Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH KEPERAWATAN PSIKIATRI

ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN JIWA MENURUT ADAT-ISTIADAT

OLEH KELOMPOK 7 :
1. AGUSTINUS.E.KOYARI (2022082024013)
2. HASRIATI (20220820240..)
3. FERONIKA PONGOH (20220820240..)
4. NURUL IZZAH HANA P . (2022082024008)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


CENDERAWASIH
JAYAPURA
2022
STIGMA MASYARAKAT TENTANG KLIEN DENGAN GANGGUAN JIWA DI DESA
KARANGMANGU KECAMATAN NGAMBON KABUPATEN BOJONEGORO

Luqmanul Hakim¹, Dr. Hj. Lilik Ma’rifatul A, S.Kep. Ns., M.Kes ² ,


Heri Triwibowo, S.KP., SKM., M.Kes³
1)
Mahasiswa S1 Keperawatan STIKes Bina Sehat PPNI Mojokerto
2)
Dosen Keperawatan STIKes Bina Sehat PPNI Mojokerto
3)
Dosen Keperawatan STIKes Bina Sehat PPNI Mojokerto
Email: luqmanulhakim1922@gmail.com

ABSTRAK
Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius.
Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari
masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit medis, diantaranya:
dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, hingga
ditelantarkan oleh keluarga, bahkan sampai ada di pasung. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui stigma masyarakat tentang klien dengan gangguan jiwa. Desain penelitian ini
menggunakan deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang berusia17-45
tahun di Dusun Karangmangu Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro
sebanyak451KK.Tekniksamplingpenelitianiniadalahclusterrandomsampling.Sampeldalam
penelitian ini berjumlah 68 orang. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner CAMI
(CommunityAttitudetowardsMentalIllness).Analisadatamenggunakandistribusifrekeuensidan
persentase.Hasilpenelitianmenunjukkanbahwasebagianbesarrespondenstigmatiktentangklien
gangguan jiwa, yaitu 44 orang (64,7%), sedangkan responden yang non stigmatik yaitu 24 orang
(35,3%). Hal ini menunjukkan bahwa stigma masyarakat tentang klien dengan gangguan jiwa di
Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro sebagian besar stigmatik. Hal
ini disebabkan karena masyarakat masih memberikan pandangan negatif pada klien dengan
gangguan jiwa, menganggap bahwa gangguan jiwa adalah aib, tidak bisa mendapatkan haknya
sebagai individu karena dianggap tidak normal sebagaimana manusia pada umumnya.
Masyarakat diharapkan untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang gangguan jiwa
dari tenaga kesehatan atau dari internet dengan sumber yang kompeten di bidang kesehatan agar
dapat menghilangkan pandangan negatif pada klien dengan gangguanjiwa.

Kata Kunci: stigma, masyarakat, klien dengan gangguan jiwa


ABSTRACT

Description of Community Stigma About Clients With Mental Disorders in


Karangmangu Village, Ngambon District, Bojonegoro Regency

The problem of mental disorders around the world has become a very serious
problem. People with mental disorders often experience greater stigma and
discrimination from the surrounding community than individuals who suffer from
medical illnesses, including:
Expelled,fromschool,dismissedfromwork,divorcedbyapartner,tobeingabandon
edbytheirfamily,even being in pasung. This study aimed to determine the image of
society's stigma about clients with mentaldisorders.Thedesignofthi sresearch
wasdescriptive. Thepopulation inthisstudywasall families aged 17-45 years in
Karangmangu Hamlet, Karangmangu Village, Ngambon District, Bojonegoro Regen
cyasmanyas 451 families. Thesampling techniqueof thisresearchwascluster random
sampling. The sample in this study amounted to 68 people. The research instrument
used the CAMI (Community Attitude towards Mental Illness) questionnaire. Data
analysis used frequency distribution and percentage. The results suggested that most
of the respondents who were stigmatized about clients with mental disorders, asm
many as 44 people (64.7%), while respondents who were non-stigmatics were 24
people (35.3%). This suggested that the community's stigma about clients with mental
disorders in Karangmangu Village, Ngambon District, Bojonegoro Regency was
mostly stigmatic. This is because society still gives negative views to clients with
mental disorders, considers that mental disorders are a disgrace, cannot get their rights
as individuals because they are considered abnormal as humans in general. Thepublic
is expected to seek as much information as possible about mental disorders from
health workers or from the internet with competent sources in the health sector in
order to eliminate negative views on clients with mentaldisorders.

Keywords: stigma, society, clients with mental disorders


A. PENDAHULUAN
Menurut WHO masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang

sangat serius. Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi yang

lebih besar dari masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit

medis, diantaranya: dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan

oleh pasangan, hingga ditelantarkan oleh keluarga, bahkan sampai ada di pasung. Karena

stigma bahkan keluarganya seakan dikucilkan, membuat para orang dengan gangguan

jiwa enggan bersosialisasi dan menghilangkan martabat dalam hidup mereka. Alih-alih

mereka dirangkul dan diberi dukungan tetapi mereka dikucilkan dalam kehidupan sosial

(Parera et al.,2019).

WHO memperkirakan sekitar 468 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan

jiwa. Prevalensi gangguan jiwa menurut WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa secara

global diperkirakan 368 juta orang mengalami depresi, 60 juta orang menderita gangguan

afektif bipolar, 21 juta orang menderita gangguan skizofrenia dan 47,5 juta orang didunia

mengalami demensia (WHO, 2020). Hasil penelitian (Setiawan et al., 2019) di Desa

Tegowangi Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Puhjarak Kecamatan Plemahan Kabupaten

Kediri menunjukkan bahwa stigma masyarakat pada orang dengan gangguan jiwa

sebagian besar dari responden berstigma negatif 11 responden (58%) , hampir

setengahnya berstigma positif 8 responden(42%).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di di Desa Karangmangu Kecamatan

Ngambon Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 6 Februari 2021 terhadap 13 orang

warga Desa Karangmangu dengan cara wawancara tentang bagaimana pandangan

mereka tentang orang dengan gangguan jiwa yang ada di sekitar mereka, 5 orang

(38,5%) mengatakan kasihan terhadap orang dengan gangguan jiwa, 3 orang (27,1%)

mengatakan
bahwa orang dengan gangguan jiwa kadang meresahkan karena berkeliaran, kotor, dan

bau, 2 orang (15,3%) mengatakan kadang orang dengan gangguan jiwa menimbulkan

ketakutan tersendiri bagi warga karena bisa mengamuk sewaktu-waktu, dan 3 orang

(27,1%) mengatakan biasa saja, tidak merasa terganggu, juga tidak merasa kasihan,

karena seharusnya ada keluarga yang merawat orang dengan gangguan jiwa tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi stigma masyarakat diantaranya adalah budaya dan

kepercayaan yang merupakan faktor pertama yang menyebabkan timbulnya stigma, hal

tersebut disebabkan kepercayaan yang menentukan sikap individu terhadap sesuatu.

