Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN DI INDONESIA DAN PARADIGMA


KESEHATAN LINGKUNGAN

DOSEN PENGAMPU : YULIA KHAIRINA ASHAR, SKM, MKM

Disusun Oleh : Kelompok 1

Rafiqoh Hasibuan (0801213257)

Salsabila Audina (0801212184)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang selalu memberi rahmat dankarunia- Nya
sehingga penulis dapat menuntaskan tugas makalah yang berjudul “Penyakit Berbasis
Lingkungan Di Indonesia Dan Paradigma Kesehatan Lingkungan” ini dengan tepat waktu.
Disusunnya makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Manajemen Penyakit
Berbasis Lingkungan sehingga diharapkan para pembaca dapat memperluas pengetahuan tentang
Manajemen Penyakit Berbasis Lingkungan. Penulis sampaikan terimakasih kepada ibu Yulia
Khairina Ashar, Skm, Mkm sebagai dosen pengampu pada mata kuliah Manajemen Penyakit
Berbasis Lingkungan. Penulis menyadari banyaknya kekurangan dengan makalah ini dalam
penulisan maupun penyampaian, sehingga diharapkan kritik dan saran untuk penyusun agar
makalah selanjutnya dapat diselesaikan dengan lebih sempurna.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Medan, 13 September 2023

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI................................................................................................................................... 3

BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ....................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat ................................................................................................................ 4

BAB II............................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 5
A. Penyakit Berbasis Lingkungan Di Indonesia ....................................................................... 5
1.1 Defenisi penyakit berbasis lingkungan .............................................................................. 5
1.2 Situasi Penyakit Berbasis Lingkungan di Indonesia.......................................................... 5
1.3 Permasalahan Penyakit Berbasis Lingkungan di Indonesia .............................................. 9
B. Paradigma Kesehatan Lingkungan ....................................................................................... 15
1.1 Pengertian Paradigma Kesehatan Lingkungan ................................................................ 15
1.2 Contoh Terapan Paradigma Kesling di Indonesia ........................................................... 18

BAB III ......................................................................................................................................... 20


PENUTUP..................................................................................................................................... 20
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 21


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit berbasis lingkungan adalah ilmu yang mempelajari proses kejadian atau
fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat yang berhubungan, berakar
(bounded) atau memiliki keterkaitan erat dengan satu atau lebih komponen lingkungan pada
sebuah ruang dalam mana masyarakat tersebut bertempat tinggal atau beraktivitas dalam jangka
waktu tertentu. Penyakit tersebut bisa dicegah atau dikendalikan, kalau kondisi lingkungan yang
berhubungan atau diduga berhubungan dengan penyakit tersebut dihilangkan (Achmadi U. F,
2013).

Kejadian penyakit pada dasarnya berbasis lingkungan. Munculnya gejala-gejala penyakit


pada kelompok tertentu merupakan resultante hubungan antara manusia ketika bertemu atau
berinteraksi dengan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kejadian penyakit atau
munculnya sekumpulan gejala penyakit. Beberapa contoh penyakit berbasis lingkungan adalah
seperti diare, Tuberculosis, ispa, malaria dan kecacingan, DBD (Achmadi U. F., 2013).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian penyakit berbasis lingkungan?
2. Jenis penyakit apa sajakah yang terjadi akibat lingkungan ?
3. Bagaimana paradigma kesehatan lingkungan (teori simpul)?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Untuk mengetahui pengertian penyakit berbasis lingkungan

2. Untuk mengetahui jenis penyakit apa sajakah yang terjadi akibat lingkungan

3. Untuk mengetahui paradigma kesehatan lingkungan (teori simpul)


BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyakit Berbasis Lingkungan Di Indonesia

1.1 Defenisi penyakit berbasis lingkungan


Penyakit adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi dan /atau morfologi suatu
organ dan/atau jar tubuh. (Achmadi’05). Lingkungan adalah segala sesuatu yg ada
disekitarnya (benda hidup, mati, nyata, abstrak) serta suasana yg terbentuk karena terjadi
interaksi antara elemen-elemen di alam tersebut (Sumirat’96). Penyakit Berbasis Lingkungan
adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang
disebabkan oleh interaksi manusia dengan segala sesuatu disekitarnya yang memiliki potensi
penyakit.

1.2 Situasi Penyakit Berbasis Lingkungan di Indonesia


Penyakit berbasis lingkungan masih menjadi permasalahan hingga saat ini. ISPA dan
diare yang merupakan penyakit berbasis lingkungan selalu masuk dalam 10 besar penyakit di
hampir seluruh Puskesmas di Indonesia. Menurut Profil Ditjen PP&PL thn 2006, 22,30%
kematian bayi di Indonesia akibat pneumonia. sedangkan morbiditas penyakit diare dari
tahun ketahun kian meningkat dimana pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk, lalu
meningkat menjadi 301 per 1000 penduduk pada tahun 2000 dan 347 per 1000 penduduk
pada tahun 2003. Pada tahun 2006 angka tersebut kembali meningkat menjadi 423 per 1000
penduduk.

