Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KONSERVASI LINGKUNGAN

KONSERVASI TAMAN NASIONAL LORE LINDU

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Konservasi Lingkungan Dan Sumber Daya
Alam Dosen Pengampu : Dewi Purwasih Samaela,.S.Pd.,M.Pd

Di Susun Oleh :

ANGHELLYCHA MELAPA

91811402111027

Program Study Pendidikan Biologi

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

UNIVERSITAS SINTUWU MAROSO POSO

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Poso, 4 Desember 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................i

Daftar Isi.........................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan..........................................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan masalah...............................................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................................2

Bab II Pembahasan.........................................................................................................3

A. Konservasi taman nasional lore lindu.................................................................3


1. Gambaran Umum..........................................................................................3
2. Kondisi Fisik.................................................................................................4
3. Riwayat Eksplorasi.......................................................................................5
4. Riwayat Flora Pandan Sulawesi....................................................................6
B. Peran konservasi taman nasional lore lindu terhadap lingkungan dan SDA...... 8
C. Nilai ekonomi konservasi lingkungan taman nasional lore lindu.......................10

Bab III Penutup...............................................................................................................12

A. Kesimpulan.........................................................................................................12
B. Saran...................................................................................................................12

Daftar Pustaka.................................................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Konservasi sumber daya alam adalah penghematan penggunaan sumber daya
alam dan memperlakukannya berdasarkan hukum alam. Pengertian konservasi adalah
suatu upaya atau tindakan untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus
berkesinambungan baik mutu maupun jumlah.
Berdasarkan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Bab I Pasal I, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lain.
Pasal 2 perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Pasal 4 rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya
disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan
hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
Pasal 6 pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Pasal 16 perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 17 kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup.

1
Pasal 18 konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam
untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Dan masih banyak lagi peraturan perlindungan dan perngolalaan lingkungan hidup yang
diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009. Oleh karena itu, kita sebagai Warga Negara
Indonesia haruslah menghargai dan merawat lingkungan hidup tempat di mana kita
hidup. Jangan sampai kita membiarkan lingkungan kita tercemar. Agar anak cucu kita
kelak dapat menikmati lingkungan hidup yang bersih, nyaman, dan menunjang kehidupan
manusia di bumi.
2. Rumusan Masalah
1) Apa bentuk konservasi taman nasional lore lindu ?
2) Apa peran konservasi taman nasional lore lindu terhadap lingkungan dan SDA ?
3) Apa nilai ekonomi konservasi lingkungan taman nasional lore lindu ?
3. Tujuan
1) Mengetahui bentuk konservasi taman nasional lore lindu!
2) Mengetahui peran konservasi taman nasional lore lindu terhadap lingkungan dan SD!
3) Mengetahui nilai ekonomi konservasi lingkungan taman nasional lore lindu !

2
BAB II

PEMBAHSASAN

A. Konservasi Taman Nasional Lore Lindu


1. Gambaran Umum
Taman Nasional (TN) Lore Lindu secara geografis terletak pada 1°03’–1°58’ LS
dan 119°57’– 120°22’ BT (Gambar 1) yang di dalamnya mencakup Suaka Margasatwa
Lore Kalamanta, Hutan Lindung Danau Lindu, dan sebagian Lembah Napu dan Bada.
Secara administratif TN Lore Lindu termasuk ke dalam dua Kabupaten di Propinsi
Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala dan Poso.
Taman Nasional Lore Lindu dan wilayah seputarnya tidak hanya kaya akan
keragaman hayati, tetapi juga budaya serta kepurbakalaan antara lain terdapatnya
kumpulan batu megalitik khususnya di kawasan Lembah Napu dan Bada. Oleh karenanya
TN Lore Lindu ditetapkan sebagai Cagar Biosfir (Biosphere Reserve) oleh UNESCO
pada tahun 1977 (Blower et al., 1977; Watling dan Mulyana, 1981; Wirawan, 1981).
Desa Sedoa terletak di dalam kawasan TN Lore Lindu di bagian timur, khususnya
kawasan Lembah Napu (Gambar 2).

