Anda di halaman 1dari 40

TAX AMNESTY DAN RELASINYA TERHADAP

KEPATUHAN WAJIB PAJAK


Dosen Pengampu Dadang Suhendar, S.E., M.Si.

Disusun Oleh :

Ghefira Azzahra Nur R 20220610034

Ida Nurfarida 20220610155

Risa Suci Lestari 20220610152

Sindi Tria Pebrianti 20220610037

Akuntansi 2B

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KUNINGAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga tugas makalah kami yang berjudul “Tax Amnesty dan Relasinya
terhadap Kepatuhan Wajib Pajak” ini dapat kami selesaikan. Adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan II. Semua materil yang
dibahas dalam makalah ini tentunya bertujuan guna memberikan penjelasan serta pemahaman
yang mendalam mengenai Tax Amnesty dan Relasinya terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.
Semoga makalah ini memberikan banyak manfaat bagi seluruh pihak terutama para pembaca
untuk dapat lebih memahami materi ini.

Dalam proses penyusunan makalah ini tentu tidak terlepas dari bantuan, dukungan, dan
bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang
berbahagia ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dadang Suhendar, S.E., M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Perpajakan II

2. Yang tercinta, Orang tua kami yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam proses
pemebelajaran serta penyusunan makalah ini.

3. Seluruh rekan-rekan mahasiswa kelas AKUNC-02-2022 yang telah memberikan semangat dan
apresiasi posistifnya kepada kami.

4. Dan yang paling utama, kami mengucapkan terima kasih kepada diri kami sendiri yang telah
berhasil menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.

Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah yang telah kami susun ini masih terdapat banyak
sekali kekurangan baik dari segi isi maupun teknik penulisannya. Untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Demikian makalah ini kami
buat, semoga dapat memberikan esensi yang tinggi bagi kita semua.

Kuningan, 02 Desember 2023

Kelompok 5

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Pembahasan 3
BAB II 4
PEMBAHASAN 4
2.1 Tax Amnesty 4
2.1.1 Pertimbangan Melaksanakan Pengampunan Pajak 6
2.1.2 Jenis Amnesti Pajak 8
2.1.3 Upaya Mengatasi Implikasi Tax Amnesty 9
2.1.4 Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Melaksanakan Kebijakan Pengampunan Pajak
10
2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Tax Amnesty 12
2.2 Sunset Policy 13
2.2.1 Penggalian Potensi Pajak melalui Ekstensifikasi Jumlah Wajib Pajak 14
2.2.2 Latar Belakang Sunset Policy 15
2.2.3 Pelaksanaan Sunset Policy 17
2.2.4 Ketentuan Sunset Policy 18
2.3 Kesadaran Dan Kepatuhan Perpajakan 20
2.3.1 Pengertian Kepatuhan Perpajakan (Tax Compliance) 21
2.3.2 Manfaat Predikat Wajib Pajak Patuh 23
2.3.3 Faktor-Faktor yang Meningkatkan Kepatuhan Perpajakan 24
2.3.5 Sanksi terhadap Pelanggaran Kepatuhan Perpajakan 27
2.3.6 Upaya dalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak 28
2.4 Pengaruh Tax Amnesty terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dan Pengaruh Sunset Policy
Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak 32
2.4.1 Pengaruh Tax Amnesty terhadap Kepatuhan Wajib Pajak 32
2.4.2 Pengaruh Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak 32
BAB III 33
PENUTUP 33
3.1 Kesimpulan 33
3.2 Saran 33
DAFTAR PUSTAKA 34

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang
Pengampunan Pajak, pengampunan pajak atau tax amnesty adalah penghapusan pajak yang
seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di
bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini. Penerapan kebijakan tax amnesty diharapkan dapat
meningkatkan kemauan masyarakat untuk membayar pajak. Tax amnesty dilaksanakan
berdasarkan asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional.
Kebijakan Tax Amnesty sebenarnya pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1984. Pada
hakekatnya implementasi tax amnesty maupun sunset policy sekalipun secara psikologis
sangat tidak memihak pada wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak. Kalaupun
kebijakan itu diterapkan di suatu negara, harus ada kajian mendalam mengenai karakteristik
wajib pajak yang ada di suatu negara tersebut karena karakteristik wajib pajak tentu saja
berbedabeda. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah karakteristik wajib pajak
memang banyak yang tidak patuh, sehingga tax amnesty tidak akan menyinggung para Wajib
Pajak yang taat membayar pajak. Selain itu, pola tax amnesty seperti model sunset policy
hanya bisa diterapkan sekali dalam seumur hidup wajib pajak. Pengampunan pajak tersebut
diberikan atas pajak-pajak yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan atau
dipungut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun bentuk
pengampunannya dikenakan tebusan dengan tarif: (1) 1% (satu persen) dari jumlah kekayaan
yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi
Wajib Pajak yang pada tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden ini telah memasukkan
Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan
tahun 1984; (2) 10% (sepuluh persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi Wajib Pajak yang pada
tanggal ditetapkannya Keputusan Presiden ini belum memasukkan Surat Pemberitahuan
Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984 (Ngadiman
dan Daniel Huslin, 2015). Penyelundupan pajak mengakibatkan beban pajak yang harus

1
dipikul oleh para wajib pajak yang jujur membayar pajak menjadi lebih berat, dan hal ini
mengakibatkan ketidakadilan yang tinggi. Peningkatan kegiatan ekonomi bawah tanah yang
dibarengi dengan penyelundupan pajak ini sangat merugikan negara karena berarti hilangnya
penerimaan pajak yang sangat dibutuhkan untuk membiayaai program pendidikan, kesehatan
dan program- program pengentasan kemiskinan lainnya. Oleh sebab itu timbul pemikiran
untuk mengenakan kembali pajak yang belum dibayar dari kegiatan ekonomi bawah tanah
tersebut melalui program khusus yakni pengampunan pajak (tax amnesty). Keunggulan yang
diharapkan bila kebijakan tax amnesty diimplementasikan yaitu akan dapat mendorong
masuknya danadana dari luar negeri yang dalam jangka panjang dapat digunakan sebagai
pendorong investasi yang pada gilirannya bermanfaat untuk menstimulasi perekonomian
nasional. Di sisi lain kelemahannya bila diterapkan pengampunan pajak adalah tidak serta
merta menjamin peningkatan kinerja setoran pajak ke kas negara. Hal ini bisa sebaliknya
berpotensi terjadinya penyelewengan, manipulasi dan tindakan moral hazard lainnya. Para
pengusaha yang memperoleh pemutihan pajak akan melakukan penggelapan
kewajibanpajaknya. Kecuali bila diberlakukan pengampunan pajak bersyarat. Contohnya
pengampunan pajak bersyarat, wajib pajak harus transparan terhadap aset-aset dan
penghasilan mereka. Hal ini guna menghindari kekeliruan yang sama tahun 1984 tidak
terulang kembali yaitu minimnya akses informasi terhadapmasyarakat dan minimnya
keterbukaan/transparansi serta sosialisasi kebijakan ini. Bila program tax amnesty berhasil
diimplementasikan maka pemerintah mempunyai beberapa keuntungan antara lain
pemerintah dapat mengkonsentrasikan atau memfokuskan pada upaya pemberantasan
korupsi. Demikian juga dengan diimplementasikan tax amnesty maka asset recovery-nya
lebih mudah karena tidak perlu melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses
hukum lainnya untuk mengambil asset koruptor. Asset recovery adalah perbandingan antara
jumlah kerugian negara yang didakwakan dengan penyitaan asset atau pengembalian asset
korupsi. Selama ini persentase asset recovery masih relatif kecil. Persentase asset recovery
dapat dijadikan acuan penentuan tarif tax amnesty (Ngadiman dan Daniel Huslin, 2015).

Sunset policy menurut Siti Kurnia Rahayu (2009: 344) adalah pemberian fasilitas
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 37A
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Kebijakan ini memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk memulai kewajiban perpajakannya dengan benar.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka permasalahan yang diidentifikasi
adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari Tax Amnesty ?


2. Bagaimana Penerapan Sunset Policy ?
3. Bagaimana Kesadaran dan Kepatuhan Perpajakan?
4. Apa Saja Pengaruh Tax Amnesty Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dan Pengaruh
Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak?

