Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR

MANUSIA DAN PERADABAN

Disusun Oleh:
Putri Amiliawati
2204109010008

Sabtu/01 Desember 2022

Dosen Pengampu:
Dr. Saiful, S.Pd., M.Si.

PRODI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah berjudul “ Manusia dan Peradaban“ dengan
baik dan benar serta tepat pada waktunya. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar di Universitas Syiah Kuala. Selain itu, saya juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang “ Manusia dan
Peradaban “.

Saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Saiful, S.Pd., M.Si selaku Dosen
Pengampu mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat
menambah wawasan saya berkaitan dengan topik yang diberikan.

Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat beberapa
kekurangan, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca untuk penyempurnaan makalah ini

Banda Aceh, 01 Desember 2022


Putri Amiliawati
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................................2
1.3 TUJUAN...............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................3
2.1 KAWASAN EKOSISTEM LEUSER................................................................3
2.2 PERMASALAHAN DI KAWASAN EKOSISTEM LEUSER........................4
2.3 KAWASAN EKOSISTEM LEUSER DAN KEPENTINGANNYA...............5
2.4 POTENSI SUMBER DAYA ALAM DAN KEANEKARAGAMAN
HAYATI KAWASAN EKONOMI LEUSER ……………………………….. 6
2.5 TANTANGAN PENANGANAN MASALAH LINGKUNGAN HIDUP........8
2.6 KEARIFAN LOKAL........................................................................................11
2.7 PERAN MASYARAKAT HUKUM ADAT....................................................11
BAB III KESIMPULAN ..............................................................................................13
3.1 KESIMPULAN..................................................................................................13
3.2 SARAN...............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kawasan ekosistem leuser merupakan wilayah yang secara alami terintegrasikan oleh
faktor faktor bentangan alam, karakteristik khas flora dan fauna, keseimbangan habitat dalam
mendukung kesinambungan hidup keanekaragaman hayati, dan faktor faktor khas lainnya
sehingga membentuk satu kesatuan ekosistem tersendiri yang dikenal dengan Ekosistem
Leuser.
Kawasan Ekosistem Leuser pertama kali diperkenalkan melalui Surat Keputusan (SK)
Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995 tahun 1995 yang kemudian dikuatkan dengan
Keputusan Presiden (Keppres) No.33 tahun 1998. Kawasan sangat penting bukan hanya
karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi tetapi juga karena fungsinya sebagai sumber
kehidupan masyarakat sekitarnya dan sebagai kawasan hutan alami di Pulau Sumatera bagian
utara.
Kawasan Ekosistem Leuser merupakan bentang alam yang terletak antara Danau Laut
Tawar di Provinsi di Aceh dan Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara. Ada 11 Kabupaten
yang tercakup di dalamnya yaitu Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Timur,
Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Deli Serdang, Langkat, Tanah Karo dan Dairi. Luas
keseluruhannya lebih kurang 2,5 juta Ha. Kawasan ini terletak pada posisi geografis 2,250 -
4,950 LU dan 96,350 -98,550 BT dengan curah hujan rata-rata 2544 mm per tahun dan suhu
harian rata-rata 260 C pada siang hari dan 210C pada malam hari. Kawasan Ekosistem
Leuser terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung,
Cagar Alam, Hutan Lindung, dan lain-lain (UML 1998; Consortium SAFEGE 2014).
Dengan berbagai landasan di atas, maka kami sangat tertarik untuk mengkajinya lebih
dalam yang secara eksplisit akan dipaparkan dalam makalah ini dengan judul “ Manusia dan
Ekosistem Leuser “
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang diatas, terdapat beberapa rumusan pokok masalah
permasalahan, antara lain :
1. Apa yang dimaksud dengan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai penyanggah
kehidupan?
2. Apa saja permasalahan yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)?
3. Apa saja peran dan fungsi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) bagi manusia?
4. Apa potensi yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), baik Sumber Daya Alam
maupun keanekaragaman hayati?
5. Apa kendala yang dihadapi dalam upaya pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser
(KEL)?
6. Apa kearifan lokal masyarakat setempat dalam upaya pelestarian Kawasan Ekosistem
Leuser (KEL)?
7. Apa peran masyarakat hukum adat dalam pengelolaan dan perlindungan Kawasan
Ekosistem Leuser (KEL)?

