Anda di halaman 1dari 16

SUMBER IJTIHAD UTAMA EKONOMI SYARIAH

Mata Kuliah : Ushul Fiqh & Qawaidhul Fiqh Ekonomi

Dosen Pengampu : Umi Cholifah, S.H.I., M.H.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 :

1. Naila Lutfa Karima (220810102020)


2. Resti Widyarani (220810102012)
3. Erica Cahyani (220810102035)
4. Misella Wendari (220810102029)
5. M. Nasir Kangzul U.M (220810102031)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
2023-2024

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat beserta
hidayahnya nya kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok Mata
Kuliah Ushul Fiqh & Qawaidhul Fiqh Ekonomi, Dosen Pengampu Bu Umi Cholifah, S.H.I., M.H.dengan
judul: “Sumber Ijtihad Utama Ekonomi Syariah”. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah
ini tidak terlepas dari bantuan banyak usaha anggota kelompok kami dengan tulus memberikan saran dan
kritik atas materi yang akan dibahas,sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna
dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan kami. Tetapi kelompok kami sudah berusaha agar
makalah ini terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, kami mengharapkan segala bentuk saran dan
masukan serta kritik dari berbagai pihak. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca dan perkembangan dunia pendidikan.

Penulis,
Jember, 12 September 2023

ii
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………....1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………...…1
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………………………….2

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………………..…3

2.1 Definisi Dalil Aqli Dan Dalil Naqli …………………………………...……………………...3

2.2 Al Qur’an Dan Karakteristiknya………………………..…...………………………………...6

2.3 Hadist Beserta Fungsinya………......……………………………………………………….....7

2.4 Konsep Qath’i Dan Zanni………………………………………………………………...…...9

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………………....12


3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………………..…..12
3.2 Saran……………………………………………………………………………………………….…..12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………….....13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam sebagai syariat penutup dari semua syariat yang telah Allah Swt. turunkan dimuka
bumi ini, merupakan satu-satunya ajaran yang cocok dan sesuai untuk semua ruang, waktu
dan kondisi. Ajarannya sangat agung dan mulia karena mengatur dan mengarahkan
kehidupan manusia dan alam semesta sesuai dengan asas keadilan yang menjadi harapan.
Islam tidak hanya mengatur masalah yang terbatas pada masa tertentu, akan tetapi ajarannya
mampu tampil sebagai wasit dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang
dihadapi manusia dan alam semesta termasuk masalah-masalah kalasik dan kontemporer. Hal
itu karena pintu ijtihad selalu terbuka dan memberi peluang bagi segenap para cendikia untuk
memberi terobosan hukum baru yang dibutuhkan.

Sumber-sumber hukum Islam merupakan dalil-dalil tempat berpijaknya setiap kebijakan


hukum Islam. Menurut Imam al-Amidiy, dalil yang merupakan bentuk tunggal dari al-
Adillah menurut bahasa adalah pedoman yang dapat mengarahkan kepada sesuatu baik secara
eksplisit maupun secara implisit. Sedangkan secara istilah, dalil adalah sesuatu yang bisa
menyampaikan kepada kesimpulan hukum melalui serangkaian perangkat teori yang teruji.

Ijtihad secara sederhana dapat dipahami sebagai serangkaian upaya berfikir secara
optimal yang dilalui oleh sarjana hukum Islam dalam rangka menyimpulkan hukum melalui
perangkat-perangkat ilmu dan segenap pendukungnya sebagai jawaban atas segala problem
yang dihadapi masyarakat. Ijtihad dalam hukum Islam terlahir bersamaan dengan diutusnya
Rasulullah Saw sebagai penyampai pesan-pesan ketuhanan dari langit. Beliau merupakan
mujtahid perdana. Ketika itu, ranah ijtihad hanya terbatas pada masalah-masalah yang belum
dijelaskan oleh wahyu. Bilamana hasil ijtihad beliau benar, maka turunlah wahyu
membenarkannya dan jika selain itu, maka wahyu pun diturunkan untuk mengarahkan hasil
ijtihad tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, penyusun merumuskan rumusan masalah, diantaranya :

1.2.1 Bagaimana Definisi Dalil Aqli Dan Dalil Naqli?

1
1.2.2 Bagaimana Al Qur’an Dan Karakteristiknya?
1.2.3 Bagaimana Hadist Beserta Fungsinya?
1.2.4 Bagaimana Konsep Qathi Dan Zanni?

