Anda di halaman 1dari 21

CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3

Pengantar Ilmu
Politik

2
3
Revisi: 00/2019
Hal. 1 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
CHAPTER 3
PARADIGMA DALAM STUDI ILMU POLITIK

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami paradigma dan
perkembangan paradigma dalam studi ilmu politik. Mahasiswa dapat mendeskripsikan paradigma
dalam studi ilmu politik dan mampu menjelaskan perkembangan paradigma ilmu politik dari sejak
dari sejak ilmu politik berdiri sendiri atau terpisah dari induknya, filisafat, sampai dengan saat ini.

A. Paradigma sebagai Aliran Pemikiran


Terdapat dua kata yang digunakan untuk menjelaskan tentang cara ilmuwan mendeskripsikan
gejala sosial yang diamati, yaitu kata pendekatan (approach) dan kata paradigma (paradigm).

Pendekatan menurut Vernon van Dyke (1960) dalam Miriam Budiardjo (2009: 17) merupakan
suatu kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan.” Selanjutnya dijelaskan Miriam,
pendekatan mencakup standar dan tolok ukur yang dipakai untuk memilih masalah,
menentukan data mana yang akan diteliti dan data mana yang akan dikesampingkan.
Sementara itu, menurut Thomas Khun yang dikutip Mochtar Mas‟oed (1990: 8), paradigma
sebagai aliran pemikiran yang memiliki kesamaan asumsi dasar tentang suatu bidang studi,
termasuk tentang kerangka konseptual, petunjuk metodologis dan teknik analisa. Fungsi
paradigma menurut Khun adalah menuntun ilmuwan untuk menentukan masalah-masalah
mana yang penting untuk diteliti, menunjukkan cara bagaimana masalah itu harus
dikonseptualisasikan, metode apa yang cocok untuk menelitinya, dan bagaimana cara
menginterpretasikan hasil penelitian. Dari penjelasan terhadap kata “pendekatan” maupun
“paradigma”, terutama dari makna dan fungsinya nampak tidak ada perbedaan.

Dalam modul ini sengaja menggunakan kata paradigma, karena disamping memiliki penjelasan
yang relatif lebih jelas, kata paradigma yang digunakan Thomas Khun dalam menjelaskan
perkembangan ilmu, dapat dengan mudah dibandingkan dengan penjelasan perkembangan
ilmu menurut logika yang dikemukakan Karl Popper.

Menurut Mochtar Mas‟oed, terdapat dua jalan dalam memahami perkembangan ilmu, yaitu
dengan menggunakan logika yang dikembangkan Karl Popper, dan Thomas Khun. Dalam
penjelasan Popper, perkembangan ilmu berlangsung di ruang laboratorium, yaitu melalui tahap
uji falsifikasi, uji kesalahan. Ilmu atau teori-teori lama akan diuji di laboratorium untuk

Hal. 2 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
memperoleh bukti bahwa teori tersebut masih dapat dipertahankan daya lakunya
(probabilitasnya). Bila melalui uji falsifikasi tersebut teori dapat mempertahankan dirinya, maka
tetap diakui sebagai teori, sebaliknya bila teori tersebut dianggap gagal dalam uji falsifikasi,
maka akan digantikan teori baru. Berbeda dengan penjelasan Thomas Khun, paradigma
berkembang dari proses penyampaian pandangan atau pemikiran tentang penjelasan sebuah
fenomena. Pandangan atau pemikiran yang dianggap mampu menjelaskan fenomena dengan
sebab-sebab yang mempengaruhinya, akan ditetapkan sebagai normal science atau paradigma
yang telah teruji. Dengan demikian, perubahan dari satu paradigma ke paradigma lain atau dari
paradigma lama ke paradigma baru, terjadi ketika paradigma lama gagal menjelaskan
fenomena yang terjadi. Fenomena yang telah berubah, berkembang, yang kemudian
memunculkan suatu anomali, yang membuat paradigma lama tidak lagi mampu menjelaskan
fenomena atau realitas yang telah berubah tersebut.

Dengan adanya kegagalan dari paradigma lama menjelaskan fenomena yang telah berubah
tersebut, para ilmuwan disibukkan kembali untuk mengajukan pemikiran-pemikiran barunya
guna menjawab perubahan yang terjadi. Dari pemikiran-pemikiran yang disampaikan,
kemudian muncul satu paradigma yang dianggap unggul dan disepakati oleh sebagian besar
komunitas ilmuwan yang ada dalam bidang studi tersebut. Meskipun begitu, dengan munculnya
paradigma baru tidak berarti paradigma lama dianggap gugur secara total, karena perubahan
dari paradigma lama ke paradigma baru menyerupai kudeta di dunia ketiga, atau sering disebut
sebagai kudeta istana. Sebuah perubahan yang terjadi hanya pada permukaan-permukaannya
saja, tidak bersifat radikal. Disamping itu, karena setiap paradigma memiliki komunitas
pendukungnya masing-masing, dan berupaya mempertahankan serta memperbaiki
kekurangan-kekurangan dari paradigma tersebut. Akibatnya perlakuan ilmuwan dalam
hubunganya dengan banyaknya paradigma yang ada, adalah dengan menjadikan paradigma
tersebut sebagai semacam “stock of knowledge”.

Sebagaimana diketahui bahwa setiap paradigma melahirkan teori untuk menjelaskan fenomena
yang terjadi pada waktu paradigma tersebut eksis, sehingga bila diperhatikan setiap teori politik
yang muncul selalu terkait dengan atau merupakan produk dari paradigma tertentu. Oleh
karena itu, ilmuwan politik akan menggunakan teori tertentu untuk menjelaskan fenomena yang
tertentu pula. Mengingat fenomena tertentu tersebut senantiasa hadir berulang, maka para
ilmuwan dapat menggunakan teori secara berulang. Sementara fenomena politik yang muncul
sebagai peristiwa politik senantiasa tidak sama, atau bisa berulang bisa tidak, bisa berubah
bisa tetap, maka perlakukan para ilmuwan dalam menggunakan teori yang ada dapat secara

Hal. 3 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
eklektik (memilih yang terbaik dan sesuai dengan persoalan atau peristiwa yang dihadapi).
Dalam hal ini lebih longgar, tidak terpaku pada aktualitas dan akseptabilitas terhadap teori,
dengan menempatkan paradigma sebagai stock of knowledge.

Memahami paradigma keilmuwan, termasuk paradigma ilmu politik menjadi sangat penting bagi
upaya untuk memahami perkembangan ilmu tersebut dalam peranya menjelaskan gejala sosial
yang terjadi dan berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, dengan memahami setiap
paradigma yang ada dalam studi ilmu politik akan diketahui tentang bangunan yang disebut
sebagai ilmu politik secara lebih komprehensif.

