Anda di halaman 1dari 63

RESILIENSI PENYINTAS KORBAN BENCANA DI DESA

GASOL KECAMATAN CUGENANG


KABUPATEN CIANJUR

PROPOSAL PENELTIAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Terapan Pekerjaan Sosial (S.Tr.Sos)

Dosen Pembimbing:
Susilawati, M.Si, PhD
Diana, SE, MP

OLEH :
RIZKI ESA PURNAMA
NRP. 19.04.068

PROGRAM STUDI PEKERJAAN SOSIAL PROGRAM SARJANA

TERAPAN POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL


BANDUNG
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i


A. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah ...........................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................6
1.5 Sistematika Penulisan.........................................................................................7
B. KAJIAN KONSEPTUAL ................................................................................ 8
2.1 Penelitian Terdahulu ..........................................................................................8
2.2 Tinjauan Konseptual ........................................................................................13
2.3 Kerangka Berfikir.............................................................................................46
C. METODE PENELITIAN .............................................................................. 48
3.1 Desain Penelitian..............................................................................................48
3.2 Sumber Data .....................................................................................................49
3.3 Definisi Operasional.........................................................................................49
3.4 Populasi dan Sampel ........................................................................................51
3.5 Uji Validitas dan Rehabilitas Alat Ukur ..........................................................53
3.6 Teknik Pengumpulan Data ...............................................................................56
3.7 Teknik Analisis Data ........................................................................................57
3.8 Jadwal dan Langkah Langkah Penelitian .........................................................58
D. Daftar Pustaka ................................................................................................ 61

i
A. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang

dari Sabang sampai Merauke mempunyai posisi yang strategis, secara

geografi terletak diantara dua Benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia

serta terletak diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Bentangan

garis khatulistiwa yang melintas di Indonesia juga memberi konsekuensi

sebagai daerah tropis yang hanya memiliki dua musim, yaitu musim hujan

dan kemarau. Berada di atas pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu

lempeng Indo-Australi, Eurasia, dan lempeng Pasifik. Kemudian Indonesia

sering mengalami cuaca dan iklim yang berubah - ubah sehingga membuat

Indonesia sebagai salah satu negara yang tinggi akan terjadi bencana alam.

Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia salah satunya adalah

bencana gempa bumi yang merupakan suatu fenomena alam yang terus

menerus terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Bencana gempa

merupakan suatu masalah yang erat kaitannya dengan lingkungan hidup, hal

ini dipengaruhi oleh alam serta akibat adanya berbagai faktor lain seperti

lempengan urat bumi. Bencana gempa merupakan bencana yang dapat

terjadi kapanpun, yang dapat menimbulkan kerugian mulai dari yang ringan

hingga berat. Permasalahan tersebut harus dapat ditangani secara serius,

sehingga tidak dapat memberikan dampak yang berarti kepada masyarakat.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian

peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan

1
2

masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam

maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa

manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak

psikologis. Terdapat tiga jenis bencana yang dibedakan berdasarkan

sumber/penyebabnya, yaitu bencana alam, bencana nonalam, dan bencana

sosial.

Selama tahun 2022 Badan Geologi mencatat telah terjadi sebanyak

24 kejadian gempa bumi merusak di Indonesia. Disampaikan Kepala Pusat

Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono melalui akun Twitternya,

Minggu (1/1/2023), total ada 10.792 kali aktivitas gempa di Indonesia pada

2022. Di antara jumlah itu, ada 807 kali gempa yang dirasakan serta 22 kali

gempa yang merusak bangunan.

Bencana gempa mengandung potensi yang merugikan dan

berdampak besar bagi populasi manusia, sehubungan dengan terdapatnya

ancaman berupa tanah longsor yang dapat menimbulkan adanya korban

meninggal, korban luka - luka, hilangnya rasa aman, kerusakan atau

kehilangan harta, dan terganggunya kegiatan masyarakat sehari-hari.

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang

memiliki potensi gempa cukup tinggi, sehingga tidak menutup

kemungkinan sering dilanda bencana gempa di beberapa titik daerah yang

ada di Provinsi Jawa Barat.

Gempa di Cianjur pada Senin, 21 November 2022 kekuatan 5,6

Magnitudo berdampak merusak, sampai ratusan orang meninggal dam


3

ribuan bangunan hancur. Cianjur salah satu wilayah di Jawa Barat yang

terkena musibah di tahun ini, dan menambah daftar panjang bencana yang

terjadi di Jawa Barat pada 2022. Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB) mencatat, hingga 29 Desember 2022 telah terjadi sebanyak 3.507

bencana di seluruh wilayah Indonesia. Dari total bencana yang tercatat itu,

gempa dengan 1.504 kejadian di berbagai daerah, disusul 1.042 cuaca

ekstrem, 633 tanah longsor, 251 kebakaran lahan dan hutan, 28 gempa bumi,

26 gelombang pasang, 4 kekeringan, dan satu letusan gunung berapi. (

Jakarta, CNBC Indonesia )

Desa gasol merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan

cugenang kabupaten cianjr desa ini kerap mengalami bencana alam seperti

tanah longsor dan gempa bumi di beberapa bulan terakhir, yang membuat

banyak warganya menjadi korban. Penyintas korban bencana di desa gasol

memiliki latar belakang yang sangat beragam. Ada yang berasal dari

keluarga miskin, petani, buruh dan juga pedagang. Mereka hudruo dengan

susah payah memenuhi kebutuhan sesari hari, namun dengan adanya

bencana hidup mereka semakin sulit dan terkadang barus mengalami

kehilangan harya benda dan kerabat.

Masyarakat memandang bencana Gempa yang terjadi di Desa gasol

kecamatan cugenang menjadi satu permasalahan yang tak kunjung usai

sampai saat ini yang selalu membawa dampak cukup besar bagi

kehidupannya. Bahkan setiap Minggu, Gempa susulan menjadi masalah

utama bagi sebagian masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana


4

gempa di Deaa Gasol. Sedangkan upaya penanggulangan yang dilakukan

oleh pemerintah setempat masih belum terlalu banyak. Rumah yang

Tersampak gempa bumi, biasanya akan diganti atau di rekontrukai oleh

Pemerintah.

Individu belum bisa dikatakan resiliensi terhadap suatu peristiwa

yang merugikan jika hanya karena terbiasa menemui permasalahan tersebut

seperti bencana grmpa yang terjadi setiap tahunnya. Individu atau kelompok

baru bisa dikatakan resilien ketika mereka tidak hanya terbiasa dalam

menghadapi situasi sulit, namun juga menuntut individu untuk memiliki

kemampuan dalam mengatasi situasi sulit tersebut. Sehingga masyarakat

yang selalu terkena bencana gempa ini memerlukan adanya resiliensi.

Berdasarkan gambaran bencana gempa di Desa Gasol Kecamatan

Cugenang Kabupaten Cianjur yang terus dialami oleh masyarakat, maka

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Desa Gasol Kecamatan

Cugenng Kabupaten Cianjur Provinsi Jawabarat guna mengukur resiliensi

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana gempa. Sehingga mampu

mengetahui bagaimana kemampuan dari masyarakat dalam menghadapi

suatu permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, peneliti

mengangkat suatu topik yang menjadi fokus penelitian yaitu “Bagaimana

Resiliensi Penyintas Korban Bencana di Desa Gasol Kcamatan Cugenang

Kabupaten Cianjur?”. Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka

dirumuskan dalam sub-sub permasalahan sebagai berikut:


5

1. Bagaimana regulasi emosi yang dialami penyintas korban?

2. Bagaimana pengendalian impuls penyintas bencana gempa?

3. Bagaimana pengkajian risiko yang dilakukan penyintas yang tinggal di

daerah rawan bencana gempa Desa Gasol?

4. Bagaimana pengetahuan dan pendidikan penyintas yang tinggal di

daerah rawan bencana gempa terhadap bencana gempa di Desa Gasol?

5. Bagaimana manajemen risiko dan pengurangan kerentanan yang

dilakukan penyintas yang tinggal di daerah rawan bencana gempa di

Desa Gasl kecamatan Cugenang?

6. Bagaimana kesiapsiagaan dan tanggap bencana yang dilakukan

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana gempa di Desa Gasol?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini secara umum

bertujuan untuk mengetahui “Resiliensi Penyintas Korban Bencana Di Desa

Gasol Kecamatan Gasol Kabupaten Cianjur”. Sedangkan tujuan khusus

penelitian ini adalah mendapatkan gambaran secara empiris tentang :

1. Regulasi emosi yang dialami penyintas korban

2. Pengendalian impuls penyintas bencana gempa?

3. Pengkajian risiko yang dilakukan penyintas yang tinggal di daerah

rawan bencana gempa Desa Gasol.

4. Pengetahuan dan pendidikan penyintas yang tinggal di daerah rawan

bencana gempa terhadap bencana gempa di Desa Gasol


6

5. manajemen risiko dan pengurangan kerentanan yang dilakukan

penyintas yang tinggal di daerah rawan bencana gempa di Desa Gasl

kecamatan Cugenang

6. kesiapsiagaan dan tanggap bencana yang dilakukan masyarakat yang

tinggal di daerah rawan bencana gempa di Desa Gasol.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif, adapun

manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam memperluas khazanah keilmuan praktik

pekerjaan sosial yang berfokus pada resiliensi penyintas korban yang

tinggal di daerah rawan bencana gempa.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menjadi bahan

rekomendasi dan memberi sumbangan pemikiran dalam pemecahan

masalah khususnya dalam aspek regulasi, emosi pengendalian impuls

penyintas, pengkajian risiko, pengetahuan dan pendidikan, manajemen

risiko dan pengurangan kerentanan, dan kesiapsiagaan dan tanggap bencana

gempa masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana gempa di Desa

Gasol. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan

masukan dan rekomendasi kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Kabupaten Cianjur, Dinas Sosial, dan instansi atau lembaga terkait tentang

permasalahan yang berhubungan dengan bencana gempa.