Faktor lain yang mempengaruhi stigma terdiri dari kepercayaan (kultural dan religi),

pengetahuan, informasi yang keliru, dan minimnya pengalaman berhubungan dengan

klien dengan gangguan jiwa secara langsung (Kartika, Hizkia, & Vembriati, 2017).

Menurut (Kamil et al., 2017) stigma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengetahuan,

sikap, latar belakang pendidikan dan budaya setempat. Stigma masyarakat yang kurang

baik terhadap penderita gangguan jiwa sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu

kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang gangguan jiwa serta kepercayaan,

budaya, adat istiadat, dan sikap masyarakat (Ramadhani & Patria, 2018). Pada faktor

kepercayaan, budaya dan adat istiadat, dikalangan masyarakat ada yang percaya bahwa

gangguan jiwa disebabkan oleh roh jahat, guna-guna, sihir, atau kutukan atas dosa.

Kepercayaan yang salah ini hanyaakan merugikan penderita maupun keluarga

(Aizid,2015).

Girma et al (2013) mengatakan individu yang terkena stigma di masyarakat

sulit untuk berinteraksi sosial bahkan dalam kasus terburuk dapat menyebabkan

individu melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu penolakan untuk mencari

pengobatan,
penurunan kualitas hidup, kesempatan kerja yang lebih sedikit, penurunan peluang untuk

mendapatkan pemukiman, penurunan kualitas dalam perawatan kesehatan, dan penurunan

harga diri (Purnama, 2016).Stigma tidak hanya berdampak pada klien gangguan jiwa,

pada masyarakat yang ada sekitar pun ikut terkena, mereka merasa ketakutan kalau ada

klien gangguan jiwa di lingkungan masyarakatnya karena mereka berpikir klien

gangguan jiwa suka mengamuk dan mencelakai orang lain. Semua itu merupakan

konsekuensi dari stigma gangguan jiwa. Stigma terhadap gangguan jiwa membuat pihak

keluarga menjadi bersikap apatis dan sering mengelak bila diajak konsultasi ke psikiater

karena rasa malu yang sering menghantui benak keluarga. Padahal dukungan keluarga

sangat penting untuk upaya penyembuhan penderita gangguan jiwa (Sarfika,2017).

Upaya untuk meningkatkan kesehatan jiwa, mencegah dan mengatasi gangguan jiwa

merupakan tiga poin yang dijadikan fokus utama dalam rangka mengurangi naiknya

beban, ketidakmampuan maupun kematian yang muncul sebagai akibat dari gangguan

mental, tiga fokus utama tersebut, dapat diaplikasikan oleh para klinisi kepada pasien

secara individual, dan juga oleh perencana program kesehatan publik untuk target dalam

sekala lebih luas. Mengintergrasikan peningkatan, pencegahan maupun manajemen

terkait masalah kesehatan jiwa akan sangat membantu dalam mengurangi stigma yang

melekat pada seseorang dengan gangguan jiwa (Parera et al., 2019).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

stigma masyarakat tentang klien dengan gangguan jiwa.


B. METODE PENELITIAN
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Populasi dalam

penelitian ini adalah semua keluarga yang berusia 17-45 tahun di Dusun Karang

mangu Desa Karang mangu Kecamata n Ngambon Kabupaten Bojonegoro

sebanyak 451 KK. Teknik Sampling penelitian ini menggunakan probability sampling

dengan jenis cluster random sampling.

Dalam penelitian ini instrumen berupa kuesioner CAMI untuk menilai stigma

masyarakat tentang klien dengan gangguanjiwa.

C. HASIL PENELITIAN

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden BerdasarkanUmur di Desa


Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3
Juni 2021

Kriteria Umur Frekuensi Persentase

17-25 tahun 2 2,9


26-35 tahun 27 39,7
36-45 tahun 26 38,2
46-55 tahun 13 19,1
56-65tahun 0 0
Jumlah 68 100

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa hampir setengahrespondenberusia26-35tahunyaitu 27

orang(39,7%).
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Desa
Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 20
Mei-3 Juni2021

Pendidikan Frekuensi Persentase


(%)
Dasar (SD,SMP) 9 13,2
Menengah (SMA) 55 80,9
Tinggi (Perguruan
4 5,9
Tinggi)
Jumlah 68 100
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan SMA, yaitu

37 orang (74,0%) dan tidak ada yang berpendidikan SD (0%).

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Informasi tentang klien


dengan gangguan jiwa di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten
Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni2021

Sumber Informasi Frekuensi Persentase


(%)
Belum pernah mendapatkan
informasi 3 4,
4
Media Massa (internet, televisi,
radio, koran, 65 95,6
majalah)

Jumlah 68 100
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sumber informasi tentang klien dengan gangguan jiwa

dari media massa (internet, televisi, radio, koran, majalah), yaitu 65 orang (95,6%).

Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Anggapan klien dengan


gangguan jiwa Adalah Aib di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten
Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni2021

Anggapan klien dengan Frekuensi Persentase (%)


gangguan
jiwa adalahAib
Ya 45 66,2
Tidak 23 33,8
Jumlah 68 100

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengganggap bahwa klien

dengan gangguan jiwa adalah aib, yaitu 45 orang (66,2%).


Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tahu Penyebab klien
dengan gangguan jiwa di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon Kabupaten
Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni 2021

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa seluruh responden mengetahui penyebab klien dengan

gangguan jiwa yaitu 68 orang (100%).

