Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AD-DAKHIL MELALUI BAHASA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah ad-Dakhil Fi Attafsir

Dosen Pengampu: Muhammad Misbah, Lc.,M. Hum.

Disusun oleh:

1. Muhamad Khoirul Rizki (2130110105)


2. Asni Fannida Istina’ima Putri (2130110107)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS USHULUDDIN

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

TAHUN 2023
BAB I

PEENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penafsiran ayat-ayat al-Quran merupakan upaya yang sudah ada sejak zaman Nabi
Muhammad. Namun dalam perkembangannya, tafsir al-Quran dewasa ini banyak
memasukkan paham-paham yang dianggap menyimpang oleh para ulama, istilah tersebut
dikenal dengan nama Ad-Dakhil, yang secara etimologis berarti masuk. Tafsir yang tidak
memiliki dasar yang valid dikategorikan sebagai ad-Dakhil (infiltrasi) dalam penafsiran
al-Quran.1 Ia merupakan lafal/kata yang masuk kedalam bahasa arab dan bukan dari
jenisnya. Dia adalah kata-kata asing yang dipergunakan orang-orang Arab dalam
pergaulan atau percakapan sehari-hari dan belum menjadi bahasa Arab baku. 2 Ad-dakhil
dapat masuk melalui hadits-hadits maudhu’, bahasa, sekte-sekte bid’ah, sekte-sekte
zindik, tafsir sufi, juga tafsir ilmi. Masuknya ad-dakhil ini dipengaruhi oleh adanya
intraksi antar masyarakat Arab asli dengan sekelompok ahli kitab yang datang untuk
kepentingan dagang. Sehingga dapat mempengaruhi al-ashl pada karakter seseorang.
Tentu, dalam interaksi tersebut tidak luput dari bahasa yang mereka gunakan.
Bahasa merupakan sebuah sistem yang terbentuk oleh sejumlah komponen yang berpola
tetap dan tidak terkaedahkan,3 bahasa juga dapat berubah sewaktu-waktu. Pergeseran dan
perubahan ini menunjukkan bahwa bahasa memiliki interaksi dengan pemakainya. Lebih
jauh lagi, fenomena semacam ini, akan lebih terbuka dalam masyarakat plural yang
melakukan kontak dengan berbagai bahasa lain. Dengan demikian, terdapat interaksi
antara bahasa dengan masyarakat penerima bahasa serta bahasa dari masyarakat yang
datang. Interaksi ini terjalin dalam suatu keadaan yang saling mempengaruhi satu sama
lain.4 Dengan demikian kajian ini memaparkan uraian tentang masuknya ad-dakhil
melalui bahasa, yang mencakup madlul lafal ataupun qira’at, dan mengghasilkan
kesimpulan bahwasannya bahasa terdapat serapan, baik berupa kata maupun istilah.
Tafsir al-Quran sering didapati tidak memiliki landasan yang mapan dalam keilmuan

1
Ahmad Sulthoni,Al Karima:Jurnal Studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir 3 (2),1-21,2019
2
Abdul Malik, “Arabisasi (Ta’rib) dalam Bahasa Arab Tinjauan Deskriptif-Historis”, (Addabiyat, vol 8,
Desember 2009).
3
Sahkholid Nasution, “Pengantar Linguistik Bahasa Arab” (Sidoarjo: Lisan Arabi, 2017), hlm 41
4
Abdul Chaer & Leonie Agustina, “Sosiolinguistik: Perkenalan Awal”, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2014),
hlm 65

2
islam, khususnya keilmuan al-Quran dan Tafsir, sehingga dapat diposisikan sebagai
dakhil atau infiltrasi yang menyimpang dalam penafsiran al-Quran.

Dalam menafsirkan al-Qur’an, banyak orang yang keluar dari makna yang
dimaksud dari lafal al-Qur’an, karena keluar dari tatanan kebahasaan, ketidaktahuan,
maupun kesengajaan demi menyesuaikan madzhab/alirannya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana masuknya ad-Dakhil ke dalam Lughah/Gramatika?


2. Bagaimana masuknya ad-Dakhil ke dalam Madlul Lafal?
3. Bagaimana masuknya ad-Dakhil ke Dalam Qiraat?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengtahui masuknya ad-Dakhil ke dalam Lughah/Gramatika.


