Disusun Oleh:
NIM: 19.111.1.059
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
karunia-Nya kepada kita khusunya kepada kami penulis makalah, sehingga
dengan hal itu kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah kami yang berjudul
“Keharusan Ghad Al-Bashar (Menjaga Pandangan) Bagi Mukmin Dalam
Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir Terhadap QS. An-Nur [24] Ayat 30-32)”
ini. Dengan penulisan makalah ini diharapkan para pembaca mengetahui sedikit
pembahasan tentang salah satu keharusan bagi umat Mukmin untuk selalu
menjaga pandangannya terhadap Ajnabiy-nya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia dewasa ini sudah berada dalam era yang dikenal
dengan era globalisasi, yakni suatu kondisi dimana kehidupan manusia sudah
tanpa adanya batas atau sekat wilayah sehingga dapat berhubungan antara
satu dengan yang lainnya dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun. Proses
globalisasi tersebut ditandai dengan semakin berkembang dengan pesatnya
dunia ilmu dan tekhnologi informasi yang kemudian memberikan dampak
yang cukup signifikan terhadap segala aspek kehidupan manusia, baik
dampak positif maupun negatif, baik berdampak pada aspek sosial
kemasyarakatan yang melingkup segala nilai-nilai sosial yang berlaku
didalamnya, aspek kebudayaan, bahkan aspek keagamaan. Dampak positif
dari adanya perkembangan tekhnologi tersebut diantaranya adalah
sebagaimana disebutkan diatas yakni mempermudah segala kebutuhan
manusia, baik primer, sekunder, bahkan tersier mereka, sementara dampak
negatif yang dihasilkannya seperti sudah semakin memudarnya sikap
apresiasi terhadap budaya lokal, pergeseran nilai moralitas masyarakat,
perubahan gaya hidup yang tidak baik, dan sebagainya.
: َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم: َعْن َك ِثْيٍر ْبِن َع ْبِد ِهللا ْبِن َع ْمٍرو ْبِن َع ْو ٍف َعْن َأِبْيِه َعْن َج ِّد ِه َقاَل
ِك َتاَب ِهللا َو ُس َّنِة َر ُسْو ِلِه:َتَر ْك ُت ِفْيُك ْم َأْم َر ْيِن َلْن َتِض ُّلوْا َم ا َتْم َس ْكُتْم ِبِهَم ا2
Telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat
selama berpegang teguh pada keduanya yaitu: Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah SAW. (HR. Imam Malik)
1
Abdul Aziz Al-Ghazali, Ghadl al-Bashar, Terj. Abdul Hayyi al-Kattani, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003).Hal. 54.
2
Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, (Damaskus: Mu’assasah al-Risalah Nasyirun, 2013),
Kitab Al-Qadar Bab Al-Nahyu ‘an Al-Qaul bil Qadar. Hal. 688.
Dari hal tersebut yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini,
didalam makalah ini akan sedikit membahas mengenai perintah menjaga
pandangan tersebut menurut perspektif al-Qur’an surat an-Nur ayat 30 dan 31,
dengan merujuk kepada interpretasi para ulama-ulama mufassir, baik
kontemporer maupun klasik, dalam makalah juga akan dipaparkan berbagai
penjelasan pendukung sebagai penguat dari penafsiran itu sendiri.
B. Rumusan Pembahasan
PEMBAHASAN
6
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud: Seleksi Hadits Shahih
dari Kitab Sunan Abu Daud, Terj. Tajuddin, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007). Hal. 810.
7
Abdul Aziz Al-Ghazali, Op.Cit, Hal. 30.
Dari beberapa klasifikasi pandangan yang telah disebutkan, dapat difahami
bahwasannya konsep ghadl al-bashar dalam Islam secara umum merupakan
sebuah kewajiban bagi setiap Mukmin, sebab segala bentuk pandangan
terhadap orang lain yang bukan mahram sendiri pada esensinya adalah sebuah
keharaman, beberapa pandangan yang kemudian diperbolehkan oleh
syari’atpun disebabkan karena adanya ‘illah yang menjadikan sesuatu yang
diharamkan tersebut menjadi kebolehan atau bahkan kesunnahan. Oleh
karenanya, sebagai seorang Mukmin sudah seharusnya selalu menjaga
pandangannya dari segala hal yang diharamkan, sebab hal tersebut merupakan
awal dari segala bentuk kriminalitas yang dilarang oleh agama Islam, selain itu
dari beberapa bentuk pandangan yang diperbolehkan merupakan sebuah
rukhsah (keringanan) yang diberikan oleh syari’at kepada umat Mukmin, maka
sudah seharusnya kesempatan tersebut harus digunakan dalam kebermanfaatan
dan bukan untuk dimanfaatkan.