B. Paradigma-Paradigma dalam studi Ilmu Politik


Terdapat paradigma yang muncul sejak ilmu politik memisahkan diri dari induknya, filsafat dan
kemudian menemukan objek materialnya berupa “kekuasaan”. Kekuasaan yang melekat dalam
lembaga atau institusi negara kemudian menjadi objek kajian yang mula-mula. Oleh karena itu,
pada tahap awal studi ini menempatkan paradigma institusional sebagai yang pertama.
Kemudian disusul dengan pendekatan perilaku atau saintifik, yang lebih memfokuskan pada
berfungsinya lembaga-lembaga tersebut dalam menjalankan proses politik. Tidak lama
berselang kemudian muncul paradigma baru yang mengkritisi pendekatan perilaku yang sering
disebut sebagai paradigma pasca perilaku. Kemudian muncul pula pendekatan di luar arus
utama (mainstream) yang disebut sebagai paradigma Neo-Marxis, dan dependensia.
Sementara di ranah mainstream muncul paradigma pilihan rasional dan new institutionalist.

Sementara itu, di ranah studi politik internasional muncul pendekatan realis yang lebih fokus
pada perebutan kekuasaan, serta pendekatan idealis yang lebih menekankan pada berperanya
hukum dan organisasi internasional dalam menjaga tertib dunia.

1. Paradigma Legal/insitusional
Disebut sebagai paradigma legal/institusional, karena dalam melihat peristiwa atau
fenomena politik lebih fokus pada ada tidaknya lembaga tersebut. Misalnya, untuk
menganalisis sistem politik di Indonesia, apakah negara tersebut memiliki sistem politik
yang baik atau tidak, akan ditelaah dari sisi ada tidaknya institusi yang mengatur sistem
politik tersebut. Mengingat untuk menilai apakah sistem politik tersebut demokratis atau
tidak, maka yang pertama-tama akan dilihat apakah ada lembaga yang menjalankan
pemilu atau tidak. Ketika ditemukan bahwa ternyata di Indonesia terdapat lembaga yang
menjalankan pemilu secara periodik untuk menetapkan atau memilih pemimpinnya, maka

Hal. 4 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
dapat disimpulkan bahwa Indonesia dikatakan sebagai negara demokrasi. Dalam analisis
tersebut tidak diarahkan apakah lembaga pemilu tersebut menjalankan atau memfungsikan
pemilu sebagaimana yang seharusnya, jujur, adil dan independen.
Begitupun untuk mengevaluasi apakah Indonesia termasuk negara otoriter atau
demokratis, bila dilihat dari sisi lembaga-lembaga yang menopang sistem politiknya, maka
akan dianalisis tentang ada tidaknya konstitusi yang mengatur keberadaan lembaga-
lembaga politik, seperti parlemen, partai politik, dan pers. Analisis yang dilakukan tidak
difokuskan pada apakah lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsinya secara benar,
dalam arti menjalankan fungsinya sebagaimana yang dijalankan di negara-negara
demokrasi. Apakah proses rekruitmen pejabat-pejabat publik di lembaga tersebut
mengikuti kaidah rekruitmen politik dengan benar, bukan menjadi perhatiannya.

Pendekatan yang mulai berkembang pada abad 19 tersebut menjadi sangat normatif,
karena memfokuskan kajian pada konstitusi yang mengacu pada norma-norma yang
berlaku di barat. Kajian yang sifatnya normatif tersebut disamping menutup peluang bagi
munculnya teori-teori yang mendasarkan pada penelitian empiris, juga cenderung menjadi
tidak kontekstual. Teori-teori normatif yang muncul hanya mendasarkan pada logika
konstitusional, yang tidak jarang bertentangan dengan realitas sosial yang berkembang di
masyarakat. Misalnya saja, ketika Indonesia membutuhkan sistem kenegaraan yang
diperlukan bagi pengembangan sistem politik yang sesuai dengan kondisi masyarakat
yang pluralis, ada dua pilihan sistem yaitu sistem presidensial atau parlementer. Minimnya
penelitian empiris terhadap realitas sosial yang dapat menjelaskan sistem apa yang sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia yang pluralistik tersebut, pada akhirnya muncul
pilihan-pilihan yang tidak mendasarkan pada penelitian empiris semacam feasibility study,
yang ada adalah sebuah trial and error, akibatnya sampai dengan sekarang masih
dirasakan. Termasuk pilihan sistem presidensial dengan presiden dipilih langsung, yang
terbukti di Amerika Latin telah memicu terjadinya kudeta militer, karena adanya dual
legitimacy yang berujung pada political deadlock (Arend Lijphart, 2002).

Pada tahun 1930an beberapa ilmuwan di Amerika Serikat, mulai mengemukakan


pandangannya terkait dengan adanya kenyataan bahwa politik merupakan kegiatan atau
proses untuk merebut kekuasaan, serta bagaimana negara saling berebut kekuasaan di
ranah internasional. Pergeseran orientasi dari narasi-narasi yang bersifat normatif ke
narasi-narasi yang lebih realistik, dengan melihat politik sebagai perebutan kekuasaan ini
pada dasarnya dipengaruhi oleh pemikiran Machiavelli yang permata-tama secara terbuka

Hal. 5 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
menyatakan bahwa politik adalah upaya memperebutkan, mempertahankan dan
menjalankan kekuasaan. Pemikir realis ini dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya ketika
berkecimpung sebagai diplomat membela negaranya di ranah percaturan politik
internasional. Itulah sebabnya, pendekatan baru dari Mazhab Chicago yang salah seorang
pelopornya bernama Charles E. Merriam ini, disebut sebagai pendukung paradigma realis.

Ilmuwan lain yang cukup dikenal dalam Mazhab Chicago ini adalah Harold D. Laswell,
salah seorang murid Merriam yang menyatakan bahwa esensi dari politik adalah
kekuasaan, terutama kekuasaan untuk menentukan kebijakan politik (Miriam Budiardjo,
2009 : 73). Pandangan baru ini, berkembang dalam studi politik internasional, dengan
tokohnya yang sangat terkenal, Hans.J Morgenthau, dengan karya Politic Among Nations :
The Struggle for Power and Peace. Pada akhirnya, pemikiran realis tersebut sedikit
berpengaruh terhadap kecenderungan berfikir yang selama ini hanya berkutat pada kajian
tentang konstitusi dan bersifat normatif menjadi lebih kepada fenomena-fenomena politik
yang terjadi di masyarakat. Meskipun untuk sebuah upaya membangun teori yang lebih
empiris dan dapat dipertanggungjawabkan secara saintifik masih banyak dipertanyakan.
Terutama terkait dengan konsep-konsep yang dikembangkan cenderung tidak dapat
diobservasi, apalagi diukur (measurable).

