al-Qur’an karya Abu Ubayd
dan kitab al-Muqni’ fi Ma’rifat Marsumi Mashahif Ahl al-Amshar karya
Abu Amr al-Dani. Kedua kitab ini sejatinya saling menguatkan, sehingga
memperkuat derajat kepercayaan terhadap kandungannya. Berikut uraian
dari Bergstraesser yang menjelaskan varian-varian tersebut.
Dalam surat 2, ada dua varian yang direkam. Pertama adalah yang
terdapat pada permulaan 2:116, di mana mushaf Damaskus menyalin kata
‫ﻭﻗﺎﻟﻮﺍ‬sebagaimana tertulis dalam mushaf-mushaf lain – tanpa ‫ (ﻭ‬yakni ‫)ﻗﺎﻟﻮﺍ‬.
Kasus kedua ditemukan pada permulaan 2:132, di mana dalam mushaf
Madinah, Damaskus, dan imãm tertulis ‫ ﻭﺍﻭﺻﻲ‬sementara mushaf lainnya
menyalin dengan ‫ ﻭ ﻭﺻﻲ‬. Dalam surat 3, ada dua varian. Yang pertama
terdapat dalam 3:133, di mana ungkapan ‫ – ﻭ ﺳﺎﺭﻋﻮﺍ‬sebagaimana terdapat
dalam mushaf mushaf lainnya disalin dalam mushaf Madinah, Damaskus
dan imãm, tanpa ‫ (ﻭ‬yakni ‫) ﺳﺎﺭﻋﻮﺍ‬. Varian kedua dalam 3:184, pada
ungkapan ‫ ﻭﺍﻟﺰﺑﺮ‬yang disalin dalam mushaf Damaskus dengan ‫ ﻭﺑﺎﻟﺰ ﺑﺮ‬.
Sementara satu varian ditemukan dalam 4:66, tepatnya pada ungkapan ‫ﻗﻠﻴﻞ‬
-) dalam berbagai mushaf. Kata ini direkam dalam mushaf Damaskus
dengan ‫ ﻗﻠﻴﻼ‬-) . Dua varian lagi direkam dalam surat 5. Pertama adalah dalam
5:53, di mana ungkapan ‫ –ﻭﻳﻘﻮﻝ‬dalam berbagai mushaf – disalin dalam
mushaf Madinah dan Damaskus tanpa $ (yakni ‫)ﻳﻘﻮﻝ‬. Dalam 5:54, ungkapan
‫ –ﻳﺮﺗﺪ‬sebagaimana terdapat dalam mushaf lainnya – disalin dalam mushaf
Madinah, Damaskus dan imãm sebagai ‫ ﻳﺮﺗﺪﺩ‬.
Daftar varian dalam dua riwayat di atas hanyalah sebagian kecil
varian yang tercatat dari keberadaan varian-varian naskah awal Utsmaniyah.
Mencermati hubungan antara varian yang satu dengan yang lain, terlihat
bahwa tulisan-tulisan manuskrip Damaskus – yang paling banyak ragam
bacaannya – berada pada posisi dengan manuskrip Madinah pada titik-titik
yang bias dari manuskrip-manuskrip lainnya. Naskah Damaskus ini juga
tidak pernah bertentangan dengan naskah Madinah, bila selaras dengan
naskah lainnya
Karateristik Mushaf Utsmani yaitu Sejumlah pandangan
mengungkapkan bahwa susunan dalam mushaf utsmani bersifat ijtihadi. Al-
suyuthi bahwa utsman mengumpulkan lembaran-lembaran al-Qur’an
kedalam satu mushaf menurut tertib suratnya. Lebih jelas lagi pernyataan
dari Ya’qub,”Utsman mengkodifikasikan al-Qur’an, Menyusun (allafa) dan
mengumpulkan surat-surat pendek dengan surat pendek dan surat-surat
Panjang dengan surat Panjang. Jumlah surat pada mushaf utsman terdapat
pada pertengahan antara mushaf Ubay dan Ibn Mas’ud, mushaf Ustman
(114 surat) sedangkan Ubay (116 surat) dan Ibn Mas’ud (111 atau 112 surat)
D. Beberapa Wacana Dan Kritikan Tentang Kodifikasi Al-Qur’an Di
Masa Utsman
Telah dikemukakan bahwa setelah selesai melakukan Al-Qur’an,
sejumlah salinan mushaf utsmani dikirim ke berbagai kota metropolitan
islam. Riwayat-riwayat tentang jumlah mushaf yang berhasil diselesaikan
penulisannya dan ke kota-kota mana saja ia dikirim sangat beragam.
Menurut pandangan yang diterima secara luas, satu mushaf Al-Qur’an
disimpan di madinah, dan tiga salinannya dikirim ke kufah, Bashrah dan
Damaskus. Pendapat popular lainnya, yang dipegang penulis Itqan,
menyebut lima eksemplar menambahkan kota Makkah ke jajaran empat
kota di atas. Sementara al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang
digandakan itu ada 6 eksemplar. Lima di antaranya dikirim ke lima kota
yang baru disebutkan, dan sisanya satu eksemplar disimpan oleh Utsman.
Mushaf di tangan Utsman inilah yang kemudian dikenal sebagai al-imãm
(mushaf induk). Sedangkan Ibn abi Dawud menuturkan pandangan Abu
Hatim al-Sijistani (w. 863) bahwa mushaf yang berhasil diselesaikan
penulisannya sejumlah 7 eksemplar, serta menambahkan kota Yaman dan
