Blunder
Blunder
Blunder
Anton Chekhov
2017
Blunder
5
kau mengajar menulis sementara kau sendiri menulis begitu
jelek?”
“Hm. Itu tidak penting. Yang penting dalam menulis adalah
anak-anak tidak ketiduran. Sudah pasti, kau bisa getok kepala
mereka sedikit dengan penggaris, atau lutut mereka... Itulah
menulis!... Simpel saja, sebetulnya. Nekrasov seorang penulis,
tapi malu rasanya melihat bagaimana dia menulis. Ada contoh-
contoh tulisan tangannya dalam kumpulan karyanya.”
“Nekrasov adalah satu hal, dan kau adalah lain hal.” Di sini
dia mendesah. “Dengan senang hati aku mau menikah dengan
seorang penulis. Dia akan terus menulis syair untuk meng-
hormatiku.”
“Aku akan menulis syair untukmu, kalau kau minta.”
“Tentang apa?”
“Tentang cinta... tentang perasaanku padamu... tentang
matamu... Saat membacanya, kau akan hilang akal... Kau akan
menangis terharu! Dan kalau aku betul-betul menulis bait-bait
puisi untukmu, bolehkah kucium tangan mungilmu?”
“Banyak cincong! Ini, cium saja!”
Shupkin melompat bangkit, bola matanya menonjol, dan dia
memegang tangan mungil bulat itu, yang berbau sabun wangi.
“Ambil gambar patung sucinya!” bisik Peplov, pucat
6
emosional. Dia mendorong sang isteri dengan sikunya, dan
mengancingkan jas. “Well, kami datang!”
Tanpa berlama-lama lagi dia membuka pintu.
“Anak-anak!” dia berkomat-kami, mengangkat tangan, dan
mengerutkan mata dalam tangis. “Semoga Tuhan merestui
kalian, anak-anakku... Hiduplah... jadilah subur... berkembang-
biaklah...”
“Aku juga merestui kalian,” ulang ibu sang gadis, menangis
gembira. “Berbahagialah, sayang-sayangku. Oh, kau mengambil
hartaku satu-satunya!” tambahnya, berpaling pada Shupkin.
“Cintai puteriku, dan bersikap baiklah padanya!”
Shupkin menganga keheranan dan ketakutan. Serbuan
orangtua ini begitu tak terduga dan begitu hebat sampai-
sampai dia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
“Aku disergap! Aku dijebak!” pikirnya, nyaris pingsan
karena ngeri. “Langit-langit sedang runtuh menimpamu,
kawan! Percuma saja lari!”
Lalu dia menundukkan kepalanya dalam kehinaan, seolah-
olah berkata: “Bawa aku! Aku sudah takluk!”
“Merestui kalian, merestui kalian!” lanjut si ayah, berlinang
air mata. “Natasha, puteriku, berdirilah di sampingnya...
Petrovna, serahkan patung itu padaku.”
7
Tiba-tiba tangisnya berhenti, wajahnya berubah bentuk
karena amarah.
“Idiot!” teriaknya murka pada sang isteri. “Otak udang! Apa
ini gambar patung suci?”
“Oh, astaga...!”
Apa yang terjadi? Si guru tulis mendongak hati-hati dan
sadar bahwa dirinya telah selamat. Dalam ketergesaan, alih-
alih gambar patung suci, sang ibu justru mengambil gambar
penulis Lazhechnikov dari dinding. Cleopatra Petrovna berdiri
di sana sambil memegang potret itu. Dia dan pak Peplov
menunjukkan tampang bingung, karena tak tahu harus berbuat
atau berkata apa. Si guru tulis memanfaatkan kebingungan
mereka dengan mengambil langkah seribu.