12921061@mahasiswa.itb.ac.id
Abstrak
Pulau Kelapa memiliki potensi yang besar sebagai kawasan wisata konservasi. Sejumlah
peraturan, seperti Undang-Undang RI No. 1 tahun 2014, turut mengatur dalam tata kelola
wilayah yang mencakup perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan sumber daya dengan
fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Pulau Kelapa. Kolaborasi antar
sektor, melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Masyarakat Hukum Adat,
menjadi kunci dalam pengelolaan wilayah ini. Analisis data terkait potensi bencana,
mitigasi, konservasi, dan kerangka hukum memberikan gambaran komprehensif.
Pembahasan menyoroti hubungan antara mitigasi bencana, pelestarian lingkungan, dan
pengembangan pariwisata. Strategi holistik untuk pelestarian Pulau Kelapa, dengan
penekanan pada sinergi ilmu pengetahuan dan manajemen, disajikan. Undang-Undang
membentuk kerangka kerja holistik, mengarah pada pembangunan berkelanjutan di
Kepulauan Seribu. Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu oleh Balai Taman
Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS), dengan fokus pada Pulau Kelapa sebagai zona
konservasi, juga diungkapkan. Strategi konservasi melibatkan pemantauan lingkungan,
penelitian ilmiah, edukasi masyarakat, dan kebijakan pengelolaan yang mendukung
keberlanjutan. Dengan melibatkan aktif masyarakat setempat, penelitian ini berharap Pulau
Kelapa menjadi contoh keberhasilan dalam menjaga harmoni antara keberlanjutan
ekosistem dan kesejahteraan masyarakat. Kesadaran masyarakat, partisipasi aktif dalam
konservasi, dan penerapan undang-undang menjadi faktor kunci dalam menjaga
keberlanjutan Pulau Kelapa sebagai destinasi wisata yang aman dan lestari.
Abstract
Pulau Kelapa holds significant potential as a conservation tourism area, regulated by the
Indonesian Law No. 1 of 2014 in the regional governance for community welfare
enhancement. Collaboration across sectors, involving the central government, local
government, and Indigenous Communities, is key in managing the region. Comprehensive
insights are derived from the analysis of disaster potential, mitigation efforts, conservation
initiatives, and the legal framework. The discussion emphasizes the interplay between
disaster mitigation, environmental preservation, and tourism development. A holistic
strategy, integrating scientific knowledge and effective management, is presented for the
1
conservation of Pulau Kelapa. The law establishes a sustainable framework in the
Thousand Islands. The management of the Thousand Islands National Marine Park by the
Archipelago National Marine Park Office (BTNKpS), with a focus on Pulau Kelapa as a
conservation zone, combines environmental monitoring, scientific research, community
education, and sustainable management policies. By actively involving the local
community, Pulau Kelapa is anticipated to serve as a successful example of maintaining
harmony between ecosystem sustainability and community well-being, supported by
community awareness, active participation in conservation, and law enforcement.
PENDAHULUAN
Kepulauan Seribu merupakan satu-satunya kabupaten administrasi yang meliputi wilayah
kepulauan DKI Jakarta, Laut Jawa. Secara geografis, Kepulauan Seribu berbatasan dengan
Laut Jawa di sebelah Utara, Laut Jawa di sebelah Timur, Kota Administrasi Jakarta Utara,
Kota Administrasi Jakarta Barat, dan Kabupaten Tangerang di sebelah Selatan, serta Laut
Jawa/Provinsi Lampung di sebelah Barat. Wilayah ini memiliki luas daratan sekitar 8,88
km2 dengan luas lautan 6.997,50 km2. Di dalamnya terdapat pulau-pulau kecil yang
memiliki potensi sumber daya alam dan ekonomi yang cukup besar. Menurut informasi
dari Badan Pusat Statistik, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki 110 pulau,
di mana hanya 11 pulau di antaranya diperuntukkan untuk pemukiman penduduk. Pulau-
pulau tersebut meliputi Pulau Untung Jawa, Pulau Pari, Pulau Lancang Besar, Pulau
Tidung Besar, Pulau Tidung Kecil, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Harapan, Pulau
Kelapa, Pulau Kelapa Dua, dan Pulau Sebira. Selain itu, terdapat pulau-pulau yang
dijadikan destinasi wisata, seperti Pulau Bidadari, Pulau Puteri, Pulau Sepa, dan sejumlah
pulau lainnya.
Tata kelola pulau-pulau kecil ini dikelola dalam Undang-undang RI No. 1 tahun 2014
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Tata pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2014,
mencakup serangkaian proses yang melibatkan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan,
dan pengendalian sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Proses ini
dirancang untuk berjalan secara terintegrasi antar sektor, mengakomodasi kerjasama antara
2
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta menyelaraskan hubungan antara ekosistem
darat dan laut.
