Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PENDAHULUAN GAGAL GINJAL KRONIS (CHRONIC KIDNEY

DIASE) DENGAN HEMODIALISA

OLEH :
MUTIA SALMA (2100212032)
MATA KULIAH : KEPERAWATAN PALIATIF
RUANGAN : HEMODIALISA

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
TA 2023/2024
BAB 1

1. PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau yang biasa disebut dengan Gagal

Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu kondisi dimana fungsi ginjal melemah

bahkan rusak, yang berlangsung lebih dari tiga bulan dan ditandai dengan

penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) (Madania et al., 2022). Tanda

dan gejala yang mungkin muncul pada penderita CKD diantaranya yaitu,

pernapasan kussmaul, edema, gangguan pada jumlah keluaran urine,

proteinuria serta pruritus dan hiperpigmentasi pada kulit (Suharyanto &

Majid, 2013).

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kecepatan kerusakan fungsi

ginjal dapat disebabkan oleh diabetes melitus, hipertensi dan nefropati

analgetik serta jenis kelamin dan bertambahnya usia. Selain itu, hal ini dapat

disebabkan oleh gaya hidup seperti riwayat merokok dan kurangnya

konsumsi air putih juga bisa menjadi faktor risiko dari kondisi tersebut

(Pranandari & Supadmi, 2015).

CKD adalah suatu kondisi yang menjadi masalah kesehatan dunia

dengan kemunculan kasus-kasus baru, angka kejadian dan angka kematian

yang semakin meningkat (Fadhilah, 2014). Menurut World Health

Organization (WHO) ditemukan 500 juta jiwa menderita penyakit gagal

ginjal kronis di dunia (Ramadhani et al., 2022). Pada tahun 2018 berdasarkan

data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi CKD di Indonesia yaitu

1
2

sebesar 0,38% dari keseluruhan populasi penduduk di Indonesia yang

berjumlah 252.124.458 jiwa.

Sehingga diperoleh data sejumlah 713.783 jiwa yang mengalami CKD

di Indonesia. Prevalensi gagal ginjal kronis di provinsi Kalimantan Timur

berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk berusia ≥ 15 tahun yaitu

sebesar 0,42%, dimana hal itu mengalami peningkatan sebesar 0,32% jika

dibandingkan dengan hasil Riskesdas pada tahun 2013 lalu yang hanya

sebesar 0,1% (Kemenkes RI, 2018).

Data Riskesdas memperlihatkan bahwa seiring bertambahnya usia maka

angka kejadian juga kian meningkat, Pada kelompok usia antara 65-74 tahun,

data meningkat tajam dengan angka kejadian 8,23%. Angka kejadian

pada pria sebesar 4,17% lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yaitu

3,52%, angka kejadian antara penduduk yang tinggal diperkotaan dengan

penduduk yang tinggal diperdesaan hampir sama yaitu pada penduduk

diperkotaan sebesar 3,85% dan penduduk diperdesaan sebesar 3,84%

(Kemenkes RI, 2018).

CKD pada tahap stadium akhir dan saat ginjal sudah sama sekali tidak

berfungsi lagi, maka dibutuhkan alternatif lain yang bertujuan untuk

membersihkan toksin yang berada di dalam tubuh. Hal tersebut dapat

dilakukan dengan melalui terapi pengganti fungsi ginjal. Terapi pengganti

ginjal yang digunakan dalam jumlah besar di Indonesia adalah terapi

hemodialisis (Madania et al., 2022). Data World Health Organization (WHO)

menunjukkan bahwa telah diperoleh sekitar 1,5 juta orang menjalani terapi
3

hemodialisis (Ramadhani et al., 2022).

Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti fungsi ginjal yang

dilakukan dengan memakai sebuah alat khusus yang bertujuan untuk

membersihkan toksin yang tidak dibutuhkan tubuh seperti ureum dan

kreatinin serta mengontrol cairan akibat penurunan GFR dengan

menggantikan fungsi ginjal yang telah memburuk (Isnayati et al., 2020).

Penderita CKD yang sedang melakukan proses hemodialisis umumnya

mempunyai respon tubuh yang beragam terhadap proses hemodialisis

yang sedang dijalaninya. Pada penderita CKD tersebut akan timbul rasa

ansietas dikarenakan krisis situasional, ancaman terhadap kematian, dan

ketidaktahuan tentang hasil akhir dari terapi hemodialisis yang sedang

dijalani tersebut. Pasien juga dipertemukan dengan kondisi ketidakpastian dan

mengenai proses hemodialisis yang membutuhkan durasi yang tidak sebentar

yaitu seumur hidupnya serta membutuhkan biaya yang cukup besar (Sasmita

et al., 2015).

IRR (Indonesian Renal Registry) memperoleh data bahwa dari 249

renal unit, terdapat 30.554 orang yang sedang aktif melakukan terapi

hemodialisis pada tahun 2015, sebagian besar dari julah tersebut adalah

penderita CKD (Kemenkes RI, 2017). Pada tahun 2015, mesin hemodialisis

yang terdata sejumlah 4.898, yang terbanyak terdapat pada wilayah DKI

Jakarta, yaitu sebesar 26% dan provinsi Jawa Barat sebesar 22%.

Di provinsi Jawa Tengah terdapat sebesar 12%, Jawa Timur sebesar

11%, Sumatera Utara sebesar 7%, Bali sebesar 4%, Sumatera Barat sebesar
4

4%, Sumatera Selatan sebesar 4%, DI Yogyakarta sebesar 3%, Kalimantan

sebesar 2%, dan provinsi lainnya sekitar 1%. Tahun 2017 telah tercatat

sebanyak 77.892 orang yang sedang aktif melakukan terapi hemodialisis

dengan sebanyak 30.831 orang yang baru melakukan terapi hemodialisis

(Kemenkes RI, 2018).

Pada kasus CKD on Hemodialisis yang tidak mendapatkan perawatan

yang sesuai dengan kebutuhannya maka efeknya dapat memperburuk kondisi

pasien tersebut sehingga dapat timbul berbagai masalah keperawatan yang

dapat berupa pola nafas tidak efektif, gangguan pertukaran gas, perfusi

perifer tidak efektif, gangguan integritas kulit/jaringan, gangguan eliminasi

urine, defisit nutrisi, intoleransi aktivitas, risiko infeksi, ansietas, dan

sebagainya (PPNI, 2018).

Beberapa hal yang dapat direncanakan untuk menangani masalah

keperawatan pola napas tidak efektif yaitu dengan cara pemberian terapi

oksigen, gangguan pertukaran gas dengan pemantauan respirasi, perfusi

perifer tidak efektif dengan perawatan sirkulasi, gangguan integritas

kulit/jaringan dengan perawatan integritas kulit, gangguan eliminasi urine

dengan cara manajemen eliminasi urine, defisit nutrisi dengan cara manjemen

nutrisi, intoleransi aktivitas dengan cara manajemen energi, risiko infeksi

dengan mencegah infeksi dan ansietas dengan cara reduksi ansietas (PPNI,

2018).

Berdasarkan uraian diatas, direpresentasikan bahwa CKD merupakan

masalah kesehatan serius di Indonesia. Oleh karena itu, penulis mera


BAB 2

TINJAUAN

PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Medis

2.1.1 Pengertian

Gagal Ginjal terdiri dari gagal ginjal akut atau acute kidney

injury (AKI) dan gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease

(CKD). Penyakit gagal ginjal merupakan suatu kondisi dimana fungsi

ginjal melemah atau bahkan hilang dalam beberapa tahap (Sukandar et

al., 2011 dalam Pakingki et al., 2019).

AKI merupakan suatu kondisi dimana laju filtrasi glomerulus

telah mengalami penurunan yang terjadi selama beberapa jam hingga

beberapa minggu, disertai dengan terjadinya akumulasi pada produk-

produk akhir atau sisa metabolisme tubuh, yaitu urea dan kreatinin.

Sedangkan CKD merupakan kehilangan fungsi ginjal yang terjadi

selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun dan ditandai

dengan perubahan pada struktur normal ginjal secara bertahap

(Sukandar et al., 2011 dalam Pakingki et al., 2019).

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa CKD merupakan

keadaan terjadinya penurunan terhadap fungsi ginjal yang cukup berat

secara perlahan-lahan selama lebih dari 3 bulan, disebabkan oleh

berbagai penyakit ginjal. Kondisi ini dapat berkembang menjadi

semakin buruk dan umumnya tidak dapat normal kembali (Wish JB,

2014 dalam Madania et al., 2022).

7
8

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan

bahwa CKD merupakan suatu keadaan penurunan bahkan hilangnya

fungsi ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan. Keadaan ini dapat

menyebabkan perubahan pada struktur normal ginjal yang ditandai

dengan penurunan laju filtrasi glomerulus.

2.1.2 Klasifikasi

GFR adalah suatu penilaian fungsi ginjal untuk menilai fungsi

ekskresi ginjal, dengan menghitung jumlah dari hasil penyaringan

yang dihasilkan oleh glomerulus. Derajat penurunan nilai GFR

menunjukkan tingkat keparahan kerusakan ginjal (Surya et al., 2018).

GFR dapat diketahui dengan perhitungan menggunakan rumus

sebagai berikut (Pahlevi & Bachtiar, 2013) :

GFR = (140-umur) x (BB)


72 x Kreatinin Serum

CKD berdasarkan (GFR) diklasifikasikan menjadi beberapa

derajat menurut , yaitu (Suharyanto & Majid, 2013) :

Tabel 2.1 Klasifikasi CKD

Derajat GFR Penjelasan


(ml/mnt/1.73m2)
1 >90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan GFR menurun
ringan
3 30-59 Kerusakan ginjal dengan GFR menurun
sedang
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan GFR menurun
Berat
5 <15 Gagal ginjal
9

2.1.3 Etiologi

Terdapat beberapa penyakit yang dapat menyebabkan penyakit

gagal ginjal kronis diantaranya yaitu (Pranandari & Supadmi, 2015) :

1. Diabetes Melitus

Salah satu akibat dari komplikasi diabetes melitus (DM)

yaitu penyakit yang menyerang pembuluh darah kecil

(mikrovaskuler), termasuk nefropati diabetika yang merupakan

penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir. Berbagai teori

mengenai patogenesis nefropati seperti peningkatan produk

glikosilasi dengan proses non-enzimatik yang disebut AGEs

(Advanced Glucosylation End Products), peningkatan reaksi jalur

poliol (polyol pathway), glukotoksisitas dan protein kinase C

berkontribusi terhadap kerusakan ginjal.

Kelainan glomerulus terjadi akibat denaturasi protein yang

disebabkan oleh tingginya kadar glukosa dan hipertensi

intraglomerulus. Terjadi kelainan atau perubahan pada membran

basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium.

Kondisi ini akan mengakibatkan glomerulosklerosis dan

berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan

pada permeabilitas membrane basalis glomerulus yang ditandai

dengan albuminuria.
10

2. Hipertensi

Tekanan darah tinggi dikaitkan dengan penyakit gagal

ginjal kronis. Hipertensi dapat memperparah kerusakan pada

ginjal, hal ini dapat terjadi melalui peningkatan tekanan

intraglomeruler yang menyebabkan gangguan struktural dan

gangguan fungsional pada glomerulus yang dapat mengakibatkan

penurunan laju filtrasi glomerulus. Tekanan intravaskular yang

tinggi dialirkan melalui arteri aferen ke dalam glomerulus,

dimana arteri aferen mengalami konstriksi akibat hipertensi.

3. Nefropati Analgetik

Nefropati analgetik merupakan suatu kondisi dimana nefron

mengalami kerusakan akibat penggunaan obat analgetik.

Penggunaan obat analgetik dan Obat Anti Inflamasi Non Streroid

(OAINS) untuk meredakan rasa nyeri dan mengontrol inflamasi

dengan mekanisme kerja yang menekan sintesis prostaglandin.

Akibat penghambatan sintesis prostaglandin menyebabkan

vasokontriksi renal sehingga dapat menurunkan aliran darah ke

ginjal dan berpotensi untuk menimbulkan iskemia glomerular.

Obat analgetik dan OAINS juga menginduksi kejadian

nefritis interstitial yang selalu diikuti dengan kerusakan ringan

glomerulus dan nefropati yang akan mempercepat perkembangan

kerusakan ginjal, nekrosis papila dan CKD. Obat analgetik dan

OAINS dapat menyebabkan nefrosklerosis yang berakibat


11

iskemiaglomerular sehingga menurunkan GFR kompensata dan

GFR nonkompensata atau CKD yang dalam waktu lama dapat

menyebabkan gagal ginjal terminal.

2.1.4 Faktor Risiko

Menurut Pranandari & Supadmi (2015), beberapa faktor yang

dapat meningkatkan risiko penyakit gagal ginjal kronis diantaranya

yaitu :

1. Usia

Usia merupakan salah satu faktor risiko penyakit

degeneratif yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan karena

semakin bertambahnya usia, semakin berkurang juga fungsi ginjal

dan berhubungan dengan penurunan kecepatan ekskresi

glomerulus dan memburuknya fungsi tubulus. Penurunan fungsi

ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal bagi setiap

manusia seiring dengan bertambahnya usia, namun tidak

menyebabkan kelainan atau menimbulkan gejala karena masih

dalam batas wajar yang dapat ditoleransi oleh ginjal dan tubuh.

2. Jenis Kelamin

Secara klinik pria memiliki risiko menderita CKD dua kali

lebih besar daripada wanita. Hal ini dimungkinkan karena wanita

lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup sehatnya

dibandingkan pria, sehingga pria lebih mudah untuk terkena CKD

dibandingkan wanita. Wanita lebih patuh dibandingkan pria


12

dalam mengonsumsi obat karena wanita lebih dapat menjaga diri

sendiriserta bisa mengatur tentang pemakaian obat.

3. Riwayat Merokok

Efek merokok fase akut dapat meningkatkan pacuan

simpatis yang akan menyebabkan peningkatan tekanan darah,

takikardi dan penumpukan katekolamin dalam sirkulasi darah.

Pada fase akut, beberapa pembuluh darah juga sering mengalami

vasokontriksi misalnya pada pembuluh darah koroner, sehingga

pada perokok akut sering diikuti dengan peningkatan tahanan

pembuluh darah ginjal sehingga terjadi penurunan GFR.

2.1.5 Manifestasi Klinis

CKD dapat menyebabkan timbulnya berbagai manifestasi klinis

diantaranya yaitu (Suharyanto & Majid, 2013) :

1. Sistem Pernapasan

Tanda dan gejala CKD yang dapat mengganggu sistem

pernapasan diantaranya yaitu kussmaul yaitu pernapasan dengan

panjang ekspirasi dan inspirasi yang sama, sehingga pernapasan

menjadi lambat dan dalam, dispnea atau sesak napas, edema paru

yaitu penumpukan cairan di kantong udara di paru-paru dan

pneumonitis atau peradangan pada jaringan paru-paru.

Untuk menegakkan diagnosis edema paru, yang dapat

dilakukan yaitu pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan foto

toraks. Dalam hal ini yang diperhatikan adalah sudut sinus


13

kostofrenikus. Tumpulnya sudut sinus kostofrenikus menandakan

adanya cairan pada area tersebut (Hasan et al., 2017).

Maka, penanganan yang dapat dilakukan salah satunya

dengan cara water seal drainase (WSD) yaitu pengaliran udara

atau cairan secara cepat dan terus menerus dari rongga pleura

yang diikuti atau tanpa diikuti pemasangan pipa atau selang.

Tempat pemasangan WSD biasanya pada ICS ke IV dan V di

linea aksilaris anterior dan media.

Penumpulan sudut sinus kostofrenikus dapat dilihat pada

gambar dibawah ini (Nurani et al., 2016) :

Gambar 2.1 Sudut Sinus Kostofrenikus

2. Sistem Kardiovaskular

Pada sistem kardiovaskular tanda dan gejala yang muncul

yaitu berupa retinopati hipertensi (kerusakan pada retina mata),

hipertensi ensefalopati (sindrom akibat dari peningkatan tekanan

arteri yang mendadak menjadi tinggi sehingga dapat berpengaruh

pada fungsi otak), beban sirkulasi berlebih, edema, gagal jantung

kongestif (gagal jantung kiri yang diikuti dengan gagal


14

jantung kanan yang terjadi secara bersamaan) dan aritmia (detak

jantung yang tidak teratur, terlalu cepat atau terlalu lambat).

Selain itu, penurunan fungsi ginjal juga dapat

mengakibatkan hipertensi yang menyebabkan kardiomegali.

Kardiomegali merupakan suatu kondisi dimana jantung

mengalami penebalan pada dinding atau hipertrofi dan

pembesaran ukuran ruang atau dilatasi jantung lebih dari ukuran

normal (Afikah & Nurhasanah, 2021).

Salah satu cara yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan

kardiomegali yaitu pemeriksaan fisik toraks untuk mengetahui

batasan-batasan jantung. Organ jantung terletak pada rongga

mediastinum, yaitu rongga yang berada di antara paru-paru kanan

dan kiri. Batas normal jantung diantaranya, batas atas jantung

yang terletak pada ICS II parasternal kiri, batas bawah jantung

pada ICS V parasternal kanan, batas kanan jantung pada ICS IV

parasternal kiri dan batas kiri jantung pada ICS IV midklavikula

kiri.

Pemeriksaan penunjang berupa foto toraks juga dapat

dilakukan untuk mengukur cardiothoracic ratio (CTR) pada foto

toraks postanterior (PA) (Minati et. al., 2013) :

𝐴+𝐵
× 100%
𝐶
15

Keterangan :

A : Bagian terlebar dari jantung kanan ke garis tengah

B : Bagian terlebar dari jantung kiri ke garis tengah

C : Diameter terlebar toraks

Apabila hasil pengukuran lebih dari 50%, jantung dikatakan


mengalami kardiomegali atau pembesaran jantung baik pada

atrium ataupun ventrikel (Candrasatria et. al., 2014).

Gambar 2.2 Kardiomegali

3. Sistem Metabolisme

Sistem metabolisme pada penderita CKD juga dapat terganggu yaitu

menyebabkan keabnormalan pada sintesis protein, hiperglikemia (kondisi dimana

kadar gula darah mengalami peningkatan yang berlebihan) dan peningkatan

kadar

trigliserida yang disebabkan oleh konsumsi lemak secara berlebih.


4. Sistem Perkemihan

Normal urine output adalah 0,5 hingga 1,5 cc/kg/BB/jam.

Tanda dan gejala yang dapat muncul pada sistem perkemihan

yaitu poliuria dimana jumlah produksi urin lebih banyak daripada


16

biasanya, berlanjut menuju oliguria atau produksi urin berkurang,

lalu anuria atau tidak dapat memproduksi urin, nokturia atau

kondisi buang air kecil berlebih di malam hari dan proteinuria

yaitu adanya protein serta glukosa dalam urine.

5. Sistem Neuromuskuler

Pada sistem neuromuskuler pasien akan mudah merasa

lelah, otot mengecil dan mengalami kelemahan otot. Sedangkan

pada sistem saraf pusat pasien dapat mengalami penurunan

kesadaran, konsentrasi memburuk, kekacauan mental, koma, otot

berkedut dan kejang.

6. Sistem Pencernaan

Pasien akan mengalami penurunan nafsu makan atau

anoreksia. Mual, muntah, nafas berbau amoniak, mulut terasa

kering, perdarahaan pada saluran cerna, diare, stomatitis atau

radang yang terjadi pada mukosa mulut dan parotitis yaitu infeksi

virus yang menyebabkan bengkaknya kelenjar parotis pada wajah.

7. Sistem Dermatologi

Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis juga dapat

mengalami perubahan atau gangguan pada sistem dermatologi.

Tanda dan gejala yang dapat di rasakan adalah kulit tampak

pucat, muncul rasa gatal pada kulit atau pruritus, kulit terasa

kering dan juga muncul memar pada kulit serta hiperpigmentasi

yang dapat terjadi karena peningkatan kadar ureum yang dapat

berpengaruh
17

terhadap Melanocyte-Stimulating Hormone (MSH) yang

memproduksi melanin.