B. Redaksi Ayat Tentang Ghadl al-Bashar (QS. An-Nur: 30-31)
Berikut adalah dua ayat yang menjelaskan tentang keharusan seorang
Mukmin menjaga pandangannya (ghadl al-bashar):
1. QS. An-Nur [24] ayat 30
)30( ُقْل ِّلْلُم ْؤ ِمِنْيَن َيُغُّض ْو َن ِم ْن َأْبَص اِر ِهْم َو َيْح َفُظْو َن ُفُرْو َج ُهْم ذِلَك َأْز َك ى َلُهْم ِإَّن َهللا َخ ِبْيٌر ِبَم ا َيْص َنُعْو َن8
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga
pandangannya serta memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci
bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”9
8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Sygma Examedia
Arkanleema, 1987). Hal. 353.
9
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 1999).
Hal. 1284.
َو َال َيْض ِر ْبَن ِبَأْر ُج ِلِهَّن ِلُيْع َلَم َم ا ُيْخ ٍفْيَن ِم ْن ِز ْيَنِتِهَّن َو ُتْو ُبوْا ِإَلى ِهللا َج ِمْيعًا َأُّيَها اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن َلَعَّلُك ْم
)31( ُتْفِلُح ْو َن10
Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang [biasa] terlihat.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka,
atau para perempuan (sesame Islam) mereka, atau hamba sahaya yang
mereka miliki, atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah
kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu sekalian
beruntung.11
C. Term-term yang serupa dengan ghadl al-bashar
Adapun kata-kata yang memiliki keserupaan dengan redaksi ghadl al-
bashar dalam hal makna didalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1) Term ( الطرفal-Tharf)
Secara etimologi, term الطرفmemiliki dua makna dengan masing-
masing redaksi yang digunakannya, yakni:12
a. بسكون الرأ تدل على معنى تحريك الجفن والعين:الطرف
Term الطرفdengan disukunkan huruf ra’ nya menunjukkan makna
suatu gerakan pada mata.
b. بفتح الرأ تدل على معنى:من كل شئ منتهاه والناحية َأو الجانب الطرف
Term الطرفdengan difathah ra’ nya menunjukkan makna batas dari
sesuatu atau tepinya.
10
Departemen Agama RI, Op.cit.
11
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Op.cit.
12
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Maktabah al-Syuruq al-
Dauliyyah, 2011). Hal. 575.
Adapun kata الطرفsendiri disebutkan didalam al-Qur’an sebanyak
11 kali, yaitu pada QS. al-Shaffat [37]: 48, QS. Shaad [38]: 52, QS. al-
Syu’ara [42]: 45, QS. al-Rahman [55]: 56, QS. al-Naml [27]: 40, QS.
Ibrahim [14]: 43, QS. Ali Imran [3]: 127, QS. Huud [11]: 114, QS. Thaaha
[20]: 130, QS. al-Ra’d [13]: 41, QS. al-Anbiya [21]: 44.13
2) Term (حبسهHabasah)
Secara etimologi, term habasah didalam kamus bahasa Arab al-
Wasith dijelaskan bahwa habasah memiliki makna كهœœ منعه أو َأمس:اœœحبس
(mencegah atau menahan.14 Adapun term habasah ini didalam al-Qur’an
disebutkan sebanyak dua kali, yakni didalam QS. al-Maidah [5]: 106 dan
QS. Huud [11]: 8.15
3) Term ( خذأkhada’a)
Term khada’a memiliki makna ادœœ خضع و انقtunduk, patuh, dan
merendahkan diri.16 Sebagaimana term habasah, term khada’a juga hanya
disebutkan dua kali didalam al-Qur’an, yakni dalam QS. al-Ahzab [33]: 32
dan QS. al-Syu’ara.17
D. Asbabun-Nuzul QS. An-Nur: 30-31
Terdapat banyak ulama-ulama tafsir yang mencoba mendefinisikan
asbabun-nuzul, dan dari pendapat-pendapat tersebut sebagaimana dijelaskan oleh
al-Syathi’i dalam kesimpulannya bahwa maksud dari asbabun-nuzul adalah ayat-
ayat (yang memiliki suatu peristiwa sebab turun) itu tidak turun kecuali pada masa
dimana suatu peristiwa terjadi. Oleh karena itu, pengertian asbab disini bukan
dalam pengertian kasualitas, yakni ada sebab maka ada akibat. Jadi, dapat
difahami bahwa turunnya suatu ayat bukanlah disebabkan suatu peristiwa yang
sedang terjadi pada waktu itu, namun peristiwa yang terjadi tersebut hanya
berfungsi sebagai penjelas atas pesan yang ingin disampaikan dari ayat yang
diturunkan tersebut.18
13
Muhammad Fu’ad Abdul Baqiy, Mu’jam al-Mufahrash li Alfadz al-Qur’an al-Karim,
(Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1945). hal. 523.