2. Paradigma Perilaku
Munculnya paradigma ini, merupakan bentuk keprihatinan terhadap paradigma
sebelumnya yang hanya mengkaji persoalan-persoalan politik secara normatif, dan
selebihnya hanya mengembangkan konsep-konsep yang tidak bisa diteliti secara lebih
empiris dengan menggunakan teknik-teknik matematik dan statistik, sehingga menghambat
upaya membangun teori yang didasarkan pada generalisasi empiris melalui metode
induktif, dengan teknik matematika serta statistik yang diterapkan melalui wawancara
terstruktur dan sampling, David E. Apter (1988: 334).

Paradigma yang kemudian dianggap sebagai tradisional tersebut, memperoleh kritik


secara tajam dari paradigma baru yang lebih menekankan pada analisis tentang perilaku
atau aktivitas individu dalam mempengaruhi kebijakan publik. Fokus analisis paradigma
baru pada perilaku individu tersebut, yang kemudian mengantarkan paradigma baru
tersebut disebut sebagai paradigma perilaku. Istilah perilaku (behavioralisme) diciptakan
oleh John.B Watson (1878-1958) seorang psikolog yang menganggap pengetahuan
sebagai akibat dari hubungan antara stimulus dan respon. Melalui pendekatan psikologi

Hal. 6 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
inilah kemudian kajian ilmu politik pada era perilaku, lebih banyak menelusuri persoalan-
persoalan di balik munculnya tindakan politik seseorang, dari sisi motivasi, kepentingan,
pandangan atau visi politik individu.
Sementara itu, dalam kaitanya dengan tinjauan historis dalam ilmu sosial, paradigma ini
cenderung ahistoris, non-evolusioner, sebagaimana dijelaskan Abraham Kaplan dalam
David E. Apter (1988 : 332) berikut ini.

“Sasarannya (paradigma ini-pen.) adalah menggeser perspektif metafisika, rasionalisme,


mengganti kepastian dengan kemungkinan, rasionalisme dengan ukuran kecenderungan
umum (generalisasi-pen.) dan deskripsi dengan distribusi dan ukuran penyebaran.
Mengecilkan arti hipotesa intuitif dan umum untuk mengukuhkan hipotesa empiris yang
didasarkan observasi, akan mengakibatkan sudut pandang perilaku disebut ahistoris dan
non-evolusioner.”

Kecenderungan ahistoris dalam paradigma perilaku ini, didasarkan pada satu pandangan
setiap fenomena itu unik, dan keunikan itu menjadikan setiap penjelasan terhadap
fenomena yang muncul bersifat kontekstual. Peristiwa masa lalu tidak bisa digunakan
untuk menjelaskan peristiwa hari ini, peristiwa masa lalu tidak memiliki hubungan dengan
peristiwa hari ini, sejarah tidak akan berulang. Hal yang terjadi pada masa lalu, berbeda
dengan yang terjadi hari ini, maupun yang akan datang. Artinya setiap gejala sosial,
termasuk politik bersifat ahistoris. Diktum yang menyatakan sejarah adalah politik masa
lalu, dan politik adalah sejarah masa depan tidak berlaku bagi paradigma perilaku.

Alasan paradigma baru tersebut lebih fokus pada perilaku individu bukan pada negara,
lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa lembaga-lembaga yang ada di pemerintahan
tersebut dalam menjalankan fungsinya dipengaruhi oleh orang-orang yang duduk di
lembaga tersebut. Oleh karena itu, menganalisis orang-orang di balik lembaga yang
menjalankan fungsi-fungsi politik tersebut lebih penting daripada menganalisis fungsi-
fungsi lembaga tersebut dari sisi konstitusi yang mengaturnya. Dengan menganalisis
orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang menjalankan lembaga tersebut akan
diperoleh informasi yang lebih riil, sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Dalam hal ini,
David E. Apter (1988: 331) mengemukakan; alasan tersebut merupakan refleksi dari filsafat
pragmatisme William James yang menekankan empirisme, voluntarisme, tindakan individu,
dan hubungan antara kesadaran dan tujuan, yang sejalan dengan prinsip
individualismenya –John Locke, selain juga oleh teori-teori psikologi yang digunakan untuk
menerangkan perilaku politik individunya. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan

Hal. 7 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
menurut Miriam Budiardjo (2009: 75) tidak hanya terbatas pada perilaku dan kegiatan
individu, melainkan juga orientasinya terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi,
persepsi, tuntutan, harapan, dan sebagainya. Dengan asumsi bahwa perilaku politik
hanyalah salah satu atau bagian dari keseluruhan perilaku, maka pendekatan ini
cenderung bersifat interdipliner.
Pemikir lain yang mendorong ke arah pemikiran yang lebih praktis adalah John Dewey,
yang menurut David E. Apter (1988: 331) berupaya membentuk kebenaran filsafat praktis
yang tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ideal, tetapi pada observasi pengalaman. Untuk
itulah, David E. Apter (1962) dan Albert Somit (1967) sebagaimana dikemukakan Miriam
Budiardjo (2009: 75) mengemukakan beberapa konsep pokok perilaku politik dapat
diobservasi.

1. Perilaku politik menampilkan keteraturan (regularities) yang dapat dilakukan


generalisasi, setelah dibuktikan atau diverifikasi kebenarannya.
2. Harus dipisahkan atau dibedakan antara norma (yang dijadikan acuan perilaku)
dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan berdasarkan pengamatan empiris).
3. Analisa politik tidak boleh dipengaruhi nilai-nilai pribadi, setiap analisis harus bebas
nilai (value-free), sebab benar/tidaknya nilai seperti demokrasi, persamaan,
kebebasan, tidak dapat diukur secara ilmiah.
4. Penelitian harus sistematis dan menuju pembentukan teori (theory building).
5. Ilmu politik harus bersifat murni (pure science); kajian terapan untuk mencari
penyelesaian masalah (problem solving) dan menyusun rencana perbaikan perlu
dihindarkan. Akan tetapi ilmu politik harus terbuka bagi dan terintegrasi dengan
ilmu-ilmu lainnya.

Dengan adanya orientasi baru ini, penelitian-penelitian politik melalui pengumpulan data-
data lapangan berkembang pesat. Suatu hal yang menarik kemudian terjadi pergeseran
unit analisis, dari institusi ke perilaku individu, dari struktur ke proses dan dinamika. Salah
satu yang khas dari penjelasan dalam paradigma perilaku adalah pemahaman tentang
masyarakat sebagai sistem sosial dan negara sebagai sistem politik, dimana sistem politik
dan sistem sosial saling berhubungan. Sistem sosial yang menjadi tempat bagi
beroperasinya sistem politik menjadi bagian eksternal dari sistem politik yang merupakan
bagian internalnya. Mengingat sistem-sistem tersebut bersifat terbuka, maka antara
keduanya dapat saling mempengaruhi.

