Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH MANAJEMEN PERUBAHAN

TEORI MANAJEMEN PERUBAHAN

NAMA- NAMA ANGGOTA


Dina Sephiani
(21522013)
Muhammad Erlangga Saputra
(21522087)
Poundra Ghifari
(21522093)
Tiara Wulandari
(21522105)

MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat-nya kami telah
menyelesaikan tugas ini dan terimaksih kepada bapak dosen sehingga kami dapat menambah
wawasan, pengetahuan tentang Manajemen Perubahan. Oleh karena itu dengan segala
keterbatasan mohon maaf apabila banyak kekurangan dalam makalah ini , kami menyadari
bahwa makalah ini belum sempurna, saran serta kritik yang membangun dapat menjadi
pembelajaran agar makalah ini menjadi lebih baik.

Penyusun,
PENDAHULUAN

Dalam era yang terus berubah dengan cepat seperti saat ini, kemampuan untuk
mengelola dan menavigasi perubahan menjadi sangat penting bagi organisasi untuk tetap
relevan dan berdaya saing. Manajemen perubahan adalah disiplin yang merangkum berbagai
teori, strategi, dan praktik untuk memfasilitasi transisi yang sukses dari keadaan yang ada
menuju kondisi yang diinginkan.
Teori manajemen perubahan memberikan kerangka kerja yang diperlukan untuk
memahami dinamika perubahan dalam konteks organisasi. Ini tidak hanya melibatkan
pemahaman tentang alasan di balik perubahan, tetapi juga proses mengelola resistensi,
menginspirasi partisipasi, dan menciptakan budaya yang mendukung perubahan.
Dalam pendahuluan ini, kita akan menjelajahi beberapa teori manajemen perubahan
yang penting, serta mengidentifikasi tantangan dan peluang yang terkait dengan mengelola
perubahan dalam konteks organisasi modern. Dengan pemahaman yang kuat tentang teori-teori
ini, pemimpin organisasi dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk menghadapi
tantangan perubahan dan memanfaatkan peluang untuk pertumbuhan dan inovasi..
PEMBAHASAN

A. Konsep Teori Manajemen Perubahan


Sehubungan dengan teori manajemen, Cooper dan Schindler (2003) mengemukakan bahwa
teori adalah seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang tersusun secara sistematis
sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Pendapat lain
dikemukakan oleh Hoy dan Iniskel (2001), bahwa (1) teori itu berkenaan dengan konsep,
asumsi, dan generalisasi yang logis, (2) teori berfungsi untuk mengungkapkan, menjelaskan
dan memprediksi perilaku yang memiliki keteraturan, (3) teori itu sebagai stimulan dan
berbagai pandangan untuk mengembangkan pengetahuan. Untuk itu, dalam mengemukakan
suatu teori haruslah memakai pendekatan ilmiah, yaitu dengan menggunakan metode ilmiah.
Metode ilmiah tersebut adalah sebagai berikut.
• Identifikasi pertanyaan, penetapan variabel-variabel yang relevan. Dalam suatu
kesempatan ini dapat digambarkan dengan hubungan harga mobil dengan kuantitas
mobil yang dibeli konsumen. Dalam kasus tersebut terdapat variabel-variabel harga dan
kuantitas. Berarti dalam hubungan harga mobil dengan kuantitas mobil yang dibeli
konsumen, variabelnya adalah harga dan kuantitas.

• Asumsi. Dalam mengemukakan suatu teori haruslah selalu ada asumsi. Asumsi yang
terkenal dalam ilmu ekonomi adalah hal lain dianggap tetap/konstan (ceteris paribus).
Jadi, untuk mengetahui hubungan harga mobil dengan kuantitas yang dibeli konsumen,
haruslah diasumsikan hal-hal lain tetap/konstan agar pengaruh hal-hal lain tersebut bisa
diabaikan.