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disebutkan Diatas, maka
tujuan dari pembahasan yang ingin dicapai, yaitu:

1. Untuk Mengetahui Apa Itu Tax Amnesty.


2. Untuk Mengetahui Bagaimana Isi dari Penerapan Sunset Policy.
3. Untuk Mengetahui Isi dari Kesadaran dan Kepatuhan Perpajakan,
4. Untuk Mengetahui Apa Saja Pengaruh Tax Amnesty Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
dan Pengaruh Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tax Amnesty

Amnesty berasal dari bahasa Yunani "amnestia" yang berarti “lupa akan suatu hal atau
kejadian yang telah lalu”. Bila dikaitkan dengan kebijakan Tax amnesty, maka pemerintah
memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melakukan perbaikan atas kekurangan
pembayaran pajak yang terutang di masa lalu dengan membayar seluruh kekurangan pokok
pajak tetapi dibebaskan dari pengenaan sanksi bunga, denda ataupun sanksi pidana fiskal (tax
crime). Pemerintah menganggap lupa akan pelanggaran yang telah dilakukan Wajib Pajak.

Tax Amnesities merupakan kebijakan pemerintah di bidang yang memberikan penghapusan


pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang
bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi Wajib Pajak
yang tidak patuh menjadi Wajib Pajak patuh. Sehingga diharapkan akan mendorong
peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak di masa yang akan datang. Pengampunan pajak
diharapkan menghasilkan penerimaan pajak yang selama ini belum atau kurang dibayar,
disamping meningkatkan kepatuhan membayar pajak karena makin efektifnya pengawasan
karena semakin akuratnya informasi mengenai daftar kekayaan wajib pajak.

Menurut Alm dalam John Hutagaol ((2008), dalam mengantisipasi semakin meningkatnya
praktik penghindaran maupun pengelakan pajak dan mencegah pelarian modal ke luar negeri
(capital flight) banyak otoritas pajak dari negaranegara pada umumnya menggunakan kebijakan
tax amnesty sebagai bagian dari program kebijakan perpajakannya. Selain itu kebijakan tax
amnesty bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan menjamin kesinambungan
penerimaan pajak sebagai sumber utama penerimaan APBN di masa yang akan datang melalui
peningkatan kepatuhan Wajib Pajak.

Menurut Baer dan Leborge (2008) tax amnesty adalah kesempatan terbatas yang diberikan
pemerintah kepada kelompok pembayar pajak tertentu untuk membayar jumlah yang telah

4
ditetapkan,sebagai pertukaran atas pengampunan dari kewajiban pajak (termasuk bunga dan
hukuman) yang berkaitan dengan masa pajak sebelumnya, serta kebebasan tuntutan hukum
pidana.

John Hutagaol (2007: 27-28) menyebutkan bahwa pengampunan pajak (tax amnesty)
merupakan kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang memberikan penghapusan pajak
yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu untuk memberikan
tambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi wajib pajak yang tidak patuh (tax evaders)
menjadi wajib pajak yang patuh (honest taxpayers) sehingga diharapkan akan medorong
peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak (taxpayer's voluntary compliance) di masa yang
akan datang.

Menurut Haryanto (2016) tax amnesty adalah penghapusan pajak bagi Wajib Pajak (WP)
yang menyimpan dananya di luar negeri dan tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar
pajak lewat imbalan menyetor pajak dengan tarif yang lebih rendah.

Tax Amnesty mensyaratkan Wajib Pajak untuk tetap membayar seluruh pajak yang terutang.
Walaupun demikian, perhitungan pajak yang terutang tersebut dapat saja didasarkan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku pada saat program Tax
Amnesty dilaksanakan. Pemberian ampunan atas sanksi administrasi dan pembebasan dari
sanksi pidana merupakan hal yang paling umum diberikan di dalam program Tax Amnesty.

Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2016, pasal 1 (1) yang dimaksud dengan
Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi
administrasi perpajakan dan sanksi pidana dibidang perpajakan dengan cara mengungkap harta
dan membayar uang tebusan. Pada pasal 1Ayat (3) Harta yang dimaksud adalah akumulasi
tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun
bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sedangkan pada pasal 1 Ayat (7) uang tebusan adalah sejumlah uang yang
dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak.

5
Pengampunan pajak atau Tax Amnesty adalah sebuah kesempatan berbatas waktu bagi
kelompok wajib pajak tertentu untuk membayar pajak dengan jumlah tertentu sebagai
pengampunan atas kewajiban membayar pajak (termasuk dihapuskannya bunga dan denda)
yang berkaitan dengan masa pajak sebelumnya tanpa takut penuntutan pidana.

Kelley dan Oldman (1974:546) juga menyebutkan ada enam kondisi untuk suksesnya
pengampunan pajak, yaitu:

1) Para pengelak pajak merasa akan berakibat fatal bagi dirinya, apabila dia tidak
mengungkapkan penyelundupan pajak yang dilakukannya.
2) Para pengelak pajak akan merasa cukup puas dan nyaman apabila otoritas pajak
percaya. Sehingga atas segala yang diungkapkannya tidak diusut lagi dari mana asalnya.
3) Prasyarat yang diajukan merupakan penawaran proporsional dan tidaklah sulit.
4) Pengampunan pajak harus dalam jangka waktu yang dibatasi tetapi sosialisasinya harus
dalam jangka waktu yang lama
5) Harus ditekankan bahwa pengampunan pajak merupakan kesempatan satu kali dan tidak
akan diberikan di masa yang akan datang.
6) Pengampunan pajak merupakan titik tolak yang bersih untuk memulai suatu pajak yang
bersih dan bebas dari penyelundupan pajak.

Menurut James Alm (2009) terdapat empat faktor yang perlu diperhatikan dalam
menerapkan kebijakan pengampunan pajak oleh pemerintah, yaitu:

1) Eligibilty; Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti Tax Amnesty
2) Coverage; Ruang lingkup penghasilan/aset yang berlaku dalam pengampunan pajak
3) Incentives; Insentif yang akan diberikan Pemerintah yang berlaku bagi Wajib Pajak
yang telah memenuhi persyaratan mengikuti Tax Amnesty
4) Duration; Jangka waktu yang disediakan dalam pelaksanaan Tax Amnesty

6
2.1.1 Pertimbangan Melaksanakan Pengampunan Pajak

Suatu Negara menetapkan kebijakan pengampunan pajak (Tax Amnesty) untuk Wajib
Pajak adalah dengan pertimbangan:

1) Underground Economy.

Underground Economy adalah bagian dari kegiatan ekonomi yang sengaja disembunyikan
untuk menghindarkan pembayaran pajak, yang berlangsung di semua negara, baik negara
maju maupun negara berkembang. Kegiatan ekonomi ini lazimnya diukur dari besarnya
nilai ekonomi yang dihasilkan, dibandingkan dengan nilai produk domestik bruto (PDB).
Kegiatan ekonomi bawah tanah ini tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam
formulir surat pemberitahuan tahunan (SPT) Pajak Penghasilan, sehingga masuk dalam
kriteria penyelundupan pajak (tax evasion).

Kegiatan underground economy sebagai bentuk Tax Evasion menyebabkan hilangnya


potensi penerimaan pajak Negara yang dibutuhkan dalam pembiayaan pemerintahan baik
rutin maupun untuk pembangunan. Peningkatan kegiatan ekonomi bawah tanah yang
dibarengi dengan penyelundupan pajak ini sangat merugikan negara karena berarti
hilangnya uang pajak yang sangat dibutuhkan untuk membiayai program pendidikan,
kesehatan, dan program-program pengentasan kemiskinan lainnya. Oleh sebab itu, timbul
pemikiran untuk mengenakan kembali pajak yang belum dibayar dari kegiatan ekonomi
bawah tanah tersebut melalui program khusus yakni pengampunan pajak (Erwin Silitonga
2005).

2) Pelarian Modal Ke Luar Negeri Secara llegal

Kebijakan tax amnesty adalah upaya terakhir pemerintah dalam meningkatkan jumlah
penerimaan pajak, karena pemerintah mengalami kesulitan memajaki dana atau modal yang
telah dibawa atau diparkir di luar negeri. Perangkat hukum domestik yang ada memiliki
keterbatasan sehingga tidak dapat menjangkau Wajib Pajak yang secara ilegal menyimpan
dana di luar negeri (John Hutagaol).

7
3) Rekayasa Transaksi Keuangan Yang Mengakibatkan Kehilangan Potensi Penerimaan
Pajak

Kemajuan infrastruktur dan instrumen keuangan internasional seperti tax heaven countries
dan derivative transaction telah mendorong perusahaan besar melakukan illegal profit
shifting ke luar negeri dengan cara melakukan rekayasa transaksi keuangan. Setelah itu
keuntungan yang dibawa ke luar negeri sebagian masuk kembali ke Indonesia dalam bentuk
pinjaman luar negeri atau investasi asing. Transaksi ini disebut pencucian uang (money
laundry). Ketentuan perpajakan domestik tidak mampu memajaki rekayasa transaksi
keuangan tersebut. Apabila hal ini tidak segera diselesaikan, maka timbul potensi pajak
yang hilang dalam jumlah yang signifikan.