1.3 Tujuan
Berdasarkan Rumusan Masalah diatas, dapat diambil beberapa tujuan, antara lain :

1.3.1 Mengetahui bagaimana definisi dari dalil aqli dan dalil naqli
1.3.2 Mengetahui bagaimana alqur’an beserta karakteristiknya
1.3.3 Mengetahui bagaimana hadist beserta fungsinya
1.3.4 Mengetahui bagaimana konsep dari qathi dan zanni

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Dalil Aqli dan Dalil Naqli
Secara Etimologi, dalil berarti ; sesuatu yang menunjukkan kepada sesuatu yang lain, baik
konkrit maupun abstrak, baik sesuatu itu baik maupun buruk. Oleh karena itu, secara bahasa
ketercakupan makna dalil sangat luas sekali, mencakup hal-hal yang kongrit dan yang
abstrak. Contoh dalil yang kongrit adalah lampu lalulintas. lampu lalulintas bisa disebut
sebagai dalil secara etimologi karena lampu lalulintas memberikan petunjuk bagi pengendara
kendaraan untuk berhenti atau berjalan melintasi jalan raya. Contoh dalil yang abstrak adalah
perasaan sayang atau cinta. perasaan sayang atau cinta walaupun tidak bisa dilihat dengan
indra penglihatan tapi bisa diketahui dan dirasakan. Perasaan cinta bisa jadi dalil bagi seorang
gadis untuk menerima lamaran pernikahan seorang laki-laki.

Sedangkan yang dimaksud dengan dalil secara terminologi adalahSuatu petunjuk yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara‟ yang bersifat
praktis (amaly), baik setatusnya qot‟i (pasti) maupun zhani (relatif).Dari definisi ini bisa
diketahui bahwa tidak semua yang memberikan faedah petunjuk bisa dikategorikan sebagi
dalil secara terminologi, karena hanya yang memenuhi persyaratan dalam proses
pembentukan hukum islam saja yang bisa dikategorikan sebagai dalil. Oleh karena itu, lampu
lalulintas, perasaan sayang atau cinta tidak bisa dikategorikan sebagai dalil secara
terminologi.

Istilah dalil bila dikaitkan dengan tasr”ul ahkam memiliki beberapa padanan kata, yakni
lafadz ushul ahkam dan mashodirul ahkam. Ketiga lafadz ini menurut abdul wahab kholaf
memiliki makna yang sama, perbedaanya hanya dalam tataran lafadz saja tidak sampai dalam
tataran subtansi.Akan tetapi ada juga ulama yang membedakan istilah dalil ahkam dan
mashodirul ahkam. Mereka berpendapat bahwa secara etimologi mashodirul ahkam berarti
sumber yang menjadi dasar lahirnya hukum islam. Sedangkan dalil lebih diarahkan kepada
petunjuk untuk mendapatkan hukumislam. Oleh karena itu, istilah mashodirul ahkam hanya
untuk al-Qur’an dan Al-Hadis, sebab keduanya merupakan dasar lahirnya ketentuan hukum
islam dan merupakan teksteks nash yang menjadi dasar lahirnya ketentuan hukum islam itu
sendiri. Sedangkan istilah dalil lebih tepat digunakan untuk ijma‟, qiyas, istihasan, maslahah
mursalah karena dalil-dalil ini hanya sebagai petunjuk untuk menemukan hukum islam yang
terdapat dalam al-qur‟an dan as-sunah melalui proses ijtihad.Pendapat selanjutnya

3
mengatakan bahwa istilah dalil selain bisa digunakan untuk al-qur‟an dan al-hadis, bisa juga
digunkan untuk ijma‟, qiyas, istihasan, maslahah mursalah. Tetapi istilah mashodirul ahkam
hanya bisa digunakan untuk al-qur‟an dan al-hadis saja. Golongan ini beranggapan bahwa
mashodirul ahkam adalah wadah yang dapat diperoleh darinya hukum-hukum syari‟ah
sehinga hanya alqur‟an dan hadis saja yang masuk kategori ini. Sedangkan dalil oleh mereka
maknai sebagai petunjuk yang bisa digunakan untuk menemukan hukum Allah, sehinga
alqur‟an, hadis, ijma‟, qiyas, istihasan, maslahah mursalah masuk dalam kategori ini.