• Formulasi hipotesa. Hipotesa adalah teori sementara mengenai hubungan variabel yang
telah ditentukan. Misalnya, dalam hal hubungan harga mobil dengan kuantitas yang
dibeli konsumen mungkin saja hipotesisnya adalah jika harga mobil naik, maka
kuantitas mobil yang terjual akan turun.
Dari uraian tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita tidak mengerti peranan dan
kegunaan teori padahal dalam hampir setiap kegiatan kita sebenarnya menerapkan suatu teori
tertentu. Peranan teori yang jika kita lihat sangat sepele, padahal memegang peranan yang
penting. Demikian juga dalam disiplin ilmu manajemen, teori merupakan landasan yang
memungkinkan suatu hubungan dapat dijelaskan dengan benar.

B. Teori Force-Kurt Lewin


Dalam kajian secara historis, Kurt Lewin (1951) disebut sebagai Bapak Manajemen Perubahan.
Karena merupakan orang pertama yang secara khusus melakukan studi tentang manajemen
perubahan secara ilmiah dalam ilmu sosial (action research/field study). Selain sering disebut
sebagai model force-field, konsepnya sering pula diklasifikasikan sebagai power-based model
karena mengedepankan kekuatan-kekuatan penekan.
Perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap organisasi, individu, atau
kelompok. Jadi, ia memfokuskan pada pertanyaan "mengapa", yaitu mengapa individu-
individu, kelompok, atau organisasi berubah. Dari situ, ia mencari tahu bagaimana perubahan
dapat dikelola dan menghasilkan sesuatu. Ia berkesimpulan kekuatan tekanan (driving forces)
akan berhadapan dengan keengganan (resistences) untuk berubah. Perubahan itu sendiri dapat
terjadi dengan memperkuat "driving forces" itu atau melemahkan "resistence to change".
Dengan demikian, sebelum dan setelah dilakukan perubahan ada proses yang harus
dilakukan, dan semua ini ditentukan oleh seberapa besar vektor tekanan dari:
• penyadaran (unfreezing), yaitu suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya
kebutuhan untuk berubah;
• tindakan perubahan (changing), langkah berupa tindakan, baik memperkuat driving
forces maupun memperlemah resistences;
• keseimbangan (refreezing), membawa kembali organisasi kepada keseimbanggan
yang baru (a new dynamic equilibrium).

C. Teori Perubahan Tyagi


Dalam teori ini, Tyagi memandang bahwa model perubahan Kurt Lewin tersebut di atas
belum cukup lengkap, karena tidak menyangkut beberapa isu penting. Proses perubahan tidak
hanya bersangkutan dengan perilaku sumber daya manusia. Pendekatan sistem dalam
perubahan akan memberikan gambaran menyeluruh dalam perubahan organisasi.
(1.) Kekuatan untuk perubahan, (2.) Mengenal dan mendefinisikan masalah, (3.) Proses
penyelesaian masalah, (4.) Mengimplementasikan perubahan, (5.) Mengukur. mengevaluasi
dan mengkontrol hasilnya.
Selama proses pelaksanaan perubahan diperlukan adanya manajemen transisi atau
manajemen transisi atau manajemen perubahan, sedangkan sebagai pelaksana proses
perubahan adalah agen perubahan

D. Teorti Motivasi
Teori motivasi dikemukakan oleh Beckhard dan Harris (1987), in merumuskan teori-teori
motivasi untuk berubah. Mereka menyimpulkan perubahan akan terjadi kalau ada sejumlah
syarat, berikut.
• Manfaat - biaya. Manfaat yang diperoleh lebih besar daripada biaya perubahan.
• Ketidakpuasan. Adanya ketidakpuasan yang menonjol terhadap keadaan sekarang
• Persepsi hari esok. Manusia dalam suatu organisasi melihat hari esok yang
dipersepsikan lebih baik.
• Cara yang Praktis Ada cara praktis yang dapat ditempuh untuk keluar dari situasi
sekarang
Dari uraian tersebut, dirumuskan secara matematika sederhana, persamannya dapar ditulis
sebagai berikut.
ABC>D
Di mana A - Ketidakpuasan; B Persepsi Hari Esok; C = Ada Cara yang Praktis, dan D Biaya
untuk Melakukan Perubahan.
Logika ini menunjukkan pentingnya efisiensi dalam perubahan agar manfaat yang diperoleh
cukup memotivasi perubahan dan perlunya upaya-upaya mendiskreditkan keadaan sekarang
sebagai keadaan yang "buruk" sehingga kita merasa perlu untuk segera bergerak. Hanya saja,
kalau tidak ada jalan yang praktis, maka kita akan gagal menyelesaikan perubahan itu dan
efeknya akan sangat menekan karena orang-orang sudah sangat berharap akan datangnya hari
esok yang lebih baik.
Dalam teori ini dikemukakan oleh Kasali (2006: 100-191) pertanyaan yang kerap muncul
adalah mana yang lebih penting: menjanjikan hari esok yang lebih baik (mengajak audience
bermimpi tentang besok) atau mendiskreditkan situasi hari ini? Beckhard dan Harris (1987)
menganjurkan agar sele iknya kita fokus ke depan daripada berbicara tentang masa lalu yang
telah memberikan dampak negatif pada hari ini. Hal ini disebabkan oleh teman-temuan yang
menyebutkan bahwa fokus terhadap hari esok.
• Memberikan semangat (optimisme) dan membuang perasaan-perasaan pesimis.
• Mendorong orang-orang menentukan perannya dalam perubahan dan menciptakan
kepatuhan.
• Mengurangi ketidakpuasan dan perasaan-perasaan tidak nyaman.
• Memberikan fokus perhatian pada upaya-upaya mengatasi masalah ketimbang pada
symptom-symptom untuk membuat kegiatan dan organisasi bekerja secara efektif
Secara teoretik dan dalam praktik, teori ini dianggap lebih sempurna daripada teori Kurt &
Lewin dan banyak mempengaruhi para penulis terkenal, disadari adanya kelemahan-
kelemahan.

E. Teori Perubahan Kreiner dan Kinicki


Teori Perubahan Kreiner dan Kinicki memakai pendekatan dengan menawarkan kerangka
kerja perubahan organisasional, yang terdiri atas 3 (tiga) komponen, sebagai berikut:
• Inputs. Merupakan masukan dan sebagai pendorong bagi terjadinya proses perubahan.
Semua perubahan organisasional harus konsisten dengan visi, misi, dan rencana
strategis. Di dalamnya terkandung unsur masukan internal yang bersumber dari dalam
organisasi dan masukan eksternal yang bersumber dari luar organisasi dan keduanya
memiliki kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan. Kondisimasukan ini akan
sangat mempengaruhi jalannya proses perubahan.

• Target element of change. Merupakan komponen organisasi yang perlu diubah atau
sasaran dari perubahan. Target element of change mencerminkan elemen didalam
organisasi yang memerlukan perubahan. Sasaran perubahan diarahkan pada
pengaturan organisasi, penetapan tujuan, faktor sosial, metode, desain kerja,
teknologi, dan aspek manusia.
• Outputs. Merupakan hasil akhir yang diinginkan dari suatu perubahan. Hasil akhir ini
harus konsisten dengan rencana strategik organisasi. Hasil perubahan dapat diukur
pada beberapa tingkatan tujuan. Dengan demikian, perubahan harus diarahkan pada
semua tingkatan tujuan, yaitu baik tingkat organisasional, tingkat kelompok, maupun
tingkat individual.

Model sistem perubahan dari Kreitner dan Kinicki mencerminkan keterkaitan antara input,
proses, dan output, dimana satu sama lain tidak dapat dipisahkan sehingga menjadi satu
kesatuan yang utuh.

F. Teori Proses Perubahan Manajerial

Dalam teori ini berbeda dengan teori yang dikembangkan oleh para "intervensionist" yang
menggunakan pendekatan eksperimental, teori ini dikembangkan dalam managerial school of
thought. Beer (1990) lewat studinya menemukan pentingnya melibatkan sedemikian banyak
orang dalam perubahan. Itulah tugas utama seorang general manager yang intinya adalah
bagaimana memperoleh support, konsensus, dan komitmen. Dalam managerial school of
thought, peneliti juga menggunakan body of knowledge clari ilmu-ilmu lain, khususnya
psikologi dan sosiologi. Itulah sebabnya teori ini mengadopsi pula pentingnya upaya-upaya
mengurangi stres dalam perubahan dan desain pekerjaan yang lebih memuaskan.
Menurut teori ini, untuk menghasilkan perubahan secara manajerial perlu dilakukan hal-hal
sebagai berikut (Kasali, 2005: 102).