Tax amnesy diharapkan akan menggugah kesadaran Wajib Pajak dengan memberikan
kesempatan baginya untuk menjadi Wajib Pajak Patuh (John Hutagaol).

4) Upaya Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak

Lebih jauh ruang lingkup Tax Amnesty memberikan pengampunan kewajiban perpajakan,
termasuk pidana pajak (data yang masuk tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana). Disamping itu kebijakan ini dapat digunakan Wajib Pajak yang
belum terdaftar, belum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), belum membayar pajak,
belum melaporkan pajak maupun kurang melaporkan pajaknya, serta dalam penyampaian
Surat Pemberitahuan (SPT) terdapat kesalahan. Hal utama tujuan kebijakan ini adalah
menjadi landasan reformasi pajak secara keseluruhan (Bambang Brodjonegoro, 2016).

2.1.2 Jenis Amnesti Pajak

Menurut Das Gupta dan Mookherje (1996) jenis pengampunan pajak adalah

1) Investigation Amnesties

Yaitu pengampunan pajak di mana Wajib Pajak mengungkapkan kekayaan dan


penghasilan yang dimiliki dan belum dilaporkan sebelumnya secara sukarela serta mau
membayar pajak dan dendanya, maka Wajib Pajak yang bersangkutan tidak akan
diinvestigasi Pemerintah atas aset yang diungkapkan tersebut.

8
2) Revision amnesties

Pengampunan pajak yang memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk


melakukan perbaikan, atau mengubah maupun melakukan revisi atas Surat Pemberitahuan
yang sebelumnya telah disampaikan pada pemerintah.

3) Prosecution amnesties

Pengampunan pajak yang memberikan penawaran atas kekebalan hukum dari tuntutan
yang dapat dideteksi dari pelanggaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

Tax amnesty dapat dibedakan menjadi:

1) Pengampunan pajak yang memberikan Wajib Pajak kewajiban membayar pokok pajak
beserta bunga dan dendanya. Pengampunan pajak hanya pada sanksi pidana perpajakan
saja. Hal ini bertujuan untuk mengumpulkan pajak di tahun- tahun sebelumnya yang
belum terkumpul dan juga menambah jumlah Wajib Pajak terdaftar.
2) Pengampunan pajak yang hanya mewajibkan pembayaran pokok pajak di masa lalu
yang terutang dan bunganya. Pengampunan dilakukan pada sanksi denda dan sanksi
pidana perpajakan.
3) Pengampunan pajak yang mengampuni sanksi bunga, sanksi denda, dan sanksi pidana.
Untuk pembayaran pokok pajak terutang atau tahun sebelumnya tetap dibayar.
4) Pengampunan pada pokok pajak tahun lalu termasuk pengampunan pada sanksi bunga,
sanksi denda, dan sanksi pidana. Pengampunan ini bertujuan untuk memberikan
motivasi masyarakat dalam kesadaran mendaftarkan diri menjadi Wajib Pajak untuk
menjadi Wajib Pajak aktif.

2.1.3 Upaya Mengatasi Implikasi Tax Amnesty

Dampak negatif timbul akibat kelonggaran pajak yang dinikmati para pengemplang pajak,
berupa rasa keadilan dalam pemungutan pajak yang tidak dihargai. Ketidakadilan tersebut
secara tidak langsung memotivasi Wajib Pajak patuh menjadi tidak patuh karena pembayar

9
pajak yang jujur tidak mendapat penghargaan atas kejujurannya. Untuk mengurangi dampak
negatif ini sebaiknya rencana pengampunan pajak hanya diberikan terhadap:

1) Sanksi bunga, denda, atau kenaikan pajaknya saja. Bahwa pokok pajaknya tidak
termasuk yang diampunkan.
2) Melalui penerapan "differential tax amnesty", yang membedakan perlakuan
pengampunan pajak, dimana terhadap Wajib Pajak yang belum pernah menyampaikan
SPT diwajibkan membayar pajak pajaknya di masa lalu, sedangkan terhadap Wajib
Pajak yang sudah patuh menyampaikan SPT dapat memperbaiki pembayaran pajaknya,
tanpa dikenakan sanksi bunga, denda atau kenaikan. Dengan demikian, keduanya tetap
diwajibkan membayar pokok pajaknya (Erwin Silitonga 2005).

2.1.4 Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Melaksanakan Kebijakan


Pengampunan Pajak

1) Melakukan sosialisasi rencana pengampunan pajak, yang didukung oleh perangkat


administrasi perpajakan modern berbasis teknologi informasi dan komunikasi, dan
didukung penegakan hukum paska amnesti pajak (Erwin Silitonga).
2) Tunggakan pajak Wajib Pajak kepada negara, yaitu utang pajak yang telah pasti dan
ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak, yang merupakan obyek penagihan pajak
dengan Undang-undang Penagihan dengan Surat Paksa, tidak termasuk dalam paket
program pengampunan, bahkan merupakan pra syarat harus dilunasi sebelum wajib
pajak dapat mengikuti program pengampunan pajak. Hal ini, disosialisasikan lebih awal
pada masyarakat untuk mencegah agarisu pengampunan pajak tidak menjadi "counter
productive", karena masyarakat salah mengerti dan beramai-ramai menunda
pembayaran pajaknya dengan harapan kelak mendapat pengampunan (Erwin Silitonga).
3) Perlunya program pendukung berupa penegakan hukum secara tegas dan konsisten
terhadap pelanggar hukum.
Undang-undang Amnesti Pajak harus didukung seperangkat UndangUndang lainnya
antara lain jaminan mengalirnya data secara sistemik (by computer) ke pusat basis data
perpajakan nasional. RUU yang mendukung hal ini adalah RUU Informasi dan

10
Transaksi Elektronis (ITE). Juga diperlukan amandemen UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dengan menambahkan azas pembuktian terbalik (Erwin Silitonga).

4) Amandemen UU Perbankan, untuk memberikan akses informasi keuangan ke sistem


perpajakan, sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank. Selanjutnya adalah
amandemen RUU Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk memberikan akses terhadap
transaksi yang mencurigakan dan transaksi kas yang besar, untuk dicocokkan secara
sistem dengan laporan SPT wajib pajak, seperti yang dilaksanakan di negara maju
(Erwin
Silitonga).

5) Perlunya Good Governance, untuk menata kembali sistem penggajian pegawai negeri
guna mencegah praktek korupsi karena kurang memadainya remunerasi yang diterima
aparatur negara. Karena
pengampunan pajak idealnya hanya berlaku sekali

(once-in-a-life time only),

Kelima peraturan perundang-undangan tersebut harus ada untuk membantu tegaknya


hukum secara murni dan konsekuen, yang merupakan syarat keberhasilan program amnesti
pajak. Tanpa penegakan hukum yang sungguhsungguh di berbagai bidang, semenarik apa pun
amnesti pajak yang ditawarkan tidak akan menyebabkan Wajib Pajak secara sukarela mengakui
kesalahan masa lalunya, apabila mengetahui bahwa probabilitas terungkapnya ketidakjujuran
membayar pajak sangat kecil karena lemahnya perangkat hukum lainnya.

Untuk mencapai tujuan kebijakan Tax Amnesty, maka pemerintah harus memastikan bahwa
Undang-Undang (UU) harus dapat memberikan jaminan hukum yang mencerminkan prinsip
keadilan, baik untuk negara maupun Wajib Pajak. Hak dan kewajiban keduanya harus
dicantumkan dan diatur sedemikian rupa, sehingga pelaksanaannya berjalan lancar dan
menghindari kesewenangan

(Dahliana Hasan, 2016). Kebijakan Tax Amnesty, juga harus menjamin tidak terjadi Vicious
Circle di masa mendatang yang berpotensi melemahkan kepatuhan wajib pajak.