7

1.5 Sistematika Penulisan


Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai beikut:

A. PENDAHULUAN, memuat tentang latar belakang penelitian,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan.

B. KAJIAN KONSEPTUAL, memuat tentang penelitian terdahulu dan

teori yang relevan dengan penelitian seperti; tinjauan mengenai

resiliensi, masyarakat, bencana, gempa, dan relevansi masalah dengan

praktik pekerjaan sosial.

C. METODE PENELITIAN, memuat tentang desain penelitian, definisi

operasional, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, alat ukur

dan pengujian validitas realibilitas, teknik analisis data, jadwal dan

langkah-langkah penelitian.

D. DAFTAR PUSTAKA, merupakan daftar yang berisi semua buku atau

tulisan ilmiah yang menjadi rujukan dalam melakukan penelitian.


B. KAJIAN KONSEPTUAL
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya dan telah diakui kebenarannya. Penelitian terdahulu dapat

digunakan sebagai acuan dalam penelitian. Berikut tiga penelitian terdahulu

terkait dengan resiliensi, yakni :

1. Resiliensi Masyarakat Pasca Bencana Gempa Bumi Di Kabupaten Pidie

Jaya 2021

Pada masyarakat Gampong Kuta Pangwa proses resiliensi

masyarakat terjadi dengan sangat baik, hal ini terjadi karena bagus nya

peran-peran dari pihak-pihak terkait dalam memberikan bantuan-

bantuan kepada masyarakat dan hubungan antar sesama masyarakat

yang terjalin dengan bagus membuat masyarakat kompak atau satu visi

sehingga proses resiliensi terjadi dengan baik pada masyarakat

Gampong Kuta Pangwa. Namun hal yang paling berperan dalam

resiliensi masyarakat Gampong Pangwa adalah keyakinan spiritualitas

terhadap bencana yang harus disikapi dengan rasa sabar dan ikhlas untuk

terus bangkit dari keterpurukan. Selain itu harapan dan rasa semangat

untuk bertahan dalam menjalankan segala aktifitas sehari-hari secara

normal

Faktor resiliensi yang sangat beperngaruh terhadap masyarakat

Gampong Kuta Pangwa adalah institusi atau pemerintah, pemerintah

berperan baik dalam mempengaruhi resiliensi masyarakat Gampong

Kuta Pangwa dengan adanya bantuanbantuan yang mempermudah

8
9

dalam kondisi pasca bencana, dengan ada bantuan- bantuan tersebut

membuat faktor institusi menjadi salah satu faktor yang sangat

berpengaruh terhadap resiliensi masyarakat. Faktor lainnya juga yang

sangat berpengaruh adalah infrastruktur, infrastruktur masyarakat pasca

gempa sangat berpengaruh terhadap resiliensi masyarakat, masyarakat

sangat terbantu dengan ada bantuan infrastruktur yang diberikan,

sehingga masyarakat lebih cepat kembali ke kondisi normal.

2. Resiliensi Masyarakat terhadap Risiko Bencana Longsor di Kelurahan

Ciumbuleuit Kecamatan Cidadap Kota Bandung oleh Ariesta Mawarni

Hia tahun 2017

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara

empiris mengenai resiliensi masyarakat terhadap risiko bencana longsor.

Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Ciumbuleuit Kecamatan Cidadap

Kota Bandung. Metode yang digunakan adalah desktiptif dengan

pendekatan kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan

adalah angket, wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Cara

pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik simple

random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak tanpa

memperhatikan strata dengan jumlah 98 responden dari 4.670 KK

populasi.

Hasil penelitian menunjukan secara keseluruhan bahwa

resiliensi masyarakat terhadap risiko bencana longsor di Kelurahan


10

Ciumbuleuit Kecamatan Cidadap Kota Bandung masih rendah. Dengan

rincian berdasarkan aspek tata pemerintahan memiliki kategori rendah,

aspek pengkajian risiko memiliki kategori tinggi, aspek pengetahuan

masyarakat memiliki kategori rendah, aspek manajemen risiko dan

pengurangan kerentanan memiliki kategori tinggi serta aspek

kesiapsiagaan dan tanggap bencana memiliki kategori tinggi.

3. Resiliensi Keluarga dalam Menghadapi Bencana Banjir di Kampung

Pulo Kelurahan Melayu Kecamatan Jatinegara Kota Jakarta Timur oleh

Tri Hartono Akbar tahun 2014

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran resiliensi

para keluarga yang berada di Kampung Pulo pada saat menghadapi

bencana banjir yang terjadi setiap tahunnya. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan

wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. Hasil

penelitian menunjukan bahwa resiliensi keluarga dalam menghadapi

bencana banjir di Kampung Pulo masih rendah. Hal tersebut karena

masih ditemukannya sikap pasrah dalam menghadapi bencana banjir di

Kampung Pulo, sikap pasrah ini muncul karena bencana banjir yang

terjadi terus menerus dan sulit untuk di tangani. Para informan merasa

bencana ini memang tidak bisa dihindari lagi oleh masyarakat yang

tinggal di Kampung Pulo.


11

Penelitian yang dilakukan oleh Tri Hartono Akbar dengan

penelitian penulis memiliki tujuan yang sama, yaitu fokus penelitian

terhadap bencana banjir. Akan tetapi berbeda dengan penelitian penulis,

yaitu penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

4. Resiliensi Orangtua yang Memiliki Anak Penderita Thalasemia di

Perhimpunan Orangtua Penderita Thalasemia di Rumah Sakit Santosa

Kota Bandung oleh Titik Nurjanah tahun 2018

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resiliensi orang tua

yang memiliki anak penderita Thalasemia. Thalasemia merupakan salah

satu penyakit kronis sehingga membutuhkan perawatan khusus, secara

psikologis adanya penyakit yang mengancam kehidupan anak menjadi

beban tersendiri bagi orangtua, terlebih lagi mereka harus merawatnya.

Hal ini menuntut orangtua untuk memiliki kemampuan dalam

menghadapi situasi sulit tersebut. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah angket dan studi

dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa resiliensi orangtua yang

memiliki anak penderita Thalasemia di Perhimpunan Orangtua

Penderita Thalasemia di Rumah Sakit Santosa berada pada kategori

baik. Persentase pada aspek pengendalian emosi sebesar 71,88% dengan

kategori baik, aspek pengendalian impuls sebesar 74,77% dengan

kategori baik, aspek optimisme sebesar 86,27% dengan kategori sangat


12

baik, aspek kemampuan analisis masalah sebesar 74,54% dengan

kategori baik dan aspek pencapaian sebesar 83,15% dengan kategori

sangat baik.

Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara penelitian

terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti lebih

lanjut akan di jelaskan pada tabel 2.1. berikut, dimana secara garis besar

beberapa penelitian tersebut memiliki variabel yang sama yaitu

Resiliensi.

No Peneliti Judul Persamaan Perbedaan


1 Khairulyadi Resiliensi 1. Variabel 1. Lokasi
(2021) Masyarakat yang penelitian
Pasca Bencana digunakan Berbeda
Gempa Bumi di adalah 2. Menggunakan
Kabupaten resiliensi Pendekatan
Pidie Jaya 2. Jenis Kuantitatif
Bencana 3. Sasaran
yang menjadi Penelitian
fokus masyarakat
penelitian yang terkena
adalah bencana
gempa gempa
2 Ariesta Resiliensi 1. Variabel 1. Jenis Bencana
Mawarni Masyarakat yang Longsor
(2017) terhadap digunakan 2. Lokasi
Resiko adalah penelitian
Bencana resiliensi berlokasi di
Longsor di 2. Sasaran Kota
Kelurahan penelitiannya Bandung
Ciumbuleuit adalah
Keccamatan masyarakat
Cidadap Kota
Bandung
3. Metode
penekatan
kuantitatif
3 Titik Nurjanah Resiliensi 1. Variabel 1. Sasarannya
(2017) Orangtua yang yang aadalah orang
Memiliki Anak digunakan tua yang
Penderita adalah memiliki anak
Thalasemia di resiliensi penderita
Rumah Sakit 2. Sasaran thalasemia
Santosa Kota penelitiannya 2. Lokasi
Bandung adalah penelitian di
masyarakat rumah sakit
13

No Peneliti Judul Persamaan Perbedaan


3. Metode sentosa Kota
penelitian Bandung
kuantitatif
4 Tri Hartono Resiliensi 1. Variabel 1. Lokasi
(2014) Keluarga dalam yang penelitian
Menghadapi Digunakan berbeda
Bencana Banjir adalah 2. Menggunakan
di Kampung Resiliensi metoe
Pulo Kelurahan 2. Jenis kuantitatif
Melayu bencana
Kecamatan
3. Sasarannya
penelitian keluarga yang
Jatinegara Kota adalah terkena
Jakarta Timur bencana bencana
banjir banjir
4. Aspek
resiliensi
yang
digunakan
adalah aspek
dari pendapat
Reivich dan
Shatte
2.2 Tinjauan Konseptual
Tinjauan konseptual merupakan tinjauan yang berdasarkan teori-

teori terkait variabel, subjek, dan objek yang akan diteliti. Berikut adalah

tinjauan berdasarkan teori resiliensi, masyarakat, bencana gempa, dan

pekerjaan sosial dalam setting bencana.