Bahrain ke dalam jajaran lima kota penerima salinan mushaf.
Berbagai sudut pandang yang diutarakan di atas menimbulkan
permasalahan tentang riwayat mana yang paling dapat dipegang
sehubungan dengan mushaf-mushaf Utsman. Seperti terlihat dalam latar
belakang kodifikasi Utsman, pengumpulan pada masa itu terkait erat dengan
perbedaan bacaan di kalangan pasukan Muslim yang direkrut dari Siria dan
Irak. Jadi, riwayat pertama – yang menyebutkan eksistensi 4 salinan mushaf,
3 di antaranya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus – merupakan yang
paling sesuai dengan latar belakang kodifikasi tersebut. Kota-kota Kufah,
Bashrah dan Damaskus ketika itu merupakan kota-kota terpenting di
propinsi Irak dan Siria. Di kota-kota inilah garnisun-garnisun kekhalifahan
direkrut dan ditempatkan. Selain itu, dalam riwayat pengumpulan Utsman,
yang ditonjolkan sebagai pusat perhatian. Khalifah ketika itu adalah
bagaimana mengakhiri pertikaian di dalam pasukan Muslim tentang bacaan
al-Quran. Dengan demikian, tujuan lanjutan untuk menyatukan seluruh
wilayah kekhalifah kepada satu teks standar al-Quran, bukan merupakan
kebutuhan utama, sekalipun Utsman mungkin saja telah memikirkannya.
Penyebutan kota Makkah, dalam riwayat lainnya,barangkali terkait
secara langsung dengan makna kota ini sebagai tanah kelahiran Nabi dan
tanah suci pertama Islam di mana Ka’bah berada. Sementara penyebutan
tujuh kota dalam riwayat terakhir di atas barangkali terkait dengan
“kesakralan” angka tujuh: al-Quran telah diwahyukan dalam tujuh ahrûf,
yang belakangan juga ditafsirkan sebagai tujuh bacaan dalam qirã’ãt al-
sab‘.Setelah penyebaran mushaf utsmani, berbagai mushaf atau fragmen al-
Quran lainnya – seperti disebutkan dalam riwayat versi mayoritas di atas –
dimusnahkan atas perintah Khalifah. Menurut Schwally, seluruh riwayat
tentang pemusnahan mushaf atau fragmen al-Quran non-utsmani hanya
menyebutkan kejadiannya di kota-kota yang disebutkan di atas, bahkan
terbatas pada daerah Irak dan Siria. Para penguasa kota-kota tersebut
tentunya memiliki kekuasaan untuk menjalankan amanat Khalifah sejauh
menyangkut pemilikan umum, tetapi tidak demikian halnya dengan mushaf
atau fragmen yang menjadi milik pribadi.
Ketika membahas mushaf Ibn Mas‘ud dan Abu Musa dalam bab 5,
telah dikemukakan bahwa kedua sahabat Nabi ini termasuk orang yang
menolak menyerahkan mushafnya untuk dimusnahkan. Pemusnahan
mushaf dan fragmen non-utsmani, menurut sebagian riwayat di atas,
dilakukan dengan merobeknya – kharaqa (;S), atau sinonimnya syaqqa dan
mazaqa. Tetapi hal ini barangkali tidak dapat dibenarkan, karena sisa-sisa
sobekan tentunya masih bisa disalahgunakan. Kebanyakan otoritas Muslim
memberitakan pemusnahan dilakukan dengan membakarnya – haraqa (;) –
dan, dengan demikian, tidak tertinggal sesuatupun. Boleh jadi bahwa
riwayat pertama ini – secara sengaja atau tidak – telah mengalami
penyimpangan dalam proses transmisi tertulisnya, karena kata “merobek”
dan “membakar” dalam kedua riwayat itu jelas didasarkan pada kerangka
konsonantal yang sama (;), dan perbedaannya hanya terletak pada ada
tidaknya satu titik diakritis di atas huruf pertama. Pemusnahan materi-
materi al-Quran non-utsmani, dengan tujuan utama menyebarluaskan edisi
kanonik resmi, tidak dicapai dalam waktu singkat. Yang paling popular
darinya adalah riwayat yang mengungkapkan bahwa Utsman sendiri, ketika
memeriksa salah satu eksemplar yang telah selesai ditulis, menemukan
ungkapan-ungkapan keliru dan mengatakan bahwa kekeliruan itu tidak
perlu diubah, karena orang-orang Arab dengan lisãn mereka – bisa
membetulkannya. seperti ditegaskan Utsman dalam riwayat di atas.
Pandangan semacam ini kemudian berkembang, dan Ashim al-Jahdari
merupakan salah satu penganutnya yang terkemuka. Perkembangannya