3
2. Kondisi Fisik
Gambaran umum kondisi fisik TN Lore Lindu adalah wilayah terisolasi yang
merupakan kelanjutan ke arah tenggara dari Pegunungan Takolekaju (Ahlburg, 1913;
Watling dan Mulyana 1981; Wirawan 1981) dengan variasi ketinggian berkisar antara
200 hingga 2600 m dari permukaan laut (dpl). Pegunungan Takolekaju sendiri
dipisahkan dari lempengan massif di bagian utara oleh Lembah Palolo-Sopu. TN Lore
Lindu dibatasi pada bagian barat dan timurnya oleh Lembah Tawaelia dan Fossa-
Sarasina. Kedua lembah pembatas ini membuat Lembah Bada pun masuk ke dalam
kawasan TN meski letaknya jauh di bagian ujung selatan.
Topografi TN Lore Lindu pada umumnya curam dan terbelah khususnya pada
bagian utara, di mana sebagian besar wilayahnya berada di atas 1500 meter dpl. Hanya di
bagian barat dari TN saja ditemukan relung sempit dataran rendah dengan ketinggian di
bawah 1000 meter dpl. Secara geologis wilayah TN Lore Lindu dan sekitarnya tersusun
atas lipatan batuan dasar yang terbentuk dari pergerakan tektonik utama pada periode
Pliocene dan Miocene (Ahlburg, 1913; Whitten et al., 1987; Metcalfe, 1996; Holloway
dan Hall, 1998). Pengecualian adalah lempengan massif Gunung Nokilalaki yang diduga
berasal dari periode yang lebih tua, Palaeozoikum. Spektrum tanah di kawasan TN dan
sekitarnya sangat luas (Ahlburg, 1913; Watling dan Mulyana, 1981; Wirawan, 1981),
mulai dari tanah pasir dan kerikil yang terairi dengan baik (well-drained sands and
gravels) hingga tanah alluvium yang kering (poorly-drained alluvium).
Kondisi hidrologis TN Lore Lindu terdeskripsi sangat jelas. Di bagian utara,
Danau Lindu berfungsi sebagai sumber air dari Sungai Gumbasa, yang kemudiannya
bersatu dengan Sungai Palu membentuk komponen perairan tawar utama kota Palu dan
sekitarnya (Ahlburg, 1913). Di bagian selatan, beberapa sungai mengalir ke arah timur
untuk mengairi Lembah Napu; sementara ke arah barat membentuk Sungai Lariang.
Sungai Lariang bukan hanya sungai terpanjang di Sulawesi Tengah, namun di seluruh
Pulau Sulawesi.
TN Lore Lindu dan wilayah di sekitarnya memiliki variasi curah hujan per tahun
yang sangat tinggi. Curah hujan 3000 hingga 4000 mm/tahun teramati di bagian selatan,
sementara di bagian utara (Lembah Palu) hingga timur laut hanya 500 mm/tahun. Curah
hujan tertinggi tercatat antara bulan November hingga April selama musim angin barat/

4
western monsoon (Watling dan Mulyana, 1981). Temperatur udara berkisar antara 22°
hingga 34°C.

3. Riwayat Eksplorasi
Eksplorasi pertama dilakukan di bagian tengah Sulawesi oleh Kruyt dan Adria
mncakup beberapa wilayah di sekitar Danau Lindu (Kruyt dan Adriani, 1898a; 1898b)
mencakup beberapa wilayah di sekitar Danau Lindu (Adriani dan Kruyt, 1905). Ekplorasi
berikutnya dilakukan Karl Friedrich Sarasin dan Paul Benedikt Sarasin meliputi
kawasankawasan Donggala, Palu, Kulawi, Danau Lindu, Lembah Bada, dan beberapa
areal lain di sekitarnya pada sekitar tahun 1902 (Sarasin dan Sarasin, 1905; 1906).
Sayangnya tak satupun spesimen hasil koleksi mereka tersimpan di Herbarium
Bogoriense (BO).
Heringa (1921) melakukan eksplorasi tumbuhan yang lebih luas di bagian tengah
Sulawesi sekitar tahun 1920. Meski lebih banyak memusatkan perhatian pada masalah
kehutanan, Heringa juga merekam keberadaan tumbuhan yang tergolong bukan pohon
(non-tree). Sebagaimana halnya hasil eksplorasi kedua bersaudara Sarasin, tak satupun
koleksi spesimen herbarium yang dibuatnya tersimpan di BO.
Steup (1930; 1938) melalui serangkaian eksplorasi di bagian utara dan tengah
Sulawesi yang dilakukan sepanjang tahun 1929. Di bagian tengah Sulawesi Steup
melakukan eksplorasi di kawasan hutan Kayu Hitam Sulawesi (Diospyros celebica) di
sekitar Poso. Steup merekam data jenis-jenis tumbuhan bermanfaat penting serta yang
berpotensi ekonomi. Eksplorasi tumbuhan secara menyeluruh di bagian tengah Sulawesi
dilakukan oleh Kjellberg pada tahun 1929 (Kjellberg dan Christensen, 1933; Fagerlind

