NIM : 2306435
1.IDENTITAS FILM
2.SINOPSIS
Ada beberapa hal yang menjadi topik film ini. Yaitu, pendidikan moral, refleksi (penyadaran),
media sosial, dan netizen.Kisah ini berawal dari Bu Prani, guru bimbingan konseling (BK) di
salah satu SMA di Jogjakarta. Bu Prani digambarkan dengan sosok guru disiplin dan tegas pada
muridnya di sekolah.Ketika muridnya melakukan kesalahan, Bu Prani selalu menerapkan pola
refleksi (penyebutan kata ganti hukuman). Tujuan refleksi ini adalah memberikan penyadaran
kepada murid untuk memahami dampak buruk atau akibat dari kesalahan yang telah dilakukan
sehingga berefek jera.Refleksi yang diterapkan Bu Prani kepada anak didik saat melakukan
kesalahan di sekolah penuh pesan moral. Seorang murid mampu menjalaninya dengan penuh
kesadaran, bukan paksaan, atau beban hukuman.Suatu hari, atas rekomendasi Gora, murid Bu
Prani yang sudah lulus dan jadi kreator konten di salah satu media online, Bu Prani membeli
putu di pasar untuk suaminya yang mengalami depresi. Putu itu sangat legendaris. Bahkan,
pembeli rela antre berjam-jam untuk menikmati makanan tradisional yang legit tersebut.Di
tengah antrean panjang itu, Bu Prani terlibat perselisihan dengan pembeli lain hingga menyulut
amarah. Niat Bu Prani ingin mengingatkan agar membudayakan antre. Namun, pembeli tersebut
tidak terima hingga terjadi adu mulut.Salah sorang pembeli yang lain merekam video kejadian
itu, lalu mengunggahnya di media sosial. video tersebut pun viral dan timbul beragam komentar
negatif. Bahkan, Bu Prani mendapat hujatan dari netizen atas video yang dinilai tidak
mencerminkan budi pekerti sebagai seorang guru.Kenyataan memang tidak selalu berpihak pada
kebenaran. Terkadang kebenaran terbungkam. Bahkan termanipulasi dengan anggapan-anggapan
miring yang dinilai mewakili suatu kebenaran.Namun, sebenarnya yang bergerak adalah
subjektivitas. Semua bergantung pada apa yang kita lihat dan kita alami serta dari sudut pandang
mana kita melihat dan menilainya.Kisah kesalahpahaman Bu Prani dengan salah seorang
pembeli putu bisa mengubah kehidupan seseorang dalam sekejap. Keluarga Bu Prani yang
awalnya baik-baik saja menjadi terpuruk karena perundungan dan hujatan netizen di media
sosial.Selain berdampak terhadap psikologis keluarga Bu Prani, perundungan netizen di media
sosial itu berpengaruh terhadap ekonomi keduanya. Baik keluarga Bu Prani maupun si penjual
putu legendaris tersebut. Putu yang laris manis itu tutup. Salah satu asumsi penyebabnya adalah
konflik Bu Prani yang viral di media sosial tersebut.Di zaman yang serba daring ini, netizen
harus mampu menyaring dan mempergunakan media sosial dengan bijak. Tidak serta-merta ikut-
ikutan suara terbanyak.Film ini menggambarkan dampak buruk media sosial bila netizen bila
tidak bijak menggunakannya. Mengajarkan publik begitu pentingnya menelaah kejadian, tidak
turut menyebarkan jika belum tentu benar, dan tidak menghujat semena-mena tanpa mengalisis
dari berbagai sudut pandang.Film ini juga merefleksikan kinerja insan media untuk lebih
independen, berhati-hati mengungkap, dan menyuarakan fakta. Mengembalikan fungsi media
sebagaimana kode etik jurnalistik. Yakni, memberikan informasi sekaligus mengedukasi.Selain
itu, film ini mengajarkan keteguhan untuk mempertahankan kebenaran. Berani jujur di tengah
ketidakpercayaan publik. Walau pada akhirnya, kebenaran sering kali tersisihkan di atas banyak
kepentingan."Kalau dunia terlalu berisik, tutup telinga, tutup mata, lalu dengarkan detak jantung
kita. Berterima kasihlah atas hari ini, " ucap Bu Prani sembari menyatu dengan
keheningan.Ending dari film ini pun membuat Bu Prani kehilangan pekerjaan dan
mendapatkan pandangan negatif dari orang-orang di sekitar.