Menurut Pedoman Arah Kebijakan Program Kesehatan Lingkungan Pada Tahun 2008
menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki penyakit menular yang berbasis lingkungan
yang masih menonjol seperti DBD, TB paru, malaria, diare, infeksi saluran pernafasan,
HIV/AIDS, Filariasis, Cacingan, Penyakit Kulit, Keracunan dan Keluhan akibat Lingkungan
Kerja yang buruk.. Pada tahun 2006, sekitar 55 kasus yang terkonfirmasi dan 45 meninggal
(CFR 81,8%), sedangkan tahun 2007 - 12 Februari dinyatakan 9 kasus yang terkonfirmasi
dan diantaranya 6 meninggal (CFR 66,7%). Adapun hal - hal yang masih dijadikan tantangan
yang perlu ditangani lebih baik oleh pemerintah yaitu terutama dalam hal survailans,
penanganan pasien/penderita, penyediaan obat, sarana dan prasarana rumah sakit.

Jenis penyakit berbasis lingkungan yang pertama disebabkan oleh virus seperti ISPA,
TBC paru, Diare, Polio, Campak, dan Kecacingan; yang kedua disebabkan oleh binatang
seperti Flu burung, Pes, Anthrax ; dan yang ketiga disebabkan oleh vektor nyamuk
diantaranya DBD, Chikungunya dan Malaria.Penyakit berbasis lingkungan masih menjadi
permasalahan untuk Indonesia, menurut hasil survei mortalitas Subdit ISPA pada tahu 2005
di 10 provinsi diketahui bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar pada bayi
(22,3%) dan pada balita (23,6%). Diare, juga menjadi persoalan tersendiri dimana di tahun
2009 terjadi KLB diare di 38 lokasi yang tersebar pada 22 Kabupaten/kota dan 14 provinsi
dengan angka kematian akibat diare (CFR) saat KLB 1,74%. Pada tahun 2007 angka
kematian akibat TBC paru adalah 250 orang per hari. Prevalensi kecacingan pada anak SD di
kabupaten terpilih pada tahun 2009 sebesar 22,6%. Angka kesakitan DBD pada tahun 2009
sebesar 67/100.000 penduduk dengan angka kematian 0,9%. Kejadian chikungunya pada
tahun 2009 dilaporkan sebanyak 83.533 kasus tanpa kematian. Jumlah kasus flu burung di
tahun 2009 di indonesia sejumlah 21, menurun dibanding tahun 2008 sebanyak 24 kasus
namun angka kematiannya meningkat menjadi 90,48%.

Para ahli kesehatan masyarakat pada umumnya sepakat bahwa kualitas kesehatan
lingkungan adalah salah satu dari empat faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia
menurutH.L Blum yang merupakan faktor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap
pencapaian derajat kesehatan. Memang tidak selalu lingkungan menjadi faktor penyebab,
melainkan juga sebagai penunjang, media transmisi maupun memperberat penyakit yang
telah ada.

a. Faktor yang menunjang munculnya penyakit berbasis lingkungan


1. Ketersediaan dan akses terhadap air yang aman
Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan sumber daya air dimana ketersediaan
air mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun, jauh di atas ketersediaan air rata-rata
didunia yang hanya 8.000 meter kubik per tahun. Namun demikian, Indonesia masih saja
mengalami persoalan air bersih. Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses
terhadap air bersih, sebagian besar yang memiliki akses mendapatkan air bersih dari penyalur
air, usaha air secara komunitas serta sumur air dalam. Dari data Bappenas disebutkan bahwa
pada tahun 2009 proporsi penduduk dengan akses air minum yang aman adalah 47,63%.

Sumber air minum yang disebut layak meliputi air ledeng, kran umum, sumur bor atau
pompa, sumur terlindung , mata air terlindung dan air hujan. Dampak kesehatan dari tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya nampak pada
anak-anak sebagai kelompok usia rentan. WHO memperkirakan pada tahun 2005, sebanyak
1,6 juta balita (rata - rata 4500 setiap tahun) meninggal akibat air yang tidak aman dan
kurangnya higienitas.

2. Akses sanitasi dasar yang layak


Kepemilikan dan penggunaan fasilitas tempat buang air besar merupakan salah satu isu
penting dalam menentukan kualitas sanitasi. Namun pada kenyataannya dari data Susenas
2009, menunjukkan hampir 49% rakyat Indonesia belum memiliki akses jamban. Ini berarti
ada lebih dari 100 juta rakyat Indonesia yang BAB sembarangan dan menggunakan jamban
yang tak berkualitas. Angka ini jelas menjadi faktor besar yang mengakibatkan masih
tingginya kejadian diare utamanya pada bayi dan balita di Indonesia.