Pentingnya koordinasi ini mencerminkan upaya untuk mencapai tujuan yang lebih luas,
yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, kolaborasi antar sektor
menjadi kunci, karena mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak hanya tentang
pelestarian lingkungan, tetapi juga melibatkan aspek-aspek ekonomi dan sosial budaya.
Pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil oleh Masyarakat Hukum
Adat, seperti diamanatkan dalam UU, memperkuat pendekatan partisipatif dalam
pengelolaan, yang seharusnya memberdayakan masyarakat setempat.
Penting pula untuk menciptakan sinergi antara ilmu pengetahuan dan manajemen. Dengan
menggabungkan pengetahuan ilmiah tentang ekologi, konservasi sumber daya alam, dan
dinamika ekosistem dengan prinsip-prinsip manajemen yang efektif, tata kelola wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dapat mencapai keselarasan yang diperlukan untuk
memastikan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, UU
tersebut membentuk kerangka kerja holistik yang mengarah pada pembangunan yang
berkelanjutan dan seimbang di Kepulauan Seribu.
Kepulauan Seribu, dengan potensi kawasan dan pemanfaatan sumber daya alam laut yang
tinggi, telah menjadi fokus langkah-langkah strategis Pemerintah Pusat dalam mengelola
wilayah ini. Upaya ini melibatkan perubahan status Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu di
Jakarta Utara menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu melalui Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 162/Kpts-II/1995 pada tanggal 21 Maret 1995. Lebih lanjut,
penyesuaian luas kawasan dilakukan melalui revisi dengan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 6310/Kpts-II/2002 pada tanggal 13 Juni 2002, yang menetapkan kawasan
pelestarian alam perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seluas 107.489 hektare.
3
Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu oleh Balai Taman Nasional
Kepulauan Seribu (BTNKpS) mematuhi regulasi yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor PM.03/MENHUT-II/2007 tanggal 1 Februari 2007. Dalam kerangka
ini, TNKpS terbagi menjadi tiga wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN):
SPTN Wilayah I Pulau Kelapa, SPTN Wilayah II Pulau Harapan, dan SPTN Wilayah III
Pulau Pramuka.
Fokus utama karya tulis ini adalah Pulau Kelapa, yang merupakan bagian dari SPTN
Wilayah I dan termasuk dalam zona konservasi. Strategi konservasi di Pulau Kelapa
menitikberatkan pada pelestarian ekosistem laut, flora, dan fauna yang unik di sekitar
pulau ini. BTNKpS aktif melibatkan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya
untuk mendukung keberlanjutan lingkungan alam di Pulau Kelapa.
Melalui pendekatan ini, diharapkan Pulau Kelapa akan tetap menjadi pusat
keanekaragaman hayati dan menjadi contoh keberhasilan dalam pelestarian sumber daya
alam laut. Dengan melibatkan aktif masyarakat setempat, zona konservasi di Pulau Kelapa
diharapkan mampu mencapai harmoni antara keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan
masyarakat.
METODE PENELITIAN
Dalam karya tulis ini, informasi diperoleh dari berbagai sumber literatur yang relevan
dengan topik penelitian, terutama berkaitan dengan pemberlakuan hukum dan analisis
bencana. Proses ini mencakup pencarian, pemilihan, dan pemeriksaan literatur untuk
4
memperoleh pemahaman mendalam tentang topik konservasi di Pulau Kelapa. Metode ini
tidak melibatkan pengumpulan data primer, melainkan berfokus pada interpretasi dan
sintesis informasi dari literatur ilmiah yang telah tersedia. Metode studi literatur digunakan
sebagai salah satu pendekatan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Pengumpulan data
dilakukan dari sumber-sumber tertulis seperti buku, jurnal, artikel, dan dokumen lain yang
relevan dengan penelitian. Data yang diperoleh bersifat sekunder, artinya berasal dari
sumber yang sudah ada, bukan hasil pengumpulan langsung di lapangan. Selain itu,
terdapat pula penggunaan data primer melalui wawancara dengan 3 orang penduduk Pulau
Kelapa untuk memberikan perbandingan antara kondisi aktual dan non-aktual terhadap
topik yang dikaji. Data hasil wawancara diolah dan disesuaikan dengan fokus penelitian
terkait kondisi Pulau Kelapa.