• Memobilisasi energi para stakeholders untuk mendukung perubahan. Caranya adalah


dengan melibatkan mereka dalam menganalisis dan mendiagnosis masalah
masalahyang menghambat daya saing organisasi.
• Mengembangkan visi serta strategi untuk mengelola dan menghasilkan daya saing
positil
• Mengupayakan konsensus terhadap visi baru sehingga visi tersebut diterima sebagai
kebenaran dan dikerjakan tanpa pertentangan.
• Memperluas revitalisasi pada seluruh departemen dalam organisasi dan jangan sekali-
sekali mengesankan proyek ini sebagai "pesanan" dari atas. Namun demikian, jaga
konsistensinya pada tingk organisasi.
• Mengkonsolidasi perubahan melalui kebijakan-kebijakan strategi yang ditormali-
sasikan, struktur, sistem, dan sebagainya.
• Memantau (monitor) terus kegiatan ini. Jangan melepaskannya begitu saja. Selalu
memberikan respons terhadap umpan balik dan masalah-masalah yang direncanakan
akan muncul.
Selanjutnya, dikemukakan oleh Kasali beberapa studi kasus terhadap model ini menunjukkan
hahwa kendati model ini sangat pragmatis dan logis, dalam praktiknya akan lebih banyak
pendekatan yang cenderung otoriter daripada partisipatif. Akibatnya, karyawan merasa
berjalan dalam kegelapan, Dalam transformasi nilai-nilai (budaya korporat), pendekatan yang
cenderung formal dan hierarkis dapat membahayakan kelangsungannya dan dapat memukul
balik perubahan.

G. Teori Organization Development dalam Perubahan Organisasi

Dalam praktik, teori yang cukup banyak dipakai oleh para konsultan dan akademisi adalah teori
yang cenderung "Interventionis", dalam hal ini pendekatan OD (Organization Development),
Joseph E. McCann mengemukakan yang menyentuh dua kategori yang saling berinteraksi,
yaitu manusia dan teknologi. Manusia adalah komponen yang melakukan proses organisasi,
seperti komunikasi, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Sedangkan teknologi
mempengaruhi struktur-struktur organisasi, seperti desain pekerjaan (job design), task method,
dan desain organisasi.
Dikemukan oleh Kasali (2006: 103-104) bahwa interaksi teknologi dengan manusia sudah
lama dirasakan dan sangat berpengaruh terhadap proses penuaan suatu organisasi. Sewaktu
revolusi industri terjadi, perusahaan-perusahaan yang berbasiskan kerajinan tangan (craft)
mengalami penurunan begitu cepat. Revolusi teknologi industri, ketika diterapkan pada awal
abad ke-19, juga berpengaruh terhadap SDM perempuan dan anak-anak yang dikeluarkan dari
dunia kerja dengan adanya konsep upah ininimum.
Belakangan ini, gelombang besar teknologi informasi, komputerisasi, dan teknologi
transportasi kembali mengubah peta persaingan. Muncul produk-produk dan pesaing baru yang
semula tak diperkirakan. Revolusi ini turut berpengaruh pada suplai sumber daya manusia yang
dapat datang dari mana-mana dan mewarnai perusahaan- perusahaan domestik.
Menurut teori ini, intervensi pada kedua kategori ini menghasilkan pemenuhan kebutuhan
manusia dan penyelesaian tugas. Interaksi tersebut terjadi pada pendekatan tekno-struktur dan
manusia-proses. Melalui studi ini, kedua peneliti berkesimpulan bahwa pendekatan (intervensi)
pada tekno-struktur memberikan dampak yang lebih jelas (terlihat) ketimbang damain manusia
dengan proses yang cenderung lebih abstrak.