5
1941), di mana beberapa koleksi pandan (terutama dari marga Pandanus) dibuat spesimen
herbariumnya dan disimpan di BO.
Posthumus melakukan eksplorasi tumbuhan di sekitar Danau Lindu sekitar tahun
1930, namun tidak pernah menerbitkan hasil kegiatannya (Bloembergen, 1940). Sebagian
besar koleksi spesimen herbariumnya tersimpan di BO. Lam (1945a; 1945b; Holthuis dan
Lam, 1942) melakukan serangkaian eksplorasi penting di Sulawesi dan pulau-pulau
satelitnya, namun tidak pernah mengunjungi bagian tengah pulau ini. Meskipun begitu,
Lam memberikan kontribusi yang sangat penting bagi kajian floristik Sulawesi yaitu
dengan pernyataan bahwa Sulawesi memiliki tingkat kesamaan jenis tumbuhan yang
lebih tinggi dengan Filipina, Maluku, dan New Guinea dibandingkan dengan wilayah-
wilayah lain dalam lingkup Malesia. Dengan kata lain, Sulawesi lebih memiliki afinitas
(kedekatan) dengan bagian timur daripada barat Malesia. Bloembergen (1940) melakukan
eksplorasi tumbuhan di bagian tengah Sulawesi pada tahun 1939 meliputi Donggala,
Palu, Danau Lindu dan Gunung Nokilalaki serta beberapa wilayah lain di sekitarnya.
Eyma (1940) melanjutkan eksplorasi di wilayahwilayah perbukitan bagian tengah
Sulawesi pada tahun 1938. Sayangnya material hasil koleksinya hilang (van Steenis,
1950).
Pada akhir 1970-an van Balgooy melakukan eksplorasi di bagian tengah
Sulawesi, termasuk kawasan di seputar Danau Lindu dan Gunung Nokilalaki (Stone,
1983a; van Balgooy dan Tantra, 1986; van Balgooy, 1987). Beberapa koleksi pandan
yang dibuat tersimpan di BO. Secara umum hasil kajian van Balgooy menguatkan
pendapat Lam (1945a; 1945b).
Eksplorasi yang dilakukan Keim (2005) di bagian tengah Sulawesi, termasuk di
lingkup Taman Nasional Lore Lindu dan Gunung Nokilalaki serta kawasan di seputarnya,
seperti Lembah Sopu dan Bada merupakan yang terbaru sebelum eksplorasi ini.
4. Riwayat Flora Pandan Sulawesi
Laporan pertama tentang flora pandan di Sulawesi dibuat oleh Solms-Laubach
(1883) berdasarkan koleksi Beccari (Beccari, 1924). Koorders (1898) membuat beberapa
koleksi serta mempublikasi F. minahassae Koord. Koorders juga mengusulkan
kemungkinan beberapa jenis baru dari marga Freycinetia dan Pandanus.