2. Untuk mengetahui masuknya ad-Dakhil ke dalam Madlul Lafal.
3. Untuk mengetahui masuknya ad-Dakhil ke dalam Qiraat

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ad-Dakhil Dalam Lughah

Ad-dakhil dari segi bahasa (lughat) memiliki beberapa kaidah; maka yang dimaksud
dari ad-dakhil adalah apa yang telah dijelaskan oleh sebagian mufassir dari beberapa irab
untuk sebagian kalimat al-quran atau mengarahkan suatu bahasa ke arah yang salah,
syadz, tidak sesuai dengan kaidah umum. Dimana dapat mengakibatkan kesalahan pada
makna, serta kerancauan dalam memahami.5
Contohnya: yang dinyatakan mufassir dalam penafsirannya, Allah berfirman:
‫َقاَل َفِبَم ٓا َأْغ َو ْيَتِنى َأَلْقُعَدَّن َلُهْم ِص َٰر َطَك ٱْلُم ْس َتِقيَم‬
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar
akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus”. [al-A’raf: 16].
Sebagian mufasir mengatakan bahwa “‫ا‬MM‫ ”م‬adalah pertanyaan (istifham), seolah-olah
dikatakan: ‫يء أغويتني‬MM‫( بأي ش‬dengan apa engkau menyesatkanku), kemudian dia mulai
dengan mengatakan: ‫( َأَلْقُعَدَّن َلُهْم ِص َٰر َطَك ٱْلُم ْس َتِقيَم‬aku tidak akan membuat mereka berada
dijalan yang lurus), ungkapan ini hukumnya syadz, karena ucapanya ‫َق اَل َفِبَم ٓا َأْغ َو ْيَتِنى‬
(dalam apa menyesatkan saya), disini bukan “‫ ”ما‬istifham.
Yang dia maksud adalah mereka yang memutarbalikan ayat dengan sintaksis yang
tidak normal/syadz, karena mereka membuat pertanyaan “‫ا‬MM‫ ”م‬istifham, seolah-olah
dikatakan, mengapa engkau menyesatkanku? dengan apa engkau menyesatkanku?
kemudian dia memulai dengan mengatakan: ‫( َأَلْقُعَدَّن َلُهْم ِص َٰر َطَك ٱْلُم ْس َتِقيَم‬dan aku tidak akan
membuat mereka berada di jalanmu yang lurus). Sebuah I’rab yang tidak teratur dan
bertentangan dengan apa yang menjadi dasar aturan bahasa arab, dan karenanya tidak
pantas untuk mengekstrak ayat yang mulia, karena istifham disini tidak ada artinya.
Karena bagaimana iblis meminta kepada Tuhanya dan memakan sesuatu yang telah
merayu dan menyesatkan, apabila “‫ا‬MM‫ ”م‬istifham jatuh setelah huruf jer, maka alfnya
dibuang, seperti yang ditetapkan didalam aturan tata bahasa yang benar, seperti firman
yang maha kuasa: ‫عَّم َيَتَس ٓاَء ُلوَن‬
َ [an naba:11], membuang alif.

Dan seperti firman Allah:

5
Ad-dakhil fi Tafsir, (Textbook: Univrsitas Intrnasional al-Madinah,2009), hlm 406
4
‫ِفيَم َأنَت ِم ن ِذ ْك َر ٰى َهٓا‬
“Untuk apa engkau perlu menyebutkannya (waktunya)?” [an-naziat: 43]. Adapun
penegasan alif dalam hal ini agak tidak wajar, sebagaimana dikatakan zamakhsari:
berdasarkan hal ini, mengatakan bahwa yang ada di dalam ayat tersebut adalah
pernyataan inerogartif adalah salah, dan yang benar adalah infinitive, bukan interogatif,
dan artinya: karena rayuanmu kepadaku: saya akan mengarahkan mereka dijalan yang
lurus, yaitu saya akan mengahalangi mereka di jalan islam, sama seperti musuh
menghalangi jalan untuk orang yang lewat.
Contoh lain:

‫َو َر ُّبَك َيْخ ُلُق َم ا َيَشٓاُء َو َيْخ َتاُر ۗ َم ا َك اَن َلُهُم ٱْلِخَيَر ُةۚ ُسْبَٰح َن ٱِهَّلل َو َتَٰع َلٰى َع َّم ا ُيْش ِر ُك وَن‬

“Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka
(manusia) tidak ada pilihan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (al-qasas: 68). Bahwasannya “‫ ”ما‬dalam firman: ‫ َم ا َك اَن َلُهُم ٱْلِخ َي َر ُة‬adalah
nafi, yaitu menafikan pilihan manusia dalam hal yang telah dipilih Allah, ini adalah
makna yang shahih, tetapi ada yang membuatnya, yaitu “‫ا‬MM‫ ”م‬maushul/terhubung,
sebagian menjadikannya masdariah dan ini adalah ketidakabsahan akhir, seolah-olah
mereka mengatakan: “Dan tuhan mu menciptakan apa yang dikehendaki atas
kehendaknya dan memilih apa yang manusia bisa menentukan pilihannya”, mereka
membuat “‫ا‬MMMM‫ ”م‬dalam ‫ َم ا َك اَن َلُهُم ٱْلِخ َي َر ُة‬disini maushul/terhubung dan beberapa
menjadikanya masdariah, mesikupun jelas bahwa itu di nafikan karena maknanya adalah
serasi, bahwa Allah memilihkan bagi mereka hal yang terbaik dan menjadikan “‫ ”ما‬yang
menjadi masdariyah artinya adalah memilih pilihan didalamnya, dan ini adalah
ketidakabsahan yang nyata.

B. Ad-Dakhil Dalam Madlul (arti) Lafal

1. Menafsirkan ayat dengan Bahasa aneh/syadz

Ada jenis lain yang disebutkan oleh para mufassir, dan itu dari bahasa yang salah,
yaitu penafsiran Al-Qur'an tanpa apa yang ditunjukkannya dalam bahasa Arab, yang
mengakibatkan kesalahan penafsiran, misalnya:
‫ۚ َك ْي َف َو ِإ ْن َي ْظ َه ُر وا َع َل ْي ُك ْم اَل َي ْر ُق ُبوا ِف ي ُك ْم ِإ اًّل َو اَل ِذ َّم ًة‬
Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang
musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak

5
memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan)
perjanjian.
Ada kelompok yang menafsirkan “‫ ’’ال‬berarti Allah sama seperti Jibril ‫ جبر‬yang
artinya hamba dan ‫ ال‬adalah Allah. Tafsir ayat dalam bahasa yang aneh atau aneh,
Contoh meskipun Al-Qur'an yang Mulia diturunkan dalam bahasa yang paling fasih;
Maka penafsir harus menafsirkannya dengan cara penafsiran yang terbaik, dan menjauhi
penafsiran ayat tersebut dengan bahasa yang aneh atau asing, dan dari itu apa yang
disebutkan dalam tafsir firman Yang Maha Kuasa: “Bagaimana, jika mereka muncul?
kepadamu, mereka tidak menjagamu kecuali dan tidak ada kewajiban.” [At-Taubah: 18],
maka Allah berarti kekerabatan, dan dikatakan: perjanjian. Dan dikatakan: sumpah,
tetapi sebagian orang hanya menafsirkan maknanya. Ya Allah, bagaimana ini benar, dan
nama-nama Allah dapat dipercaya?! Artinya: Tidak benar menyebut Tuhan dengan nama
kecuali disebutkan dengan jelas dalam sebuah ayat seperti nama-nama yang disebutkan
di akhir Surat Al-Hashr atau disebutkan dalam hadits yang shahih, kata-kata mereka
adalah interpretasi.
Contoh lain: Apa yang mereka kutip dalam firman-Nya: “dan dekapkanlah kedua
tanganmu (ke dada) mu bila ketakutan” Jadi ketakutan di sini dimaksudkan dengan rasa
takut, dan dalam hal itu Imam Al-Qurtubi bersabda: Artinya takut, dan artinya: Jika
urusan tanganmu dan sinarnya rusak, maka masukkan ke dalam sakumu dan kembalikan
kepadamu, dikembalikan sebagaimana adanya, karena ada orang yang menafsirkan
monastisisme dalam arti kuantitas, yang merupakan penafsiran aneh yang tidak sesuai
dengan konsep ayat. Dan itu sebagaimana sebagian dari mereka menafsirkan firman-
Nya: "Dan siksaan kematian datang dengan kebenaran. Itulah yang dapat kamu temukan
darinya." (Qaaf: 19) Dia berkata: Pidato di sini adalah untuk Rasul, dan manusia heran
akan hal itu, dan Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya: “Dan akhirat lebih baik
bagimu daripada yang pertama” [Duha: 11].
Ini bertentangan dengan ayat ini, dan pikiran menolak untuk menerimanya. Karena
bagaimana mungkin dia lebih memilih kehidupan fana daripada kehidupan akhirat yang
abadi, yang memiliki kebahagiaan abadi dan kenikmatan abadi. Pendapat yang benar
adalah bahwa ayat ini hanya ditujukan untuk orang yang tidak bermoral atau orang yang
tidak beriman. Serta Rasulullah, damai dan berkah besertanya, dan bagaimana Nabi
menyimpang dari kematian, yang Allah mengatakan kepadanya antara dunia ini dan apa
yang dia miliki; Jadi pilihlah apa yang ada di sisi Allah karena sudah terbukti dalam
(yang benar).