2.2.1 Tinjauan Tentang Resiliensi Masyarakat

1. Tinjauan Tentang Resilensi

Resiliensi merupakan bagaimana cara individu bertahan dalam

kondisi apapun, seperti pada korban kekerasan rumah tangga, korban

bencana alam, seorang ibu dikaruniai anak autis, anggota polisi yang

sedang mengalami kejenuhan pada suatu pekerjaan dan masih banyak

lagi problematika hidup yang harus membutuhkan resiliensi ini, karena

resiliensi sangat berperan penting untuk membantu mengurangi setiap

problem-problem yang di alami seseorang tersebut dengan cara


14

memberikan motivasi positif dari orang-orang terdekat ataupun dari diri

sendiri.

Kehidupan dipenuhi suatu pengalaman yang penuh dengan

penderitaan (adversity); sebagai adversity bersumber dari situasi

eksternal seperti kebakaran, gempa bumi, banjir, musim kering, bom

atau seperti keluarga perceraian, penganiyayaan, pengabaian,

kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal, atau kehilanga orang yang di

cintai. Sementara sumber lainnya berasal dari diri individu itu sendiri,

seperti merasakan rasa takut, rasa bersalah, rasa paling di kucilkan oleh

orang-orang yang ada disekitar kita, kegagalan atau sedang diserang

penyakit (Grothberg, 1999 ).

Ada beberapa definisi resiliensi yang dikemukakan oleh para

ahli, secara umum resiliensi diartikan sebagai berikut:

Schoon mengutip definisi beberapa ahli dan menyimpulkan

bahwa resiliensi merupakan proses dinamis dimana individu

menunjukkan fungsi adaptif dalam mengahadapi adversity yang

berparan penti ng bagi dirinya ( Schoon, 2006, h. 6 )

Benard mendenifisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk

bangkit dengan sukses walaupun mengalami situasi penuh resiko yang

tergolong parah ( Benard dalam Krovetz, 1999, h. 2 ) menjadi seorang

individu yang pernah mengalami kegagalan sebelumnya tidaklah mudah

untuk kembali menjadi individu sukses butuh sebuah proses untuk

menuju kesuksesan walaupun dalam proses tersebut banyak sekali


15

resiko yang akan dihadapi. Sedangkan (Grothberg 1999)

mendenifisikan resiliensi sebagai kemampuan manusia untuk

menghadapi, untuk mengatasi, untuk mendapatkan kekuatan dan

bahkan mampu mencapai tramsformasi diri setelah mengalami sebuah

adversity, karena berangkat dari adversity individu akan menemukan

jalan pemecah masalah yang telah dialami individu tersebut.

2. Aspek-aspek Resiliensi

(Reivich dan Shatte 2002), memaparkan tujuh kemampuan yang

membentuk Resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls,

optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching

out. Hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan

memilikitujuh kemampuan tersebut dengan baik.

a. Regulasi Emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di

bawah kondisi yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki

kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam

membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa

disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang

sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu

bersama orang yang marah, merengut cemas, khawatir serta gelisah

setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung

berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan


16

kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang pemarah

(Reivich & Shatte, 2002). (Greef 2005) menyatakan bahwa individu

yang memiliki kemampuan untuk mengatur emosinya dengan baik

dan memahami emosi orang lain akan memiliki self-esteem dan

hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Tidak semua emosi

yang dirasakan oleh individu harus dikontrol. Tidak semua emosi

marah, sedih,gelisah dan rasa bersalah harus diminimalisir. Hal ini

dikarenakan mengekspresikan emosi yang kita rasakan baik emosi

positif maupun negatif merupakan hal yang konstruksif dan sehat,

bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat

merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

Sedangkan (Reivich dan Shatte 2002), mengungkapkan dua

buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk

melakukan regulasiemosi, yaitu yaitu tenang (calming) dan fokus

(focusing). Dua buah keterampilan ini akan membantu individu

untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus

pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta

mengurangi stress yang dialami oleh individu.

b. Tenang (Calming)

Individu dapat mengurangi stress yang mereka alami dengan

cara merubah cara berpikir mereka ketika berhadapan dengan

stressor. meskipun begitu seorang individu tidak akan mampu untuk

menghindar dari keseluruhan stress yang dialami, diperlukan cara


17

untuk membuat diri mereka berada dalam kondisi tenang ketika

stress menghadang. Keterampilan ini adalah sebuah kemampuan

untuk meningkatkan control individu terhadap respon tubuh dan

pikiran ketika berhadapan dengan stress dengan cara relaksasi.

Dengan relaksasi individu dapat mengontrol jumlah stress yang

dialami. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk relaksasi

dan membuat diri kita berada dalam keadaan tenang, yaitu dengan

mengontrol pernapasan, relaksasi otot serta dengan menggunakan

teknik positive imagery, yaitu membayangkan suatu tempat yang

tenang dan menyenangkan.

c. Fokus (Focusing)

Keterampilan untuk fokus pada permasalahan yang ada

memudahkan individu untuk menemukan solusi dari permasalahan

yang ada (Reivich & Shatte,2002). Setiap permasalahn yang ada

akan berdampak pada timbulnya permasalahan-permasalahan baru.

Individu yang fokus mampu untuk menganalisa dan membedakan

antara sumber permalasahan yang sebenarnya dengan

masalahmasalah\ yang timbul sebagai akibat dari sumber

permasalahan. Pada akhirnya individu juga dapat mencari solusi

yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini tentunya

akan mengurangi stres yang dialami oleh individu.


18

d. Pengendalian Impuls

Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk

mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang

muncul dari dalam diri (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang

memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat

mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan

pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah

marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif.

Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di

sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada

buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain. Individu

dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya

kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat

pada permasalahan yang ada. Menurut Reivich dan Shatte (2002),

pencegahan dapat dilakukan dengan dengan menguji keyakinan

individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan

masalah. Individu dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang

bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti

‘apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi

berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah

melihat permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari

semua ini?’, dll. Kemampuanindividu untuk mengendalikan impuls

sangat terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang Ia miliki.


19

Seorang individu yang memiliki skor Resilience Quotient yang

tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki skor

Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich &

Shatte, 2002)

e. Optimisme

Individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich

& Shatte, 2002). Siebert (2005) mengungkapkan bahwa terdapat

hubungan antara tindakan dan ekspektasi kita dengan kondisi

kehidupan yang dialami individu. Optimisme adalah ketika kita

melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich & Shatte,2002)

Peterson dan Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa

optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh

individu, kebahagiaan, ketekunan, prestasi dan kesehatan. Individu

yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan

berubah menjadi situasi yang lebih baik. Mereka memiliki harapan

terhadap masa depan mereka dan mereka percaya bahwa merekalah

pemegang kendali atas arah hidup mereka. Individu yang optimis

memiliki kesehatan yang lebih baik, jarang mengalami depresi, serta

memiliki produktivitas kerja yang tinggi, apabila dibandingkan

dengan individu yang cenderung pesimis. Sebagian individu

memiliki kecenderungan untuk optimis dalam memandang hidup ini

secara umum, sementara sebagian individu yang lain optimis hanya

pada beberapa situasi tertentu (Siebert, 2005). Optimisme bukanlah


20

sebuah sifat yang terberi melainkan dapat dibentuk dan

ditumbuhkan dalam diri individu (Siebert, 2005).

Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan

bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki

kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di

masa depan. Hal ini juga merefleksikan Self- Efficacy yang dimiliki

oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu

menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan

hidupnya.

Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk

individu bila diiringi dengan Self Efficacy, hal ini dikarenakan

dengan optimisme yang ada seorang inividu terus didorong untuk

menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi

kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).

Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang

realistis (Realistic Optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan

terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala

usaha untuk mewujudkan hal tersebut.

Berbeda dengan Unrealistic Optimism dimana kepercayaan

akan masa depan yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang

signifikan untuk mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme

yang realistis dan Self-Efficacy adalah kunci resiliensi dan

kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).


21

f. Self- Efficacy

Self-Efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang

berhasil. SelfEfficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa

kita memiliki skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian

impuls (Reivich & Shatte, 2002).

Sementara Bandura (dalam Atwater & Duffy, 1999)

mendefinisikan Self-Efficacy sebagai kemampuan individu untuk

mengatur dan melaksanakan suatu tindakan untuk mencapai hasil

yang diinginkan. Dalam keseharian, individu yang memiliki

keyakinan pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah

akan tampil sebagai pemimpin, sebaliknya individu yang tidak

memiliki keyakinan terhadap Self-Efficacy mereka akan selalu

tertinggal dari yang lain. Atwater dan Duffy (1997),

mengungkapkan bahwa Self- Efficacy memiliki pengaruh terhadap

prestasi yang diraih, kesehatan fisik dan mental, perkembangan

karir, bahkan perilaku memilih dari seorang individu.