Tabel4.6DistribusiFrekuensiResponden Berdasarkan Dukungan Penyembuhan


Klien Dengan Gangguan Jiwa di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon
Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni2021

Dukungan Penyembuhan Klien Frekuensi Persentase


Dengan (%)
GangguanJiwa

Ya 68 100
Tidak 0
Jumlah 100

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa seluruh responden menjawab bahwa ada orang di

sekitar lingkungannya yang terinfeksiCovid- 19 yaitu 68 responden (100%).

Tabel4.7DistribusiFrekuensiResponden Berdasarkan Perasaan tentang Klien


Dengan Gangguan Jiwa di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon
Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni2021
Perasaan tentang Frekuensi Persentase
klien dengan (%)
gangguanjiwa
Biasa saja 50 73,5
Takut 18 26,5
Penyebab Frekuens Persenta
klien dengan i se
gangguanjiwa (%)
Tahu 68 1
0
Jumlah 68 100

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasa biasa saja bila ada

klien dengan gangguan jiwa di sekitar yaitu 50 responden (73,5%).

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Stigma Masyarakat


tentang Klien Gangguan Jiwa di Desa Karangmangu Kecamatan Ngambon
Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 20 Mei-3 Juni 2021

Stigma Frekuen Persenta


si se
(%)
Stigmatik 4 64,7
4
NonStigmatik 35,3
Jumlah 100

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden stigmatik tentang klien

gangguan jiwa, yaitu 44 orang (64,7%).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Teori

1. Gangguan Jiwa

a. Pengertian Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa adalah manifestasi dari bentuk penyimpangan

perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan

ketidakwajaran dalam hal bertingkah laku. Hal ini terjadi karena

menurunnya semua fungsi kejiwaan(Akemat, Helena, Keliat, Nurhaeni

(2011). Sedangkan menurut Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2014,

orang dengan gangguan jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang

mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang

termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan perubahan

perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan

hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Tabel 1. Rentang sehat – sakit jiwa (Akemat, Helena, Keliat, Nurhaeni,


2011) adalah :
Respon Respon Maladaptif
Adaptif Gangguan Jiwa
Sehat Jiwa Masalah Psikososial
Pikiran logis Pikiran kadang menyimpang Waham

Persepsi akurat Ilusi Halusinasi


Emosi Reaksi emosional Ketidakmampuan
konsisten
Perilaku sesuai Perilaku kadang tidak sesuai mengendalikan
emosi
Hubungan
Menarik diri Perilaku kacau
sosial
Isolasi sosial
memuaskan

12
13

Ciri- ciri gangguan jiwa Akemat, Helena, Keliat & Nurhaeni (2011) adalah

1) Sedih bekepanjangan

2) Tidak semangat dan cenderung malas

3) Marah tanpa sebab

4) Mengurung diri

5) Tidak mengenali orang

6) Bicara kacau

7) Bicara sendiri

8) Tidak mampu merawat diri

b. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

Menurut Hartono & Kusumawati (2010) terdapat beberapa

tanda dan gejala gangguan jiwa antara lain:

1) Gangguan kognisi

Kognisi adalah suatu proses mental di mana seseorang menyadari

dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya baik

lingkungan dalam maupun lingkungan luarnya.

a) Gangguan sensasi

Seseorang yang mengalami gangguan kesadaran akan suatu

rangsangan.

b) Gangguan persepsi

Kesadaran akan suatu rangsang yang dimengerti atau bisa juga

diartikan sebagai sensasi yang didapat dari proses interaksi dan

asosiasi macam-macam rangsang yang masuk.


14

2) Gangguan Asosiasi

Asosiasi adalah proses mental di mana perasaan, kesan, atau

gambaran ingatan cenderung menimbulkan kesan atau gambaran

ingatan respon atau konsep lain, yang sebelumnya berkaitan

dengannya.

3) Gangguan perhatian

Perhatian adalah suatu proses kognitf yaitu pemusatan atau

konsentrasi.

4) Gangguan ingatan

Ingatan adalah kesanggupan untuk mencatat,menyimpan, serta

memproduksi isi dan tanda-tanda kesadaran. Proses ingatan terdiri

atas tiga unsur yaitu pencatatan, penyimpanan, pemanggilan data.

5) Gangguan psikomotor

Psikomotor adalah gerakan badan yang dipengaruhi oleh keadaan

jiwa meliputi kondisi perilaku motorik, atau aspek motorik dari

suatu perilaku. Bentuk gangguan psikomotor dapat berupa aktivitas

yang meningkat, aktivitas yang menurun, aktivitas yang terganggu

atau tidak sesuai, aktivitas yang berulang-ulang, otomatisme

perintah tanpa disadari, negativisme dan aversi (reaksi agresif).

6) Gangguan kemauan

Kemauan adalah proses dimana keinginan-keinganan

dipertimbangkan lalu diputuskan untuk dilaksanakan sampai

mencapai tujuan.
15

7) Gangguan emosi dan afek

Emosi adalah pengalaman yang sadar dan memberikan pengaruh

pada aktivitas tubuh dan menghasilkan sensasi organik. Sedangkan,

afek adalah perasaan emosional seseorang yang menyenangkan

atau tidak yang menyertai suatu pikiran yang berlangsung lama.

Emosi merupakan manifestasi afek yang keluar disertai oleh

banyak komponen fisiologik yang berlangsung singkat.

c. Penyebab gangguan jiwa

Hal-hal yang dapat memengaruhi perilaku manusia ialah

keturunan dan konstitusi, umur dan jenis kelamin, keadaan badaniah,

keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan

kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan

kematian orang yang dicintiai, agresi, rasa permusuhan, hubungan

antar manusia dan sebagainya. Meskipun gejala umum atau gejala

yang meninjil itu terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab

utamanya mungkin di badan (somatogenik), di lingkungan sosial

(sosiogenik), ataupun dipsike (psikogenik). Beberapa penyebab

tersebut terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan badan ataupun

jiwa (Yosep, 2010)

Sebaliknya seorang dengan penyakit badaniah apabila

mengalami kelemahan, daya tahan psikologiknya pun menurun

sehingga ia mungkin mengalami depresi, karena modern ini diketahui

bahwa penyakit pada otak sering mengakibatkan gangguan jiwa.


