Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION (SGD) LBM 1


BLOK ELEKTIF (WAHANA PENANGGULANGAN
BENCANA)
“KESIAPSIAGAAN DAERAH WISATA DALAM
MENGHADAPI BENCANA”

Disusun oleh :
Kelompok 2

Ni Nyoman Sulindri Intan Sari


018.06.0065

Tutor : Ronanarasafa, S.Ked


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD (Small
Group Discussion) LBM 1 yang berjudul “kesiapsiagaan daerah wisata dalam
menghadapi bencana”dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa


(LBM) 1 yang berjudul “kesiapsiagaan daerah wisata dalam menghadapi
bencana”meliputi seven jumps step yang dibagi menjadi dua sesi diskusi.
Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai
pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada:

1. dr. Ronanarasafa, S.KedSebagai dosen fasilitator kelompok SGD 2 yang


senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk menyusun
makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, Febuari 2022

Penyusun

Elektif | i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 3
1.1 Skenario LBM 2 .......................................................................................... 3
1.2 Deskripsi Masalah ....................................................................................... 3
BAB 2 PEMBAHASAN ........................................................................................ 6
BAB 3 PENUTUP................................................................................................ 13
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

Elektif | ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Skenario LBM I


Tanjung Lesung yang terletak di Kabupan Pandeglang, Provinsi
Banten menjadi salah satu daerah tujuan wisata favorit. Pemandangan indah
dan fasilitas yang ada membuat popularitas Tanjung Lesung melesat
melampaui tempat wisata lain. Wilayah Kabupaten Pandeglang secara
geografis terletak antara 6°21’-7°10’ Lintang selatan dan 104°48’ - 106°11’
Bujur timur dengan luas daerah 2.747 km² dan sebesar 29,98 persen dari luas
Provinsi Banten. Kabupaten yang berada di Ujung Barat dari Provinsi Banten
ini mempunyai batas administrasi, sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Serang, sebelah selatan berbatasan Samudra Indonesia,
sebelah barat berbatasan Selat Sunda, sebelah timur berbatasan dengan
kabupaten lebak. Disebelah barat terdapat gunung dan anak gunung Krakatau
yang merupakan gunung berapi aktif yang secara administrative masuk
wilayah provinsi lampung. Selama masa pandemi, industri pariwisata di
tanjong lesung mengalami penurunan. Pemerintah melalui Kemenparekraf
menghidupkan pariwisata dengan program Cleanlines, Healty, Safety,
Environment Sustanbility (CHSE). Para pelaku pariwisata di daerah tersebut
bersemangat kembali untuk bekerja. Kejadian erupsi dan tsunami ditahun
2018, menjadi perhatian khusus dalam kegiatan pengurangan risiko bencana
di daerah wisata tersebut. Pengusaha pariwisata memastikan setiap karyawan
memahami kegiatan pengurangan risiko bencana di tempat kerja masing-
masing dan dapat melakukan pendampingan bagi wisatawan bila dibutuhkan.

1.2 Deskripsi Masalah


Bagai salah satu negara yang terletak di lempengan Indo-Australia
dan Eurasia, Indonesia rawan terhadap berbagai jenis bencana alam seperti
gunung meletus dan gempa bumi yang seringkali diikuti oleh tsunami.
Bencana alam bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, tidak terkecuali di