Pembagian dalil Syar‟i bisa ditinjau dari beberapa segi, antara lain :
1. Ditinjau dari segi asalnya Dalil bila ditinjau dari segi asalnya terbagi menjadi dua, yakni :
a. Dalil naqli
Dalil naqli adalah dalil-dalil yang berasal dari sumber nash langsung yaitu Al-
Qur‟an dan Sunnah Rosul. Dalil naqli disebut juga Al-Adillah Al-Ahkam Al-
Manshushah atau dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat
dalam nash.
b. Dalil aqli
Dalil aqli adalah dalil yang bukan berasal dari nash langsung, tetapi dengan
menggunakan akal pikiran, yaitu ijtihad. Dalil aqli bukanlah dalil yang sama sekali
terlepas dan tidak bersumber dari Al-qur‟an ataupun Hadits. Namun merupakan
penjabaran dari Al-qur‟an dan Hadits. Setidaktidaknya, perinsip–perinsip umumnya
terdapat dalam Alqur‟an dan Hadits. Dalil aqli disebut juga Al-Adillah AlAhkam
ghoirul Manshushah atau dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan oleh
nash Al Quran dan as sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan
menggunakan penalaran ra‟yu. Contoh dalil-dalil yang dikelompokkan kepada
kategori terakhir ini meliputi Ijma, Qiyas, Istihsan, Mashalih Mursalah, Istishab, Urf,
Syarun Man Qablana dan Qaul Shahabi.
2. Ditinjau dari ruang lingkupnya Dalil bila ditinjau dari segi ruang lingkupnya terbagi
menjadi dua, yakni :
a. Dalil kulli
Dalil kulli yaitu dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan
kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukallaf ( mencakup banyak
satuan hukum ). Berikut ini contoh dalil kulli : ‫ َأَاْلْم ُر ِلِاْلَج اِب‬Amr (perintah)

4
menunjukan makna wajib. Dalil ini disebut sebagai dalil kulli karena dalil ini tidak
berkaitan dengan persoalan tertentu.

b. Dalil juz‟i atau tafsili

Dalil juz‟I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada sesuatu persoalan
tertentu dari perbuatan mukallaf (menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu
hukum tertentu). Contohnya ;
‫ِذ ِم ِل‬ ‫ِت‬ ‫ِت‬ ‫ِذ‬
‫َيا َأُّيَه ا ا َّل ي َن آ َم ُنوا ُك َب َع َلْي ُك ُم ال ِّص َيا ُم َك َم ا ُك َب َع َلى ا َّل ي َن ْن َقْب ُك ْم‬
‫َلَع َّلُك ْم َتَّتُق ون‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagai
mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-
Baqoroh :183)
Ayat diatas termasuk kedalam dalil juz‟i, karena hanya menunjukkan kepada
perintah puasa saja.
3. Ditinjau dari segi daya kekuatannya

Dalil bila ditinjau dari segi daya kekuatannya terbagi menjadi dua, yakni :

a. Dalil qoth‟i Dalil qoth‟i terbagi menjadi dua macam, yaitu ;

1. Qoth‟i al-wurud Yaitu dalil yang meyakinkan bahwa sumber datangnya


berasal dari Allah SWT (Al-Qur'an) atau dari Rosulnya (Hadits
Mutawattir).
2. Qoth‟i dalalah Yaitu dalil yang kata-katanya menunjukkan suatu arti dan
maksud tertentu dengan tegas dan jelas serta mudah di fahami sehingga
tidak mungkin ditakwilkan dan dipahamkan lain. Seperti ;

‫َو َلُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَر َك َاْز َو اُج ُك ْم ِاْن َّلْمَيُك ْن َّلُهَّن َو َلٌد‬
Artinya ; “Dan bagimu (Suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh Istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak,…” (An-
Nisa : 12).

