Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN JIWA MENURUT ADAT-ISTIADAT

OLEH KELOMPOK 7 :
1. AGUSTINUS.E.KOYARI (2022082024013)
2. HASRIATI (20220820240..)
3. FERONIKA (20220820240..)
4. NURUL (20220820240..)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


CENDERAWASIH
JAYAPURA
2022
STIGMA MASYARAKAT TENTANG KLIEN DENGAN GANGGUAN JIWA DI DESA
KARANGMANGU KECAMATAN NGAMBON KABUPATEN BOJONEGORO

Luqmanul Hakim¹, Dr. Hj. Lilik Ma’rifatul A, S.Kep. Ns., M.Kes ² ,


Heri Triwibowo, S.KP., SKM., M.Kes³
1)
Mahasiswa S1 Keperawatan STIKes Bina Sehat PPNI Mojokerto
2)
Dosen Keperawatan STIKes Bina Sehat PPNI Mojokerto
3)
Dosen Keperawatan STIKes Bina Sehat PPNI Mojokerto
Email: luqmanulhakim1922@gmail.com

ABSTRAK
Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius.
Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari
masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit medis, diantaranya:
dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, hingga
ditelantarkan oleh keluarga, bahkan sampai ada di pasung. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui stigma masyarakat tentang klien dengan gangguan jiwa. Desain penelitian ini
menggunakan deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang berusia17-45
tahun di Dusun Karangmangu Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro
sebanyak451KK.Tekniksamplingpenelitianiniadalahclusterrandomsampling.Sampeldalam
penelitian ini berjumlah 68 orang. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner CAMI
(CommunityAttitudetowardsMentalIllness).Analisadatamenggunakandistribusifrekeuensidan
persentase.Hasilpenelitianmenunjukkanbahwasebagianbesarrespondenstigmatiktentangklien
gangguan jiwa, yaitu 44 orang (64,7%), sedangkan responden yang non stigmatik yaitu 24 orang
(35,3%). Hal ini menunjukkan bahwa stigma masyarakat tentang klien dengan gangguan jiwa di
Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro sebagian besar stigmatik. Hal
ini disebabkan karena masyarakat masih memberikan pandangan negatif pada klien dengan
gangguan jiwa, menganggap bahwa gangguan jiwa adalah aib, tidak bisa mendapatkan haknya
sebagai individu karena dianggap tidak normal sebagaimana manusia pada umumnya.
Masyarakat diharapkan untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang gangguan jiwa
dari tenaga kesehatan atau dari internet dengan sumber yang kompeten di bidang kesehatan agar
dapat menghilangkan pandangan negatif pada klien dengan gangguanjiwa.

Kata Kunci: stigma, masyarakat, klien dengan gangguan jiwa


ABSTRACT

Description of Community Stigma About Clients With Mental Disorders in


Karangmangu Village, Ngambon District, Bojonegoro Regency

The problem of mental disorders around the world has become a very serious
problem. People with mental disorders often experience greater stigma and
discrimination from the surrounding community than individuals who suffer from
medical illnesses, including:
Expelled,fromschool,dismissedfromwork,divorcedbyapartner,tobeingabandon
edbytheirfamily,even being in pasung. This study aimed to determine the image of
society's stigma about clients with mentaldisorders.Thedesignofthi sresearch
wasdescriptive. Thepopulation inthisstudywasall families aged 17-45 years in
Karangmangu Hamlet, Karangmangu Village, Ngambon District, Bojonegoro Regen
cyasmanyas 451 families. Thesampling techniqueof thisresearchwascluster random
sampling. The sample in this study amounted to 68 people. The research instrument
used the CAMI (Community Attitude towards Mental Illness) questionnaire. Data
analysis used frequency distribution and percentage. The results suggested that most
of the respondents who were stigmatized about clients with mental disorders, asm
many as 44 people (64.7%), while respondents who were non-stigmatics were 24
people (35.3%). This suggested that the community's stigma about clients with mental
disorders in Karangmangu Village, Ngambon District, Bojonegoro Regency was
mostly stigmatic. This is because society still gives negative views to clients with
mental disorders, considers that mental disorders are a disgrace, cannot get their rights
as individuals because they are considered abnormal as humans in general. Thepublic
is expected to seek as much information as possible about mental disorders from
health workers or from the internet with competent sources in the health sector in
order to eliminate negative views on clients with mentaldisorders.

