Anda di halaman 1dari 81

MAKALAH

EVALUASI KINERJA DAN KOMPENSASI


MK : Evaluasi kinerja dan Kompensasi
Dosen : Ade Fauji, SE, MM

Disusun oleh :
Nama : Istiani
Nim : 11160606
Kelas : 7G

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

UNIVERSITAS BINA BANGSA 2019


BAB I

PEMBAHASAN

1. KONSEP DAN ISTILAH EVALUASI KINERJA


A. DEFINISI KINERJA
Evaluasi kinerja adalah suatu metode dan proses penilaian dan pelaksanaan tugas
seseorang atau sekelompok orang atau unit-unit kerja dalam satu perusahaan atau organisasi
sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang ditetapkan lebih dahulu. Evaluasi kinerja
merupakan cara yang paling adil dalam memberikan imbalan atau penghargaan kepada
pekerja.
GT. Milkovich dan Bourdreau mengungkapkan bahwa evaluasi/penilaian kinerja
adalah suatu proses yang dilakukan dalam rangka menilai kinerja pegawai, sedangkan kinerja
pegawai diartikan sebagai suatu tingkatan dimana karyawan memenuhi/mencapai persyaratan
kerja yang ditentukan.
Definisi yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Payaman Simanjuntak
(2005:105) yang menyatakan evaluasi kinerja adalah penilaian pelaksanaan tugas
(performance) seseorang atau sekelompok orang atau unit kerja organisasi atau perusahaan.
Dengan demikian, evaluasi kinerja dapat dikatakan sebagai suatu sistem dan cara penilaian
pencapaian hasil kerja individu pegawai, unit kerja maupun organisasi secara keseluruhan.
Evaluasi kinerja atau penilaian prestasi karyawan yang dikemukakan Leon C.
Menggison (1981:310) dalam Mangkunegara (2000:69) adalah sebagai berikut: ”penilaian
prestasi kerja (Performance Appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk
menentukkan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya”. Selanjutnya Andrew E. Sikula (1981:2005) yang dikutip oleh
Mangkunegara (2000:69) mengemukakan bahwa ”penilaian pegawai merupakan evaluasi
yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian
dalam proses penafsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa obyek orang
ataupun sesuatu (barang)”. Selanjutnya Menurut Siswanto (2001:35) penilaian kinerja adalah:
” suatu kegiatan yang dilakukan oleh Manajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja
tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja dengan uraian / deskripsi
pekerjaan dalam suatu periode tertentu biasanya setiap akhir tahun.” Anderson dan Clancy
(1991) sendiri mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “Feedback from the accountant to
management that provides information about how well the actions represent the plans; it also
identifies where managers may need to make corrections or adjustments in future planning
andcontrolling activities” sedangkan Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997)
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “the activity of measuring the performance of an
activity or the value chain”.
Dari kedua definisi terakhir Mangkunegara (2005:47) menyimpulkan bahwa
pengukuran atau penilaian kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap
berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada peruisahaan. Hasil pengukuran tersebut
digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang prestasi, pelaksanaan
suatu rencana dan apa yang diperlukan perusahaan dalam penyesuaian-penyesuaian dan
pengendalian. Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi
kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan
karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan
kerja secara tepat, memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat
melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk
menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan.