3. Penanganan sampah dan limbah


Tahun 2010 diperkirakan sampah di Indonesia mencapai 200.000 ton per hari yang
berarti 73 juta ton per tahun. Pengelolaan sampah yang belum tertata akan menimbulkan
banyak gangguan baik dari segi estetika berupa onggokan dan serakan sampah, pencemaran
lingkungan udara, tanah dan air, potensi pelepasan gas metan (CH4) yang memberikan
kontribusi terhadap pemanasan global, pendangkalan sungai yang berujung pada terjadinya
banjir serta gangguan kesehatan seperti diare, kolera, tifus penyakit kulit, kecacingan, atau
keracunan akibat mengkonsumsi makanan (daging/ikan/tumbuhan) yang tercemar zat
beracun dari sampah.
4. Vektor penyakit
Vektor penyakit semakin sulit diberantas, hal ini dikarenakan vektor penyakit telah
beradaptasi sedemikian rupa terhadap kondisi lingkungan, sehingga kemampuan bertahan
hidup mereka pun semakin tinggi. Hal ini didukung faktor lain yang membuat
perkembangbiakan vector semakin pesat antara lain : perubahan lingkungan fisik seperti
pertambangan, industri dan pembangunan perumahan; sistem penyediaan air bersih dengan
perpipaan yang belum menjangkau seluruh penduduk sehingga masih diperlukan container
untuk penyediaan air; sistem drainase permukiman dan perkotaan yang tidak memenuhi
syarat; sistem pengelolaan sampah yang belum memenuhi syarat, penggunaan pestisida yang
tidak bijaksana dalam pengendalian vektor; pemanasan global yang meningkatkan
kelembaban udara lebih dari 60% dan merupakan keadaan dan tempat hidup yang ideal untuk
perkembang-biakan vector penyakit.

5. Perilaku masyarakat
Perilaku hidup bersih dan sehat belum banyak diterapkan masyarakat, menurut studi
Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku masyarakat dalam mencuci
tangan, setelah buang air besar 12%, setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%,
sebelum makan 14%, sebelum memberi makan bayi 7%, dan sebelum menyiapkan makanan
6 %. Studi HBS lainnya terhadap perilaku pengelolaan air minum rumah tangga menunjukan
99,20 % merebus air untuk mendapatkan air minum, namun 47,50 % dari air tersebut masih
mengandung Eschericia coli. Menurut studi Indonesia Sanitation Sector Development
Program (ISSDP) tahun 2006 terdapat 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar ke
sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka.

b. Upaya Meminimalisir Penyakit Berbasis Lingkungan


Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir terjadinya penyakit
berbasis lingkungan, diantaranya :
(1) Penyehatan Sumber Air Bersih (SAB), yang dapat dilakukan melalui Surveilans kualitas
air, Inspeksi Sanitasi Sarana Air Bersih, Pemeriksaan kualitas air, dan Pembinaan kelompok
pemakai air.
(2) Penyehatan Lingkungan Pemukiman dengan melakukan pemantauan jamban keluarga
(Jaga), saluran pembuangan air limbah (SPAL), dan tempat pengelolaan sampah (TPS),
penyehatan Tempat-tempat Umum (TTU) meliputi hotel dan tempat penginapan lain, pasar,
kolam renang dan pemandian umum lain, sarana ibadah, sarana angkutan umum, salon
kecantikan, bar dan tempat hiburan lainnya.
(3) Dilakukan upaya pembinaan institusi Rumah Sakit dan sarana kesehatan lain, sarana
pendidikan, dan perkantoran.
(4) Penyehatan Tempat Pengelola Makanan (TPM) yang bertujuan untuk melakukan
pembinaan teknis dan pengawasan terhadap tempat penyehatan makanan dan minuman,
kesiap-siagaan dan penanggulangan KLB keracunan, kewaspadaan dini serta penyakit
bawaan makanan.
(5) Pemantauan Jentik Nyamuk dapat dilakukan seluruh pemilik rumah bersama kader juru
pengamatan jentik (jumantik), petugas sanitasi puskesmas, melakukan pemeriksaan terhadap
tempat-tempat yang mungkin menjadi perindukan nyamuk dan tumbuhnya jentik.

1.3 Permasalahan Penyakit Berbasis Lingkungan di Indonesia


Permasalahan utama yang dihadapi dalam kinerja kesehatan lingkungan pada umumnya
adalah masih rendahnya jangkauan program karena keterbatasan berbagai sumber daya yang
tersedia, sehingga tingkat proteksi terhadap risiko penyakit berbasis lingkungan juga masih
rendah. Di pedesaan, masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan adalah
rendahnya akses terhadap kualitas lingkungan pemukiman seperti perumahan, pelayanan
sarana air bersih, pemanfaatan sarana jamban dan kurangnya perhatian dan kepedulian
terhadap kebersihan lingkungan. Di perkotaan, sistem pelayanan kesehatan lingkungan
seperti pelayanan air bersih, pelayanan pembuangan sampah dan limbah baik domestik
maupun industri lebih berkembang dibanding dengan di pedesaan.