8. Biokimia

Penyakit gagal ginjal kronis juga dapat menyebabkan

asidosis metabolik dimana status asam basa lebih bergeser ke sisi

asam. Selain itu, azotemia yaitu penurunan GFR sehingga blood

urea nitrogen (BUN) dan kreatinin mengalami peningkatan.

Hiperkalemia atau peningkatan kadar kalium dalam darah, retensi

natrium, hipermagnesia atau peningkatan kadar magnesium dalam

darah dan hiperurisemia atau peningkatan kadar asam urat.

9. Seksualitas

CKD juga dapat berakibat pada seksualitas. Tanda dan

gejala yang dapat dirasakan oleh pasien dengan gagal ginjal

kronisyaitu penurunan libido atau gairah seks. Selain itu, amenore

pada wanita yaitu kondisi dimana seorang wanita tidak dapat

mengalami menstruasi sebagaimana mestinya serta impotensi

pada pria yaitu ketika penis tidak bisa ereksi atau tidak dapat

mempertahankan ereksi.

10. Hematologi

Penyakit gagal ginjal juga dapat mengakibatkan gangguan

pada darah. Tanda dan gejala yang mungkin terjadi yaitu berupa

anemia, dimana jumlah sel darah merah dalam tubuh mengalami

penurunan, hemolisis atau pecahnya sel darah merah. Selain itu,


18

pasien juga menjadi berisiko terkena infeksi dan cenderung untuk

mengalami perdarahan yang disebabkan oleh disfungsi platelet

atau trombosit. Disfungsi platelet tersebut dikarenakan adanya

peningkatan ureum yang tidak dapat dibuang karena adanya

penurunan fungsi ginjal.

11. Gangguan Kalsium

Gangguan kalsium yang dapat terjadi antara lain

hiperfosfatemia yaitu kondisi fosfat yang terlalu tinggi dalam

darah, hipokalsemia atau rendahnya kadar kalsium dalam darah,

serta konjungtivitis atau mata merah akibat peradangan pada

selaput yang melapisi permukaan bola mata dan pada kelopak

mata bagian dalam.

2.1.6 Patofisiologi

Patofisiologi CKD dimulai dari terjadinya peradangan pada

glomeruli yang dapat menyebabkan glomerulonefritis. Dapat juga

disebabkan karena suatu kondisi penyempitan pembuluh nadi yang

menyebabkan penyakit vaskular. Selain itu, kelainan kongenital dan

penggunaan obat juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit

gagal ginjal. Kondisi ini jika tidak mendapatkan perawatan yang

maksimal dapat memperparah kondisinya sehingga dapat menjadi

penyakit gagal ginjal kronis (Prabowo, 2014).

Jika CKD telah berkembang, proses reabsorbsi dapat terganggu.

Reabsorbsi merupakan suatu proses mekanisme tubuh untuk


19

menyerap zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Proses reabsorbsi yang

terganggu dapat menyebabkan penurunan GFR, yang meningkatan

akumulasi cairan dan meningkatkan preload sehingga terjadilah

penurunan curah jantung. Selain itu, gangguan penyerapan ini juga

dapat meningkatkan kadar natrium di dalam tubuh yang menyebabkan

retensi cairan sehingga volume dalam pembuluh darah meningkat dan

mengakibatkan peningkatan pada permeabilitas kapiler (Prabowo,

2014).

Peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan edema

atau penumpukan cairan. Hal ini dapat mempengaruhi dua hal yaitu

stagnansi vena yang dapat menjadi gangguan integritas kulit/jaringan

dan penurunan ekspansi paru yang menyebabkan sesak napas

sehingga pola napas tidak efektif dapat diangkat menjadi masalah

keperawatan (Prabowo, 2014).

Selain itu penurunan ekspansi paru dapat menyebabkan retensi

karbondioksida yang mengakibatkan asidosis respiratorik dimana

gangguan pertukaran gas dapat diangkat menjadi masalah

keperawatan. Produksi urin juga dapat terganggu ketika organ ginjal

pada penderita CKD mengalami penurunan fungsi. Awalnya berupa

poliuria, kemudian berlanjut menuju oliguria, lalu anuria, nokturia dan

proteinuria (Prabowo, 2014).

Pada CKD stadium akhir, ginjal sudah tidak berfungsi lagi

sehingga diperlukan cara alternatif untuk menggantikan fungsi ginjal


20

tersebut. Salah satunya adalah dengan proses hemodialisa yaitu terapi

ginjal yang bertujuan untuk mengeluarkan toksin uremik melalui

penggunaan alat invasif secara berulang, sehingga penderita berisiko

terkena infeksi, peningkatan asam lambung karena kecemasan dan

mual dan muntah sehingga timbul masalah keperawatan defisit nutrisi


21

2.1.1 Pathway
Skema 2.1 Pathway CKD
Glomerulonefritis, Infeksi Kronis, Kelainan Kongenital, Penyakit Vaskuler, Nephrolithiasis, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Obat Nefrotoksik

Perfusi Perifer
Tidak Efektif Defisit
Penurunan konsentrasi Hb Chronic Kidney Disease (CKD)/Gagal Ginjal Kronis Kurang terpapar informasi Pengetahuan
(D. 0009)
(D. 0111)

Proses Hemodialisa Penurunan Fungsi Tubuh Gangguan Reabsorbsi Hipernatremi Produksi urin

Tindakan Invasif Berulang Gangguan Citra Tubuh (D.0083) Filtrasi Glomerulus ↓ Retensi Cairan Gangguan Eliminasi
Urin (D.0040)
Injuri Jaringan Rasa Sedih & Duka GFR ↓ Vol. Vaskuler ↑
Edema
Risiko Infeksi (D.0142) Marah pada Tuhan akan kondisinya Edema Permeabilitas Kapiler ↑
Ekspansi Paru ↓
Hipervolemia
Informasi Distress Spiritual (D.0082) Preload↑ (D. 0022) Edema
Dispnea
Ansietas (D.0080) Defisiensi Energi Hipertrofi Ventrikel Kiri Stagnansi Vena
Pola Napas Tidak Efektif
Stress Ulcer Intoleransi Infiltrasi (D.0005)
COP↓
Aktivitas (D.0056)

HCL ↑ Gangguan Integritas Retensi CO2


Penurunan
Kulit/Jaringan (D.0129)
Curah Jantung
Mual, Muntah Asidosis Respiratorik
Sumber : Prabowo (2014)
Defisit Nutrisi (D.0019) Gangguan Pertukaran Gas
(D.0003)
22

2.1.7 Komplikasi

Penyakit ginjal yang sudah parah atau sudah berlangsung sejak

lama dapat menyebabkan anemia dan menurunnya hematokrit. Hal ini

disebabkan karena berkurangnya jumlah hormon pembentuk sel darah

merah atau eritropoietin yang dihasilkan oleh ginjal. Anemia terjadi

ketika konsentrasi hemoglobin berada di bawah 13 g/dl pada laki-laki

dan di bawah 12 g/dl pada perempuan. Serta nilai hematokrit di bawah

rentang normal, dimana nilai normal untuk hematokrit yaitu sebesar

40-52% (Ermawardani & Permatasari, 2021).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Prabowo & Pranata (2014) terdapat beberapa

pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk membantu

menegakkan diagnosis CKD, diantaranya :

1. Biokimiawi

Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah

pemeriksaan kadar ureum dan keratinin di dalam darah. Pada

pasien CKD, kadar ureum dan kreatinin akan mengalami

peningkatan. Namun, untuk hasil yang lebih akurat untuk

mengetahui fungsi ginjal adalah dengan analisa klirens kreatinin.

Pada pemeriksaan biokimiawi, perlu diperhatikan mengenai

batasan normal ureum. Batasan normal ureum pada laki-laki yaitu

15-38 mg/dl, sedangkan pada perempuan 7-18 mg/dl. Kadar

kreatinin normal pada laki-laki yaitu 0,7-1,4 mg/dl, sedangkan


23

pada perempuan 0,6-1,2 mg/dl. Namun, kadar ureum dikatakan

tinggi apabila telah mencapai lebih dari 50 mg/dl.

2. Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan yang

dilakukan melalui analisis sample urine. Pemeriksaan ini

dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi yang

terjadi pada ginjal atau perdarahan aktif akibat inflamasi atau

peradangan pada jaringan ginjal.

3. Ultrasonografi Ginjal

Ultrasonografi ginjal atau USG ginjal yaitu sebuah tindakan

pengambilan gambar non-invasif yang menentukan dan

mengevaluasi kondisi ginjal dan organ terkait seperti kandung

kemih dan ureter, merupakan salah satu pemeriksaan penunjang

pada penyakit gagal ginjal kronis. Hal ini dilakukan untuk

memberikan informasi yang mendukung menegakkan diagnosis

pada gagal ginjal.

2.1.9 Penatalaksanaan

Penatalaksaan medis terhadap CKD dapat dibagi menjadi dua

tahap, yaitu (Suharyanto & Majid, 2013) :

1. Tindakan konservatif

Tindakan penatalaksanaan medis pada penyakit gagal ginjal

kronis yang dapat dilakukan salah satunya adalah tindakan

konservatif, dimana tindakan ini memiliki tujuan untuk


24

meredakan atau memperlambat gangguan pada fungsi ginjal.

Tindakan konservatif ini dapat diimplementasikan dengan

beberapa cara, antara lain :

a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan

1) Pembatasan protein

Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar

(BUN), tetapi juga mengurangi peroduksi ion hidrogen

yang berasal dari protein. Pembatasan asupan protein

telah terbukti dapat memperlambat terjadinya penyakit

gagal ginjal.

2) Diet rendah kalium

Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada

gagal ginjal lanjut. Kurangi asupan pada kalium. Diet

yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari. Penggunaan

makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar kaliumnya

dapatmenyebabkan hiperkalemia.

3) Diet rendah natrium

Ginjal normal mampu membuang kelebihan

natrium dalam tubuh namun pasien dengan CKD

biasanya mengalami penurunan kemampuan tersebut

sehingga diet natrium sangat dianjurkan dalam hal ini.

Yaitu dengan mengonsumsi 40-90 mEq/hari (1-2 gram

natrium). Asupan natrium yang terlalu berlebih dapat


25

mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema

paru, hipertensi dan gagaljantung kongestif.

4) Pengaturan cairan

Asupan cairan penderita gagal ginjal tahap lanjut

harus diawasi dengan seksama. Parameter yang tepat

untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan

yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan

harian. Aturan yang dipakai untuk menentukan

banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin yang

dikeluarkan selama 24 jam terakhir dan dijumlahkan

dengan Insensible Water Loss (IWL).

b. Pencegahan dan pengobatan komplikasi

1) Hipertensi

Pasien penderita penyakit ginjal biasanya juga

disertai dengan hipertensi. Hal ini dapat dicegah dengan

menjaga keseimbangan garam. Selain mengandung

yodium garam juga mengandung natrium. Sehingga

dalam hal ini sangat dianjurkan untuk melakukan diet

rendah natrium dikarenakan fungsi ginjal sudah tidak

normal seperti sebelumnya.

2) Hiperkalemia

Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling

serius, karena apabila K+ serum mencapai sekitar 7


26

mEq/L, dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti

jantung. Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian

glukosa dan insulin melalui rute intravena, yang akan

memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian

kalium glukonat 10%.

3) Anemia

Anemia pada gagal ginjal kronis diakibatkan oleh

penurunan pada sekresi eritropoeitin oleh ginjal.

Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoeitin,

yaitu eritropoeitin rekombinan (r-EPO), selain dengan

pemberian vitamin dan asam folat, zat besi dan transfusi

darah.

2. Terapi pengganti ginjal

Pada penyakit gagal ginjal tahap stadium akhir berarti

ginjal sudah tidak berfungsi lagi, sehingga diperlukan cara untuk

membuang zat-zat racun dari tubuh dengan terapi pengganti

ginjal, seperti :

a. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

CAPD merupakan proses difusi dan ultrafiltrasi dari

kompartemen darah yang banyak mengandung toksin uremik

ke dalam cairan dialisat peritoneal yang bersifat hiperosmolar

melalui membran peritoneum. CAPD jarang digunakan dan

tidak berkembang di Indonesia disebabkan oleh masalah


27

ekonomi dan kurangnya tenaga kesehatan yang terampil

untukCAPD (Aida, 2020).

b. Hemodialisis

Hemodialisis merupakan salah satu terapi ginjal yang

menggunakan alat khusus dengan tujuan mengeluarkan

racun atau toksin uremik dan mengatur cairan akibat

penurunan laju filtrasi glomerulus dengan mengambil alih

fungsi ginjal yangmenurun (Djarwoto, 2018 dalam Isnayati

& Suhatridjas, 2020).

Hemodialisis dilakukan dengan cara mengalirkan darah

ke dalam tabung ginjal buatan yang bertujuan untuk

mengeliminasi sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit

antara kompartemen dialisat melalui membran semi

permeable (Manus et al., 2015 dalam Isnayati & Suhatridjas,

2020).

Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa

biasanya dibuatkan akses pembuluh darah untuk prosedur

hemodialisa, yaitu Arteriovenous Shunt (AV Shunt) atau

cimino merupakan akses yang diperlukan dalam jangka

waktu yang panjang dan berulang. Cimino merupakan

tindakan menyambungkan pembuluh darah arteri dan vena

pada lengan dengan tujuan menjadikan sambungan tersebut

sebagai akses hemodialisa dengan melalui tindakan operasi


28

(Sebayang & Hidayat, 2020).

Lokasi pembuatan cimino ini yaitu pada lengan bagian

distal tangan tidak dominan. Jika tidak memungkinkan,

AV Shunt dapat dibuat pada lengan proksimal tangan tidak

dominan, menggunakan arteri radialis dan vena cephalica

dengan nama lain AV shunt radiocephalica (Sebayang &

Hidayat, 2020).

Sebelum dilakukan tindakan cimino, ahli bedah akan

melakukan pemetaan pembuluh darah yang dilakukan dengan

menggunakan USG Doppler vaskuler. Namun, apabila

setelah dilakukan USG tersebut tidak ditemukan vena

cephalica yang cocok di daerah pergelangan tangan maka

dapat dilakukan pada arteri brachialis dengan vena cephalica

dengan nama lain AV shunt brachiocphalica. Umumnya

cimino membutuhkan waktu sekitar 4-16 minggu hingga

dapat digunakan hemodialisis (Sebayang & Hidayat, 2020).

Selain itu, terdapat juga akses pembuluh darah yang

bersifat sementara yaitu berupa catheter double lumen

(CDL). Umumnya pemasangan CDL ini dilakukan dibagian

leher atau paha. Sebelum cimino digunakan, tindakan inilah

yang akan dilakukan untuk proses hemodialisis.

Terdapat beberapa kondisi yang menjadi indikasi

dilakukannya hemodialisis yaitu laju filtrasi glomerulus yang


29

kurang dari 15 ml/menit, hiperkalemia, kegagalan terapi

konservatif, kadar ureum lebih dari 200 mg/dl, edema dan

anuria berkepanjangan yang lebih dari lima kali.

Pada saat pasien datang ke ruang hemodialisis, pasien

akan diminta untuk membantu mengisi format pengkajian

awal pada pasien dialisis. Asesmen awal tersebut berisi data

awal yang akan diisi oleh perawat yaitu berupa data

psikososial dan spiritual, riwayat kesehatan, tanda-tanda vital.

Selain itu juga ada pengkajian kondisi psikologi, sosial

ekonomi dan spiritual, kebutuhan komunikasi dan edukasi,

skrining nutrisi dan cairan, status fungsional, pengkajian

risiko jatuh untuk pasien rawat jalan, evaluasi akses dialisis,

masalah keperawatan dan rencana keperawatan. Kemudian

ada beberapa data pada formulir asesmen awal tersebut yang

harus diisi oleh dokter, diantaranya yaitu pemeriksaan fisik,

evaluasi laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain,

diagnose medis dan care of plan.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan

yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien

agar dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang dialami oleh klien,

baik berupa mental, sosial dan lingkungan (Supratti, 2016).


30

Beberapa hal yang harus dikaji pada pasien CKD menurut

Prabowo (2014) diantaranya yaitu :

1. Identitas

Hal yang harus dikaji pada pasien dengan penyakit gagal

ginjal kronis yang pertama adalah identitas. Identitas dalam hal

ini yaitu meliputi nama lengkap, tempat tinggal atau alamat, usia,

tempat lahir, asal suku bangsa, pekerjaan dan pendidikan serta

penanggung jawab biaya. Pengkajian identitas sekurang-

kurangnya yaitu meliputi nama lengkap, tanggal lahir dan nomor

rekam medic.

2. Keluhan Utama

Keluhan berupa urine output menurun (oliguria) sampai

pada anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi pada sistem

sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan muntah, fatigue, napas

berbau amoniak dan pruritus. Kondisi ini dipicu karena

penumpukan zat sisa metabolisme/toksik dalam tubuh karena

ginjal mengalami kegagalan filtrasi.

3. Riwayat Keperawatan

a. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pengkajian riwayat kesehatan sekarang yang dapat

dikaji yaitu meliputi keluhan utama dan anamnesis lanjutan

seperti sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama serta

faktor apa yang dapat memperberat dan memperberat


31

keluhan. Keluhan utama merupakan keluhan yang

menyebabkan seseorang atau pasien tersebut datang ke

tempat pelayanan kesehatan untuk mencari pertolongan.

Pada klien dengan CKD biasanya terjadi penurunan

urine output, penurunan kesadaran, penurunan pola napas

karena komplikasi dari gangguan sistem ventilasi, fatigue,

perubahan fisiologis kulit, napas berbau amoniak. Kemudian

juga berdampak pada sistem metabolisme, sehingga akan

terjadi anoreksia, nausea, vomit dan berisiko untuk terjadi

gangguan nutrisi.

b. Riwayat Kesehatan Dahulu

Informasi mengenai kesehatan terdahulu akan

menegaskan untuk penegakan masalah. Kaji penyakit pada

glomerulus seperti glomerulonefritis, infeksi kuman seperti

pielonefritis, ureteritis, nefrolitiasis, kista di ginjal seperti

polikistik ginjal, trauma langsung pada ginjal, keganasan

pada ginjal, batu ginjal, tumor, penyempitan, diabetes

melitus, hipertensi, kolestrol tinggi, infeksi di badan seperti

TBC paru, sifilis, malaria dan hepatitis.

c. Riwayat Kesehatan Keluarga

CKD bukan penyakit menular atau menurun, sehingga

silsilah keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini.

Namun pencetus sekunder seperti diabetes melitus dan


32

hipertensi memiliki pengaruh terhadap penyakit CKD,

karenapenyakit tersebut bersifat herediter.

4. Fokus Pengkajian

a. Pola Nutrisi

Pada pasien dengan CKD, biasanya terjadi peningkatan

pada berat badan karena adanya edema, namun dapat juga

terjadi penurunan berat badan dikarenakan kebutuhan nutrisi

yang kurang ditandai dengan adanya anoreksia serta mual

atau muntah.

b. Pola Eliminasi

Terjadi oliguria atau penurunan produksi urine kurang

dari 30 cc/jam atau 500 cc/24 jam. Bahkan dapat juga terjadi

anuria yaitu tidak bisa mengeluarkan urine. Selain itu juga

terjadi perubahan warna pada urine seperti kuning pekat,

merah dan cokelat.

c. Pola Istirahat dan Tidur

Pada pasien yang menderita penyakit gagal ginjal

kronis, biasanya pola istirahat dan tidur akan terganggu. Hal

ini terjadikarena terdapat gejala nyeri panggul, kepala terasa

sakit , kram otot dan perasaan gelisah yang akan memburuk

pada malam hari.

d. Pola Aktivitas

Pada pola aktivitas, pasien dengan penyakit gagal ginjal


33

kronis atau chronic kidney disease biasanya akan merasakan

kelemahan otot. Selain itu, pasien juga akan mengalami

kelelahan yang ekstrem saat melakukan aktivitas sehingga

terdapat perbedaan yang dirasakan jika dibandingkan dengan

kondisi sebelumnya

e. Personal Hygiene

Pada pasien gagal ginjal kronis, cara pemeliharaan

kesehatan dengan perawatan diri juga dapat berpengaruh

terhadap system dermatologi. Hal ini karena penggunaan

sabun yang mengandung gliserin akan mengakibatkan kulit

bertambah kering.

5. Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital

a. Tekanan Darah

Tekanan darah pasien yang menderita gagal ginjal

kronis cenderung mengalami peningkatan. Rentang

pengukuran tekanan darah normal pada dewasa yaitu 100-

140/60-90 mmHg dengan rata-rata 120/80 mmHg dan pada

lansia 100- 160/60-90 mmHg dengan rata-rata 130/180

mmHg.

b. Nadi

Pada penderita gagal ginjal kronis biasanya ditemukan

kondisi denyut jantung yang tidak teratur. Dapat terlalu

cepat atau juga terlalu lambat. Jumlah frekuensi normal nadi


34

bervariasi pada setiap orang, tapi kisaran normal pada orang

dewasa yaitu 60-100 x/menit.

c. Suhu

Suhu tubuh akan mengalami peningkatan karena

adanya sepsis atau dehidrasi sehingga dapat terjadi demam.

Suhu tubuh pada orang dewasa normalnya berbeda-beda pada

setiap lokasi. Pada aksila 36,4oC, rektal 37,6oC sedangkan

oral 37,0oC.

d. Respirasi

Pada sistem pernapasan pasien gagal ginjal kronis

cenderung mengalami gangguan. Hal tersebut karena laju

pernapasan terlalu cepat dari seharusnya serta sesak napas.

Rentang normal frekuensi pernapasan pada orang dewasa

yaitu12-20 x/menit dengan rata-rata 18 x/menit.

e. Keadaan Umum

Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, keadaan umum

cenderung tampak lemah dan nampak sakit berat sedangkan

untuk tingkat kesadaran menurun karena sistem saraf pusat

yang terpengaruhi sesuai dengan tingkat uremia yang

mempengaruhi.

6. Pemeriksaan Fisik

a. Kepala

Pada pasien gagal ginjal kronis, yang dapat terjadi


35

biasanya rambut mengalami kerontokan sehingga tampak

tipis dan kering dan berubah warna. Selain itu wajah juga

akan tampak pucat, kulit tampak kering dan kusam, rambut

dan kulitakan terasa kasar.

b. Telinga

Pada pemeriksaan fisik dibagian telinga pasien dengan

gagal ginjal, yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan

kesimetrisan dan pemeriksaan posisi pada kedua telinga,

pemeriksaan produksi serumen atau kotoran telinga dan

kebersihan telinga serta kemampuan mendengar.

c. Mata

Pada pemeriksaan mata pasien dengan gagal ginjal

kronis biasanya akan tampak endapan mineral kalsium fosfat

akibat uremia yang berlarut-larut di daerah pinggir mata.

Selain itu, disekitar mata akan tampak edema, penglihatan

kabur dan konjungtiva akan terlihat pucat pada pasien yang

mengalami anemia berat.

d. Hidung

Pada pemeriksaan fisik dibagian hidung, yang diperiksa

adalah ada atau tidaknya produksi secret dan adanya

pernapasan cuping hidung. Selain itu, diperhatikan juga

kesimetrisan pada kedua lubang hidung dan pada kulit

apakah terlihat kering dan kusam.


36

e. Mulut

Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, dilakukan juga

pemeriksaan fisik pada mulut. Dalam hal ini yang dinilai

adalah pada saat bernapas biasanya akan tercium bau

amoniak karena faktor uremik dan ulserasi pada gusi serta

bibir yang tampak kering.

f. Leher

Pemeriksaan fisik dibagian leher pada pasien gagal

ginjal yaitu dilakukan pemeriksaan untuk dinilai apakah ada

massa atau tidak, pembengkakan atau kekakuan leher, kulit

kering, pucat dan kusam, ada atau tidaknya pembesaran

kelenjar limfe serta posisi trakea ada pergeseran atau tidak.

g. Toraks

Pergerakan dada akan cepat karena pola napas juga

cepat dan dalam atau kussmaul, batuk dengan ada atau

tidaknya sputum kental dan banyak. Periksa pergerakan

dinding dada teraba sama atau tidak, terdapat nyeri dan

edema atau tidak. Pada seluruh lapang paru normalnya

resonan dan pada CKD pekak apabila paru terisi cairan

karena edema. Dengarkan apakah ada suara napas

tambahan seperti ronkhi, wheezing,pleural friction rub dan

stridor.
37

h. Abdomen

Kulit abdomen akan tampak mengkilap karena asites

dan kulit kering, tampak pucat, bersisik, berwarna cokelat

kekuningan dan akan muncul pruritus. Dengarkan bising usus

di keempat kuadran abdomen. Pasien dengan CKD akan

mengeluh nyeri pada saat dilakukan pemeriksaan di sudut

costo-vertebrae. Kemudian periksa pada daerah yang terasa

nyeri apakah teraba massa atau tidak pada ginjal.

i. Kulit dan Kuku

Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, biasanya kuku

akan menjadi rapuh dan tipis, kulit menjadi pucat, kering dan

mengelupas, bersisik, muncul pruritus, berwarna cokelat

kekuningan, hiperpigmentasi, memar, uremic frost, ekimosis,

CRT >3 detik, kulit teraba kasar dan tidak rata.

j. Genitalia

Pemeriksaan fisik genitalia pada pasien gagal ginjal

kronis juga dilakukan dengan bertujuan untuk melihat

hygiene genitalia atau kebersihan pada organ genital. Selain

itu, pemeriksaan fisik genitalia ini juga dilakukan untuk

melihat apakah terdapat lesi atau tidak.

k. Ekstermitas

Pada pasien gagal ginjal kronis biasanya terdapat

edema pada kaki karena adanya gravitasi. Biasanya


38

ditemukan di betis dan paha pada klien yang bedrest,

kelemahan, kelelahan, kulit kering, hiperpigmentasi, bersisik,

dan turgor kulit >3 detik karena edema.

2.2.1 Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan merupakan bagian vital dalam

menentukan asuhan keperawatan yang sesuai untuk membantu klien

dalam mencapai kesehatan yang optimal (PPNI, 2020). Kemungkinan

diagnosis keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis

adalah sebagai berikut (PPNI, 2018) :

1. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi d.d edema

anasarka dan/atau edema perifer (D. 0022)

2. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi

hemoglobin d.d pengisian kapiler >3 detik (D.0009)

3. Defisit nutrisi b.d faktor psikologis d.d nafsu makan pasien

menurun dan berat badan pasien menurun minimal 10% di bawah

rentang ideal (D. 0019)

4. Defisit Pengetahuan b.d kurang terpapar informasi d.d

menanyakan masalah yang dihadapi (D. 0111)

5. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan pasien d.d mengeluh lelah

(D.0056)

6. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d pasien

mengeluh sesak napas (dispnea) (D.0005)

7. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload d.d pasien


39

tampak edema (D.0008)

8. Gangguan eliminasi urin b.d efek tindakan medis d.d pasien

mengeluh sering buang air kecil atau nokturia (D.0040)

9. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

d.d pasien mengeluh sesak napas (dispnea), PCO2 meningkat

(D.0003)

10. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelebihan volume cairan

d.d tampak kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit pasien

(D.0129)

11. Gangguan citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh d.d pasien

mengungkapkan perubahan gaya hidup (D.0083)

12. Ansietas b.d ancaman terhadap kematian d.d pasien merasa

khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi dan tampak

gelisah (D.0080)

13. Distress spiritual b.d kondisi penyakit kronis d.d pasien merasa

tidak berdaya (D.0082)

14. Risiko infeksi d.d efek prosedur invasif (D.0142)

2.2.2 Intervensi Keperawatan

Tahap perencanaan keperawatan atau tahap intervensi

keperawatan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi

keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau

mengurangi masalah-masalah klien (Supratti, 2016).


40

Tabel 2.2 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
1. Hipervolemia b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipervolemia
gangguan keperawatan selama 3x8 jam, (I.03114)
mekanismeregulasi maka Keseimbangan Cairan Observasi
d.d edemaanasarka meningkat dengan kriteria 1.1 Periksa tanda dan gejala
dan/atauedema hasil : hypervolemia (mis.
perifer (D.0022) 1. Edema menurun (5) Ortopnea, dispnea,
2. Haluaran urine edema,JVP/CVP
meningkat (5) meningkat, refleks
3. Berat badan membaik(5) hepatojugularpositif, suara
napas tambahan)
1.2 Identifikasi
penyebab hipervolemia
1.3 Monitor
status hemodinamik
(mis. Frekuensi
jantung,tekanan darah,
MAP, CVP, PAP, POMP,
CO, CI), jika tersedia
1.4 Monitor intake dan output
cairan
1.5 Monitor tanda
hemokonsentrasi
(mis. Kadar natrium,
BUN, hematokrit,
berat jenis urine)
1.6 Monitor tanda
peningkatan tekanan
onkotik plasma (mis.
Kadar protein dan
albumin meningkat)
1.7 Monitor kecepatan infus
secara ketat
1.8 Monitor efek
samping diuretik
(mis.
Hipotensiortostatik,
hipovolemia,
hypokalemia,
hiponatremia)
Terapeutik
1.9 Timbang berat badan
setiap hari pada waktu
yang sama
1.10 Batasi asupan cairan dan
garam
1.11 Tinggikan kepala tempat
tidur 30-40o
Edukasi
1.12 Anjurkan melapor jika
haluaran urine <0,5
ml/kg/jam dalam 6
jam
1.13 Anjurkan melapor jika
41

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
BB bertambah >1 kg
dalam sehari
1.14 Ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan dan
haluaran cairan
1.15 Ajarkan cara membatasi
cairan
Kolaborasi
1.16 Kolaborasi pemberian
diuretik
1.17 Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium
akibat diuretik
1.18 Kolaborasi pemberian
continuous renal
replacement therapy
(CRRT), jika perlu
2. Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan tindakan Perawatan sirkulasi (I. 02079)
efektif b.d keperawatan selama 3x8 jam, Observasi
penurunan maka Perfusi Perifer 2.1 Periksa sirkulasi perifer
konsentrasi meningkat dengan kriteria 2.2 Identifikasi faktor resiko
hemoglobin d.d hasil : 2.3 Monitor
pengisian kapiler 1. Pengisian kapiler panas,kemerahan, nyeri,
>3 detik (D.0009) membaik (5) ataubengkak pada
2. Warna kulit pucat ekstremitas
menurun (5) Terapeutik
3. Akral membaik (5) 2.4 Hindari pemasangan
infusatau pengambilan
darahdi area
keterbatasanperfusi
2.5 Lakukan
pengukurantekanan darah
padaekstremitas
denganketerbatasan
perfusi
2.6 Hindari pemasangan
danpenekanan
torniquet padaarea
yang cedera
2.7 Lakukan
pencegahaninfeksi
2.8 Lakukan perawatan
kakidan kuku
2.9 Lakukan hidrasi
Edukasi
2.10 Anjurkan
berhentimerokok
2.11 Anjurkan berolahragarutin
2.12 Anjurkan mengecek
airmandi untuk
menghindarikulit terbakar
2.13 Anjurkan
penggunaanobat penurun
tekanandarah,
antikoagulan, dan
42

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
penurun kolesterol,
jikaperlu
2.14 Anjurkan meminum
obatpengontrol tekanan
darahsecara teratur
2.15 Anjurkan
menghindariobat
penyekat beta
2.16 Anjurkan
melakukanperawatan kulit
yangtepat
2.17 Anjurkan program
rehabilitasi vaskular
2.18 Ajarkan program
dietuntuk
memperbaikisirkulasi
2.19 Informasikan tanda
dangejala darurat yang
harusdilaporkan
3. Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi (I. 03119)
faktor psikologis keperawatan selama 3x8 jam, Observasi
d.d nafsu makan maka Status Nutrisi membaik 3.1 Identifikasi status nutrisi
pasien menurun dan dengan kriteria hasil : 3.2 Identifikasi alergi dan
berat badan pasien 1. Nafsu makan intoleransi makanan
menurun minimal membaik (5) 3.3 Identifikasi makanan
10% di bawah 2. Berat badan membaik (5) yang disukai
rentang ideal 3. Porsi makanan yang 3.4 Identifikasi kebutuhan
(D. 0019) dihabiskan meningkat (5) kalori dan jenis
4. Indeks Massa Tubuh 41ntiemet
(IMT) membaik (5) 3.5 Identifikasi perlunya
penggunaan selang
antiemetik
3.6 Monitor asupan makanan
3.7 Monitor berat badan
3.8 Monitor hasil
pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
3.9 Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika
perlu
3.10 Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
3.11 Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
3.12 Berikan makan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
3.13 Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
3.14 Berikan suplemen
makanan, jika
perlu
3.15 Hentikan pemberian
43

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
makan melalui selang
nasogastrik jika asupan
oral dapat ditoleransi
Edukasi
3.16 Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
3.17 Ajarkan diet
yang
diprogramkan
Kolaborasi
3.18 Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika
perlu
3.19 Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan,
jika perlu
4. Defisit Pengetahuan Setelah dilakukan tindakan Edukasi Prosedur Tindakan
b.d kurang terpapar keperawatan selama 3x8 jam, (I. 12442)
informasi d.d makaTingkat Pengetahuan Observasi
menanyakan meningkat dengan kriteria 4.1 Identifikasi kesiapan dan
masalah yang hasil : kemampuan menerima
dihadapi (D. 0111) 1. Pertanyaan tentang informasi
masalah yang dihadapi Terapeutik
menurun (5) 4.2 Sediakan materi dan
2. Perilaku sesuai media pendidikan
anjuran meningkat (5) kesehatan
3. Perilaku sesuai dengan 4.3 Jadwalkan pendidikan
pengetahuan kesehatan sesuai
meningkat (5) kesepakatan
Edukasi
4.4 Jelaskan tujuan dan
manfaat tindakan
yang akan dilakukan
4.5 Jelaskan perlunya
tindakan dilakukan
4.6 Jelaskan keuntungan dan
kerugian jika tindakan
dilakukan
4.7 Jelaskan langkah-langkah
tindakan yang akan
dilakukan
4.8 Jelaskan persiapan pasien
sebelum tindakan
dilakukan
4.9 Informasikan durasi
tindakan dilakukan
4.10 Anjurkan bertanya jika
ada sesuatu yang tidak
dimengerti sebelum
tindakan dilakukan
4.11 Anjurkan kooperatif saat
44

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
tindakan dilakukan
4.12 Ajarkan teknik untuk
mengantisipasi/menguran
gi ketidaknyamanan
akibat tindakan, jika perlu
5. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Manajemen Energi (I.05178)
b.d kelemahan d.d keperawatan selama 3x8 jam, Observasi
pasien mengeluh maka Toleransi Aktivitas 5.1 Identifkasi gangguan
lelah (D.0056) meningkat dengan kriteria fungsi tubuh yang
hasil : mengakibatkan
1. Keluhan lelah kelelahan
menurun (5) 5.2 Monitor kelelahan
2. Kemudahan dalam fisik dan emosional
melakukan aktivitas 5.3 Monitor pola dan jam
sehari-hari meningkat (5) tidur
3. Jarak berjalan 5.4 Monitor lokasi dan
meningkat (5) ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas
Terapeutik
5.5 Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus (mis.
cahaya, suara,
kunjungan)
5.6 Lakukan rentang
gerak pasif dan/atau
aktif
5.7 Berikan aktivitas distraksi
yang menyenangkan
5.8 Fasilitas duduk di sisi
tempat tidur, jika
tidak dapat berpindah
atau berjalan
Edukasi
5.9 Anjurkan tirah baring
5.10 Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
5.11 Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
5.12 Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi kelelahan
Kolaborasi
5.13 Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan
6. Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi
efektif b.d keperawatan selama 3x8 jam, (I.01014)
hambatan upaya maka Pola Napas membaik Observasi
napas d.d pasien dengan kriteria hasil : 6.1 Monitor frekuensi,
mengeluh sesak 1. Dispnea menurun (5) irama, kedalaman, dan
napas (dispnea) 2. Penggunaan otot bantu upaya napas
(D.0005) napas menurun (5) 6.2 Monitor pola napas
45

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
3. Frekuensi napas (seperti bradipnea,
membaik (5) 6.3 takipnea, hiperventilasi,
4. Kedalaman napas kussmaul, cheyne-stokes,
membaik (5) biot, ataksik)
6.4 Monitor kemampuan
batuk efektif
6.5 Monitor adanya produksi
sputum
6.6 Monitor adanya sumbatan
jalan napas
6.7 Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
6.8 Auskultasi bunyi napas
6.9 Monitor saturasi oksigen
6.10 Monitor nilai AGD
6.11 Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
6.12 Atur interval waktu
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
6.13 Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
6.14 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
6.15 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
7. Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Perawatan Jantung (I.02075)
jantung b.d keperawatan selama 3x8 jam, Observasi
perubahan preload maka Curah Jantung 7.1 Identifikasi tanda/gejala
d.d pasien tampak meningkat dengan kriteria primer penurunan curah
edema (D.0008) hasil : jantung (meliputi
1. Edema menurun (5) dispnea, kelelahan,
2. Dispnea menurun (5) edema ortopnea,
3. Lelah menurun (5) paroxysmal nocturnal
dyspenea, peningkatan
CPV)
7.2 Identifikasi tanda/gejala
sekunder penurunan curah
jantung (meliputi
peningkatan berat badan,
hepatomegali ditensi vena
jugularis, palpitasi, ronkhi
basah, oliguria, batuk,
kulit pucat)
7.3 Monitor tekanan darah
(termasuk tekanan
darah ortostatik, jika
perlu)
7.4 Monitor intake dan output
cairan
7.5 Monitor berat badan
setiap hari pada waktu
yang sama
7.6 Monitor saturasi
46

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
oksigen
7.7 Monitor keluhan nyeri
dada (mis. intensitas,
lokasi, radiasi, durasi,
presivitasi yang
mengurangi nyeri)
7.8 Monitor EKG 12 sadapan
7.9 Monitor aritmia (kelainan
irama dan frekuensi)
7.10 Monitor nilailaboratorium
jantung (mis. elektrolit,
enzim jantung, BNP,
NTproBNP)
7.11 Monitor fungsi alat pacu
Jantung
7.12 Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum
dan sesudah aktifitas
7.13 Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum
pemberian obat (mis.
betablocker, ACE
inhibitor, calcium channel
blocker, digoksin)
Terapeutik
7.14 Posisikan pasien
semifowler atau fowler
dengan kaki kebawah
atau posisi nyaman
7.15 Berikan diet jantung yang
sesuai (mis. batasi asupan
kafein, natrium,
kolestrol, dan makanan
tinggi lemak)
7.16 Gunakan stocking
elastisatau pneumatik
intermiten, sesuai indikasi
7.17 Fasilitasi pasien dan
keluarga untuk modifikasi
hidup sehat
7.18 Berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi stres,
jika perlu
7.19 Berikan dukungan
emosional dan spiritual
7.20 Berikan oksigen untuk
memepertahankan
saturasi oksigen >94%
Edukasi
7.21 Anjurkan beraktivitas
fisik sesuai toleransi
7.22 Anjurkan beraktivitas
fisik secara bertahap
47

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
7.23 Anjurkan berhenti
merokok
7.24 Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur
berat badan harian
7.25 Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur intake
dan output cairan harian
Kolaborasi
7.26 Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
7.27 Rujuk ke program
rehabilitasi
jantung
8. Gangguan eliminasi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Eliminasi Urin
urin b.d efek keperawatan selama 3x8 jam, (I.04152)
tindakan medis d.d maka Eliminasi Urin Observasi
pasien mengeluh membaik dengan kriteria hasil 8.1 Identifkasi tanda dan
sering buang air : gejala retensi atau
kecil atau nokturia 1. Frekuensi BAK inkontinensia urine
(D.0040) membaik (5) 8.2 Identifikasi faktor yang
2. Disuria menurun (5) menyebabkan retensi atau
3. Anuria menurun (5) inkontinensia urine
4. Nokturia menurun (5) 8.3 Monitor eliminasi urine
(mis. frekuensi,
konsistensi, aroma,
volume, dan warna)
Terapeutik
8.4 Catat waktu-waktu dan
haluaran berkemih
8.5 Batasi asupan cairan, jika
perlu
8.6 Ambil sampel urine
tengah (midstream) atau
kultur
Edukasi
8.7 Ajarkan tanda dan gejala
infeksi saluran kemih
8.8 Ajarkan mengukur asupan
cairan dan haluaran urine
8.9 Anjurkan mengambil
specimen urine midstream
8.10 Ajarkan mengenali tanda
berkemih dan waktu yang
tepat untuk berkemih
8.11 Ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot
pinggul/berkemihan
8.12 Anjurkan minum yang
cukup, jika tidak ada
kontraindikasi
8.13 Anjurkan mengurangi
minum menjelang tidur
Kolaborasi
48

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
8.14 Kolaborasi pemberian
obat suposituria uretra,
jika perlu
9. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi
pertukaran gas b.d keperawatan selama 3x8 jam, (I.01014)
ketidakseimbangan maka Pertukaran Gas Observasi
ventilasi-perfusi d.d meningkat dengan kriteria 9.1 Monitor frekuensi,
pasien mengeluh hasil : irama, kedalaman, dan
sesak napas 1. Dispnea menurun (5) upaya napas
(dispnea), PCO2 2. PCO2 membaik (5) 9.2 Monitor pola napas
meningkat (D.0003) 3. Pola napas membaik (5) (seperti bradipnea,
takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, cheyne-stokes,
biot, ataksika)
9.3 Monitor kemampuan
batuk efektif
9.4 Monitor adanya produksi
sputum
9.5 Monitor adanya sumbatan
jalan napas
9.6 Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
9.7 Auskultasi bunyi napas
9.8 Monitor saturasi oksigen
9.9 Monitor nilai AGD
9.10 Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
9.11 Atur interval waktu
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
9.12 Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
9.13 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
9.14 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
10. Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan Perawatan Integritas Kulit
kulit/jaringan b.d keperawatan selama 3x8 jam, (I.11353)
kelebihan volume maka Integritas Kulit dan Observasi
cairan d.d tampak Jaringan meningkat dengan 10.1 Identifikasi penyebab
kerusakan jaringan kriteria hasil : gangguan integritas kulit
dan/atau lapisan 1. Kerusakan jaringan (mis. perubahan
kulit pasien menurun (5) sirkulasi, perubahan
(D.0129) 2. Kerusakan lapisan status nutrisi, penurunan
kulit menurun (5) kelembaban, suhu
3. Tekstur membaik (5) lingkungan ekstrem,
penurunan mobilitas)
Terapeutik
10.2 Ubah posisi setiap 2 jam
jika tirah baring
10.3 Lakukan pemijatan pada
area penonjolan tulang,
jika perlu
49

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
10.4 Bersihkan perineal
dengan air hangat,
terutama selama
periode diare
10.5 Gunakan produk
berbahan petrolium atau
minyak pada kulit
kering
10.6 Gunakan produk
berbahan ringan/alami
dan hipoalergik pada
kulit sensitive
10.7 Hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering
Edukasi
10.8 Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. lotion,
serum)
10.9 Anjurkan minum air
yang cukup
10.10 Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
10.11 Anjurkan meningkat
asupan buah dan sayur
10.12 Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
10.13 Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF minimal
30 saat berada diluar
rumah
10.14 Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
11. Gangguan citra Setelah dilakukan tindakan Promosi Citra Tubuh
tubuh b.d perubahan keperawatan selama 3x8 jam, (I.09305)
fungsi tubuh d.d maka Citra Tubuh meningkat Observasi
pasien dengan kriteria hasil : 11.1 Identifikasi harapan citra
mengungkapkan 1. Verbalisasi perubahan tubuh berdasarkan tahap
perubahan gaya gaya hidup menurun perkembangan
hidup (D.0083) (5) 11.2 Identifikasi budaya,
2. Fokus pada kekuatan agama, jenis kelamin, dan
masa lalu menurun umur terkait citra tubuh
(5) 11.3 Identifikasi perubahan
3. Hubungan sosial citra tubuh yang
membaik (5) mengakibatkan isolasi
sosial
11.4 Monitor frekuensi
pernyataan kritik
tehadap diri sendiri
11.5 Monitor apakah pasien
bisa melihat bagian tubuh
yang berubah
50

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
Terapeutik
11.6 Diskusikan perubahan
tubuh dan fungsinya
11.7 Diskusikan perbedaan
penampilan fisik terhadap
harga diri
11.8 Diskusikan akibat
perubahan pubertas,
kehamilan dan penuaan
11.9 Diskusikan kondisi stres
yang mempengaruhi
citra tubuh (mis. luka,
penyakit, pembedahan)
11.10 Diskusikan cara
mengembangkan harapan
citra tubuh secara realistis
11.11 Diskusikan persepsi
pasien dan keluarga
tentang perubahan citra
tubuh
Edukasi
11.12 Jelaskan kepada
keluarga tentang
perawatan perubahan
citra tubuh
11.13 Anjurkan
mengungkapkan
gambaran diri terhadap
citra tubuh
11.14 Anjurkan menggunakan
alat bantu (mis. pakaian,
wig, kosmetik)
11.15 Anjurkan mengikuti
kelompok pendukung
(mis. kelompok
sebaya)
11.16 Latih fungsi tubuh
yang dimiliki
11.17 Latih peningkatan
penampilan diri
(mis. berdandan)
11.18 Latih pengungkapan
kemampuan diri
kepadaorang lain
maupun
kelompok
12. Ansietas b.d Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas (I.09314)
ancaman terhadap keperawatan selama 3x8 jam, Observasi
kematian d.d makatingkat ansietas menurun 12.1 Identifikasi saat tingkat
pasien merasa dengan kriteria hasil : anxietas berubah (mis.
khawatir dengan 1. Verbalisasi khawatir Kondisi, waktu, stresor)
akibat dari kondisi akibat kondisi yang 12.2 Identifikasi kemampuan
yang dihadapi dan dihadapi menurun (5) mengambil keputusan
tampak gelisah 2. Perilaku gelisah menurun 12.3 Monitor tanda ansietas
(D.0080) (5) (verbal dan nonverbal)
51

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
4. Perilaku tegang Terapeutik
menurun (5) 12.4 Ciptakan suasana
5. Pola tidur membaik (5) terapeutik untuk
menumbuhkan
kepercayaan
12.5 Temani pasien untuk
mengurangi kecemasan,
jika memungkinkan
12.6 Pahami situasi yang
membuat ansietas
12.7 Dengarkan dengan penuh
perhatian
12.8 Gunakan pedekatan
yang tenang dan
meyakinkan
12.9 Motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
12.10 Diskusikan
perencanaan realistis
tentang peristiwa
yang akan datang
Edukasi
12.11 Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi
yang mungkin
dialami
12.12 Informasikan secara
faktual mengenai
diagnosis, pengobatan,
dan prognosis
12.13 Anjurkan keluarga
untuk tetap bersama
pasien, jika perlu
12.14 Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai
kebutuhan
12.15 Anjurkan
mengungkapkan perasaan
dan persepsi
12.16 Latih kegiatan
pengalihan, untuk
mengurangi ketegangan
12.17 Latih penggunaan
mekanisme pertahanan
diri yang tepat
12.18 Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
12.19 Kolaborasi pemberian
obat anti ansietas, jika
perlu
13. Distress spiritual Setelah dilakukan tindakan Dukungan Spiritual (I.09276)
b.d kondisi penyakit keperawatan selama 3x8 jam, Observasi
kronis d.d pasien makastatus spiritual membaik 13.1 Identifikasi perasaan
52

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
merasa tidak dengan kriteria hasil : khawatir, kesepian dan
berdaya (D.0082) 1. Verbalisasi perasaan ketidakberdayaan
keberdayaan 13.2 Identifikasi pandangan
meningkat (5) tentang hubungan antara
2. Verbalisasi perasaan spiritual dan kesehatan
tenang meningkat (5) 13.3 Identifikasi harapan dan
3. Verbalisasi penerimaan kekuatan pasien
meningkat (5) 13.4 Identifikasi ketaaatan
dalam beragama
Terapeutik
13.5 Berikan kesempatan
mengekspresikan
perasaan tentang
penyakit dan kematian
13.6 Berikan kesempatan
mengekspresikan dan
meredakan marah
secara tepat
13.7 Yakinkan bahwa
perawat bersedia
mendukung selama masa
ketidakberdayaan
13.8 Sediakan privasi dan
waktu tenang untuk
aktivitas spiritual
13.9 Diskusikan keyakinan
tentang makna dan tujuan
hidup, jika perlu
13.10 Fasilitasi melakukan
kegiatan ibadah
Edukasi
13.11 Anjurkan berinteraksi
dengan keluarga, teman
dan/atau orang lain
13.12 Anjurkan berpartisipasi
dalam kelompok
pendukung
13.13 Ajarkan metode
relaksasi, meditasi
danimajinasi terbimbing
Kolaborasi
13.14 Atur kunjungan dengan
rohaniawan (mis. Ustadz,
pendeta, romo, biksu)
14. Risiko infeksi d.d Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi (I.14137)
efek prosedur keperawatan selama 3x8 jam, Observasi
invasif (D.0142) makatingkat infeksi menurun 14.1 Identifikasi riwayat
dengan kriteria hasil : kesehatan dan
1. Kemerahan menurun (5) riwayat alergi
2. Nyeri menurun (5) 14.2 Identifikasi kontraindikasi
3. Bengkak menurun (5) pemberian imunisasi
14.3 Identifikasi status
imunisasi setiap
53

No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi (SIKI)


(SDKI) Kriteria Hasil
(SLKI)
kunjungan ke pelayanan
kesehatan
Terapeutik
14.4 Berikan suntikan pada
pada bayi dibagian
paha anterolateral
14.5 Dokumentasikan
informasi
vaksinasi
14.6 Jadwalkan imunisasi pada
interval waktu yang tepat
Edukasi
14.7 Jelaskan tujuan, manfaat,
resiko yang terjadi,
jadwal dan efek samping
14.8 Informasikan
imunisasiyang diwajibkan
pemerintah
14.9 Informasikan imunisasi
yang
melindungiterhadap
penyakit namun saat ini
tidak diwajibkan
pemerintah
14.10 Informasikan vaksinasi
untuk kejadian khusus
14.11 Informasikan
penundaan pemberian
imunisasi tidak berarti
mengulang jadwal
imunisasi kembali
14.12 Informasikan penyedia
layanan pekan imunisasi
nasional yang
menyediakan vaksin
gratis

disusun pada tahap perencanaan sebelumnya (Supratti, 2016).

Terdapat 4 tahap operasional yang harus diperhatikan oleh perawat

dalam melaksanakan implementasi keperawatan (Purwaningsih &

Karlina dalam Harahap, 2019) :


54

1. Tahap Prainteraksi

Membaca rekam medis klien, mengeksplorasi perasaan

klien, analisis kekuatan dan keterbatasan profesional pada diri

sendiri, memahami intervensi keperawatan secara baik,

menguasai keterampilan teknis keperawatan, memahami rasional

ilmiah dari tindakan yang akan dilakukan, mengetahui sumber

daya yang diperlukan, memahami kode etik dan aspek hukum

yang berlaku dalam pelayanan keperawatan, memahami standar

praktik klinik keperawatan untuk mengukur keberhasilan,

memahami efek samping dan komplikasi yang mungkin muncul

dan penampilan perawat harus meyakinkan.

2. Tahap Perkenalan

Mengucapkan salam, mengorientasikan/memperkenalkan

nama, menanyakan nama, alamat dan umur klien,

menginformasikan kepada klien tujuan dan tindakan yang akan

dilakukan oleh perawat, memberitahu kontrak waktu berapa lama

akan dilakukannya tindakan, memberi kesempatan kepada klien

untuk bertanya tentang tindakan dan bertanya kepada klien

apakah setuju atau tidak pada tindakan yang akan dilakukan.

3. Tahap Kerja

Menjaga privasi klien, melakukan tindakan yang sudah

direncakan, hal-hal yang perlu diperhatikan pada tahap

implementasi adalah energi klien, pencegahan kecelakaan dan


55

komplikasi, rasa aman, privasi, kondisi klien dan respon klien

terhadap tindakan yang telah diberikan.

4. Tahap Terminasi

Beri kesempatan kepada klien untuk mengekspresikan

perasaannya setelah dilakukan tindakan oleh perawat, berikan

feedback yang baik kepada klien dan puji atas kerjasama klien,

kontrak waktu selanjutnya, rapikan peralatan dan lingkungan

klien dan lakukan terminasi, berikan salam sebelum

meninggalkan klien dan lakukan pendokumentasian.

2.2.4 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan tahap untuk mengkaji respon klien terhadap

tindakan keperawatan yang telah dilakukan oleh perawat dengan

mengacu pada standar atau kriteria hasil yang telah ditetapkan pada

rumusan tujuan (Hartati, 2010 dalam Supratti, 2016). Evaluasi dibagi

menjadi dua yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap

selesai memberikan tindakan kepada klien dan evaluasi hasil atau

sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon klien pada

tujuan khusus dan tujuan umum yang telah ditentukan (Nurjanah S,

2013 dalam Supratti, 2016).

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan SOAP

(Subjektif, Objektif, Analisis, Perencanaan) sebagai pola pikirnya :

S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang

telah dilaksanakan.
56

O : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan.

A : Analisa ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan

apakah masalah teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah tidak

teratasi atau muncul masalah baru


DAFTAR PUSTAKA

Afikah, (2021). Tatalaksana Protein Energy Wasting Pada Penyakit Ginjal Kronik
Dengan Hemodialisis, Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Volume 12
Nomor 1, (48)
Candrasatria, (2015). Left Atrial Myxoma in Pregnancy: A Challenge in
Diagnosis and Management, Indonesian Journal of Cardiology Volume
35 Nomor 1, (34–39)
Delima, (2017). Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik : Studi Kasus Kontrol Di
Empat Rumah Sakit Di Jakarta Tahun 2014, Jurnal Kesehatan Volume
45 Nomor 1, (17–26)
Fadhilah, (2014). Chronic Kidney Disease Stage V.J Jurnal Kesehatan, Volume 1
Nomor 2, (109–113)
Handayan, (2013). Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Hidup
Pasien Chronic Kidney Disease, Jurnal Kesehatan Volume 9 Nomor 2,
(238–245)
Isnayati, (2020). Jurnal Keperawatan Kompres NaCl 0,9% Dalam Upaya
Menurunkan Nyeri Post Inersi Av Fistula Pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik, Jurnal Kesehatan Volume 2 Nomor 1, (1–12)
Kemenkes RI, (2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018, Kementrian
Kesehatan RI, Volume 53 Nomor 9, (1689–1699)
Kemenkes RI, (2017). Infodatin Situasi Penyakit Ginjal Kronis, Situasi Penyakit
Ginjal Kronik, (1–10)
Koerniawan, (2022). Aplikasi Standar Proses Keperawatan: Diagnosis, Outcome,
Dan Intervensi Pada Asuhan Keperawatan, Jurnal Keperawatan
Silampari, Volume 3 Nomor 2, (739–751)
Madania, (2022). Analisis Biaya Dan Nilai Utilitas Pada Pasien Hemodialisis
Yang Diberikan Terapi Erythropoiesis Di Rumah Sakit, Indonesian
Journal of Pharmaceutical Education, Volume 1 Nomor 3, (190–202)
Narsa, (2020). Jurnal Sains Dan Kesehatan, Jurnal Sains Dan Kesehatan, Volume
3 Nomor 1, (242–247)
Nurani, (2016). Pengaruh Tindakan Pemasangan Water Seal Drainase (WSD)
Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Pasien Efusi Pleura Di Rumah Sakit
Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga, Jurnal Kesehatan, (1–11)
Pakingki, (2019). Pola Peresepan Penyakit Gagal Ginjal Di Instansi Rawat Inap
Rs. Gunung Maria Tomohon, Jurnal Biofarmasetikal Volume 2 Nomor
2, (109–119)
Ramadhani, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kepatuhan
Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Riau, Jurnal Kesehatan
Ilmiah Volume 7 Nomor 2
Rivandi, (2015). Hubungan Diabetes Melitus Dengan Kejadian Gagal Ginjal
Kronik, Jurnal Majority, Volume 4 Nomor 9, (27–34)
Sasmita, (2015). Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Strategi Koping
Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis, Jurnal
Kesehatan Volume 2 Nomor 2
58

Supratti, (2016). Pendokumentasian Standar Asuhan Keperawatan Di Rumah


Sakit Umum Daerah Mamuju, Indonesia, Jurnal Kesehatan Manarang
Volume 2, (44–51)
Surya, (2018). Hubungan Protein Urine Dengan Laju Filtrasi Glomerulus Pada
Penderita Penyakit Ginjal Kronik Dewasa Di RSUP Dr. M.Djamil
Padang Tahun 2015-2017, Jurnal Kesehatan Andalas, Volume 7 Nomor
4, (469)
Suharyanto T, (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan Jakarta Timur: cv. trans info media, hal 283.
Simatupang, (2022). Studi Kasus Asuhan Keperawatan Pada Pasien Penyakit
Ginjal Kronis Dengan Masalah Keperawatan Gangguan Integritas
Kulit, Jurnal Keperawatan Cikini Volume 3 Nomor 2, (47–52)
Purnamasari, (2023). Berbudaya Sehat Gambaran Pengelolaan Hipervolemia Pada
Gagal Jantung Kongestif Di Rumah Sakit, Jurnal Keperawatan Volume
1 Nomor 1
Hasanah, (2020). Hubungan Kadar Ureum Dan Kreatinin Dengan Tingkat Fatigue
Pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) Yang Menjalani
Hemodialisa Di Ruang Hemodialisa RSUD Ulin Banjarmasin, Jurnal
Citra Keperawatan Volume 8 Nomor 2, (86–92)
Pramita, (2013). Efektivitas Edukasi Terapi Insulin Terhadap Pengetahuan Dan
Perbaikan Glikemik Pasien Diabetes Melitus, Indonesian Journal of
Clinical Pharmacy Volume 2 Nomor 4, (136–144)
Widhawati, (2021). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Asupan Cairan Terhadap
Kepatuhan Pembatasan Cairan Pasien Hemodialisis, Jurnal Kesehatan
Volume 8 Nomor 2, (140–46)
Suandika, (2022). Pemberian Transfusi Darah Sebagai Upaya Peningkatan Perfusi
Jaringan Pada Pasien Anemia, Jurnal Inovasi Penelitian Volume 3
Nomor 5, (151–156).
Sandra, (2021). Studi Kasus dengan Gangguan Mobilitas Fisik Pasien Stroke
Iskemik dengan Hemiparasis Setelah diberikan Stimulasi Sikat Sensori,
Jurnal Keperawatan Volume 5 Nomor 1
Rismayanthi, (2010). Terapi Insulin Sebagai Alternatif Pengobatan Bagi Penderita
Diabetes, Jurnal Kesehatan Volume 6 Nomor 2, (29–36)
Isnaeni, (2018). Pemberian Aktivitas Bertahap Untuk Mengatasi Masalah
Intoleransi Aktivitas Pada Pasien Chf, Jurnal Manajemen Asuhan
Keperawatan Volume 2 Nomor 1, (1–6)
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI) Edisi 1 Cetakan 3 (Revisi) Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI) Edisi 1 Cetakan 2 Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2019) Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI) Edisi 1 Cetakan 2 Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Anda mungkin juga menyukai