14
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Op.cit, hal. 157.
15
Op.cit, hal. 236.
16
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Op.cit, hal. 229.
17
Muhammad Fu’ad Abdul Baqiy, Op.cit, hal. 288.
18
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011).
hal. 275.
QS. an-Nur ayat 30-31 diturunkan di Madinah sehingga ayat ini
merupakan ayat yang termasuk dalam golongan ayat Madaniyyah, ayat
keseratus dari surat ini termasuk kedalam golongan ayat Madaniyyah. Adapun
asbabun-nuzul dari kedua ayat tersebut diantaranya adalah sebuah riwayat dari
Ibnu Katsir dari Muqathil bin Hayyan dari Jabir bin Abdillah al-Anshariy, ia
berkata bahwa salah seorang bernama Asma’ binti Murtsid, seorang pemilik
kebun kurma, yang mengaku bahwasannya kebun kurmanya sering dikunjungi
oleh wanita-wanita dengan pakaian pendek untuk bermain di kebunnya
tersebut, sehingga wanita-wanita tersebut sampai terlihat pergelangan kakinya,
demikian juga dada dan sanggul mereka. Maka melihat hal tersebut, Asma’
binti Murtsid kemudian berkata: “Alangkah buruknya pemandanagan ini.”
Maka turunlah ayat ini sebagai sebuah peringatan bagi seorang Mukmin baik
laki-laki maupun perempuan untuk menutup auratnya.
Dalam riwayat yang lain yang berkaitan dengan asbabun-nuzul dari ayat
30-31 adalah riwayat dari Ibnu Abi Hatim dari Jabir dari Ali Karramallahu
Wajhahu berkata, bahwa suatu ketika pada masa Rasulullah SAW ada seorang
laki-laki sedang berjalanan di sepanjang jalanan kota Madinah, dalam
perjalanannya, laki-laki tersebut menjumpai seorang wanita kemudian ia
melihatnya, demikian juga wanita yang membalas pandangan laki-laki tersebut.
Syaithan kemudian semakin menggoda keduanya, sehingga mereka saling
sama-sama merasa kagum satu dengan yang lain, kemudian ketika laki-laki
melanjutkan perjalanannya sedangkan pandangannya masih tertuju pada wanita
tersebut, hingga akhirnya ia menabrak tembok sampai hidungnya terluka dan
berdarah. Dengan perasaan menyesal, laki-laki tersebut berkata bahwa ia tidak
akan mengusap darahnya tersebut sebelum ia bertemu dengan Rasulullah SAW
dan menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya.
Maka ketika ia sudah bertemu dengan Rasulullah SAW dan menceritakan
perihal keadaannya, Rasulullah SAW berkata kepadanya: “Ini adalah akibat
dari dosamu”, kemudian diturunkanlah ayat ini yang mengandung makna
bahwa Rasulullah SAW melarang memandang orang lain yang bukan
mahramnya, sebab hal tersebut merupakan sebuah kemunkaran dan perbuatan
yang berdosa, kemudian perbuatan tersebut pada akhirnya akan memberikan
dampak negatif bagi pelakunya itu sendiri.19
19
Qamaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, 1997). hal. 356.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010). Jilid.
6. hal. 559.
SWT telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk jalan hidup bagi
manusia di dunia.