Kondisi kesehatan lingkungan menunjukkan penurunan kualitas dapat sejalan dengan


situasi ekonomi. Keadaan ini juga diperburuk oleh perilaku masyarakat yang kurang peduli
dan perhatian terhadap kesehatan lingkungan tanpa menyadari manfaat yang diperoleh.
Upaya kesehatan lingkungan yang bersifat promotif, preventif, dan protektif secara
epidemiologi mampu memberikan kontribusi yang bermakna terhadap risiko kejadian
penyakit yang berbasis lingkungan, apabila jangkauan programnya (aksesibiltas) memadai.

Meskipun jangkauan pelayanannya lebih baik, namun demikian penduduk perkotaan


memiliki risiko dari berbagai pernyakit berbasis lingkungan akibat buruknya kualitas
lingkungan, seperti pencemaran udara, kebisingan, radiasi, kepenuhsesakan, dan tingginya
kejadian kecelakaan, baik akibat masalah lalu lintas, maupun kecelakan akibat kerja. Di
samping ancaman terhadap penyakit berbasis lingkungan akibat rendahnya kualitas
lingkungan hidup dan perilaku masyarakat, risiko lain yang dihadapi adalah kejadian
bencana, baik bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia

a. Jenis Penyakit Yang Terjadi Akibat Lingkungan Antara Lain :


1. Malaria
Penyakit Malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit genus
plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan gigitan nyamuk
Anopheles sp (Suhardiono 2005).Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
parasit (protozoa) dari genus Plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles. Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa Italia yaitu mal (buruk) dan area
(udara) atau udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang
mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini juga mempunyai nama lain, seperti demam roma,
demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam charges, demam kura dan paludisme
(Prabowo, 2008).

Soemirat (2009) mengatakan malaria yang disebabkan oleh protozoa terdiri dari empat
jenis spesies yaitu Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium malariae
menyebabkan malaria quartana, Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropika dan
Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale.

Indonesia merupakan negara dengan angka risiko tinggi terhadap malaria. Menurut
Soedarto dalam bukunya menyebutkan bahwa pada tahun 2007 sebanyak 396 kabupaten dari
495 kabupaten di Indonesia merupakan daerah endemis malaria. Menurut perhitungan ahli
berdasarkan teori ekonomi kesehatan, kerugian bisa mencapai 3 trilyun lebih dan berdampak
terhadap pendapatan daerah endemis malaria. Di Indonesia, malaria masih merupakan
masalah kesehatan yang harus diperhatikan. Di luar Jawa dan Bali angka morbiditas dan
mortalitas masih tinggi. Ledakan kasus atau wabah yang menimbulkan kematian juga masih
tinggi terutama di daerah transmigrasi yang merupakan wilayah dengan campuran penduduk
dari daerah endemis dan daerah non endemis.

2. Demam Berdarah
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia tenggara, Amerika tengah,
Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus Dengue yang
termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1,
Den-2, Den-3 dan Den-4, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi,
khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus 2 yang terdapat hampir di seluruh
pelosok Indonesia (Kurane I, 2007).

Di Asia Tenggara termasuk Indonesia epidemik DBD merupakan problem abadi dan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak. Hasil studi epidemiologik
menunjukkan bahwa penyakit ini terutama dijumpai pada anak-anak di bawah usia 15 tahun,
tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat ada kecenderungan peningkatan proporsi penderita
DBD pada golongan dewasa dan tidak dikemukakan perbedaan signifikan dalam kerentanan
terhadap serangan DBD antar gender (Djunaedi, 2006). Hal ini terjadi, kemungkinan
berhubungan erat dengan perubahan iklim dan kelembaban, terjadinya migrasi penduduk dari
daerah yang belum ditemukan infeksi virus dengue ke daerah endemis penyakit virus dengue
atau dari pedesaan ke perkotaan terutama pada daerah yang kumuh pada bulan-bulan tertentu
(Soegijanto, 2008).

3. Diare
Diare merupakan penyakit yang membuat penderitanya sering buang air besar dengan
kondisi tinja encer atau cair . Diare adalah salah satu penyakit yang menjadi penyebab
kematian di dunia, tercatat sekitar 2,5 juta orang meninggal tiap tahun. Penyakit ini memiliki
angka kejadian yang tinggi di negara berkembang. Diare didefinisikan sebagai buang air
besar yang frekuensinya lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer. Diare
dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu diare aku, kronik dan persisten. Agen yang dapat
menyababkan diare antara lain bisa melalui tiga jalur, yaitu: pada makanan, dalam air, atau
penularan dari satu orang ke orang lain. Perbedaan cara penularan melalui ketiganya
tergantung pada potensi ketersediaannya di lingkungan tempat tinggal kita dan reflek yang
diperlukan agen tersebut untuk memunculkan infeksi.