H. Teori Perubahan Alfa Beta dan Gamma


Dalam berbagai literatur menyebutkan bahwa teori Perubahan alfa beta dan gamma merupakan
perkembangan dari pendekatan organization development yang yang dikemukakan oleh
Golembiewski, Billingsley dan Yeager (1976). Salah satu bentuk intervensi yang dilakukan
dalam organization development aclalah team-building yang mempunyai tujuan untuk
merekatkan nilai-nilai sebuah organisasi, khususnya trust dan commibnent. Menurut Kasali
(2005: 104), mereka melakukan pengukuran "sebelum" (before) dan "setelah" (after) treatment
dilakukan, yaitu aktivitas team-building pada suatu kelompok yang akan diubah sikap-
sikapnya. Perubahan alfa adalah perubahan kepercayaan (trust) yang terjadi antara suatu
dimensi waktu yang stabil sebelum dan setelah team-building dilakukan.
Dalam studi ditemukan, tidak semua treatment itu menghasilkan perbaikan sikap terhadap
kelompok, bahkan banyak treatment yang berdampak negatif setelah treatment cdijalankan.
Dalam teori ini, yang menjadi perhatian setelah melewati dimensi waktu tertentu, dan setelah
dilakukan rekalibrasi, cara para anggota kelompok melihat "trut" mengalami pergeseran. Inilah
yang disebut dengan perubahan beta, yaitu perubahan yang terjadi dalam cara menilai trust
Selanjutnya, teori perubahan ini disebut perubahan gamma, yaitu perubahan yang terjadi
karena manusia atau kelompok melihat adanya faktor atau variabel lain yang lebih penting dari
yang sekedar diteliti. Mereka mungkin melihat trust bukanlah variabel yang penting bagi
pelaksanaan team-building Mungkin saja deskripsi pekerjaan dan peran yang menjadi lebih
jelas setelah treatment tersebut dilaksanakan sebagai hal yang lebih penting bagi mereka dan
peran yang menjadi lebih jelas setelah treatment tersebut dilaksanakan sebagai hal yang lebih
penting bagi mereka.

I. Teori Kontijensi Tannembaum dan Schidt


Dalam kajian manajemen perubahan dari Tannembaum dan Schidt (1973) mengemukakan
teori yang disebut teori kontijensi. Keberhasilan menerapkan manajemen perubahan antara lain
sangat ditentukan oleh gaya (style) yang diadopsi oleh manajemen. Teori ini berpendapat,
tingkat keberhasilan pengambilan keputusan sangat ditentukan oleh sejumlah gaya yang dianut
dalam mengelola perubahan. Gaya/ cara yang dimaksud lebih menyangkut pengambilan
keputusan dan implementasi.
Dalam gaya kepemimpinan partisipatif, eksekutif melibatkan bawahan-bawahannya dalam
berbagai hal, yaitu pengumpulan data, mendiagnosis masalah, mencapai persetujuan, dan
sebagainya. Sebaliknya, dalam kepemimpinan lainnya yang lebih otoriter, kita bisa melakukan
banyak hal sendirian dan membiarkan karyawan/bawahan berada dalam kegelapan. Vroom dan
Jago (1988), Kasali (2005) menemukan bahwa tingkat keberhasilan masing-masing gaya
kepemimpinan tersebut berkaitan erat dengan sejumlah contingencies (kemungkinan-
kemungkinan) berikut.
• Seberapa penting komitmen karyawan dibutuhkan dalam pengambilan keputusan?
• Apakah karyawan mau terlibat dalam tujuan perubahan?
• Apakah manajer memiliki informasi yang cukup untuk mengambil keputusan yang
baik?
• Apakah karyawan cukup punya kompetensi untuk mengambil keputusan?
• Jika manajer-manajer membuat keputusan, apakah karyawan mau menurutinya?
• Berapa banyak waktu yang tersedia untuk mengambil keputusan?
Menurut teori ini, tidak selalu komitmen dan partisipasi bawahan diperlukan. Semua ini
memerlukan analisis dan diagnosis mengenai kesiapan kedua belah pihak, yaitu atasan dan
bawahan, baik sikap mental, motivasi, maupun kompetensinya.
J. Teori Perubahan Conner
Dinamika perubahan manusia mempunyai struktur tertentu, dengan resilience (daya tahan)
sebagai pola sentral dan didukung oleh 7 (tujuh) pola pendukung, yaitu: the nature of change
(sifat perubahan), roles of change (peran perubahan), resisting change (menolak perubahan),
commiting to change (terikat pada perubahan), how culture influences change (bagaimana
budaya mempengaruhi perubahan), dan pentingnya teamwork yang sinergis (Wibowo, 2006:
84).
Struktur perubahan Conner (dalam Wibowo, 2006) seperti Gambar pada 3.8 dapat dijelaskan
sebagai berikut.
• Daya tahan
Dengan resilience atau daya tahan dan ketahanan, kita dapat mempengaruhi situasi
sekeliling kita, mempersiapkan diri dan orang lain untuk dapat menerima gangguan
dengan lebih baik dan dengan terampil merencanakan dan mengimplementasikan masa
depan yang diinginkan. Orang yang bersifat ulet atau fleksibel clapat menghadapi
tantangan tidak kurang dari orang lain ketika berhadapan dengan krisis, tetapi mereka
mencapai keseimbanggan lebih cepat, menjaga tingkat kualitas dan produktivitas lebih
tinggi dalam bekerja, memelihara kesehatan fisik dan emosional, dan mencapai lebih
banyak tujuan daripada orang yang mengalami goncangan masa depan. Orang dan
organisasi tidak kurang rentan dari orang lain pada ketegangan perubahan. Hal tersebut
tidak karena mereka mencegah pengaruh gangguan terhadap perubahan, tetapi
pengaruhnya lebih bermanfaat dan kurang merusak. Mereka mempunyai kapasitas
lebih besar untuk kuat kembali setelah guncangan awal.