11
6) Adanya jaminan kerahasiaan data yang diungkapkan. Pemerintah harus dapat menjamin
bahwa data mengenai harta maupun penghasilan yang diungkapkan Wajib Pajak yang
ikut program Tax Amnesty diadministrasikan dengan baik dan terjaga kerahasiaannya
dan tidak mengakibatkan timbulnya tuntutan hukum terhadap Wajib pajak tersebut
(John Hutagaol).
7) Perbaikan struktural paska Tax Amnesty, Perbaikan struktural yang harus dilakukan
pemerintah paska program tax amnesty mencakup kebijakan ekonomi yang secara
langsung maupun tidak, berpengaruh terhadap usaha Wajib Pajak, sistem perpajakan
dan efektivitas monitoring terhadap kepatuhan Wajib Pajak serta penerapan tax
enforcement. Perbaikan sistem perpajakan meliputi administrative and policy reforms
(John Hutagaol).

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Tax Amnesty

Implementasi Tax Amnesty perlu didukung oleh sistem perundang- undangan yang stabil,
sehingga penting melakukan reformasi sistem perpajakan di Indonesia. Pengampunan Pajak
atau Tax Amnesty tetap berpegang teguh berdasarkan kepastian hukum, yaitu pelaksanaan
Pengampunan Pajak harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum.

Penegakan hukum perpajakan sangat penting dalam menopang sistem perpajakan


berjalan dengan baik, sehingga apabila penegakan hukum berjalan dengan baik tujuan
pengumpulan dana pajak akan berjalan dengan baik pula. Tax Amnesty sebagai cara cepat
pengumpulan pajak membutuhkan kepercayaan besar dari Wajib Pajak yang mengikuti
program ini, sehingga penegakan hukum atas pelaksanaan kebijakan dibutuhkan lebih
tegas. Selain itu bagi Wajib Pajak yang melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya
sudah benar selama ini pun merasa bahwa ketidakadilan itu tidak ada. Karena secara hukum
bahwa Wajib Pajak yang mengikuti Tax Amnesty tidak akan lagi berbuat sama untuk ke
depannya, karena adanya penegakan hukum lebih tegas bagi pelanggaran pemenuhan
kewajiban perpajakan.

12
Sistem Administrasi pajak harus dilakukan peningkatan kualitas karena akan terkoneksi
dengan sistem di luar negeri, mengingat adanya sistem pertukaran informasi dengan
berbagai negara di dunia. Dengan adanya jaminan sistem administrasi pajak yang lebih
baik, Wajib Pajak akan merasa datanya aman dan dapat memberikan kepercayaan pada
pelaksanaan Tax Amnesty.

Pelaksanaan kebijakan Tax Amnesty tidak hanya berkaitan dengan penerimaan pajak
semata, tetapi memerlukan upaya reformasi sistem administrasi pajak yang lebih
komprehensif dan memiliki tujuan jangka panjang untuk meningkatkan kepatuhan
masyarakat dalam membayar pajak. Sistem administrasi pajak akan lebih berkualitas
apabila didukung komitmen yang kuat dari segala pihak.

2.2 Sunset Policy

Keberhasilan suatu negara dalam pelaksanaan Tax Amnesty sangat tergantung pada sejauh
mana persiapan, pelaksanaan, dan pengawasannya. Tax Amnesty harus dipersiapkan
perangkat hukumnya, sampai pada petunjuk pelaksanaannya, kriteria mana yang berhak
mendapat pengampunan, unit kerja mana yang bertanggungjawab, dan bagaimana
mengadminitrasikan Wajib Pajak yang mendapat pengampunan.

Pada tahap persiapan dirumuskan juga strategi kampanye dengan tujuan menimbulkan
persepsi Wajib Pajak bahwa tax amnesty merupakan kesempatan terakhir yang sayang
dilewatkan. Pada tahap pelaksanaan, program tax amnesty akan mendapat banyak
dukungan dari Wajib Pajak dan pengawasan pelaksanaan perlu dilakukan untuk mencegah
timbulnya penyimpangan atau perubahan selama pelaksanaan.

Kebijakan soft amnesty diatur dalam UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan dan telah mengalami perubahan terakhir pada UU No. 28 tahun
2007, lebih lanjut diatur dalam PP No. 80 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
dan Kewajiban Perpajakan, dan peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2008 Tentang
Penghapusan Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pelunasan Kekurangan Pembayaran
Pajak sehubungan dengan penyampaian SPT Tahunan untuk Tahun Pajak sebelum 2007.
13
Kebijakan soft amnety juga sering disebut sunset policy yang merupakan kebijakan yang
bersifat populis.

Pada hakikatnya kebijakan soft amnesty diberikan kepada Wajib Pajak yang telah
terdaftar dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum terdaftar untuk memiliki NPWP.
Kebijakan Sunset Policy dilatarbelakangi oleh beberapa hal, salah satunya sistem
pemungutan pajak Self Assesment System. Pelaksanaan pemenuhan pajak yang diserahkan
seluruhnya pada wajib pajak akan menimbulkan ketidakpatuhan yang besar, dengan adanya
indikasi ketidakpatuhan membuat timbulnya UU KUP Pasal 35 yang memberikan
kewenangan DJP untuk melakukan penelusuran data pada Wajib Pajak, sehingga Wajib
Pajak yang ditemukan ketidakbenaran padda pelaporan pajaknya akan dikenai sanksi.
Untuk menghindari hal tersebut maka diluncurkanlah bentuk pengampunan pajak berupa
penghapusan pajak bagi WP.

Kondisi krisis global juga menurunkan pertumbuhan ekonomi dan penerimaan APBN,
Untuk mensiasati hal tersebut diterapkan ketentuan bagi WP yang memiliki NPWP
diberikan kemudahan berupa bebas fiskal luar negeri, bagi yang tidak memiliki NPWP
dikenakan fiskal lebih besar dari sebelumnya yaitu RP. 1.000.000 menjadi Rp. 2.500.000,
selain itu dikenakan pula tambahan tarif bagi WP OP sebesar 20%, dengan adanya
ketentuan tersebut dapat memberikan modal kuat bagi APBN ditahun mendatang dalam
rangka perolehan penerimaan sektor pajak.

2.2.1 Penggalian Potensi Pajak melalui Ekstensifikasi Jumlah Wajib Pajak

Penerimaan pajak sebagai primadona APBN masih belum maksimal karena jumlah Wajib
Pajak terdaftar belum optimal atau belum mencapai jumlah usia produktif untuk bekerja.
Hal ini akan mengakibatkan rasio pajak di Indonesia menjadi sangat kecil bila
dibandingkan dengan negara tetangga. Menurut peraturan perundang-undangan perpajakan,
kewajiban mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dimulai ketika seseorang memperoleh
penghasilan diatas PTKP.

14
Seiring dengan usaha pemerintah untuk menaikkan tax ratio, terdapat beberapa kegiatan
untuk ekstensifikasi dibidang perpajakan diantaranya, kegiatan canvassing, “mewajibkan”
Wajib Pajak untuk memiliki NPWP secara system, misal harus memiliki NPWP ketika
mengajukan permohonan kredit pada bank. Pada tahun 2005, DJP memberikan NPWP
secara jabatan kepada pemilik tanah dan bangunan mewah, pemilik mobil mewah, pemilik
kapal pesiar atau yatch, pemegang saham baik didalam maupun luar negeri, orang asing,
pegawai tetap yang berpenghasilan diatas PTKP, dll yang belum memiliki NPWP. Yang
dimaksud NPWP secara jabatan adalah DJP menerbitkan NPWP kepada Orang Pribadi atau
Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, namun yang bersangkutan tidak mendaftarkan dirinya
pada DJP.

Namun kebijakan NPWP secara jabatan menyebabkan masalah karena terdapat


ketidakakuratan data, karena DJP tidak melakukan cross check terhadap data tersebut.
Karena usaha pemberian NPWP secara jabatan tidak optimal, DJP menerapkan kebijakan
sunset policy yang bersifat populis yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak
dan menjamin kesinambungan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan APBN.
Berkat kebijakan sunset policy DJP berhasil melewati target, yaitu mencapai 2,6 juta
pengguna npwp baru pada tahun 2008.

Hingga tahun 2017 , kebijakan ini berhasil menaikkan jumlah pemegang NPWP menjadi 10
juta yang mayoritas merupakan WP OP.

Kebijakan sunset policy menjadi magnet tersendiri bagi Wajib Pajak karena Wajib Pajak
akan mendapat penghapusan sanksi pajak berupa bunga atas keterlambatan pembayaran
upeti yang tidak atau kurang bayar, selain itu dapat keluar negeri tanpa membayar fiskal.
Sehingga mendorong WP untuk mengurus NPWP nya.

2.2.2 Latar Belakang Sunset Policy

a) Dilatarbelakangi Ketidakpatuhan Wajib Pajak.