Kondisi cuaca yang yang sering mengalami perubahan dan meningkatnya aktifitas
manusia, secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Imbas yang paling
dapat dirasakan adalah meningkatnya intensitas penyakit berbasis ekosistem, seperti diare,
demam berdarah, penyakit kulit dan penyakit lainnya. Peran lingkungan sebagai penopang
kehidupan makhluk hidup menurun seiring berjalannya waktu dan ini ternyata berimbas
terhadap perkembangan penyakit berbasis ekosistem di lingkungan masyarakat. Dengan
penanganan yang tepat infeksi diare jarang bisa menjadi suatu hal yang fatal.

Penanganan diare dapat dilakukan melalui metode LINTAS Diare ( Lima Langkah
Tuntaskan Diare ). Usaha pengobatan sendiri dilakukan karena pengaruh pertimbangan
ekonomi, kepraktisan dalam pengobatan, serta anggapan bahwa gejala yang diderita masih
tergolong ringan dan mudah diobati. Kegiatan pencegahan penyakit diare yang benar dan
efektif yang dapat dilakukan melalui perilaku sehat dan penyehatan lingkungan. Penyakit
menular ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan, agen penyebab penyakit,
dan pejamu. Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting
karena merupakan penyumbang utama ketiga angka kesakitan dan kematian anak di berbagai
negara termasuk Indonesia. Setiap anak mengalami episode serangan diare ratarata 3,3 kali
setiap tahun. Lebih kurang 80% kematian terjadi pada anak berusia kurang dari dua tahun.

4. Kebisingan
Kebisingan merupakan salah satu penyebab “penyakit lingkungan“ yang penting.World
Health Organization (WHO) melaporkan tahun 2000 terdapat 250 juta (4,2 %) penduduk
dunia mengalami gangguan pendengaran dari dampak kebisingan dalam berbagai bentuk.
Sekitar 75- 140 juta (50%) di Asia Tenggara, dan Indonesia menempati urutan ke empat di
Asia Tenggara yaitu 4,6 % orang terancam menderita tuli akibat bising. Seiring dengan
semakin meningkatnya pembangunan dalam segala bidang termasuk kemajuan teknologi
membawa pengaruh negatif lainnya bagi kehidupan manusia. Salah satu sektor kemajuan
yang sangat pesat adalah sarana transportasi yang dapat mempermudah dan juga
mempercepat manusia dalam menjalankan suatu kegiatan.

Kebisingan merupakan suatu masalah yang tidak dapat dihindari akibat kemajuan sarana
transportasi tersebut. Tingkat kebisingan dari lalu lintas jalan raya, pesawat terbang, ataupun
kereta api menunjukkan bahwa intensitas suara yang dihasilkan cukup tinggi dan mempunyai
tingkat fluktuasi yang tinggi pula. Masalah kebisingan ini sudah semakin mengancam tingkat
kenyamanan dan kesehatan manusia.

5. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)


Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan organ
saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah. Infeksi ini disebabkan
oleh virus, jamur, dan bakteri ( Danusantoso, 2012).

Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, karena sistem
pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia
diperkirakan 3 sampai 6 kali pertahun, yang berarti seorang balita rata- rata mendapat
serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun. Istilah ISPA meliputi tiga unsur
yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut. ISPA adalah penyakit menular dari saluran
pernapasan atas atau bawah yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit berkisar
dari infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen
penyebabnya, faktor pejamu dan faktor lingkungan.

6. Tuberkulosis Paru (TB-paru)

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang
(basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis. Bakteri pertama kali
ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 maret 1882, sehingga untuk mengenang jasa
bakteri tersebut diberi nama basil Koch. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah
atau dahak penderita yang mengandung basil berkulosis paru. Pada waktu penderita batuk
butir-butir air ludah beterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk
kedalam paru-parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru (Putro G.
dan Edi N., 2012).

Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa
jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan,
kuman TB Paru tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-
bagian tubuh lainnya.

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak negatip (tidak
terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang
terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita
Tuberkulosis paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantarannya gizi buruk atau
HIV/AIDS.

7. Asbestosis
Asbestosis adalah penyakit pneumoconiosis yang diakibatkan oleh penimbunan serat
asbes dalam paru. Asbes adalah senyawa kompleks magnesium yang mengandung senyawa
oksida silicon. Dalam masalah pencemaran, salah satu sumber perubahan lingkungan yaitu
akibat kegiatan manusia atau proses alam, bentuk perubahannya adalah berubahnya
konsentrasi suatu bahan dalam lingkungan dan merosotnya fungsi lingkungan untuk
menunjang kehidupan. Merosotnya kualitas lingkungan juga tidak akan menjadi perhatian
besar jika tidak terkait dengan kebutuhan hidup manusia sendiri sehingga bahasan tentang
pencemaran dan konsep penanggulangannya lebih mengarah kepada upaya mengenai bentuk
kegiatan manusia yang menjadi sumber pencemaran. Jatuhnya penestrasi zat pencemar ke
dalam tubuh tergantung pada jenis pencemar. Partikulat berukuran besar dapat bertahan
disaluran pernapasan bagian atas, sedangkan partikulat kecil dan gas dapat mencapai paru-
paru kemudian zat pencemar diserap oleh system peredaran darah dan menyebar keseluruh
tubuh. Dampak yang paling umum adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) termasuk
diantaranya asma, bronkitis, dan gangguan pernafasan lainya. Seperti halnya penyakit
asbestosis yang disebabkan oleh terhisapnya debu atau serat asbes melalui pernapasan.

