ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN JIWA MENURUT ADAT-ISTIADAT
OLEH KELOMPOK 7 :
1. AGUSTINUS.E.KOYARI (2022082024013)
2. HASRIATI (20220820240..)
3. FERONIKA PONGOH (20220820240..)
4. NURUL IZZAH HANA P . (2022082024008)
ABSTRAK
Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius.
Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari
masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit medis, diantaranya:
dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, hingga
ditelantarkan oleh keluarga, bahkan sampai ada di pasung. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui stigma masyarakat tentang klien dengan gangguan jiwa. Desain penelitian ini
menggunakan deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang berusia17-45
tahun di Dusun Karangmangu Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro
sebanyak451KK.Tekniksamplingpenelitianiniadalahclusterrandomsampling.Sampeldalam
penelitian ini berjumlah 68 orang. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner CAMI
(CommunityAttitudetowardsMentalIllness).Analisadatamenggunakandistribusifrekeuensidan
persentase.Hasilpenelitianmenunjukkanbahwasebagianbesarrespondenstigmatiktentangklien
gangguan jiwa, yaitu 44 orang (64,7%), sedangkan responden yang non stigmatik yaitu 24 orang
(35,3%). Hal ini menunjukkan bahwa stigma masyarakat tentang klien dengan gangguan jiwa di
Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro sebagian besar stigmatik. Hal
ini disebabkan karena masyarakat masih memberikan pandangan negatif pada klien dengan
gangguan jiwa, menganggap bahwa gangguan jiwa adalah aib, tidak bisa mendapatkan haknya
sebagai individu karena dianggap tidak normal sebagaimana manusia pada umumnya.
Masyarakat diharapkan untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang gangguan jiwa
dari tenaga kesehatan atau dari internet dengan sumber yang kompeten di bidang kesehatan agar
dapat menghilangkan pandangan negatif pada klien dengan gangguanjiwa.
The problem of mental disorders around the world has become a very serious
problem. People with mental disorders often experience greater stigma and
discrimination from the surrounding community than individuals who suffer from
medical illnesses, including:
Expelled,fromschool,dismissedfromwork,divorcedbyapartner,tobeingabandon
edbytheirfamily,even being in pasung. This study aimed to determine the image of
society's stigma about clients with mentaldisorders.Thedesignofthi sresearch
wasdescriptive. Thepopulation inthisstudywasall families aged 17-45 years in
Karangmangu Hamlet, Karangmangu Village, Ngambon District, Bojonegoro Regen
cyasmanyas 451 families. Thesampling techniqueof thisresearchwascluster random
sampling. The sample in this study amounted to 68 people. The research instrument
used the CAMI (Community Attitude towards Mental Illness) questionnaire. Data
analysis used frequency distribution and percentage. The results suggested that most
of the respondents who were stigmatized about clients with mental disorders, asm
many as 44 people (64.7%), while respondents who were non-stigmatics were 24
people (35.3%). This suggested that the community's stigma about clients with mental
disorders in Karangmangu Village, Ngambon District, Bojonegoro Regency was
mostly stigmatic. This is because society still gives negative views to clients with
mental disorders, considers that mental disorders are a disgrace, cannot get their rights
as individuals because they are considered abnormal as humans in general. Thepublic
is expected to seek as much information as possible about mental disorders from
health workers or from the internet with competent sources in the health sector in
order to eliminate negative views on clients with mentaldisorders.
sangat serius. Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi yang
lebih besar dari masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit
oleh pasangan, hingga ditelantarkan oleh keluarga, bahkan sampai ada di pasung. Karena
stigma bahkan keluarganya seakan dikucilkan, membuat para orang dengan gangguan
jiwa enggan bersosialisasi dan menghilangkan martabat dalam hidup mereka. Alih-alih
mereka dirangkul dan diberi dukungan tetapi mereka dikucilkan dalam kehidupan sosial
(Parera et al.,2019).
WHO memperkirakan sekitar 468 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan
jiwa. Prevalensi gangguan jiwa menurut WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa secara
global diperkirakan 368 juta orang mengalami depresi, 60 juta orang menderita gangguan
afektif bipolar, 21 juta orang menderita gangguan skizofrenia dan 47,5 juta orang didunia
mengalami demensia (WHO, 2020). Hasil penelitian (Setiawan et al., 2019) di Desa
Kediri menunjukkan bahwa stigma masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa
mereka tentang orang dengan gangguan jiwa yang ada di sekitar mereka, 5 orang
(38,5%) mengatakan kasihan terhadap orang dengan gangguan jiwa, 3 orang (27,1%)
mengatakan
bahwa orang dengan gangguan jiwa kadang meresahkan karena berkeliaran, kotor, dan
bau, 2 orang (15,3%) mengatakan kadang orang dengan gangguan jiwa menimbulkan
ketakutan tersendiri bagi warga karena bisa mengamuk sewaktu-waktu, dan 3 orang
(27,1%) mengatakan biasa saja, tidak merasa terganggu, juga tidak merasa kasihan,
karena seharusnya ada keluarga yang merawat orang dengan gangguan jiwa tersebut.
kepercayaan yang merupakan faktor pertama yang menyebabkan timbulnya stigma, hal
Faktor lain yang mempengaruhi stigma terdiri dari kepercayaan (kultural dan religi),
klien dengan gangguan jiwa secara langsung (Kartika, Hizkia, & Vembriati, 2017).