Meningkatnya penerimaan pajak seperti yang telah dikemukakan sebelumnya tidak


menjamin bahwa penerapan Self Assesment System sudah optimal. Penyampaian SPT baik

15
SPT Masa maupun SPT tahunan PPh kepada penyetor pajak belum dilaksanakan secara
penuh oleh WP contohnya masih banyak Wajib Pajak yang memiliki tunggakan pajak.
Fenomena ini dapat memberikan gambaran bahwa penerapan Self Assesment System oleh
Wajib Pajak belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan perundang-undangan
perpajakan.

Jika penerapan Self Assesment System dapat dilaksanakan dengan baik maka tentunya
penerimaan negara dari pajak akan lebih optimal, dalam hal ini berarti usaha penerimaan
pajak tidak ada yang terlewatkan, baik Wajib Pajaknya atau Objek Pajaknya, serta jumlah
pajak yang diterima kas benar benar masuk tanpa ada yang terlewatkan.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi tidak optimalnya penerapan Self

Assesment System, salah satunya adalah Wajib Pajak. Menurut penelitian Dedi Kusmayadi
(2000) pada BUMD dan BUMS bahwa persepsi pajak badan mengenai UU perpajakan
berpengaruh terhadap Self Assesment System, yang artinya Wajib Pajak dapat melaksanakan
kewajiban perpajakannya dengan baik jika Wajib Pajak memahami peraturan perpajakan.

Dengan adanya kebijakan sunset policy memberikan motivasi kepada wajib pajak untuk
melakukan pelaporan atas pembetulan SPT Tahunan atas penghasilan sendiri. Dengan
melakukan pembetulan atas pajak kurang bayar maka tidak akan dikenakan sanksi, langkah
ini diambil dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan
pemenuhan kewajiban perpajakannya (Tax Law Enforcement).

b) Dilatarbelakangi oleh UU KUP Pasal 35

Sebagai bentuk keterbukaan dan transparansi wajib pajak terhadap negara, maka
dibentuklah peraturan mengenai adanya keterbukaan guna kepentingan perpajakan.

• Pasal 35A Ayat (1): Instansi/lembaga/asosisasi/pihak lain baik swasta maupun


pemerintah wajib menyampaikan data perpajakan ke DJP
• Ayat (2): Bila data DJP kuran mencukupi, DJP dapat secara aktif mencari data tanpa
adanya batasan harus sedang dilakukan pemeriksaaan.

16
Dengan adanya undang undang diatas memudahkan DJP dalam mengetahui WP mana
yang belum melaksanakan kewajibanya. Ketentuan ini memungkinkan DJP mengetahui
ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksakankan oleh wajib
pajak sehingga wajib pajak dapat dikenai sanksi. Maka untuk memberikan fasilitas
sebelum kondisi tersebut DJP menerapkan kebijakan sunsut policy, agar wajib pajak
segera melaporkan pembetulan SPT Tahunan.

c) Dilatarbelakangi oleh kondisi krisis global

Sumber pajak adalah kegiatan ekonomi yang satu garis lurus dengan pertumbuhan
ekonomi. Pada tahun 2008 ekonomi mengalami penurunan dalam pertumbuhannya dari 30%
menjadi 20%, hal ini terjadi karena krisis financial global. Tahun 2009 pertumbuhan
ekonomi diperkirakan akan menurun seiiring dengan melemahnya daya beli masyarakat.
Kemandekan pada sektor ini juga tidak hanya pada pasar ekspor tepai pada pasar domestik,
yang mana produk lokal harus bersaing dengan produk impor. Hal ini akan berpengaruh
kepada penerimaan pajak, penjualan barang berkurang, maka pajak yang dibayar juga
berkurang.

2.2.3 Pelaksanaan Sunset Policy

a) Dasar hukum
Dasar hukum sunset policy terdapat pada:

• UU Nomor 28 Tahun 2007, Pasal 37A ayat (1) dan ayat (2)
• Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007 Pasal 33
• Peraturan Meukeu No. 66/PMK.03/2008
• Peraturan DJP No. 27/PJ/2008 diubah dengan No. 30/PJ/2008
• Surat Edaran DJP No. 33/PJ/2008
• Surat Edaran DJP No. AA/PJ/2008

b) Pengertian Sunset Policy

17
Yaitu pemberian fasilitas penghapusan sanksi adminitrasi berupa bunga sebagaimana diatur
dalam Pasal 37A UU Nomor 28 Tahun 2007. Kebijakan ini memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk memulai kewajiban perpajakan dengan benar. Diberlakukan dalam jangka
waktu terbatas.

c) Sasaran Sunset Policy

Sasarannya ditujukan kepada seluruh masyarakat. Sasaran khusus ditujukan kepada wajib
pajak dalam rangka penggalian potensi dan perbaikan administrasi wajib pajak.

Pelaksanaan Kampanye untuk Sasaran Khusus

1) Wajib Pajak OP Potensial terdiri dari: Pekerja seni komersial, PARSI, PARFI,
Komedian, Penyanyi dan Musisi, Sutradara, Model dan Peragawati, Komunitas Hobby
dan Olahraga (HDCI, IMBI, PPMKI, Ferrari, Ducati, Kolektor Lukisan, Lions Club,
Menyelam, Golf, Menembak), Asosiasi Pengusaha Asing (Korea, Taiwan, Jepang,
Amerika, China), Asosiasi Pengusaha (HIPMI, IWAPI, HIPPI, JCII).
2) WP OP Anggota Legislatif dan Pejabat Eksekutif: Anggota DPR RI, Anggota DPD,
DPRD, Pejabat Departemen/Kabinet Indonesia Bersatu, Pejabat Pemerintah Daerah
(Muspida TK I dan Muspida TK II).
3) Pejabat Eksekutif dan AnggotaTNI: Pejabat TNI à Mabes TNI (AL,AU dan AD),
Departemen Keuangan, Kepolisian Negara RI, Mahkamah Agung, KPK, Komnas
HAM, Komisi Yudisial, BPK, BPKP dan Itjen, Kejaksaan Agung, Departemen Hukum
dan HAM, Departemen ESDM, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen
Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Perdagangan, Departemen
Perindustrian, Daerah: Perwakilan, Kanwil, Dinas.

4) Wajib Pajak Badan Pada Sektor-Sektor Tertentu: 200 WP Penentu Penerimaan/ seluruh
WP di Kanwil LTO, Perkebunan Kelapa Sawit, Pertambangan Batubara, Konstruksi,
Real Estate, Ritel, Pulp and Paper, Perkebunan Karet, Perkebunan Kakao, Rokok,
Farmasi, Telekomunikasi, Jasa Perbankan, Sektor Potensial di daerah, dll tergantung
daerah.
5) Wajib Pajak Badan

18
2.2.4 Ketentuan Sunset Policy

Ketentuan Sunset Policy mencakup Persyaratan Umum, Ketentuan Khusus dan Ketentuan
Peralihan.

a) Persyaratan Umum

Untuk Wajib Pajak baru terdaftar, Wajib Pajak yang diberikan penghapusan sanksi
administrasi adalah WPOP yang memenuhi persyaratan:

• Secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun 2008;
• Tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, penuntutan,
atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
• Menyampaikan SPT Tahunan Tahun Pajak 2007 & sebelumnya terhitung sejak
memenuhi persyaratan subjektif & objektif paling lambat tanggal 31 Maret 2009;
dan
• Melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari
penyampaian SPT Tahunan pph, sebelum SPT tersebut disampaikan

Wajib Pajak Lama. Wajib Pajak yg diberikan penghapusan sanksi administrasi adalah
WP OP atau Wajib Pajak badan yang memenuhi persyaratan:

• Telah memiliki NPWP sebelum tanggal 1 Januari 2008;


• Terhadap SPT Tahunan PPh yg dibetulkan belum diterbitkan SKP;
• Terhadap SPT Tahunan PPh yang dibetulkan belum dilakukan pemeriksaan atau
dalam hal sedang dilakukan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak belum menyampaikan
SPHP;
• Telah dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, tetapi Pemeriksaan Bukti
Permulaan tersebut tidak dilanjutkan dengan tindakan penyidikan karena tidak
ditemukan adanya Bukti Permulaan tentang tindak pidana di bidang perpajakan;

19
• Tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, penuntutan,
atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
• Menyampaikan SPT Tahunan Tahun Pajak 2006 & sebelumnya paling lambat
tanggal 31 Desember 2008; dan
• Melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari
penyampaian SPT Tahunan PPh, sebelum SPT Tahunan PPh tersebut disampaikan.
b) Ketentuan Khusus
Wajib Pajak yang memperoleh NPWP dalam tahun 2008 berdasarkan hasil
ekstensifikasi termasuk dalam kriteria mendaftarkan diri secara sukarela.