• Sifat perubahan
Sifat perubahan adalah pola pendukung pertama. Kita menggunakan sebagian besar
hidup kita untuk menyesuaikan kapabilitas terhadap tantangan yang dihadapi.
Capability atau kapabilitas menunjukkan ability atau kemampuan dan keinginan untuk
mempergunakannya. Tantangan yang kita hadapi dalam kehidupan terdiri atas bahaya
yang kita lihat dan peluang yang kita akui. Apabila tantangan yang kita hadapi sesuai
dengan kapabilitas kita, kita biasanya dapat memperkirakan hasil yang akan terjadi.
Apabila tantangannya lebih besar daripada kapabilitas kita, keseimbanggan terganggu
dan biasanya kita tidak dapat secara akurat mengantisipasi apa yang akan terjadi. Satu
hal yang mungkin paling menarik tentang mengamati reaksi orang terhadap perubahan
adalah bahwa kejadian yang sama dapat dipersepsikan sebagai perubahan negatif olch
satu orang dan sebagai perubahan positif oleh lainnya. Pengamatan Conner
menunjukkan bahwa persepsi terhadap perubahan sebagai positif atau negatif
tergantung tidak hanya oleh manfaat aktual perubahan, tetapi juga tingkat pengaruh
yang mereka percaya dan mereka pergunakan dalam situasi tersebut.

• Proses perubahan
Proses perubahan menggambarkan mekanisme transisi manusia. Cara kita
menghubungkan perubahan dalam kehidupan berkaitan dengan kenyataan bahwa
sebagian dari kita sukses dan sebagian lain gagal melanjutkan perubahan.
Mereka yang melihat perubahan sebagai suatu yang terjadi atau tidak terjadi terlihat terutama
mudah terserang guncangan masa depan. Sebaliknya, mereka yang mempunyai sedikit masalah
selama perubahan tampak dilindungi oleh kenyataan bahwa mereka mendekati sebagai proses
yang sedang berjalan. Pada dasarnya, suatu proses perubahan adalah mengubah dari keadaan
sekarang (current state) menuju pada keadaan yang diharapkan (desire state) dengan melalui
masa transisi perubahan (transition state).
berkelanjutan yang telah ada dan tidak terbatas sampai ada kekuatan yang mengganggu. The
transition state merupakan fase transisi dimana kita tidak terikat pada status quo. Selama
periode ini, kita mengembangkan sikap atau perilaku baru yang membawa pada keadaan
desired state atau tahapan yang diinginkan. Untuk mengusahakan apa yang diinginkan, kita
harus melepaskan fase yang tidak pasti dan tidak nyaman dari transition state.

