Anda di halaman 1dari 20

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

I. Tinjauan Pustaka

A. Leukemia Limfoblastik Akut


1. Definisi
Leukemia akut adalah keganasan primer di sumsum tulang. Leukemia limfoblastik

akut (LLA) adalah penyakit keganasan yang berciri khas infiltrasi progresif dari sel

limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik yang dikenal sebagai

limfoblas.1 LLA meliputi 80% kasus leukemia pada anak. Di Indonesia diperkirakan

terdapat sekitar 3000 kasus baru LLA yang menyerang anak setiap tahunnya. LLA

merupakan penyebab kematian tersering yang diakibatkan oleh kanker pada usia

kurang dari 20 tahun.

Tahun 2006 di Yogyakarta terdapat 35% pasien menolak pengobatan, 23%

mengalami kematian yang berhubungan dengan pengobatan, 22% mengalami

perburukan atau kekambuhan dan 20% mengalami event-free survival. Temuan ini

menggambarkan situasi di Indonesia secara umum. Di Rumah Sakit Dr. Moewardi

Surakarta, sejak Februari 2011 hingga Maret 2018, tercatat 138 anak menderita LLA

dengan angka kematian 40%.

2. Patogenesis
Sel limfoid diturunkan melalui sel induk hematopoietik pluripoten dalam sumsum

tulang melalui tahap-tahap pematangan. Pada LLA terjadi keganasan kelompok sel

limfoid stadium prekursor B/T yang terjadi akibat gangguan genetik yang

menghalangi diferensiasi limfoid dan menyebabkan penyimpangan proliferasi dan

ketahanan sel.2

commit to user 1
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 1. Perubahan genetik yang berkontribusi pada patogenesis dan relaps LLA.1
3. Kriteria diagnosis
Diagnosis LLA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan

laboratorium berupa karakteristik morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari aspirasi

sumsum tulang. Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi FAB (French

American British). Persentase sel blast yang ditemukan pada sumsum tulang minimal

25%. Jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan immunophenotyping. Secara umum

LLA diklasifikasikan berdasarkan morfologinya kemudian dimasukkan kedalam

kriteria grup yang disebut dengan FAB group.

Tabel 1. FAB tipe L-1 dan L-2

Kriteria Skor

High Nuclear : Citoplasmic ratio >75% sel +

Low Nuclear : Citoplasmic ratio > 75% sel -

Nucleous : 0-1 (kecil) > 75% dari sel +

commit to user 2
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Nucleoli : 1 atau lebih (prominent) >25% dari sel -

Irregular/membran inti tidak teratur >25 sel -

Sel besar >50% dari sel (besar = 2x normal limfosit) -

Tidak dimasukkan kriteria bila : a. kriteria Intermedia, b. inti membran regular>

75% dan c. <50% besar sel, ukuran yang heterogen memberikan nilai + (positif)

dan – (negatif).

Dari definisi tersebut, bila total skor 0 sampai +2 ditetapkan sebagai diagnosis

L1, sedangkan skor -1 sampai -4 adalah L2. Kriteria L3 tidak diubah dan dalam

sistem skoring ini menjadi sangat penting. LLA L3 berarti didapatkan kriteria

seluruhnya kuncinya adalah didapatkan ukuran sel yang besar dan sitoplasma basofil

yang sangat padat. Sebagian besar memiliki inti yang prominent. Vakuola yang

prominent banyak terlihat pada L1 dan L2. LLA risiko tinggi (high risk), pada saat

diagnosis ditemukan salah satu kriteria seperti dibawah ini:

 Usia < 1 tahun atau > 10 tahun

 Leukosit > 50.000 x109/L

 Massa mediastinum >1/3 dari diameter rongga thorak

 Terdapat 15/3 (5 µm) sel leukemia di liquor serebrospinal

(Cerebrospinal-meningeal leukemia)

 Immunofenotiping didapatkan leukemia sel-T

 Leukemia campuran (bilineage leukemia)

 Lebih dari 1000 sel blast/m3 pada pemeriksaan darah tepi setelah 1

minggu mulai terapi pada LLA kelompok risiko biasa.

commit to user 3
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dikatakan LLA risiko biasa (standard risk) bila tidak didapatkan tanda tanda

risiko tinggi dan tidak ada keterlibatan sistem saraf pusat maupun testis.