Menurut (Kamil et al., 2017) stigma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengetahuan,
sikap, latar belakang pendidikan dan budaya setempat. Stigma masyarakat yang kurang
baik terhadap penderita gangguan jiwa sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu
budaya, adat istiadat, dan sikap masyarakat (Ramadhani & Patria, 2018). Pada faktor
kepercayaan, budaya dan adat istiadat, dikalangan masyarakat ada yang percaya bahwa
gangguan jiwa disebabkan oleh roh jahat, guna-guna, sihir, atau kutukan atas dosa.
(Aizid,2015).
sulit untuk berinteraksi sosial bahkan dalam kasus terburuk dapat menyebabkan
individu melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu penolakan untuk mencari
pengobatan,
penurunan kualitas hidup, kesempatan kerja yang lebih sedikit, penurunan peluang untuk
harga diri (Purnama, 2016).Stigma tidak hanya berdampak pada klien gangguan jiwa,
pada masyarakat yang ada sekitar pun ikut terkena, mereka merasa ketakutan kalau ada
gangguan jiwa suka mengamuk dan mencelakai orang lain. Semua itu merupakan
konsekuensi dari stigma gangguan jiwa. Stigma terhadap gangguan jiwa membuat pihak
keluarga menjadi bersikap apatis dan sering mengelak bila diajak konsultasi ke psikiater
karena rasa malu yang sering menghantui benak keluarga. Padahal dukungan keluarga
Upaya untuk meningkatkan kesehatan jiwa, mencegah dan mengatasi gangguan jiwa
merupakan tiga poin yang dijadikan fokus utama dalam rangka mengurangi naiknya
beban, ketidakmampuan maupun kematian yang muncul sebagai akibat dari gangguan
mental, tiga fokus utama tersebut, dapat diaplikasikan oleh para klinisi kepada pasien
secara individual, dan juga oleh perencana program kesehatan publik untuk target dalam
terkait masalah kesehatan jiwa akan sangat membantu dalam mengurangi stigma yang
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
penelitian ini adalah semua keluarga yang berusia 17-45 tahun di Dusun Karang
sebanyak 451 KK. Teknik Sampling penelitian ini menggunakan probability sampling
Dalam penelitian ini instrumen berupa kuesioner CAMI untuk menilai stigma
C. HASIL PENELITIAN
orang(39,7%).
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa
Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 20
Mei-3 Juni2021
Jumlah 68 100
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sumber informasi tentang klien dengan gangguan jiwa
dari media massa (internet, televisi, radio, koran, majalah), yaitu 65 orang (95,6%).
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengganggap bahwa klien
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa seluruh responden mengetahui penyebab klien dengan
Ya 68 100
Tidak 0
Jumlah 100
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa seluruh responden menjawab bahwa ada orang di
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa biasa saja bila ada
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden stigmatik tentang klien
TINJAUAN PUSTAKA
A. Uraian Teori
1. Gangguan Jiwa
orang dengan gangguan jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang
12
13
Ciri- ciri gangguan jiwa Akemat, Helena, Keliat & Nurhaeni (2011) adalah
1) Sedih bekepanjangan
4) Mengurung diri
6) Bicara kacau
7) Bicara sendiri
1) Gangguan kognisi
a) Gangguan sensasi
rangsangan.
b) Gangguan persepsi
2) Gangguan Asosiasi
dengannya.
3) Gangguan perhatian
konsentrasi.
4) Gangguan ingatan
5) Gangguan psikomotor
6) Gangguan kemauan
mencapai tujuan.
15
(Yosep,2010) yaitu:
a) Neroanatomi
b) Nerofisiologis
c) Nerokimia
2) Faktor psikologis
c) Intelegensi
masyarakat
a) Kestabilan keluarga
c) Tingkat ekonomi
keluarga di desa tempat tinggalnya, yaitu Desa Siaga Sehat Jiwa (Keliat,
3. Peran
a. Konsep Peran
secara formal.
19
fungsi adalah sebagai suatu aspek khusus dari suatu tugas tertentu
Indonesia
komunitas
dengan baik, hal ini juga merupakan penghargaan bagi kader karena
melalui manajemen sumber daya manusia (SDM) yang baik, kader akan
telah dikerjakannya.
a. Deteksi dini
yang isinya terkait tanda dan gejala gangguan jiwa, dari data yang
perawatan diri.
(Keliat, 2010).
puskesmas atau Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Kader kesehatan jiwa akan
Rosiana,Sukesih, 2015).
e. Perujukan kasus
merusak barang-barang
26
berguna
dari pihak Puskesmas. Kader harus mengetahui rentang dari yang sehat
saja yang dianggap untuk bisa dilakukan rujukan ke RSJ. Kader harus
sudah diberikan oleh pihak Puskesmas atau RSJ (Hapsari, Iswanti, &
supervisi.