Hal. 8 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
Sistem politik menjalankan fungsi konversinya, yaitu mengubah input menjadi output,
berproses dari adanya tuntutan dan dukungan yang muncul dari lingkungan di mana sistem
itu berada. Tuntutan bisa datang dari luar sistem maupun dari dalam sistem. Tuntutan yang
muncul atau datang dari luar sistem merupakan kebutuhan dari anggota masyarakat yang
ada di lingkungan sistem tersebut. Melalui proses artikulasi, agregasi, kemudian menjelma
menjadi tuntutan yang akan diperjuangkan atau diproses menjadi output berupa keputusan
atau kebijakan. Tuntutan yang datang dari masyarakat tersebut, akan berubah menjadi isu
politik (sesuatu yang siap diproses) bila memperoleh cukup dukungan, terutama dari
komunitas politik yang memiliki kewenangan untuk itu, seperti DPR, Partai Politik, dan lain-
lain. Sedangkan artikulasi dan agregasi kepentingan dapat dilakukan melalui partai politik
maupun kelompok kepentingan.

Output yang berupa keputusan maupun kebijakan tersebut menjadi bersifat otoritatif atau
mengikat bagi masyarakat karena diputuskan oleh pejabatan publik yang memiliki
kewenangan yang syah. Namun demikian, tidak semua output akan diterima masyarakat,
yang dapat dilihat dari umpan balik setelah masyarakat menerima dampak dari keputusan
atau kebijakan tersebut. Artinya umban balik (feedback) dapat berdampak positif maupun
negatif bagi masyarakat. Bila umpan balik tersebut berdampak positif, maka keputusan dan
kebijakan tersebut akan memperoleh dukungan atau diterima masyarakat. Sebaliknya bila
umpan baliknya berdampak negatif, berarti kebijakan atau keputusan tersebut bisa ditolak
atau tidak diterima masyarakat. Ketika umpan balik tersebut bersifat negatif, sistem politik
akan merespon dengan cara menjadikan umpan balik negatif tersebut sebagai input baru
atau tututan baru untuk memperbaiki keputusan atau kebijakan yang ada.

Input memang tidak selalu datang dari luar sistem, ada kalanya input datang dari dalam
sistem. Biasanya tuntutan dari dalam sistem akan memperoleh perhatian lebih dari pada
yang dari luar sistem. Baik input dari dalam maupun dari luar, merupakan energi yang
dapat menggerakkan sistem, sistem akan terus bergerak melakukan proses konversi
menakala terdapat input-input tersebut. Pendapat demikian menjadi sasaran kritik, karena
menurut Roy C. Macridis (1992 : 13) determinisme input (segala sesuatunya ditentukan
input) dalam sistem politik tersebut dianggap tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam
kenyataanya banyak sistem politik yang dapat berproses dengan tanpa bergantung pada
input, seperti di negara-negara kerajaan atau dalam sistem komunis atau otoriter lainnya.
Meskipun para kritikus determinisme input, lupa bahwa dalam sistem tersebut input atau

Hal. 9 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
tuntutan dari dalam sistem telah menghidupkan atau menjadi energi bagi tetap berjalannya
sistem politik yang ada.

Kritik yang muncul dari para ilmuwan politik, tidak hanya terbatas pada pandangan atau
pemikiran yang dikemukakan para pendukung paradigma perilaku, tetapi juga terhadap
teori sistem yang dianggap sebagai produk unggulan dari paradigma perilaku. Menurut
Miriam Budiardjo (2009 : 79) kritik terhadap paradigma perilaku datang dari kalangan
pendukung paradigma legal/institusional, yang dulunya menjadi sasaran kritik paradigma
perilaku. Beberapa ilmuwan seperti Eric Voegelin, Leo Strauss, dan John Hallowell
menyerang pendekatan perilaku yang dianggap terlalu steril karena menolak masuknya
nilai-nilai dan norma-norma dalam penelitian politik. Berbagai persoalan yang sebenarnya
penting untuk dipelajari, oleh para pendukung paradigma perilaku justru kurang
memperoleh perhatian, misalnya persoalan nilai demokrasi, nilai ideologi, atau dalam
penjelasan Miriam Budiardjo (2009: 79) “tidak pernah mencari jawaban atas sistem
demokrasi apa yang lebih baik atau bagaimana membangun masyarakat yang adil.”
Sementara kritik terhadap teori sistem David Easton datang dari berbagai pihak
sebagaimana disampaikan Ronald H. Chilcote (2003: 214) berikut ini.

1. Thomas London Thorson, menyatakan bahwa teori Easton tidak mampu


menjelaskan perubahan politik. Penekanan pada kesimbangan, integrasi sistem
dan kemapanan, menyulitkan teori system untuk menjelaskan perubahan politik
yang senantiasa terjadi di masyarakat.
2. Eugene F. Miller, berpendapat bahwa abstraksi Easton menyebabkan kekeliruan
persepsi tentang situasi masyarakat yang sebenarnya, karena pemahaman atas
fakta yang didasarkan pada tipe idealnya bukan pada fakta tersebut.
3. William C. Mitchell, menyebutkan bahwa gagasan tentang fokus terhadap alokasi
nilai otoritatif dianggap menyesatkan dan tidak memadai. Fokus terhadap alokasi
dapat menghasilkan pandangan yang seolah-olah membatasi fungsi sistem politik
sebagai alokasi nilai. Aspek kekuasaan tidak banyak dibicarakan dalam kaitanya
dengan dominasi pemerintah terhadap masyarakat.

Kritik Mitchell ini sejalan dengan pandangan kritis yang dikemukakan Roy C. Macridis
(1992 : 13-14) yang menyatakan bahwa teori sistem Easton cenderung mengabaikan
peran politik negara sebagai organisasi kekuasaan yang memiliki orientasi dan

Hal. 10 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
kepentingan sendiri, dan menempatkan negara sebagai organisasi tanpa kepentingan,
yang berperan hanya mengkonversi.

Menariknya, kemudian pada tahun 1960an kritik muncul justru dari dalam lingkaran
pendukung paradigma perilaku sendiri, yang mencapai puncaknya ketika perang Vietnam
terjadi. Berbagai persoalan yang selama ini terabaikan seperti perlombaan senjata,
diskriminasi ras, telah menyadarkan para pendukung kaum bevioralis ini untuk
mengevaluasi kembali paradigma yang telah mereka kembangkan. Mereka menginginkan
agar ilmu politik tidak hanya membangun ilmu untuk ilmu, tetapi ilmu untuk menyelesaikan
persoalan social yang dihadapi. Itulah sebabnya mereka mencanangkan perlunya relevansi
dan tindakan. Artinya ilmu politik tidak hanya berkutat pada mencari fakta untuk
membangun teori, sehingga menjebak mereka dalam hiperfaktualisme, tetapi
mengarahkan pada persoalan-persoalan yang relevan dengan upaya untuk mengatasi
persoalan social. Begitupun ilmuwan politik tidak boleh hanya berdiri dalam menara gading
sebagai teoritisi atau pemikir politik saja, tetapi melakukan tindakan yang penting untuk
mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Namun demikian, terdapat satu
hal yang masih dipertahankan dan terus didukung, yaitu agar peningkatan mutu ilmiah
yang dilakukan paradigma perilaku selama ini terus diupayakan. Salah seorang ilmuwan
pendukung utama pendekatan perilaku David Easton, yang kemudian mendukung
paradigma pasca perilaku merumuskan pokok-pokok pemikiran dalam The New Credo in
Political Science sebagaimana dikemukakan Miriam Budiardjo (2009: 81) berikut ini.

1. Penekakan pada penelitian empiris dengan metode kuantitatif, menjadikan ilmu


politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah sosial yang
dihadapi. Padahal menangani masalah sosial lebih mendesak dari pada mengejar
kecermatan dalam penelitian.
2. Pendekatan ini menjadi konservatif karena menekankan keseimbangan dan
stabilitas dalam sistem dan kurang memerhatikan perubahan.
3. Dalam penelitian, nilai-nilai tidak boleh dihilangkan; ilmu tidak boleh bebas nilai
dalam evaluasinya. Malahan para cendekiawan mengemban tugas untuk
melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah-masalah social dan
mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
4. Mereka harus merasa commited untuk aktif mengubah masyarakat agar menjadi
lebih baik. Sarjana harus berorientasi pada tindakan.

Hal. 11 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
3. Paradigma Neo-Marxis
Bukan persoalan mudah untuk menjelaskan esensi pemikiran kelompok Neo Marxis. Salah
satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memahami terlebih dahulu perbedaan antara
pemikiran Marx tua yang mengilhami pemikiran Marx klasik, dengan pemikiran Marx muda
yang kemudian menginspirasi para pemikir Neo-Marxis.

Menurut David Marsh dan Gerry Stoker (2002: 187) :


“Ada empat „isme‟ yang dihubungkan dengan Marxisme klasik : ekonomisme, determinisme,
materialisme dan strukturalisme. Marxisme adalah bersifat ekonomi dalam segi
mengistimewakan relasi ekonomi, dan determinis dalam segi ia menyatakan bahwa relasi
ekonomi menentukan relasi social dan politik. Marx menyatakan bahwa relasi materi
membentuk ide-ide dan ide dominan adalah memajukan kepentingan kelas penguasa.
Marxisme berifat strukturalis, karena Marx berpendapat bahwa struktur ekonomi
menentukan tindakan agen.”

Penjelasan Marsh dan Stoker di atas merupakan esensi dari pemikiran Marxisme klasik
yang menurut Franz Magnis Suseno (1999: 9) diklaim oleh Marx sendiri sebagai sosialisme
ilmiah, yang tidak hanya didorong oleh cita-cita moral, melainkan berdasarkan pengetahuan
ilmiah tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat, yang oleh Marx dikatakan sebagai
“paham sejarah yang materialistik”. Penjelasan tentang sosialisme ilmiah yang sering
dikatakan sebagai anti humanis ini sering dilawankan dengan pemikiran Marx muda atau
Marx pra-1846 yang humanis (ibid: 8). Aspek humanisme dalam pemikiran Marx muda
tersebut nampak dalam cita-cita moral Marx untuk membebaskan manusia dari penindasan.
Dalam penjelasan Magnis Suseno (2013: 9) dikemukakan : “Bahwa pembebasan manusia
hanya dapat dicapai dalam sosialisme, dengan menghapus hak milik pribadi atas alat-alat
produksi, dan revolusi social akan dilaksanakan oleh kelas buruh industri proletariat.”

Dengan demikian, kelompok pemikir Neo Marxis ini berbeda dengan Marxis klasik, karena
terinspirasi dari pemikiran-pemikiran Marx muda yang lebih konsen dengan nilai-nilai
kemanusiaan, atau upaya membebaskan manusia dari eksploitasi kaum kapitalis dengan
konsep nilai lebihnya, serta penjelasan tentang keterasingan manusia dari dirinya sendiri,
yang pada dasarnya merupakan bagian dari kritik Marx terhadap terhadap kapitalisme.
Dalam kaitanya dengan kritik terhadap kapitalisme ini Marx mengemukakan “pengejaran
keuntungan merupakan hal hakiki dalam kapitalisme : „tujuan dari modal bukan untuk
melayani kebutuhan-kebutuhan tertentu, akan tetapi untuk menghasilkan
keuntungan…”(Anthony Giddens, 1985: 65).

Hal. 12 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
Dalam berbagai hal pemikiran kelompok Neo Marxis ini berbeda dengan Marxisme klasik,
mulai dari penjelasan tentang determinisme ekonomi, pengaruh infrastruktur (bangunan
bawah) dan suprastruktur (bangunan atas). Infrastruktur dalam pemikiran Marx adalah
faktor ekonomi yang kemudian menentukan suparstruktur seperti fenomena sosial, politik
maupun ideologi. Infrastruktur sendiri dijelaskan Marx sebagai bentuk hubungan produksi
antara majikan dan buruh, dimana dalam hubungan produksi tersebut terjadi proses
eksploitasi dari pemilik kapital/majikan terhadap para buruh/pekerja, yang oleh Marx
dijelaskan dalam teori nilai lebih. Dalam konteks ini, menurut Miriam Budiarjo (2009 : 87)
pemikir-pemikir Neo Marxis melihat pembelahan kelas secara lebih longgar, yaitu antara
kelompok yang memiliki fasilitas (the advantaged) dan kelompok yang tidak memiliki fasilitas
(the disadvantage), bukan antara antara kelas atas atau pemilik modal dengan kelas bawah
atau buruh. Kalau Marxisme klasik menyatakan hubungan produksi menjadi sebab
terjadinya konflik social, penindasan, dan eksploitasi, maka Neo Marxis melihat
ketergantungan negara terhadap pemilik kapital menjadi penyebab terjadinya kemiskinan
dan kesenjangan sosial. Ketergantungan negara terhadap pemilik modal telah memberikan
keuntungan bagi para pemilik modal, karena kebijakan-kebijakan negara akhirnya lebih
berpihak pada kepentingan pemilik modal dari pada pekerja. Salah satunya adalah yang
terkait dengan pemanfaatan teknologi untuk menggandakan hasil produksi, meskipun
dengan kebijakan negara tersebut akan semakin menyengsarakan buruh. Dalam penjelasan
Marx dikemukakan “upaya yang dilakukan para kapitalis untuk memperbesar laba memiliki
dampak negatif lain yang signifikan terhadap kemampuan pekerja untuk memenuhi
kebutuhan material mereka.”( James A. Caporaso, David P.Levine, 2008: 162) Artinya
bahwa “tingkat penderitaan yang dirasakan perkerja akan sebanding dengan besarnya
akumulasi kapital yang terjadi” (ibid: 165).