1.3 TUJUAN
1. Mampu memahami dan mendeskripsikan secara singkat Kawasan Ekosistem Leuser
(KEL) sebagai penyanggah kehidupan
2. Mampu memahami dan menjelaskan berbagai permasalahan yang ada di Kawasan
Ekosistem Leuser (KEL).
3. Mampu menjelaskan peran dan fungsi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) bagi
manusia.
4. Mampu menjelaskan berbagai potensi yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL),
baik Sumber Daya Alam maupun keanekaragaman hayati.
5. Mampu menjelaskan berbagai kendala yang dihadapi dalam upaya pelestarian
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
6. Mampu memahami dan menjelaskan kearifan lokal masyarakat setempat dalam upaya
pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
7. Mampu memahami dan menjelaskan peran masyarakat hukum adat dalam
pengelolaan dan perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KAWASAN EKOSISTEM LEUSER


Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) secara resmi ditetapkan sebagai Kawasan Strategis
Nasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Nasional. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998, Kawasan leuser dinyatakan
bahwa KEL merupakan wilayah yang secara alami terintegrasikan oleh faktor-faktor
bentangan alam, karakteristik khas flora dan fauna, keseimbangan habitat dalam mendukung
kesinambungan hidup keanekaragaman hayati, dan faktor-faktor khas lainnya sehingga
membentuk satu kesatuan ekosistem tersendiri yang dikenal dengan ekosistem leuser.
KEL terletak di dua provinsi di Pulau Sumatera yaitu, Provinsi Aceh dan Provinsi
Sumatera Utara. KEL terbentang di 13 Kabupaten/Kota, meliputi, Aceh Tamiang, Aceh
Timur, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Barat,
Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Kota Subulussalam, dan Aceh Singkil.
Sedangkan di wilayah Sumatera Utara, KEL membentang di 4 Kabupaten, meliputi, Langkat,
Dairi, karo dan Deli Serdang. Menurut surat keputusan menteri kehutanan RI NOMOR
190/KPTS-II/2001 : Luas kawasan leuser Provinsi Aceh adalah 2.255.577 hektare (Qanun
Aceh Nomor 7, 2006). Sedangkan Luas daerah KEL untuk wilayah Provinsi Aceh dan
Sumatera Utara saat ini tercatat seluas, 2.6 juta hektar (Nurbaidah, 2012).
Sebelum terbit SK Menteri Kehutanan penetapan luas KEL di wilayah Aceh
penetapan luas KEL didasarkan pada Keputusan Presiden RI Tahun 1998 yang menyatakan
luas kawasan ekosistem leuser wilayah Aceh adalah 1.790.000 hektar.
Setelah berakhirnya konflik Aceh yang ditandai dengan penandatanganan
Memorandum Of Understanding (MoU) di Helsinki antara gerakan Aceh merdeka dengan
pemerintah Indonesia pada 15 agustus 2005 MoU sepakat bahwa dibentuknya undang undang
khusus di Aceh yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh
(UUPA).
Berdasarkan Pasal 150 Ayat 1 UUPA menyatakan bahwa:
1. Pemerintah menugaskan pemerintah aceh untuk melakukan pengelolaan
kawasan ekosistem leuser di wilayah aceh.
2. Pemerintah aceh dan pemerintah kabupaten kota dilarang mengeluarkan izin
perusahaan hutan dalam kawasan ekosistem leuser.
3. Pemerintah aceh melakukan koordinasi dengan kabupaten kota dan dapat
melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah lain.
4. Sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 pemerintah wajib menyediakan
anggaran sarana dan prasarana.
Menurut Taqwaddin 2012 pasal ini dapat dimaknai dua, yaitu :
1. Semakin meningkatnya pengakuan konservasi dan perlindungan hukum
terhadap KEL
2. Seiring dengan meningkatnya komitmen pemerintah pusat terhadap
pentingnya keberadaan KEL maka pemerintah pusat menugaskan pemerintah
aceh untuk melakukan pengelolaan KEL di dalam wilayah provinsi Aceh.
Hal ini memperjelas kedudukan KEL di wilayah Aceh yang merupakan bagian yang
tidak dapat terpisahkan dari tugas pemerintah dan masyarakat dalam memberi bentuk
perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara
lestari, namun sangat memprihatinkan dalam Qanun Aceh Nomor 19 tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh tahun 2013-2033 KEL tidak termasuk sebagai kawasan
penting dan strategi Aceh.

2.2 PERMASALAHAN DI KAWASAN EKOSISTEM LEUSER (KEL)


Hingga saat ini terpantau Kawasan Ekosistem Leuser mengalami kerusakan perlahan-
lahan. kerusakan diakibatkan oleh adanya tiga masalah besar, yaitu pembalakan liar,
perambatan untuk kebun, hingga pertambangan yang belum terselesaikan (Junaidi Hanafiah,
2019). Semua permasalahan yang terjadi pada umumnya disebabkan oleh tangan manusia
yang terlalu berlebihan dalam mengeksploitasi sumber daya hutan.
Menurut Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA, 2019) menemukan
banyak terjadi kerusakan hutan di setiap tahunnya. HAkA menyebutkan, sejak tahun 2015-
2018 luas tutupan hutan di Aceh yang hilang mencapai 75.007 hektar, dimana pada tahun
2015 hilang seluas 21.056 hektar, tahun 2016 hilang seluas 21.060 hektar, pada tahun 2017
hilang seluas 17.820 hektar, dan terakhir tahun 2018 hilang seluas 15.071 hektar. Sejak Juni
2020 hingga Juli 2021, Provinsi Aceh kehilangan tutupan hutan 19.443 hektar, atau setiap 27
menit, Aceh kehilangan satu hektar tutupan hutan. Perbaikan tata kelola kehutanan untuk
mengurangi laju deforestasi belum diimbangi dengan politik anggaran yang bervisi
membangun hutan.
Manager Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan Alam dan
Lingkungan Aceh (HAkA) Lukmanul Hakim, dalam konferensi pers, Selasa (1/3/2022),
mengatakan, angka deforestasi tersebut merupakan hasil pemantauan dan analisis yang
dilakukan Yayasan HAkA selama setahun sejak Juni 2020 hingga Juli 2021. Perekaman laju
deforestasi dilakukan menggunakan citra satelit, seperti Google Earth, Citra Planet, dan
verifikasi lapangan.sebanyak 58 persen hilangnya tutupan hijau berada dalam kawasan hutan,
yakni hutan lindung, hutan produksi, dan taman nasional. Sedangkan 42 persen lainnya
berada dalam areal penggunaan lain.secara keseluruhan deforestasi di Aceh dalam lima tahun
terakhir mengalami penurunan. Pada 2016 deforestasi mencapai 21.060 hektar. Pada 2019
angkanya turun menjadi 15.140 hektar.
Kerusakan hutan pasti sangat berakibat buruk bagi kelestarian lingkungan,
kelangsungan hidup manusia, alam, satwa, tumbuhan, dan spesies lainnya. Salah satu
contohnya yaitu dapat menimbulkan banjir bandang dan tanah longsor yang berakibat fatal
tidak hanya pada kehidupan alamiah tetapi juga kepada kehidupan sosial budaya dan
lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah marak dibicarakan oleh
karena itu perlunya tindakan yang tepat dalam menangani masalah ini.
sudah banyak peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kebijakan para
penegak hukum mulai dari Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
hingga Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusak Hutan.

2.3 KAWASAN EKOSISTEM LEUSER DAN KEPENTINGANNYA


Kawasan Ekosistem Leuser mempunyai arti penting bagi kelangsungan hidup
manusia, lingkungan, alam, satwa, tumbuhan, dan spesies lainnya yang dapat hidup
berdampingan tanpa terganggu atau diganggu satu sama lain. Eksistensi KEL, terutama
hutan, harus menjadi perhatian semua pihak karena fungsinya sebagai paru-paru dunia. Hal
ini jika tidak dikendalikan, menurut Capra (2007:3) dapat menyebabkan kepunahan makhluk
hidup di muka bumi. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemikiran pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development) dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan
(environment) yang menjadi bahasa internasional dewasa ini.
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan yang dimaksud dengan Pembangunan
berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup,
sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan
hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan.
Dalam konteks KEL, konsep sustainable development ini menjadi penting dalam
mengembalikan fungsi kelestarian lingkungan KEL dari kerusakannya. Dengan begitu,
sumber daya alam, lingkungan, satwa, tumbuhan, dan spesies lainnya dapat diwariskan
sebagai anugerah Allah yang mahakuasa yang tidak terkira nilainya kepada generasi penerus
sampai kapan pun.