Keywords: stigma, society, clients with mental disorders


A. PENDAHULUAN
Menurut WHO masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang

sangat serius. Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi yang

lebih besar dari masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit

medis, diantaranya: dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan

oleh pasangan, hingga ditelantarkan oleh keluarga, bahkan sampai ada di pasung. Karena

stigma bahkan keluarganya seakan dikucilkan, membuat para orang dengan gangguan

jiwa enggan bersosialisasi dan menghilangkan martabat dalam hidup mereka. Alih-alih

mereka dirangkul dan diberi dukungan tetapi mereka dikucilkan dalam kehidupan sosial

(Parera et al.,2019).

WHO memperkirakan sekitar 468 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan

jiwa. Prevalensi gangguan jiwa menurut WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa secara

global diperkirakan 368 juta orang mengalami depresi, 60 juta orang menderita gangguan

afektif bipolar, 21 juta orang menderita gangguan skizofrenia dan 47,5 juta orang didunia

mengalami demensia (WHO, 2020). Hasil penelitian (Setiawan et al., 2019) di Desa

Tegowangi Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Puhjarak Kecamatan Plemahan Kabupaten

Kediri menunjukkan bahwa stigma masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa

sebagian besar dari responden berstigma negatif 11 responden (58%) , hampir

setengahnya berstigma positif 8 responden(42%).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di di Desa Karangmangu Kecamatan

Ngambon Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 6 Februari 2021 terhadap 13 orang

warga Desa Karangmangu dengan cara wawancara tentang bagaimana pandangan

mereka tentang orang dengan gangguan jiwa yang ada di sekitar mereka, 5 orang

(38,5%) mengatakan kasihan terhadap orang dengan gangguan jiwa, 3 orang (27,1%)

mengatakan
bahwa orang dengan gangguan jiwa kadang meresahkan karena berkeliaran, kotor, dan

bau, 2 orang (15,3%) mengatakan kadang orang dengan gangguan jiwa menimbulkan

ketakutan tersendiri bagi warga karena bisa mengamuk sewaktu-waktu, dan 3 orang

(27,1%) mengatakan biasa saja, tidak merasa terganggu, juga tidak merasa kasihan,

karena seharusnya ada keluarga yang merawat orang dengan gangguan jiwa tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi stigma masyarakat diantaranya adalah budaya dan

kepercayaan yang merupakan faktor pertama yang menyebabkan timbulnya stigma, hal

tersebut disebabkan kepercayaan yang menentukan sikap individu terhadap sesuatu.

Faktor lain yang mempengaruhi stigma terdiri dari kepercayaan (kultural dan religi),

pengetahuan, informasi yang keliru, dan minimnya pengalaman berhubungan dengan

klien dengan gangguan jiwa secara langsung (Kartika, Hizkia, & Vembriati, 2017).

Menurut (Kamil et al., 2017) stigma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengetahuan,

sikap, latar belakang pendidikan dan budaya setempat. Stigma masyarakat yang kurang

baik terhadap penderita gangguan jiwa sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu

kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang gangguan jiwa serta kepercayaan,

budaya, adat istiadat, dan sikap masyarakat (Ramadhani & Patria, 2018). Pada faktor

kepercayaan, budaya dan adat istiadat, dikalangan masyarakat ada yang percaya bahwa

gangguan jiwa disebabkan oleh roh jahat, guna-guna, sihir, atau kutukan atas dosa.

Kepercayaan yang salah ini hanyaakan merugikan penderita maupun keluarga

(Aizid,2015).

Girma et al (2013) mengatakan individu yang terkena stigma di masyarakat

sulit untuk berinteraksi sosial bahkan dalam kasus terburuk dapat menyebabkan

individu melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu penolakan untuk mencari

pengobatan,
penurunan kualitas hidup, kesempatan kerja yang lebih sedikit, penurunan peluang untuk

mendapatkan pemukiman, penurunan kualitas dalam perawatan kesehatan, dan penurunan

harga diri (Purnama, 2016).Stigma tidak hanya berdampak pada klien gangguan jiwa,

pada masyarakat yang ada sekitar pun ikut terkena, mereka merasa ketakutan kalau ada

klien gangguan jiwa di lingkungan masyarakatnya karena mereka berpikir klien

gangguan jiwa suka mengamuk dan mencelakai orang lain. Semua itu merupakan

konsekuensi dari stigma gangguan jiwa. Stigma terhadap gangguan jiwa membuat pihak

keluarga menjadi bersikap apatis dan sering mengelak bila diajak konsultasi ke psikiater

karena rasa malu yang sering menghantui benak keluarga. Padahal dukungan keluarga

sangat penting untuk upaya penyembuhan penderita gangguan jiwa (Sarfika,2017).