bahkan sampai ke sistem pembacaan teks resmi. Mengenai nasib mushaf-
mushaf yang disebarkan Utsman, tidak terdapat pemberitaan yang pasti
tentangnya. Dengan pengecualian mushaf al-imãm – yang paling sering
dirujuk – mushaf-mushaf tersebut memiliki riwayat yang gelap dan hampir-
hampir tidak memainkan peran berarti dalam kajian-kajian al-Quran.
Menurut Ibn Qutaibah (w. sekitar 276H), mushaf al-imãm – setelah
terbunuhnya Khalifah Ketiga – berpindah ke tangan puteranya,Khalid, dan
kemudian diwariskan secara turun-temurun. Sementara Malik ibn Anas (w.
179H) menjelaskan bahwa mushaf tersebut telah hilang. Menurut al-Kindi,
mushaf tersebut terbakar dalam peristiwa pemberontakan Abu al-Saraya
pada 200H. Tetapi, Abu Ubayd mengaku melihat mushaf tersebut yang
masih berbekas darah Utsman.
Pada abad pertengahan, pengembara termasyhur Ibn Batutah (w.
779H) menceriterakan telah melihat salinan atau lembaran yang dibuat
Utsman di Granada, Marakesh, Bashrah, dan kota- kota lainnya.33
Sementara Ibn Katsir (w. 774H) mengemukakan pernah melihat kopi al-
Quran, sangat mungkin dibuat pada masa Utsman, yang dipindahkan pada
518H dari Tiberia ke Damaskus. Dikatakannya bahwa mushaf itu “besar
dan lebar dengan tulisan yang indah, jelas, rapih dan sempurna, di atas
kertas kulit yang menurut saya – terbuat dari kulit unta”.Mushaf ini,
menurut riwayat lain, kemudian dibawa ke Leningrad dan akhirnya ke
Inggris. Sebagian sarjana berpendapat bahwa mushaf tersebut masih tetap
tersimpan di masjid Damaskus dan musnah ketika masjid itu terbakar pada
1310H. Ibn Jubair (w. 614H) menuturkan pernah melihat sebuah manuskrip
di masjid Madinah pada 580H. Beberapa riwayat menerangkan bahwa
naskah tersebut tetap berada di sana sampai kekhalifahan Turki Utsmani
mengambilnya pada 1334H. Ketika perang Dunia Pertama berakhir, mushaf
ini dibawa ke Berlin dan diserahkan kepada mantan Kaisar William II, dan
sesuai dengan pasal 246 dari Perjanjian Versailles – di mana Turki
merupakan pihak yang kalah perang – naskah ini tetap berada di Jerman
serta akan dipelihara oleh negara tersebut: “Dalam jangka waktu 6 bulan
sejak diberlakukannya perjanjian ini, Jerman akan selalu menjaga naskah
asli al-Quran milik Yang Mulia Raja Hijaz, yang diambil dari Madinah oleh
penguasa Turki, dan pernah dipersembahkan kepada bekas Kaisar William
II.”36 Tetapi, akhirnya mushaf tersebut dikembalikan lagi ke Istanbul.
Terdapat sebuah manuskrip al-Quran yang disimpan di masjid al-
Hussain di Kairo. Mushaf ini dinisbatkan kepada Utsman dan ditulis dengan
tulisan kufi kuno. Tetapi, bisa dikemukakan dugaan bahwa naskah tersebut
merupakan salinan dari Mushaf Utsman. Semisal dengannya adalah
manuskrip yang tersimpan di Tashkent. Mushaf ini dikabarkan sebagai
mushaf yang tengah dibaca Utsman ketika terbunuh. Pada masa
kekhalifahan Umaiyah, naskah tersebut dibawa ke Andalusia dan kemudian
ke Fez di Maroko. Dari Maroko, mushaf tersebut kemudian dibawa ke
Samarkand, dan tetap berada di sana hingga 1868. Pada 1869, naskah ini
dibawa ke St. Petersburg dan disimpan di kota ini hingga 1917. Pada 1924,
naskah ini akhirnya kembali ke Tashkent dan tetap tersimpan di sana hingga
dewasa ini.Berbagai kesimpangsiuran tentang mushaf-mushaf utsmani ini
pada gilirannya mengantarkan sejumlah sarjana Muslim pada keyakinan
bahwa naskah-naskah tersebut telah hilang tanpa bekas. Manuskrip-
manuskrip kuno yang ada dewasa ini hanya dipandang sebagai salinan
sempurna dari mushaf-mushaf utsmani. Pandangan semacam ini, misalnya,
diekspresikan oleh al-Zarqani.39 Sejalan dengannya, penelitian-penelitian
tentang naskah kuno al-Quran mengungkapkan bahwa manuskrip-
manuskrip al-Quran tertua – baik dalam bentuk lengkap atau hanya sebagian