Pada akhir surat an-Nur disebutkan penjelasan terkait pewajiban
Allah SWT terhadap kaum Muslimin untuk mengikuti Nabi Muhammad
SAW serta memberikan ancaman dengan azab bagi mereka yang
menentangnya. Sementara pada surat al-Furqan diawali dengan penjelasan
bahwasannya Nabi Muhammad SAW telah diberikan kitab al-Qur’an
untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia. Kesamaan lainnya
seperti kedua surat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang kafir tidak
akan diberikan pahala sedikitpun atas suatu keshalehan yang dilakukan
oleh mereka, dan didalam dua surat tersebut juga dijelaskan terkait
penciptaan atau kejadian manusia.21
2. Munasabah Antar Ayat
Secara garis besar, QS. an-Nur ayat 30-31 ini saling berkaitan
dengan ayat sebelumnya, yakni 27-29, kesemua ayat tersebut masing-
masing memiliki pesan yang saling berkesinambungan. Ayat 27
menjelaskan tentang tuntunan bagi umat Mukmin untuk tidak memasuki
suatu rumah orang lain dengan tanpa sepengetahuan atau seizin
pemiliknya, ciri-ciri orang Mukmin dalam masalah ini adalah meminta izin
untuk memasuki rumah orang tersebut, kemudian mengetahui bahwa
pemilik rumah sudah mengizinkan, diakhiri dengan memberikan salam
kepadanya. Dalam ayat 27 tersebut juga dijelaskan bahwa memasuki
rumah orang lain dengan aturan-aturan tersebut merupakan kebaikan juga
bagi dirinya, sebab ia juga tidak menginginkan didatangi seseorang secara
tiba-tiba dan tanpa adanya unsur normalitas.
Adapun pada ayat ke-28 merupakan kelanjutan dari ayat 27, dalam
ayat dijelaskan bahwa “Dan jika kamu tidak menemui seorang pun
didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin.
Dan jika dikatakan “Kembalilah!” Maka (hendaklah) kamu kembali. Hal
itu lebih suci bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” Dalam ayat tersebut jelas dinyatakan sebuah larangan untuk
21
Ibid, hal. 649.
masuk ke rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya, sebab hal tersebut
termasuk melanggar hak dan kebebasan orang lain. Selanjutnya, ayat ini
juga memberi peringatan kepada umat Mukmin bahwa apabila setelah ia
izin akan tetapi pemilik rumah berkata sebagaimana didalam ayat
“Kembalilah!” maka sudah seharusnya sebagai umat Mukmin untuk
kembali, karena hal tersebut lebih baik dan terhormat secara kemanusiaan.
Kemudian pada ayat 29 juga dijelaskan hal yang sama dengan ayat
sebelumnya dan juga berkaitan dengan ayat setelahnya, bahwasannya ayat
tersebut berisi peringatan untuk tidak memasuki atau bahkan menempati
rumah-rumah yang kosong (rumah umum) dengan tujuan yang dilarang
oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, akan tetapi jika didasarkan dengan niat
yang baik karena adanya suatu hajat maka hal tersebut diperbolehkan.
Karena sesungguhnya Allah SWT sungguh mengetahui segala hal yang
tampak maupun tersembunyi.
Dari ketiga keterangan ayat diatas dapat kita fahami bahwasannya
pada ayat-ayat yang lalu Allah SWT memberikan peringatan kepada umat
Mukmin untuk tidak memasuki rumah orang lain tanpa sepengetahuan dan
seizin pemilik rumah, memberi salam, dan apabila pemilik rumah tidak
memberi izin, maka seyogyanya bagi seorang Mukmin untuk kembali.
Allah SWT memberikan peringatan tersebut bukan tanpa tujuan, adanya
peringatan-peringatan tersebut dalam rangka mencegah sesuatu hal yang
tidak diinginkan seperti melihat aib pemilik rumah, selain itu juga menjaga
hak dan kebebasan orang tersebut.