Dalam suatu penelitian pada tahun 2005 World Health Organization (WHO) melaporkan
bahwa 107.000 kematian tahunan global disebabkan oleh mesothelioma kanker paru-paru
yang berhubungan dengan asbes dan asbestosis. Pajanan asbes diperkirakan menyebabkan
43.000 kematian karena mesothelioma dan 7000 kematian karena asbestosis di seluruh dunia
(WHO, 2005) Asbes dapat digolongkan menjadi dua bagian. Golongan serpentine (krisotil
yang merupakan hidroksida magnesium silikat dengan komposisi Mg6(OH)6(Si4O11) H2O),
dan amphibole dari mineral-mineral pembentuk batuan, termasuk: actinolite, amosite,
anthophyllite, chrysotile, crocidolite, dan tremolite”.

B. Paradigma Kesehatan Lingkungan

1.1 Pengertian Paradigma Kesehatan Lingkungan

Ilmu kesehatan lingkungan adalah ilmu multidisipliner yang mempelajari dinamika


hubungan interaktif antara sekelompok manusia atau masyarakat dengan berbagai perubahan
komponen lingkungan hidup manusia yang diduga dapat menimbulkan gangguan kesehatan
pada masyarakat dan mempelajari upaya untuk penanggulangan dan pencegahannya
(Chandra, 2007). Paradigma kesehatan lingkungan adalah penggambaran model mempelajari
hubungan interaktif antara komponen lingkungan yang berperan dalam timbulnya gangguan
kesehatan terhadap masyarakat dalam suatu wilayah untuk tujuan pencegahan penyakit.

Paradigma kesehatan lingkungan adalah penggambaran model mempelajari hubungan


interaktif antara komponen lingkungan yang berperan dalam timbulnya gangguan kesehatan
terhadap masyarakat dalam suatu wilayah untuk tujuan pencegahan penyakit. Paradigma
kesehatan lingkungan juga sering disebut dengan teori simpulan. Paradigma kesehatan
lingkungan atau teori simpul juga dapat menggambarkan pathogenesis kejadian penyakit.
gambaran model interaksi antara lingkungan dengan manusia dapat digunakan untuk upaya
pencegahan dan menentukan pada titik mana atau simpul mana kita dapat melakukan
pencegahan, Menurut paradigma kesehatan lingkungan maka resultan dari hubungan
interaktif antara lingkungan dan variabel kependudukan adalah gangguan kesehatan
(Achmadi, 1991 dalam Achmasi, 2013).

Paradigma kesehatan lingkungan merupakan keadaan pikiran yang berhubungan dengan


terjadinya penyakit/gangguan kesehatan yang berhubungan dengan faktor lingkungan.
Paradigma kesehatan lingkungan menggambarkan interaksi antara lingkungan dan dinamika
perilaku penduduk. Pemodelan hubungan antara berbagai variabel demografis dan hasil
penyakit sangat penting untuk menganalisis kejadian kesehatan dan penyakit di lingkungan.
Model yang lebih kompleks dikembangkan dari model dasar dengan mempertimbangkan
semua variabel yang diperoleh dari berbagai kemajuan penelitian atau tinjauan pustaka
terkini. Dalam situasi model ini, kesehatan lingkungan meninjau beragam masalah kesehatan
dari interaksi antara berbagai bahan, kekuatan, dan zat hidup yang berpotensi menyebabkan
penyakit akibat perubahan lingkungan dan sosial, serta upaya pencegahan masalah kesehatan
yang diakibatkannya. Berbagai zat hidup, kekuatan, zat atau komponen yang dapat
menyebabkan penyakit selalu berubah dari masa ke masa, dan dari tempat ke tempat, karena
selalu ada sumber perubahan yang aktif menyebabkan penyakit. Sumber perubahan dapat
berupa aktivitas manusia, seperti pabrik atau transportasi, pemukiman, dll, atau peristiwa
alam, seperti gunung berapi dan beragam reaksi kimia alami yang berlangsung.