K. Teori Perubahan Victor Tan


Victor Tan mengemukakan bahwa untuk mendapatkan keberhasilan dalam proses perubahan,
pemimpin harus dapat memenangkan pikiran dan hati orang dalam organisasi. Victor Tan
mengintrodusir 4 (empat) tahapan yang harus dilalui dalam proses perubahan.
Empat tahapan dari teori Perubahan Victor Tan dikemukakan oleh Wibowo (2006: 87-89)
sebagai berikut.
• Membuka Pikiran
Sering kali, pemimpin berusaha mengubah pikiran orang lain dengan cara memaksa.
Mereka berusaha agar orang berubah dengan memberi perintah dan bahkan dengan
membentaknya. Fokusnya adalah agar mereka mau mendengarkan apa yang dikatakan.
Tindakan demikian tidak akan memberikan hasil yang diharapkan. Akan tetapi, orang
hanya dapat mendengarkan apa yang dikatakan, tetapi tidak menyimak karena
pikirannya tetap tertutup. Tugas penting pemimpin pertama kali adalah membuka
pikiran orang sebelum menawarkan mereka berita perubahan. Untuk membuka pikiran
orang, pemimpin harus terlebih dahulu memecahkan tingkat perasaan puas mereka
dengan mengomunikasikan pesan tanpa memaksa untuk perubahan. Mereka dapat
melakukan dengan benchmarking dan membandingkan tingkat kinerja organisasi
mereka dengan pesaingnya. Pemimpin dapat menjelaskan kelemahan organisasi dan
tantangan yang dihadapi. Pemimpin dapat mengurangi tingkat kepuasan diri individu
dengan membawa mereka melihat keluar daripada ke dalam.

• Memenangkan hati
Apabila membuka pikiran adalah berkenaan dengan alasan, maka memenangkan hati
berkaitan dengan emosi. Kebutuhan bawahan untuk dihargai merupakan motivasi yang
kuat untuk perubahan. Cara menghargai orang adalah dengan mengenal arti pentingnya
kepedulian mereka atas lingkungan sekitarnya. Dengan mengkomunikasikan lebih dini
tentang alasan dan tujuan perubahan kepada orang, akan lebih dapat memenangkan hati
daripada dikomunikasikan setelah dilaksanakan. Suatu proses menciptakan kepedulian
akan perubahan harus dimulai dari menekankan pentingnya kedudukan orang untuk
tahu dan memahami mengapa perubahan dilakukan. Setelah melakukan itu, pemimpin
kemudian harus menjelaskan manfaat perubahan kepada orangnya. Menjual perubahan
adalah tentang membuat orang tertarik terhadap keinginan berubah. Orang yang tidak
membeli perubahan adalah mereka yang menolak atau resisten terhadap perubahan.

• Memungkinkan tindakan
Ada empat alasan mengapa orang tidak mau berubah, yaitu: (1) karena mereka tidak
tahu apa yang harus dilakukan, (2) mereka tidak tahu bagaimana cara melakukannya,
(3) mereka tidak tahu mengapa mereka harus melakukannya, (4) terdapat hambatan
yang berada di luar kontrol mereka. Peran pemimpin adalah mengatasi setiap alasan
agar memungkinkan orang membuat perubahan terjadi. Peran pemimpin adalah
memastikan bahwa komunikasi berjalan efektif, sehingga bawahan lebih memahami
arti pentingnya perubahan bagi organisasi dan dirinya. Untuk membantu staf yang tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan, pemimpin perlu mengkomunikasikan secara
efektif apa yang perlu diubah. Demikian pula tentang rasionalitas, tujuan dan manfaat
perubahan harus dikomunikasikan secara jelas dan tegas.

