DISUSUN OLEH :
Tutor :
dr. Hardinata, S.Ked
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 1 yang berjudul “KESIAPSIAGAAN
DAERAH WISATA DALAM MENGHADAPI BENCANA” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
(LBM) 1 yang meliputi dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini
tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Hardinata, S.Ked sebagai dosen fasilitator kelompok SGD 6 yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Deskripsi Masalah
Manajemen risiko bencana terdiri dari dua bagian yaitu Pengkajian risiko
(risk assesment) dan Pengelolaan risiko (risk treatment). Pengkajian Risiko
(Risk Assesment) memiliki beberapa tahapan, yaitu: (Arsyad, 2017).
2
Pengelolaan Risiko (Risk Treatment) Setiap risiko yang dihadapi
mempunyai 4 alternatif penanganan yaitu : (Arsyad, 2017).
3
umum, mitigation plan untuk menyamakan persepsi bahwa pengembangan
kawasan pariwisata, khususnya destinasi wisata alam, tidak dapat dipisahkan
dari mitigasi bencana. Selain itu, pengembangan kawasan pariwisata secara
masif tanpa menyiapkan mitigasi bencana dapat berkonsekuensi pada
meningkatnya risiko atau potensi dampak kerugian dan korban akibat bencana
pada masa mendatang. Tata ruang merupakan instrumen untuk mengelola dan
mengurangi risiko bencana tersebut (living in harmony with disaster risk)
(Kemenparekraf, 2021).
4
Adapun peran tenaga kesehatan atau dokter dalam manajemen bencana
dibagi berdasarkan tiga tahapan dari manajemen penanggulangan bencana.
5
e) Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan
khusus bayi, peralatan kesehatan.
f) Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit
menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri
dan lingkungannya.
g) Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban
(ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan
mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan,
insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot)
h) Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi
bermain.
i) Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para
psikolog dan psikiater
j) Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
3. Peran tenaga kesehatan pada fase pasca dissaster sebagai berikut :
(Kurniayanti, 2017)
a) tenaga kesehatanan pada pasien post traumatic stress disorder
(PTSD)
b) tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait
bekerjasama dengan unsur lintas sector menangani masalah
kesehatan masyarakat pasca gawat darurat serta mempercepat fase
pemulihan (Recovery) menuju keadaan sehat dan aman
1. Pengukuran Awal
6
• Melakukan pengukuran awal terhadap Risiko Bencana (bahaya dan
kerentanan)
• Membuat sumber data yang fokus pada bahaya potensial yang mungkn
memberikan pengaruh
• Mengantisipasi kebutuhan yang muncul dan sumber daya yang tersedia
2. Perencanaan
7
memastikan barang dan jasa yang dibutuhkan memang tersedia, termasuk
:
• Dana bantuan bencana
• Perencanaan dana bencana
• Mekanisme kordinasi peralatan yangada
• Penyimpanan
6. SistemPeringatan
Harus dikembangkan sebuah cara yang efektif dalam
menyampaikan peringatan kepada masyarakat luas meskipun tidak tersedia
sistem komunikasi yang memadai. Sebagai pelengkap, masyarakat
internasional juga harus diberikan peringatan mengenai bahaya yang akan
terjadi yang memungkinkan masuknya bantuan secara internasional.
7. Mekanisme Respon
Respon yang akan muncul terhadap terjadinya bencana akan sangat
banyak dan datang dari daerah yang luas cakupannya sehingga harus
dipertimbangkan serta disesuaikan dengan rencana kesiapsiagaan. Perlu
juga dikomunikasikan kepada masyarakat yang akan terlibat dalam
koordinasi dan berpartisipasi pada saat muncul bahaya.
8. Pelatihan dan Pendidikan Terhadap Masyarakat
Dari berbagai jenis program pengetahuan mengenai bencana,
mereka yang terkena ancaman bencana seharusnya mempelajari dan
mengetahui hal-hal apa saja yang diharapkan dan apa yang harus
dilakukan pada saat bencana tiba. Sebaiknya fasilitator program pelatihan
dan pendidikan sistem peringatan ini juga mempelajari kebiasaan serta
permasalahan yang ada di masyarakat setempat serta kemungkinan
munculnya perbedaan/pertentangan yang terjadi dalam penerapan rencana.