Upaya untuk meningkatkan kesehatan jiwa, mencegah dan mengatasi gangguan jiwa

merupakan tiga poin yang dijadikan fokus utama dalam rangka mengurangi naiknya

beban, ketidakmampuan maupun kematian yang muncul sebagai akibat dari gangguan

mental, tiga fokus utama tersebut, dapat diaplikasikan oleh para klinisi kepada pasien

secara individual, dan juga oleh perencana program kesehatan publik untuk target dalam

sekala lebih luas. Mengintergrasikan peningkatan, pencegahan maupun manajemen

terkait masalah kesehatan jiwa akan sangat membantu dalam mengurangi stigma yang

melekat pada seseorang dengan gangguan jiwa (Parera et al., 2019).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

stigma masyarakat tentang klien dengan gangguan jiwa.


B. METODE PENELITIAN
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Populasi dalam

penelitian ini adalah semua keluarga yang berusia 17-45 tahun di Dusun Karang

mangu Desa Karang mangu Kecamata n Ngambon Kabupaten Bojonegoro

sebanyak 451 KK. Teknik Sampling penelitian ini menggunakan probability sampling

dengan jenis cluster random sampling.

Dalam penelitian ini instrumen berupa kuesioner CAMI untuk menilai stigma

masyarakat tentang klien dengan gangguanjiwa.

C. HASIL PENELITIAN

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden BerdasarkanUmur di Desa


Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3
Juni 2021

Kriteria Umur Frekuensi Persentase

17-25 tahun 2 2,9


26-35 tahun 27 39,7
36-45 tahun 26 38,2
46-55 tahun 13 19,1
56-65tahun 0 0
Jumlah 68 100

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa hampir setengahrespondenberusia26-35tahunyaitu 27

orang(39,7%).
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa
Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 20
Mei-3 Juni2021

Pendidikan Frekuensi Persentase


(%)
Dasar (SD,SMP) 9 13,2
Menengah (SMA) 55 80,9
Tinggi (Perguruan
4 5,9
Tinggi)
Jumlah 68 100
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan SMA, yaitu

37 orang (74,0%) dan tidak ada yang berpendidikan SD (0%).

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Informasi tentang klien


dengan gangguan jiwa di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten
Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni2021

Sumber Informasi Frekuensi Persentase


(%)
Belum pernah mendapatkan
informasi 3 4,
4
Media Massa (internet, televisi,
radio, koran, 65 95,6
majalah)

Jumlah 68 100
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sumber informasi tentang klien dengan gangguan jiwa

dari media massa (internet, televisi, radio, koran, majalah), yaitu 65 orang (95,6%).

Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Anggapan klien dengan


gangguan jiwa Adalah Aib di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten
Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni2021

Anggapan klien dengan Frekuensi Persentase (%)


gangguan
jiwa adalahAib
Ya 45 66,2
Tidak 23 33,8
Jumlah 68 100

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengganggap bahwa klien

dengan gangguan jiwa adalah aib, yaitu 45 orang (66,2%).


Tabel4.5DistribusiFrekuensiResponden BerdasarkanTahuPenyebabkliendengan
gangguan jiwa di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro
pada tanggal 20 Mei-3 Juni 2021

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa seluruh responden mengetahui penyebab klien dengan

gangguan jiwa yaitu 68 orang (100%).

Tabel4.6DistribusiFrekuensiResponden Berdasarkan Dukungan Penyembuhan


Klien Dengan Gangguan Jiwa di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon
Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni2021

Dukungan Penyembuhan Klien Frekuensi Persentase


Dengan (%)
GangguanJiwa

Ya 68 100
Tidak 0 0
Jumlah 68 100

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa seluruh responden menjawab bahwa ada orang di

sekitar lingkungannya yang terinfeksiCovid- 19 yaitu 68 responden (100%).