6
Selepas masa Beccari dan Koorders, penambahan jumlah koleksi pandan
Sulawesi dilakukan oleh dua bersaudara Sarasin (Sarasin dan Sarasin, 1906; Warburg,
1900) dan Kjellberg (Fagerlind, 1941). Banyak dari spesimen mereka menjadi type untuk
beberapa jenis Freycinetia dan Pandanus.
Warburg (1900) merangkum dan memuat seluruh informasi tersebut dalam
monograf Pandanaceae yang disusunnya. Sebagian jenis dari Sulawesi yang tercatat
dalam monograf tersebut merupakan jenis baru. Setelah Warburg, kajian flora pandan
Sulawesi hanya sekilas saja diulas, antara lain oleh Martelli (1910a), yaitu dengan
penambahan beberapa jenis baru. Stone (1983a) menerbitkan dua jenis baru dari Sulawesi
(F. micrura B.C. Stone dan P. sulawesicus B.C. Stone). Setelah Stone (1983a) tidak ada
lagi terbitan seputar sistematika pandan di Sulawesi.
Hingga saat ini diketahui terdapat 6 hingga 8 jenis marga Freycinetia dan 5
hingga 6 jenis marga Pandanus dari Sulawesi (Warburg, 1900; Martelli, 1910a; 1910b;
1910c; Stone 1983a). Menurut Stone (1961) marga Sararanga memiliki persebaran yang
luas mulai di Kepulauan Filipina (S. philippinensis Merrill) dan New Guinea beserta
beberapa pulau di sekitarnya (S. sinousa Hemsley) namun belum pernah dijumpai di
Sulawesi. Hal ini menarik karena berdasarkan postulat kedekatan floristik antara
Sulawesi dengan kedua wilayah (Lam, 1945a; 1945b; Holthuis dan Lam, 1942), maka
bukan tidak mungkin marga ini juga ditemukan di Sulawesi.
Bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain dalam lingkup Malesia, seperti
Borneo dan New Guinea, flora pandan Sulawesi belum banyak diketahui (Tabel 1).
Sebelum eksplorasi ini, Herbarium Bogoriense (BO) sendiri diketahui hanya menyimpan
sekitar 20 nomor koleksi untuk Freycinetia, 3 spesimen tipe dari 3 jenis Freycinetia
Sulawesi (Keim, 2003). Sehingga tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa dalam

7
kaitan dengan kekayaan jenis pandan Sulawesi merupakan sebuah terra incognito.

B. Peran konservasi Taman Nasional Lore Lindu terhadap lingkungan dan SDA
Biodiversitas merupakan sumberdaya alam yang perlu dilestarikan karena
kehilangan biodiversitas akan mengurangi kapasitas ekosistem untuk menyediakan
barang dan jasa yang cukup dan berkelanjutan bagi masyarakat (Tilman 2000). Ninan et
al. (2007) juga menegaskan bahwa kehilangan biodiversitas bukan hanya mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi tetapi juga berpengaruh terhadap kapasitas untuk melestarikan
pertumbuhan ekonomi. Di TNLL, hanya pihak BBTNLL yang memiliki kepentingan
yang tinggi terhadap kelestarian biodiversitas, sebab hal itu telah menjadi tugas pokoknya
untuk mengamankan kawasan dan melestarikan biodiversitas yang ada dalam kawasan.
Masyarakat lokal dan institusi lokal yang ada belum menganggap biodiversitas
sebagai kepentingan yang tinggi karena belum memahami manfaat nyata dari pelestarian
biodiversitas. Pihak yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap lahan adalah
masyarakat lokal, Kepala Desa, Lembaga Adat, FWP, BBTNLL dan BPDAS Palu-Poso.
Kepentingan BPDAS PaluPoso adalah melakukan rehabilitasi lahan hutan yang rusak di
TNLL. Kepentingan masyarakat lokal yang tinggi terhadap lahan adalah ingin tetap
mengelola lahan kebun yang masuk di kawasan TNLL khususnya yang terdapat di zona
rehabilitasi.
Lembaga Adat berkepentingan untuk mendapatkan pengakuan atas lahan di
TNLL sebagai hak ulayat adat. Begitu juga dengan LKD, FWP dan Kepala Desa
memiliki kepentingan mengatur pemanfaatan sumberdaya lahan. Di sisi lain, pihak
BBTNLL memiliki kepentingan terhadap lahan tersebut untuk dipertahankan sebagai