2.4 POTENSI SUMBER DAYA ALAM DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI


KAWASAN EKOSISTEM LEUSER
1. Potensi Sumber daya Alam
Sebagai paru-paru dunia, KEL memiliki potensi yang sangat luar biasa
untuk menopang kelangsungan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati
secara terus-menerus sehingga perlu dijaga kelestarian ekologisnya. Provinsi
Aceh terdapat 12 kabupaten kota yang bergantung hidup secara langsung
dengan fungsi ekologis KEL, seperti fungsi persediaan kebutuhan air,
pencegah banjir, dan kekeringan, sumber energi terbarukan, penyerap karbon
dan pengendali iklim, pendukung kegiatan pertanian dan perikanan, penghasil
hutan non kayu, serta menjadi objek penelitian dan daerah wisata.
Pepohonan yang ada di KEL berfungsi sebagai penahan air hujan agar
sempat diserap oleh tanah dan tidak hanya menjadi aliran air permukaan yang
dapat mencuci hara yang ada pada lapisan tanah bagian atas. berfungsi juga
sebagai pabrik oksigen untuk membersihkan udara yang kotor.
Pieter Van Beukering, Herman Cesar dan Marco A Jansen (2003)
menemukan bahwa:
a. Konservasi KEL mencegah kerusakan dan kerugian pendapatan
sebesar 85 triliun rupiah. Sementara kerusakan hutan hanya
menghasilkan 31 triliun rupiah untuk pendapatan daerah selama 30
tahun
b. Konservasi menyebarkan manfaat KEL secara adil bagi daerah
kabupaten dan dapat mencegah konflik. Sementara kerusakan hutan
memperlebar kesenjangan pendapatan antara daerah-daerah kabupaten
dan hal ini dapat menjadi sumber konflik yang berlanjut.
Ketergantungan ini dapat memberikan insentif yang kuat bagi setiap
kabupaten untuk mengembangkan dan melaksanakan perencanaan
bersama-sama
c. Konservasi memberikan keadilan sosial dan ekonomi karena
konservasi mendukung masyarakat miskin, sementara kerusakan hutan
memperlebar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Dampak yang dapat dirasakan jika menjaga kelestarian KEL adalah
dapat menikmati keindahan sungai, hutan leuser, bahkan air terjun yang airnya
mengalir bersih dan sejuk serta yang pastinya kita bisa menjaga keseimbangan
semesta ini.
Potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tersebut perlu
dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat
melalui upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga
tercapai keseimbangan antara perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan
secara lestari.
2. Potensi Keanekaragaman Hayati
Selain menyimpan sumber daya yang melimpah, KEL juga
menyimpan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menurut data Harian Serambi
Indonesia (2018), sepertiga puluh dua dari keseluruhan jumlah jenis mamalia
yang ada di dunia atau juga seperempat dari seluruh jumlah jenis mamalia di
Indonesia ada di KEL. Di kawasan ini terdapat ribuan jenis tanaman,
kebanyakan merupakan spesies endemik lokal yang terbatas hidupnya di
daerah ketinggian Leuser. Di kawasan ini juga terdapat beberapa jenis bunga
yang merupakan kekayaan terakhir yang tersisa di Sumatera.
Keanekaragaman hayati ini harus dipertahankan struktur populasi serta
area jelajahnya (cover area). Jika angka populasi berkurang atau mengalami
fragmentasi, bisa dipastikan beberapa spesies yang ada saat ini akan punah dan
menimbulkan gangguan terhadap mata rantai ekosistem yang ada.
Keanekaragaman hayati yang ada di KEL merupakan salah satu biodiversity
hotspot yang sangat kaya di dunia ini sehingga perlu dilestarikan.
KEL memenuhi kriteria sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 80 PP
26/2008 yakni:
a. Merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati;
b. Merupakan aset nasional berupa kawasan lindung yang
ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora dan fauna yang
hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus
dilindungi dan/atau dilestarikan;
c. Memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang
setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian negara;
d. Memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim
makro;
e. Menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan
hidup;
f. Rawan bencana alam nasional; atau
g. Sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan
mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan.
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang merupakan kawasan
lindung dan termasuk dalam KEL juga mempunyai keanekaragaman hayati
yang tinggi. Taman Nasional Gunung Leuser juga merupakan salah satu
kawasan perlindungan flora dan fauna terbesar di Asia Tenggara dan kawasan
suaka alam tropis terbesar dan terkaya di dunia (Pandji Yudistira
Kusumasumantri, tanpa tahun). Taman Nasional yang terbentang luas
mengikuti gugusan Pegunungan Bukit Barisan ini merupakan kawasan
konservasi yang memiliki perwakilan ekosistem lengkap mulai dari hutan
pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan danau yang relatif masih
utuh dengan kelimpahan satwa langka dan endemik.
Potensi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati tersebut, bila
terjaga dengan baik, maka dapat berdampak bagi kelestarian lingkungan dan
kelangsungan hidup bersanding antara manusia dengan alam sebagai anugerah
Tuhan yang mahakuasa.