Tabel4.7DistribusiFrekuensiResponden Berdasarkan Perasaan tentang Klien


Dengan Gangguan Jiwa di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon
Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni2021
Perasaan tentang Frekuensi Persentase
klien dengan (%)
gangguanjiwa
Biasa saja 50 73,5
Takut 18 26,5
Penyebab Frekuens Persenta
klien dengan i se
gangguanjiwa (%)
Tahu 68 1
0
Jumlah 68 100

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa biasa saja bila ada klien

dengan gangguan jiwa di sekitar yaitu 50 responden (73,5%).

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Stigma Masyarakat tentang


Klien Gangguan Jiwa di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten
Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni 2021

Stigma Frekuen Persenta


si se
(%)
Stigmatik 4 64,7
4
NonStigmatik 24 35,3
Jumlah 68 100

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden stigmatik tentang klien

gangguan jiwa, yaitu 44 orang (64,7%).


D. PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden stigmatik tentang

klien gangguan jiwa, yaitu 44 orang(64,7%), dan hampir setengah responden non

stigmatik tentang klien dengan gangguan jiwa yaitu 24 orang(35,3%).

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden stigmatik tentang klien

dengan gangguan jiwa. Hal ini disebabkan karena responden memberikan pandangan

yang negatif pada klien dengan gangguan jiwa. Nilai autoritative dan ketahanan sosial

lebih tinggi dibandingkan kebajikan dan ideologi kesehatan mental komunitas sehingga

menghasilkan stigma di masyarakat tentang ODGJ. Berdasarkan hasil penelitian,

pandangan stigmatik tentang klien gangguan jiwa dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti pendidikan, anggapan bahwa gangguan jiwa adalah aib, dan perasaan bila ada

orang dengan gangguan jiwa di lingkungan.

Faktor pertama yang menyebabkan stigmatik adalah pendidikan. Hasil tabulasi

silang di lampiran dapat diketahui bahwa responden yang stigmatik adalah 63,6%

responden yang berpendidikan menengah, dan 100% responden berpendidikan dasar

(SD, SMP). Faktor selanjutnya yang menyebabkan stigmatik adalah anggapan bahwa

gangguan jiwa adalah aib. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa 97,8% responden

yang stigmatik menganggap bahwa gangguan jiwa adalah aib. Faktor selanjutnya

yang menyebabkan pandangan stigmatik adalah perasaan jika ada orang dengan

gangguan jiwa di lingkungan. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa 100%

responden yang stigmatik merasa takut mengetahui bahwa ada seseorang di sekitar

anda yang mengalami gangguan jiwa.


Pandangan stigmatik menyebabkan seseorang merasa ketakutan kalau ada klien

gangguan jiwa di lingkungan masyarakatnya karena mereka berpikir klien gangguan jiwa

suka mengamuk dan mencelakai orang lain. Semua itu merupakan konsekuensi dari

stigma gangguan jiwa. Stigma terhadap gangguan jiwa membuat pihak keluarga menjadi

bersikap apatis dan sering mengelak bila diajak konsultasi ke psikiater karenarasa malu

yang sering menghantui benak keluarga. Padahal dukungan keluargasangat

penting untuk upaya penyembuhan penderita gangguan jiwa (Sarfika, 2017)

Responden yang menjawab takut dengan adanya klien dengan gangguan jiwa di

lingkungan sekitarnya seluruhnya mempunyai pandangan stigmatik tentang klien

dengan gangguan jiwa, karena ketakutan itu maka jawaban responden akan

mengarahkan pada jawaban warga perlu takut jika ada orang yang datang ke

lingkungannya untuk mendapatkan layanan kesehatan mental dan mengerikan

membayangkan orang-orang denganmasalah mental tinggal di lingkunganperumahan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden non stigmatik

tentang klien dengan gangguan jiwa yaitu 24 orang (35,3%). Pandangan non stigmatik

artinya bahwa masyarakat tidak memberikan pandangan negatif pada ODGJ.