16

Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor pada

ketiga unsur itu yang terus menerus saling mempengaruhi

(Yosep,2010) yaitu:

1) Faktor somatik atau organobiologis

a) Neroanatomi

b) Nerofisiologis

c) Nerokimia

d) Tingkat kematangan dan perkembangan organik

e) Faktor pre dan peri-natal

2) Faktor psikologis

a) Interaksi ibu – anak dan peranan ayah

b) Persaingan anatara saudara kandung

c) Intelegensi

d) Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan

masyarakat

e) Kehilangan, konsep diri, pola adaptasi

f) Tingkat perkembangan emosi

3) Faktor sosio-budaya atau sosiokultural

a) Kestabilan keluarga

b) Pola mengasuh anak

c) Tingkat ekonomi

d) Perumahan, perkotaan lawan pedesaan


17

2. Desa Siaga Sehat Jiwa

Desa siaga sehat jiwa (DSSJ) adalah bentuk layanan keperawatan

kesehatan jiwa komunitas mempunyai visi “ meningkatkan kesehatan jiwa

masyarakat, mencegah masalah kesehatan jiwa masyarakat, memelihara

kesehatan jiwa masyarakat, dan mengoptimalkan kemampuan hidup

pasien gangguan jiwa yang ada di masyaarkat sesuai dengan

kemampuannya dengan memberdayakan keluarga dan masyarakat. Desa

siaga sehat jiwa akan menggambarkan pendekatan manajemen dalam

menerapkan layanan kesehatan jiwa bagi seluruh masyarakat yang

bermukim di desa tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah empat

fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan

pengendalian (Keliat, Panjaitan & Riasmini, 2010).

Keterlibatan masyarakat desa setempat sangat diperlukan dalam

upaya mengembangkan dan mencapai tujuan DSSJ, yaitu meningkatkan

derajat kesehatan jiwa komunitas. Strategi pemberdayaan masyarakat

bermanfaat untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah serta

mempertahankan kesehatan jiwa masyarakat. Struktur organisasi DSSJ

menggunakan pendekatan lintas sektor dan lintas program. DSSJ dipimpin

oleh perawat yang bertugas dipelayanan kesehatan jiwa di puskesmas yang

bertanggung jawab terhadap 2 desa atau lebih. Tokoh masyarakat (TOMA)

di desa berperan sebagai penasehat atau pelindung kader kesehatan jiwa.

Tiap kader kesehatan jiwa bertanggung jawab terhadap 10 sampai 20


18

keluarga di desa tempat tinggalnya, yaitu Desa Siaga Sehat Jiwa (Keliat,

Panjaitan & Riasmini, 2010).

3. Peran

a. Konsep Peran

Peran adalah suatu kumpulan norma untuk perilaku seseorang

dalam suatu posisi khusus. Istilah peran dapat berlaku untuk

kedudukan yang diraih, seperti jabatan (Maramis, 2009). Istilah peran

memiliki makna sebagai seperangkat tindakan yang diharapkan dan

dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan di masyarakat. Kata peran

selanjutnya menjadi peranan yang berarti “bagian dari tugas utama

yang harus dilaksanakan (Narmoatmojo, 2015).

Peran terdiri atas harapan-harapan yang melekat pada ciri-ciri

perilaku tertentu yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang yang

menduduki posisi atau status sosial tertentu dalam masyarakat. Setiap

peran memiliki fungsi tertentu dan tugas-tugas yang harus

dilaksanakan oleh pengemban peran. (Bruce JC dalam Muiawanthi,

2017). Peranan dibagi menjadi 3 antara lain (Thoha, 2007) :

1) Peranan sebagai figurehead

Suatu peranan yang di lakukan untuk mewakili organisasi yang

dipimpinnya dalam setiap kesemapatan dan persoalan yang timbul

secara formal.
19

2) Peranan sebagai pemimpin

Peranan ini seseorang bertindak sebagai pemimpin. Seseorang

melakukan hubungan interpersonal dengan yang dipimpin, dengan

melakukan fungsi-fungsi pokoknya diantaranya memimpin,

memotivasi, mengembangkan, dan mengendalikan.

3) Peranan sebagai pejabat perantara

Seseorang melakukan peranan yang berinteraksi dengan teman

sejawat, staf dan orang-orang lain yang berada diluar

organisasinya, untuk mendapatkan informasi.

Sebagai individu yang menjalankan peran, perlu memiliki gaya

kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan antara kadar

bimbingan dan perilaku tugas yang diberikan, kadar dukungan sosio-

emosional yang disediakan, tingkat kesiapan yang diperlihatkan dalam

pelaksanaan fungsi, tugas, atau tujuan tertentu (Sulaeman, 2009).

b. Fungsi dan Tugas

Fungsi berasal dari kata dalam Bahasa Inggris function, yang

berarti sesuatu yang mengandung kegunaan atau manfaat

(Admosudirjo, 2009). Fungsi adalah rincian tugas yang sejenis atau

erat hubungannya satu sama lain untuk dilakukan oleh seorang

pegawai tertentu yang masing-masing berdasarkan sekelompok

aktivitas sejenis menurut sifat atau pelaksanaannya (Sutarto dalam

Zainal, 2008). Sedangkan pengertian singkat dari definisi fungsi yaitu


20

fungsi adalah sebagai suatu aspek khusus dari suatu tugas tertentu

(Moekijat dalam Zainal, 2008)

Adapun fungsi dalam menjadi seorang pemimpin yang

mencakup 2 dimensi, yaitu dimensi yang berhubungan dengan

kemampuan mengarahkan ke arah tindakan dan dimensi yang

berhubungan dukungan atau keikutsertaan anggota dalam

melaksanakan tugas-tugas. Tugas adalah suatu kesatuan pekerjaan

atau kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi yang

memberikan gambaran tentang ruang lingkupatau kompleksitas

jabatan demi mencapai tujuan tertentu. Tugas juga berarti sasaran

yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai, sedangkan fungsi

artinya adalah pekerjaan yang dilakukan (Farantika, 2010).

4. Kader Kesehatan Jiwa

Kader kesehatan jiwa (KKJ) merupakan sumber daya masyarakat

yang perlu dikembangkan di Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ).