2.5 TANTANGAN PENANGANAN MASALAH LINGKUNGAN HIDUP


Penanganan masalah lingkungan hidup dewasa ini tidak bisa hanya diselesaikan
melalui politik semata, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah komitmen moral. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh keraf (2006:viii-ix) bahwa: “ Penyelesaian persoalan lingkungan
hidup harus didekati secara lebih komprehensif-holistik, termasuk secara moral “. Dalam hal
ini, lebih mengutamakan etika dalam pengelolaan lingkungan agar tetap terjaga
kelestariannya. Dalam pengelolaan lingkungn hidup sebaiknya jangan hanya melihat dari
sudut pandang keuntungan ekonomi semata, akan tetapi perlu memperhatikan keseimbangan
lingkungan hidup.
Hutan merupakan salah satu modal kehidupan yang perlu disyukuri, dikelola, dan
dimanfaatkan secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta dijaga
kelestariannya sehingga dapat meningkatkan pembangunan secara berkelanjutan baik untuk
generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh karena itu, sebagai sistem
penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran, maka keberadaan hutan harus dipertahankan
dan dijaga daya dukungnya secara lestari dengan akhlak mulia, bermartabat, adil, arif, dan
profesional.
Sesuai dengan fungsinya, hutan dapat dibagi menjadi hutan penyanggah, hutan
lindung, dan hutan industri. Selain itu, negara juga mengenal adanya hutan sosial, hutan desa,
dan hutan adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar Tahun
1945 bahwa: “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia “.
Pengelolaan hutan harus melibatkan partisipasi masyarakat, terutama baik di dalam
maupun di sekitar hutan. Terkait dengan hal ini, Pasal 112 Qanun Nomor 7 Tahun 2016
tentang Kehutanan Aceh menjelaskan bahwa:
1. Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada dan diakui
keberadaannya berhak:
❖ Melakukan pemungutan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari pada areal yang ditetapkan sebagai hutan adat.
❖ Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
❖ Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
2. Pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat 1
ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengelolaan dan perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser melibatkan semua pihak,
tidak hanya pemerintah daerah setempat. Pasal 21 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Kehutanan Aceh menjelaskan bahwa:
1. Kawasan Hutan di dalam KEL dikelola sesuai dengan status dan fungsi pokoknya.
2. Tanah hak dan tanah negara diluar Kawasan Hutan di dalam KEL dikelola sesuai
dengan fungsinya sebagaimana ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh.
3. Kawasan inti dari KEL adalah kawasan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh sebagai Kawasan Konservasi.
4. Kawasan Penyangga dari KEL adalah kawasan yang berada di luar kawasan inti.
5. Pengelolaan KEL tidak mengurangi atau membatalkan hak yang terlebih dahulu telah
diberikan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Aceh dan tetap menghormati hak adat
atau perorangan yang telah ada berdasarkan peraturan perundang undangan.
Sumber daya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri,
sumber pendapatan, menciptakan lapangan kerja, dan kesempatan kerja. Selama belum ada
barang substitusi yang bisa menggantikan hasil hutan, kebutuhan akan hasil hutan akan
berkorelasi positif dengan pertambahan penduduk dan kenaikan tingkat kesejahteraan.
Kenyataan ini bisa menjadi peluang untuk mengembangkan produk-produk dari hutan, tetapi
juga bisa menjadi tantangan bagi kelestarian hutan.
Pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) didasari oleh beberapa pertimbangan,
baik secara demografis, ekologis, maupun sosiologis. Beberapa pertimbangan ini
sebagaimana terlihat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1998
tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser bahwa:
❖ Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
merupakan kekayaan yang perlu dilestarikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan
nasional dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan.
❖ Kawasan Ekosistem Leuser adalah wilayah yang secara alami terintegrasi oleh faktor-
faktor bentangan alam, karakteristik khas flora dan fauna, keseimbangan habitat
dalam mendukung kesinambungan hidup keanekaragaman hayati, dan faktor–faktor
khas lainnya, sehingga membentuk satu kesatuan ekosistem tersendiri yang dikenal
sebutan Ekosistem Leuser.
❖ Untuk mempertahankan, melestarikan, dan memulihkan fungsi Kawasan Ekosistem
Leuser termasuk satwa dan tumbuhan didalamnya yang akhir-akhir ini semakin
menurun karena berbagai kegiatan yang kurang memperhatikan aspek pelestarian
alam, sehingga dipandang perlu menetapkan kebijakan pengelolaan Kawasan
Ekosistem Leuser.
Salah satu upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditempuh
melalui penetapan sebagian kawasan hutan dan/atau kawasan perairan menjadi taman
nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam yang salah satu fungsinya adalah sebagai
obyek dan daya tarik wisata alam untuk dijadikan pusat pariwisata dan kunjungan wisata
alam. Namun demikian, dalam pengelolaannya harus tetap memperhatikan fungsi utama
hutan Kawasan Ekosistem Leuser sebagaimana dijelaskan pada pasal 1 ayat 3 Keputusan
Presiden Indonesia Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser
bahwa: “ Sesuai dengan fungsi pokoknya, bagian-bagian wilayah kawasan Ekosistem Leuser
ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