B. TUJUAN EVALUASI KINERJA


Secara umum tujuan kompensasi adalah untuk membantu perusahaan mencapai
tujuan keberhasilan strategi perusahaan dan menjamin terciptanya keadilan internal dan
ekternal. Keadilan eksternal menjamin bahwa pekerjaan-pekerjaan akan dikompensasi secara
adil dengan membandingkan pekerjaan yang sama di pasar kerja. Kadang-kadang tujuan ini
bisa menimbulkan konflik satu sama lainnya, dan trade-offs harus terjadi. Misalnya, untuk
mempertahankan karyawan dan menjamin keadilan, hasil analisis upah dan gaji
merekomendasikan pembayaran jumlah yang sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang sama.
Akan tetapi, perekrut pekerja mungkin menginginkan untuk menawarkan upah tidak seperti
biasanya, yaitu upah yang tinggi untuk menarik pekerja yang berkualitas. Maka
terjadilah trade-offs antara tujuan rekrutmen dan konsistensi tujuan dari manajemen
kompensasi. Tujuan manajemen kompensasi efektif, meliputi:
1. Memperoleh SDM yang Berkualitas. Kompensasi yang cukup tinggi sangat dibutuhkan untuk
memberi daya tarik kepada para pelamar. Tingkat pembayaran harus responsif terhadap penawaran
dan permintaan pasar kerja karena para pengusaha berkompetisi untuk mendapatkan karyawan
yang diharapkan.
2. Mempertahankan Karyawan yang Ada. Para karyawan dapatkeluar jika besaran kompensasi
tidak kompetitif dan akibatnya akan menimbulkan perputaran karyawan yang semakin tinggi.
3. Menjamin Keadilan. Manajemen kompensasi selalu berupaya agar keadilan internal dan
eksternal dapat terwujud. Keadilan internal mensyaratkan bahwa pembayaran dikaitkan
dengan nilai relatif sebuah pekerjaan sehingga pekerjaan yang sama dibayardengan besaran
yang sama. Keadilan eksternal berarti pembayaran terhadap pekerjaan merupakan yang dapat
dibandingkan dengan perusahaan lain di pasar kerja.
4. Penghargaan terhadap Perilaku yang Diinginkan. Pembayaran hendaknya memperkuat
perilaku yang diinginkan dan bertindak sebagai insentif untuk memperbaiki perilaku di masa
depan, rencana kompensasi efektif, menghargai kinerja, ketaatan, pengalaman, tanggung
jawab, dan perilaku-perilaku lainnya.
5. Mengendalikan Biaya. Sistem kompensasi yang rasional membantu perusahaan memperoleh
dan mempertahankan para karyawan dengan biaya yang beralasan. Tanpa manajemen
kompensasi efektif, bisa jadi pekerja dibayar di bawah atau di atas standar.
6. Mengikuti Aturan Hukum. Sistem gaji dan upah yang sehat mempertimbangkan faktor-faktor
legal yang dikeluarkan pemerintah dan menjamin pemenuhan kebutuhan karyawan.
7. Memfasilitasi Pengertian. Sistem manajemen kompensasi hendaknya dengan mudah
dipahami oleh spesialis SDM, manajer operasi, dan para karyawan.
8. Meningkatkan Efisiensi Administrasi. Program pengupahan dan penggajian hendaknya
dirancang untuk dapat dikelola dengan efisien, membuat sistem informasi SDM optimal,
meskipun tujuan ini hendaknya sebagai pertimbangan sekunder dibandingkan dengan tujuan-
tujuan lain.
Dalam cakupan yang lebih umum, Payaman Simanjuntak (2005:106) menyatakan
bahwa tujuan dari evaluasi kinerja adalah untuk menjamin pencapaian sasaran dan tujuan
perusahaan, terutama bila terjadi kelambatan atau penyimpangan. Tujuan dari evaluasi
kinerja menurut Mangkunegara (2005:10) adalah untuk :
1. Meningkatkan saling pengertian di antara karyawan tentang persyaratan kinerja.
2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk
berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang
terdahulu.
3. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan
meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang.
4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan
termotivasi untuk berprestasi sesuai potensinya.
5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan
pelatihan, khususnya rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-
hal yang ingin diubah.

C. FAKTOR-FAKTOR PENILAIAN KINERJA


Tiga dimensi kinerja yang perlu dimasukkan dalam penilaian prestasi kerja, yaitu:
1. Tingkat kedisiplinan karyawan sebagai suatu bentuk pemenuhan kebutuhan organisasi untuk
menahan orang-orang di dalam organisasi, yang dijabarkan dalam penilaian terhadap
ketidakhadiran, keterlambatan, dan lama waktu kerja.
2. Tingkat kemampuan karyawan sebagai suatu bentuk pemenuhan Kebutuhan organisasi untuk
memperoleh hasil penyelesaian tugas yang terandalkan, baik dari sisi kuantitas maupun
kualitas kinerja yang harus dicapai oleh seorang karyawan.
3. Perilaku-perilaku inovatif dan spontan di luar persyaratan-persyaratan tugas formal untuk
meningkatkan efektivitas organisasi, antara lain dalam bentuk kerja sama, tindakan protektif,
gagasan-gagasan yang konstruktif dan kreatif, pelatihan diri, serta sikap-sikap lain yang
menguntungkan organisasi.

D. KEGUNAAN EVALUASI KINERJA


Kegunaan dari evaluasi kinerja SDM menurut Mangkunegara (2005:11) adalah :
1. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian
dan besarnya balas jasa.
2. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya.
3. Sebagai dasar mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan.
4. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja, metode
kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.
5. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang ada di
dalam organisasi.
6. Sebagai kriteria menentukan, seleksi, dan penempatan karyawan.
7. Sebagai alat memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.
8. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description).
Sedangkan Payaman Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa manfaat evaluasi
kinerja (EK) adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan Kinerja. Terutama bila hasil EK menunjukkan kinerja seseorang rendah atau
dibawah standar yang telah ditetapkan, maka orang yang bersangkutan dan atasannya akan
segera membuat segala upaya untuk meningkatkan kinerja tersebut, misalnya dengan bekerja
lebih keras dan tekun. Untuk itu, setiap pekerja perlu menyadari dan memiliki.
2. Kemampuan tertentu sebagai dasar untuk mengembangkan diri lebih lanjut.
3. Keinginan untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan kerja.
4. Sikap tertarik pada pekerjaan dan etos kerja yang tinggi.
5. Keyakinan untuk berhasil.
6. Pengembangan SDM , Evaluasi Kinerja sekaligus mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
setiap individu, serta potensi yang dimilikinya. Dengan demikian manajemen dan individu
dimaksud dapat mengoptimalkan pemanfaatan keunggulan dan potensi individu yang
bersangkutan, serta mengatasi dan mengkompensasi kelemahan - kelemahannya melalui
program pelatihan. Manajemen dan individu, baik untuk memenuhi kebutuhan perusahaan
atau organisasi, maupun dalam rangka pengembangan karier mereka masing-masing.
7. Pemberian Kompensasi. Melalui evaluasi kinerja individu, dapat diketahui siapa yang
memberikan kontribusi kecil dalam pencapaian hasil akhir organisasi atau perusahaan.
Pemberian imbalan atau kompensasi yang adil haruslah didasarkan kepada kinerja atau
kontribusi setiap orang kepada perusahaan. Pekerja yang menampilkan evaluasi kinerja yang
tinggi patut diberi kompensasi, antara lain berupa: pemberian penghargaan dan atau uang,
pemberian bonus yang lebih besar daripada pekerja lain, dan atau percepatan kenaikan
pangkat dan gaji.
8. Program Peningkatan Produktivitas. Dengan mengetahui kinerja masing-masing individu,
kekuatan dan kelemahan masing-masing serta potensi yang mereka miliki manajemen dapat
menyusun program peningkatan produktivitas perusahaan.
9. Program Kepegawaian. Hasil evaluasi kinerja sangat bermanfaat untuk menyusun program-
program kepegawaian, termasuk promosi, rotasi dan mutasi, serta perencanaan karier
pegawai.
10. Menghindari Perlakuan Diskriminasi. Evaluasi kinerja dapat menghindari perlakuan
diskriminasi dan kolusi, karena setiap tindakan kepegawaian akan didasarkan kepada kriteria
obyektif, yaitu hasil evaluasi kinerja.

E. ASPEK YANG DINILAI DALAM EVALUASI KINERJA


Aspek-aspek yang dinilai dalam evaluasi kinerja adalah sebagai berikut :
1. Kemampuan Teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik dan
peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman serta pelatihan
yang diperoleh.
2. Kemampuan Konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan
penyesuaian bidang gerak dari unit masing-masing ke dalam bidang operasional perusahaan
secara menyeluruh, yang pada intinya individual tersebut memahami tugas, fungsi serta
tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan.
3. Kemampuan Hubungan Interpersonal, yaitu antara lain untuk bekerja sama dengan orang
lain, memotivasi karyawan / rekan, melakukan negosiasi dan lain-lain.

F. JENIS/ELEMEN PENILAIAN KINERJA


Penilaian kinerja yang baik adalah yang mampu untuk menciptakan gambaran yang
tepat mengenai kinerja pegawai yang dinilai. Penilaian tidak hanya ditujukan untuk menilai
dan memperbaiki kinerja yang buruk, namun juga untuk mendorong para pegawai untuk
bekerja lebih baik lagi. Berkaitan dengan hal ini, penilaian kinerja membutuhkan standar
pengukuran, cara penilaian dan analisa data hasil pengukuran, serta tindak lanjut atas hasil
pengukuran. Elemen-elemen utama dalam sistem penilaian kinerja Werther dan Davis
(1996:344) adalah:
1. Performance Standard
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam menyusun standar penilaian kinerja yang
baik dan benar yaitu:
a. Validity adalah keabsahan standar tersebut sesuai dengan jenis pekerjaan yang dinilai.
Keabsahan yang dimaksud di sini adalah standar tersebut memang benar-benar sesuai atau
relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai tersebut.
b. Agreement berarti persetujuan, yaitu standar penilaian tersebut disetujui dan diterima oleh
semua pegawai yang akan mendapat penilaian. Ini berkaitan dengan prinsip validity di atas.
c. Realism berarti standar penilaian tersebut bersifat realistis, dapat dicapai oleh para pegawai
dan sesuai dengan kemampuan pegawai.
d. Objectivity berarti standar tersebut bersifat obyektif, yaitu adil, mampu mencerminkan
keadaan yang sebenarnya tanpa menambah atau mengurangi kenyataan dan sulit untuk
dipengaruhi oleh bias -bias penilai.