6
apa yang datang dari beberapa penuntut ilmu, dalam firman-Nya:
‫َيْو َم َنْدُع ْو ا ُك َّل ُاَناٍۢس ِبِاَم اِم ِهْۚم‬
“Pada hari kami akan memanggil semua orang Dengan bangsa mereka” [Al-Isra:
71]. Mereka menyebutkan dalam penafsiran ayat ini bahwa perkataan mereka imam.
Mereka berkata: Imam adalah jamak dari "im", atau "um", dan bahwa orang-orang akan
dipanggil pada Hari Kebangkitan dengan nama ibu mereka, bukan ayah mereka, untuk
menyembunyikan mereka, dan ini adalah kesalahan; Karena bentuk jamak dari ibu,
sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
‫َّٰل‬
‫َو ُأَّم َٰه ُتُك ُم ٱ ِتٓى َأْر َض ْعَنُك ْم‬
“Dan ibumu yang menyusui kamu” [An-Nisa: 23] dan bukan seorang imam. Makna
yang benar dari ayat tersebut adalah: “Pada hari kami akan memanggil semua orang dari
anak-anak Adam kepada siapa mereka telah dipercayakan dengan seorang nabi, atau
pemimpin dalam agama, atau sebuah kitab agama, dan akan dikatakan: “Wahai pengikut
tentang ini dan itu, hai orang-orang dari agama ini dan itu, hai orang-orang dari kitab ini
dan itu”; Jadi kata imam dibawa oleh mereka sebagai jamak, atau ini adalah pernyataan
yang salah.
2. Menafsirkan ayat dengan hal yang bertentangan dengan syara’
‫َو َج ٓاَء ْت َس ْك َر ُة ٱْلَم ْو ِت ِبٱْلَح ِّقۖ َٰذ ِلَك َم ا ُك نَت ِم ْنُه َتِح يُد‬
Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu
lari daripadanya.
Ada kelompok yang menyatakan bahwa “kamu’’ disini yang di maksud adalah Nabi
Muhammad. Penafsiran ini bertentangan dengan ayat lain maupun akal sehat. Seakan
akan nabi muhammad takut mati padahal nabi muhammad lebih mementingkan
kepentingan akhirat daripada kepentingan dunia ‫َو َلٰاْل ِخَر ُة َخْيٌر َّلَك ِم َن اُاْلْو ٰل ۗى‬.
‫ۚ َم ن َذ ا ٱَّلِذ ى َيْش َفُع ِع نَد ٓۥُه ِإاَّل ِبِإْذ ِنِهۦ‬
“dan siapakah yang dapat memberi syafaat kepada-Nya kecuali dengan izin-Nya”
[Al-Baqarah: 255]. Beberapa sufi menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan yang
artinya: “dari kehinaan orang yang disembuhkan.” Lihatlah penggalan ayat tersebut dan
mereka menjelaskan setiap kata dengan makna, dari penghinaan: yaitu dari penghinaan,
thi: referensi untuk jiwa, disembuhkan: dari obat adalah jawaban dari, aw: perintah dari
kesadaran, dan Ateisme ini dalam tanda-tanda Tuhan. Bukan rahasia lagi bahwa yang
ada dalam ayat itu adalah interogatif. Allah dalam ayat ini menyebutkan “Siapakah yang
dapat memberi syafaat kepada-Nya kecuali dengan izin-Nya” Sebuah pertanyaan dalam