9. Praktek
Kegiatan mempraktikkan hal-hal yang sudah dipersiapkan dalam
rencana kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dibutuhkan untuk
menekankan kembali instruksi-instruksi yang tercakup dalam program,
8
mengidentifikasi kesenjangan yang mungkin muncul dalam rencana
kesiapsiagaan tersebut. Selain itu, agar didapatkan informasi tambahan
yang berhubungan dengan perbaikan rencana tersebut.
9
BAB II
PEMBAHASAN
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau
gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan
(vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan,
maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu,
sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang
mengancam maka tidak akan terjadi bencana (Purnama, 2017).
10
a) Bencana hydro-meteorological berupa banjir, topan, banjir bandang,
kekeringan dan tanah longsor.
b) Bencana geophysical berupa gempa, tsunami, dan aktifitas vulmanik
c) Bencana biological berupa epidemi, penyakit tanaman dan hewan.
11
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan
bencana yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan setelah bencana.
Manajemen penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang dinamis,
yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang meliputi
perencanaan,
pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan pengawasan dalam
penanggulangan bencana. Proses tersebut juga melibatkan berbagai macam
organisasi yang harus bekerjasama untuk melakukan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan akibat bencana (Arsyad, 2017).
Dalam upaya menerapkan manajemen penanggulangan bencana,
dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut: (Arsyad, 2017).
a) Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika tidak terjadi bencana dan
terdapat potensi bencana
b) Tahap tanggap darurat yang diterapkan dan dilaksanakan pada saat
sedang terjadi bencana.
c) Tahap pasca bencana yang diterapkan setelah terjadi bencana.
Dalam keseluruhan tahapan penanggulangan bencana tersebut, ada 3 (tiga)
manajemen yang dipakai yaitu : (Arsyad, 2017).
12
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan ini
sebenarnya masuk manajemen darurat, namun letaknya di pra
bencana. Dalam fase ini juga terdapat peringatan dini yaitu
serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
2. Manajemen Kedaruratan
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan
pada faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta
penanganan pengungsi saat terjadinya bencana dengan fase nya yaitu :
(Arsyad, 2017).
a. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak
buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
prasarana dan sarana.
3. Manajemen Pemulihan
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan
pada faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan
lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
kelembagaan, prasarana, dan sarana secara terencana, terkoordinasi,
terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya bencana dengan fase-fasenya
nya yaitu : (Arsyad, 2017).
a) Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
13
b) Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh
dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada
wilayah pascabencana.
14
Pusat akan berinteraksi dengan lembaga dan mekanisme yang ada serta 10
secara khusus dengan orang-orang yang selama ini terlibat di dalam
kegiatan penanggulangan bencana (Purnama, 2017).
15
pembukaan kembali layanan penerbangan internasional dengan pembahasan
dan diskusi dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Hukum dan HAM, serta pihak-pihak terkait lainnya. Dengan
adanya prorgam-program dukungan Pemerintah tersebut, industri pariwisata
diharapkan bisa meningkatkan standar pelayanannya agar mendapatkan
kepercayaan dari wisatawan baik domestik maupun mancanegara
(Kemenparekraf, 2021).
Hubungan antara pariwisata dan bencana merupakan satu hal yang negatif,
dimana bencana alam dapat mengubah minat wisatawan untuk berkunjung
kesuatu destinasi karena faktor keamanan. Wisatawan yang ingin berwisata
untuk bersenang-senang pada umumnya akan menghindari daerah-daerah yang
16
sedang dilanda bencana dengan alasan keselamatan. Merosotnya wisatawan
tersebut membawa dampak yang cukup besar pada komponen-komponen
pariwisata, diantaranya komponen ekonomi seperti menurunnya pendapatan
serta kesejahteraan, pengelola (PT. Taman Wisata), masyarakat sekitar daerah
pariwisata yang berprofesi sebagai guide, juru potret, tukang parkir, pedagang
cinderamata, warung makan, penginapan, pedagang asongan, dan lain
sebagainya. Dampak sosial berupa timbulnya rasa solidaritas terhadap sesama
pelaku pariwisata (dampak positif) dan dampak negatif dampak psikologis
(trauma) bagi para wisatawan maupun pelaku pariwisata di situs warisan
budaya dunia serta kemungkinan meningkatnya kriminalitas karena tekanan
ekonomi di sekitarnya (dampak negatif). Dampak budaya seperti rusak dan
musnahnya benda cagar budaya yang berguna bagi ilmu pengetahuan,
arkeologi, sejarah dan budaya bangsa kita (Sutrisnawati, 2018).
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
18
DAFTAR PUSTAKA
19