2.6 KEARIFAN LOKAL


Kearifan lokal terdapat banyak istilah, seperti pengetahuan dasar, pengetahuan
pribumi (indigenous knowledge), kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan tradisional
(traditional ecological knowledge). Pada Kenyataannya, kearifan lokal adalah sesuatu yang
bersifat inovatif dan adaptif (Caritas Woro: 82-88).
Dalam Pasal 1 Ayat 30 UU 32/2009 dijelaskan sebagai “nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan
hidup secara lestari”. Sedangkan menurut Gadgil, Berkes, dan Folke pengetahuan
tradisional/lokal adalah kumulatif pengetahuan dan kepercayaan secara turun temurun antar
generasi tentang kehidupan bermasyarakat terkait antarindividu dalam masyarakat maupun
hubungan antar masyarakat dan lingkungan.
Menurut sonny keraf, kearifan tradisional/lokal adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis dimana tidak hanya menyangkut
pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasinya,
tetapi juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam
dan bagaimana relasi antara semua penghuni komunitas ekologis.
2.7 PERAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
Menurut Dominikus Rato, Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah komunitas atau
paguyuban sosial manusia yang merasa bersatu karena terikat oleh kebersamaan leluhur dan
atau wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki kekayaan sendiri, dipimpin oleh
seorang atau beberapa orang yang dipandang memiliki kewibawaan dan kekuasaan, dan
memiliki tata nilai sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai keinginan memisahkan
diri (Rato, 2009:107).
MHA juga dicirikan dengan sifat-sifat umum masyarakat adat, sebagaimana
diungkapkan Holleman yang mengkonstruksikan empat sifat umum dari masyarakat adat
adalah magis religius, komunal, konkrit, dan kontan (Otje Salman, 2002:29-34).
Menurut HR. Otje Salman, dengan beberapa pendapat, termasuk Soepomo, disebut
hukum adat terdiri dari lima unsur: adat, penegakan hukum oleh fungsionaris adat, sanksi
adat, tidak tertulis (Munir, 2003:25), dan mengandung unsur agama (sakral) (Otje Salman,
2009:15-18). Ter Haar mengungkapkan bahwa pengertian hukum adat adalah keseluruhan
aturan yang menjelma dari keputusan para fungsionaris hukum serta mempunyai pengaruh
dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan ditaati sepenuh hati
(Wiranata, 2005:14). Van Vollenhoven memberi definisi, hukum adat adalah hukum yang
tidak bersumber pada peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda atau alat alat
kekuasaan lainnya (Vollenhoven, 1987:9). Sementara Soepomo memberi pengertian hukum
adat sebagai non statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil
hukum islam (Soepomo, 1996:3). Soekanto mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat-
adat. Kompleks adat ini kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan, bersifat paksaan,
dan mempunyai sanksi sehingga memiliki akibat hukum (Wiranata, 2005:18)
Dalam perkembangannya sekarang ini, barangkali apa yang tersebut sebagai
pengakuan bersyarat adalah corak dari dominasi sistem hukum tertulis tersebut.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN
Kawasan Ekosistem Leuser merupakan salah satu wilayah konservasi paling penting
di muka bumi. Terletak di dua provinsi paling utara Sumatera (Aceh dan Sumatera Utara),
dengan luas 2,6 juta hektar yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati.
Kawasan Strategis Nasional merupakan kawasan yang secara nasional ditetapkan
mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan berdasarkan kepentingan
pertahanan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial budaya, dan fungsi dan daya dukung
lingkungan.
Hingga saat ini terpantau Kawasan Ekosistem Leuser mengalami kerusakan perlahan-
lahan. kerusakan diakibatkan oleh adanya tiga masalah besar, yaitu pembalakan liar,
perambatan untuk kebun, hingga pertambangan yang belum terselesaikan (Junaidi Hanafiah,
2019).
Potensi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya perlu
dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat melalui upaya
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga tercapai keseimbangan
antara perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari.
Taman Nasional Gunung Leuser salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia
seluas 1.094.692 hektar yang secara administrasi pemerintahan terletak di Provinsi Aceh dan
Sumatera Utara. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Dalam menghadapi masalah lingkungan hidup dibutuhkan komunitas lingkungan
hidup yang mampu mempertahankan kehidupan, memuaskan kebutuhan dalam eksploitasi
sumber daya alam dengan memperhatikan keseimbangan antara aspek ekonomi, lingkungan
dan kearifan lokal.
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat
dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal (local wisdom) biasanya
diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke
mulut.
Masyarakat hukum adat merupakan sekumpulan orang yang tetap hidup dalam
keteraturan dan di dalamnya terdapat sistem kekuasaan dan terjadi secara mandiri, serta
mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud.
3.2 SARAN
Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, akan
tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini
dikarenakan masih minimnya pengetahuan kami tentang materi ini. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk
kedepannya. Sehingga bisa terus menghasilkan makalah yang bermanfaat bagi banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Kamaruzzaman Bustamam. 2009. A Study of Panglima Laot.
Banda Aceh: FAO.
Adrianto, Lucky dkk. 2009. Adopsi Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan
Perikanan Di Indonesia? Paper Workshop on Customary Knowledge
And Fisheries Management Systems in Southeast Asia. Mataram,
Indonesia, 2-4 Agustus 2009.
Keraf, A. Sonny. 2005. Etika Lingkunga. Jakarta: Penerbit Kompas.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1998 tentang
Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser.
Kusumansumatri, Pandji Yudistira. t.t. , Sejarah 5 Taman Nasional Pertama,
Jakarta: Direktorat Jenderal KSDAE.
Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan No.190/Kpts-II/2001 tentang
Pola Umum dan Standart serta Kriteria Rehabilitas Hutan dan Lahan.
Mariane, Irene. 2014. Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai