Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal

Sistem muskuloskeletal merupakan sistem otot rangka atau otot yang

melekat pada tulang yang terdiri atas otot-otot serat lintang yang sifat gerakannya

dapat diatur (volunter) yang secara umum berfungsi sebagai berikut: (1)

menyelenggarakan pergerakan bagian-bagian tubuh atau berjalan; (2)

mempertahankan sikap tertentu karena adanya kontraksi otot secara lokal yang

memungkinkan kita mengambil sikap berdiri, duduk, jongkok, dan sikap lainnya;

(3) menghasilkan panas karena proses-proses kimia dalam otot yang dapat

digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh. Otot skeletal secara volunter

dikendalikan oleh saraf pusat dan perifer (Guyton & Hall, 2008).

Otot skeletal atau otot lurik berperan dalam gerakan tubuh dan produksi

panas. Otot dihubungkan oleh tendon ke tulang, jaringan ikat, dan kulit. Otot

tubuh tersusun oleh kelompok sel otot yang terbungkus dalam jaringan fibrus

dinamakan epimisium. Semakin banyak fasikuli yang terdapat dalam otot semakin

rinci gerakan yang ditimbulkan. Kelompok otot skeletal, berdasarkan lokasinya

terdiri dari kelompok otot leher, punggung, dada, bahu lengan atas, lengan bawah,

pantat, dasar panggul, paha atas, betis, dan kaki (Smeltzer, 2011).

Kontraksi otot skelet diakibatkan oleh kontraksi masing-masing sarkomer.

Kontraksi sarkomer disebabkan oleh interaksi antara miosin pada filamen tebal

dan aktin dalam filamen tipis dibantu dengan adanya kalsium. Ketika kadar

kalsium dalam sarkomer menurun maka filamen miosin dan aktin berhenti

9
10

berinteraksi dan sarkomer kembali ke panjang awal atau relaksasi. Terdapat

komunikasi antara sel saraf dan sel otot pada motor end plete. Neuron yang

mengatur aktivitas sel otot skelet disebut dengan lower motor neuron. Neuron ini

berasal dari kornu anterior korda spinalis (Smeltzer, 2011).

Ketika istirahat, ATP terikat pada sisi ATPase pada kepala miosin, dengan

kekuatan hidrolisis yang lambat. Miosin membutuhkan aktin sebagai kofaktor

untuk memecah ATP dengan cepat dan melepaskan energi. Otot yang sedang

beristirahat miosin tidak dapat berhubungan dengan aktin karena tempat

pengikatan kepala miosin pada molekul aktin ditutupi oleh troponin-tropomiosin.

Apabila terdapat ion kaslium yang cukup tinggi, ion kalsium akan terikat pada

subunit TnC dari troponin. Konfigurasi sebagian dari ketiga subunit ini membawa

molekul tropomyosin lebih jauh kedalam untaian ganda aktin, sehingga aktin

bebas berinteraksi dengan miosin. Pengikatan ion kalsium berhubungan dengan

ATP-miosin diubah menjadi kompleks yang aktif. ATP dipecah menjadi ADP, Pi,

dan energi yang dilepas. Karena aktin berikatan dengan miosin, pergerakan kepala

miosin akan menarik aktin melewati filamen miosin sehingga filamen tipis akan

tertarik jauh (Diantini, 2010).

Kelelahan otot merupakan ketidakmampuan otot mempertahankan tenaga

yang diperlukan tubuh. Kelelahan otot dihubungkan dengan mekanisme kontraktil

dari otot tersebut, beberapa di antaranya adalah:

1. Penumpukan Asam Laktat

Terjadinya kelelahan otot disebabkan oleh penumpukan asam laktat. Apabila

rasio asam laktat pada otot meningkat, puncak tegangan otot akan menurun.
11

Asam laktat dapat menghalangi fungsi otot. Asam laktat juga akan

mempengaruhi proses eksitasi yang berdampak pada pH intraseluler dan

konsentrasi ion Hidrogen. Peningkatan asam laktat, konsentrasi H meningkat

dan pH akan menurun. Peningkatan Hidrogen akan menurunkan eksitasi oleh

karena menurunnya sejumlah Ca yang dikeluarkan oleh retikulum

sarkoplasma dan gangguan kapasitas.

2. Pengosongan Penyimpanan ATP dan PC

ATP merupakan sumber energi langsung untuk kontraksi otot, dan PC

dipergunakan untuk resistensi ATP secepatnya, pengosongan fosfagen

intraseluler mengakibatkan kelelahan.

3. Pengosongan Penyimpanan Glikogen Otot

Rendahnya level glukosa darah menyebabkan pengosongan cadangan

glikogen hati. Kelelahan otot lokal disebabkan oleh karena pengosongan

cadangan glikogen otot (Guyton & Hall, 2008).

Kelelahan otot yang berlanjut akan menimbulkan nyeri atau sinyal sensorik

yang akan dijalarkan dari otot ke medulla spinalis, yang selanjutnya menimbulkan

reflek umpan balik kontraksi otot. Kontraksi ini akan merangsang reseptor

sensorik yang sama lebih hebat lagi dan menyebabkan medulla spinalis

meningkatkan intensitas kontraksinya. Timbul mekanisme umpan balik positif

sehingga sedikit saja iritasi menimbulkan kontraksi yang terus menerus akhirnya

menimbulkan terjadinya kram otot (Guyton & Hall, 2008).


12

2.2 Keluhan Muskuloskeletal

2.2.1 Definisi Keluhan Muskuloseletal

Keluhan muskuloskeletal merupakan keluhan yang terdapat pada bagian-

bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat

ringan sampai sangat sakit (Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, 2004). Secara garis

besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot

menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang

apabila pembebanan dihentikan.

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.

Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot

masih terus berlanjut.

2.2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Keluhan Muskuloskeletal

Peter Vi (2000) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menjelaskan

bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot

skeletal.

1. Faktor Primer

a. Peregangan Otot yang Berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering

dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan

tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan

menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi
13

karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum

otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko

terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot

skeletal.

b. Aktivitas Berulang

Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus

seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkut, dan

sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat

beban kerja secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk

relaksasi.

c. Sikap Kerja Tidak Alamiah

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi

bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya

pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala

terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat

gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot

skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik

tuntunan tugas, alat kerja, dan stasiun kerja tidak sesuai dengan

kemampuan dan keterbatasan pekerja (Manuaba, 2006). Diperkirakan

sekitar 30% Back Injuries akibat cara mengangkat menuntut sikap kerja

yang membungkuk dan memutar sehingga ikut berputarnya tulang

belakang. Disamping itu alat bantu sering tidak tersedia, atau apabila
14

tersedia sering tidak digunakan karena alasan kurang praktis atau

menghambat pekerja (Helander, 1995) dalam Hasan (2010).

2. Faktor Sekunder

a. Tekanan

Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai

contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan

yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan

apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang

menetap.

b. Getaran

Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot

bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar,

penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.

c. Mikroklimat

Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan,

kepekaan, dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi

lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot.

Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan

dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi

yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi

dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan

pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke

otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke


15

otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat, dan terjadi

penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot.

3. Faktor Kombinasi

Risiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat apabila dalam

melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam

waktu yang bersamaan, misalnya tukang suun yang melakukan aktivitas

mesuunan di bawah tekanan panas matahari. Disamping itu dipengaruhi oleh

beban dan lamanya aktivitas yang dilakukan.

Disamping ketiga faktor penyebab terjadinya keluhan otot tersebut di atas,

beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin,

kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik, dan ukuran tubuh juga dapat

menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng,

2004).

1. Umur

Chaffin (1979) dan Gue, et al (1995) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng,

(2004) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal mulai

dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya

dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat

sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah

baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya

keluhan otot meningkat. Sebagai contoh Betti’e, et al (1989) dalam Tarwaka,

Bakri, & Sudiajeng, (2004) telah melakukan studi tentang kekuatan statik otot

untuk pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan di atas 60 tahun.
16

Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung, dan kaki. Hasil penelitian

menunjukan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-

29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya

umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan otot menurun

sampai 20%. Pada saat kekuatan otot mulai menurun maka risiko terjadinya

keluhan otot akan meningkat. Riihimaki, et al (1989) dalam Tarwaka, Bakri,

& Sudiajeng, (2004) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang

sangat kuat dengan keluhan otot, terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan

ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab

utama terjadinya keluhan otot.

2. Jenis Kelamin

Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh

jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil

penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat

mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara

fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah daripada pria.

Astrand & Rodahl (1997) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004)

menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga dari

kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi

dibandingkan dengan wanita. Hasil penelitian Betti’e, et al (1989) dalam

Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menunjukan bahwa rerata kekuatan otot

wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria, khususnya untuk otot

lengan, punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Chiang, et
17

al (1993), Bernard, et al (1994), Hales, et al (1994), dan Johanson, et al

(1994) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) yang menyatakan bahwa

perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3. Dari uraian

tersebut di atas, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan dalam mendesain

beban tugas.

3. Kebiasaan Merokok

Sama halnya dengan faktor jenis kelamin, pengaruh kebiasaan merokok

terhadap risiko keluhan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli,

namun demikian, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa

meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat

kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok,

semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Boshuizen, et al

(1994) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menemukan hubungan

yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang,

khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini

sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan

merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan

untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya, tingkat

kesegaran tubuh juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan

tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena

kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat,

terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
18

Penelitian yang dilakukan Arini (2009) pada tukang angkut barang di Stasiun

Jatinegara Jakarta dan penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada operator

Cant Plan PT X menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan merokok

dengan keluhan muskuloskeletal.

4. Kesegaran Jasmani

Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada seseorang yang

dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat.

Sebaliknya, bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan yang

memerlukan pengerahan tenaga yang besar, di sisi lain tidak mempunyai

waktu yang cukup untuk istirahat, hampir dapat dipastikan akan terjadi

keluhan otot. Tingkat keluhan otot juga sangat dipengaruhi oleh tingkat

kesegaran tubuh. Laporan NIOSH yang dikutip dari hasil penelitian Cady, et

al (1979) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menyatakan bahwa

untuk tingkat kesegaran tubuh yang rendah, maka risiko terjadinya keluhan

adalah 7,1%, tingkat kesegaran tubuh sedang adalah 3,2% dan tingkat

kesegaran tubuh tinggi adalah 0,8%. Hal ini juga diperkuat dengan laporan

Betti’e, et al (1989) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) yang

menyatakan bahwa hasil penelitian terhadap para penerbang menunjukan

bahwa kelompok penerbang dengan tingkat kesegaran tubuh yang tinggi

mempunyai risiko yang sangat kecil terhadap risiko cedera otot. Dari uraian

tersebut dapat digaris bawahi bahwa, tingkat kesegaran tubuh yang rendah

akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan

meningkat sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik.


19

5. Kekuatan Fisik

Sama halnya dengan beberapa faktor lainnya, hubungan antara kekuatan fisik

dengan risiko keluhan otot skeletal juga masih diperdebatkan. Beberapa hasil

penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan, namun penelitian

lainnya menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kekuatan fisik dengan

keluhan otot skeletal. Chaffin & Park (1973) dalam Tarwaka, Bakri, &

Sudiajeng, (2004) yang dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya

peningkatan keluhan punggung yang tajam pada pekerja yang melakukan

tugas yang menuntut kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi

pekerja yang kekuatan ototnya rendah, risiko terjadinya keluhan tiga kali lipat

dari yang mempunyai kekuatan tinggi. Sementara itu Betti’e, et al (1989)

dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menemukan bahwa pekerja yang

sudah mempunyai keluhan pinggang mampu melakukan pekerjaan seperti

pekerja lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang.

Terlepas dari perbedaan kedua hasil penelitian tersebut di atas, secara fisiologi

ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang mempunyai kekuatan fisik lebih

kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Dalam kondisi kekuatan yang

berbeda ini, apabila harus melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan

otot, jelas yang mempunyai kekuatan rendah akan lebih rentan terhadap risiko

cedera otot. Namun, untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan

pengerahan tenaga, maka faktor kekuatan fisik kurang relevan terhadap risiko

keluhan otot skeletal.


20

6. Ukuran Tubuh (antropometri)

Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan, dan massa

tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot

skeletal. Vessy, et al (1990) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004)

menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai risiko dua kali lipat

dibandingkan wanita kurus. Hal ini diperkuat oleh Werner, et al (1994) dalam

Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) yang menyatakan bahwa bagi pasien

yang gemuk (obesitas dengan Indeks Masa Tubuh/IMT > 25,0) mempunyai

risiko 2,5% lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus (IMT < 18,5),

khususnya untuk otot kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang

tinggi umumnya sering menderita keluhan sakit punggung, tetapi tubuh tinggi

tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu, dan

pergelangan tangan.

Tabel 1. Kategori Ambang Batas Indeks Masa Tubuh (IMT) untuk Indonesia.

Keadaan Kategori IMT


Kekurangan berat badan tingkat berat <17,0
Kurus
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,5
Normal >18,5 – 25,0
Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0 – 27,0
Gemuk
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0

Sumber: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003

Apabila dicermati, keluhan otot skeletal yang terkait dengan ukuran tubuh

lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam

menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya.

Sebagai contoh, tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang

yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekan dan
21

rentan terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai risiko yang lebih tinggi

terhadap terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng,

2004).

Keluhan muskuloskeletal dapat diukur dengan kuesioner Nordic Body

Map. Kuesioner ini sudah cukup terstandarisasi dan tersusun rapi. Kuesioner ini

dikembangkan oleh Kuorinka pada tahun 1987 dan dimodifikasi oleh Dickinson

tahun 1992. Kuesioner ini terdiri dari 2 bagian yaitu bagian umum dan terperinci.

Bagian umum merupakan gambar dari tubuh dilihat dari belakang yang dibagi

menjadi 9 bagian. Responden yang mengisi kuesioner diminta untuk memberikan

tanda ada tidaknya gangguan pada area tersebut. Suatu bagian yang spesifik dalam

daftar pertanyaan Nordic Body Map terpusat pada area tubuh dimana gangguan

bagian area tubuh tersebut paling umum dijumpai seperti leher dan punggung

(Kroemer, 2009).

2.3 Mesuunan

Kata mesuunan memiliki arti yang sama dengan menjunjung dalam bahasa

Indonesia yaitu membawa di atas kepala. Wanita di Bali rata-rata mulai

melakukan kegiatan mesuunan sejak masa anak-anak atau remaja dikarenakan

faktor budaya, dimana wanita Bali diharuskan bisa nyuun banten atau sesaji dan

disuun ke pura untuk persembahyangan. Melalui kebudayaan mereka mulai bisa

mesuunan tanpa menjatuhkan bendanya, pusat keseimbangan terletak pada kepala

dan leher. Namun, bagi para wanita yang baru belajar ataupun mesuunan dengan

beban yang sangat berat maka mereka akan mesuunan sembari memegang benda
22

tersebut dengan dua ataupun satu tangan di bagian sampingnya sebagai pengatur

keseimbangan. Selain ke pura aktivitas mesuunan paling sering dilakukan di pasar

tradisional, aktivitas mesuunan di pasar dilakukan oleh tukang suun (buruh

angkat-angkut). Wanita Bali membawa objeknya hampir selalu disuun. Di Bali,

benda yang disuun dengan cara seperti itu adalah segala jenis benda atau material.

Menjunjung objek di atas kepala, biasa dilakukan oleh wanita di negara

Asia Tenggara, India, Bangladesh, Pakistan, dan kawasan Asia lainnya. Cara itu

mungkin paling baik. Hal itu dilandasi tinjauan biomekanik; karena berat benda

yang diangkut dibagi rata ke bawah melalui tulang kepala lalu ke tulang leher.

Akan berbeda bila menggendong objek, apalagi terlalu ke bawah, maka berat

benda akan berada di luar titik pusat gravitasi tubuh. Demikian pula kalau objek di

samping tubuh maka titik berat objek di luar titik pusat gravitasi tubuh. Untuk itu

akan dibutuhkan tenaga yang lebih besar untuk mengangkutnya. Dalam suatu

studi di India oleh Atreya dan Ray (1997) dalam Ramdhayani (2010), pada

wanita India yang mengangkut air dengan gentong di atas kepala paling efesien

bila dibandingkan dengan di punggung ataupun di samping tubuh.

Teknik mesuunan yang salah dapat menyebabkan keluhan

muskuloskeletal. Mesuunan dalam jangka waktu lama dapat menekan otot leher,

sirkulasi darah, dan saraf. Penurunan sirkulasi darah meningkatkan terjadinya

metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob ini meningkatkan karbondioksida dan

penimbunan asam laktat, sehingga terjadi kelelahan otot dan menimbulkan

keluhan muskuloskeletal seperti nyeri dan kram otot.


23

Beban berlebih saat mesuunan dapat menimbulkan cedera pada leher,

punggung dan kaki. Pada studi pendahuluan di Pasar Badung terdapat sepuluh

tukang suun menunjukan beban rata-rata yang disuun bervariasi dari 50 kg sampai

dengan 70 kg. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia

(2005) batasan angkat maksimum untuk wanita dewasa apabila dilakukan dengan

cara menjunjung beban adalah 15 sampai 20 kg atau tidak lebih dari 30% sampai

40% berat badan. Dengan beban mesuunan yang melebihi batas angkat

maksimum rata-rata tukang suun mengeluhkan nyeri pada leher, pundak,

punggung, lutut, dan kaki. Batasan angkat yang dipakai sebagai batasan angkat

secara legal menurut Komisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Inggris

(Hutagalung, 2009).

Tabel 2. Batasan Angkat Menurut ILO (Dalam Kilogram)

Usia (Tahun) Pria Wanita


14-16 14,3 9,6
16-18 18,1 11,5
18-20 22,2 13,4
20-35 24,0 14,3
35-50 20,2 12,5
>50 15,3 9,6

Sumber: Hutagalung, 2009

Faktor kontribusi terjadinya keluhan muskuloskeletal pada aktivitas

mesuunan antara lain: (1) berat beban mesuunan yang berlebih; (2) distribusi

beban/isi dari keranjang suunan yang tidak rata; (3) mesuunan dalam waktu yang

lama dan sering; (4) mengangkat keranjang suunan dengan teknik yang salah.