Elektif | 3
wilayah-wilayah yang menjadi destinasi wisata. Ketika bencana alam
melanda objek wisata Indonesia, saat itu pula organisasi kepariwisataan
Indonesia mengalami krisis, di antaranya adalah objek wisata itu sendiri,
hotel, restoran, dan semua organisasi terkait lainnya. Maka itu, diperlukan
penanggulangan krisis yang tepat.
Risiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi,
kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko
merupakan fungsi dari ancaman atau bahaya dengan kerentanan dan juga
kapasitas. Risiko bencana dapat berkurang apabila kapasitas ditingkatkan
atau kerentanan dikurangi, sedangkan risiko bencana dapat meningkat apabila
kerentanan semakin tinggi dan kapasitas semakin rendah (Arsyad, 2017).
Penanggulangan bencana dan manajemen bencana perlu dimengerti dan
dikuasai oleh seluruh kalangan, baik pemerintah, masyarakat, maupun
swasta. Penanggulangan bencana yang dapat dilakukan terdiri dari empat
tahapan. Tahapan tersebut meliputi proses pencegahan dan mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi serta rekonstruksi.
Manajemen penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang
dinamis, yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan
pengawasan dalam penanggulangan bencana. Proses tersebut juga melibatkan
berbagai macam organisasi yang harus bekerjasama untuk melakukan
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan akibat
bencana
Dalam melakukan penanggulangan bencana juga dibutuhkan adanya
koordinasi dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan penanggulangan
bencana seperti BNPB dan BPBD adapun instansi lain yang ikut berperan
dalam manajemen bencana. Instansi lain terkait seperti TNI, POLRI, PMI,
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), OPD (Organisasi Perangkat Daerah),

Elektif | 4
DHMTs (Disaster Health Management Teams), HEOC (Health Emergency
Operation Center), DMTs (Disaster Medical Teams), dan relawan kesehatan..

Elektif | 5
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Bencana


Bencana dapat didefinisikan dalam berbagai arti baik secara
normatif maupun pendapat para ahli. Menurut Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), definisi bencana adalah
peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar
biasa dari pihak luar.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah
setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis,
hilangnya nyawamanusia, atau memburuknya derajat kesehatan atau
pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar
masyarakat atau wilayah yang terkena.
2.2 Jenis-Jenis Bencana
Jenis-jenis bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang penanggulangan bencana, yaitu:

a) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor;

Elektif | 6
b) Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi,gagal
modernisasi. dan wabah penyakit;

c) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat.

d) Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan


oleh kesalahan desain, pengoprasian, kelalaian dan kesengajaan, manusia
dalam penggunaan teknologi dan atau insdustriyang menyebabkan
pencemaran, kerusakan bangunan, korban jiwa, dan kerusakan lainnya

Terdapat 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya bencana, yaitu :

(1) Faktor alam (natural disaster) karena fenomena alam dan tanpa
ada campur tangan manusia.

(2) Faktor non-alam (nonnatural disaster) yaitu bukan karena


fenomena alam dan juga bukan akibat perbuatan manusia, dan (3) Faktor
sosial/manusia (man-made disaster) yang murni akibat perbuatan manusia,
misalnya konflik horizontal, konflik vertikal, dan terorisme. Secara umum
faktor penyebab terjadinya bencana adalah karena adanya interaksi antara
ancaman (hazard) dan kerentanan (vulnerability).

Ancaman bencana menurut Undang-undang Nomor 24 tahun 2007


adalah “Suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana”.
Kerentanan terhadap dampak atau risiko bencana adalah “Kondisi atau
karateristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan
teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu
yang mengurangi kemampuan masyarakat untuk mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu”

Elektif | 7
2.3 Manajemen Bencana
Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan
terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi bencana. (UU 24/2007).

Adapun tujuan manajemen bencana secara umum adalah sebagai


berikut: (1) Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta
kerusakan harta benda dan lingkungan hidup; (2) Menghilangkan
kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan korban; (3)
Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/ pengungsian ke
daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak
huni dan aman; (4) Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti
komunikasi/ transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk
mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena
bencana; (5) Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut; (6)
Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.

Dalam keseluruhan tahapan penanggulangan bencana tersebut, ada 3


(tiga) manajemen yang dipakai yaitu : (Arsyad, 2017).

1. Manajemen Risiko Bencana


Adalah pengaturan/manejemen bencana dengan penekanan pada faktor-
faktor yang bertujuan mengurangi risiko saat sebelum terjadinya
bencana. Manajemen risiko ini dilakukan dalam bentuk :
a) Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi
ancaman bencana.
b) Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Elektif | 8
c) Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan ini
sebenarnya masuk manajemen darurat, namun letaknya di pra
bencana. Dalam fase ini juga terdapat peringatan dini yaitu
serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
2. Manajemen Kedaruratan
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan
pada faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta
penanganan pengungsi saat terjadinya bencana dengan fase nya yaitu :
(Arsyad, 2017).
a. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
3. Manajemen Pemulihan
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan
pada faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan
lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
kelembagaan, prasarana, dan sarana secara terencana, terkoordinasi,
terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya bencana dengan fase-fasenya
nya yaitu : (Arsyad, 2017).
a) Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek

Elektif | 9
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
b) Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama
tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran
serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
pada wilayah pascabencana.