Menurut Atwater dan Duffy (1997), Self-Efficacy memiliki

kedekatan dengan konsep Perceived Control, yaitu suatu keyakinan

bahwa individu mampu mempengaruhi keberadaan suatu peristiwa

yang mempengaruhi kehidupan individu tersebut. Perceived

Control memiliki dua buah sumber, yaitu Internal Locus of Control

dan External Locus of Control . Individu dengan Internal Locus of

Control meyakini bahwa dirinya memegang kendali terhadap


22

kehidupannya. Sedmentara individu dengan External Locus of

Control yakin bahwa sesuatu yangberada di luar dirinya memiliki

kendali atas kehidupannya.

g. Causal Analysis

Causal Analysis merujuk pada kemampuan individu untuk

mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan

yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu

mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka

hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang

sama. Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002)

mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya

dengan kemampuan Causal Analysis yang dimiliki individu. Gaya

berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal

(saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive

(semua- tidak semua). Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-

Semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan

berasal dari individu tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan

permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta

permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya

(Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan

Saya-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasahalan

yang terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana

kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah(Tidak Selalu)


23

dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian

besar hidupnya (Tidak semua). Gaya berpikir explanatory

memegang peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich &

Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak

mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi.

Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir

“Tidak selalu Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan

yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang

ada. Individu yang resilien adalah individu yang memiliki

fleksibelitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua

penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka,

tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka

tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu

yag resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang

mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau

membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu

terfokus pada faktor-faktor yang berada diluar kendali mereka,

sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh

pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi

permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan

meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).


24

h. Empati

Secara sederhana empati dapat didefinisikan sebagai

kemampuan untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap

orang lain (Greef, 2005) Empati sangat erat kaitannya dengan

kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi

emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2005).

Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir

dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang

ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara,

bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan

dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki

kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang

positif Reivich & Shatte, (2002). Ketidakmampuan berempati

berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich

& Shatte, 2002). Individu-individu yang tidak membangun

kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut

tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain,

merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan

maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca

tanda tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik

dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini

dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai.

Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola


25

yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu

menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich &

Shatte, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Greef (2005),

mengungkapkan bahwa salah satu perilaku yang ditampilkan oleh

individu yang resilien adalah menunjukkan empati kepada orang

lain.

i. Reaching Out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi

lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki

kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari

keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan

kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah

kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002). Banyak

individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini

dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat

mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan.

Mereka adalah individuindividu yang lebih memilih memiliki

kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun

harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan

masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk

berlebihlebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan

hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-

individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan


26

kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini

memberikan batasan bagi diri mereka sendiri, atau dikenal dengan

istilah SelfHandicaping.

Peneliti akan menggunakan teorinya (Reivich & Shatte

2002) sebagai acuan indikator-indikator dalam penelitian ini untuk

dijadikan sebuah sekala penelitian yang berupa angket dan

disebarkan kepada subyek penelitian yaitu para anggota Polisi di

Polres Sumenep. Maksud indikator tersebut dalam penelitian ini

adalah untuk mengungkapkan bahwa ada tujuh kemampuan yang

dapat dijadikan untuk membentuk tingkat resiliensi individu, yaitu

pengendalian emosi, pengendalian dorongan, optimis, analisis

penyebab masalah, empati, efikasi diri.

3. Pengertian Resiliensi Masyarakat


Resiliensi berasal dari bahasa Latin, dari kata “resilio” yang

berarti “bounceback” atau melambung kembali, yang merefleksikan

kemampuan individu untuk mempertahankan fungsi mental yang relatif

stabil dalam menghadapi berbagai kejadian.

Menurut Karen Reivich dan Andrew Shatte (2002) dalam

bukunya “The Resiliency Factor”, resiliensi merupakan kemampuan

individu untuk melakukan respon dengan cara yang sehat dan produktif

ketika berhadapan dengan kesulitan atau trauma, dimana hal tersebut

sangat penting untuk mengendalikan tekanan dalam kehidupan sehari-

hari. Lebih jauh lagi resiliensi merupakan mind-set yang


27

memungkinkan manusia mencari berbagai pengalaman dan memandang

hidupnya sebagai suatu kegiatan yang sedang berjalan.

Istilah resiliensi menurut Henderson dan Milstein (2003) dalam

Sri Mulyono Nasution (2011:1) merupakan kemampuan manusia untuk

bangkit dari pengalaman negatif, bahkan menjadi lebih kuat selama

menjalani proses penanggulangannya.

Grothberg dalam Sri Mulyani Nasution (2011:3) mendefinisikan

bahwa resiliensi sebagai kemampuan manusia untuk menghadapi,

mengatasi, mendapatkan kekuatan dan bahkan mampu mencapai

transformasi diri setelah mengalami pengalaman yang penuh

penderitaan (adversity).

Menurut Desmita dalam bukunya (2009:228) mendefinisikan

resiliensi sebagai berikut:

“resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas insani yang


dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang
memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah,
meminimalkan, dan bahkan meghilangkan dampak-dampak
yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan,
atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang
menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi”.
Selanjutnya John Twigg (2007:6) mendefinisikan resiliensi

masyarakat sebagai berikut:

a. “Capacity to absorb stress or destructive forces through resistance

or adaptation
28

b. Capacity to manage, or maintain certain basic functions and

structures, during disastrous events

c. Capacity to recover or ‘bounce back’ after an event.”

John Twigg memberikan penjelasan mengenai resiliensi, dimana

resiliensi masyarakat ini dapat dipahami sebagai kemampuan untuk

mengantisipasi, meminimalisasi, dan mengelola suatu peristiwa,

menjaga fungsi struktur dasar tertentu selama peristiwa bencana, dan

kemampuan untuk memulihkan setelah peristiwa bencana. Berdasarkan

beberapa definisi resiliensi dari para ahli tersebut dapat disimpulkan

bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu atau kelompok untuk

bertahan dan menghadapi suatu permasalahan yang menimbulkan

dampak traumatis lalu kemudian mencari solusi untuk dapat mencegah

permasalahan itu dan untuk mengurangi risiko apabila permasalahan

tersebut datang kembali. Sehingga setiap individu atau kelompok perlu

untuk memiliki dan meningkatkan resiliensi di dalam diri.

4. Indikator Resiliensi
Indikator resiliensi yang termasuk juga kedalam karakteristik

masyarakat yang resilien, tujuan dengan adanya indikator atau

karakteristik ini untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh

bencana tersebut, baik itu kerugian korban jiwa dan kerusakan aset-aset

yang dimiliki oleh masyarakat.

Menurut John Twigg (2007:17-18) melihat ada lima aspek yang

berkaitan dengan indikator resiliensi masyarakat terhadap ancaman

bencana yakni:
29

a. Tata Pemerintahan

Tata pemerintahan untuk menunjukan bagaimana aparat

pemerintahan lokal berkomitmen dalam perencanaan dan

implementasi pengurangan risiko bencana serta motivasi untuk

menanganinya. Adapun komponen ketahanan dari tata

pemerintahan yaitu:

1) Kebijakan, perencanaan, prioritas-prioritas dan komitmen

politik b. Sistem hukum dan peraturan

2) Pengintegrasian kedalam kebijakan-kebijakan dan perencanaan

pembangunan

3) Pengintegrasian kedalam tanggap darurat dan pemulihan,

mekanismemekanisme, kapasitas dan struktur kelembagaan,

pembagian tanggung jawab

4) Kemitraan

5) Akuntabilitas dan partisipasi masyarakat

b. Pengkajian Risiko

Pengkajian risiko untuk memberikan gambaran dari bahaya,

kerentanan dan kapasitas utama dalam masyarakat. Komponen

ketahanan dari pengkajian risiko yaitu sebagai berikut:

1) Pengkajian data bahaya/risiko

2) Pengkajian data kerentanan

3) Kapasitas ilmiah dan teknis serta inovasi


30

c. Pengetahuan dan Pendidikan

Pengetahuan dan pendidikan yaitu bahwa semua bagian

masyarakat menguasai pengetahuan dan pendidikan serta

keterampilan teknis yang tepat untuk mengurangi risiko bencana.

Beberapa komponen ketahanan dalam pengetahuan dan pendidikan

masyarakat yaitu:

1) Kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan publik

2) Manajemen dan pertukan informasi

3) Pendidikan dan pelatihan

4) Budaya, sikap, dan motivasi

5) Pembelajaran dan penelitian

d. Manajemen Risiko dan Pengurangan Kerentanan

Manajemen risiko dan pengurangan kerentanan yaitu

langkah-langkah mitigasi yang dilakukan masyarakat untuk

melindungi aset-aset utama yang ada pada masyarakat. Komponen

ketahanan dalam manajemen risko dan pengurangan kerentanan

yaitu:

1) Manajemen lingkungan hidup dan sumber daya alam

2) Kesehatan dan kesejahteraan

3) Penghidupan yang berkelanjutan

4) Perlindungan sosial

5) Perangkat-perangkat finansial

6) Perlindungan fisik dan langkah-langkah struktural dan teknis


31

7) Sistem dan mekanisme perencanaan

e. Kesiapsiagaan dan Tanggap Bencana

Kesiapsiagaan dan tanggap bencana yaitu tingkat

kerelawanan masyarakat yang tinggi dalam semua aspek

kesiapsiagaan, tanggap bencana dan pemulihan, yang mewakili

semua bagian dari masyarakat. Komponen ketahanan dalam

kesiapsiagaan dan tanggap bencana yaitu:

1) Kapasitas kelembagaan dan koordinasi

2) Sistem peringatan dini

3) Perencanaan kesiapsiagaan dan kontingensi

4) Sumber daya dan infrastruktur kedaruratan

5) Tanggap darurat dan pemulihan

Berdasarkan indikator tersebut, bahwa setiap indikator yang

ada harus selalu melibatkan pemerintahan dan juga partisipasi dari

masyarakat secara langsung. Oleh karena itu, masyarakat dapat

dikatakan sudah memiliki ketahanan terhadap ancaman bencana

harus memiliki kemampuan dan memenuhi dari setiap indikator

yang dikemukakan oleh John Twigg tersebut.