7
arti pengingkaran, pertanyaan penyangkalan, seolah-olah Allah berfirman: Tidak ada
yang dapat memberi syafaat kepada Allah di akhirat kecuali dengan izin-Nya, dan hanya
untuk orang-orang yang diridhoi Allah swt, sebagaimana ayat-ayat yang telah ditafsirkan
saling menjelaskan, lalu siapa di sini? Interogatif, bukan kondisional, dan interogatif
adalah penyangkalan, artinya negasi, dan sebagainya. Pengecualian datang setelahnya.
Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah: Untuk menunjukkan kebesaran dan
kebesaran Allah, dan bahwa tidak ada seorang pun yang menyamai atau menyamai-Nya.
Sehingga terlepas dari apa yang Tuhan kehendaki, sebagai sarana syafaat; Serta mandiri
dengan menjauhkannya dari sifat keras kepala, arogan, atau kedudukan, dan ini
memudahkan orang-orang kafir; Di mana mereka mengklaim bahwa dewa-dewa mereka
adalah pemberi syafaat bagi mereka dengan Tuhan tafsir (Al-Baydawi), (Al-Alusi), (Al-
Kashshaf) dan lain-lain. Contoh lain: penafsiran ayat dengan sesuatu yang tidak sesuai
selera, dan bahasa Arab yang fasih, contohnya adalah ucapan mereka ketika ayat: “Dan
bumi yang tidak kamu terapung.” [Al-Ahzab: 27] .Sebagian orang telah menafsirkan
bumi dalam arti wanita musuh, dan Al-Zamakhshari menggambarkan penafsiran ini
sebagai salah satu inovasi. Telah diketahui bahwa ayat-ayat tersebut berbicara tentang
pertempuran Para Pihak dan Bani Qurayzah, dan apa yang Allah anugerahkan kepada
kaum Muslim dengan mewariskan tanah Bani Qurayzah dan uang mereka kepada
mereka yang melanggar perjanjian dan berkhianat dalam Perang Para pihak, agar ayat
tersebut dibawa ke negeri yang tidak dilintasi wanita musuh. Ini adalah penafsiran ayat
dengan sesuatu jika tidak benar. Dan tidak pernah enak rasanya.
3. Tidak memperhatikan konteks
‫َأَلْم َتَر ِإَلى ٱَّلِذ يَن َخ َر ُجو۟ا ِم ن ِد َٰي ِرِهْم َو ُهْم ُأُلوٌف َح َذ َر ٱْلَم ْو ِت‬
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung
halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati;
Penafsiran yang lazim adalah menafsirkan uluf sebagai bentuk jamak dari alfun
(seribu). Namun ada yang menafsirkan uluf sebagai bentuk kata ulfah (lembut).
4. Mengubah susunan lafadz
‫َو ِإَّن ٱَهَّلل َلَم َع ٱْلُم ْح ِسِنيَن‬
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. Ada
kelompok yang mengubah susunan lafal, kata la ma’a yang susunan alinya lam taukid
dan ma’a diubah menjadi lama’a yang berarti menyinari Lama’a, yalma’u.