4. Tatalaksana LLA

a. Penyesuaian pemberian sitostatika

Hidrasi yang adekuat diperlukan untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut

karena pengrusakan oleh sel leukemia selama induksi. Diuresis dipertahankan 1-2

ml/kg/jam untuk pasien dengan jumlah leukosit >100.000/mm3 atau sudah terjadi

tanda sindrom lisis tumor. Berat badan dicatat dan dievaluasi untuk mengontrol

kelebihan cairan, bila perlu dapat diberikan diuretika.

Kadar hemoglobin darah pasien dipertahankan >10 g/dl selama

pelaksanaan kemoterapi. Kadar hemoglobin optimal untuk pemberian sitostatika

adalah > 8 g/dl. Namun setelah pemberian sitostatika selesai, transfusi komponen

sel darah merah diberikan hingga kadar hemoglobin mencapai >10 g/dl. Transfusi

trombosit dilakukan jika pada saat sebelum kemoterapi intratekal jika kadar

trombosit <50.000 mm3 atau jika didapatkan trombositopenia dengan tanda

perdarahan maka transfusi trombosit bersifat mutlak. Transfusi plasma segar beku

dapat menjadi pilihan bila ada perdarahan yang disebabkan karena faktor

koagulasi yang dibuktikan dengan pemanjangan dari jalur intrinsik atau ekstrinsik

dari pemeriksaan faal hemostasis.

Nutrisi yang adekuat diperlukan sebelum memulai kemoterapi, terutama

pada kasus malnutrisi. Pengendalian infeksi juga menjadi bagian yang penting.

Cuci tangan dengan bersih, sikat gigi secara hati-hati agar tidak menimbulkan

luka yang menjadi sebab dari perdarahan. Tidak diperlukan profilaksis antibiotika

commit to user 4
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

maupun anti jamur maupun dekontaminasi usus. Jika terdapat sepsis, pemberian

sitostatika menunggu perbaikan keadaan umum minimal 3x24 jam dengan

pemberian antibiotika intravena.

b. Kemoterapi

Dasar pengobatan LLA adalah dengan memberikan delapan jenis regimen secara

intensif. Komponen dasar dari berbagai terapi untuk anak dengan LLA hampir

sama dan terdiri dari beberapa fase yang berlainan.

Fase induksi pada risiko tinggi dan risiko biasa menggunakan sitostatika

yang terdiri dari Prednison, Vinkristin, L-Asp, dan Metotreksat intratekal, dengan

tambahan Daunorubicin pada risiko tinggi. Pada risiko biasa, pemberian L-Asp

dilakukan pada minggu ke 3, 4 dan 5, sedangkan pada risiko tinggi L-Asp

diberikan pada minggu ke 3, 4, 5 dan 6. Prednison di minggu ke-0 (periode

jendela) diberikan dengan dosis 60 mg/m2, kemudian dilanjutkan pada minggu

ke-1 hingga akhir minggu ke-5 dengan dosis 40 mg/m2, kemudian Prednison di

tapering off hingga akhir minggu ke 6. Vinkristin diberikan dengan dosis 1,5

mg/m2 (dosis maksimal 2 mg) intravena pada minggu 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 (dalam

10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit). L-Asparaginase pada

risiko tinggi dan risiko biasa diberikan mulai hari pertama minggu keempat

hingga akhir minggu kelima. Diberikan 3 kali selang sehari dalam seminggu,

sehingga total pemberian dalam 2 minggu adalah 6 kali. Metotreksat intratekal

diberikan 3 kali dalam fase induksi, yaitu pada hari ke 1, 14 dan 28. Dosis yang

digunakan adalah sesuai usia. Setelah itu, pada pasien dilakukan aspirasi sumsum

tulang untuk menilai remisi.1

commit to user 5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Fase konsolidasi-intensifikasi adalah fase lanjutan setelah didapatkan

remisi pada hasil aspirasi sumsum tulang evaluasi. Pengobatan dilanjutkan selama

5 minggu fase konsolidasi pada risiko biasa. Pada risiko tinggi, fase konsolidasi

berlangsung selama 6 minggu kemudian diikuti 4 minggu fase intensifikasi. Fase

ini dirancang untuk memperkuat remisi dan mencegah munculnya leukemia pada

susunan saraf pusat. Penggunaan berulang Metotreksat, yang diberikan dosis

tinggi secara intravena selama 24 jam yang diikuti oleh pemberian asam folinat

untuk menyelamatkan jaringan normal dari efek toksik adalah komponen penting

dari pengobatan LLA kontemporer.