Bukti potong/bukti pungut PPh sebelum ber-NPWP dapat dikreditkan dalam SPT
Tahunan PPh sebagai kredit pajak atas penghasilan yang dilaporkan dalam SPT
tersebut.

Wajib Pajak Lama:

• Pembetulan yang diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga adalah


pembetulan SPT Tahunan PPh yang disampaikan pertama kali tahun 2008
• Wajib Pajak yang sebelum 1 Januari 2008 telah memiliki NPWP dan sampai
dengan 31 Desember 2007 belum menyampaikan SPT Tahunan PPh sebelum
Tahun Pajak 2007, dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak
2007
• SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007 yang disampaikan dalam tahun 2008
tersebut diperlakukan sebagai pembetulan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak
2007 yang memanfaatkan sunset policy.
c) Ketentuan Peralihan
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya Telah disampaikan 1 Jan 2008
sampai dengan 30 Juni 2008 dapat diperlakukan sebagai SPT Tahunan PPh dalam
rangka Sunset Policy dan dapat membetulkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan
sebelumnya tersebut satu kali setelah

30 Juni 2008 - 31 Des 2008

20
2.3 Kesadaran Dan Kepatuhan Perpajakan

Kesadaran Wajib Pajak Kesadaran Wajib Pajak merupakan kondisi dimana Wajib Pajak
mengerti dan memahami arti fungsi maupun tujuan pembayaran pajak kepada Negara.
Dengan kesadaran Wajib Pajak yang tinggi akan memberikan pengaruh kepada
meningkatkan kepatuhan pajak yang lebih baik lagi.

Faktor yang dapat memberikan peningkatan kesadaran Wajib Pajak yaitu :

a) Sosialisasi perpajakan
b) kualitas pelayanan
c) kualitas individu Wajib Pajak
d) tingkat pengetahuan Wajib Pajak
e) tingkat ekonomi Wajib Pajak
f) persepsi yang baik atau sistem perpajakan yang diterapkan.

Faktor yang dapat menghambat kesadaran wajib pajak adalah

a) prasangka negatif kepada Fiskus


b) barrier dari instansi di luar pajak
c) informasi mengenai korupsi yang semakin tinggi
d) wujud pembangunan dirasa kurang
e) adanya anggapan pemerintah tidak transparan mengenai penggunaan penerimaan dari
sektor pajak.

Kesadaran membayar pajak selain menimbulkan kepatuhan pajak dapat pula menumbuhkan
sikap kritis dalam menyikapi masalah perpajakan, seperti kebijakan-kebijakan pajak yang
ditetapkan pemerintah. Sehingga penerimaan pajak sebagai penerimaan utama negara
dikelola Negara dengan transparan dan akuntabel untuk kesejahteraan rakyat. Tingginya
tingkat kesadaran Wajib Pajak dapat dilihat dari :

a) target penerimaan pajak tercapai

21
b) tingkat kepatuhan pajak tinggi
c) Tax ratio tinggi
d) jumlah wajib pajak meningkat sejalan dengan jumlah masyarakat usia produktif
e) jumlah tagihan pajak rendah
f) tingkat pelanggaran rendah

2.3.1 Pengertian Kepatuhan Perpajakan (Tax Compliance)

Kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan Wajib Pajak dalam melaksanakan ketentuan


perpajakan yang berlaku. Wajib Pajak yang patuh adalah Wajib Pajak yang taat memenuhi
kewajiban perpajakan sesuai ketentuan Peraturan Perundang - Undangan. Jadi Wajib Pajak
yang patuh adalah Wajib Pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan perpajakan.
Kepatuhan perpajakan dibagi menjadi :

1) Kepatuhan Perpajakan Formal.


Merupakan ketaatan Wajib Pajak dalam memenuhi ketentuan formal perpajakan.
Ketentuan formal ini terdiri dari :

a) Tepat waktu dalam mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP maupun untuk
ditetapkan memperoleh NPPKP.
b) Tepat waktu dalam menyetorkan pajak yang terutang
c) Tepat waktu dalam melaporkan pajak yang sudah dibayar dan perhitungan
perpajakannya.

2) Kepatuhan Perpajakan Material


Merupakan ketaatan Wajib Pajak dalam memenuhi ketentuan material perpajakan.
Ketentuan material terdiri dari :

a) Tepat dalam menghitung pajak terutang sesuai dengan peraturan perpajakan.


b) Tepat dalam memperhitungkan pajak terutang sesuai dengan peraturan perpajakan.

22
c) Tepat dalam memotong maupun memungut pajak (Wajib Pajak sebagai pihak
ketiga).

Kriteria Wajib Pajak Patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000,


adalah :

1) Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun
terakhir.
2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh
izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak
3) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
dalam jangka waktu 10 tahun terakhir
4) Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap Wajib
Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk
masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.
5) Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh Akuntan
Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian
sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.

Pada prinsipnya kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara. Predikat Wajib Pajak
patuh dalam arti disiplin dan taat, tidak sama dengan Wajib Pajak yang berpredikat
pembayar pajak dalam jumlah besar, tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan jumlah
nominal setoran pajak yang dibayarkan pada kas negara. Karena pembayar pajak terbesar
sekalipun belum tentu memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak patuh, meskipun
memberikan kontribusi besar pada Negara, jika masih memiliki tunggakan maupun
keterlambatan penyetoran pajak maka tidak dapat diberi predikat Wajib Pajak Patuh.

2.3.2 Manfaat Predikat Wajib Pajak Patuh

Pemberian predikat Wajib Pajak Patuh, merupakan suatu penghargaan bagi

23
Wajib Pajak, juga untuk memberi motivasi dan detterent effect yang positif bagi Wajib
Pajak yang lain untuk menjadi Wajib Pajak Patuh. Wajib Pajak yang berpredikat patuh
dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya tentunya akan mendapat kemudahan dan
fasilitas yang lebih dibandingkan dengan pemberian pelayanan pada Wajib Pajak yang
belum atau tidak patuh. Fasilitas yang diberikan oleh Dirjen Pajak terhadap Wajib Pajak
Patuh adalah sebagai berikut:

1) Pemberian batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan


Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan kelebihan
pembayaran pajak yang diajukan Wajib Pajak diterima untuk Pajak Penghasilan (PPh)
dan 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tanpa melalui penelitian dan
pemeriksaan oleh Dirjen Pajak.
2) Adanya kebijakan percepatan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak (SKPPKP) menjadi paling lambat 2 (dua) bulan untuk PPh dan 7
(tujuh) hari untuk PPN.

Tentunya dengan penekanan penerimaan pajak sebagai kontribusi terbesar penerimaan


negara diharapkan semua Wajib Pajak di Indonesia berpredikat patuh, yang akan
berimplikasi pada optimalisasi penerimaan pajak, pengurangan biaya Wajib Pajak
(Compliance cost) dan biaya bagi pemerintah (Administrative Cost) dalam kewajiban
administrasi perpajakan.

2.3.3 Faktor-Faktor yang Meningkatkan Kepatuhan Perpajakan

Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1) Kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara


Sistem administrasi perpajakan suatu Negara akan efektif apabila didukung oleh
instansi pajak yang efektif, sumber daya pajak yang memumpuni, prosedur perpajakan
yang baik pula.

2) Kualitas pelayanan perpajakan yang diberikan kepada Wajib Pajak Dengan sistem
administrasi perpajakan yang efektif akan memberikan dampak pada peningkatan

24
kualitas pelayanan pajak yang diberikan instansi pajak kepada Wajib Pajak. Sehingga
Wajib Pajak rela untuk membayar pajak kepada Negara, tanpa mengharap
kontraprestasi secara langsung.
3) Kualitas penegakan hukum perpajakan
Kepatuhan perpajakan dapat ditingkatkan melalui tekanan kepada Wajib Pajak untuk
tidak melakukan pelanggaran atau tindakan illegal dalam usahanya untuk
menyelundupkan pajak. Tindakan pemberian sanksi kepada Wajib Pajak merupakan
salah satu enforcement pada Wajib Pajak agar Wajib Pajak tidak lagi melakukan
pelanggaran perpajakan.

4) Kualitas pemeriksaan pajak


Kualitas pemeriksaan pajak ditentukan dengan kompetensi pemeriksa, keahlian
pemeriksa, independensi pemeriksa, maupun integritas pemeriksa yang baik.
Pemeriksaan dikatakan berkualitas apabila setiap tahapan pemeriksaan dilakukan sesuai
prosedur, sehingga menghasilkan ketetapan pajak yang berkualitas.

