Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN SMALL GROUP DISCUSSION LBM 1

BLOK ELEKTIF KESEHATAN HAJI


“KESIAPSIAGAAN DAERAH WISATA DALAM
MENGHADAPI BENCANA”

DISUSUN OLEH :

Putu Winda Puri Ayundari Putri (018.06.0042)

Tutor :
dr. Hardinata, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 1 yang berjudul “KESIAPSIAGAAN
DAERAH WISATA DALAM MENGHADAPI BENCANA” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
(LBM) 1 yang meliputi dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini
tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Hardinata, S.Ked sebagai dosen fasilitator kelompok SGD 6 yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 10 Februari 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Skenario LBM 1 ............................................................................................1
1.2 Deskripsi Masalah .........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................10


BAB III PENUTUP ..............................................................................................18
3.1 Kesimpulan .................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario LBM 1


Kesiapsiagaan Kawasan Wisata Menghadapi Bencana Tanjung Lesung
yang terletak di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten menjadi salah satu
destinasi wisata favorit. Pemandangan indah dan fasilitas yang ada membuat
popularitas Tanjung Lesung melesat melampaui tempat wisata lainnya.
Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6° 21'-7° 10' LS dan
104 48 106° 11' BT dengan luas wilayah 2.747 km² dan 29,98 persen dari luas
wilayah Provinsi Banten. Kabupaten yang terletak di Ujung Barat Provinsi
Banten ini mempunyai batas-batas administratif sebagai berikut: di sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Serang, di sebelah selatan dengan
Samudera Indonesia, di sebelah barat dengan Selat Sunda, di sebelah timur.
oleh Kabupaten Lebak. Di sebelah barat terdapat pegunungan dan anak
sungai Gunung Krakatau yang merupakan gunung berapi aktif yang secara
administratif termasuk dalam wilayah provinsi Lampung.
Selama pandemi, industri pariwisata di Tanjung Lesung mengalami
penurunan. Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
menghidupkan kembali pariwisata dengan program Cleanlines, Healthy,
Safety, Environment Sustainability (CHSE). Para pelaku pariwisata di daerah
tersebut sangat ingin kembali bekerja. Peristiwa erupsi dan tsunami tahun
2018 menjadi perhatian khusus dalam kegiatan pengurangan risiko bencana di
kawasan wisata. Pengusaha pariwisata memastikan bahwa setiap karyawan
memahami kegiatan pengurangan risiko bencana di tempat kerja masing-
masing dan dapat memberikan bantuan kepada wisatawan saat dibutuhkan

1
1.2 Deskripsi Masalah

Berdasarkan skenario diatas, adapun permasalahan yang didapatkan


sebagai berikut:

Risiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana


pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian,
luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko merupakan fungsi
dari ancaman atau bahaya dengan kerentanan dan juga kapasitas. Risiko
bencana dapat berkurang apabila kapasitas ditingkatkan atau kerentanan
dikurangi, sedangkan risiko bencana dapat meningkat apabila kerentanan
semakin tinggi dan kapasitas semakin rendah (Arsyad, 2017).

Manajemen risiko bencana terdiri dari dua bagian yaitu Pengkajian risiko
(risk assesment) dan Pengelolaan risiko (risk treatment). Pengkajian Risiko
(Risk Assesment) memiliki beberapa tahapan, yaitu: (Arsyad, 2017).

1. Identifikasi risiko bencana, yaitu mengidentifikasi faktor-faktor yang


berpengaruh terhadap risiko, dalam hal ini adalah (1) sumber penyebab
kejadian yaitu bahaya (hazard) dan (2) kondisi kerentanan manusia yang
terpapar bahaya (vulnerability), sehingga diketahui kemampuan mereka
untuk menghadapi bencana tersebut.
2. Menilai risiko adalah upaya untuk mengukur seberapa besar risiko yang
akan terjadi. Hal ini dapat diperoleh dari penghitungan risiko yang
merupakan fungsi dari bahaya (hazard) X kerentanan (vulnerability) – R =
H X V. Dalam kerentanan terdapat unsur kapasitas. Dari hasil penilaian
risiko diperoleh gambaran tentang tingkat risiko bencana, apakah tinggi,
sedang atau rendah.
3. Mengevaluasi risiko adalah upaya untuk mencari prioritas risiko yang
mana yang harus ditangani, namun tidak semua risiko tinggi harus
ditangani.