Petunjuk al-Qur’an tidak sampai disitu saja, al-Qur’an selalu
memberikan pedoman bagi manusia agar kehidupannya terarah sesuai
yang diridhai Allah SWT dan agar manusia tidak terjerumus kedalam
lubang kesesatan. Dalam ayat 30 dijelaskan tentang pedoman atau norma-
norma bersosialisasi antara laki-laki dan perempuan, dalam ayat
disebutkan salah satu norma tersebut adalah dengan menjaga pandangan
(ghadl al-bashar), baik laki-laki ke perempuan maupun sebaliknya,
menjaga kemaluan, agar terhindar dari segala keburukan yang ditimbulkan
darinya, seperti perzinahan.22 Perintah menjaga pandangan ini sesuai
dengan izin memasuki rumah orang lain dengan meminta izin terlebih
dahulu, sebab dengan memasuki rumah tanpa izin dikhawatirkan
seseorang akan melihat aib pemilik rumah, terlebih memasuki tempat-
tempat umum yang jauh dari pemukiman masyarakat, maka kemungkinan
untuk melakukan kemaksiatan semakin besar.
Oleh sebab itu, untuk menghindari segala hal yang menimbulkan
kemaksiatan, didalam ayat ke-31 berisi perintah untuk seorang Mukmin
terutama perempuan untuk menutup auratnya, menjulurkan jilbabnya
sampai menutupi dadanya, sebab salah satu perhiasan wanita adalah
dadanya, selain itu juga seorang wanita yang beriman seyogyanya jangan
menampakkan hal-hal yang dapat menarik perhatian lawan jenis, karena
hal tersebut dapat menarik perhatian mereka.
F. Penafsiran dan Analisis QS. An-Nur [24] Ayat 30-31
1) QS. An-Nur: 30
Khitab dari lafadz ُق ْلpada ayat tersebut ditujukan kepada Nabi
Muhammad SAW berupa perintah kepada orang-orang yang beriman
(baik laki-laki maupun perempuan) untuk menjaga pandangannya
masing-masing dari segala hal yang diharamkan oleh Allah SWT, Allah
SWT juga memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar beliau
memerintahkan kepada umatnya untuk tidak melihat atau memandang
sesuatu yang diharamkan, kecuali yang telah Allah SWT perbolehkan
untuk dipandang olehnya. Maka apabila seorang Mukmin melihat sesuatu
yang dilarang oleh Allah SWT, maka segeralah memalingkan
pandangannya dari hal tersebut.
Pada ayat ini, lafadz َيُغُّض ْو َنmenjadi titik pembahasan. Term َيُغُّض ْو َن
(yaghudldlu) secara etimologi berasal dari kata dasar غضyang bermakna
menundukkan atau mengurangi. Maksudnya adalah menundukkan
pandangan atau mengalihkan pandangan, serta tidak menetapkannya
pada objek yang dilarang oleh agama.23
22
Departemen Agama RI, Op.cit, hal. 594.
23
Op.cit
Dapat kita ketahui bahwasannya bentuk derevasi yang digunakan
untuk mengungkapkan term غضpada ayat adalah menggunakan bentuk
fi’il mudhari’ َيُغُّض ْو ا. Apabila dilihat dari kacamata ilmu sintaksis, fi’il
mudhari’ merupakan kata yang menunjukkan suatu pekerjaan yang
dilakukan pada masa sekarang (haal) dan yang akan datang (mustaqbal),
sementara konotasi dari fi’il mudhari’ sendiri menurut al-Zamakhsyari
adalah menunjukkan suatu peristiwa yang terus terjadi secara berulang-
ulang dan berkesinambungan. Kata kerja (Fi’il mudhari’) menunjukkan
makna sesuatu yang dilaksanakan secara berulang-ulang dan
berkesinambunga, akan tetapi sifat tersebut belum melekat pada diri
seorang Mukmin.24
Maka apabila kaidah tersebut diaplikasikan didalam term َيُغُّض َو
yang terdapat didalam ayat, dapat diketahui bahwa makna implisit dari
term tersebut yang kemudian berpengaruh pada ayat adalah bahwasannya
Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
memperingatkan kaumnya agar selalu menjaga pandangannya dari hal-
hal yang dilarang, jika disesuaikan dengan kaidah maka perintah menjaga
pandangan tersebut ditujukan kepada umat Mukmin agar dilakukan
secara terus menerus dan berkesinambungan, kapanpun, dimanapun, dan
dengan siapapun orang yang dilarang kepadanya untuk dipandang. Hal
ini juga sesuai dengan realitas masyarakat yang berperan sebagai pelaku
sosial yang tidak akan pernah bisa hidup secara individu, akan selalu
membutuhkan orang lain, dan akan selalu berinteraksi antar sesama
individu, dan didalam proses interaksi tersebut sudah tentu seseorang
akan melihat orang yang berinteraksi dengannya.