film ini ternyata menyampaikan pesan positif kepada pembacanya diantaranya yaitu sebagai
berikut:
2. Jangan lakukan perundungan di media sosial, pikirkan akibat jangka panjang bagi
korban
Media sosial memungkinkan seseorang berkomentar negatif secara anonim. Identitas yang
tersembunyi membuat sejumlah orang merasa bebas menyampaikan pandangannya, termasuk
apabila hal tersebut menyakiti hati seseorang. Perundungan di media sosial dapat dicegah dengan
berpikir ulang sebelum mengunggah apa pun. Mempertimbangkan dampak psikologis orang
yang dihina, disakiti, dan di-bully dapat mencegah terjadinya cyber bullying atau perundungan di
dunia maya. Kamu mungkin berpikir itu hanya sebuah komentar sepele, atau sekadar konten
lucu-lucuan, namun bisa saja hidup seseorang hancur karena sikap tidak bijaksanamu.
Sebagaimana konflik yang ditampilkan film Budi Pekerti, tatkala hidup Bu Prani jadi terkena
masalah yang turut berimbas pada suami dan anak-anaknya.
4. Tren cancel culture bisa menjadi masalah serius dalam hidup seseorang
Tren cancel culture digunakan untuk memboikot atau menghentikan popularitas seseorang.
Budaya ini bisa mendatangkan efek yang beragam pada setiap individu, tergantung pada
subjektivitas, namun justru berakibat fatal bagi citra seseorang yang tak tepat sasaran. Cancel
culture tanpa bukti yang kredibel dan meyakinkan akan merusak image seseorang di mata
publik. Seseorang dapat kehilangan kekuatan atau pengaruhnya di media sosial bila mengalami
sanksi sosial ini di dunia maya.Dalam film ini, budaya menyudutkan seseorang atas perbuatan
yang dilakukannya mendatangkan efek domino pada keluarga Bu Prani. Hilangnya kepercayaan,
pekerjaan, hingga gangguan kesehatan mental juga terjadi.
5. Menyebarkan konten yang memprovokasi demi kepentingan pribadi bisa jadi perbuatan
keliru
Media sosial menjadi tempat yang bebas bagi seseorang untuk memproduksi suatu konten.
Sayangnya, kebebasan ini bisa menggiring opini demi kepentingan pribadi, seperti yang
dipaparkan dalam film garapan Wregas Bhanuteja. Bijak bermedia sosial disikapi dengan
selektif dalam menciptakan konten dan menyebarkannya. Produk media sosial, seperti foto,
video, atau tulisan hendaknya bermuatan hiburan atau edukasi. Sikap objektif dalam membuat
suatu tayangan juga harus dikedepankan agar tak menimbulkan kegaduhan.
Sebelum semua kejadian bermula, film ini menceritakan tentang anak yang tidak menuruti
perkataan orang tuanya. Media sosial secara tidak sadar telah membuat manusia kurang
memperdulikan dunia sekitar, mereka asyik dengan konten-konten media sosialnya dan
mengabaikan perintah orang tua.
Di awal cerita, kisahnya memang sudah menjelaskan tentang kesalahpahaman yang kemudian
diviralkan dan membuat banyak asumsi dari netizen. Semakin lama berita hoax menyebar,
kebenaran justru semakin tertinggal di belakang. Dalam film Budi Pekerti, kebenaran seolah
hanya milik sekelompok orang, kebenaran hanya ditentukan dari banyaknya orang yang
menganggap hal yang sama sebagai sesuatu yang benar, kebenaran hanya seperti adu kekuatan.
Padahal lebih dari itu, kebenaran seharusnya berakar dari hati nurani. Kebenaran yang hakiki
harus disuarakan dengan lantang, dan tidak takut akan diskriminasi serta ancaman dari orang
lain.
Kadang kala ketika ketika kita asyik bercengkrama dan bersosialisasi dengan orang lain di media
sosial, kita jadi lupa bahwa ada kehidupan nyata yang mesti kita jalani. Kita jadi sering abai
terhadap lingkungan sekitar, bahkan tak memperdulikan perasaan orang-orang terdekat kita.
Dalam film ini, contoh yang begitu nyata mengenai dampak media sosial begitu jelas tergambar.
Film ini juga mengajarkan bahwa media sosial tak selamanya memberikan kemudahan dan
kepopuleran bagi penggunanya, tetapi juga dengan kemudahan dan kepopuleran itu, ada
kehangatan antarsesama manusia yang hilang dan tergantikan oleh keheningan.
3.KEKURANGAN
4.KELEBIHAN
5.SARAN
Saran saya untuk Film Budi Pekerti adalah adakan BUDI PEKERTI SEASON 2 karena saya
kurang puas dengan cerita akhirnya.