2
Pengelolaan Risiko (Risk Treatment) Setiap risiko yang dihadapi
mempunyai 4 alternatif penanganan yaitu : (Arsyad, 2017).

1. Menghindari risiko (pencegahan), dilakukan apabila kita tidak mampu


melawan risiko yang akan terjadi, maka kita harus menghindari dengan
cara relokasi, membuat peraturan tata ruang yang melarang berada di
tempat tersebut.
2. Mengurangi risiko (mitigasi), dilakukan jika risiko tersebut masih dalam
batas kemampuan untuk ditangani, maka kita lakukan upaya mitigasi yang
dapat berupa mitigasi struktural maupun mitigasi non struktural.
3. Mengalihkan risiko (transfer), dilakukan jika risiko yang seharusnya kita
terima dialihkan pada pihak lain, hal ini untuk meringankan beban
penerima risiko. Hal ini dilakukan dengan cara membayar asuransi.
4. Menerima risiko (Risk Acceptance) adalah risiko sisa yang harus kita
terima setelah upaya-upaya diatas dilaksanakan.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia dilakukan pada
berbagai tahapan kegiatan, yang berpedoman pada kebijakan pemerintah yaitu
Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan
Peraturan Pemerintah terkait lainnya yang telah memasukkan Pengurangan
Risiko Bencana. Pentingnya pemahaman mengenai manajemen
penanggulangan bencana akan menjadi landasan atau dasar dalam
mengembangkan pengurangan risiko bencana dalam penanggulangan bencana
(Kurniasari, 2017).

Dalam mewaspadai bencana di destinasi wisata sebaiknya lokasi tujuan


menyiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) mitigasi yang mengacu pada
UN World Tourism Organization (UN-WTO). Sebab pada hakikatnya, aspek
keamanan dan keselamatan dari bencana merupakan salah satu bagian hal yang
paling diperhatikan wisatawan saat menentukan destinasi wisata.
Kemenparekraf/Baparekraf sejak 2019 lalu telah membentuk Mitigation Plan
yang mengacu pada standar UN-WTO yang terbagi dalam tiga tahapan, yaitu
Tahap Tanggap Darurat, Pemulihan (Rehabilitasi), dan Normalisasi. Secara

3
umum, mitigation plan untuk menyamakan persepsi bahwa pengembangan
kawasan pariwisata, khususnya destinasi wisata alam, tidak dapat dipisahkan
dari mitigasi bencana. Selain itu, pengembangan kawasan pariwisata secara
masif tanpa menyiapkan mitigasi bencana dapat berkonsekuensi pada
meningkatnya risiko atau potensi dampak kerugian dan korban akibat bencana
pada masa mendatang. Tata ruang merupakan instrumen untuk mengelola dan
mengurangi risiko bencana tersebut (living in harmony with disaster risk)
(Kemenparekraf, 2021).

Maka setiap daerah atau destinasi wisata wajib memiliki perencanaan


pengembangan pariwisata tangguh bencana yang dianalisis berdasarkan
kerentanan wilayahnya masing-masing. Beberapa adaptasi struktural, seperti
keberadaan tanda evakuasi (peringatan/rambu/tanda bahaya, pos penjaga
pantai/SAR/BPBD, pengeras suara, dan early warning system), jalur evakuasi,
titik kumpul, serta bentuk bangunan tertentu dapat dinyatakan bahwa destinasi
wisata sudah menerapkan upaya mitigasi untuk meminimalkan risiko bencana.
Selain itu, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan setempat seperti rumah
sakit, puskesmas/klinik/praktik dokter, dan apotek juga menjadi indikator
sebuah daerah atau destinasi wisata telah memenuhi persyaratan pariwisata
tangguh bencana. Sementara adaptasi mitigasi non-struktural meliputi
peningkatan kapasitas masyarakat, menggali kearifan lokal, sertifikasi
pemandu wisata, sertifikasi tim penyelamat, sertifikasi kesiapsiagaan bencana,
penyediaan tim manajemen darurat dengan SOP yang telah ditetapkan.
Selanjutnya terdapat update informasi berkala terkait aktivitas kebencanaan,
menjalin koordinasi dan komunikasi yang berkelanjutan antar kabupaten/kota
di kawasan sekitar untuk pengorganisasian dan langkah-langkah yang tepat
guna mewaspadai bencana ekologis pada destinasi wisata (Kemenparekraf,
2021).

4
Adapun peran tenaga kesehatan atau dokter dalam manajemen bencana
dibagi berdasarkan tiga tahapan dari manajemen penanggulangan bencana.

1. Peran tenaga kesehatan dalam fase Pra Bencana adalah: (Kurniayanti,


2012).
a) Tenaga kesehatan mengikuti pelatihan dan pendidikan yang
berhubungan dengan penanggulangan ancaman bencana untuk tiap
fasenya.
b) Tenaga kesehatan ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintah,
organisasi lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-
lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
persiapan menghadapi bencana kepada masyarakat
c) Tenaga kesehatan terlibat dalam program promosi kesehatan untuk
meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang
meliputi hal-hal berikut ini:
1. Usaha pertolongan diri sendiri ketika ada bencana
2. Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong
anggota keluarga yang lain
3. Tenaga kesehatan dapat memberikan beberapa alamat dan nomor
telepon darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit dan
ambulance.
2. Peran tenaga kesehatan pada fase disaster adalah: (Kurniayanti, 2012).
a) Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek
kesehatan sehari-hari
b) Tetap menyusun rencana prioritas asuhan ketenaga kesehatan
harian
c) Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penanganan kesehatan di RS
d) Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian

5
e) Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan
khusus bayi, peralatan kesehatan.
f) Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit
menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri
dan lingkungannya.
g) Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban
(ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan
mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan,
insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot)
h) Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi
bermain.
i) Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para
psikolog dan psikiater
j) Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
3. Peran tenaga kesehatan pada fase pasca dissaster sebagai berikut :
(Kurniayanti, 2017)
a) tenaga kesehatanan pada pasien post traumatic stress disorder
(PTSD)
b) tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait
bekerjasama dengan unsur lintas sector menangani masalah
kesehatan masyarakat pasca gawat darurat serta mempercepat fase
pemulihan (Recovery) menuju keadaan sehat dan aman

Secara keseluruhan, Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dapat


dikategorikan dalam beberapa aspek berupa sembilan aktivitas sebagai berikut:
(Arsyad, 2017).

1. Pengukuran Awal

6
• Melakukan pengukuran awal terhadap Risiko Bencana (bahaya dan
kerentanan)
• Membuat sumber data yang fokus pada bahaya potensial yang mungkn
memberikan pengaruh
• Mengantisipasi kebutuhan yang muncul dan sumber daya yang tersedia

2. Perencanaan

• Memperjelas tujuan dan arah aktivitas kesiapsiagaan


• Mengidentifikasi tugas-tugas maupun tanggungjawab secara lebih
spesifik baik oleh masyarakat ataupun lembaga dalam situasi darurat
• Melibatkan organisasi yang ada di masyarakat (grassroots), LSM,
pemerintahan lokal maupun nasional, lembaga donor yang memiliki
komitmen jangka panjang di area yang rentan tersebut
3. Rencana Institusional
Koordinasi baik secara vertikal maupun horizontal antara
masyarakat dan lembaga yang akan menghindarkan pembentukan struktur
kelembagaan yang baru dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana,
melainkan saling bekerjasama dalam mengembangkan jaringan dan sistem.
• Mengukur kekuatan dari komunitas dan struktur yang tersedia.
• Mencerminkan tangungjawab terhadap keahlian yang ada.
• Memperjelas tugas dan tanggungjawab secara lugas dan sesuai.
4. Sistem Informasi
• Mengkoordinasikan peralatan yang dapat mengumpulkan sekaligus
menyebarkan peringatan awal mengenai bencana dan hasil
pengukuran terhadap kerentanan yang ada baik di dalam lembaga
maupun antar organisasi yang terlibat kepada masyarakat luas
5. Pusat Sumber Daya
Melakukan antisipasi terhadap bantuan dan pemulihan yang
dibutuhkan secara terbuka dan menggunakan pengaturan yang spesifik.
Perjanjian atau pencatatan tertulis sebaiknya dilakukan untuk

7
memastikan barang dan jasa yang dibutuhkan memang tersedia, termasuk
:
• Dana bantuan bencana
• Perencanaan dana bencana
• Mekanisme kordinasi peralatan yangada
• Penyimpanan

6. SistemPeringatan
Harus dikembangkan sebuah cara yang efektif dalam
menyampaikan peringatan kepada masyarakat luas meskipun tidak tersedia
sistem komunikasi yang memadai. Sebagai pelengkap, masyarakat
internasional juga harus diberikan peringatan mengenai bahaya yang akan
terjadi yang memungkinkan masuknya bantuan secara internasional.
7. Mekanisme Respon
Respon yang akan muncul terhadap terjadinya bencana akan sangat
banyak dan datang dari daerah yang luas cakupannya sehingga harus
dipertimbangkan serta disesuaikan dengan rencana kesiapsiagaan. Perlu
juga dikomunikasikan kepada masyarakat yang akan terlibat dalam
koordinasi dan berpartisipasi pada saat muncul bahaya.
8. Pelatihan dan Pendidikan Terhadap Masyarakat
Dari berbagai jenis program pengetahuan mengenai bencana,
mereka yang terkena ancaman bencana seharusnya mempelajari dan
mengetahui hal-hal apa saja yang diharapkan dan apa yang harus
dilakukan pada saat bencana tiba. Sebaiknya fasilitator program pelatihan
dan pendidikan sistem peringatan ini juga mempelajari kebiasaan serta
permasalahan yang ada di masyarakat setempat serta kemungkinan
munculnya perbedaan/pertentangan yang terjadi dalam penerapan rencana.
9. Praktek
Kegiatan mempraktikkan hal-hal yang sudah dipersiapkan dalam
rencana kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dibutuhkan untuk
menekankan kembali instruksi-instruksi yang tercakup dalam program,

8
mengidentifikasi kesenjangan yang mungkin muncul dalam rencana
kesiapsiagaan tersebut. Selain itu, agar didapatkan informasi tambahan
yang berhubungan dengan perbaikan rencana tersebut.

9
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Bencana

UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau


rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis” (Purnama, 2017).

Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar,


yaitu:

a) Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak


(hazard).
b) Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan,
dan fungsi dari masyarakat.
c) Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan
masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.

Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau
gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan
(vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan,
maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu,
sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang
mengancam maka tidak akan terjadi bencana (Purnama, 2017).

2.2 Jenis-jenis Bencana

Menurut UN International Strategy for Disaster Reduction (UN/ISDR,


2002), terdapat dua jenis utama bencana yaitu bencana alam dan bencana
teknologi. Bencana alam terdiri dari tiga: (Sutrisnawati, 2018).

10
a) Bencana hydro-meteorological berupa banjir, topan, banjir bandang,
kekeringan dan tanah longsor.
b) Bencana geophysical berupa gempa, tsunami, dan aktifitas vulmanik
c) Bencana biological berupa epidemi, penyakit tanaman dan hewan.

Bencana teknologi terbagi menjadi tiga group yaitu:

a) kecelakaan industri berupa kebocoran zat kimia, kerusakan infrastruktur


industri, kebocoran gas, keracunan dan radiasi.
b) Kecelakaan transportasi beruapa kecelakaan udara, rail, jalan dan
transportasi air.
c) kecelakaan miscellaneous berupa struktur domestic atau non-industrial,
ledakan dan kebakaran

Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana menurut


penyebabnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok antara
lain:

a) Bencana Alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
b) Bencana Non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c) Bencana Sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan
teror (UU No 24 Tahun 2007).

2.3 Manajemen Bencana

Manajemen penanggulangan bencana dapat didefinisikan sebagai segala


upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan,

11
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan
bencana yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan setelah bencana.
Manajemen penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang dinamis,
yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang meliputi
perencanaan,
pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan pengawasan dalam
penanggulangan bencana. Proses tersebut juga melibatkan berbagai macam
organisasi yang harus bekerjasama untuk melakukan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan akibat bencana (Arsyad, 2017).
Dalam upaya menerapkan manajemen penanggulangan bencana,
dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut: (Arsyad, 2017).
a) Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika tidak terjadi bencana dan
terdapat potensi bencana
b) Tahap tanggap darurat yang diterapkan dan dilaksanakan pada saat
sedang terjadi bencana.
c) Tahap pasca bencana yang diterapkan setelah terjadi bencana.
Dalam keseluruhan tahapan penanggulangan bencana tersebut, ada 3 (tiga)
manajemen yang dipakai yaitu : (Arsyad, 2017).

1. Manajemen Risiko Bencana


Adalah pengaturan/manejemen bencana dengan penekanan pada faktor-
faktor yang bertujuan mengurangi risiko saat sebelum terjadinya bencana.
Manajemen risiko ini dilakukan dalam bentuk :
a) Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman
bencana.
b) Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
c) Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui

12
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan ini
sebenarnya masuk manajemen darurat, namun letaknya di pra
bencana. Dalam fase ini juga terdapat peringatan dini yaitu
serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
2. Manajemen Kedaruratan
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan
pada faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta
penanganan pengungsi saat terjadinya bencana dengan fase nya yaitu :
(Arsyad, 2017).
a. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak
buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
prasarana dan sarana.
3. Manajemen Pemulihan
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan
pada faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan
lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
kelembagaan, prasarana, dan sarana secara terencana, terkoordinasi,
terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya bencana dengan fase-fasenya
nya yaitu : (Arsyad, 2017).
a) Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.

13
b) Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh
dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada
wilayah pascabencana.

Gambar 1. Proses Manajemen Bencana

Kebijakan manajemen bencana yang ideal selain harus dikembangkan


melalui proses yang benar, juga perlu secara jelas menetapkan hal-hal sebagai
berikut: (Purnama, 2017).

a) Pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah.


b) Alokasi sumberdaya yang tepat antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
serta antara berbagai fungsi yang terkait.
c) Perubahan peraturan dan kelembagaan yang jelas dan tegas.
d) Mekanisme kerja dan pengaturan antara berbagai portofolio lembaga
yang terkait dengan bencana.
Sistem kelembagaan penanggulangan bencana yang dikembangkan
di Indonesia dan menjadi salah satu fokus studi bersifat kontekstual. Di
daerah terdapat beberapa lembaga dan mekanisme yang sebelumnya sudah
ada dan berjalan. Kebijakan kelembagaan yang didesain dari Pemerintah

14
Pusat akan berinteraksi dengan lembaga dan mekanisme yang ada serta 10
secara khusus dengan orang-orang yang selama ini terlibat di dalam
kegiatan penanggulangan bencana (Purnama, 2017).

2.4 Peren Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana di Daerah Wisata

Pariwisata telah menjadi penghasil devisa nomor dua di Indonesia. Ada 11


Destinasi Pariwisata Prioritas antara lain Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu
dan Kota Tua, Tanjung Kelayang, Bromo Tengger Semeru,Waakatobi, Morotai
dan diantaranya 5 (lima) Destinasi Super Prioritas yaitu Danau Toba,
Borobudur, Mandalika, Labuan bajo dan Likupang. Masing-masing destinasi
wisata yang menjadi potensi penerimaan negara juga memiliki potensi
ancaman bencana disekitarnya. Pengurangan risiko bencana menjadi sangat
penting untuk meningkatkan keamanan serta membangun kepercayaan para
wisatawan untuk berwisata ke Indonesia yang tanggap dan siap dengan potensi
bencana yang ada disekitarnya. Untuk itu diperlukan peningkatan kapasitas dan
penguatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang berada di
wilayah potensi pariwisata (Kemenparekraf, 2021).

Disamping itu, pemerintah juga telah meluncurkan program Cleanliness,


Health, Safety, And Environmental Sustainability (CHSE) yang merupakan
bagian dari program Indonesia Care/I Do Care. Program tersebut dirilis demi
mempersiapkan kemampuan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif dalam
menerapkan prinsip-prinsip kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan
kelestarian lingkungan dalam setiap aspek kegiatannya (Kemenparekraf, 2021).

Program Indonesia Care/I Do Care dijalankan beriringan dengan program


lain yang tentunya diharapkan juga ditindaklanjuti dengan kerja sama antar
Kementerian, misalnya dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk penerapan protokol
kesehatan di destinasi wisata yang berstatus Taman Nasional sampai

15
pembukaan kembali layanan penerbangan internasional dengan pembahasan
dan diskusi dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Hukum dan HAM, serta pihak-pihak terkait lainnya. Dengan
adanya prorgam-program dukungan Pemerintah tersebut, industri pariwisata
diharapkan bisa meningkatkan standar pelayanannya agar mendapatkan
kepercayaan dari wisatawan baik domestik maupun mancanegara
(Kemenparekraf, 2021).

Selain itu, penyelenggaraan rehabilitasi di destinasi wisata yang terkena


bencana alam merupakan tanggungjawab pemerintah pusat atau pemerintah
daerah (pemda), dilaksanakan oleh satuan kerja (satker) pemda dan instansi
terkait yang dikoordinasikan oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD). Koordinasi juga dilakukan dengan Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI). Pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi dimulai setelah masa tanggap darurat diumumkan
oleh Pemerintah. Pemerintah melalui BNPB bertugas memberikan arahan
kebijakan, pemerintah provinsi bertugas memberikan arahan teknis berupa
pedoman operasional, sedangkan pemerintah kabupaten/kota bertugas
melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi sesuai pedoman operasional yang
disusun oleh pemerintah provinsi. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk klinik
rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai forum koordinasi di antara Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) dan pelayanan bagi masyarakat, sedangkan di
tingkat kecamatan dibentuk unit pemantauan untuk memastikan kegiatan
pemulihan dan penyaluran dana yang dilaksanakan tepat sasaran dan akuntabel
(Sutrisnawati, 2018).