2. Kriteria Manajemen Kinerja


Kriteria penilaian kinerja dapat dilihat melalui beberapa dimensi, yaitu
a. Kegunaan fungsional (functional utility), bersifat krusial, karena hasil penilaian kinerja
dapat digunakan untuk melakukan seleksi, kompensasi, dan pengembangan pegawai, maka
hasil penilaian kinerja harus valid, adil, dan berguna sehingga dapat diterima oleh pengambil
keputusan.
b. Valid (validity) atau mengukur apa yang sebenarnya hendak diukur dari penilaian kinerja
tersebut.
c. Bersifat empiris (empirical base), bukan berdasarkan perasaan semata.
d. Sensitivitas kriteria. Kriteria itu menunjukkan hasil yang relevan saja, yaitu kinerja, bukan
hal-hal lainnya yang tidak berhubungan dengan kinerja.
e. Sistematika kriteria (systematic development),. Hal ini tergantung dari kebutuhan organisasi
dan lingkungan organisasi. Kriteria yang sistematis tidak selalu baik. Organisasi yang berada
pada lingkungan yang cepat berubah mungkin justru lebih baik menggunakan kriteria yang
kurang sistematis untuk cepat menyesuaikan diri dan begitu juga sebaliknya.
f. Kelayakan hukum (legal appropriateness) yaitu kriteria itu harus sesuai dengan hukum yang
berlaku.

3. Pengukuran Kinerja (Performance Measures)


Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (rating)
yang relevan. Rating tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur, dan
mencerminkan hal-hal yang memang menentukan kinerja Werther dan Davis (1996:346).
Pengukuran kinerja dapat bersifat subyektif atau obyektif . Jenis-jenis penilaian adalah
sebagai berikut :
1) Penilaian hanya oleh atasan
a. cepat dan langsung
b. dapat mengarah ke distorsi karena pertimbangan-pertimbangan pribadi.
2) Penilaian oleh kelompok lini : atasan dan atasannya lagi bersama – sama membahas kinerja
dari bawahannya yang dinilai.
a. obyektifitas lebih lebih akurat dibandingkan kalau hanya oleh atasannya sendiri.
b. Individu yang dinilai tinggi dapat mendominasi penilaian.
3) Penilaian oleh kelompok staf : atasan meminta satu atau lebih individu untuk bermusyawarah
dengannya; atasan langsung yang membuat keputusan akhir.
4) Penilaian melalui keputusan komite : sama seperti pada pola sebelumnya kecuali bahwa
manajer yang bertanggung jawab tidak lagi mengambil keputusan akhir; hasil didasarkan
pada pilihan mayoritas.
5) Penilaian berdasarkan peninjauan lapangan : sama sepeti kelompok staf , namun melibatkan
wakil dari pimpinan pengembangan atau departemen SDM yang bertindak sebagai peninjau
independen.
6) Penilaian yang dilakukan oleh bawahan dan sejawat.

4. Tantangan dalam Penilaian Kinerja


Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian
yang dilakukan oleh pihak manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis
pekerjaan yang akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan
masalah prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja,
promosi/demosi, dan penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering muncul menurut
Werther dan Davis (1996:348) adalah:
a. Hallo Effect, terjadi karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang
dinilainya. Oleh karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai cenderung akan memperoleh
nilai positif pada semua aspek penilaian, dan begitu pula sebaliknya, seorang pegawai yang
tidak disukai akan mendapatkan nilai negatif pada semua aspek penilaian.
b. Liniency and Severity Effect. Liniency effectialah penilai cenderung beranggapan bahwa
mereka harus berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka cenderung memberi nilai yang
baik terhadap semua aspek penilaian. Sedangkan severity effect ialah penilai cenderung
mempunyai falsafah dan pandangan yang sebaliknya terhadap pegawai sehingga cenderung
akan memberikan nilai yang buruk.
c. Central tendency,yaitu penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah
kepada bawahannya (selalu berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu
berlebihan tersebut menjadikan penilai cenderung memberikan penilaian dengan nilai yang
rata-rata.
d. Assimilation and differential effect. Assimilation effect,yaitu penilai cenderung menyukai
pegawai yang mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan nilai
yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat dan ciri-
ciri dengannya. Sedangkan differential effect,yaitu penilai cenderung menyukai pegawai
yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tapi sifat-sifat itulah yang
mereka inginkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang
lainnya.
e. First impression error,yaitu penilai yang mengambil kesimpulan tentang pegawai
berdasarkan kontak pertama mereka dan cenderung akan membawa kesan-kesan ini dalam
penilaiannya hingga jangka waktu yang lama.
f. Recency effect,penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja
mereka saksikan, dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu jangka waktu tertentu.