C. Ad-Dakhil Dalam Qira’at

8
1. Pengrtian Qiraat
Secara etimologi kata qira’at merupakan jamak dari kata qira’ah yang berarti
bacaan.6 Dalam istilah keilmuan, Qiraat adalah salah satu madzhab pembacaan
Al-quran yang dipakai oleh salah seorang Imam Qurra’ sebagai suatu madzhab
yang berbeda dengan madzhab lainnya.7 Pengertian qira’at secara istilah yaitu
merupakan metode atau cara baca lafadz atau kalimat di dalam Al-qur’an dari
berbagai macam segi (riwayat), sebagaimana yang telah diriwayatkan langsung
dari Rasulullah.8 Qira’at diartikan sebagai ilmu untuk mengetahui cara baca
(pengucapan), lafadz-lafadz Al-quran, baik yang disepakati maupun
diperselisihkan oleh para ahli qiraat.9
Syarat diterimanya Qira’at
a. Sanadnya Shahih tersambung kepada Rasulullah
b. Sesuai dengan Rasm Usmani
c. Sesuai dengan Bahasa Arab
2. Qira’at yang termasuk dalam pembahasan al-Dakhil
a. Qira’at Ahad
Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani dan kaidah
bahasa Arab atau sesuai dengan rasm Usmani dan kaidah bahasa Arab,
namun tidak terkenal seperti halnya qira`at masyhur. Qira’at seperti ini
tidak dapat dibaca dan tidak wajib untuk diyakini. Qiraat ini tidak bisa
dijadikan sebagai pedoman untuk membaca Al-Qur’an. Contohnya adalah
yang diriwayatkan oleh Hakim dari jalur Ashim al-Juhdari dari Abu Bukrah
dari Rasulullah bahwa dia membaca: “Mereka bertelekan di atas bantal-
bantal yang hijau dan perMadani-perMadani yang indah.” Dia
meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah membaca:
‫َفاَل َتْع َلُم َنْفٌس َّم ٓا ُأْخ ِفَى َلُهم ِّم ن ُقَّر ِة َأْع ُيٍن َج َز ٓاًۢء ِبَم ا َك اُنو۟ا َيْع َم ُلوَن‬
“Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka,
yaitu bermacam-macam nikmat yang menyedapkan pandangan.” (QS. as-
Sajdah: 17). Dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasululah
membaca:
6
Misnawati, Qira’at Al-Qur’an dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum (Banda Aceh:Mudarisuna,2014)
hlm.80
7
Cut Fauziah,Implementasi Qira’at Sab’ah dalam Al-Qur’an (Langsa:At-Tibyan,2019) hlm.111
8
Aris Hilmi Hulaimi,Qira’at Dalam Perspektif Ignaz Goldziher: Studi Kritik Terhadap Pemikiran Oerientalis,
(Studi Qur’anika: Jurnal Studi Qur’an 01) hlm.3
9
Muhammad Ulinnuha,Metode Kritik ad-dakhil fi al-Tafsir, (Jakarta:QAF 2019) hlm.86

9
‫َلَقْد َج ٓاَء ُك ْم َر ُسوٌل ِّم ْن َأنُفِس ُك ْم‬

“Telah datang kepada kalian seorang rasul dari yang paling terhormat di
antara kalian.” (QS. at-Taubah: 128), dengan bacaan fathah pada fa’. Dia
meriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah membaca:

‫َفَر ْو ٌح َو َر ْيَح اٌن‬

“maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki”. (QS. al-Waqi’ah: 79),


dengan bacaan dhammah pada ra’ yang pertama.

b. Qiraat Syadz (menyimpang)


Qira’at yang sanadnya tidak sahih. Seperti surat al-Fatihah ayat 4: yang
dibaca dalam bentuk fi’il madhi dan menasabkan lafadz ‫يوم‬. Para ulama
juga berbeda pendapat dalam menetapkan Qira`at syadzdzah untuk
dijadikan hujjah. Bagi ulama Hanafiyah dan Hanabilah misalnya, mereka
mengatakan bahwa Qira`at syadzdzah bisa dijadikan hujjah yang sifatnya
dzanni, dengan catatan Qira`at tersebut diketahui, benar pernah di dengar
dari Rasulullah, karena hal itu termasuk sunnah. Sedangkan menurut ulama
Malikiyah dan syafiiyah tidak memperkenankannya dijadikan hujjah,
karena bacaan tersebut bukan al-Qur'an dan tidak diriwayatkan secara
mutawatir. Dan merekapun berpendapat bahwa bacaan itu tidak bisa
dikategorikan sebagai sunnah, karena tidak ada keterangan satupun yang
menyatakan hal itu.10
c. Qiraat Maudhu’ (palsu). Yaitu qira`at yang tidak ada asalnya. Contohnya
Seperti qira`at al-Khuza’i yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah
dalam firman Allah surat Fathir ayat 28:
‫َّن ا َيْخ َش ى ٱَهَّلل ِم ْن ِع َباِدِه ٱْلُع َلَٰٓم ُؤ ۟ا‬
‫ِإ َم‬
yang dirafa’kannya lafadh ‫ هللا‬dan dinisbatkannya lafal ‫العلماء‬
d. Qiraat yang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada
bacaan dengan tujuan penafsiran.11 Contoh Qira’at mudraj yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas pada Qs. Al-Baqarah ayat 198:12
‫الجناح عليكم أن تبتغمء فضال من ربكم في مواسم الحج‬