2.5 Dampak Bencana Pada Daerah Wisata

Hubungan antara pariwisata dan bencana merupakan satu hal yang negatif,
dimana bencana alam dapat mengubah minat wisatawan untuk berkunjung
kesuatu destinasi karena faktor keamanan. Wisatawan yang ingin berwisata
untuk bersenang-senang pada umumnya akan menghindari daerah-daerah yang

16
sedang dilanda bencana dengan alasan keselamatan. Merosotnya wisatawan
tersebut membawa dampak yang cukup besar pada komponen-komponen
pariwisata, diantaranya komponen ekonomi seperti menurunnya pendapatan
serta kesejahteraan, pengelola (PT. Taman Wisata), masyarakat sekitar daerah
pariwisata yang berprofesi sebagai guide, juru potret, tukang parkir, pedagang
cinderamata, warung makan, penginapan, pedagang asongan, dan lain
sebagainya. Dampak sosial berupa timbulnya rasa solidaritas terhadap sesama
pelaku pariwisata (dampak positif) dan dampak negatif dampak psikologis
(trauma) bagi para wisatawan maupun pelaku pariwisata di situs warisan
budaya dunia serta kemungkinan meningkatnya kriminalitas karena tekanan
ekonomi di sekitarnya (dampak negatif). Dampak budaya seperti rusak dan
musnahnya benda cagar budaya yang berguna bagi ilmu pengetahuan,
arkeologi, sejarah dan budaya bangsa kita (Sutrisnawati, 2018).

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pariwisata


sendiri telah menjadi penghasil devisa nomor dua di Indonesia. Oleh karena
itu, dalam mewaspadai bencana di destinasi wisata sebaiknya lokasi tujuan
menyiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) mitigasi yang mengacu pada
UN World Tourism Organization (UN-WTO). Sebab pada hakikatnya, aspek
keamanan dan keselamatan dari bencana merupakan salah satu bagian hal yang
paling diperhatikan wisatawan saat menentukan destinasi wisata. Adapun
beberapa kebijakan pemerintah dalam menanggulangi bencana di daerah wisata
adalah peningkatan kapasitas dan penguatan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) yang berada di wilayah potensi pariwisata, meluncurkan
program Cleanliness, Health, Safety, And Environmental Sustainability
(CHSE), serta penyelenggaraan rehabilitasi di destinasi wisata yang terkena
bencana alam merupakan tanggungjawab pemerintah pusat atau pemerintah
daerah (pemda), dilaksanakan oleh satuan kerja (satker) pemda dan instansi
terkait yang dikoordinasikan oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD). Sehingga dengan hal tersebut industri pariwisata diharapkan
bisa meningkatkan standar pelayanannya agar mendapatkan kepercayaan dari
wisatawan baik domestik maupun mancanegara.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. 2017. Modul Manajemen Penanggulangan Bencana Pelatihan


Penanggulangan Bencana Banjir. Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Sumber
Daya Air Dan Konstruksi.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2021. Mewaspadai Bencana di
Destinasi Wisata.
Kurniyanti, M. A. (20l2). Peran Tenaga Kesehatan Dalam Penanganan
Manajemen Bencana (Disaster Management). Jurnal Ilmiah Kesehatan
Media Husada, 1(l), 85-92. https:lldoi.orgll0.33475ljikmh.vlil.87
Kuniasari, Nani. 2017. Strategi Penanganan Krisis Kepariwisataan dalam
Kebijakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Jurnal Mediator.
10(2).
Purnama, Gede. 2017. Modul Manajemen Bencana. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Program Studi Kesehatan Masyarakat.
Sutrisnawati, Ni Ketut. 2018. Dampak Bencana Alam Bagi Sektor Pariwisata di
Bali. Jurnal Ilimah Hospitality Manajemen. 9(1).
UU No 24 Tahun 2007. Penaggulangan Bencana. Undang-undang Republik
Indonesia.

19

Anda mungkin juga menyukai