5. Faktor Resiliensi Masyarakat


Resiliensi masyarakat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti yang dikemukakan oleh Pfefferbaum, et al. (2007) dalam

Blumenfield & Ursano, (2008:49) bahwa terdapat beberapa faktor yang

berkaitan dengan resiliensi masyarakat, antara lain:


32

a. Nilai kebersamaan

Nilai kebersamaan dapat berkontribusi dalam membangun

kerjasama diantara masyarakat, dimana masyarakat yang

menghargai keragaman antar anggota akan lebih baik dalam

mengatasi kebutuhan anggotanya dalam menghadapi kesulitan.

b. Partisipasi

Partisipasi masyarakat dalam aktivitas organisasi akan

mampu menyelesaikan masalah melalui kerjasama masyarakat pada

tingkat lokal. Dimana keterlibatan harus berdasarkan minat dan

kemampuan anggota. Ketika partisipasi dianggap penting,

masyarakat akan cenderung memiliki kebanggaan tersendiri

sehingga dapat meningkatkan manfaat dan dari keterlibatannya

untuk membantu masyarakat dalam mengatasi kebutuhan dan

permasalahan yang muncul terkait dengan bencana.

c. Struktur, peran dan tanggungjawab

Masyarakat termasuk individu, kelompok dan organisasi

dengan hubungan timbal-balik yang membentuk jaringan yang

tumpang tindih. Pada resiliensi masyarakat, interaksi secara berkala,

dukungan dan kerjasama dengan individu maupun kelompok

menjadi penting. Kepemimpinan masyarakat yang kuat dan

responsif serta kerjasama tim yang baik, dapat mendukung adaptasi

dan pemulihan masyarakat.


33

d. Sumber daya

Masyarakat yang resilien dapat memperoleh dan

menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai apa yang

menjadi tujuannya. Dimana sistem harus dapat merespon secara

tepat mengenai sumber daya yang sedang dibutuhkan dalam

menghadapi potensi bencana yang muncul. Sumber daya yang

memadai harus mampu menggantikan dan melengkapi satu sama

lain, sehingga seluruh masyarakat yang penting dapat dijaga agar

aman walaupun dalam peristiwa besar.

e. Dukungan dan pengasuhan

Dukungan sangat penting untuk meningkatkan resiliensi

pada masyarakat maupun tingkat individu. Masyarakat pendukung

dan pengasuh hadir untuk kebutuhan anggota mereka terlepas dari

latar belakang atau status sosial. Masyarakat tersebut membantu

anggota dalam mencapai tujuan dan mengatasi masalah. Pada

resiliensi masyarakat, mekanisme dukungan menyediakan bantuan

kepada kelompok yang rentan sebelum, selama dan setelah terjadi

bencana.

f. Pengembangan keahlian

Resiliensi masyarakat harus mampu mengidentifikasi dan

menangani masalah, kebutuhan dan persoalan dengan menggunakan

informasi untuk merencanakan, mengatur dan mengevaluasi


34

kegiatan, mereka mempelajari keberhasilan dan kegagalan kinerja

mereka dan belajar dari kesengsaraan sebelumnya.

g. Komunikasi

Resiliensi masyarakat diperkuat oleh adanya komunikasi

yang efektif, jelas, tepat waktu dan akurat sesama anggota dan

melintas batas. Pada saat menghadapi bencana, harus ada

komunikasi yang cukup untuk dapat memastikan mobilisasi sumber

daya tepat waktu.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

terdapat tujuh faktor yang berkaitan dengan resiliensi masyarakat.

Ketujuh faktor tersebut sangat berpengaruh besar, dan perlu di

utamakan agar mencapai/menjadi sebuah masyarakat yang resilien.

Serta tak lupa perlu adanya partisipasi secara langsung dari

masyarakat agar dapat menyelesaikan sebuah masalah yang muncul

terkait dengan bencana.

2.2.2 Tinjauan Tentang Bencana

1. Pengertian Bencana
Definisi tentang bencana yang pada umunya merefleksikan

karakteristik tentang gangguan terhadap pola hidup manusia, dampak

bagi manusia, kerusakan bangunan, serta tidak terpenuhinya kebutuhan

masyarakat yang di akibatkan oleh bencana. Bencana dapat

didefinisikan dalam berbagai arti baik secara normatif maupun pendapat

para ahli.
35

Bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

24 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 adalah:

Peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh

faktor alam dan faktor nonalam maupun faktor manusia

sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak

psikologis.

Pendapat lain mengenai definisi bencana, ada di dalam

Keputusan Menteri No.17/Kep/Menko/Kesra/x/95 adalah sebagai

berikut:

Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh

perubahan kondisi alam, perilaku manusia, sehingga dapat

mengakibatkan kerugian seperti penderitaan manusia, kerugian

harta benda, kerusakan lingkungan, korban jiwa, kerusakan

sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan

gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Berdasarkan dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan

bahwa pada dasarnya pengertian bencana adalah suatu kejadian atau

peristiwa yang menyebabkan dampak negatif seperti kerusakan berupa

sarana prasarana maupun struktur sosial yang sifatnya dapat

mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.


36

2. Jenis-Jenis Bencana
Jenis-jenis bencana merupakan suatu hal yang penting bagi

masyarakat untuk mengetahui dan memahaminya, hal ini dikarenakan

agar masyarakat nantinya dapat mengantisipasi maupun mengurangi

risiko dari bencana tersebut. Jenis bencana menurut Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2007, antara lain:

a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam anatara lain

berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,

angin topan, dan tanah longsor.

b. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa

atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal

teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.

c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi

konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan

teror.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka terdapat tiga jenis

bencana, yaitu bencana yang disebabkan secara langsung oleh alam, lalu

bencana nonalam, dan bencana sosial yang diakibatkan secara langsung

oleh manusia itu sendiri.


37

2.2.3 Tinjauan Tentang Gempa

1. Gempa
Sebelum mengetahui definisi gempa bumi, hal yang harus

diketahui adalah proses terbentuknya kulit bumi. Kulit bumi terbentuk

dari tenaga endogen, yaitu tenaga yang berasal dari dalam bumi yang

menyebabkan perubahan pada kulit bumi. secara umum tenaga endogen

dibagi dalam tiga jenis yaitu tektonisme, vulkanisme dan seismik atau

gempa (Pandi, 2011):

a. Tektonisme

Tektonisme merupakan tenaga yang berasal dari dalam bumi

yang mengakibatkan perubahan letak (dislokasi) ratapan dan

patahan kulit pada bumi dan batuan. Berdasarkan jenis gerakan dan

luas wilayah yang mempengaruhinya, tenaga tektonik dapat

dibedakan menjadi 2 macam yaitu gerak oroganesa dan gerak

epiroganesa. Gerak oroganesa adalah gerakan tenaga endogen yang

relatif cepat dan meliputi daerah yang relatif sempit, gerakan ini

menyebabkan terbentuknya pegunungan contohnya terbentuknya

daerah lipatan pegunungan muda Sirkum Pasifik, sedangkan

gerakan epiroganesa dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu gerak positif

dan gerak epiroganesa negatif. Gerak epiroganesa positif adalah

ketika permukaan bumi bergerak turun sehingga seolah-olah

permukaan laut tampak naik, sedangkan yang disebut gerak

epiroganesa negative adalah ketika permukaan bumi bergerak naik

sehingga seolah-olah permukaan laut tampak turun.


38

b. Vulkanisme Vulkanisme

Merupakan gejala alam yang terjadi akibat adanya aktivitas

magma. Vulkanisme terjadi akibat adanya tektonisme, kegiatan

tektonisme ini yang menyebabkan aliran lava dalam litosfer ke

lapisan atasnya bahkan sampai ke permukaan bumi.

c. Seisme (Gempa)

Gempa bumi merupakan gejala alam yang berupa getaran

atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi akibat adanya

pelepasan energi dari dalam secara tiba-tiba yang menciptakan

gelombang seismik. Salah satu penyebab terjadinya gempa bumi

karena adanya pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Akumulasi

energi penyebab terjadinya gempa bumi dihasilkan dari pergerakan

lempeng-lempeng tektonik. Gerakan tersebut akan menyebabkan

tumbukan atau peregangan antara lempeng-lempeng yang

berbatasan. Energi yang dihasilakan dipancarkan kesegala arah

berupa gelombang gempa bumi sehingga efeknya dapat dirasakan

sampai ke permukaan bumi. Selain gempa bumi akibat sumber

tektonik (gempa tektonik), aktifitas gunung berapi, tanah longsor,

ledakan bom, juga menjadi penyebab terjadinya gempa bumi. Istilah

gempa bumi telah dikemukakan oleh banyak orang khususnya yang

berkecimpung di dalam bidang ini. Salah satu teori yang hingga kini

dapat diterima oleh para ahli kebumian untuk menjelaskan

mekanisme dan sebaran kejadian gempa bumi adalah teori lempeng


39

tektonik (theory of plate tectonic). Gempa bumi akan terjadi apabila

penumpukan energy pada batas lempeng yang bersifat konvergen

(bertumbukan), divergen (saling menjauh) dan transform

(berpapasan) atau pada sesar (patahan) dan blok batuan tersebut

tidak mampu lagi menahan batas elastisitasnya, sehingga akan

dilepaskan sejumlah energy dalam bentuk rangkaian gelombang

seismic yang dikenal sebagai gempa bumi (Supartoyo dan Surono,

2008). Sebaran kegempaan di Indonesia pada batas pertemuan

lempeng. Ketika dua lempeng bumi bertumbukan, lempeng dengan

kerapatan massa lebih besar akan menyusup ke bawah. Gerakan

lempeng tersebut akan melambat akibat gesekan dengan selubung

Bumi lainnya. Perlambatan gerak tersebut akan menyebabkan

penumpukan energi di zona tumbukan (zona subduksi) dan zona

patahan di dekatnya. Akibatnya, di zona-zona tersebut akan terjadi

patahan batuan yang diikuti lepasnya energy secara tiba-tiba. Besar

kecilnya energi yang dilepas tergantung seberapa besar batas

elastisitas lempeng terlampaui. Proses pelepasan energi ini

menimbulkan getaran partikel ke segala arah. Getaran-getaran inilah

yang disebut gempa tektonik (Winardi, 2006).