8
kawasan TNLL. Perbedaan kepentingan antara masyarakat lokal, lembaga lokal dan
BBTNLL melahirkan situasi konflik, dan KKM itu seyogyanya menjadi institusi yang
dapat mengatasi konflik lahan melalui pengaturan pemanfaatan sumberdaya hutan.
Pihak yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kayu untuk kebutuhan
lokal adalah masyarakat lokal, LKD, Lembaga Adat dan Kepala Desa. Kepentingan kayu
untuk kebutuhan lokal bagi masyarakat adalah untuk kebutuhan kayu bakar, bahan
bangunan dan perkakas, bukan untuk tujuan komersil. LKD, Kepala Desa dan Lembaga
Adat memiliki kepentingan yang tinggi untuk mengontrol agar tidak terjadi kerusakan
ekosistem yang dapat mengancam terjadinya
bencana.
Para pihak yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap sumberdaya air di
TNLL adalah masyarakat lokal, LKD, Kepala Desa, Lembaga Adat, BPDAS dan
Bappeda Kabupaten Sigi. Masyarakat lokal sekitar TNLL sangat bergantung terhadap
sumberdaya air dari TNLL untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk kebutuhan
konsumsi air minum, mandi, mencuci maupun untuk kebutuhan pengairan sawah.
Desadesa sekitar TNLL umumnya berada pada ketinggian lebih 700 m dpl, sehingga
ketersediaan air tanah sangat terbatas. Hal ini juga menjadi kepentingan yang tinggi bagi
institusi lokal seperti Lembaga Adat dan Kepala Desa untuk mengatur agar ketersediaan
air tetap terjaga melalui upaya menjaga hutan. Pada satu sisi, masyarakat lokal memiliki
kepentingan yang tinggi terhadap lahan untuk berkebun khususnya di zona rehabilitasi,
namun pada sisi lain mereka juga memiliki kepentingan yang tinggi terhadap
keberlangsungan sumberdaya air, sehingga perlu mengatur pemanfaatan sumberdaya
lahan agar ketersediaan sumberdaya air tetap terjamin.
Upaya untuk melestarikan sumberdaya air ini dilaksanakan melalui program
rehabilitasi oleh BPDASPAS yang melibatkan masyarakat lokal. Keberadaan hutan di
TNLL penting untuk dilestarikan sebab kawasan hutan ini merupakan hulu dari tiga sub
DAS yakni sub DAS Gumbasa, Sub Das Miu dan sub DAS Lariang dan terdapat danau
Lindu seluas 3.488 ha. Air yang berasal dari sub DAS Miu dan sub DAS Gumbasa
bermuara di sungai Palu, sedangkan air yang mengalir di sub DAS Lariang mengarah ke
Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan begitu, selain masyarakat lokal sekitar TNLL, juga

9
banyak masyarakat yang bergantung terhadap sumberdaya air yang berasal dari TNLL,
utamanya masyarakat kota Palu.
Potensi air di TNLL ini juga dipandang penting bagi Pemda Kabupaten Sigi
karena sekitar 75% wilayah Kabupaten Sigi adalah kawasan hutan. Luas kawasan TNLL
yang berada dalam wilayah Kabupaten Sigi adalah 119.360,79 ha (BBTNLL, 2013).
Kondisi ini, menurut Sekretaris Bappeda Kabupaten Sigi, merupakan potensi bagi Pemda
Kabupaten Sigi untuk mengembangkan kabupaten Konservasi.
Pihak yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap wisata di TNLL adalah
BBTNLL, Bappeda Kabupaten Sigi dan Dinas Pariwisata Kabupaten Sigi. Pemda
Kabupaten Poso memiliki kepentingan terhadap wisata berkategori sedang. Saat ini
dilakukan upaya pemekaran kabupaten Poso yang akan menjadi kabupaten Tampo Lore
sebagai kabupaten konservasi dengan mengandalkan potensi wisata utamanya yang ada
di TNLL. Luas kawasan TNLL yang berada di kabupaten Poso yakni 96.630,39 ha,
meliputi empat kecamatan yakni kecamatan Lore Utara, kecamatan Lore Peore,
kecamatan Lore Tengah dan kecamatan Lore Barat.
Potensi Wisata yang ada di TNLL pada empat kecamatan itu antara lain air terjun
Watumaeta, padang savana di Bariri, air terjun Kolori di Bada, jalur trekking Lelio-Doda,
air terjun Kageroa di Bada, spot pengamatan burung di Tuare, keindahan landscape
lembah Napu, tarian Morego dan musik bambu di Doda. Selain itu, di empat kecamatan
itu terdapat situs megalith berupa arca menhir, kalamba, dulang batu dan altar. Di
Kabupaten Sigi terdapat juga Potensi wisata antara lain Camping ground, penangkaran
semi alami burung maleo, keindahan danau lindu, air terjun lindu, kearifan tradisional
masyarakat toro, pengamatan satwa, penangkaran anggrek dan juga beberapa situs
megalith (BBTNLL 2014).
Pengguna akses langsung sumberdaya alam di TNLL adalah masyarakat lokal dan
perguruan tinggi/peneliti. Pihak yang memiliki kapasitas tinggi dalam memanfaatkan
sumberdaya TNLL adalah masyarakat lokal. Masyarakat lokal di sekitar TNLL terdiri
atas penduduk asli dan penduduk pendatang. Mekanisme akses penduduk asli terhadap
sumberdaya alam di TNLL adalah melalui klaim bahwa sebagian wilayah TNLL yang
ditetapkan sebagai wilayah KKM itu merupakan tanah ulayat masyarakat adat. Mereka
mengakui bahwa orang tua dan nenek moyang mereka sudah memanfaatkan sumberdaya

