Anda di halaman 1dari 4

KELOMPOK 9

 I Made Angga Dewantara Giri Putra 2112531001


 I Made Agus Widiantara Putra 2112531014
 M. Dhafin Danendra 2112531027
 Hanang Shadan Pangestu 2112531045

STUDI KASUS

ISI BERITA
Kasus korupsi dan jual beli jabatan di Probolinggo merupakan salah satu kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia. Kasus ini melibatkan Bupati Probolinggo, Puput
Tantriana Sari, dan suaminya, Hasan Aminuddin. Kasus ini terjadi pada tahun 2021 dan
masih menjadi perhatian publik hingga saat ini.
Kronologi kasus dimulai ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT)
terhadap 10 orang, termasuk Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya,
Hasan Aminuddin. Hasan merupakan Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi Partai
Nasdem. Penangkapan itu berlangsung di Kabupaten Probolinggo pada 30 Agustus 2021.
KPK menetapkan Puput Tantriana Sari, Hasan Aminudin, Doddy Kurniawan, dan
Muhamad Ridwan sebagai penerima suap. Uang tersebut diduga merupakan suap terkait
seleksi dan pembubuhan paraf sebagai tanda bukti. Saat diamankan oleh Tim KPK, DK
(Dody Kurniawan) dan SO (Sumarto) membawa uang sejumlah Rp 240 juta dan proposal
usulan nama Selasa.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan 18 tersangka pemberi suap, termasuk Sumarto, Ali
Wafa, dan lainnya. Pada 25 Januari 2022, Bupati Probolinggo dan suaminya didakwa
menerima suap sebesar Rp360 juta. Jaksa menjelaskan kasus ini bermula saat Tantri
diangkat menjadi Bupati Probolinggo 2018-2023. Hasan pun terpilih menjadi anggota
DPR. Namun, Hasan diduga masih mengintervensi penentuan jabatan di Pemkab
Probolinggo.
ANALISI KASUS

(Berdasarkan Chapter 12: Governmental Ethics Andorganizational Culture, Buku


Terry Copper “Handbook Of Administrative Ethics:The Use Philosophy In
Administrative Ethics”)

Kasus korupsi di Probolinggo mencerminkan dengan jelas gagasan Pastin, yang


memandang korupsi sebagai sesuatu yang terlembaga dalam sistem pemerintahan. Dua
aspek yang perlu diperhatikan lebih lanjut dalam konteks ini adalah praktik korupsi yang
menjadi terlembaga dan peran pemimpin sebagai perpanjangan dari praktik-praktik ini.
1. Praktik Korupsi Terlembaga
Ketika kita menyebut praktik korupsi yang terlembaga, kita merujuk pada suatu
kondisi di mana perilaku koruptif bukanlah kejadian terisolasi, tetapi telah meresap
dan menjadi bagian dari rutinitas dalam pemerintahan daerah. Intervensi dalam seleksi
jabatan, seperti yang terungkap dalam kasus Probolinggo, bukanlah kejadian sporadis,
melainkan mencerminkan norma-norma negatif yang diterima dan diinternalisasi
dalam budaya organisasi. Perangkat seleksi jabatan seharusnya menjadi sarana untuk
memastikan penempatan pejabat yang berkualitas dan berintegritas. Namun, dalam
kasus ini, seleksi tersebut disalahgunakan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan
individu atau kelompok tertentu. Proses seleksi yang seharusnya transparan dan
objektif terdistorsi oleh norma-norma yang merugikan, menciptakan lingkungan di
mana korupsi menjadi suatu praktik yang dapat diterima. Ketika praktik korupsi sudah
terlembaga, perubahan menjadi semakin sulit karena telah menyatu dalam struktur
organisasi. Hal ini dapat menciptakan resistensi terhadap upaya perubahan karena
banyak pihak yang terlibat merasa nyaman dengan status quo yang mendukung
kepentingan pribadi atau kelompok.
2. Pemimpin sebagai Perpetuator Korupsi
Keterlibatan Bupati Probolinggo dan suaminya sebagai penerima suap menyoroti
peran pemimpin dalam memperpetuasi korupsi. Sebagai figur otoritatif yang
seharusnya memberikan teladan etika dan moralitas, pemimpin yang terlibat dalam
praktik-praktik koruptif justru merusak integritas institusi dan memperburuk kondisi
budaya organisasi.
Pemimpin yang menjadi perpanjangan dari praktik korupsi terlembaga memainkan
peran kunci dalam mempertahankan dan mungkin memperluas jaringan korupsi.
Mereka dapat menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk memastikan
kelancaran praktik-praktik koruptif, sekaligus membentuk norma-norma yang
mendukung keberlanjutan korupsi. Penting untuk mencatat bahwa keterlibatan
pemimpin dalam korupsi dapat memiliki dampak jangka panjang yang merugikan,
tidak hanya terhadap integritas lembaga yang mereka pimpin, tetapi juga terhadap
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Ketika pemimpin gagal menjadi
agen perubahan positif, ini dapat menciptakan lingkungan di mana korupsi
berkembang subur dan sulit untuk diberantas.
Gagasan Pastin dalam konteks kasus Probolinggo memanggil kita untuk lebih
mendalam dalam memahami bahwa korupsi bukan hanya persoalan individu tetapi
sudah menjadi bagian terstruktur dalam dinamika pemerintahan. Perubahan yang
signifikan memerlukan upaya yang menyeluruh dan melibatkan semua lapisan
organisasi. Pemahaman dan pengungkapan praktik korupsi terlembaga dan peran
pemimpin sebagai perpetuator korupsi merupakan langkah awal penting untuk
merancang strategi perubahan yang efektif dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Cooper, T. L. (2001). Handbook of Administrative Ethics. Switzerland: Eastern Hemisphere
Distribution.

Kamil, I., & Erdianto, K. (2021, Agustus 31). Kronologi OTT terhadap Bupati Probolinggo dan
Suaminya Terkait Jual Beli Jabatan. Dipetik Desember 7, 2023, dari Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2021/08/31/05561831/kronologi-ott-terhadap-bupati-
probolinggo-dan-suaminya-terkait-jual-beli

Anda mungkin juga menyukai