5
Ayat diatas tidak mungkin diartikan lain, kecuali menunjukkan bahwa bagi
para suami yang ditinggal mati oleh istrinya adalah setengah dari harta
peninggalannya apabila sang istri tidak mempunyai anak.

b. Dalil dhonni Dalil dhonni juga terdapat dua macam, yaitu :

1) Dhonni al-wurud Yaitu dalil yang hanya memberi kesan yang kuat
(sangkaan yang kuat bahwa datangnya dari nabi, akan tetapi tidak
dapat dibuktikan. Tidak ada satu[pun ayat dari AlQur'an yang dhonni
wurudnya, adapun hadits nabi yang dhonni wurudnya yaitu hadits
ahad.
2) Dhonni dalalah Yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapannya
memberi kemungkinan-kemungkinan arti dan maksud serta dapat
ditakwilkan keluar dari arti yang sesungguhnya kepada maksud yang
lain.tidak menunjukkan kepada suatuarti dan maksud tertentu.
Seperti ayat ;
‫َّب ِبَأ ُف ِس ِه َّن َثاَل َثَة و ٍء‬
‫ُقُر‬ ‫َو ا ْل ُم َطَّلَق ا ُت َيَتَر ْص َن ْن‬
Artinya : “Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟…”(Al-Baqoroh :228) Kata “Quru‟” dalam
ayat diatas dapat diartikan sebagai haid dan dapat pula diartikan
dengan suci. Oleh karena itu, para ulama sering berbeda pendapat
dalam hukum yang diambil dari dalil yang dhonni dalalahnya.

2.2 Al Qur’an Dan Karakteristiknya

Al-Qur’an secara bahasa berasal dari kata qara’a-yaqra’u-qira’atan-qur’anan, yakni


sesuatu yang dibaca atau bacaan. Sedangkan, secara istilah merupakan Kalamullah yang
diturunkan pada Rasulullah SAW. yang sampai kepada kita secara mutawatir serta
membacanya berfungsi sebagai ibadah.
Karakteristik Al-qur’an

Ada beberapa karakteristik dari Al- Quran yakni sebagai berikut:

 Al-Qur’an merupakan Kalam Allah baik lafadz maupun maknanya


Al-Qur’an ini benar-benar murni dari Allah SWT baik lafadz maupun maknanya dan
tidak ada campur tangan makhluk di dalamnya.

6
 Al-Qur’an diturunkan hanya pada Rasulullah SAW dan bukan pada nabi-nabi yang
lain dan telah di firmankan oleh Allah dalam surat (Az-Zumar: 41).
 Al-Qur’an menggunakan Bahasa Arab, yang di firmankan Allah dalam surat (Q.S.
Yusuf: 2).
 Al-Qur’an berbeda dengan hadits qudsi
Meskipun hadits qudsi ada beberapa yang lafadz dan maknanya dari Allah langsung
akan tetapi memiliki perbedaan yakni perbedaanya bahwa hadits qudsi ketika
penurunannya tidak melalui malaikat jibril.
 Terjemah dan tafsir tidak dianggap Al-Qur’an
 Diriwayatkan secara mutawatir
 Al-Qur’an ini merupakan Sebagai mukjizat yang mudah untuk dipahami (Q.S. A-
Qamar: 22, Ad-Dukhan: 58)
 Jaminan kemurnian dan keasliannya langsung dari Allah SWT (Q.S. Al-hijr: 9)

2.3 Hadist dan fungsinya


Secara terminologis, hadits dimaknai sebagai ucapan dan segala perbuatan yang
dilakukan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan secara bahasa, hadits berarti perkataan,
percakapan, berbicara."Segala ucapan, segala perbuatan, dan segala keadaan atau perilaku
Nabi Muhammad SAW,"

Secara etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang berarti
pembicaraan. Kata hadits mempunyai beberapa arti; yaitu

1. “Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata”qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang
dimaksud qadim adalah kitab Allah,sedangkan yang dimaksud jadid adalah hadis Nabi saw.
Namun dalam rumusan lain mengatakan bahwa Al-Qur’an disebut wahyu yang matluw
karena dibacakan oleh Malaikat Jibril, sedangkan hadis adalah wahyu yang ghair matluw
sebab tidak dibacakan oleh malaikat Jibril. Apabila keduanya sama-sama wahyu, maka
dikotomi, yang satu qadim dan lainnya jadid tidak perlu ada.