• Menghargai prestasi
Apabila orang tidak dikenal dan dihargai atas prestasinya oleh organisasinya sendiri,
mereka akan pergi dan bergabung dengan organisasi lain yang mengenal kemampuan
mereka dan menghargai mereka. Menghargai orang dan mengenal kontribusinya akan
memotivasi keinginan orang untuk berubah. Mereka juga lebih ingin berusaha
mencapai sesuatu bagi dirinya maupun organisasi. Pemimpin yang memperlihatkan
orang dan menunjukan kepedulian atas orang lain akan mendapatkan respek dan
komitmen. Orang tidak peduli berapa besar pemimpin tahu sampai mereka tahu
seberapa besar pemimpin peduli. Untuk memotivasi orang terhadap perubahan, adalah
penting sekali bahwa pemimpin menghargai orang secara adil.

L. Teori Kerja Sama


Perubahan biasanya tidak bisa berjalan tanpa adanya kerja sama dari semua pihak. Teori kerja
sama menjelaskan mengapa manusia mau bekerja sama dan bagaimana memperoleh kerja
sama. Ada beberapa penjelasan mengapa manusia mau melakukan kerja sama (Williams,
Woodward, & Dobson, 2002), Kasali (2005: 106-107), yaitu sebagai berikut.
• Motivasi memperoleh rewards atau khawatir akan mendapatkan punishment. Misalnya,
berharap akan memperoleh imbalan keuangan, kepuasan bekerja, pekerjaan yang lebih
menyenangkan, atau khawatir sebaliknya.
• Motivasi kesetiaan terhadap profesi, pekerjaan, atau perusahaan.
• Motivasi moral, karena dengan bekerja sama dapat diterima secara moral.
• Motivasi menjalankan keahlian.
• Motivasi karena sesuai dengan sikap hidup.
• Motivasi kepatuhan terhadap kekuasaan.
KESIMPULAN

Kesimpulan dari berbagai teori manajemen perubahan yang telah dibahas adalah pemahaman
yang komprehensif tentang kompleksitas dan dinamika perubahan organisasi. Dari pemahaman
ini, beberapa temuan utama dapat diidentifikasi:
• 1Pentingnya Persiapan dan Pengelolaan Perubahan: Teori seperti Model Lewin
menekankan perlunya tahap "Unfreeze" untuk mempersiapkan organisasi sebelum
perubahan terjadi. Persiapan yang baik dapat membantu mengurangi resistensi dan
meningkatkan kesuksesan perubahan.
• Pentingnya Faktor Manusia: Teori seperti teori transisi William Bridges dan teori
motivasi menyoroti pentingnya memahami aspek psikologis dan motivasi individu
dalam menghadapi perubahan. Memperhatikan kebutuhan dan kekhawatiran karyawan
dapat membantu memfasilitasi transisi yang lebih lancar.
• Perubahan sebagai Proses yang Kompleks: Berbagai teori menekankan bahwa
perubahan organisasi adalah proses yang kompleks dan multidimensional. Dari
pengelolaan budaya organisasi (teori Schein) hingga faktor kontingensi (teori
Tannembaum dan Schmidt), pemimpin perlu mengambil pendekatan yang holistik dan
adaptif.
• Peran Penting Kepemimpinan: Teori seperti teori perubahan Conner dan teori kerja
sama menyoroti peran penting pemimpin dalam mengelola dan memfasilitasi
perubahan. Kepemimpinan yang kuat dan mendukung dapat membawa organisasi
melalui transisi dengan sukses.
• Kebutuhan akan Fleksibilitas dan Responsivitas: Teori perubahan seperti teori Alfa
Beta dan Gamma menyoroti pentingnya fleksibilitas dan responsivitas organisasi
terhadap perubahan di lingkungan eksternal dan internal.
Dengan memahami dan menerapkan berbagai teori manajemen perubahan ini, organisasi dapat
mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk menghadapi tantangan perubahan,
meningkatkan adaptabilitas, dan mempercepat pencapaian tujuan organisasi. Selain itu, penting
bagi pemimpin dan praktisi manajemen perubahan untuk terus belajar dan berkembang,
mengintegrasikan pemahaman teoritis dengan praktik terbaik, dan beradaptasi dengan
dinamika yang terus berubah dalam lingkungan organisasi.

Anda mungkin juga menyukai