5) Tinggi rendahnya tarif pajak yang ditetapkan


Tarif pajak yang tinggi tentunya memberikan dorongan Wajib Pajak untuk berupaya
mengurangi jumlah utang pajaknya melalui tindakan penghindaran maupun
penyelundupan pajak. Disisi lain Negara membutuhkan penerimaan pajak sesuai
dengan target yang telah ditetapkan untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Hal ini
membutuhkan kebijakan-kebijakan penetapan tarif pajak yang tetap dapat berpihak
kepada Wajib Pajak.

6) Kemauan dan Kesadaran Wajib Pajak


Kemauan dan kesadaran Wajib Pajak akan memberikan pemahaman tentang arti, dan
tujuan pembayaran pajak yang diberikan kepada Negara. Sehingga apabila kemauan
dan kesadaran Wajib Pajak tinggi akan memberikan dampak kepada kepatuhan
perpajakan yang lebih baik lagi, sehingga penerimaan pajak diharapkan dapat mencapai
target yang telah ditetapkan.

7) Perilaku Wajib Pajak

25
Asumsi yang dikemukakan oleh Leon Yudkin dalam Moh. Zain bahwa perilaku wajib
Pajak mengarah pada tindakan meminimalkan pajak yang harus dibayar adalah

a) Bahwa Wajib Pajak selalu berusaha untuk membayar pajak yang terhutang sekecil
mungkin, sepanjang hal itu dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b) Bahwa Wajib Pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak (Tax Evasion) yaitu
usaha penghindaran pajak yang terhutang secara ilegal, sepanjang Wajib Pajak
tersebut mempunyai alasan yang meyakinkan bahwa akibat dari perbuatannya
tersebut kemungkinan besar mereka tidak akan dihukum serta yakin pula bahwa
rekan-rekannya melakukan hal yang sama.

2.3.4 Perilaku Wajib Pajak yang Tidak Sepenuhnya Memenuhi Kewajiban


Perpajakan
Adapun Perilaku Wajib Pajak yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakan
dibedakan menjadi 3 yakni :

1. Tax Evasion ialah Pengelakan pajak dimana tindakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak
dalam meminimalkan beban pajak yang terutang secara ilegal karena melanggar
peraturan perundang-undangan perpajakan. Contohnya : Wajib Pajak tidak melaporkan
sebagian atau seluruh penghasilannya dalam SPT atau membebankan biaya-biaya
dijadikan pengurang penghasilan untuk tujuan meminimalkan beban pajak.
2. Tax Avoidance ialah penghindaran pajak dimana tindakan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dalam meminimalkan beban pajak secara tidak melanggar peraturan perundang-
undangan perpajakan atau legal, dan dapat dibenarkan. Contohnya : apabila tidak mau
membayar PPN atau PPnBM maka tidak mengkonsumsi barang yang merupakan objek
PPN atau PPnBM.

Penyebab Penghindaran Pajak (Tax avoidance) dan Penyelundupan Pajak (Tax Evasion),
yaitu :

26
a) Wajib pajak kurang sadar tentang kewajiban bernegara
b) Wajib pajak tidak patuh pada peraturan, dan kurang menghargai hukum
c) Tingginya tarif pajak yang ditetapkan pada Undang-Undang
d) Kondisi lingkungan seperti kestabilan pemerintah, dan penghamburan keuangan
negara yang berasal dari pajak. (Amrosio M. Lina)

3. Tax Delinquency ialah penunggak pajak atau kelalaian pajak, mengacu pada kegagalan
untuk membayar kewajiban pajak pada tanggal jatuh tempo. Biasanya, tunggakan pajak
dikaitkan dengan ketidakmampuan membayar pajak karena dana yang tidak memadai
(Bernard P. Herber).
Contoh : WP tidak menyetor pajak dan tidak melaporkan SPT tepat waktu sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Menurut Oliver Oldman dalam Moh. Zain melalaikan pemenuhan kewajiban perpajakan
disebabkan oleh :

a) Ketidaktahuan (ignorance) yaitu Wajib Pajak tidak sadar atau tidak tahu akan adanya
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berkaitan dengan
pelanggarannya.
b) Kesalahan (Error) yaitu Wajib Pajak paham dan mengerti mengenai ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan tetapi salah hitung.
c) Kesalahpahaman (negligance), yaitu Wajib Pajak alpa untuk menyimpan buku serta
bukti-buktinya secara lengkap

2.3.5 Sanksi terhadap Pelanggaran Kepatuhan Perpajakan

Pada hakikatnya, sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan dalam


melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Ada 2 Sanksi perpajakan, yaitu :

27
1. Sanksi Administrasi
Sanksi Administasi diperuntukkan bagi mereka para wajib pajak yang melakukan
pelanggaran hukum pajak yang bersifat administratif pula. Sanksi ini tidak tertuju pada
sanksi fisik wajib pajak, melainkan lebih kepada penambahan jumlah pajak yang terutang
karena ada sanksi administrasi yang harus dibayar oleh wajib pajak itu sendiri. Sanksi
administrasi terhitung pada saat dikenakan kepada wajib pajak dengan jangka waktu
tertentu, sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang perpajakan

Macam-Macam Sanksi Administrasi:

a) Sanksi Bunga, (Pasal 13 ayat 2 UU KUP) yaitu pengenaan sanksi terhadap jumlah
kekurangan PPh, PPN, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam
surat ketetapan pajak kurang bayar yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan kurang bayar.
b) Sanksi Denda
Dikenakan terhadap Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang terikat pada PPh,
PPN, dan PPnBM (diatur dalam Pasal 7 ayat 1 UU KUP).

Pengenaan denda:

• Denda telat bayar pajak sebesar 2% per bulan dari waktu biaya pajak belum
dibayarkan. Denda dihitung sejak tanggal jatuh tempo hingga tanggal
pembayaran pajak dan apabila telat bayar dari batas waktunya akan dihitung 1
bulan penuh.
• Sanksi administrasi untuk SPT Masa PPN sebesar Rp. 500.000 dan SPT Masa
lainnya sebesar Rp.100.000 per SPT Masa Pajak.
• Denda terlambat lapor SPT PPh bagi WP Badan sebesar Rp. 1.000.000 dan SPT
WP Pribadi sebesar Rp.100.000 per SPT Tahunan/Masa Pajak.
c) Sanksi Kenaikan
Dalam UU KUP Pasal 13 ayat 3, yang memuat sanksi administrasi berupa kenaikan
yang dikenakan kepada WP yang tidak membayar lunas jumlah PPh, PPN, dan
PPnBM yang terutang dalam SKP kurang bayar, sebesar :

28
a. 50% dari PPh kurang bayar dalam 1 tahun pajak
b. 100% dari PPh kurang dipotong atau dipungut ataupun disetorkan
c. 100% dari PPh dan PPnBM kurang bayar.

2. Sanksi Pidana
Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan
Wajip Pajak. Namun, Pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan
sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi WP yang baru pertama kali melanggar(Pasal 38 UU
KUP), tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.

Tindak pidana tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 tahun terlampaui, jangka
waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhir masa pajak, bagian tahun pajak,
atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Karena penetapan tersebut disesuaikan
dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan daras
penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 tahun.

2.3.6 Upaya dalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak

a) Penegakan Hukum Perpajakan ( Tax Law Enforcement)

Dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan, pemerintah dalam menjalankan fungsi


pengawasan dan pembinaan dalam konsekuensi dari pemberian kepercayaan kepada Wajib
Pajak perlu dibarengi dengan Upaya penegakan hukum yang disebut Tax Enforcement.
Penegakan hukum pajak dalam Self Assessment System merupakan hal yang penting,
karena didalam sistem perpajakan dipentingkan adanya voluntary compliance atau tuntutan
peran aktif dari Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, sehingga
kepatuhan dari Wajib Pajak sangatlah penting. Sedangkan kepatuhan Wajib Pajak perlu di
tegakkan salah satu caranya adalah dengan Tax Law Enforcement.

Pilar-pilar penegakan hukum pajak (Tax law enforcement) dalam meningkatkan


kepatuhan diantaranya adalah :

29
a) Pemeriksaan Pajak (Tax Audit)

Pemeriksaan pajak merupakan upaya peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dan


mencegah terjadinya Tav Evasion. Tax Audit yang dilakukan secara profesional oleh
Pemeriksa Pajak dalam rangka self assessment system merupakan bentuk penegakan
hukum perpajakan untuk menghalanghalangi (detterence effect) Wajib Pajak dalam
melakukan tindakan kecurangan dengan melakukan tax evasion.