Fase Pemeliharaan (Maintenance) adalah fase akhir kemoterapi. Pasien

mendapatkan kemoterapi intensitas rendah antimetabolit untuk terapi

pemeliharaan untuk 18-30 bulan. Terapi ini terdiri dari pemberian Vinkristin

intravena, Merkaptopurin atau Thioguanine harian per oral, dan Metotreksat

mingguan per oral.1

b. Faktor Prognostik LLA

Faktor prognostik utama antara lain gambaran klinis pada saat diagnosis, sifat

biologis dan genetik dari sel leukemia dan respon awal terhadap pengobatan. Usia

pasien yang lebih tua dan nilai hitung leukosit yang lebih tinggi menggambarkan

prognosis yang lebih buruk. Risiko tinggi memiliki luaran yang lebih buruk dari

risiko biasa. Bayi kurang dari 1 tahun adalah subkelompok khusus pada LLA

dengan luaran yang lebih buruk. Waktu yang diperlukan untuk mengeliminasi

populasi sel leukemik hingga level yang tidak dapat terdeteksi adalah faktor

prognostik LLA yang paling kuat pada anak.

commit to user 6
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Risiko gagal pengobatan dan kematian adalah 3 hingga 5 kali lebih tinggi

pada anak-anak dengan kadar minimal residual disease 0,01% atau lebih tinggi

pada akhir kemoterapi fase induksi atau fase berikutnya.1 Relap terjadi pada 15-

20% anak dengan LLA, dan angka kesembuhan jauh lebih rendah setelah relaps.

Sekitar 1-2% anak dengan LLA meninggal sebelum mencapai remisi, dan

tambahan 1-2% meninggal saat remisi karena efek toksik dari pengobatan.1

B. Hiperglikemia akibat terapi steroid

1. Definisi

Kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dL dan kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL

yang terjadi pada pada pasien yang mendapat terapi steroid disebut hiperglikemia

akibat steroid.3 Kondisi ini umumnya bersifat sementara. Diabetes Mellitus akibat

steroid pada pasien tanpa riwayat hiperglikemia sebelumnya bervariasi dari 34,3%

hingga 56%, dengan risiko relatif berkisar antara1,36 hingga 2,31, dan number

needed to harm berkisar antara 16-41 untuk penggunaan 1-3 tahun.3

Berdasarkan sediaan, hanya oral glukokortikoid yang menunjukkan

peningkatan risiko diabetes pada hampir 2% populasi di perawatan primer. Faktor

risiko utama yang diidentifikasi sebagai prediktor terbentuknya diabetes antara

lain: dosis dan jenis steroid, lama pengobatan, program pengobatan dengan

glukokortikoid secara kontinyu, usia tua, HbA1C dan BMI.

2. Farmakokinetik dan farmakodinamik

Steroid adalah obat yang digunakan secara luas dalam kondisi akut maupun

kronik. Pada dosis suprafisiologis, steroid mereduksi sintesis dari sitokin pro-

inflamasi, fungsi T-sel, dan ekspresi reseptor Fc antibodi yang mengaktivasi

commit to user 7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

proses antiinflamasi dan imunosupresif. Steroid yang diproduksi oleh kelenjar

adrenal disintesis oleh kolesterol, dan ekresinya mengikuti irama sikardian dan

ritme pulsatil ultradian. Sekresi normal berkisar antara 8-15 mg/dl, dimana 10%

nya bersirkulasi dalam bentuk bebas, sisanya berikatan dengan protein pembawa,

terutama albumin dan kortisol binding globulin. Waktu paruh plasma berkisar dari

80-270 menit bergantung dari tipe kortikosteroid yang digunakan dengan aksi

pada jaringan yang bertahan selama 8-12 jam. Kortikosteroid dimetabolisme di

hepar dan metabolit kortikosteroid yang terikat sebagian besar diekskresi oleh

ginjal. Pembentukan resistensi insulin terutama postprandial dan bervariasi

tergantung dari jenis steroid yang digunakan.3

Efek dari steroid biasanya sementara dan dapat pulih ketika dosis steroid

diturunkan, efeknya pada metabolisme endokrin kembali pada keadaan awal dan

diabetes induksi obat dapat sembuh, namun hal ini tidak terjadi pada semua kasus.

Steroid adalah penyebab utama hiperglikemia akibat obat.