Itulah sebabnya kelompok ini disamping berpegang pada pemikiran Marx muda juga
menolak kehadiran sistem kapitalisme yang memiliki kecenderungan untuk mengabaikan
nilai-nilai kemanusian dengan mengoperasikan modal yang dimiliki. Menurut Miriam
Budiardjo (2009 : 82) kelompok ini juga menolak pemikiran Sosial-demokrat yang telah
berhasil membangun negara kesejahteraan (welfare states), karena Sosial-Demokrat yang
dikembangkan di Eropa Barat ini juga dianggap gagal mengatasi kesenjangan sosial dan
cenderung mereduksi demokrasi.

Kemunculan kelompok ini terkait dengan berbagai fenomena yang muncul di Amerika
Serikat pada tahun 1960, yang merupakan ekses dari kesenjangan social yang dihasilkan

Hal. 13 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
oleh sistem kapitalisme. Keresahan social yang merefleksikan adanya kecemburuan social
dan frustrasi social dari masyarakat strata bawah di Amerika Serikat ini telah mendorong
beberapa pemikir untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Salah satunya dengan
menggali pemikiran Marx muda, yang pernah tertib pada tahun 1932. Karya-karya Marx
muda yang lebih memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan telah menginspirasi para pemikir
dari kelompok Neo Marxis untuk mengarahkan agar kapitalisme yang berekses terhadap
munculnya kesenjangan social dan kemudian memunculkan kecemburuan dan frustrasi
social tersebut harus dijawab dengan orientasi kebijakan pemerintah yang lebih berpihak
pada kelas bawah.

Bagi Neo Marxis yang penting adalah upaya mengedepankan pemikiran holistik dan
dialektis. Holistik dalam arti melihat fenomena social sebagai sesuatu yang utuh, tidak
terpisah-pisah atau terbagi-bagi. Dalam kenyataannya tidak satu masalahpun muncul
sebagai sesuatu yang terpisah dari masalah yang lain, misal fenomena politik, ekonomi,
social, kebudayaan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Atas dasar itulah, maka
kelompok Neo Marxis menolak pemikiran pendukung paradigma perilaku yang berupaya
memisahkan gejala politik dari gejala yang lain. Begitupun terhadap pendekatan saintifik
yang memahami kebenaran ilmiah secara ahistoris dan menekankan pada kebenaran logis
(hubungan sebab-akibat) dan verifikasi empiris melalui pengujian teori. Bagi kelompok Neo
Marxis, fenomena hari ini selalu terkait atau berhubungan masa lalu, masa depan terkait
dengan masa kini, tetapi dalam suatu keterkaitan historis yang berjalan secara dialektis.

Dalam memahami sebab-sebab konflik social, kelompok ini menolak pandangan bahwa
konflik social dapat diatasi dengan rasio, etikat baik, dan upaya-upaya parsial lainnya. Bagi
kelompok ini tidak ada cara lain untuk melihat dan menganalisis konflik social kecuali
dengan kaca mata konflik klas. Konflik-konflik social yang muncul di masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari penyebab utamanya yaitu konflik klas, antara pemilik kapital (majikan) dan
buruh. Artinya konflik social, berupa konflik rasial, etnik, agama, dsb merupakan refleksi dari
konflik yang lebih fundamental, yaitu konflik klas. Meskipun dalam menjelaskan konflik klas,
tidak sepenuhnya sepakat dengan pandangan Marxisme klasik yang menghadapkan antara
pemilik modal dan buruh, tetapi dalam penjelasan yang lebih longgar yaitu konflik antara
kelompok yang memiliki banyak fasilitas (the advantaged) dengan kelompok yang tidak
mempunyai fasilitas (the disadvantaged). Dengan demikian pemahaman atas konflik
kelaspun menjadi lebih luas dan longgar, bukan hanya terbatas pada konflik antara majikan
dan buruh yang terikat dalam hubungan produksi, tetapi konflik antar kelas atas dan kelas

Hal. 14 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
bawah yang tidak memiliki hubungan produksi. Dalam konteks ini, kelompok Neo Marxis
selalu kritis terhadap keberpihakan negara yang selalu mendukung para pemilik modal atau
kelas atas karena negara tergantung pada mereka.

Sikap kritis terhadap keberpihak negara tersebut dalam upaya mendorong atau mengontrol
agar negara lebih berpihak pada kelompok bawah dengan tujuan untuk mengatasi ekses
buruk dari kapitalisme, berupa kemiskinan structural dan kesenjangan social-ekonomi.
Dalam bidang politik, kelompok ini menginginkan desentralisasi dan partisipasi semua
komunitas. Dengan desentralisasi, kebijakan public akan semakin mudah dikontrol
masyarakat, sehingga kecedenderungan munculnya keberpihakan pada pemilik modal atau
kelas borjuis dapat dikurangi atau bila mungkin diarahkan ke kelompok bawah. Dengan
partisipasi secara luas, pemerintah dapat ditekan agar kebijakan yang dimunculkan lebih
aspiratif kepada kelompok bawah.

5. Paradigma Dependensia
Pada dasarnya paradigma depedensia yang muncul di Amerika Latin ini merupakan upaya
untuk mengatasi kegagalan pembangunan di negara-negara dunia ketiga, khususnya di
Amerika Latin. Pemikiran ini berfokus pada kajian utama yaitu penjelasan atas relasi
negara dunia pertama dengan negara dunia ketiga yang berakibat pada terjadinya
keterbelakangan dan kesenjangan social-ekonomi, dari perspektif dependensia klasik,
yang menempatkan faktor eksternal sebagai penyebabnya, serta relasi yang menyebabkan
keterbelakangan dan kesenjangan social-ekonomi dari perspektif depedensia modern,
yang mencoba melihat dari sisi internal sebagai penyebabnya.

Dengan mengikuti pemikiran tentang imperialisme Vlandimir I. Lenin, para pendukung


dependensia ini mencoba menjelaskan hubungan eksploitatif yang terjadi antara negara
dunia pertama dan dunai ketiga. Sebuah hubungan yang telah mensejarah, yang diawali
dengan sistem kolonialisme, yang merupakan penjajahan secara langsung dalam bentuk
pengendalian politik, kemudian bermetamorfosis menjadi pengendalian ekonomi dan yang
terakhir pengendalian informasi. Penjelasan ini dapat ditemukan dalam pemikiran Johan
Galtung, dengan konsep struktur imperialistiknya.