2. “Qarib” yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama,

3. “Khabar” yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada seseorang.

7
Sedangkan pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian
ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya meliputi sabda Nabi,
perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’), juga meliputi sabda, perbuatan dan taqrir para
sahabat (hadis mauquf), serta dari tabi’in (hadis maqthu’).

Fungsi hadits sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an tersebut, dapat diperinci sebagai berikut:

1. Bayan at Taqrir Bayan at Taqrir disebut juga bayan at Ta’kid dan bayan al-Isbat.
Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya, memperkokoh isi
kandungan Al-Qur’an.
2. Bayan at Tafsir Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah penjelasan hadits
terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau .penjelasan lebih lanjut, seperti
pada ayat-ayat yang mujmal,, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadits dalam hal ini
memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak
dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.
3. Bayan at Tasyri’ Kata tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan
aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan at tasyri’ di sini ialah
penjelasan hadist yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu
hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an. Rasul
SAW dalam hal ini berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa
persoalan yang muncul pada saat itu dengan sabdanya sendiri.
4. Bayan an-Nasakh Kata an-nasakh secara bahasa ada bermacam-macam arti. Bisa
berarti al-ibt}al (membatalkan), atau al izalah (menghilangkan), atau at-tahwil
(memindahkan), atau at-taghyir (mengubah). Diantara para ulama, baik mutaakhirin
maupun mutaqaddimin terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan
annasakh memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama
mutaqaddimin, bahwa yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara’ yang
datangnya kemudian.

Dari pengertian di atas bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus
ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian
daripada al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan

8
alQur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-
nasakh.

Fungsi Hadis

Pertama, hadis sebagai penjelas yang sama dengan yang dijelaskan Alqur’an (muwafiqah).
Seperti hadis Rasulullah saw yang menjelaskan tentang shalat, zakat, haji, dan lainnya, yang
sama isi penjelasannya dengan ayat-ayat Alqur’an tentangs halat, zakat, dan haji.
Sebagaimana Ayat alqur’an dan hadis berikut:

‫ِكِع‬ ‫ِق‬
‫َو َأ ي ُم وا ال َّصاَل َة َو آ ُتوا ال َّز َك ا َة َو ا ْر َك ُع وا َمَع ال َّر ا ي َن‬
Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. (QS. Al Baqarah: 43)
Kedua, Hadis sebagai penjelas (bayan) makna yang dimaksud dalam Alqur’an. Dalam hal
ini, ada empat bayan sunnah terhadap alqur’an : Bayan al-Mujmal; bahwa hadist atau
sunnah menjelaskan ayat-ayat Alqur’an yang bersifat umum (mujmal) dengan penjelasan
yang detail (mufasshal) . Taqyid al-Muthlaq; menjelaskan batasan dari makna Alqur’an
yang umum. Takhsish al-Am; menjelaskan makna Alqur’an yang umum menjadi khusus.

Ketiga, Hadis atau Sunnah sebagai penjelas hukum yang tidak disebutkan dalam Alqur’an.
Seperti hadist tentang keharaman menikahi seorang wanita sekaligus bibinya, dan juga hadist
tentang keharaman riba fadl.

Keempat, hadist sebagai penghapus (nasikh) hukum yang terdapat di dalam Alqur’an.
Seperti hadist Rasulullah saw tentang wasiat bagi ahli waris.