10
alam di kawasan TNLL jauh sebelum wilayah itu ditetapkan sebagai kawasan taman
nasional.

C. Nilai ekonomi konservasi Taman Nasional Lore Lindu


Nilai ekonomi dari konservasi TNLL yaitu bentuk-bentuk pemanfatan seperti
hasil hutan bukan kayu pada kedua lokasi penelitian adalah penggunaan kayu bakar,
bahan bangunan rumah yang terbuat dari bambu dan pemanenan kemiri. Untuk
penggunaan kayu bakar, umumnya tidak dijual karena langsung dimanfaatkan oleh
responden, saat memasak maupun saat diadakannya acara pesta. Pengumpulam kayu
bakar dilakukan bila persediaan kayu bakar sudah mulai berkurang. Umumnya responden
mengumpulkan kayu bakar dari TNLL sebanyak 2 ± 3 kali dalam sebulan.
Kemudian untuk bambu, sebagian digunakan untuk bahan bangunan rumah
khususnya di dusun 5, desa Sidondo I yang mayoritas masyarakatnya menggunakan
bambu untuk bangunan rumah. Untuk mengambil bambu, biasanya responden mengajak
anggota keluarganya. Hasil hutan bambu ini juga dijual kepada orang yang memesan,
biasanya pesanan banyak dari kota. Hasil dari penjualan bambu digunakan responden
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah anak-anak.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu lainnya yaitu kemiri. Menurut responden,
kemiri dipanen 3 kali dalam setahun. Adapun cara memanen kemiri yaitu dengan
memungut kemiri yang jatuh kemudian dikumpulkan dalam karung. Lalu kemiri dijemur
dan setelah kering, kemiri dijual dan hasilnya juga untuk keperluan sehari-hari dan untuk
biaya sekolah anak-anak. Dalam kawasan TN Babul, tanaman kemiri yang telah dikelola
masyarakat secara turun-temurun khususnya masyarakat di Kabupaten Maros. Antara
tahun 1960-an sampai 1980, hutan kemiri merupakan symbol status sosial dan menjadi
primadona karena menjadi sumber pendapatan utama yang menyejahterakan masyarakat
Aspek sosial dari penelitian ini adalah adanya interaksi responden dengan anggota
keluarganya, misalnya kegiatan dalam mengumpulkan kayu bakar, mengambil bambu
dan memanen kemiri di TNLL.
Interaksi sosial responden dengan hutan dapat dilihat dari ketergantungan akan
sumber-sumber kehidupan dasar seperti air, sumber energi (kayu bakar, bahan makanan),
bahan bangunan dan sumber daya lainnya. Untuk aspek budaya, biasanya responden