Menurut Hutagalung (2009), desain keranjang tukang suun yang

ergonomis dipertimbangkan dengan data antropometri, berat, volume, bentuk,


24

perhitungan batasan angkat, dan bahan keranjang. Dari semua aspek tersebut,

maka diperoleh data perhitungan ukuran keranjang ergonomis, tinggi 32 cm,

diameter 32 cm, berat 1,01 kg, dan volume 25.722.88cm3. Dengan ukuran volume

ini, keranjang hanya mampu memuat beban angkat maksimum sebesar 28 kg. Hal

ini disesuaikan dengan perhitungan biomekanika, bahwa beban angkat maksimum

sebesar 30,25 kg atau tidak lebih dari 60% berat badan.

2.4 Tukang suun

Perbedaan sistem mata

pencaharian hidup antara

masyarakat pedesaan dengan

perkotaan, terlihat di desa

masyarakat hidup dari pertanian

sedangkan di perkotaan masyarakat

Gambar 1. Tukang Suun Melakukan hidup dari sektor industri dan jasa.
Aktivitas Mesuunan
(Sumber: Sara, 2011)
Fenomena yang terjadi bahwa

masyarakat di kota hanya sebagian kecil saja yang terserap pada bidang industri

seperti bekerja di perusahaan sektor modern sebagai pekerja formal. Namun, bagi

sebagian besar masyarakat lainnya melangsungkan kehidupannya pada sektor

informal (Purawati, 2011).

Menurut Hart sektor informal merupakan bagian angkatan kerja di kota

yang berada di luar pasar tenaga kerja yang terorganisasi. Dalam kegiatannya,

sektor informal mempunyai ciri padat karya, tingkat produktivitas rendah, tingkat

pendidikan rendah, pekerja keluarga, mudah keluar masuk usaha dan merupakan
25

usaha sendiri. Pekerja dalam sektor informal kebanyakan berasal dari lapisan

masyarakat bawah dan mereka hidup di kota. Mereka dipandang sebagai pekerja

marginal seperti perempuan sebagai tukang suun di Pasar Badung (Purawati,

2011).

Tukang suun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu jenis

pekerjaan dalam sektor informal yang banyak dilakukan oleh perempuan yang

memiliki karakteristik tingkat pendidikan rendah, merupakan usaha sendiri

sebagai pekerja keluarga serta mudah keluar masuk usaha dengan melakukan

aktivitas berupa menjual jasa kepada orang lain, dengan membawa barang orang

lain dengan menjunjung (nyuun) (Purawati, 2011).

2.5 Hubungan Beban dan Lama Mesuunan dengan Keluhan

Muskuloskeletal

Semakin berat beban mesuunan otot leher dan punggung akan menerima

beban statis. Beban yang statis akan menekan aliran darah dan persyarafan yang

melayani otot leher dan punggung. Apabila hal tersebut berlangsung dalam waktu

beberapa menit suplai oksigen ke jaringan otot semakin berkurang. Berkurangnya

suplai oksigen akan meningkatkan metabolisme anaerob. Metabolisme ini

menghasilkan asam laktat dan penumpukan karbondioksida. Kompensasi tubuh

akan melakukan gerakan-gerakan kecil untuk mengurangi penekanan.

Penimbunan asam laktat dan karbondioksida meningkatkan kadar asam di dalam

tubuh. Apabila hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama akan terjadi

kelelahan otot. Kelelahan otot mengakibatkan menurunnya kinerja otot, sebagai

manifestasi akhir berupa keluhan muskuloskeletal (Guyton & Hall, 2008).


26

Beban statis oleh karena kontraksi otot yang konstan menyebabkan otot

tidak mendapatkan waktu istirahat yang penuh seperti pada beban kerja dinamis.

Program tugas khusus yang meningkatkan kelelahan akan meningkatkan beban

kerja statis. Kelelahan otot merupakan melambatnya kontraksi dan relaksasi otot,

berhubungan dengan peningkatan waktu puncak ketegangan dan sebagian waktu

relaksasi yang meningkat secara dramatis. Perubahan tersebut akan memaksa otot

untuk menghasilkan gaya yang lebih besar dengan frekuensi yang rendah untuk

memelihara gaya yang tetap. Mekanisme timbal balik diatur oleh CNS yang

mengendalikan dan mengatur kecepatan otot dengan meningkatkan frekuensi

rangsang (Sanders, 2004).

Anda mungkin juga menyukai