Sejak ditetapkan pada 21 Maret 1995, Pulau Kelapa telah menjadi bagian integral dari
Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS), memberikan kontribusi penting dalam
menjaga keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati laut. Penetapan Pulau
Kelapa sebagai Taman Nasional didasarkan pada karakteristik dan kekayaan alam laut
yang memerlukan perlindungan khusus, sesuai dengan regulasi seperti Undang-Undang RI
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
TNKpS melibatkan ekosistem pulau-pulau kecil, terumbu karang, mangrove, dan lamun,
dengan 78 pulau sangat kecil, 86 gosong, dan hamparan laut pasir karang seluas 2.136
hektar. Peran TNKpS sangat penting dalam melindungi keanekaragaman hayati laut,
termasuk spesies langka seperti penyu sisik, penyu hijau, kima raksasa, dan biota laut
lainnya. Upaya perlindungan ini sesuai dengan komitmen konservasi sumber daya alam
hayati yang diamanatkan oleh peraturan dan kebijakan yang berlaku.
5
TNKpS diakui sebagai ekosistem pesisir yang lengkap, mencakup berbagai tipe ekosistem
mulai dari ekosistem karang, lamun, mangrove, hingga pantai. Penetapan TNKpS sebagai
Taman Nasional menjadi langkah strategis dalam menjaga kelestarian ekosistem pesisir
yang berperan tidak hanya dalam keanekaragaman hayati laut, tetapi juga memberikan
dampak positif pada keseimbangan ekologis dan kesejahteraan masyarakat lokal
(Budiyanti, 2015).
Jadi, meskipun Pulau Kelapa tergolong sebagai pulau pemukiman sekaligus kawasan
wisata dengan jumlah penduduk sekitar 7.174 orang, ternyata pulau ini juga termasuk salah
satu pulau konservasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten DKI Jakarta.
Konservasi yang terdapat di Pulau Kelapa bukan termasuk zona inti konservasi yang harus
dilindungi secara mutlak. Sebagai bentuk penyesuaian, pulau ini kemudian dimanfaatkan
sebagai salah satu destinasi wisata konservasi laut berbasis edukasi. Tentunya sebagai
wilayah multifungsi, Pulau Kelapa memerlukan perencanaan zonasi wilayah yang matang
untuk mendukung kesetimbangan. Proses perencanaan yang diterapkan untuk Pulau
Kelapa tidak hanya terbatas pada pengembangan penggunaan tata ruang semata, tetapi juga
merangkul aspek penting lainnya, seperti perlindungan dan mitigasi terhadap potensi
bencana. Perencanaan ini mencerminkan pemahaman mendalam terhadap dinamika
lingkungan pulau dan tantangan yang mungkin dihadapi oleh masyarakat dan
infrastrukturnya.
Pengembangan tata ruang Pulau Kelapa mencakup identifikasi area yang sesuai untuk
kegiatan perkotaan, pariwisata, dan konservasi. Di samping itu, aspek perlindungan
diintegrasikan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem pulau, mempertahankan
keanekaragaman hayati, dan melindungi ekosistem pantai. Upaya perlindungan ini
mencakup pemeliharaan hutan mangrove, pemantauan dan pengelolaan sumber daya alam,
serta implementasi kebijakan konservasi laut. Sementara itu, analisis bencana dilakukan
untuk merancang strategi bencana yang berpotensi terjadi seperti banjir, badai, dan gempa
bumi. Hal ini melibatkan identifikasi sumber bencana, dampak yang ditimbulkan, dan
analisa keterkaitan antar bencana. Dengan demikian, perencanaan komprehensif ini
menciptakan landasan yang kokoh untuk perkembangan berkelanjutan Pulau Kelapa, yang
6
tidak hanya memberdayakan masyarakatnya tetapi juga melindungi ekosistemnya dari
potensi ancaman.
Sebagai Taman Nasional Kepulauan Seribu, pulau ini memiliki sepuluh sumber daya alam
penting yang diatur oleh Keputusan Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu No:
SK.35/BTNKpS-1/2014, mencakup terumbu karang, mangrove, moluska, penyu, lamun,
hutan pantai, elang, mamalia laut, ikan ekonomis, dan burung migran.
Tumbuhan yang mendominasi taman nasional ini, seperti nyamplung, waru, pandan, dan
lainnya, memberikan ekosistem pantai yang kaya. Dalam hal kehidupan laut, terdapat 54
jenis karang keras/lunak, 144 jenis ikan, 2 jenis kima, 3 kelompok ganggang, 6 jenis
rumput laut, dan 17 jenis burung pantai. Taman Nasional Kepulauan Seribu bukan hanya
tempat peneluran, tetapi juga rumah bagi satwa langka seperti penyu sisik dan penyu hijau.
Namun, sayangnya, penelitian terbaru yang dilakukan oleh Yayasan Terumbu Karang
Indonesia (TERANGI) mencatat penurunan persentase tutupan karang hidup di Kepulauan
Seribu menjadi 31,7%, menunjukkan dampak negatif terhadap ekosistem laut. Upaya
konservasi terus dilakukan, salah satunya melalui transplantasi karang. Meskipun
penurunan tersebut menjadi tantangan, transplantasi karang bukan hanya memberikan
pemulihan ekologi tetapi juga memberikan dampak positif terhadap perekonomian
masyarakat setempat.
7
keseimbangan antara peningkatan ekonomi masyarakat dan konservasi sumber daya laut
menjadi tuntutan mendesak. Pemerintah, lembaga konservasi, dan masyarakat harus
bersinergi untuk mencapai tujuan tersebut.
Hukum dan regulasi, terutama dalam Kerangka Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (RZWP3K), menjadi landasan penting dalam pemanfaatan ruang laut. Kawasan
konservasi, seperti Pulau Kelapa, dikelola dengan sistem zonasi yang melibatkan zona inti,
zona pemanfaatan, dan zona lain. Hukum juga melarang kegiatan yang dapat merusak zona
inti dan mengatur pemanfaatan kawasan hutan lindung. Pasal 24 UU Kehutanan dan Pasal
41 mengatur pemanfaatan kawasan hutan dan rehabilitasi hutan, dengan pengecualian pada
cagar alam dan zona inti taman nasional. Hal ini menggarisbawahi perlunya menjaga
kekhasan dan fungsi utama kawasan konservasi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, bersama dengan
Keputusan Menteri Kehutanan SK. 6310/Kpts-II/2002, memberikan dasar hukum untuk
pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Regulasi Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) juga turut mengatur pengalokasian ruang laut, sementara
undang-undang tersebut memberikan norma larangan untuk menjaga keutuhan zona inti
taman nasional.
Pulau Kelapa, meskipun tidak termasuk ke zona inti, tetap berada dalam zona
pemanfaatan. Dalam konteks pemanfaatan kawasan, pulau ini memiliki potensi wisata
edukasi. Komunitas lokal dapat mengembangkan kegiatan wisata yang tidak hanya
memberikan pengalaman berharga bagi wisatawan tetapi juga meningkatkan kesadaran
akan pentingnya konservasi laut. Penguatan kelembagaan kelompok penggerak wisata,
seperti yang dilakukan melalui program transplantasi terumbu karang, dapat mendukung
upaya pelestarian. Pemanfaatan kawasan ini diatur secara ketat sesuai dengan hukum dan
regulasi yang berlaku, menjaga keseimbangan antara kegiatan manusia dan kelestarian
alam.
8
DKI Jakarta. Dengan fokus khusus pada wilayah pemukiman dan pariwisata edukasi,
upaya ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan sambil memberikan manfaat
ekonomi bagi masyarakat setempat.
Berdasarkan zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Pulau Kelapa memiliki peran
ganda. Bagian dari Zona Pemukiman Taman Nasional, pulau ini menjadi pusat
pemerintahan dan perumahan masyarakat. Sementara itu, Zona Pemanfaatan Wisata
Taman Nasional menetapkan sebagian pulau sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata.
Pulau Kelapa mengemban budidaya perikanan laut dan menyajikan sejumlah destinasi
wisata bahari. Resort, homestay, dan paket wisata pendidikan di Pulau Pramuka menambah
daya tarik pulau sebagai destinasi pariwisata edukasi. Pulau Kelapa membagi zonasi
berdasarkan pemanfaatan wilayahnya dalam sektor wisata. Resort-resort wisata bahari dan
program konservasi laut, seperti penangkaran kupu-kupu dan hatchery biota langka,
menunjukkan upaya untuk memadukan rekreasi dengan pelestarian alam. Pungutan biaya
menjadi instrumen untuk mendukung perlindungan dan pengelolaan kawasan.
Dua keputusan, yaitu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
499/Setjen/Kum.9/9/2017 tanggal 15 September 2017 dan Nomor
9
537/Menlhk/Setjen/Kum.9/10/2017, menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam
menghadapi perusahaan pengembang dan tekanan untuk bertahan demi mencari
keuntungan. Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta sejak awal telah menuntut pencabutan izin
lingkungan untuk semua proyek reklamasi di Teluk Jakarta, mengingat banyak
permasalahan, mulai dari kekurangan dasar hukum perencanaan Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil hingga masalah dalam pembuatan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), yang diduga tidak partisipatif, tidak valid, dan
bermasalah secara substansial (AMDAL Bodong).
Raperda Reklamasi (RTR KS Pantura dan RZWP3K), yang seharusnya membahas tata
ruang dan zonasi wilayah pesisir, terlihat diwarnai oleh praktik jual-beli pasal, yang
kemudian menjadi dasar untuk melancarkan proyek reklamasi. KLHS dari Raperda
RZWP3K tidak dilengkapi dengan kajian lingkungan hidup strategis dan tidak
mempertimbangkan daya dukung serta daya tampung Teluk Jakarta.
Secara jelas, Pasal 11 Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi menyatakan bahwa
setiap pihak yang merencanakan reklamasi wajib memperhatikan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS) dan harus sesuai dengan Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWP3K). Permen KP No. 34/PERMEN-KP/2014
mengatur bahwa Izin Lokasi Reklamasi harus didasarkan pada Peraturan Daerah
RZWP3K. Izin Lokasi pun terbagi atas dua, yaitu izin lokasi reklamasi dan izin lokasi
sumber material reklamasi, artinya daerah yang menjadi lokasi reklamasi dan sumber
material harus memiliki Perda RZWP3K.
Namun, hingga saat ini, DKI Jakarta belum memiliki Perda RZWP3K yang mengatur
secara khusus wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tidak adanya partisipasi publik dan
keterbukaan membuat keputusan pemerintah terlihat bias. Seharusnya, komunitas nelayan
dan masyarakat lokal harus terlibat aktif dalam mengawal implementasi RZWP3K untuk
memastikan bahwa aspirasi mereka terakomodir dalam rencana zonasi wilayah pesisir.
Selanjutnya, perlu disusun sanksi sebagai bentuk ketegasan dari perilaku reklamasi liar,
serta adanya pemantauan yang konsisten. Tindakanan ini kebanyakan lemah dalam
perlakuan jangka panjang sehingga sering kali kasusnya kurang ditindaklanjuti.
10
Penyusunan RZWP3K membutuhkan sinkronisasi antar-stakeholder, termasuk pemerintah
pusat, pemerintah daerah DKI Jakarta, masyarakat sipil, dan masyarakat setempat. Sinergi
ini dianggap penting mengingat kerentanan lingkungan pesisir terhadap perubahan iklim.
Dalam kerangka hukum RZWP3K, pengalokasian ruang harus memperhatikan
keseimbangan antara konservasi sosial-budaya dan ekonomi.
Untuk melengkapi upaya pemerhatian terhadap Pulau Kelapa, diperlukan suatu pendekatan
holistik yang mampu menangani berbagai dampak bencana. Upaya ini tidak hanya sebatas
respons terhadap peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami, atau cuaca ekstrem, tetapi
juga mencakup situasi darurat yang dapat muncul dari faktor non-alam seperti kecelakaan
industri, epidemi, atau konflik sosial.
11
Gambar 1. Pembagian Area di Indonesia yang Terkena Dampak Siklon Tropis
Puting beliung terjadi tiba-tiba dan umumnya berlangsung selama 5-15 menit. Angin
puting beliung di wilayah pesisir dipicu oleh ketidakstabilan atmosfer, di mana pertemuan
udara panas dan lembap dengan udara dingin menciptakan kondisi mendukung
pembentukan badai supercell. Interaksi antara angin daratan dan laut di wilayah pesisir
memainkan peran penting. Suhu permukaan laut yang hangat memberikan energi
tambahan, dan perbedaan tekanan udara antara daratan dan laut dapat memperkuat rotasi
dan perkembangan pusaran udara. Proses terjadi saat rotasi vertikal mencapai permukaan
tanah, membentuk angin puting beliung yang berpotensi menyebabkan kerusakan lokal
atau regional.
12
Faktor-faktor seperti perubahan suhu permukaan laut, topografi, dan pola angin di wilayah
pesisir dapat memengaruhi sifat dan kekuatan angin puting beliung. Oleh karena itu,
diperlukan peningkatan mitigasi risiko bencana dan sistem peringatan dini di wilayah
pesisir untuk mengurangi dampak potensial dari angin puting beliung. Kesadaran
masyarakat dan upaya penguatan infrastruktur harus ditingkatkan untuk menghadapi risiko
cuaca ekstrem di sekitar daerah pesisir. Bencana puting beliung membawa dampak
signifikan terutama bagi wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi, seperti Pulau
Kelapa. Kerugian harta dan nyawa tak terhindarkan, ditambah dengan tantangan
menanggulangi bencana alam di pesisir, seperti kurangnya pemahaman karakteristik
sumberdaya, ketidaktahuan informasi, dan keterbatasan data.
Peningkatan muka air laut dapat menyebabkan abrasi pantai, mengancam keberlanjutan
habitat laut, dan merusak infrastruktur pesisir. Sementara itu, intrusi air laut dapat
mencemari sumber air tawar di pulau tersebut, mengurangi ketersediaan air bersih untuk
penduduk. Proyeksi IPCC menunjukkan bahwa kenaikan muka air laut di abad ke-21
diperkirakan akan berlanjut, dan dapat meningkat lebih cepat daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Jika tidak diatasi, Pulau Kelapa dan pulau-pulau kecil lainnya mungkin
menghadapi risiko tenggelam di masa mendatang.
13
besar. Sebagai destinasi wisata, sangat penting untuk menjalankan manajemen pengelolaan
sampah yang efektif di Pulau Kelapa. Hal ini menjadi semakin krusial mengingat bahwa
sampah tidak hanya berasal dari wisatawan, melainkan juga terdampar oleh arus laut yang
membawa sampah dari Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, serta masuk melalui muara sungai.
2) Kecelakaan Kapal
Berdasarkan data historis dan analisis berita, kecelakaan kapal merupakan salah satu
bencana non-alam yang sering terjadi di Pulau Kelapa. Kondisi cuaca buruk, seperti badai
dan gelombang tinggi, seringkali menjadi pemicu utama kecelakaan kapal di wilayah ini.
Selain itu, kemampuan dan pengalaman kapal dalam menghadapi situasi darurat, seperti
tubrukan kapal, juga dapat signifikan memengaruhi hasil dari kecelakaan kapal tersebut.
Kecelakaan kapal di Pulau Kelapa umumnya dipicu oleh berbagai faktor, termasuk
kegagalan teknologi seperti kesalahan desain, pengoperasian yang kurang hati-hati,
kelalaian, dan tindakan tidak sengaja manusia dalam menggunakan teknologi/industri
perkapalan. Dampak dari kecelakaan kapal ini tidak hanya mencakup kerugian ekonomi
dan korban jiwa, melainkan juga dapat berdampak negatif pada lingkungan. Beberapa
insiden sebelumnya telah menyebabkan tumpahan minyak di sekitar Pulau Kelapa sebagai
akibat dari kecelakaan kapal. Tumpahan minyak ini mencemari sepanjang pantai,
mengakibatkan kerusakan lingkungan, dan menjadi ancaman serius terhadap
keberlangsungan hidup organisme laut di sekitar Pulau Kelapa. Tumpahan minyaknya
14
menempel di tanaman mangrove dan bahkan masuk ke dalam air yang digunakan
penduduk.
3) Reklamasi Pantai
Naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pencabutan
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1992 tentang Penataan dan Pengelolaan Kepulauan
Seribu Kotamadya Jakarta Utara menyatakan bahwa pulau-pulau di wilayah tersebut
mengalami tekanan ekosistem yang semakin besar akibat urbanisasi dan peningkatan
populasi manusia. Pulau Kelapa menjadi contoh nyata dengan pembangunan sporadis,
terutama melalui reklamasi ilegal di tepi pantainya, yang dilakukan tanpa izin resmi.
Permasalahan ini semakin diperparah dengan banyaknya pembangunan liar di sepanjang
pantai pulau yang juga melibatkan reklamasi tanpa izin. Luas daratan yang terbatas tidak
sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, sehingga menyebabkan
pembangunan hunian di atas lahan reklamasi. Kegiatan reklamasi yang tanpa izin tidak
hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga memperburuk kualitas visual pantai dan
lingkungan pulau.
15
Tabel 1. Keterkaitan Antar Bencana di Pulau Kelapa
16
Pantai dan menciptakan kondisi navigasi yang sulit bagi
kapal. Pembangunan pasca-reklamasi dapat
mempengaruhi pergerakan ikan dan menyulitkan
nelayan. Selain itu, kecelakaan kapal dapat terjadi
akibat kurangnya perhatian terhadap perubahan
struktur pesisir yang disebabkan oleh reklamasi.
Reklamasi pantai dapat merusak ekosistem laut,
terutama habitat mangrove yang penting.
Pembangunan pasca-reklamasi juga dapat
Reklamasi Pantai - Pencemaran &
menyebabkan pencemaran laut melalui limbah
Kerusakan Ekosistem
konstruksi dan perubahan sifat fisik dasar laut,
mengancam keberlanjutan lingkungan hidup di
sekitar Pulau Kelapa.
Berdasarkan analisis tersebut, dalam makalah ini, pembahasan upaya mitigasi akan secara
khusus dikaji dari perspektif mahasiswa oseanografi. Dengan merinci tiga aspek utama,
yaitu mitigasi terhadap puting beliung dan cuaca buruk, mitigasi terhadap reklamasi pantai,
dan mitigasi terhadap pencemaran, penelitian ini akan memperkaya sudut pandang dengan
memasukkan hasil studi literatur yang mendalam. Upaya mitigasi ini diharapkan dapat
menjadi landasan yang kokoh untuk mengatasi potensi bencana di Pulau Kelapa.
Meskipun bukan termasuk daerah yang secara alamiah rawan terhadap bencana,
keberadaannya tetap memerlukan penyusunan rencana penanggulangan yang efektif.
Daerah ini memiliki tantangan tersendiri, terutama saat terjadi bencana, karena sulitnya
mencapai akses umum secara menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sarana
transportasi, tingginya kepadatan penduduk, dan adanya aset berharga, termasuk area
konservasi dan wisata, yang menjadi bagian integral dari pulau ini.
Pentingnya rencana penanggulangan bencana di daerah ini dapat dilihat dari kerumitan
17
logistik yang mungkin terjadi akibat kondisi geografis dan demografisnya. Oleh karena itu,
penanganan bencana harus mempertimbangkan langkah-langkah yang dapat
diimplementasikan secara cepat dan efisien. Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat
setempat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan rencana penanggulangan juga
menjadi kunci keberhasilan, mengingat peran mereka sebagai pemangku kepentingan yang
memiliki pemahaman mendalam tentang lingkungan dan kebutuhan lokal.
Upaya mitigasi terhadap bencana puting beliung dan cuaca buruk di Pulau Kelapa
melibatkan langkah-langkah struktural dan non-struktural untuk mencapai lingkungan yang
lebih tahan terhadap dampak buruk dari angin topan atau badai. Secara struktural, teknik
low cost roof retrofitting menjadi fokus dalam memperkuat struktur atap yang rentan
terhadap kerusakan akibat angin topan atau badai. Di samping itu, upaya non-struktural
juga diperlukan sebagai penyesuaian dan pengaturan aktivitas manusia agar sejalan dengan
usaha mitigasi struktural dan upaya lainnya.
Ketika terjadi bencana angin topan atau badai, evakuasi menjadi tindakan krusial untuk
melindungi keselamatan masyarakat. Pengumuman evakuasi dapat dilakukan melalui
berbagai cara, seperti melibatkan pejabat publik, radio atau televisi, otoritas polisi,
pemadam kebakaran, dan metode penyampaian berita dari pintu ke pintu. Sistem
Peringatan Dini Bencana Angin Topan/Badai juga dapat ditingkatkan dengan
memanfaatkan teknologi, seperti loudspeaker, dan pemberitaan otomatis melalui telepon.
Perkiraan terjadinya angin topan atau badai dilakukan oleh Badan Meteorologi,
18
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui jaringan pemantau cuaca yang melibatkan
175 stasiun di seluruh Indonesia, termasuk rehabilitasi radar cuaca untuk menghasilkan
gambar tiga dimensi yang lebih akurat. Dengan demikian, upaya mitigasi yang holistik
menjadi kunci untuk meningkatkan ketahanan Pulau Kelapa terhadap ancaman bencana
cuaca.
Dalam pelaksanaan reklamasi di Pulau Kelapa, sangat krusial untuk menjaga keberlanjutan
melalui perencanaan tata ruang yang bijaksana dan langkah-langkah mitigasi yang
berfokus pada perlindungan lingkungan laut dan ekosistem pesisir. Upaya mitigasi dalam
konteks reklamasi Pulau Kelapa mencakup serangkaian langkah proaktif yang bertujuan
mengurangi dan meminimalkan dampak negatif terkait proyek reklamasi tersebut.
Beberapa langkah konkret yang dapat diimplementasikan dalam rangka mitigasi
melibatkan:
1. Secara alami, upaya termasuk penanaman green belt (hutan pantai atau mangrove)
dan penguatan gumuk pasir dengan vegetasi.
2. Secara buatan, langkah-langkah seperti pembangunan dinding penahan gelombang
dan pembangunan groin perlu direncanakan dengan cermat. Upaya struktural
mitigasi buatan ini memerlukan perhatian khusus karena dapat mengakibatkan
perubahan pola dan karakteristik gelombang, yang dalam jangka panjang mungkin
menyebabkan erosi di tempat lain.
3. Melibatkan masyarakat pesisir dan nelayan dalam proses mitigasi sangat penting.
Mereka memiliki pengetahuan lokal yang berharga tentang lingkungan mereka dan
dapat memberikan wawasan yang berharga untuk merancang langkah-langkah
mitigasi yang efektif.
4. Perlu dibentuk sistem hukum dan dokumen yang mendukung, termasuk peraturan
perundangan tentang bencana alam, pembuatan standarisasi dan metode
perlindungan pantai, penyusunan sempadan garis pantai, serta pengembangan
Sistem Peringatan Dini Bencana Erosi Pantai.
5. Pemerintah harus menyusun rencana tata ruang yang mempertimbangkan
19
keberlanjutan dan kepentingan lingkungan dalam pengembangan reklamasi Pulau
Kelapa. Ini melibatkan penetapan batasan-batasan pelaksanaan reklamasi untuk
mengurangi dampak negatif.