Pemberdayaan kader kesehatan jiwa sebagai tenaga potensial yang ada di

masyarakat diharapkan mampu mendukung program CMHN yang

diterapkan di masyarakat. Seorang kader akan mampu melakukan kegiatan

apabila kader tersebut telah diberikan pembekalan sejak awal. Adapun

kriteria kader desa siaga sehat jiwa sebagai berikut:

a. Bertempat tinggal di Desa Siaga Sehat Jiwa

b. Sehat jasmani dan rohani


21

c. Mampu membaca dan menulis dengan lancar menggunakan bahasa

Indonesia

d. Bersedia menjadi kader kesehatan jiwa sebagai tenaga suka rela

e. Mempunyai komitmen untuk melaksanakan program kesehatan jiwa

komunitas

f. Menyediakan waktu untuk kegiatan CMHN

g. Mendapat izin dari suami atau istri atau keluarga

Pengembangan KKJ digambarkan sebagai suatu proses

pengelolaan motivasi kader sehingga mereka dapat melaksanakan kegiatan

dengan baik, hal ini juga merupakan penghargaan bagi kader karena

melalui manajemen sumber daya manusia (SDM) yang baik, kader akan

mendapatkan kompensasi berupa penghargaan sesuai dengan apa yang

telah dikerjakannya.

Pengembangan kemampuan KKJ merupakan salah satu proses

yang berhubungan dengan manajemen SDM. Tujuan pengembangan

tenaga KKJ akan membantu masing-masing kader mencapai kinerja sesuai

dengan posisinya dan sebagai penghargaan terhadap kinerja yang telah

dicapai. KKJ berperan serta dalam meningkatkan, memelihara, dan

mempertahankan kesehatan jiwa masyarakat.

Tugas pokok yang dilakukan oleh KKJ adalah sebagai berikut :

a. Deteksi dini

Mendeteksi keluarga sehat, keluarga yang beresiko mengalami

gangguan jiwa, dan keluarga yang menderita gangguan jiwa (Keliat,


22

2010). Kader kesehatan jiwa selalu melaporkan hasil deteksinya

kepada pihak puskesmas untuk di follow up (Sutini & Hidayati, 2017).

Dalam melakukan deteksi dini klien diberikan bebrapa item pertanyaan

yang isinya terkait tanda dan gejala gangguan jiwa, dari data yang

didapat dapat membantu menganalisa apakah klien beresiko atau

gangguan. Selain itu meningkatkan kesadaran diri seseorang untuk

selalu peduli terhadap masalah psikologis yang diahadapi. Deteksi dini

yang bisa dilakukan ialah mengelai gejala-gejala abnormalitas

(ketidakwajaran) pada jiwa. Gejala-gejala yang bisa dideteksi melalui

gejala kejiwaan yaitu melalui pikiran, perasaan, emosi, kehendak,

sikap dan tingkah laku (Yani, 2018).

b. Supervisi / kunjungan rumah

Supervisi pasien gangguan jiwa dilakukan melalui kunjungan

rumah. Kasus pasien gangguan jiwa yang akan dipantau

perkembangannya oleh kader kesehatan jiwa adalah: perilaku

kekerasan, halusinasi, isolasi sosial, harga diri rendah, dan defisit

perawatan diri.

Pasien dan keluarga yang akan dipantau perkembangnnya oleh

KKJ adalah pasien dan keluarga yang mandiri. Pengertian mandiri

adalah jika pasien mampu melakukan semua kegiatan yang telah

dilatih sesuai dengan jadwal kegiatan harian secara mandiri (M)

selama dua minggu berturut-turut. Kader Kesehatan Jiwa akan

melakukan serah terima dengan perawat CMHN, dan akan memantau


23

perkembangan pasien dengan menggunakan buku supervisi pasien

(Keliat, 2010).

Peran kader kesehatan dalam melakukan kunjungan rumah

adalah kegiatan melakukan cara merawat anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa. Kegiatan kader kesehatan jiwa dalam

kunjungan rumah meliputi: pendekatan terlebih dahulu kemudian

meminta ijin kepada keluarganya (Hapsari, Iswanti & Lestari, 2018).

Kunjungan rumah dilakukan 1 bulan sekali untuk memperoleh

informasi terkini tentang keadaan pasien, kemampuan pasien

mengatasi masalahnya dan keterlibatan keluarga dalam perawatan

pasien di rumah terkait kepatuhan minum obat dan rutinitas kontrol ke

puskesmas atau Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Kader kesehatan jiwa akan

melakukan serah terima dengan perawat CMHN dan kader kesehatan

jiwa akan memantau perkembangan pasien dengan menggunakan buku

supervisi pasien (Hapsari, Iswanti & Lestari, 2018).

Pendekatan kader melalui kunjungan rumah bisa juga dalam

bentuk bantuan untuk merujuk ke pelayanan kesehatan apabila anggota

keluarga mengalami gejala-gejala kambuh, serta pengupayaan jaminan

kesehatan dan bantuan sosial menunjukkan bahwa kader memudahkan

akses terhadap sumber daya yang terkait dengan perawatan orang

dengan gangguan jiwa (Surahmiyati, 2017).


24

c. Menggerakkan keluarga melalui penyuluhan kesehatan jiwa

Kegiatan penyuluhan antara lain yaitu: melakukan pendataan

keluarga yang mengalami gangguan jiwa, melaporkan dan melakukan

penyuluhan saat kegiatan posyandu, di arisan Pemberdayaan

Kesehatan Keluarga (PKK) dan penyuluhan dengan kerjasama dengan

pihak RSJ. (Hapsari, Iswanti, Lestari, 2018). Kader menggerakkan

masyarakat untuk ikut serta dalam penyuluhan kelompok sehat, resiko

dan gangguan. Memotivasi pasien dan keluarga untuk mengikuti

kegiatan kelompok maupun penyuluhan kesehatan serta menganjurkan

pasien untuk teratur melakukan pemeriksaan ke puskesmas (Himawan,

Rosiana,Sukesih, 2015).

Kader menunjukkan empatinya pada keluarga dengan anggota

keluarga gangguan jiwa, membantu hubungan yang akrab dengan

orang gangguan jiwa dan memfasilitasi penerimaan sosial oleh

masyarakat, meningkatkan rasa percaya diri keluarga dan pasien. Rasa

percaya diri merupakan faktor penting dalam proses pemulihan dari

kondisi mengalami gangguan mental. Kader memudahkan akses

informasi dengan memberikan sosialisasi mengenai gangguan jiwa di

masyarakat dan menyampaikan informasi tentang pelayanan

kesehatan jiwa (Surahmiyati, 2017).

d. Menggerakkan pasien untuk melakukan Terapi Aktivitas Kelompok

(TAK) dan rehabilitasi (Keliat, 2010).


25

Rehabilitasi merupakan aktivitas yang dilakukan pada

pencegahan tersier yang bertujuan mengembalikan fungsi pasien

secara optimal, sehingga tingkat kecacatan pasien tersebut dapat

berkurang. Dalam kegiatan ini diawali dengan mengkaji potensi yang

masih dimiliki pasien dan melatihnya sehingga pasien dapat

melakukan kegiatan sesuai dengan kemampuannya yang dimiliki

(Keliat, Wiyono & Herni, 2012).

Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan dalam menggerakkan

kelompok pasien gangguan jiwa untuk mengikuti TAK dan rehabilitasi

adalah kader mengumpulkan peserta TAK dan rehabilitasi serta

memotivasi peserta untuk aktif dan kader mendampingi perawat

CMHN yang melakukan kegiatan TAK dan rehabilitasi. Kader juga

yang mengumpulkan pasien dan mencari tempat untuk pelaksanaan

kegiatan TAK dan rehabilitasi, sehingga kader dapat mengevaluasi

proses pelaksanaan dari TAK (Hapsari, Iswanti & Lestari, 2018)

e. Perujukan kasus

Menurut Keliat (2010) kasus atau pasien yang dirujuk oleh

KKJ kepada perawat CMHN adalah sebagai berikut :

1) Pasien yang dirawat oleh KKJ dan hasil evaluasi kemampuan

pasien dan keluarga kurang dari 50 %.

2) Ditemukan tanda dan gejala yang kritis

a) Perilaku kekerasan : pasien melukai orang lain,

merusak barang-barang
26

b) Halusinasi : pasien mengikuti halusinasinya

c) Isolasi sosial : pasien selalu mengatakan dirinya negatif / tidak

berguna

d) Defisit perawatan diri : pasien tidak mau melakukan aktivitas

mandi, berhias, makan, bab/bak.

Peran kader kesehatan jiwa dalam rujukan adalah mendata

pasien yang mengalami gangguan jiwa dengan gejala marah-marah,

kemudian kader lapor ke Puskesmas dan yang merujuk ke RSJ adalah

dari pihak Puskesmas. Kader harus mengetahui rentang dari yang sehat

hingga mengalami gangguan. Sehingga kader dapat mengetahui mana

saja yang dianggap untuk bisa dilakukan rujukan ke RSJ. Kader harus

menghubungi pihak Puskesmas untuk mendapatkan pendampingan

(Hapsari, Iswanti & Lestari, 2018)

f. Mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan

Peran kader kesehatan jiwa dalam dokumentasi adalah

melakukan pencatatan kegiatan dengan menggunakan formulir yang

sudah diberikan oleh pihak Puskesmas atau RSJ (Hapsari, Iswanti, &

Lestari, 2018). Dokumentasi kegiatan yang dilakukan oleh kader

kesehatan jiwa menurut Keliat (2010) adalah sebagai berikut :

1) Hasil deteksi keluarga ditulis pada buku deteksi keluarga.

2) Hasil partisipasi masyarakat dalam penyuluhan kesehatan jiwa

ditulis pada buku penyuluhan kesehatan jiwa.


27

3) Hasil partisipasi pasien gangguan jiwa dalam kegiatan TAK dan

rehabilitasi ditulis pada buku TAK dan rehabilitasi.

4) Hasil supervisi pasien melalui kunjungan rumah ditulis di buku

supervisi.

5) Hasil perujukan kasus ditulis di format perujukan kasus

5. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan adalah upaya memenuhi kebutuhan yang diinginkan

oleh individu, kelompok, dan masyarakat luas agar mereka memiliki

kemampuan untuk melakukan pilihan dan mengontrol lingkungannya agar

dapat memenuhi keinginan-keinginannya, termasuk aksesibilitasnya

terhadap sumber daya yang terkait dengan pekerjaannya, aktivitas

sosialnya, dan lain-lain (Mardikanto, 2010). Dalam hal ini berarti bahwa

pemberdayaan masyarakat tidak dilakukan dengan memberi sesuatu,

melainkan dengan memotivasi, mendorong, dan membangkitkan

kesadaran akan keberadaan (eksistensi diri) dan potensi yang dimiliki

disertai dengan penciptaan iklim yang kondusif (Sulaeman, 2012).

Pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan sebagai satu sub

sistem dalam bentuk dan cara penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan,

baik perorangan, kelompok, maupun masyarakat secara terencana, terpadu

dan berkesinambungan guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat

yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2009). Tujuan program

pemberdayaan masyarakat dibidang keseahatan adalah meningkatnya

kemandirian masyarakat dan keluarga dalam bidang kesehatan sehingga


28

masyarakat dapat memberikan andil dalam meningkatkan derajat

kesehatannya (Sulaeman, 2012).

Peran serta masyararakat dalam bidang kesehatan diarahkan

melalui tiga kegiatan utama, sebagai berikut (Adisasmito, 2012).

a. Kepemimpinan yaitu melakukan intervensi kepemimpinan yang

berawawasan Kesuma (kesehatan untuk semua).

b. Pengorganisasian yaitu melakukan intervensi “community

development” dibidang keseahtan pada setiap kelompok masyarakat.

c. Pendanaan yaitu mengembangkan sumber dana setempat untuk

membiayai berbagai bentuk kegiatan dibidang kesehatan dari tingkat

promotif, preventif, kuratif, ,maupun rehabilitatif.

Pemberdayaan keluarga adalah proses pemberian kekuatan atau

dorongan sehingga membentuk interaksi transformatif kepada keluarga.

Pemberdayaan dilakukan untuk membantu keluarga dalam kegiatan

promosi kesehatan, preventif, pemulihan kesehatan sehingga berfungsi

secara optimal. Keberhasilan pemberdayaan keluarga dapat dipengaruhi

oleh lingkungan baik dari lingkungan keluarga itu sendiri maupun

lingkungan masyarakat, termasuk kelompok yang diajak bekerjasama,

situasi soial politik yang mendukung dan pengalaman keluarga (Achjar,

2012).

Strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pemberdayaan keluarga

antara lain menumbuhkembangkan potensi yang ada dikeluarga seoptimal

mungkin untuk mengatasi masalah keluarga dan meningkatkan status


29

kesehatan keluarga, berprinsip meningkatkan kontribusi keluarga baik

secara fisik maupun psikis, mengembangkan kegiatan keluarga melalui

fasilitas dan memotivasi dengan memperkuat sumber daya keluarga

sehingga nantinya agar terjadi alih peran antara petugas kesehatan kepada

keluarga, memanfaatakan potensi yang dimiliki keluarga (Achjar, 2012).

6. Keluarga

a. Pengertian keluarga

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang terikat oleh

hubungan darah, dengan saling berinteraksi dan memperhatikan serta

meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial setiap

anggotanya (Ratnawati, 2017). Keluarga berperan dalam menentukan

cara asuhan yang diperlukan anggota keluarga yang sakit. (Sulistyo,

2012).

b. Fungsi keluarga

Fungsi keluarga merupakan hasil atau konsekuensi dari struktur

keluarga atau sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga.

Terdapat beberapa fungsi keluarga menurut Friedman, Setiwati

Dermawan dalam Achjar (2012) yaitu :

1) Fungsi afektif

Merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan

pemeliharaan kepribadian dari anggota keluarga. Merupakan

respon dari keluarga terhadap kondisi dan situasi yang dialami tiap
30

anggota keluarga baik senang maupun sedih, dengan melihat

bagaimana cara keluarga mengekspresikan kasih sayang.

2) Fungsi sosialisasi

Fungsi sosialisasi tercermin dalam pembinaan sosialisasi pada

anak, membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan

batasan perilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak,

meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

3) Fungsi perawatan kesehatan

Merupakan fungsi keluarga dalam melindungi keamanan dan

kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin pemenuhan

kebutuhan perkembangan fisik, mental dan spiritual, dengan cara

memelihara dan merawat anggota keluarga sertaa mengenali

kondisi sakit tiap anggota keluarga.

4) Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti

sandang, pangan , papan dan kebutuhan lainnya melalui kefektifan

sumber dana keluarga, mencari sumber penghasilan guna

memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan pengahasilan keluarga,

menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

5) Fungsi biologis

Fungsi biologis bukan hanya ditujkkan untuk meneruskan kturunan

tetapi untuk memlihara dan membesarkan anak untuk kelanjutan

generasi selanjutnya
31

6) Fungsi psikologis

Fungsi psikologis trerlihat bagaimana keluarga memberikan kasih

sayang dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota

keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan

memberikan identitas keluarga.

7) Fungsi pendidikan

Diberikan keluarga dalam rangka memberikan pengetahuan

ketrampilan membntuk prilau anak mempersiapkan anak ujtuk

kehidupan dewasa mendidik anak seuai dengan timgkatan

perkembangannya.
32

B. Kerangka Teori

Desa Siaga
Sehat Jiwa

Tokoh Masyarakat Perawat Kader kesehatan jiwa


CMHN
Peran kader :
1. Mendeteksi keluarga dengan anggota
Peran keluara gangguan jiwa di desa siaga
1. Kedudukan sehat jiwa
2. Tugas 2. Menggerakan keluarga pasien
gangguan jiwa untuk mengikuti
3. Fungsi
penyuluhan kesehatan jiwa
3. Menggerakan pasien dan keluarga
untuk mengikuti TAK dan rehabilitasi
4. Melakukan kunjungan rumah ke
Pemberdayaan Masyarakat keluarga dengan anggota keluarga
gangguan jiwa
1. Memotivasi 5. Merujuk kasus gangguan jiwa kepada
2. Mendorong, perawat CMHN
3. Membangkitkan kesadaran 6. Mendokumentasikan kegiatan
yang dilakukan

Keluarga Gangguan jiwa

Peran dan fungsi keluarga : Penyebab gangguan jiwa :


1. Pemberi asuhan 1. Faktor somatik
2. Motivator 2. Faktor psikologis
3. Faktor sosio-budaya

Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian (Achjar, 2012; Akemat, Helena, Keliat,


Nurhaeni, 2011; Bruce JC dalam Muiawanthi, 2017; Depkes RI, 2009; Hapsari,
Iswanti, Lestari, 2018; Keliat, 2010; Keliat, Panjaitan, Riasmini, 2010; Maramis,
2009; Mardikanto, 2010; Sulistyo, 2012; Ratnawati, 2017; Sulaeman, 2012;;
Yosep, 2010)
33

C. Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah peran kader kesehatan dalam memberdayakan keluarga

dengan anggota keluarga gangguan jiwa di Desa Banyuraden Wilayah Kerja

Puskesmas Gamping II tahun 2019?

D. PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden stigmatik tentang

klien gangguan jiwa, yaitu 44 orang(64,7%), dan hampir setengah responden non

stigmatik tentang klien dengan gangguan jiwa yaitu 24 orang(35,3%).

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden stigmatik tentang klien

dengan gangguan jiwa. Hal ini disebabkan karena responden memberikan pandangan

yang negatif pada klien dengan gangguan jiwa. Nilai autoritative dan ketahanan sosial

lebih tinggi dibandingkan kebajikan dan ideologi kesehatan mental komunitas sehingga

menghasilkan stigma di masyarakat tentang ODGJ. Berdasarkan hasil penelitian,

pandangan stigmatik tentang klien gangguan jiwa dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti pendidikan, anggapan bahwa gangguan jiwa adalah aib, dan perasaan bila ada

orang dengan gangguan jiwa di lingkungan.

Faktor pertama yang menyebabkan stigmatik adalah pendidikan. Hasil tabulasi

silang di lampiran dapat diketahui bahwa responden yang stigmatik adalah 63,6%

responden yang berpendidikan menengah, dan 100% responden berpendidikan dasar

(SD, SMP). Faktor selanjutnya yang menyebabkan stigmatik adalah anggapan bahwa
34

gangguan jiwa adalah aib. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa 97,8% responden

yang stigmatik menganggap bahwa gangguan jiwa adalah aib. Faktor selanjutnya

yang menyebabkan pandangan stigmatik adalah perasaan jika ada orang dengan

gangguan jiwa di lingkungan. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa 100%

responden yang stigmatik merasa takut mengetahui bahwa ada seseorang di sekitar

anda yang mengalami gangguan jiwa.