Upaya penegakan hukum melalui tindakan pemeriksaan pajak, mutlak diperlukan


tenaga Pemeriksa Pajak dalam kuantitas dan kualitas yang memadai. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas pemeriksaan pajak antara lain adalah :

a) Kemampuan pemeriksa pajak dalam memanfaatkan teknologi infomasi dan


komunikasi
b) Kuantitas Pemeriksa Pajak, jumlah pemeriksa pajak harus sebanding dengan beban
kerja pemeriksaan.
c) Kualitas Pemeriksa Pajak,sangat dipengaruhi oleh pengalaman, latar belakang, dan
pendidikan. Berkualitas tidaknya pemeriksa pajak ditentukan pula oleh:
- Kompetensi

- Profesionalisme

- Integritas

- Independensi

- moral pemeriksa pajak.


d) Sistem Informasi perpajakan yang diterapkan instansi
e) Sarana dan prasarana pemeriksaan (audit facilities)
f) Aspek Psikologis Wajib Pajak, merupakan penguasaan informasi tentang
pemahaman peraturan perpajakan maupun informasi pemeriksaan pajak yang
diperoleh WP.
g) Kualitas Komunikasi antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak
h) Ukuran usaha Wajib Pajak, semakin besar ukuran usaha Wajib Pajak maka semakin
kompleks pelaksanaan pemeriksaan yang akan mempengaruhi kualitas pemeriksaan.

30
i) Kepemilikan modal Wajib Pajak (Structure of Ownership), dapat merupakan modal
sendiri dan modal saham yang akan memberikan pengaruh kepada kualitas
pelaksanaan pemeriksaan pajak.
j) Cakupan transaksi usaha Wajib Pajak, semakin banyak dan beragam cakupan
transaksi usaha WP akan semakin memerlukan waktu yang lebih banyak dalam
pelaksanaan pemeriksaan.
k) Regulasi.

Pemeriksaan pajak dapat dikatakan berkualitas dapat dilihat dari :

a. aspek formal, meliputi pelaksanaan setiap tahapan pemeriksaan dilaksanakan secara


prosedural dengan baik berdasarkan Norma Pemeriksaan Pajak.
b. aspek material, ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan pajak.

b) Penyidikan Pajak (Tax Investigation)


Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik yaitu
Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Direktorat Jendral Pajak, untuk mencari
dan mengumpulkan bukti-bukti yang membuat terang tindak pidana di bidang
perpajakan. Tindakan penyidikan tidak diatur dalam Undang-Undang Perpajakan,
karena rangkaian tindakannya meliputi tata cara dan prosedur-prosedur tertentu yang
sudah diatur dibawah hukum pidana.

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan pada dasarnya memang merupakan


tindakan penegakan hukum yang dianggap perlu karena dengan dilakukan penyidikan
yang bermuara pada tuntutan hukum dengan ancaman pidana diharapkan akan memberi
pengaruh (detterent effect) terhadap kepatuhan wajib pajak.

Penyidikan adalah upaya akhir (ultimatum remedium) dalam rangka upaya


penegakkan hukum pajak apabila upaya lain sebelumnya tidak cukup memadai untuk
diterapkan.

c) Penagihan Pajak (Tax Collection)

31
Adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus, memberikan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang
disita (UU No. 19/2000 Pasal 1).
Upaya penagihan pajak yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengerahkan
Jurusita Pajak untuk menanganinya. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan
penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat
Paksa, Penyitaan, dan Penyanderaan (UU No.19/2000 Pasal 1).

Menurut Pasal 5 ayat (1) UU No.19/2000, Jurusita Pajak bertugas :

a. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan sekaligus


b. Memberitahukan Surat Paksa
c. Melaksanakan Penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan
d. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat perintah
Penyanderaan.

2.4 Pengaruh Tax Amnesty terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dan Pengaruh
Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

2.4.1 Pengaruh Tax Amnesty terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Kebijakan Tax Amnesty berpengaruh signifikan dan positif terhadap kepatuhan Wajib
Pajak. Dengan adanya Program Tax Amnesty maka dapat menambah jumlah wajib pajak
terdaftar, sehingga seterusnya wajib pajak bisa mulai membayar pajak. Selain itu, Tax
Amnesty mampu mendorong masyarakat untuk memulai kewajiban perpajakannya dengan
benar melalui pengungkapan seluruh harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan
PPh. Selain menghasilkan peningkatan penerimaan pajak tax amnesty juga diharapkan
mampu meningkatkan kepatuhan serta efektivitas pembayaran karena daftar kekayaan
wajib pajak semakin akurat setelah mengikuti amnesti. Wajib Pajak yang sebelumnya tidak
patuh dengan mengikuti program tax amnesty akan menjadi wajib pajak yang patuh.

32
2.4.2 Pengaruh Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut Rantung dan Adi (2009), Program Sunset Policy memberikan manfaat berupa
keringanan utang pajak,baik bagi wajib pajak lama maupun baru. Penelitian Rantung dan
Adi (2009) dan Mangunsong (2009), menyatakan bahwa kebijakan sunset policy
berpengaruh positif terhadap kesadaran membayar pajak. Namun, Ngadiman dan Daniel
Huslin (2015) dan Mipraningsih dan Suryandari (2016), menyimpulkan bahwa tidak ada
pengaruh yang signifikan antara sunset policy dengan kepatuhan wajib pajak. Adanya
keringanan yang diberikan berupa penghapusan bunga pajak akan membuat wajib pajak
merasa kurang terbeban dengan besarmnya jumlah pajak yang harus dibayarkan,
sehingga secara tidak langsung mendorong mereka untuk membayar pajak.

33
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tax Amnesities merupakan kebijakan pemerintah di bidang yang memberikan penghapusan


pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang
bertujuan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi Wajib Pajak
yang tidak patuh menjadi Wajib Pajak patuh. Sehingga diharapkan akan mendorong
peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak di masa yang akan datang. Pengampunan pajak
diharapkan menghasilkan penerimaan pajak yang selama ini belum atau kurang dibayar,
disamping meningkatkan kepatuhan membayar pajak karena makin efektifnya pengawasan
karena semakin akuratnya informasi mengenai daftar kekayaan wajib pajak.

Sunset policy menurut Siti Kurnia Rahayu (2009: 344) adalah pemberian fasilitas
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 37A
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Kebijakan ini memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk memulai kewajiban perpajakannya dengan benar.

Kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan Wajib Pajak dalam melaksanakan ketentuan


perpajakan yang berlaku. Wajib Pajak yang patuh adalah Wajib Pajak yang taat memenuhi
kewajiban perpajakan sesuai ketentuan Peraturan Perundang - Undangan. Jadi Wajib Pajak yang
patuh adalah Wajib Pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan perpajakan.

3.2 Saran
Untuk memahami Tax Amnesty dan Relasinya Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak, kami
sarankan untuk memahami terlebih dahulu ap aitu pajak, Tax Amnesty dan juga Kepatuhan
Wajib Pajak itu seperti apa.

34
DAFTAR PUSTAKA

Ngadiman dan Daniel Huslin .2015. “Pengaruh Sunset Policy, Tax Amnesty, dan Sanksi
Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak”. Diakses pada 06 Desember 2023.

Rahayu, Siti Kurnia. (2017). Perpajakan (Konsep dan Aspek Formal). Bandung.

Rekayasa Sains.

Asnawi, Habib Shulton. & Ahmad Mukhlisin. (2017). Jurnal Hukum dan

Ekonomi Syariah. Sanksi Perpajakan dan Pengadilan Pajak Di Indonesia. Institut

Agama Islam Ma’arif (IAIM). Vol. 05 No. 2. Diakses pada 06 Desember 2023.

Fauzi, Agus Khazin. & Shinta Eka Kartika. (2019). Jurnal Ilmiah Rinjani.

Pengaruh Kebijakan Tax Amnesty Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak.

Universitas Gunung Rinjani. Vol.7 No. 1. Diakses pada 06 Desember 2023.

Rantung, Tatiana Vanessa dan Priyo Hari Adi .2009. “Dampak Program Sunset Policy Terhadap
Faktor– Faktor yang Mempengaruhi Kemauan Membayar”. Diakses pada 08 Desember 2023.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Perpajakan. Diakses pada 08 Desember 2023.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.


Diakses pada 08 Desember 2023

35

Anda mungkin juga menyukai