Paradigma kesehatan lingkungan atau teori simpul dapat menjelaskan bahwa terdapat 5
simpul didalamnya diantaranya adalah sebagai berikut (Achmadi, 1987; Achmadi, 1991
dalam Achmasi, 2013):
a. Simpul 1 yaitu sumber penyakit.
Sumber penyakit adalah titik dimana dapat mengemisikan agent penyakit. Agent penyakit
adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (penyakit)
melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara yang mana juga merupakan
komponen lingkungan. Agen Penyakit dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu
mikroorganisme (Virus, jamur, bakteri dll), Kelompok fisik (kebisingan, getaran, radiasi) dan
kelompok bahan kimia toksik (pestisida, merkuri, cadmium dll).

b. Simpul 2 yaitu media transmisi penyakit


Media transmisi penyakit adalah wahana atau alat perantara yang digunakan penyakit
untuk dapat menyebar secara luas. Media transmisi penyakit antara lain udara, air,
tanah/pangan, binatang atau serangga dan bisa juga manusia secara langsung. media
transmisi penyakit tidak akan menimbulkan potensi penyakit jika didalamnya tidak ada bibit
penyakit atau bibit penyakit.

c. Simpul 3 yaitu perilaku pemejanan (Behavioural Exposure)


Perilaku pemejanan adalah kegiatan kontak antara manusia dengan komponen
lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit. Agent penyakit dengan atau tanpa
menumpang komponen lingkungan lain dapat masuk kedalam tubuh melalui suatu proses
yang dikenal dengan proses "hubungan interaktif".

d. Simpul 4 yaitu Kejadian Penyakit


Dampak adalah suatu hasil dari interaksi antara sumber penyakit dengan manusia,
dampak disini bisa berupa sakit maupun sehat. Penyakit merupakan outcame interaktif antara
penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Penyakit
bisa berupa kelain bentuk, kelainan fungsi, kelainan genetik, yang mana merupakan hasil
interaksi dengan lingkungan baik fisik maupun sosial.

e. Simpul 5 yaitu Variabel Supersistem


Variabel supersistem disini adalah iklim, topografi, suhu lingkungan , kelembaban dan
supersistem lainya yakni keputusan politik berupa kebijakan mikro dan makro yang bisa
mempengaruhi semua simpul, misanya adalah kebijakan pembangunan berwawasan
lingkungan kesehatan.
1.2 Contoh Terapan Paradigma Kesling di Indonesia

Metode pendekatan dengan paradigma Pilah-Kumpul-Manfaat-Untung (PKMU) dapat


dipahami masyarakat dan akan berdampak terhadap pengurangan sampah yang akan dibuang
ke tempat sampah akhir (TPA). Melalui metode ini sampah sudah mulai dilakukan pemilahan
pada level rumah tangga sehingga cara ini membantu mengurangi volume sampah terutama
bahan-bahan yang tidak mudah terurai di lingkungan seperti plastik, kaleng, dan lainnya.

Selain itu, melalui pembentukan bank - bank sampah di lingkungan permukiman, dimana
sampah-sampah yang dihasilkan rumah tangga dilakukan pemilahan terlebih dahulu sebelum
dibuang ke tempat penampungan sementara, dan untuk sampah yang dapat dimanfaatkan
kembali atau didaur ulang akan ditampung oleh bank sampah, sehingga masih memiliki nilai
ekonomi. Dengan demikian selain berdampak ekonomi, jumlah timbulan sampah yang
diangkut sampai ke tempat pembuangan akhir diharapkan dapat pula dikurangi secara
signifikan dan dapat menjaga keseimbangan daya dukung dan fungsi TPA dalam menjaga
kesehatan manusia dan lingkungannya.

Menurut Huber-Humer dan Lechner (2011), TPA yang berkelanjutan didefinisikan


sebagai suatu sistem yang ditujukan untuk mencapai keseimbangan yang dapat diterima oleh
lingkungan dalam satu generasi (30-40 tahun). Disaat penghalang fisik pada TPA gagal
untuk menghambat pencemaran, pelepasan emisi mengakibatkan tingginya beban lingkungan
yang harus diatasi untuk menghindari ancaman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Berdasarkan tanya jawab selama kegiatan, para peserta menunjukkan pengetahuan dan
pemahaman yang meningkat dengan banyaknya pertanyaan terkait PKMU dan SBABS serta
motivasi untuk mengimplementasikannya. Mereka meminta untuk ada tindaklanjut kegiatan
melalui praktek nyata dan terus mendapat bimbingan baik dari perguruan tinggi, pemerintah
daerah, maupun pihak-pihak lainnya. Kegiatan pengabdian ini juga merupakan upaya dalam
menumbuhkan kebiasaan masyarakat dalam mengelola sampah agar mencapai kesadaran dan
kebiasaan yang tumbuh dan menjadi kebutuhan masyarakat agar kebiasaan pengelolaan
sampah ini berkelanjutan.
Menurut Mahyudin (2014) keberlanjutan tidak akan bisa berjalan tanpa adanya kemauan
dan kesadaran dari masyarakat, selama ini indikator pemenuhan kebutuhan masyarakat dan
peningkatan standar ekonomi dan perkembangan kemajuan telah dijadikan dasar alasan
dalam meningkatnya jumlah sampah yang harus ditampung lingkungan. Fokus pengelolaan
sampah baru tertuju pada masalah teknis, dampak lingkungan, ekonomi dan sosial. Tapi akar
permasalahan utama yaitu permasalahan paradigma dan pola pikir belum menjadi
pertimbangan banyak pihak dalam mengelola sampah.