11
mengambil hasil hutan bukan kayu dari TNLL berupa bambu untuk penyanggah tenda
bila akan didakan suatu acara/pesta. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Moyo et al (2013) yang menyatakan bahwa budaya Mapalus yang berasal
dari desa Tambarana Kabupaten Poso yang berarti saling bergotong royong dalam
bekerjasama mengerjakan lahan, perbaikan fasilitas umum, perayaan hari besar
keagamaan maupun acara pesta, serta bila ada salah satu masyarakat yang kedukaan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Taman Nasional (TN) Lore Lindu secara geografis terletak pada 1°03’–1°58’ LS
dan 119°57’– 120°22’ BT (Gambar 1) yang di dalamnya mencakup Suaka Margasatwa
Lore Kalamanta, Hutan Lindung Danau Lindu, dan sebagian Lembah Napu dan Bada.
Gambaran umum kondisi fisik TN Lore Lindu adalah wilayah terisolasi yang merupakan
kelanjutan ke arah tenggara dari Pegunungan Takolekaju (Ahlburg, 1913; Watling dan
Mulyana 1981; Wirawan 1981) dengan variasi ketinggian berkisar antara 200 hingga
2600 m dari permukaan laut (dpl).
Eksplorasi pertama dilakukan di bagian tengah Sulawesi oleh Kruyt dan Adria
mncakup beberapa wilayah di sekitar Danau Lindu (Kruyt dan Adriani, 1898a; 1898b)
mencakup beberapa wilayah di sekitar Danau Lindu (Adriani dan Kruyt, 1905). Laporan
pertama tentang flora pandan di Sulawesi dibuat oleh Solms-Laubach (1883) berdasarkan
koleksi Beccari (Beccari, 1924). Koorders (1898) membuat beberapa koleksi serta
mempublikasi F. minahassae Koord.
Para pihak yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap sumberdaya air di
TNLL adalah masyarakat lokal, LKD, Kepala Desa, Lembaga Adat, BPDAS dan

12
Bappeda Kabupaten Sigi. Masyarakat lokal sekitar TNLL sangat bergantung terhadap
sumberdaya air dari TNLL untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk kebutuhan
konsumsi air minum, mandi, mencuci maupun untuk kebutuhan pengairan sawah. Nilai
ekonomi dari konservasi TNLL yaitu bentuk-bentuk pemanfatan seperti hasil hutan
bukan kayu pada kedua lokasi penelitian adalah penggunaan kayu bakar, bahan bangunan
rumah yang terbuat dari bambu dan pemanenan kemiri.
B. Saran
Demikian makalah ini saya buat, saya menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
pembaca sangat saya butuhkan. Guna perbaikan makalah berikutnya dan semoga
makalah ini berguna untuk kita semua. Amin

DAFTAR PUSTAKA

Anshari GZ. 2006. Dapatkah pengelolaan kolaboratif menyelamatkan taman nasional Danau
Sentarum?, Bogor, Center for International Forestry Research (CIFOR).

Black JA, Champion DJ. 2009. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Reflika
Aditama.

Bryson JM. 2004. What to do when stakeholders matter: stakeholder identification and analysis
techniques. Public management review 6(1):21-53.

Dubois O. 1989. Capacity to Manage Role Changes in Forestry : Introducing the ‘4Rs’
Framework: International Institute for Environmental and Development (IIED).

Enserink B, Kwakkel J, Bots P, Hermans L, Thissen W, Koppenjan J. 2010. Policy analysis of


multi-actor systems: Eleven International Publ.

Irawan P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu sosiall. Jakarta: DIA FISIP
UI. Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sigi, 2013. Kecamatan Biromaru dalam Angka dan Kecamatan
Gumbasa dalam Angka.

13
Dephutbun. 1990. Situs HHBK. http: //www.dephut.go.id/INFORMASI/ web HHBK. . 1999.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta.

Mangandar. 2000. Keterkaitan Masyarakat di Sekitar Hutan dengan Kebakaran Hutan. Tesis
tidak diterbitkan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Moyo., M. I. D., Golar, Rukmi, 2013. Potensi Sosial Budaya Masyarakat Bagi Pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada Wilayah KPH Model Sintuwu Maroso Di Desa
Tambarana Kecamatan Poso Pesisir Utara. Jurnal Warta Rimba 1 (1).

Nazir, M. 1997. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai