“HAMA TUPAI”
Oleh :
KELAS : PROTEKSI A
DOSEN PENGAMPU : Dr. YULMIRA YANTI, S.Si, MP
DEPARTEMEN PROTEKSI
TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2023
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Pengendalian Hayati dan
Pengelolaan Habitat ini dengan baik dan tepat waktu.
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan ......................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................... 5
BAB III PENUTUP.............................................................................. 45
A. Kesimpulan................................................................................. 45
B. Saran........................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 46
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tupai adalah hewan kecil yang termasuk dalam ordo Scandentia atau dalam
beberapa klasifikasi juga dapat termasuk dalam ordo Rodentia. Mereka memiliki ciri khas
berupa tubuh kecil, ekor panjang, dan mata besar. Secara umum, tupai memiliki bulu lebat yang
seringkali berwarna-warni.
Tupai biasanya aktif pada malam hari (nokturnal), meskipun beberapa spesies juga
bisa aktif di siang hari (diurnal). Mereka ditemukan di berbagai habitat, mulai dari hutan hujan
tropis hingga daerah perkotaan. Tupai juga memiliki cakar yang kuat untuk memanjat dan
memiliki gigi tajam yang cocok untuk memakan buah-buahan, biji-bijian, serangga kecil, dan
makanan lainnya.Salah satu ciri khas tupai adalah kemampuan mereka untuk meluncur dari satu
pohon ke pohon lainnya menggunakan selaput kulit yang menghubungkan kaki depan dan kaki
belakangnya, seperti pada tupai terbang. Meskipun demikian, tidak semua spesies tupai memiliki
kemampuan terbang.
Tupai memiliki peran penting dalam ekosistem karena mereka membantu dalam
penyebaran biji-bijian, yang membantu dalam regenerasi hutan dan pertumbuhan tanaman.
Meskipun demikian, beberapa spesies tupai dapat menjadi hama dalam konteks pertanian atau
kebun dengan merusak tanaman dan memakan hasil pertanian.Ada berbagai spesies tupai yang
berbeda, seperti tupai terbang, tupai daun, tupai kelapa, dan masih banyak lagi. Setiap spesies
memiliki adaptasi khusus yang membuatnya unik dalam lingkungannya.
Tupai adalah hewan mamalia dari ordo Rodentia, famili Sciuridae, dan Subfamili
Sciurinae. Berbeda dengan bajing terbang yang aktif pada malam hari (nocturnal), Tupai adalah
hewan yang aktif pada siang hari (diurnal). Sebagai hewan pengerat (rodent) bajing mempunyai
susunan gigi yang mirip dengan tikus, dengan ciri khas terdapatnya dua pasang gigi seri
berbentuk pahat di rahang atas dan bawah serta tidak memiliki taring (Medway, 1969). Dalam
bahasa sehari-hari bajing sering disamakan dengan tupai. Bajing dan tupai adalah dua kelompok
hewan yang sepintas kelihatan mirip tetapi berbeda jauh dalam klasifikasi. Tupai dimasukkan ke
dalam Ordo Primata dan famili Tupaiidae. Callosciurus notatus Bodd. (plantain squirrel) dan C.
nigrovittatus (Horsfield) (black-banded squirrel) adalah dua spesies bajing yang umum
ditemukan di Indonesia bagian barat. Callosciurus notatus umum ditemukan sampai ketinggian
900 m dari muka laut, sedangkan C. nigrovittatus dijumpai sampai ketinggian 2.500 m dari muka
laut (Kalshoven, 1981).
3
Callosciurus notatus memiliki warna oranye pada bagian perut dengan pita hitam dan
krem pada kedua sisi perut, sedangkan C. nigrovittatus memiliki ciri khas warna perut abu-abu,
sedangkan ukuran dan warna bagian tubuh yang lain hampir sama dengan C. notatus (Ecology
Asia, 2016). Bajing memakan berbagai jenis tumbuhan termasuk berbagai jenis tanaman buah-
buahan (pepaya, pisang, jambu, rambutan, mangga, durian, manggis, dll.) dan tanaman
perkebunan (kelapa, kelapa sawit, kakao, kopi) (Priyambodo, 2002). Selain itu bajing juga
diketahui memakan bunga dan putik tanaman kapuk. Bajing juga memakan berbagai jenis
serangga sebagai pakan tambahan. Sifat bajing yang suka memakan tanaman pertanian tersebut
sangat merugikan petani. Serangan bajing semakin banyak pada kebun-kebun yang berdekatan
dengan hutan sekunder maupun primer. Sifatnya yang lincah bergerak ke sana ke mari juga
menyulitkan dalam pengendalian. Beberapa petani kakao di Lampung Selatan melaporkan
bahwa 6 produksi kakao mereka turun sampai 50% akibat serangan bajing. Akibatnya banyak
petani yang kehilangan semangat merawat kebun mereka (Sitanggang, 2011).
Hama tupai merujuk pada populasi bajing yang menyebabkan kerusakan atau gangguan
pada tanaman, struktur bangunan, atau lingkungan sekitarnya. Bajing bisa menjadi hama ketika
mereka berlebihan dalam jumlahnya dan mulai merusak tanaman pertanian, seperti memakan
buah-buahan, biji-bijian, atau tanaman sayuran. Mereka juga bisa menjadi masalah di
lingkungan perkotaan dengan membuat sarang di atap rumah, menggali tanah di taman, atau
merusak struktur bangunan.
B. Rumusan Masalah
1.Bagaimana Bentuk serangan Tupai pada tanaman
2.Bagaimana Pengendalian pada hama tupai
4
C. Tujuan
1.Untuk mengetahui serangan hama tupai
2.Untuk mengetahui Pengendalian Hama tupai
5
BAB II PEMBAHASAN
Jenis C. notatus diketahui menyerang berbagai jenis tanaman seperti kelapa, durian,
rambutan, mangga, jengkol, sawo, nangka, kakao, dan lain-lain. Buah kakao adalah salah satu
jenis makanan yang disukai bajing terutama pada periode tidak tersedianya buah-buahan. Salah
seorang petani kakao melaporkan bahwa serangan bajing meningkat pada musim kemarau
karena pada saat itu tidak ada atau sedikit sekali buah-buahan lain yang dapat dimakan. Pada
musim hujan yang merupakan musim buah-buahan maka serangan bajing terhadap buah kakao
menurun. Aktivitas bajing mencari makan dimulai saat hari mulai terang di pagi hari (kurang
lebih pukul 6 pagi), saat itu bajing dewasa mulai meninggalkan sarangnya untuk mencari makan
ke tempat-tempat yang biasa dikunjunginya.
Pada siang hari bajing tidak lagi terlihat berkeliaran di pohon-pohon, kemungkinan
beristirahat di dalam sarang mereka, dan aktif lagi mencari makan pada sore hari. Pemilihan
pohon kakao yang buahnya akan dimakan pada saat tertentu dipengaruhi oleh pertimbangan
keamanan dan kenyamanan pada saat itu (situasional). Mengingat pohon kakao yang relatif lebih
rendah daripada pohon buah-buahan lain maka pertimbangan keamanan ini menjadi semakin
penting bagi bajing. Selama pengamatan tidak berhasil menemukan dan mengamati bajing yang
sedang memakan buah kakao, yang ditemukan adalah buah kakao yang baru saja dimakan
bajing, karena bajing sudah pergi 12 menghindar lebih dahulu sebelum terlihat oleh kita. Sambil
menunggu situasi yang aman untuk makan bajing biasanya selalu bergerak dari satu pohon ke
pohon yang lain dan jarang berdiam diri lebih dari tiga detik sehingga menyulitkan dalam
membidik dengan senapan.
Bajing jantan dewasa mempertahankan wilayahnya dari jantan lain. Bila ada bajing
jantan lain yang masuk ke dalam teritorialnya maka akan dikejar, dan bila pendatang tersebut
tidak mau pergi maka dapat terjadi pertarungan sampai salah satu kalah dan melarikan diri.
Tidak jarang dalam pertarungan mempertahankan wilayah kekuasaan tersebut salah satu bajing
sampai terjatuh ketika berlarian dari pohon ke pohon. Bajing dikenal lincah dalam berlari di
pohon-pohon dan mampu berlari ke arah atas dan ke arah bawah pohon dengan kecepatan yang
sama. Menurut Constantine (2006) C. notatus jantan sering mempunyai wilayah teritorial yang
tumpang-tindih (overlap) dengan jantan lainnya sehingga sering terjadi pengejaran (chase)
terhadap saingan. Perilaku khas bajing pada kakao adalah bajing makan pada buah yang sama
secara berulang tiap hari sampai biji yang ada dalam buah tersebut habis. Bila suatu buah kakao
bekas dimakan bajing tetapi belum habis bijinya maka keesokan harinya bajing tersebut akan
datang lagi memakan buah tersebut. Pada buah yang sudah tua dan siap untuk dipanen, bajing
memakan daging buah kakao (pulp) dan menjatuhkan bijinya yang keras, tetapi pada buah kakao
yang masih muda, bajing memakan daging buah dan biji kakao. Di lapangan ditemukan buah
kakao muda dengan panjang 10 cm dimakan oleh bajing. Callosciurus notatus adalah spesies
bajing yang paling mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Spesies ini mendiami berbagai
habitat seperti hutan sekunder, perkebunan, dan pekarangan rumah. Hasil penelitian Saiful and
Nordin (2004) menyimpulkan bahwa C. notatus adalah spesies bajing yang populasinya paling
melimpah di Semenanjung Malaysia. Menurut International Union for Conservation of Nature
(IUCN) status populasi C. notatus termasuk kategori LC (Least Concern) yaitu hewan yang
resiko kepunahannya tergolong rendah (low risk of extinction) (Duckworth, et al. 2008).
6
7
BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan
Pengendalian hama tupai bisa dilakukan melalui berbagai metode, mulai dari pendekatan non-
lethal hingga penggunaan kontrol kimia. Berikut beberapa metode yang umum digunakan:
1. Perangkap Hidup:
Perangkap hidup merupakan cara yang humanis untuk menangkap tupai tanpa membahayakan
atau membunuh mereka. Setelah tertangkap, tupai dapat dilepaskan ke lingkungan yang lebih
aman.
2. Penghalang Fisik:
Menggunakan penghalang fisik seperti jaring, pagar, atau penutup yang dirancang khusus untuk
melindungi area tanaman dari akses tupai. Hal ini dapat membantu mencegah tupai memakan
hasil panen atau merusak tanaman.
5. Perubahan Lingkungan:
Memodifikasi lingkungan untuk mengurangi daya tarik tupai dapat membantu mengurangi
kehadiran mereka. Misalnya, menjauhkan sumber makanan atau tempat perlindungan mereka .
8
DAFTAR PUSTAKA
Ghabrial, S.A. & N. Suzuki N. 2009. Viruses of Plant Pathogenic Fungi. Annual
Review of Phytopatholgy 47: 353–384.
Hallmann J, Hallmann AQ, Mahaffee WF, Kloepper JW. 1997. Bacterial endophytes
in agricultural crops. Can J Microbiol. 43:895– 914. DOI:
https://doi.org/10.1139/m97-131.
9
Hastuti RD, Lestari Y, Suwarso A, Saraswati R. 2012. Endophytic Streptomyces spp.
holder rubber plantation using botanical, biological and chemical agents. J
HPT Tropika. 13(1):69–74.
Kusumawati DI, Widawati S, Lisdiyanti P, Sudiana IM. 2017. Isolation and screening
Marzano, S.Y.L. & L.L. Domier. 2016. Novel Myco-viruses Discovered from
Metatranscriptomics Survey of Soybean Phyllosphere Phytobiomes. Virus
Research 219: 11−21.
Mclnroy, J.A. and J.W. Kloepper. 1995. Survey of indigenous bacterial endophytes
mikroba diazotrof endofitik dan penghasil zat pemacu tumbuh pada tanaman
Munif A, Wiyono S, Suwarno. 2012. Isolasi bakteri endofit asal padi gogo
dan potensinya sebagai agens biokontrol dan pemacu pertumbuhan. J
Fitopatol indones. 8(3):57–64. DOI: https://doi.org/10.14692/ jfi.8.3.57.
Nuss, D.L. & B.I. Hillman. 2011. Family Hypoviridae. Ninth Report of the
International Committee for the Taxonomy of Viruses, p 1029–1033. In
10
A.M.Q. King, M.J. Adams, E.B. Carstens, & E.J. Lefkowitz (eds.), Virus
Taxonomy. Elsevier Academic Press, San Diego.
Nuss, D.L. 2011. Mycoviruses, RNA Silencing, and Viral RNA
Recombination. Advances in Virus Research 80: 25–48. padi dan jagung.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi
Pal KK, Gardener BM. 2006. Biological Control of Plant Pathogens. The Plant
Health Instructor. DOI: https://doi. org/10.1094/PHI-A-2006-1117-02.
Pathogenic Bacteria. Minnesota (US): APS Press. Plant Phathol. 28: 21-26.
Prasetyo J, Aeny TN. 2013. The preventive control of white root rot disease in small
Prosiding The Project for Producing Biomass Energy and Material through
Revegetation of Alang-alang (Imperata cylindrica) Fields; 2016 Nov 14;
Bogor (ID): Indonesia Institute of Sciences. Hlm 125–133. pv. oryzae).
Hayati. 19(4):155–162. DOI: https://doi.org/10.4308/hjb.19.4.155.
Sigee DC. 1993. Bacterial Plant Pathology: Cell and Molecular Aspects. Canbridge
(UK): Cambridge University Press. DOI: https://doi.org/10.1017/
CBO9780511525476. soil bome disease and potensial extension to systemic
and foliar disease. Aust.
Souto GI, Correa OS, Montecchia MS, Kerber NL, Pucheu NL, Bachur M. 2004.
Genetic and functional characterization of a Bacillus sp. strain excreting
surfactin and
Sturz, A.V. 1995. The role of endophytic bacteria during seed piece decay and potato
11
Suryanto D, Patonah S, Munir E. 2010. Control of fusarium wilt of chili with
chitinolytic bacteria. HAYATI J Biosci. 17(1):5–8. DOI:
https://doi.org/10.4308/hjb.17.1.5.
Susilowati, D. N., R. Saraswati, Elsanti, dan E. Yuniarti. 2004. Isolasi dan seleksi
Tanaman, Balai Penelitian bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
tuberization. Plant Soil. 175: 257-263.
12