Selain term َيُغُّض ْو َنyang menjadi titik pembahasan dalam ayat
tersebut adalah term َيْح َفُظ ْو َنyang membicarakan tentang furujahum,
lafadz tersebut adalah bentuk plural dari farj yang bermakna celah
diantara dua sisi.25 Konteks term kedua ini memiliki konotasi makna
yang sama dengan term sebelumnya, dimana lafadz tersebut berbentuk
24
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016).
hal. 322-323.
25
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Op.cit, hal. 703.
fi’il mudhari’. Sebagaimana kaidah yang telah dijelaskan bahwa
penggunaan fi’il mudhari’ menunjukkan makna sesuatu yang
dilaksanakan oleh seseorang secara continue (berulang-ulang) dan
berkesinambungan, akan tetapi sifat tersebut belum melekat pada diri
orang tersebut. Konotasinya adalah umat Mukmin diperintahkan oleh
Allah SWT melalui ayat tersebut untuk selalu menjaga kemaluannya,
maksudnya adalah menutupinya agar tidak terlihat oleh orang yang tidak
halal baginya.
Dua perintah Allah SWT pada ayat diatas memiliki sedikit
perbedaan dalam hal redaksinya, redaksi perintah yang pertama yakni
َيُغُّض ْو َن ِم ْن َأْبَص اِر ِهْمmenggunakan huruf jar min من, sementara redaksi
kedua yakni َيْح َفُظْو َن ُفُرْو َج ُهْمtanpa adanya min. Huruf min sendiri diartikan
dengan makna sebagian, hal tersebut memiliki konotasi bahwa memang
agama sendiri memberi keringanan bagi mata dan pandangan manusia,
hanya sebagian yang diharamkan sementara sebagian yang lain
diperbolehkan atau bahkan disunnahkan.
Dari kedua term tersebut dapat kita analisis bahwasannya sebagai
umat Mukmin, kita diharamkan untuk melihat bagian tubuh wanita yang
haram untuk dilihat, yakni anggota tubuh yang sudah menjadi aurat bagi
mereka dan ketika aurat tersebut terbuka, sebagaimana juga diharamkan
bagi wanita melihat anggota tubuh laki-laki, yakni bagian yang sudah
menjadi aurat mereka apabila terbuka. Tidak dilarang melihat wanita
dalam keadaan semua auratnya tertutup dengan sempurna, kecuali
apabila melihat wanita dalam keadaan seperti itu didasari dengan adanya
unsur syahwat yang kemudian memungkinkan timbulnya kejahatan.26
Sementara redaksi selanjutnya dari ayat 30 ini berbicara tentang
tujuan utama dari adanya perintah-perintah tersebut, dalam ayat
disebutkan “ ذِل َك َأْز َك ى َلُهْمyang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka”. Maksudnya adalah agama Islam mensyari’atkan hal tersebut
dengan tujuan agar terciptanya masyarakat yang bersih, baik masyarakat
dalam konteks kecil maupun besar, baik bersih lingkungan maupun
26
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an Al-Majid Al-Nur, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2011). Jilid. 3. hal. 210.
bersih dari segala kejahatan. Sebab, manusia diciptakan dengan dibekali
syahwat, maka sudah seharusnya karunia tersebut digunakan sesuai porsi
dan fungsinya. Karena selain diberikan syahwat, manusia juga diberikan
akal fikiran agar ia bisa membedakan antara yang haq dan yang bathil,
dan bisa memfusikan hal tersebut sebagaimana mestinya.
Ayat 30 ini ditutup dengan redaksi “ ِإَّن َهللا َخ ِبْيٌر ِبَم ا َيْص َنُعْو َنsungguh
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Redaksi tersebut
sudah jelas disebutkan bahwa segala hal yang dilakukan oleh seseorang,
baik positif maupun negatif, baik yang tampak maupun yang tersembunyi
semuanya tidak akan pernah terlepas dari yang Maha Melihat dan
Mengetahui, yakni Allah ‘azza waa jalla.
2) QS. An-Nur: 31
Pada ayat sebelumnya, Allah SWT memerintahkan kepada Nabi
Muhammad SAW untuk menyampaikan pesanNya kepada orang-orang
yang beriman secara umum, kemudian pada ayat ini peringatan Allah
SWT ditujukan kepada manita-wanita yang beriman secara khusus.