Upaya mitigasi yang kokoh merupakan langkah kunci untuk menjaga keseimbangan antara
pembangunan perkotaan yang diperlukan dan pelestarian lingkungan serta mata
pencaharian masyarakat lokal di Pulau Kelapa. Berdasarkan informasi terbaru, praktik
reklamasi liar di Pulau Kelapa mengalami penurunan signifikan yang disebabkan oleh
langkah-langkah tegas dari pemerintah setempat dalam menangani masalah ini. Selain itu,
kesadaran masyarakat terhadap kerugian dari tindakan tersebut juga turut berkontribusi.
Penting untuk menerapkan tindakan ini secara konsisten ke depan guna mendeteksi kasus-
kasus yang mungkin belum terungkap oleh hukum.
3) Penanganan Pencemaran
20
Selain coastal cleanup, kegiatan penanaman pohon ketapang, kelapa, mangrove, pelepasan
penyu, dan pemberdayaan serta peningkatan kapasitas masyarakat dan nelayan pesisir
dilakukan untuk mengurangi pencemaran sampah laut. Tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem di wilayah tersebut. Dengan
demikian, kegiatan ini tidak hanya berdampak pada kebersihan lingkungan, tetapi juga
pada kesejahteraan ekonomi dan ekosistem yang berkelanjutan di Pulau Kelapa.
KESIMPULAN
Pulau Kelapa, sebagai potensi kawasan konservasi dan pariwisata, menghadapi sejumlah
tantangan, terutama terkait risiko bencana dan ancaman reklamasi liar. Untuk menjaga
keberlanjutan pulau ini, upaya mitigasi menjadi esensial, mencakup langkah-langkah
struktural seperti rehabilitasi ekosistem dan pembangunan sistem peringatan dini, serta
upaya non-struktural seperti pemetaan bahaya dan sosialisasi peraturan konstruksi yang
aman. Analisis bencana cuaca buruk, khususnya angin topan, oleh BMKG memberikan
landasan informasi yang penting untuk antisipasi dan penanganan bencana secara efektif.
Kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, termasuk partisipasi dalam kegiatan
konservasi, menjadi kunci keberhasilan upaya ini. Undang-undang, terutama Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990, memberikan kerangka hukum yang penting untuk
melindungi Pulau Kelapa sebagai kawasan wisata konservasi. Keseluruhan, pendekatan
holistik yang mencakup mitigasi bencana, konservasi lingkungan, partisipasi aktif
masyarakat, dan penerapan undang-undang menjadi kunci bagi Pulau Kelapa untuk terus
menjadi destinasi wisata yang lestari dan menarik. Dengan pemahaman dan keterlibatan
semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan pelaku industri, Pulau Kelapa dapat
mempertahankan daya tariknya sambil menjaga keberlanjutan lingkungan dan
ekosistemnya.
REFERENSI
Aditianata dan Widyawati, L. F. (2017): Identifikasi Mitigasi Bencana dan Proses Adaptasi Masyarakat
Pulau Kecil di Kepulauan Seribu, Laporan Akhir, Universitas Esa Unggul, Jakarta.
21
Anandar, R. dan Laksmono, B. S. (2020): Perubahan Kebijakan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (RZP3K) serta Dampaknya pada Kelompok Nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu
Selatan, Kepulauan Seribu, Vol. 1(2), DOI: https://doi.org/10.7454/jpm.v1i2.1010.
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, (2015):
Profil Kawasan Konservasi Provinsi DKI Jakarta, Jakarta.
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan (2004): Pedoman
Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta.
Dokumen Final RZWP-3-K Provinsi DKI Jakarta Edisi 10 Desember 2021.
Imran, S., Erfinda, Y., Rossi, F. N. R., Lestari, P. W. dan Putra, G. M. (2022): Pemberdayaan Komunitas
Penggerak Wisata Dalam Pembinaan Wisata Konservasi Berbasis Edukasi Pelestarian di Pulau
Kelapa, Kepulauan Seribu, Jurnal Pemberdayaan Pariwisata, Vol. 4(1), DOI:
https://doi.org/10.30647/jpp.v30647/jpp.v4i1.1612.
Naskah Akademik: Rancangan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pencabutan Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 1992 tentang Penataan dan Pengelolaan Kepulauan Seribu Kotamadya Jakarta
Utara, Jakarta, 2022.
Zulrizkan, A. P., Hasibuan, H. S., dan Koestoer, R. H. (2019): Peran Informasi Geospasial dalam
Mendukung Penataan Ruang Wilayah Pulau-Pulau Kecil Berbasis Adaptasi Perubahan Iklim: Kajian
di Pulau Harapan dan Pulau Kelapa, Kabupaten Kepulauan Seribu, Seminar Nasional Geomatika,
DOI: https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.997.
22