Pandangan stigmatik menyebabkan seseorang merasa ketakutan kalau ada klien

gangguan jiwa di lingkungan masyarakatnya karena mereka berpikir klien gangguan jiwa

suka mengamuk dan mencelakai orang lain. Semua itu merupakan konsekuensi dari

stigma gangguan jiwa. Stigma terhadap gangguan jiwa membuat pihak keluarga menjadi

bersikap apatis dan sering mengelak bila diajak konsultasi ke psikiater karenarasa malu

yang sering menghantui benak keluarga. Padahal dukungan keluargasangat

penting untuk upaya penyembuhan penderita gangguan jiwa (Sarfika, 2017)

Responden yang menjawab takut dengan adanya klien dengan gangguan jiwa di

lingkungan sekitarnya seluruhnya mempunyai pandangan stigmatik tentang klien

dengan gangguan jiwa, karena ketakutan itu maka jawaban responden akan

mengarahkan pada jawaban warga perlu takut jika ada orang yang datang ke

lingkungannya untuk mendapatkan layanan kesehatan mental dan mengerikan

membayangkan orang-orang denganmasalah mental tinggal di lingkunganperumahan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden non stigmatik

tentang klien dengan gangguan jiwa yaitu 24 orang (35,3%). Pandangan non stigmatik

artinya bahwa masyarakat tidak memberikan pandangan negatif pada ODGJ.

Beberapa faktor turut berkontribusi menyebabkan munculnya penilaian positif

masyarakat terhadap ODGJ yang dipasung, sepertifaktor


35

usia, pendidikan, dan pekerjaan (Dewi et al., 2020). Responden yang non stigmatik

tentang klien dengan gangguan jiwa sebanyak 35,3%. Hal ini disebabkan karena

responden merasa bahwa setiap orang bisa mengalami gangguan jiwa, maka tidak perlu

berpandangan buruk pada orang yang mengalamigangguanjiwa.Berdasarkanhasil

penelitian, non stigmatik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendidikan, dukungan

pada kesembuhanODGJ.
36

KESIMPULAN

Stigma masyarakat tentang klien dengangangguanjiwadiDesaKarangmangu

Kecamatan Ngambon Kabupaten Bojonegoro sebagian besar tergolong

stigmatik. Hal ini disebabkan karena masyarakat masih memberikan pandangan negatif

pada klien dengan gangguan jiwa, menganggap bahwa gangguan jiwa adalah aib, tidak

bisa mendapatkan haknya sebagai individu karena dianggap tidak normal sebagaimana

manusia padaumumnya.
37

SARAN

1. BagiResponden

Masyarakat diharapkan untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang

gangguan jiwa dari tenaga kesehatanatau dari internet dengan sumber yang

kompeten di bidang kesehatan agar dapat menghilangkan pandangan negatif

padaklien dengan gangguan jiwa. Tetap bergaul dengan keluarga yang memiliki

anggota dengan gangguan jiwa dan mendukung kesembuhannya dengan

membantu keluarganya untuk berobat ke dokter kesehatan jiwa atau pusat

rehabilitasi mental, misalkan mencarikan informasi tentang pusat rehabilitas

mental, mengantarkan klien ke rumah sakit jiwa atau pusat rehabilitas mental

untuk mendapatkanpengobatan.

2. Bagi PerangkatDesa

Perangkat desa bekerja sama dengan pihak Puskesmas, tenaga kesehatan, dan

kader jiwa di masyarakat untuk melakukan penyuluhan tentang klien dengan

gangguan jiwa.

3. Bagi TenagaKesehatan

Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang kesehatan jiwa dan

bagaimana cara menyikapi orang dengan gangguan jiwa agar dapat memperbaiki

stigma masyarakat tentang orang dengan gangguan jiwa

4. Bagi PenelitiSelanjutnya

Melakukan pengembangan penelitian dengan menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi stigma tentang ODGJ, seperti faktor pengetahuan, faktor dukungan

sosial, atau tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap stigma masyarakat

tentang ODGJ.
38

DAFTAR PUSTAKA

Aizid, R. (2015). Melawan Stres Dan Depresi. Yogyakarta: Saufa.

Dewi,E.I.,Wuryaningsih,E.W.,&Susanto,
T. (2020). Stigma Against People with Severe Mental Disorder (PSMD) with
Confinement “Pemasungan.”NurseLine Journal, 4(2), 131.
https://doi.org/10.19184/nlj.v4i2.13821
Girma,E.,Tesfaye,M.,Froeschl,G.,Möller- Leimkühler, A. M., Müller, N., & Dehning,
S. (2013). Public stigma against people with mental illness inthe Gilgel Gibe
Field Research Center (GGFRC) in Southwest Ethiopia. PLoS ONE, 8(12).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.00 82116
Kamil, H., Jannah, S. R., &Tahlil, T. (2017). Stigma Keluarga terhadap Penderita
Skizofrenia Ditinjau dari Aspek Sosial Budaya dengan Pendekatan Sunrise
Model. Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (SNP)Unsyiah.

Parera, I., Zainuddin, & Munadhir. (2019). STIGMA MASYARAKAT


TERHADAP PENDERITA GANGGUAN JIWA. Journal Health Community
Empowerment, II(1). https://doi.org/10.2207/jjws.88.427
Purnama.(2016).Stigma Masyarakat Terhadap Klien. Jurnal Pendidikan
Keperawatan Indonesia, 2(1), 29–37. file:///C:/Users/user/Downloads/2850-
5242-1-PB(1).pdf%0A%0A

Ramadhani, N., & Patria, B. (2018). Psikologi Untuk Indonesia Maju dan Beretika.
Yogyakarta: UGM Press.

Sarfika, R. (2017). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stigma Sosial


Terhadap Pasien Gangguan Jiwa Pada Remaja Di Sumatera Barat.
0015098406.

Setiawan,L.,Heny,S.,&Fakhria,N.(2019). STIGMA MASYARAKAT PADA ORANG


DENGAN GANGGUAN JIWA DI DESA. NSJ, 3(2),9–16.
WHO.(2020). Schizophrenia. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/schizophreni
39

Anda mungkin juga menyukai