Dalam hal ini, Galtung dalam J.W Schoorl (1982 : 81) menjelaskan tentang relasi antara
negara-negara dunia pertama yang disebut sebagai negara sentrum dengan negara-
negara dunia ketiga yang disebut sebagai negara periferi. Menurutnya, di negara sentral

Hal. 15 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
maupun periferi terdapat struktur social yang berbelah, yaitu antara sentrum yang dapat
diidentifikasi sebagai kelas atas, termasuk para pengusaha sebagai pemilik kapital, serta
kelas bawah yang terdiri dari anggota masyarakat termasuk para buruh di dalamnya.
Pembelahan kelas ini memungkinkan terjadinya relasi antara kelas sentrum di negara
sentrum dengan kelas sentrum di negara periferi. Antara pengusaha yang berada di
negara sentrum dengan pengusaha di negara periferi. Relasi imperialistik yang terbangun
antara keduanya telah berdampak terhadap perkembangan social ekonomi di masyarakat
di negara periferi. Inilah yang kemudian mengilhami pemikiran para pendukung paradigma
dependensia di negara-negara Amerika Latin.

Adalah Paul Baran dan Andre Gunder Frank yang sejak tahun 1960 mulai merintis
pemikiran yang menjelaskan relasi imperialistik antara negara-negara dunia pertama dan
dunia ketiga tersebut di Amerika Latin. Paul Baran dalam Sritua Arief dan Adi Sasono
(1981 :8) mencoba menjelaskan tentang proses terjadinya ketergantungan dan
keterbelakangan di dunia ketiga. Investasi yang datang dari negara maju ke negara miskin
tidak berakibat pada peningkatan pendapatan masyarakat di negara miskin, karena hasil
investasi tersebut kemudian disedot ke pemilik modal yang ada di negara maaju tersbebut.
Ada beberapa kelompok kecil yang turut memperoleh keuntungan dari investasi asing
tersebut, yaitu para pelaku ekonomi lokal, tetapi tidak demikian dengan masyarakat
sebagian besar. Itulah yang terjadi dan dijelaskan Paul Baran di Amerika Latin. Akibat
lanjutanya adalah muncul kesenjangan social-ekonomi di negara-negara periferi, karena
ada sekelompok kecil yang dapat menikmati keuntungan dari proses investasi tersebut.

Frank mencoba menjelaskan dengan cara yang gak berbeda dengan pemikir sebelumnya,
bukan pada pembelahan social-ekonomi yang menyebabkan terjadinya keterbelakangan di
negara-negara dunia ketiga, tetapi lebih pada persoalan pembelahan sistem ekonomi.
Negara-negara dunia ketiga mengembangkan sistem ekonomi tradisional, sedangkan
negara-negara maju mengembangkan sistem ekonomi modern. Sektor ekonomi modern ini
terhubung dengan pusat-pusat perdagangan dunia, sebagai akibatnya sektor ini dapat
berkembang pesat sementara sistem tradisional justru semakin tertinggal. Hubungan
antara sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern yang
dikomando/dikendalikan oleh pelaku usaha di pusat-pusat metropolis sehingga telah
memungkinkan terjadinya eksploitasi sektor ekonomi tradisional oleh sektor ekonomi
modern. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan adalah memutus atau melemahkan
hubungan antara negara metropolis dengan negara satelit (Ibid: 27).

Hal. 16 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3

Pemikir-pemikir dependensia klasik selain Paul Baran maupun Gundar Frank secara
keseluruhan melihat faktor eksternal sebagai penyebab dari keterbelakangan dan
ketergantungan, berbeda dengan F.H.Cardoso pendukung dependensia modern, mencoba
melihat dari sisi internal, dengan mempelajari perbedaan proses historis yang menyebabkan
terjadinya ketebelakangan dan ketergantungan dari sisi internal. Cardoso dalam kajiannya
juga tidak terpaku pada aspek ekonomi sebagai penyebabnya, tetapi juga aspek social
politik. Bagi Cardoso dalam Suwarsono dan Alvin Y.So (1991 :144)

“persoalan pembangunan yang ada di dunia ketiga sekarang ini tidak dapat dibatasi hanya
pada pembahasan industri subsitusi impor, atau hanya sekedar memperdebatkan strategi
pertumbuhan, dalam bentuk pilihan antara orientasi ekspor atau tidak, pasar domestik atau
pasar dunia dan sebagainya. Persoalan utamanya justru terletak pada ada tidaknya gerakan
kerakyatan dan kesadaran kepentingan politik rakyat”. Oleh karena itu, yang perlu
diperhatikan justru usaha-usaha pembangkitan gerakan kerakyatan, perjuangan kelas,
perumusan kembali kepentingan politik, dan pembangunan aliansi politik yang diperlukan
untuk menjaga kestabilan skruktur masyarakat, tetapi sekaligus juga membuka peluang
untuk adanya transformasi social.”

Meskipun demikian, Cardoso tidak menafikan faktor intern yang berhubungan dengan faktor
ekstern, antara kelas lokal dominan dengan kelas dominan internasional karena keduanya
memiliki kepentingan yang sama.

6. Paradigma Pilihan Rasional (Rational Choice)


Paradigma ini muncul seiring dengan kuatnya pengaruh pemikiran ekonomi ke dalam
pemikiran politik, yang kemudian berkembang menjadi kajian tersendiri yang dikenal dengan
studi ekonomi politik. Titik tolak pendekatan ini adalah manusia sebagai makluk rasional
yang selalu mempertimbangkan keputusanya atas dasar kepentingan. Mereka beranggapan
bahwa dalam persaingan yang semakin sengit, terutama dalam memperebutkan sumber-
sumber ekonomi yang semakin terbatas, hanya ada cara yang paling rasional yaitu
mengutamakan kepentinganya sendiri. Menurut Deliarnov ( 2002: 135) “konsep pilihan
rasional bisa diaplikasikan pada pemerintah sebagai aktor atau pada pemilih individu dalam
pemilu karena kriteria yang digunakan, dan begitu juga kesempatan-kesempatan dianggap
bisa diperbandingkan. Selanjutnya dikatakan: “Rasionalitas politik terkait dengan pilihan-

Hal. 17 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
pilihan tindakan dan keputusan yang diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,
termasuk tujuan-tujuan politik” (ibid : 135).

Menurut Miriam Budiardjo (2009: 93) “pelaku Rational Action ini, terutama politisi, birokrat,
pemilih (dalam berbagai acara pemilihan), dan aktor ekonomi pada dasarnya egois dan
segala tindakannya berdasarkan pada kecenderungan ini. Mereka selalu mencari cara
efisien untuk mencapai tujuannya. Optimalisasi kepentingan dan efisiensi merupakan inti
dari teori Rational Choice.” Mazhab ini banyak ditentang oleh penganut Structural-
fuctionalism karena dianggap mengabaikan kenyataan bahwa manusia tidak selalu rasional,
banyak aspek lain yang mempengaruhi seseorang seperti budaya, agama, sejarah, dan
moralitas (ibid : 94). Kritik lain mengatakan bahwa pemikiran ini mengabaikan kenyataan
bahwa manusia adalah makluk social, sehingga mengabaikan kesejahteraan orang lain dan
kepentingan umum, seolah-lah tidak mempedulikan unsur etika.