10
Nashrun Harun,Ushul Fiqh,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001)cet ke-3,hlm.24
11
Ridha DS, Kriteria Dan Ketentuan Qira’at Al-Qur’an M, (STAIN Kerinci: Vol 13 No. 2) (Al-Qishthu 2015),
181.
12
Muhammad Aqil Haidar, Alquran dan Qiraah Syadzah, ( Jakarta: Rumah Fiqih, 2018 )hlm.20

10
Dalam rasm utsmani tertulis [surah al-baqarah: 198]
‫َلۡی َس َع َلۡی ُك ۡم ُج َناٌح َأن َتۡب َتُغو۟ا َفۡض ࣰلا ِّم ن َّرِّبُك م‬
Perbedaannya yaitu terdapat sisipan kalimat ‫ في مواسم الحج‬setelah lafadz ‫من‬
‫ربكم‬

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ad-dakhil adalah kata-kata asing yang dipergunakan orang-orang Arab dalam


pergaulan atau percakapan sehari-hari dan belum menjadi bahasa Arab baku. Ad-dakhil
dapat masuk melalui hadits-hadits maudhu’, bahasa, sekte-sekte bid’ah, sekte-sekte
zindik, tafsir sufi, juga tafsir ilmi. Di dalam bahasa terdapat serapan, baik berupa kata
maupun istilah. Tafsir al-Quran sering didapati tidak memiliki landasan yang mapan
dalam keilmuan islam, khususnya keilmuan al-Quran dan Tafsir, sehingga dapat
diposisikan sebagai dakhil atau infiltrasi yang menyimpang dalam penafsiran al-Quran.
Masuknya ad-Dakhil melalui lughah mengakibatkan kesalahan pada makna, serta
kerancauan dalam memahami. Masuknya ad-Dakhil melalui madlul Lafal yaitu
penafsiran Al-Qur'an tanpa apa yang ditunjukkannya dalam bahasa Arab, yang
mengakibatkan kesalahan penafsiran. Masuknya ad-Dakhil melalui qiraat, adalah qiraat
yang tercampur dengan yang bukan mutawatir, tidak sesuai dengan syarat yang telah
disepakati, sanadnya tidak shahih, dan sebagainya.

B. Saran

Demikian makalah ini penulis susun, penulis menyadari dalam pembuatan karya
tulis ini masih banyak kekurangan dalam penyusunannya, maka dari itu penulis
memberikan saran bukan hanya membaca dan pahami dari makalah ini saja melainkan
membaca dari sumber-sumber lainnya juga, supaya pemahaman kalian bisa meluas tidak
terpaku pada pembahasan yang ada di makalah ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ad-dakhil fi Tafsir. 2009. Textbook: Univrsitas Intrnasional al-Madinah

Aqil Haidar, Muhammad. 2018. Alquran dan Qiraah Syadzah. Jakarta: Rumah Fiqih.

Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 2014. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.

DS, Ridha. 2015. Kriteria Dan Ketentuan Qira’at Al-Qur’an M. STAIN Kerinci: Al-
Qishthu.

Fauziah, Cut. 2019. Implementasi Qira’at Sab’ah dalam Al-Qur’an. Langsa:At-Tibyan.

Harun, Nashrun. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Hilmi Hulaimi, Aris. 2001. Qira’at Dalam Perspektif Ignaz Goldziher: Studi Kritik Terhadap
Pemikiran Oerientalis. Studi Qur’anika: Jurnal Studi Qur’an.

Malik, Abdul. 2009. Arabisasi (Ta’rib) dalam Bahasa Arab (Tinjauan Deskriptif-Historis).
Addabiyat, vol 8. No. 2.

Misnawati. 2014. Qira’at Al-Qur’an dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum. Banda
Aceh: Mudarisuna.

Nasution, Sahkholid. 2017. Pengantar Linguistik Bahasa Arab. Sidoarjo: Lisan Arabi.

Sulthoni, Ahmad. 2019. Al Karima: Jurnal Studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir

Ulinnuha, Muhammad. 2019. Metode Kritik ad-dakhil fi al-Tafsir. Jakarta: QAF.

12

Anda mungkin juga menyukai