3. Patofisiologi

Glukokortikoid menyediakan substrat untuk metabolisme stress oksidatif,

meningkatkan lipolisis, proteolisis, dan produksi glukosa hepatik. Kortikosteroid

menyebabkan glukoneogenesis di jaringan perifer dan hepar.4 Mekanisme

intoleransi glukosa akibat glukokortikoid mirip dengan diabetes mellitus tipe 2

karena steroid meningkatkan resistensi insulin hingga 60-80% tergantung dari

dosis dan tipe yang digunakan. Terdapat aktivitas enzimatik dari 11β-

hydroxysteroid dehydrogenase yang diklasifikasikan kedalam dua tipe; tipe 1,

diekspresikan di hepar dan jaringan lemak dan memperkuat aksi lokal dari steroid

commit to user 8
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk mengubah kortison menjadi kortisol dan tipe 2, yang lebih dominan pada

jaringan ginjal dan menurunkan efek pengubahan kortisol menjadi kortison. Otot

rangka bertanggung jawab atas 80% penyimpanan glukosa dan mewakili

penyimpanan glikogen terbesar dalam tubuh. Penyimpanannya secara keseluruhan

bergantung pada ketersediaan insulin dan Glucose transporter type 4 (GLUT4)

transporter glukosa pada membran sel. Steroid menginduksi resistensi insulin

dengan secara langsung mengganggu kaskade sinyal, terutama GLUT4 didalam

sel otot, dengan reduksi sebanyak 30-50% pada ambilan glukosa yang distimulasi

insulin dan 70% reduksi pada sintesis glikogen yang distimulasi insulin. Steroid

memecah protein dengan hasil akhir meningkatkan asam amino serum, yang juga

mengganggu sinyal insulin pada sel otot. Steroid meningkatkan lipolisis, yang

mengakibatkan peningkatan serum asam lemak bebas dan trigliserida. Hal ini

menyebabkan akumulasi dari lemak intramyocelullar (acetyl coenzyme A,

diacylglycerol, ceramide), menurunkan masukan dan penyimpanan glukosa

intramuskular. Pada keadaan puasa, hepar memelihara euglikemia melalui

glukoneogenesis dan glikogenolisis, efek yang berlawanan dengan kerja insulin

setelah asupan makanan. Glukokortikoid bekerja antagonis dengan efek metabolik

dari insulin, terutama pada keadaan postprandial melalui induksi enzim yang

membantu glukoneogenesis, meningkatkan lipolisis dan proteolisis, meningkatkan

aktivitas mitokondrial, meningkatkan efek hormon kontraregulator seperti

glukagon dan epinefrin, dan menginduksi resistensi insulin melalui nuclear

peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR). Pada tingkat jaringan lemak

steroid menyebabkan penumpukan lemak pada organ dalam, sekaligus

commit to user 9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menurunkan penyimpanan perifer. Steroid memiliki efek langsung pada berbagai

adipokin: 1) membantu ekspresi resistin dan adipokinin, yang mempengaruhi

toleransi glukosa, 2) menurunkan ekspresi dari adiponektin, yang membantu

sensitivitas insulin, dan 3) merangsang ekspresi dan sekresi dari leptin. Yang

secara bersama-sama menyebabkan peningkatan hidrolisis trigliserida pada sel

lemak. Efek ini memiliki hasil akhir peningkatan kadar asam lemak bebas yang

terakumulasi di dalam sel otot dan menurunkan ambilan glukosa dengan

mengganggu sinyal insulin. Glukokortikoid meningkatkan fungsi sel beta

pankreas melalui reduksi dari ekspresi reseptor glukokinase dan GLUT2 dan pada

saat yang bersamaan meningkatkan aktivitas glucose-6-phosphate dehydrogenase,

dengan akibat perubahan oksidasi sel β. Glukokortikoid mereduksi sintesis insulin

dan dianggap menurunkan massa sel melalui induksi apoptosis sel beta.5 Sebagai

respon dari penurunan sensitivitas insulin, sel beta pankreas akan meningkatkan

sekresi insulin untuk memelihara homeostasis glukosa, namun ketika peningkatan

tersebut tidak cukup untuk mengkompensasi resistensi insulin maka akan

berakibat hiperglikemia.3

Gambar 2. Sel Beta Pankreas.6

Glukokortikoid meningkatkan resistensi insulin dengan keadaan

hiperinsulinisme di kemudian waktu. Pada subjek yang sehat, mekanisme ini

commit to user 10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dikompensasi dengan sekresi insulin pankreas, menyebabkan kadar glukosa

serum dalam batas normal.7 Namun pada populasi berisiko seperti individu

normoglikemik dengan penurunan sensitivitas insulin dan penurunan produksi

insulin, mekanisme ini hilang sehingga berakibat hiperglikemia.