Meskipun kehadiranya banyak memperoleh kritik, bahkan dianggap sebagai anomali dari
kenyataan bahwa manusia makluk social, mazhab ini telah berjasa dalam mendorong
penelitian dengan design kuantitatif terhadap ilmu politik dan memperkuat upaya penelitia
empiris.

7. Paradigma Institusionalisme Baru


Penjelasan tentang lembaga dalam perspektif kelembagaan baru ini relatif berbeda dengan
lembaga dari perspektif klasik yang memahami lembaga kenegaraan secara statis, apa
adanya. Menurut Miriam Budiardjo (2009 : 96) Institusionalisme baru sebenarnya dipicu
pendekatan perilaku yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil perilaku
kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya mencerminkan
kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat institusi ditentukan oleh aktor serta pemilihnya.

Sebagaimana dikutip Samuel P. Huntington (2003: 16) dari Talcott Parson bahwa
pelembagaan merupakan proses dengan mana organisasi dan tata cara memperoleh nilai
baku dan stabil. Sementara itu, pengertian kelembagaan mencakup dua hal yaitu ;
kelembagaan sebagai norma-norma atau konvensi dan kelembagaan sebagai aturan main.
Kelembagaan sebagai norma dan konvensi lebih dimaknai sebagai pengaturan berdasarkan
konsensus atau pola perilaku dan norma yang disepakati bersama. Norma maupun
konvensi umumnya bersifat informal. Kalau norma terkait dengan nilai-nilai yang dianut

Hal. 18 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3
suatu kelompok, kalau konvensi lebih merupakan kebiasaan yang disepakati dalam
komunitas tertentu.

Kelembagaan sebagai aturan main mengacu pada aturan yang telah disepakati bersama,
yang kemudian mengikat bagi pendukung aturan main tersebut. Dalam hal ini Bogason
(2000) dikutip oleh Deliarnov (2006 : 108) mengemukakan beberapa ciri umum lembaga
antara lain ; (1) adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi para aktor, (2)
adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai, (3) adanya tekanan untuk berprilaku sesuai
dengan yang telah disepakati/ ditetapkan.

Dengan demikian, pelembagaan politik, secara sempit sering dipahami sebagai “pengaturan
formal untuk berkumpulnya individu berikut pengaturan perilaku mereka, melalui
penggunaan aturan dan proses keputusan yang ditekankan/ditetapkan oleh seorang aktor
atau sekelompok aktor yang disepakati sebagai pemilik kekuasaan.”(Bo Rothsein: 1989 :
145) Pemahaman demikian akan mengantarkan pada suatu kekeliruan, seolah-olah hanya
pengaturan formal yang masuk dalam pelembagaan politik, padahal perilaku politik yang
tidak tertulis yang membentuk sikap dan perilaku seseorang seringkali juga turut
menentukan proses pelembagaan tersebut. Sebaliknya kalau pelembagaan politik
didefinisikan secara luas dalam arti mencakup pembentukan sikap, norma, prinsip, melalui
internalisasi individu, maka pendefinian yang demikian dapat terpeleset dalam pemahaman
yang tidak berbeda dengan “budaya” atau “norma sosial”. Untuk membedakan lembaga
politik dengan pemahaman tentang “budaya”(culture), atau “norma sosial” (social norm), Bo
Rothstein, menggantikan kata “pengaturan formal” (formal arrangement) dengan istilah yang
sering digunakan dalam studi adminstrasi publik, sebagai “standard operating prosedur”
(Ibid : 145-146) Dengan istilah tersebut, dapat dihindari terjadinya berbagai kesalahan, -
seolah-olah pelembagaan politik hanya mencakup aspek perilaku yang diatur secara formal,
karena standard operating prosedur, mencakup prosedur formal maupun informal. Juga dari
kecenderungan untuk memasukkan atau bahkan tidak bisa membedakan makna lembaga
politik dari budaya dan norma sosial, karena standard operating prosedur bukan tata nilai
budaya atau norma sosial. Meskipun demikian, pelembagaan politik adalah sangat
mendasar bagi penciptaan budaya politik demokrasi dan peningkatan legitimasi sistem
demokrasi (Larry Diamond, 1999: 95).

Inti institusionalisme baru menurut Robert E. Goodin dalam Miriam Budiardjo (2009: 98)
adalah sebagai berikut :

Hal. 19 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3

1. Aktor dan kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi
secara kolektif.
2. Pembatasan-pembatasan itu terdiri institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola
peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial, dan b) perilaku mereka yang
memegang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan mengalami
perubahan terus menerus.
3. Sekalipun demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga memberi
keuntungan bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka masing-
masing.
4. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan
kelompok, juga mempengaruhi pembentukan preferensi dan motivasi dari aktor dan
kelompok-kelompok.
5. Pembatasan-pembatasan ini mempunyai akar historis, sebagai peninggalan dari
tindakan dan pilihan masa lalu.
6. Pembatasan-pembatasan ini mewujudkan, memelihara, dan memberi peluang serta
kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing.

Disamping penjelasan tersebut di atas Goodin dalam ( David Marsh dan Gerry Stoker, 2010
: 116- 120) juga menjelaskan tentang tranformasi dari institusionalisme klasik ke
institusionalisme baru, sebagai berikut. 1). Transformasi kajian dari organisasi ke
pengaturan. 2). Dari konsepsi formal tentang institusi ke yang informal. 3). Dari konsepsi
statis tentang institusi ke konsep dinamis. 4). Dari berkubang dalam nilai menjadi posisi kritis
terhadap nilai. 5). Dari konsepsi institusi holistik menjadi terpisah-pisah. 6). Dari
independensi ke kemelekatan.

BAHAN REVIEW
Mahasiswa diharapkan melakukan review terkait modul chapter diatas!

Hal. 20 dari 21
CHAPTER MODUL MATA KULIAH

Pengantar Ilmu Politik


3

Daftar Pustaka:
1. Arend Lijphart, 2002, Parliamentary versus Presidential Government, Oxford
University Press, New York.
2. Samuel P.Huntington, “Political Order in Changing Societies” dalam Sahat
Simamora dan Suratin (terj.), Tertib Politik : Di Tengah Pergeseran Kepentingan
Massa, (Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2003).
3. Deliarnov, Ekonomi Politik : Mencakup Berbagai Teori dan Konsep yang
Komprehensif, (Jakarta : Erlangga, 2006). Hal
4. Bo Rothstein, “ Political Institutions : An Overview ” in Robert E.Goodin and Hans-
Dieter Klingemann.Eds., A.New Handbook of Political Science (Oxford : Oxford
University Press).
5. Larry Diamond, Developing Democracy toward Consolidation, Johns Hopkins
University Press, Baltimore, Maryland, 1999.

Hal. 21 dari 21

Anda mungkin juga menyukai