Beberapa faktor turut berkontribusi menyebabkan munculnya penilaian positif

masyarakat terhadap ODGJ yang dipasung, sepertifaktor


usia, pendidikan, dan pekerjaan (Dewi et al., 2020). Responden yang non stigmatik

tentang klien dengan gangguan jiwa sebanyak 35,3%. Hal ini disebabkan karena

responden merasa bahwa setiap orang bisa mengalami gangguan jiwa, maka tidak perlu

berpandangan buruk pada orang yang mengalamigangguanjiwa.Berdasarkanhasil

penelitian, non stigmatik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendidikan, dukungan

pada kesembuhanODGJ.
KESIMPULAN

Stigma masyarakat tentang klien dengangangguanjiwadiDesaKarangmangu

Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro sebagian besar tergolong

stigmatik. Hal ini disebabkan karena masyarakat masih memberikan pandangan negatif

pada klien dengan gangguan jiwa, menganggap bahwa gangguan jiwa adalah aib, tidak

bisa mendapatkan haknya sebagai individu karena dianggap tidak normal sebagaimana

manusia padaumumnya.
SARAN

1. BagiResponden

Masyarakat diharapkan untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang

gangguan jiwa dari tenaga kesehatanatau dari internet dengan sumber yang

kompeten di bidang kesehatan agar dapat menghilangkan pandangan negatif

padaklien dengan gangguan jiwa. Tetap bergaul dengan keluarga yang memiliki

anggota dengan gangguan jiwa dan mendukung kesembuhannya dengan

membantu keluarganya untuk berobat ke dokter kesehatan jiwa atau pusat

rehabilitasi mental, misalkan mencarikan informasi tentang pusat rehabilitas

mental, mengantarkan klien ke rumah sakit jiwa atau pusat rehabilitas mental

untuk mendapatkanpengobatan.

2. Bagi PerangkatDesa

Perangkat desa bekerja sama dengan pihak Puskesmas, tenaga kesehatan, dan

kader jiwa di masyarakat untuk melakukan penyuluhan tentang klien dengan

gangguan jiwa.

3. Bagi TenagaKesehatan

Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang kesehatan jiwa dan

bagaimana cara menyikapi orang dengan gangguan jiwa agar dapat memperbaiki

stigma masyarakat tentang orang dengan gangguan jiwa

4. Bagi PenelitiSelanjutnya

Melakukan pengembangan penelitian dengan menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi stigma tentang ODGJ, seperti faktor pengetahuan, faktor dukungan

sosial, atau tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap stigma masyarakat

tentang ODGJ.
DAFTAR PUSTAKA

Aizid, R. (2015). Melawan Stres Dan Depresi. Yogyakarta: Saufa.

Dewi,E.I.,Wuryaningsih,E.W.,&Susanto,
T. (2020). Stigma Against People with Severe Mental Disorder (PSMD) with
Confinement “Pemasungan.”NurseLine Journal, 4(2), 131.
https://doi.org/10.19184/nlj.v4i2.13821
Girma,E.,Tesfaye,M.,Froeschl,G.,Möller- Leimkühler, A. M., Müller, N., & Dehning,
S. (2013). Public stigma against people with mental illness inthe Gilgel Gibe
Field Research Center (GGFRC) in Southwest Ethiopia. PLoS ONE, 8(12).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.00 82116
Kamil, H., Jannah, S. R., &Tahlil, T. (2017). Stigma Keluarga terhadap Penderita
Skizofrenia Ditinjau dari Aspek Sosial Budaya dengan Pendekatan Sunrise
Model. Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP)Unsyiah.

Parera, I., Zainuddin, & Munadhir. (2019). STIGMA MASYARAKAT


TERHADAP PENDERITA GANGGUAN JIWA. Journal Health Community
Empowerment, II(1). https://doi.org/10.2207/jjws.88.427
Purnama.(2016).Stigma Masyarakat Terhadap Klien. Jurnal Pendidikan
Keperawatan Indonesia, 2(1), 29–37. file:///C:/Users/user/Downloads/2850-
5242-1-PB(1).pdf%0A%0A

Ramadhani, N., & Patria, B. (2018). Psikologi Untuk Indonesia Maju dan Beretika.
Yogyakarta: UGM Press.

Sarfika, R. (2017). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stigma Sosial


Terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pada Remaja Di Sumatera Barat.
0015098406.

Setiawan,L.,Heny,S.,&Fakhria,N.(2019). STIGMA MASYARAKAT PADA ORANG


DENGAN GANGGUAN JIWA DI DESA. NSJ, 3(2),9–16.
WHO.(2020). Schizophrenia. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/schizophreni

Anda mungkin juga menyukai