Gambar 3. Mekanisme resistensi insulin yang dimediasi glukokortikoid.8

Glukokortikoid mempengaruhi metabolism melalui beberapa jaringan

tubuh yang berbeda. Glukokortikoid menyebabkan pelingkatan adiposity namun

juga meningkatkan lipolisis, sehingga asam lemak bebas meningkat pada sirkulasi

dan peningkatan resistensi insulin. Pada otot terjadi proteolisis, melepaskan asam

amino yang meningkatkan resistensi insulin. Defek sinyal post reseptor insulin

misalnya penurunan pada IRS-1 juga berkontribusi pada resistensi insulin yang

diperparah dengan peningatan glukoneogenesis dan hiperglikemia. Tulang adalah

tempat produksi osteocalcin yang diatur oleh resistensi insulin. Osteocalcin secara

normal akan membantu pergantian tulang serta menekan peningkatan

penumpukan lemak dan steatosis. Aksi ini ditekan oleh glukokortikoid. Efek

commit to user 11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

glukokortikoid pada metabolisme glukosa tampaknya merupakan hasil dari

gangguan pada berbagai jalur, termasuk disfungsi sel-β (sensitivitas terhadap

glukosa dan kemampuan melepas insulin) dan resistensi insulin pada jaringan

lain.9

4. Diagnosis

Diagnosis steroid hiperglikemia hampir sama dengan kriteria terkini dari

American Association of Diabetes, yaitu glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL,

glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL, HbA1c ≥ 6,5% atau glukosa darah ≥ 200

mg/dL 2 jam setelah pemberian glukosa.10 Berdasarkan patofisiologi dan pola dari

hiperglikemia akibat induksi glukokortikoid, diabetes akibat steroid terdeteksi

terutama pada keadaan postprandial. Pemeriksaan glukosa postprandial setelah

makan siang memberikan sensitivitas diagnostik tertinggi, terutama jika

glukokortikoid kerja intermediate diberikan dosis tunggal di pagi hari. Pada

pasien yang dirawat inap, monitoring gula darah harus dimulai dengan

pemeriksaan gula darah sejak awal terapi steroid. Sembilan puluh empat persen

kasus hiperglikemia muncul dalam 1-2 hari sejak dimulainya terapi steroid.3

C. Abnormalitas kadar gula darah akibat terapi L-Asparaginase

Enzim L-Asp telah diaplikasikan secara luas pada banyak protokol terapi,

termasuk LLA. Berbagai efek samping dari L-Asp telah dilaporkan, antara lain;

koagulopati, pankreatitis akut, reaksi alergi, hiperlipidemia, hiperammonemia,

hepatotoksisitas dan hiperglikemia Selama terapi LLA, kadar glukosa secara rutin

diperiksa dikarenakan seringnya kejadian hiperglikemia yang dicurigai sebagai

commit to user 12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

akbat dari terapi glukokortikoid dan L-Asp.11 Inhibisi insulin dan inhibisi dari

sintesis reseptor insulin yang menyebabkan defisiensi insulin dan sindrom

resistensi, adalah mekanisme dari efek hiperglikemia dari L-Asp. Hiperglikemia

lebih sering terjadi pada fase terapi ketika L-Asp dan kortikosteroid diberikan

bersamaan dan pada dosis yang relatif tinggi.12

L-Asp merupakan komponen esensial dari regimen LLA. Sebagian besar

pasien diberikan L-Asp asli dan hanya sedikit yang diberi pegylated L-Asp karena

harganya yang mahal. Kurang lebih seperlima pasien yang mendapat terapi L-Asp

mengalami kadar glukosa darah plasma yang abnormal. Sebagian besar pasien

yang mengalami hiperglikemia berasal dari kelompok usia yang lebih tinggi (usia

median 19,5 tahun), dibandingkan dengan yang mengalami hipoglikemia (usia

median 5,5 tahun). Hipoglikemia diartikan sebagai kadar gula darah <65 mg/dL.13

Suatu penelitian di India menyatakan bahwa kejadian hipoglikemia dan

hiperglikemia ditemukan pada pasien yang mendapat native L-Asp, sedangkan

pada pasien yang mendapat pegylated L-Asp hanya ditemukan kejadian

hiperglikemia. Hampir semua pasien mengalami perubahan kadar glukosa yang

bermakna setelah dosis ketiga dari L-Asp yang mungkin dikarenakan kerusakan

endokrin pankreas. Hipoglikemia segera kembali kepada keadaan normal pada

akhir siklus kemoterapi, namun hiperglikemia bertahan lebih lama pada sebagian

besar pasien hampir hingga akhir observasi. Dengan memperhatikan hubungan

antara waktu pemberian L-Asp dengan kadar glukosa darah plasma abnormal,

Panigrahi dkk menganggap bahwa pasien mengalami hipoglikemia akibat induksi

L-Asp.14,15

commit to user 13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Terdapat suatu laporan kasus tentang seorang anak berusia 5 tahun di

Jepang yang sedang menjalani kemoterapi fase induksi untuk LLA. Anak tersebut

mendapatkan L-Asp sebagai bagian dari regimen kemoterapinya. Selama

pemantauan didapatkan beberapa kejadian hipoglimia yang berulang (Gambar 4).

Gambar 4. Kadar serum glukosa puasa selama fase induksi dengan L-Asp dan

protokol III tanpa L-Asp (hari 1-16). Monitoring glukosa serum puasa

menunjukkan hipoglikemia selama periode pemberian L-Asp, ditunjukkan

sebagai zona diantara the dashed lines (----). PSL, Prednisolone; VCR, Vinkristin;

CPA, siklofosfamid; DNR, Daunorubicin; L-Asp, L-Asparaginase; IT, injeksi

intratekal; DEX, Dexamethasone; DOX, Doxorubicin; dan DAS, Dasatinib.16

Sekresi insulin yang tidak tepat, asam lemak bebas yang normal, dan

rendahnya badan keton selama hipoglikemia berat menandakan hiperinsulinisme

dan mengesankan bahwa hipoglikemia setelah pemberian L-Asp adalah akibat

dari hipersekresi insulin. Penggunaan secara paralel dengan glukokortikoid dapat

memberikan penyamaran terhadap efek hipoglikemik L-Asp. Ketika dilakukan

analisis regresi linear, L-Asp menunjukkan efek hipoglikemik yang bermakna

sebagaimana efek hiperglikemik dari glukokortikoid.16

commit to user 14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

D. Abnormalitas kadar gula darah pada kemoterapi fase induksi dengan terapi

glukokortikoid dan L-Asparaginase

Hiperglikemia adalah suatu efek samping yang umum terjadi pada terapi LLA.

Hal tersebut telah lama dianggap merupakan dampak dari terapi kortikosteroid

(Prednison atau Deksametason) dan L-Asp. Pengobatan ini biasa diberikan

bersamaan pada dosis tinggi selama kemoterapi inisial fase induksi. Sebagai

hasilnya, hiperglikemia akan sering terjadi pada fase ini, dengan resolusi setelah

steroid dan asparaginase dihetikan atau diturunkan dosisnya. Fenomena ini

disebut sebagai hiperglikemia sementara (HS). Beberapa studi telah

mendokumentasikan HS pada 4-15% pasien LLA anak.

Penelitian tersebut telah mengidentifikasi bahwa usia >10 tahun, obesitas,

riwayat penyakit keluarga dengan diabetes, dan sindroma Down sebagai faktor

risiko terbentuknya HS. HS secara spontan akan membaik pada hampir semua

pasien yang menyelesaikan kemoterapi fase induksi, 39-75% dari HS

membutuhkan terapi dengan insulin dan beberapa menjadi ketoasidosis diabetik.17

E. Penelitian tentang abnormalitas kadar gula darah serta faktor risikonya

pada LLA

Hiperglikemia selama fase induksi kemoterapi mempengaruhi prognosis LLA.