Kejadian gempa bumi lainnya berkaitan dengan aktivitas sesar

aktif pada kerak bumi. Jenis sesar atau patahan aktif sebagai akibat

gempa bumi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sesar naik


40

(thrust/reverse fault), sesar turun (normal fault) dan sesar mendatar

(strike slip fault) (Supartoyo dan Surono, 2008).

Menurut Noor (2005), gempa bumi adalah getaran bumi yang

terjadi sebagai akibat dari terlepasnya energy yang terkumpul secara

tiba-tiba dalam batuan yang mengalami deformasi. Besarnya gelombang

yang beragam mulai dari yang sangat kecil sehingga sulit dirasakan

hingga goncangan yang dahsyat, sehingga mampu meruntuhkan

bangunan yang kokoh.

Menurut Bakornas PB, (2007), gempa bumi merupakan salah

satu dari berbagai macam bencana alam yang ada di Indonesia yang

bilamana penanganan maupun mitigasi yang dilakukan tidak baik akan

menimbulkan ancaman korban jiwa maupun korban materi. Berbagai

komponen yang terancam apabila terjadi gempabumi diantaranya:

a. Perkampungan padat dengan konstruksi yang lemah dan padat

penghuni,

b. Bangunan dengan desain teknis yang buruk, bangunan tanah,

bangunan tembok tanpa perkuatan,

c. Bangunan dengan atap yang berat

d. Bangunan tua dengan kekuatan lateral dan kualitas yang rendah

e. Bangunan tinggi yang dibangun diatas tanah lepas/tidak kompak

f. Bangunan diatas lereng yang lemah/tidak stabil

g. Infrastruktur diatas tanah atau timbunan


41

2.2.4 Pekerjaan Sosial dalam Setting Bencana

Pekerjaan sosial merupakan suatu aktivitas pertolongan yang

diselenggarakan demi tercapainya kesejahteraan sosial baik dalam diri

individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Profesi pekerjaan sosial

menekankan pada aspek keberfungsian sosial dalam lingkungan

masyarakat.

Terdapat beberapa definisi pekerjaan sosial menurut para ahli

sebagai berikut:

1. Menurut Max Siporin dalam Dwi Heru Sukoco (2011:3)

mengemukakan bahwa pekerjaan sosial merupakan suatu meroda

institusi sosial untuk membantu orang mencegah dan memecahkan

masalah mereka serta untuk memperbaiki dan meningkatkan

keberfungsian sosial mereka.

2. Charles Zastrow dalam Dwi Heru Sukoco (2011:7) mengemukakan

bahwa pekerjaan sosial merupakan kegiatan profesional untuk

membantu individuindividu, kelompok-kelompok dan masyarakat guna

meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi

sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan

mereka mencapai tujuan.

3. Allen Pincus dan Anne Minahan dalam Dwi Heru Sukoco (2011:4)

menyatakan bahwa pekerjaan sosial berkepentingan dengan

permasalahan interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya,


42

sehingga mereka mampu melaksanakan tugas-tugas kehidupan,

mengurangi ketegangan, mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka.

Berdasarkan definisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa

pekerjaan sosial adalah suatu profesi untuk membantu dan

meningkatkan keberfungsian sosial baik pada individu, kelompok

maupun masyarakat melalui intervensi yang dilakukan. Keterkaitan

dengan masalah penelitian adalah pekerja sosial memberikan

pertolongan kepada pada masyarakat yang terkena bencana gempa, yang

tidak berfungsi sosialnya akibat kehilangan keluarga maupun harta

benda serta trauma dengan adanya gempa.

1. Pekerjaan Sosial dengan Bencana


Pekerjaan sosial dengan bencana adalah suatu bidang kerja

profesi pekerjaan sosial yang menuntut keahlian khusus sesuai dengan

tahapan-tahapan penanggulangan bencana. Edi Suharto, dkk (2011)

menjelaskan Pekerjaan Sosial bidang Penanggulangan Bencana (PSPB)

ini menggunakan konsep dan teknik yang sudah ada pada pekerjaan

sosial pada umumnya. Pada pelaksanaannya fokus PSPB dibagi menjadi

situasi tanpa bencana, pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana,

yang masing-masing memiliki proses yang berbeda satu dari yang

lainnya.

Pekerjaan sosial dalam bencana ini dalam pelaksanaannya

menekankan pada pentingnya interaksi orang dengan lingkungan

sosialnya, disesuaikan dengan status fungsi dan peran sosial baik pada

tataran individu, keluarga, kelompok dan masyarakat pada berbagai


43

tahapan penanggulangan bencana. Prinsip pekerja sosial

penanggulangan bencana ini dilandasi oleh prinsip-prinsip

kemanusiaan, keadilan, kesamaan, kedudukan hukum dan

pemerintahan, keseimbangan, keselarasan dan keserasian, ketertiban

dan kepastian hukum, kebersamaan dan kelestarian lingkungan hidup.

Seperti pekerja sosial lainnya, Pekerja Sosial bidang Penanggulangan

Bencana (PSPB) harus mematuhi semua standarisasi yang sudah ada

dan memiliki pelatihan sesuai yang telah ditentukan oleh lembaga yang

berwenang.

2. Peran pekerja sosial dalam bencana


Bencana yang terjadi baik bencana alam maupun nonalam dapat

mengganggu kesejahteraan individu maupun masyarakat. Oleh karena

itu, pekerja sosial harus mampu melaksanakan perannya. Peranan

pekerja sosial dalam bencana cenderung melebur menjadi satu dengan

lembaga dan seluruh elemen masyarakat dalam rangka penanganan

bencana di situasi darurat. Edi suharto, dkk (2011:96) menjelaskan

“Peran pekerja sosial dalam bidang bencana dibagi menjadi tiga yaitu

saat tidak terjadi bencana (pra bencana), saat terjadi bencana (tanggap

darurat), setelah bencana (pasca bencana)”.

Menurut Tukino (2013) menjelaskan secara garis besar siklus

penanggulangan bencana terdiri atas pra bencana (situasi tidak terjadi

bencana, dan situasi terdapat potensi bencana), pada saat terjadi bencana

(tanggap darurat), dan setelah terjadi bencana (pemulihan). Pekerjaan

sosial dapat berkontribusi dalam setiap tahapan penanggulangan


44

bencana tersebut dengan menggunakan berbagai pendekatan dan teknik

terpilih serta keterampilan tertentu.

Peran pekerja sosial sangat dibutuhkan dalam kaitannya dengan

resiliensi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana gempa,

sebagai berikut:

a. Motivator, yaitu berperan memberikan motivasi dukungan terhadap

masyarakat yang terkena dampak bencana gempa, bahwa mereka

mampu mengatasi bencana gempa dengan baik.

b. Perantara (mediator), yaitu membantu masyarakat yang terkena

dampak bencana gempa dengan sumber-sumber pelayanan yang

tersedia dalam hal ini adalah pemerintah.

c. Konselor, yaitu sebagai pembimbing masyarakat untuk

mengarahkan bagaimana cara resiliensi yang tepat agar mereka

memiliki dorongan semangat dan kemampuan yang besar untuk

mengatasi bencana yang datang seperti bencana gempa.

d. Edukator, yaitu sebagai seorang pendidik yang memberikan

masukan informasi, pengetahuan dan peningkatan kesadaran kepada

masyarakat yang sifatnya positif tentang pentingnya resiliensi dalam

upaya menghadapi dan mengatasi bencana gempa.

e. Broker, yaitu sebagai perantara. Pekerja sosial menjembatani sistem

kegiatan dengan sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan, dalam

hal ini menghubungkan masyarakat dengan Dinas-dinas terkait baik

Dinas Sosial dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


45

yang dapat memberikan motivasi dan penyuluhan yang baik

sehingga dapat memperkuat masyarakat dalam menangani bencana

gempa.