saja – yang ada dewasa ini adalah yang berasal dari abad ke-2H.
E. Perbedaan antar kodifikasi di masa Abu Bakr dan Utsman
Pertama: Penulisan Al-Qur’an di masa Abu Bakar As Shiddiq.
Di masa pemerintahan Khalifatur Rasul Abu Bakar ash-Shiddiq ra,
terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan banyak sekali para qurra’/
para huffazh (penghafal al-Qur`an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut,
Umar bin Khaththab merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-
ayat al-Qur`an akibat wafatnya para huffazh. Maka beliau berpikir tentang
pengumpulan al-Qur`an yang masih ada di lembaran-lembaran. Zaid bin
Tsabit ra berkata: Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang
korban Perang Ahlul Yamamah. Saat itu Umar bin Khaththab berada di
sisinya. Abu Bakar ra berkata, bahwa Umar telah datang kepadanya lalu ia
berkata: “Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan
menimpa para qurra’ (para huffazh). Dan aku merasa khawatir dengan
sengitnya peperangan terhadap para qurra (sehingga mereka banyak yang
terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian besar al-
Qur`an. ”Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku
melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul saw. ”Umar
menjawab: “Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik. ”Umar selalu
mengulang-ulang kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan kelapangan
pada dada Abu Bakar tentang perkara itu. Lalu Abu Bakar berpendapat
seperti apa yang dipandang oleh Umar.
Zaid bin Tsabit melanjutkan kisahnya. Abu Bakar telah mengatakan
kepadaku, “Engkau laki-laki yang masih muda dan cerdas. Kami sekali-kali
tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan engkau telah menulis
wahyu untuk Rasulullah saw sehingga engkau selalu mengikuti al-Qur`an,
maka kumpulkanlah ia. ”Demi Allah seandainya kalian membebaniku
untuk memindahkan gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah
lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku mengenai pengumpulan
al-Qur`an. Aku bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw? ” Umar menjawab bahwa ini
adalah sesuatu yang baik. Umar selalu mengulang ulang perkataaannya
sampai Allah memberikan kelapangan pada dadaku seperti yang telah
diberikanNya kepada Umar dan Abu Bakar ra.3
Maka aku mulai menyusun al-Qur`an dan mengumpulkannya dari
pelepah kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan para
sahabat, hingga aku dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah al-
Anshari yang tidak aku temukan dari yang lainnya, yaitu: “Artinya:
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olenya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-
orang mukmin”. (QS. At-Taubah [9]: 128)Pengumpulan al-Qur`an yang
dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan para huffazh saja,
melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan
Rasulullah saw.
Lembaran-lembaran al-Qur`an tersebut tidak diterima, kecuali
setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang
menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di
hadapan Rasulullah saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi
dua syarat: 1) Harus diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat. 2)
Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat. Saking telitinya,
hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena tidak bisa
dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat at-
Taubah tersebut ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian
Khuzaimah saja. Para sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut,
sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian
Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua

3
Al-Khatib, Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid1 op.cit: 2 hal 954
orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun lembaran yang
disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah, walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat al-
Qur`an, namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja.
Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan al-Qur`an yang sangat berat
namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan
pengumpulan al-Qur`an untukditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar
mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan
Rasulullah saw ke dalam satu tempat. Lembaran-lembaran al-Qur`an ini
tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada pada
Umar bin al-Khaththab selama hidupnya.
Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar ra sesuai
wasiat Umar. Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk
mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri
[2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan
tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang
Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga
Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah
Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia
lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar
bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau
adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak
meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan
kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan
Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan
orang-orang. Mushaf tersebut berada ditangan Abu Bakar hingga beliau
wafat, kemudian dipegang oleh umar hngga wafatnya, dan kemudian
dipegang oleh Hafsah Binti Umar bin khattab rahiyallahu ‘anhuma
diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang
dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai
nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib ra.
mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an
adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat
kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan
Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua: Penulisan Al-Qur’an di masa Usman bin 'Affan.

Untuk pertama kali Al-Qur’an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan


ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah binti
Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.). Dalam penulisan
ini sangat diperhatikan sekali perbedaan bacaan (untuk menghindari
perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab
penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash
dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis tanpa
titik dan baris. Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya
disebar ke berbagai penjuru negara Islam. Dalam penulisan ini sangat
diperhatikan sekali perbedaan bacaan (untuk menghindari perselisihan di
antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada
Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-Rahman
bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris. Hasil
penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya disebar ke berbagai
penjuru negara Islam.
F. Kesimpulan
Terjadi perbedaan cara membaca (qiro’at) di beberapa negara Islam.
Maka, Usman menyatukannya dalam satu bacaan yang sering dibaca
Rasulullah. Dia satukan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan bacaan tadi
dan memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain. Ras
Utsmani merupakan bacaan kaum muslimin hingga masa kini.
Terdapat dua riwayat yang menjelaskan bagaimana utsman
melakukan tugas pengumpulan al-Qur’an, satu diantaranya yang lebih
masyhur menyatakan, bahwa Utsman membuat naskah mushaf semata-mata
berdasarkan kepada suhuf yang disimpat dibawah penjagaan Hafsah, bekas
istri Nabi Muhammad saw. Riwayat kedua yang tidak begitu terkenal
menyatakan, Utsman terlebih dahulu memberi wewenang pengumpulan
mushaf dengan menggunakan sumber lama, sebelum membandingkannya
dengaan suhuf yang sudah ada. Dengan ditugaskannya empat orang sahabat
pilihan tersebut, maka hal itu merupakan sebuah langkah yang sangat benar
untuk mengatasi kenyataan pahit yang terjadi. Apabila pada masa-masa
khalifah sebelumnnya, mushaf Abu Bakar yang hanya disimpan di rumah,
maka Utsman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu. Dia tidak
mencukupkan dari sumber yang didengarnya saja, tapi juga mencocokan
kepada yang di tulis.
Selain itu, juga terdapat perbedaan yang signifikan terhadap masa
kodifikasi abu bakr dengan kodifikasi di masa utsman. Dan juga terlepas
dari perbedaan itu semua hikmah yang dapat di pahami yakni setiap masa
kodifikasi al-qur’an kala itu adalah baik dan sangat bermanfaat bagi umat
muslim sekarang.

Daftar Pustaka

Adnan, Taufik Amal. (2011). Rekrontruksi Sejarah Al-Qur’an edisi digital,


Jakarta : Divisi Muslim Demokratis

Al-Khatib. Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj.

Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi. 1992. Ulumul Qur’an – Studi Kompleks


Al-Qur’an, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Mustafa, M. al-A’zami. (2005). Sejarah Teks Al-Qur’an. Jakarta : Gema


Insani

Anda mungkin juga menyukai