Hiperglikemia yang terjadi pada fase induksi berhubungan dengan prognosis yang

buruk pada anak dengan LLA. Pada kelompok hiperglikemia angka 5 tahun bebas

relap dan angka ketahanan hidup keseluruhan secara bermakna lebih rendah

dibandingkan dengan kelompok euglikemia. Kejadian hiperglikemia pada

kemoterapi fase induksi 23,9% dengan proporsi kadar gula darah >200 mg/dl

commit to user 15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sebanyak dua kali atau lebih sebanyak 6,29%, yang sejalan dengan penelitian

yang telah dilakukan sebelumnya yaitu 4-20%.18

Kombinasi dari glukokortikoid, L-Asp dan stress penyakit dapat

merupakan alasan utama dari hiperglikemia.19 Tipe dari glukokortikoid (Prednison

atau Deksametason) dapat mempengaruhi hiperglikemia masih kontroversial, dan

leukemia sendiri dapat mempengaruhi metabolisme glukosa, tampak dalam

peningkatan dari HbA1C dasar, resistensi insulin dan atau abnormalitas reseptor

insulin. Insidensi hiperglikemia pada pasien ALL berusia >10 tahun secara

bermakna lebih tinggi dibandingkan pada kelompok yang usianya lebih rendah.

Insidensi pada kelompok risiko tinggi secara bermakna lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok risiko biasa. Beberapa studi telah mengkonfirmasi bahwa usia

lebih dari 10 tahun ketika pertama kali didiagnosis adalah usia predileksi dari

hiperglikemia selama fase induksi dan juga merupakan faktor risiko terjadinya

ketoasidosis, insidensinya pada kelompok hiperglikemia lebih tinggi dan menjadi

indeks dari prognosis yang buruk. Pada penelitian yang dilakukan pada orang

dewasa, hiperglikemia dapat menjadi prediktor tingginya angka mortalitas, rerata

gula darah puasa > 112,5 mg/dl dapat secara berarti meningkatkan mortalitas dari

pasien kanker.20

Hiperglikemia dapat menurunkan imunitas pasien, meningkatkan risiko

infeksi (kadar gula darah pasien hiperglikemia adalah 2,1 hingga 2,5 kali lebih

tinggi dibandingkan kelompok euglikemia), penundaan kemoterapi, penurunan

klirens dari lesi minimal residual leukemik, yang mengakibatkan dampak pada

tatalaksana ALL. Penelitian-penelitian terdahulu telah menemukan bahwa insulin

commit to user 16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan kadar tinggi dan glukosa dengan kadar tinggi dapat mendorong

tumbuhnya berbagai sel tumor (pankreas, payudara, karsinoma hepatoselular, sel

primer dan turunannya pada ALL) melalui mekanisme independen dan sinergis,

ketika insulin dapat menurunkan apoptosis sel tumor dan menginduksi resistensi

obat.21

Tiga mekanisme utama telah dipostulasikan untuk menjelaskan

kemungkinan akibat dari DM tipe 2 pada kanker; hiperglikemia, aktivasi dari jalur

sinyal insulin dan aktivasi dari jalur sinyal IGF. Tingginya kadar glukosa

membantu pertumbuhan sel kanker namun efeknya bergantung pada peningkatan

level insulin. Tingginya kadar insulin dalam sirkulasi dan hiperglikemia selama

kemoterapi dapat mengganggu efikasi dari kemoterapi.22

Hiperglikemia dan faktor komorbid diabetes dapat meningkatkan risiko

terjadinya neutropenia akibat kemoterapi. Yaitu suatu toksisitas hematologis yang

disebabkan oleh efek sitotoksik dari kemoterapi yang dapat berakibat penekanan

produksi dari netrofil. Suatu studi meta analisis menunjukkan bahwa

hiperglikemia pada pasien dengan keganasan meningkatkan risiko terjadinya

neutropenia akibat kemoterapi yang memperburuk prognosis pasien.23 Faktor

risiko terjadinya hiperglikemia antara lain usia lebih dari 10 tahun, kadar gula

darah puasa >100 mg/dL, obesitas.24 Riwayat keluarga dengan diabetes juga

merupakan faktor risiko.25

commit to user 17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

II. Kerangka Teori

Gambar 5. Bagan Kerangka Teori Penelitian.

18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

III. Kerangka Konsep

Usia
Status Nutrisi
Stratifikasi risiko LLA

Gambar 6. Bagan Kerangka Konsep Penelitian.

Keterangan gambar :

= Variabel perancu

= Variabel bebas

= Variabel tergantung

commit to user 19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

IV. Hipotesis

Abnormalitas kadar glukosa darah plasma pada pasien LLA dalam kemoterapi fase

induksi mempengaruhi kejadian remisi pada hasil pemeriksaan aspirasi sumsum tulang

evaluasi.

commit to user 20

Anda mungkin juga menyukai