Berdasarkan penjelasan tersebut, bahwa seorang pekerja

sosial bidang bencana harus mampu menjalankan peranan nya

dengan baik dan peran pekerja sosial sebagai edukator memiliki

peranan yang sangat penting. Hal ini di karenakan memberikan

sebuah informasi, pengetahuan kepada individu maupun masyarakat

akan bencana secara menyeluruh, sehingga nantinya dapat

mempersiapkan dan membentuk resiliensi dalam mencegah risiko

dari bencana gempa. Seorang pekerja sosial bidang bencana harus

mampu menjalankan peranan nya dengan baik.


46

2.3 Kerangka Berfikir


Kerangka berpikir merupakan model konseptual mengenai landasan

teoritis yang dijadikan dasar oleh peneliti dalam menganalisis masalah

penelitian. Kerangka berpikir disusun untuk memahami alur pemikiran

keterkaitan teori resiliensi masyarakat dengan bencana gempa. Berikut

adalah kerangka berpikir penelitian:

BENCANA

DAMPAK

RESILENSI

PENYINTAS

Regulasi Emosi dan Pengkajian Pengetahuan dan Manajemen Resiko & Kesiapan &
Pengendalian Impuls Resiko Pendidikan Pengurangan Resiko Tanggap Bencana
Pp

Resilensi Penyintas Resilensi Penyintas

Korban Rendah Korban Tinggi

Besarnya Dampak Minimnya Dampak

Bencana Gempa Bencana Gempa

Usulan Program

BAGAN KERANGKA BERFIKIR

Skema kerangka berpikir tersebut menjelaskan alur dari penelitian

ini. Bahwa bencana gempa sering terjadi setiap tahunnya dan menimbulkan

dampak negatif di kehidupan masyarakat. Objek penelitian ini adalah


47

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana gempa yang sudah pasti

terkena dampak negatif. Kemudian masyarakat yang tinggal di daerah

rawan bencana gempa di Desa Gasol akan diukur sejauh mana resiliensi

penyintas korban terhadap bencana gempa tersebut menggunakan indikator

resiliensi penyintas menurut John Twigg melalui regulasi emosi,

pengendalian impuls, pengkajian risiko, pengetahuan dan pendidikan,

manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, dan kesiapsiagaan dan

tanggap bencana.

Hasil yang didapat akan mengarah kepada dua kemungkinan yaitu

resiliensi masyarakat rendah dan resiliensi masyarakat tinggi. Apabila yang

dihasilkannya yaitu resiliensi masyarakat rendah, maka hal tersebut yang

nantinya akan menjadi usulan program untuk peningkatan resiliensi

masyarakat agar dapat mencapai tujuan resiliensi masyarakat tinggi dan

berkurangnya dampak dari bencana gempa yang terjadi.


C. METODE PENELITIAN
3.1Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian tentang resiliensi

masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana gempa adalah dengan

menggunakan pendekatan kuantitatif. Sugiyono (2017) menyebutkan

bahwa pendekatan kuantitatif disebut sebagai metode ilmiah/scientific

karena memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris, obyektif,

terukur, rasional dan sistematis. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan

kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisi

menggunakan statistik.

Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Menurut

Whitney dalam Nazir (2013) bahwa metode deskriptif adalah pencarian

fakta dengan interpretasi yang tepat, kemudian Nazir (2013:54)

mengemukakan definisi metode penelitian deskriptif sebagai berikut

Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti

status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem

pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk membuat deskriptif, gambaran, atau lukisan

secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan fenomena yang diselidiki.

Berdasarkan kutipan diatas, maka penelitian ini akan memberikan

gambaran yang komprehensif mengenai resiliensi masyarakat yang tinggal

di daerah rawan bencana gempa di Desa Gasol Kecamatan Cugenang

Kabupaten Cianjur.

48
49

3.2 Sumber Data


Sugiyono (2017) menyebutkan bahwa apabila dilihat dari sumber

datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber data primer

dan sumber data sekunder. Penelitian ini menggunakan dua sumber data

yaitu :

3.2.1 Sumber data primer

Sumber data primer yang digunakan merupakan sumber data yang

langsung memberikan data kepada pengumpul data atau peneliti yakni

responden. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal

di daerah rawan bencana gempa di Desa Gasol Kecamatan Cugenang

Kabupaten Cianjur.

3.2.2 Sumber data sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan merupakan sumber data yang

tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, melalui orang lain

atau berupa dokumen. Data sekunder akan diperoleh dari observasi dan

studi dokumentasi dari literatur, dokumen, bahan bacaan, bahan pustaka,

dan laporan-laporan penelitian, serta data yang diambil dari berbagai

sumber yang ada kaitannya dengan permasalahan penelitian yang

berhubungan dengan resiliensi masyarakat yang tinggal di daerah rawan

bencana gempa.

3.3 Definisi Operasional


Definisi operasional menurut Nazir (2013) adalah suatu definisi

yang diberikan kepada suatu variabel atau konstrak dengan cara

memberikan arti atau menspesifikan kegiatan ataupun memberikan suatu


50

operasional yang diperlukan untuk mengukur konstruk atau variabel

tertentu. Penelitian ini menggunakan rumusan definisi operasional sebagai

berikut:

1. Resiliensi masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

ketahanan yang dimiliki masyarakat yang tinggal di daerah rawan

bencana gempa di Desa Gasol dengan melihat berdasarkan aspek tata

pemerintahan, pengkajian risiko, pengetahuan dan pendidikan,

manajemen risiko dan pengurangan kerentanan dan kesiapsiagaan dan

tanggap bencana.

2. Daerah Rawan Bencana Gempa yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah kawasan yang memiliki potensi tinggi terhadap bencana gempa,

dan bencana gempa tersebut terjadi belakangan ini. Bencana tersebut

dialami oleh masyarakat yang tinggal di desa gasol

3. Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepala keluarga

yang tinggal di daerah rawan bencana gasol di di Desa Gasol Kecamatan

Cugenang Kabupaten Cianjur yaitu RW 01, RW 02, dan RW 03 lebih

dari 3 tahun, berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, dan dapat

membaca serta menulis

4. Lokasi Penelitian yang dimaksud dalam penelitian adalah di Desa Gasol

Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur.


51

3.4 Populasi dan Sampel


3.4.1 Populasi

Sebuah populasi adalah kumpulan dari individu dengan kualitas

serta ciri-ciri yang telah ditetapkan dalam sebuah penelitian kuantitatif.

Sugiyono (2017) menyebutkan bahwa “populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan

kemudian di tarik kesimpulannya”. Populasi yang menjadi sasaran dalam

penelitian ini adalah kepala keluarga yang tinggal di daerah rawan bencana

gempa di Desa Gasol Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur sejumlah

245 KK yang terdapat di RW 01, RW 02, dan RW 03.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut, dalam Sugiyono (2017:81). Sampel yang diambil

peneliti dari populasi adalah kepala keluarga yang tinggal di daerah rawan

bencana gempa di Desa Gasol. Bila populasi terlalu besar maka peneliti

tidak mungkin meneliti semua populasi. Adapun alasan peneliti tidak

mengambil semua sampel dari populasi karena keterbatasan dana, waktu,

dan tenaga peneliti, jadi peneliti mengambil sampel sesuai populasi yang

dapat diberlakukan dengan jumlah populasi 245 KK. Penelitian

menggunakan teknik stratified random sampling yaitu pengambilan sampel

secara acak berlapis. Peneliti menggunakan teknik penarikan sampel dengan

menggunakan rumus Slovin. Proses penarikan sampel menurut Slovin yaitu

sebagai berikut:
52

Proses penarikan sampel menurut Slovin yaitu sebagai berikut:

Keterangan :

n : jumlah

sampel N :

Jumlah

populasi

e : sampling error (toleransi kesalahan)

Jika dilihat dari rumus diatas, maka besarnya jumlah sampel (n)

adalah sebagai berikut:

245
n=
1+245.0,12

245
=
1+2,45

= 71,01 = 71 responden

Berdasarkan hasil perhitungan dengan sampling error sebesar 10%,

maka yang didapatkan hasil jumlah sampel yang akan diteliti oleh peneliti

adalah sebanyak 71 responden yang merupakan kepala keluarga. Sampel

penelitian tersebut tersebar di 3 RW yang merupakan daerah rawan bencana

gempa yaitu, RW 01, RW 02 dan RW 03. Untuk penyebaran sampel


53

masing-masing RW dapat menggunakan rumus perhitungan menurut

Sugiyono (2017) sebagai berikut:

N=(populasi RW/jml populasi keseluruhan) x jml sampel yang

ditentukan. Berdasarkan rumus tersebut, penyebaran sampel di masing-

masing RW yang merupakan daerah rawan bencana gempa yang meliputi

RW 01, RW 02 dan RW 03, dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini:

Tabel 3.1. Penyebaran sampel di daerah rawan bencana gempa di Desa


Gasol Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur
No RW Jumlah Populasi Jumlah Sampel
1. 02 119 KK 119/245 x 71 = 35 KK
2. 01 74 KK 74/245 x 71 = 21 KK
3. 04 52 KK 52/245 x 71 = 15 KK
TOTAL 245 KK 71 KK/Responden

Setelah dilakukan perhitungan dari masing-masing RW, didapatkan

sebanyak 35 KK di RW 02, 21 KK di RW 01 dan 15 KK di RW 03 yang

akan menjadi responden peneliti di daerah rawan bencana gempa di Desa

Gasol Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur

3.5 Uji Validitas dan Rehabilitas Alat Ukur

3.5.1 Uji Validitas

Menurut Sugiyono (2017:121) bahwa valid berarti instrumen

tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji

validitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah validitas muka

(face validity). Validitas muka adalah teknik pengukuran alat ukur yang

dilakukan dengan cara mengkonsultasikannya secara langsung kepada


54

ahlinya dan dalam penelitian ini di konsultasikan kepada dosen

pembimbing. Moh. Nazir (2005:149) menyatakan bahwa “Face validity

adalah penilaian para ahli terhadap suatu alat ukur. Face validity dilakukan

dengan cara mengkonsultasikan kebenaran kepada ahlinya”. Sebelum

instrumen disebarkan kepada responden, instrumen terlebih dahulu harus

diperiksa oleh dosen pembimbing atau dosen ahli dalam bidang

kebencanaan.