5. Pemberdayaan Masyarakat
sosialnya, dan lain-lain (Mardikanto, 2010). Dalam hal ini berarti bahwa
2012).
sehingga nantinya agar terjadi alih peran antara petugas kesehatan kepada
6. Keluarga
a. Pengertian keluarga
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang terikat oleh
2012).
b. Fungsi keluarga
1) Fungsi afektif
respon dari keluarga terhadap kondisi dan situasi yang dialami tiap
30
2) Fungsi sosialisasi
4) Fungsi ekonomi
5) Fungsi biologis
generasi selanjutnya
31
6) Fungsi psikologis
7) Fungsi pendidikan
perkembangannya.
32
B. Kerangka Teori
Desa Siaga
Sehat Jiwa
C. Pertanyaan Penelitian
D. PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden stigmatik tentang
klien gangguan jiwa, yaitu 44 orang(64,7%), dan hampir setengah responden non
dengan gangguan jiwa. Hal ini disebabkan karena responden memberikan pandangan
yang negatif pada klien dengan gangguan jiwa. Nilai autoritative dan ketahanan sosial
lebih tinggi dibandingkan kebajikan dan ideologi kesehatan mental komunitas sehingga
pandangan stigmatik tentang klien gangguan jiwa dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti pendidikan, anggapan bahwa gangguan jiwa adalah aib, dan perasaan bila ada
silang di lampiran dapat diketahui bahwa responden yang stigmatik adalah 63,6%
(SD, SMP). Faktor selanjutnya yang menyebabkan stigmatik adalah anggapan bahwa
34
gangguan jiwa adalah aib. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa 97,8% responden
yang stigmatik menganggap bahwa gangguan jiwa adalah aib. Faktor selanjutnya
yang menyebabkan pandangan stigmatik adalah perasaan jika ada orang dengan
responden yang stigmatik merasa takut mengetahui bahwa ada seseorang di sekitar
gangguan jiwa di lingkungan masyarakatnya karena mereka berpikir klien gangguan jiwa
suka mengamuk dan mencelakai orang lain. Semua itu merupakan konsekuensi dari
stigma gangguan jiwa. Stigma terhadap gangguan jiwa membuat pihak keluarga menjadi
bersikap apatis dan sering mengelak bila diajak konsultasi ke psikiater karenarasa malu
Responden yang menjawab takut dengan adanya klien dengan gangguan jiwa di
dengan gangguan jiwa, karena ketakutan itu maka jawaban responden akan
mengarahkan pada jawaban warga perlu takut jika ada orang yang datang ke
tentang klien dengan gangguan jiwa yaitu 24 orang (35,3%). Pandangan non stigmatik
usia, pendidikan, dan pekerjaan (Dewi et al., 2020). Responden yang non stigmatik
tentang klien dengan gangguan jiwa sebanyak 35,3%. Hal ini disebabkan karena
responden merasa bahwa setiap orang bisa mengalami gangguan jiwa, maka tidak perlu
penelitian, non stigmatik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendidikan, dukungan
pada kesembuhanODGJ.
36
KESIMPULAN
stigmatik. Hal ini disebabkan karena masyarakat masih memberikan pandangan negatif
pada klien dengan gangguan jiwa, menganggap bahwa gangguan jiwa adalah aib, tidak
bisa mendapatkan haknya sebagai individu karena dianggap tidak normal sebagaimana
manusia padaumumnya.
37
SARAN
1. BagiResponden
gangguan jiwa dari tenaga kesehatanatau dari internet dengan sumber yang
padaklien dengan gangguan jiwa. Tetap bergaul dengan keluarga yang memiliki
mental, mengantarkan klien ke rumah sakit jiwa atau pusat rehabilitas mental
untuk mendapatkanpengobatan.
2. Bagi PerangkatDesa
Perangkat desa bekerja sama dengan pihak Puskesmas, tenaga kesehatan, dan
gangguan jiwa.
3. Bagi TenagaKesehatan
bagaimana cara menyikapi orang dengan gangguan jiwa agar dapat memperbaiki
4. Bagi PenelitiSelanjutnya
tentang ODGJ.
38
DAFTAR PUSTAKA
Dewi,E.I.,Wuryaningsih,E.W.,&Susanto,
T. (2020). Stigma Against People with Severe Mental Disorder (PSMD) with
Confinement “Pemasungan.”NurseLine Journal, 4(2), 131.
https://doi.org/10.19184/nlj.v4i2.13821
Girma,E.,Tesfaye,M.,Froeschl,G.,Möller- Leimkühler, A. M., Müller, N., & Dehning,
S. (2013). Public stigma against people with mental illness inthe Gilgel Gibe
Field Research Center (GGFRC) in Southwest Ethiopia. PLoS ONE, 8(12).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.00 82116
Kamil, H., Jannah, S. R., &Tahlil, T. (2017). Stigma Keluarga terhadap Penderita
Skizofrenia Ditinjau dari Aspek Sosial Budaya dengan Pendekatan Sunrise
Model. Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP)Unsyiah.
Ramadhani, N., & Patria, B. (2018). Psikologi Untuk Indonesia Maju dan Beretika.
Yogyakarta: UGM Press.