2.4 Konsep Qath'i dan Zanni

1. Qath'iy-Zhanniy di Era Klasik


Konsep qath'iy-zhanniy merupakan teori pokok yang dikembangkan ulama usntuk
memahami teks al-Qur'an dan hadis dalam rangka penalaran fiqh. Qath'iy-zhanniy sebagai
istilah tidak terdapat dalam al-Qur'an maupun hadis. Dengan demikian, kategorisasi ini
adalah konsep para ulama fiqh. Teori ini tidak pernah digugat karena keserupaannya yang
kuat dengan kategori muhkammutasyabih yang diintrodusir oleh al-Qur'an. Keduanya sama-
sama berangkat dari sudut semantik (bahasa), bukan ide (subtansi). Bedanya, qath'iy-

9
zhanniy digunakan untuk memahami ayat-ayat hukum, sedangkan muhkam-mutasyabih
untuk ayat-ayat non hukum.
Sebagai suatu konsep, para ulama dalam mendefinisikan qah'iy-zhanniy memakai
dua sudut pandang, yaitu segi dalalah (penunjukan) dengan segi wurud (kedatangan) suatu
dalil. Dari dua sudut pandang ini, maka dikenal adanya qath'iy al-wurud dan zhanniy al-
wurud, juga qath'iy al-dalalah dan zhanniy al-dalalah. Semua kategori ini dipergunakan
untuk konsep analisis dalam memahami al-Qur'an dan hadis.
Kategorisasi ini merupakan kunci pembuka bagi seluruh bangunan pemahaman
terhadap wahyu, yang berarti pemahaman terhadap agama secara keseluruhan.Sebelum
ulama menentukan sikapnya terhadap suatu dalil, maka yang dilihat terlebih dahulu adalah
apakah dalil itu qath'iy atau zhanniy. Bila qath'iy berarti dijalankan apa adanya, dan bila
zhanniy berarti dilakukan analisis lebih jauh sesuai dengan kebutuhan.
Konsep yang populer dari konsep qath'iy-zhanniy sampai saat ini mengatakan qath'iy
al-wurud adalah dalil yang dari segi datangnya memberikan keyakinan akan kebenaran- nya,
tanpa ada perbedaan pendapat lagi tentang kebenaran kedatangannya tersebut. Zhanniy al-
wurud adalah dalil yang dari segi kebenaran kedatangannya tidak memberikan keyakinan
akan kebenaran kedatangannya. Qath'iy al -dalalah adalah dalil yang dari segi penunjukannya
atas hukum mempunyai makna tunggal, sedang zhanniy al-dalalah adalah dalil yang
memiliki banyak makna.
2.Konsep Qath'iy-Zhanniy di Era Modern
Pada era klasik konsepsi terhadapteori qath'iy-zhanniy tidak pernah digugat, karena
keserupaannya yang kuat dengan kategori muhkam-mutasyabih yang diintrodusir langsung
dari al-Qur'an. Akan tetapi di era modern ini, konsep dari teori ini telah mulai digugat.

Masdar F. Mas'udi menganggap konsep yang ada dari konsep ini hanya berpijak pada
teks (simbol) bukan pada subtansi dari satu ayat. Konsekwesinya adalah kekakuan dan tidak
bisa operasional dalam era modern. Seharusnya, konsepsi itu harus berpijak pada subtansi
yang dikandung oleh ayat. Dengan demikian yang qath'iy adalah ayat yang berisi prinsip-
prinsip dasar yang kebenarannya bersifat universal. Seperti ayat yang menunjukkan keesaan
Tuhan, keadilan, persamaan hak dasar kemanusiaan, kesetaraan manusia, hukum kebebasan
beragama, atau berkeyakinan, dan musyawarah. Sedangkan yang zhanniy adalah yang
membicarakan tentang ontologi dan aksiologi dari nilai dasar yang universal,seperti potong
tangan dan mencuri.
Qath’iy-Dzanniy: Penerapan Interpretasi TekstualKontekstual