Pengelolaan sampah di masyarakat masih menggunakan paradigma pengelolaan sampah


yang bertumpu pada pendekatan akhir (paradigma kumpul–angkut–buang) yang sudah
saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru menjadi pengolahan yang bertumpu
pada pengurangan sampah dan penanganan sampah melalui bank sampah. Tujuan
pengabdian masyarakat ini adalah sosialisasi dan pendirian bank sampah dalam upaya
pengelolaan sampah rumah tangga di RT.06 Kelurahan Penurunan Kota Bengkulu. Metode
yang digunakan pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah sosialisasi,
pelatihan teknis, pendampingan dan monitoring evaluasi kegiatan bank sampah. Kegiatan ini
ditujukan untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan warga RT.06
Kelurahan Penurunan sebagai mitra dalam penerapan sistem bank sampah. Pendirian bank
sampah ini merupakan momentum awal dalam membina kesadaran kolektif masyarakat
untuk mulai memilah, mendaur-ulang, dan memanfaatkan sampah.

Hal ini penting, karena sampah mempunyai nilai jual dan pengelolaan sampah yang
berwawasan lingkungan dapat menjadi budaya baru Indonesia. Semua kegiatan dalam sistem
bank sampah dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat. Seperti halnya bank konvensional,
bank sampah juga memiliki sistem manajerial yang operasionalnya dilakukan oleh
masyarakat. Bank sampah bahkan bisa juga memberikan manfaat ekonomi untuk masyarakat.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit Berbasis Lingkungan adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi atau
morfologi suatu organ tubuh yang disebabkan oleh interaksi manusia dengan segala sesuatu
disekitarnya yang memiliki potensi penyakit. Kejadian penyakit pada dasarnya berbasis
lingkungan. Munculnya gejala-gejala penyakit pada kelompok tertentu merupakan resultante
hubungan antara manusia ketika bertemu atau berinteraksi dengan komponen lingkungan yang
memiliki potensi bahaya kejadian penyakit atau munculnya sekumpulan gejala penyakit.
Beberapa contoh penyakit berbasis lingkungan adalah seperti diare, Tuberculosis, ispa, malaria
dan kecacingan, DBD (Achmadi U. F., 2013).

Paradigma kesehatan lingkungan merupakan keadaan pikiran yang berhubungan dengan


terjadinya penyakit/gangguan kesehatan yang berhubungan dengan faktor lingkungan.
Paradigma kesehatan lingkungan menggambarkan interaksi antara lingkungan dan dinamika
perilaku penduduk. Pemodelan hubungan antara berbagai variabel demografis dan hasil penyakit
sangat penting untuk menganalisis kejadian kesehatan dan penyakit di lingkungan. Model yang
lebih kompleks dikembangkan dari model dasar dengan mempertimbangkan semua variabel
yang diperoleh dari berbagai kemajuan penelitian atau tinjauan pustaka terkini. Dalam situasi
model ini, kesehatan lingkungan meninjau beragam masalah kesehatan dari interaksi antara
berbagai bahan, kekuatan, dan zat hidup yang berpotensi menyebabkan penyakit akibat
perubahan lingkungan dan sosial, serta upaya pencegahan masalah kesehatan yang
diakibatkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. (2013), Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan, PT. Rajawali


Pers,Jakarta.

Achmasi, Umar Fahmi. 2013. Kesehatan Masyarakat Teori dan Aplikasi. Depok:Raja
Grafindo
Danusantoso, H. (2012), Ilmu Pnyakit Paru Edisi 2, Penerbit EGC, Jakarta.
Djunaedi, D. 2006.Demam Berdarah Dengue (DBD).Malang : Penerbit Universitas
Muhammadiyah Malang.
Huber-Humer M And Lechner P. 2011. ScienceDirect Waste Management Journal.
Sustainable landfilling or sustainable society without landfilling? Waste
Management. 31:1427–1428
Kurane I. 2007, “Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on Immunopathogenesis.
Comparative Immunology”, Microbiology & Infectious Disease, vol. 30, no. 3, pp. 329-
40.
Mansjoer arif, dkk. 2001.Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta : Media Aesculapius.
Prabowo, Arlan. 2008. Malaria Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara.
Prasetyo, R., & Siagian, T. H. (2018). Determinan penyakit berbasis lingkungan pada
anak balita di Indonesia. Jurnal Kependudukan Indonesia, 12(2), 93-104.

Putro G. dan Edi N., (2012), “Profil Penderita Tb Paru Klinis Yang Tidak Berobat di
Pelayanan Kesehatan di Indonesia Tahun 2010”, Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, vol. 15, no. 3, hal. 214-322.
Soegijanto, S. 2008.Demam Berdarah Dengue.Surabaya : Airlangga University Press.
Soemirat, Juli. 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Suhardiono (2005), “Faktor-Faktor yang berhubungan dengan insiden penyakit malaria di


kelurahan teluk dalam kecamatan teluk dalam kabupaten nias selatan”, Jurnal
Mutiara Kesehatan Indonesia, vol. 1, no. 2, hal. 22-34.

Anda mungkin juga menyukai