3.5.2 Uji Realibilitas

Selain harus valid, suatu alat ukur juga harus reliable (andal).

Menurut

Sugiyono (2017:121) instrumen yang reliabel adalah instrumen

yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang

sama, akan menghasilkan data yang sama. Uji reliabilitas yang

digunakan oleh peneliti yaitu dengan menggunakan metode

Cronbach Alpha. Cronbach dalam Irawan Soehartono (2015:86)

menyarankan bahwa suatu koefisien reliabilitas yang disebut

koefisien alpha. Koefesien alpha menggunakan rumus sebagai

berikut:
55

Keterangan :

Pengujian ini menggunakan bantuan aplikasi program SPSS

25 untuk membantu uji reliabilitas. berikut merupakan hasil

perhitungan uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan cara

alpha Cronbach dengan bantuan SPSS 25:

Tabel 3.2. Hasil Uji Coba Reliabilitas


Reliability Statistics
Cronbach's
N of Items
Alpha
.831 30
Sumber: Hasil Penelitian Tahun 2020

Berdasarkan tabel 3.2. tersebut dapat diketahui bahwa hasil

uji reliabilitas yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan

hasil reliabilitas senilai 0,831.

3.5.3 Alat Ukur Penelitian

Alat ukur dalam penelitian dinamakan instrumen penelitian. Alat

ukur yang digunakan dalam penelitian tentang resiliensi masyarakat yang

tinggal di daerah rawan bencana gempa yaitu dengan menggunakan skala

ordinal. Menurut Irawan Soehartono (2015:76) “skala ordinal yaitu dapat

menggolongkan objek penelitian dalam golongan-golongan yang berbeda,

skala ordinal mempunyai kelebihan daripada skala nominal, yaitu bahwa

golongan-golongan atau klasifikasi dalam skala ordinal dapat dibedakan

tingkatannya”.
56

Penggunaan skala ordinal ini hanya mampu mencari tahu perbedaan

tingkatan tanpa mengetahui jarak antar tingkatan, misalnya klasifikasi

dilakukan menjadi tiga golongan a, b, c dan a>b, b>c, maka a>c. akan tetapi,

berapa besar perbedaan atau jarak antara a dan b, antara b dan c, dan antara

a dan c tidak diketahui, yang diketahui hanya terdapat perbedaan tingkatan.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Sugiyono (2017) menyebutkan bahwa kualitas pengumpulan data

merupakan hal utama yang mempengaruhi data hasil penelitian selain

kualitas instrumen penelitian. Instrumen yang teruji validitas dan reliabilitas

belum tentu dapat menghasilan data yang valid dan reliabel apabila

instrumen tersebut tidak digunakan dengan tepat dalam pengumpulan data.

Teknik pengumpulan data yangakan dilakukan dalam penelitian ini antara

lain :

3.6.1 Angket

Angket merupakan teknik yang dilakukan dengan cara memberikan

seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk

diisi atau dijawab. Angket ini akan ditujukan kepada masyarakat yang

tinggal di daerah rawan bencana gempa di Gasol sebagai responden utama.

Teknik ini peneliti gunakan karena jumlah responden cukup besar,

pertanyaan atau pernyataan yang terdapat dalam kolom angket adalah

pernyataan yang cukup detail, menggunakan bahasa yang mudah

dimengerti oleh responden, sehinggga responden dengan mudah

memahami dan memberikan jawaban dari daftarpertanyaan tersebut yang

nantinya akan dijadikan data dalam penelitian ini.


57

3.6.2 Observasi

Teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan

langsung terhadap responden serta keadaan lokasi penelitian. Observasi ini

digunakan untukmengumpulkan data mengenai kemampuan resiliensi yang

dimiliki masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana gempa di Desa

Gasol Kecamatan Cugenang melalui pengamatan langsung.

3.6.3 Studi Dokumentasi

Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data-data, literatur

mengenai resiliensi, masyarakat, serta bencana gasol dan selanjutnya

dipelajari. Hal lain untuk memperoleh data yang sesuai dengan kebutuhan

penelitian seperti profil kelurahan dan data pendukung lainnya.

3.7 Teknik Analisis Data


Menurut Sugiyono (2017), “Statistik deskriptif adalah statistik yang

digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau

menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa

bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau

generalisasi”.

Hasil penelitian diolah menggunakan analisis data kuantitatif.

Analisis data kuantitatif yaitu menganalisis data secara rinci dalam bentuk

angka atau persentase dari jawaban responden atas pertanyaan penelitian

untuk mendapatkan deskripsi tentang masalah penelitian. Data disajikan

dalam bentuk tabel dengan distribusi frekuensi. Hasil yang diperoleh dari
58

pengumpulan data melalui angket dihitung sehingga mendapatkan hasil

yang dapat di presentasikan dalam bentuk tabel data.

3.8 Jadwal dan Langkah Langkah Penelitian


Jadwal penelitian dan langkah-langkah merupakan suatu agenda

yang dibuat peneliti sebelum melakukan penelitian. Adanya jadwal dan

langkah- langkah dalam penelitian kuantitatif akan membuat penelitian

yang dilakukan sesuai dengan rencana awal. Jadwal penelitian dan langkah-

langkah penelitian ini telah peneliti gambarkan sebagaimana tersaji dalam

matriks 3.1. berikut ini:

Matriks 3.1. Jadwal Penelitian Resiliensi Penyintas Korban Bencana di Desa


Gasol Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur.

Bulan
No Kegiatan
Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Seminar
1
Proposal
Penyusunan
2 Instrumen
Penelitian
Pengumpulan
3
Data
Pengolahan
4
Data
5 Analisis Data
Seminar Hasil
6
Penelitian
59

3.8.1 Seminar Proposal

Peneliti melakukan seminar proposal untuk menguji apakah

penelitian yang dilakukan sudah layak untuk diteliti. Pada saat seminar

proposal peneliti menerima masukan dan saran dari penguji untuk

selanjutnya ditindaklanjuti dalam bimbingan skripsi.

3.8.2 Penyusunan Insturmen Peneltian

Penyusunan instrumen merupakan langkah selanjutnya yang

dilakukan peneliti sebelum turun ke lokasi penelitian. Peneliti membuat

instrumen penelitian sedemikian rupa guna mendapatkan jawaban hasil

penelitian yang diharapkan.

3.8.3 Pengumpulan Data

Peneliti melakukan pengumpulan data dalam hal ini peneliti

langsung turun ke lokasi penelitian sambil membawa instrumen yang

sebelumnya sudah dibuat untuk mendapatkan jawaban penelitian.

3.8.4 Pengolahan Data

Tahap ini dilakukan sebagai alat untuk menjawab permasalahan

penelitian yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah penelitian.

Peneliti melakukan pengukuran presentasi dengan tabel frekuensi.

3.8.5 Analisis Data

Setelah data diolah, peneliti melakukan analisis terhadap data-data

yang diperoleh dari lokasi penelitian, untuk mendapatkan suatu kesimpulan

dari rumusan permasalahan penelitian.


60

3.8.6 Seminar Hasil Penelitian

Penulisan penelitian dalam bentuk laporan yang kemudian

dipaparkan dan diuji kelayakannya dalam ujian sidang hasil penelitian.


D. Daftar Pustaka
Edi Suharto. 2011. Pendidikan dan Praktik Pekerjaan Sosial di Indonesia dan
Malaysia. Yogyakarta: Samudera Biru

Dwi Heru, Sukoco. 2011. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya.
Bandung: STKS Press.

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta

Twigg, John. 2007. Characteristics Of Disaster-Resilient Community: A Guidance


Note. DFID

Nurjanah, dkk. 2014. Manajemen Bencana. Bandung: Alfabeta

Sumber Lain
Ariesta Mawarni Hia. (2017). Resiliensi Masyarakat terhadap Risiko Bencana
Longsor di Kelurahan Ciumbuleuit Kecamatan Cidadap Kota Bandung.
Bandung: Jurusan Pekerjaan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial
Priliana Ramadhani. Ketangguhan Masyarakat Di Daerah Rawan Banjir (Studi
Kasus Pada Masyarakat di RW 10 Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Titik Nurjanah. (2018). Resiliensi Orangtua yang Memiliki Anak Penderita
Thalasemia di Perhimpunan Orangtua Penderita Thalasemia di Rumah
Sakit Santosa Kota Bandung. Bandung: Jurusan Pekerjaan Sosial, Sekolah
Tinggi Kesejahteraan Sosial
Tukino. (2013). Pekerjaan sosial dalam setting kebencanaan. Social work
journal. 3(2), 100-110. (diakses pada 19 Agustus 2019)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Keputusan Menteri No.17/Kep/Menko/Kesra/x/95
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/2174/3/Bab%202%20cetak.pdf
http://etheses.uin-malang.ac.id/1534/6/10410142_Bab_2.pdf

61

Anda mungkin juga menyukai