2.4 Peran Tenaga Kesehatan Dalam Menanggulangi Bencana


Peran tenaga keeshatan adalah membuat kolaborasi dengan sitem team
manajemen

1. Tim Manajemen Krisis Kesehatan (Disaster Health Management


Teams/DHMTs) Secara ex-officio berkedudukan pada satuan kerja di
lingkungan Kementerian Kesehatan yang memiliki tugas dan fungsi di
bidang krisis kesehatan, Dinas Kesehatan Daerah Provinsi, atau Dinas
Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota (PKK, 2022).
2. 2Pusat Darurat Krisis Kesehatan (Health Emergency Operation
Center/HEOC) Dioperasionalkan pada saat darurat krisis Kesehatan
serta berkoordinasi dan berkolaborasi dengan badan yang menangani
penanggulangan bencana dan kementerian/lembaga lain yang terkait
(PKK, 2022).
3. Tim Kegawatdaruratan Krisis Kesehatan (Disaster Medical
Teams/DMTs) Kelompok profesional di bidang kesehatan yang

Elektif | 10
melakukan pelayanan medis secara langsung kepada masyarakat yang
terkena dampak Bencana atau kegawatdaruratan sebagai tenaga
kesehatan dalam mendukung sistem pelayanan kesehatan setempat yang
terdiri atas berbagai profesi tenaga kesehatan. Diregistrasi pada saat pra
Krisis Kesehatan oleh tim manajemen Krisis Kesehatan di tingkat Pusat
dan dikoordinasikan serta dimobilisasi oleh (HEOC). Memiliki tugas
memberikan pelayanan kegawatdaruratan dan evakuasi medis,
pelayanan rujukan, pelayanan kesehatan lainnya (PKK, 2022). Telah
ada SK Kepala Pusat Krisis Kesehatan tentang Sinergitas DMTs dalam
Pengelolaan Krisis Kesehatan yang terdiri dari 21 DMTs, yaitu: PABI,
EMTs IDI, MDMC, Kwarnas Pramuka, LPBPI NU, Dompet Dhuafa,
PMI Pusat, MSF, Buddha Tzu Chi, BSMI, PELKESI, PERDHAKI,
PHDI, ACT, Ambulans 118, Ksatria Airlangga, DoctorSHARE,
InWCCA, MER-C, ICRC, TBMMKI (PKK, 2022).

2.5 Manajemen bencana pada daerah wisata


Pada manajemen di daerah wisata lebih menekankan mitigation Plan
yang mengacu pada standar UN-WTO yang terbagi dalam tiga tahapan,
yaitu Tahap Tanggap Darurat, Pemulihan (Rehabilitasi), dan Normalisasi.
Pengembangan kawasan pariwisata secara masif tanpa menyiapkan mitigasi
bencana dapat berkonsekuensi pada meningkatnya risiko atau potensi
dampak kerugian dan korban akibat bencana pada masa mendatang. Tata
ruang merupakan instrumen untuk mengelola dan mengurangi risiko
bencana tersebut maka setiap daerah atau destinasi wisata wajib memiliki
perencananaan dan pengembangan pariwisata Tangguh bencana yang
dianalisis berdasarkan kerentanan wilayahnya masing- masing. Ketersedian
sarana dan prasana kesehatan setempat seperti rumah sakit,
puskesma/klinik/praktik dokter dan aptotek terdekat menjadi indicator
destinasi wisata telah memenuhi syarat .