10
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa al-Quran dari segi wurudnya berkualitas
qath'iy, sedang dari segi dalalahnya ada yang qath'iy namun ada pula yang zhanniy.
Terlepas dari perdebatan seputar ayat-ayat apa saja yang dapat diklaim sebagai memiliki
dalalah qath'iy dan atau zhanniy, pada umumnya, telah disepakati bahwa ayat-ayat yang
dalalahnya qath'iy dapat dipahami tekstual, sedang ayat-ayat yang dalalahnya zhanniy harus
dianalisa dengan menggunakan teknik interpretasi kontekstual.
Dari kupasan di atas dapat disimpulkan bahwa teknik interpretasi tekstual-
kontekstual mengarah kepada upaya untuk bagaimana seharusnya memahami teks/ayat al-
Qur'an.Teknik iterpretasi tekstual-kontekstual terkait erat dengan konsep qath'iy-zhanniy
yang terdapat dalam lapangan ushul fiqh. Telah lama konsep itu didefenisikan sama dengan
kategori muhkammutasyabih. Artinya berbasis pada tekstual-verbal bukan pada makna
subtansial yang universal. Akibatnya, dalil yang qath'iy aldalalah dipahami sebagai dalil
yang bermakna satu dan jelas.Dengan mengetahui ayat-ayat yang dapat diinterpretasi dengan
teknik interpretasi tekstual maupun kontekstual akan memudahkan memberikan penafsiran
terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Sehingga para penafsir dapat terhindar dari pemahaman yang
"kaku" terhadap muatan al-Qur'an.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara Etimologi, dalil berarti ; sesuatu yang menunjukkan kepada sesuatu yang lain,
baik konkrit maupun abstrak, baik sesuatu itu baik maupun buruk. Oleh karena itu, secara
bahasa ketercakupan makna dalil sangat luas sekali, mencakup hal-hal yang kongrit dan yang
abstrak. Pembagian dalil terbagi menjadi 2 yaitu dalil aqli dan dalil naqli, ditinjau dari ruang
lingkupnya Dalil bila ditinjau dari segi ruang lingkupnya terbagi menjadi dua yaitu dalil kulli
dan dalil juz‟i atau tafsili. Kemudian dalam Al Qur’an memiliki beberapa karakteristik yang
diantaranya Al-Qur’an ini benar-benar murni dari Allah SWT baik lafadz maupun maknanya
dan tidak ada campur tangan makhluk di dalamnya. Secara terminologis, hadits dimaknai
sebagai ucapan dan segala perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
secara bahasa, hadits berarti perkataan, percakapan, berbicara."Segala ucapan, segala
perbuatan, dan segala keadaan atau perilaku Nabi Muhammad SAW," kata hadist memiliki
arti yaitu jaded, qarib dan khabar. Konsep qath'iy-zhanniy merupakan teori pokok yang
dikembangkan ulama usntuk memahami teks al-Qur'an dan hadis dalam rangka penalaran
fiqh. Qath'iy-zhanniy sebagai istilah tidak terdapat dalam al-Qur'an maupun hadis. Dengan
demikian, kategorisasi ini adalah konsep para ulama fiqh.

3.2 Saran
Untuk para pembaca diharapkan dapat memahami apa saja yang menjadi sumber
ijtihad utama ekonomi syariah yang didalamnya berisi tentang penjelasan definisi dalil aqli
serta dalil naqli, kemudian penjelasan Al Qur’an beserta karakteristiknya, kemudian
penjelasan hadist beserta fungsinya dan yang terakhir memahami bagaimana konsep qath’I
dan zanni di era klasik maupun pada era modern. Kita sebagai muslim juga harus mengetahui
bahwa penting untuk memahami hal-hal yang terakait akan agama islam.

12
DAFTAR PUSTAKA

Haika, R. (2016). KONSEP QATH’I DAN ZHANNI DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM .
MAZAHIB : Jurnal Pemikiran Hukum Islam .

Imawan, D. h. (2021). Pengantar Ringkas Memahami Ilmu Hadis. Yogyakarta: DIVA Press.
Rofiah Khusniati. (2014). Studi Ilmu Hadis. Ponorogo : IAIN PO Press.
Wahyu Abdul Jafar, M. (2022). Dalil-Dalil Hukum Islam Yang Disepakati. Sulawesi Tengah:
CV Feniks Muda Sejahtera.

13

Anda mungkin juga menyukai