Elektif | 11
2.6 Perencanaan persiapaan pelsanaan manjemen bcenana di daerah
wisata
Upaya-upaya di atas perlu didukung dengan upaya kesiagaan
(preparedness), yaitu melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengantisipasi
bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan
siaga. Misalnya; penyiapan sarana komunikasi, pos komando dan penyiapan
lokasi evakuasi. Di dalam usaha kesiagaan ini juga dilakukan penguatan
sistem peringatan dini (early warning system), yaitu upaya untuk
memberikan tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera
terjadi. Upaya ini misalnya dengan membuat perangkat yang akan
menginformasikan ke masyarakat apabila terjadi kenaikan kandungan unsur
yang tidak diinginkan di sungai atau sumur di sekitar sumber ancaman.
Pemberian peringatan dini harus (1) menjangkau masyarakat (accesible), (2)
segera (immediate), (3) tegas tidak membingungkan (coherent), (4)
bersifatresmi (official).

Perencanaan kontinjensi merupakan suatu upaya untuk


merencanakan sesuatu peristiwa yang mungkin terjadi, tetapi tidak menutup
kemungkinan peristiwa itu tidak akan terjadi. Oleh karena ada unsur
ketidakpastian, maka diperlukan suatu perencanaan untuk mengurangi
akibat yang mungkin terjadi. Atas dasar pemikiran itu, maka perencanaan
kontinjensi didefinisikan sebagai “Proses perencanaan ke depan, dalam
keadaan tidak menentu, dimana skenario dan tujuan disetujui, tindakan
manajerial dan teknis ditentukan, dan sistem untuk menanggapi kejadian
disusun agar dapat mencegah, atau mengatasi secara lebih baik keadaan atau
situasi darurat yang dihadapi” (UNOCHA,2011)

Elektif | 12
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pariwisata
sendiri telah menjadi penghasil devisa nomor dua di Indonesia. Oleh karena
itu, dalam mewaspadai bencana di destinasi wisata sebaiknya lokasi tujuan
menyiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) mitigasi yang mengacu pada
UN World Tourism Organization (UN-WTO). Sebab pada hakikatnya, aspek
keamanan dan keselamatan dari bencana merupakan salah satu bagian hal yang
paling diperhatikan wisatawan saat menentukan destinasi wisata. Adapun
beberapa kebijakan pemerintah dalam menanggulangi bencana di daerah
wisata adalah peningkatan kapasitas dan penguatan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) yang berada di wilayah potensi pariwisata,
meluncurkan program Cleanliness, Health, Safety, And Environmental
Sustainability (CHSE), serta penyelenggaraan rehabilitasi di destinasi wisata
yang terkena bencana alam merupakan tanggungjawab pemerintah pusat atau
pemerintah daerah (pemda), dilaksanakan oleh satuan kerja (satker) pemda dan
instansi terkait yang dikoordinasikan oleh Kepala Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD). Sehingga dengan hal tersebut industri pariwisata
diharapkan bisa meningkatkan standar pelayanannya agar mendapatkan
kepercayaan dari wisatawan baik domestik maupun mancanegara.

Elektif | 13
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. 2017. Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Pelatihan


Penanggulangan Bencana Banjir. Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Sumber
Daya Air Dan Konstruksi.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2021. Mewaspadai Bencana di
Destinasi Wisata.
Kurniyanti, M. A. (20l2). Peran Tenaga Kesehatan Dalam Penanganan Manajemen
Bencana (Disaster Management). Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada,
1(l), 85-92. https:lldoi.orgll0.33475ljikmh.vlil.87
Kuniasari, Nani. 2017. Strategi Penanganan Krisis Kepariwisataan dalam
Kebijakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Jurnal Mediator.
10(2).
Purnama, Gede. 2017. Modul Manajemen Bencana. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Program Studi Kesehatan Masyarakat.
Sutrisnawati, Ni Ketut. 2018. Dampak Bencana Alam Bagi Sektor Pariwisata di
Bali. Jurnal Ilimah Hospitality Manajemen. 9(1).
UU No 24 Tahun 2007. Penaggulangan Bencana. Undang-undang Republik
Indonesia.

Elektif | 14

Anda mungkin juga menyukai