5. Pelaku Evaluasi Kinerja


Yang melakukan evaluasi kinerja karyawan biasanya adalah atasan langsung.
Evaluasi kinerja unit atau bagian organisasi adalah kepala unit itu sendiri. Alas an langsung
pada umumnya mempunyai kesempatan dan akses yang luas untuk mengamati dan menilai
prestasi kerja bawahannya. Namun, penilaian oleh atasan langsung sering dianggap kurang
objektif.
Setiap pekerja atau karyawan pada dasarnya merupakan orang yang paling
mengetahui apa yang di lakukannya sendiri. Oleh sebab itu, masing-masing individu dapat
diminta mengevaluasi kinerjanya sendiri, baik secara tidak langsung melalui laporan, maupun
secara langsung melalui permintaan dan petunjuk. Setiap individu melaporkan hasil yang
dicapai dan mengemukakan alas an-alasan bila tidak mampu mencapai hasil yang
ditargetkan. Untuk lebih menjamin objektifitas penilaian, perusahaan atau organisasi dapat
pula membentuk tim evaluasi kinerja yang dianggap dapat objektif baik untuk mengevaluasi
kinerja individu maupun mengevaluasi kinerja kelompok dan unit atau bagian organisasi.

6. Waktu Pelaksanaan
Evaluasi kinerja dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan atau menurut kondisi
pekerjaan atau kondisi perusahaan. Pertama, bagi pekerjaan yang bersifat sementara atau
harus diselesaikan dalam waktu yang relative pendek, evaluasi kinerja dilakukan menjelang
atau segera setelah pekerjaan itu diselesaikan. Kedua, untuk pekerjaan dalam jangka lama,
seperti unit-unit dalam perusahaan atau organisasi, evaluasi kinerja dilakukan secara rutin
periodik. Evaluasi tersebut dapat dilakukan setiap akhir minggu, setiap akhir kuartal, setiap
akhir semester atau setiap akhir tahun.
Ketiga, evaluasi kinerja dapat dilakukan secara khusus pada saat tertentu bila
dirasakan timbul masalah atau penyimpangan sehingga perlu melakukan tindakan korektif.
Keempat, evaluasi kinerja diperlukan untuk atau dalam rangka program organisasi dan
kepegawaian, seperti identifikasi kebutuhan latihan, perencanaan karir, pemberian
penghargaan, rotasi dan promosi, penyusunan skala upah, analisi jabatan, dll.
2. HR Score Card (pengukuran kinerja & strategi SDM)
Human Resource Scorecard, sebuah bentuk pengukuran Human Resources yang
mencoba memperjelas peran sumber daya manusia sebagai sesuatu yang selama ini dianggap
intangible untuk diukur perannya terhadap pencapaian misi, visi dan strategi
perusahaan.“What Gets Measured, Get Managed, Gets Done”, itulah dasar pemikiran dari
konsep HR Scorecard.
Becker, Huselid dan Ulrich (2001) telah mengembangkan suatu sistem pengukuran
yang dinamakan Human Resource (HR) Scorecard. Pengukuran ini merupakan
pengembangan dari konsep Balanced Scorecard, dimana pengukuran Human Resource
Scorecard lebih menfokuskan pada kegiatan SDM atau menilai kontribusi strategic yang
terdiri dari 3 (tiga) dimensi rantai nilai yang diwakili oleh Fungsi SDM, Sistem SDM, dan
perilaku karyawan yang strategik.[1]
Karakteristik manusia pada dasarnya sulit dipahami, sulit dikelola, apalagi diukur.
Padahal kita tahu, sumber daya manusia adalah asset terpenting yang sangat powerful dan
penuh misteri dari sebuah perusahaan. Oleh karena itu. HR Scorecard mencoba mengukur
sumber daya manusia dengan mengkaitkan antara orang-strategi-kinerja untuk menghasilkan
perusahaan terbaik, dan juga menjabarkan misi, visi dan strategi, menjadi aksi HR yang dapat
diukur kontribusinya. Keduanya menggambarkan hubungan sebab (leading/intangible) dan
akibat (lagging/tangible), yang kuncinya adalah disatu sisi ingin menggambarkan manusia
dengan segala potensinya, dan disisi lain ada konteribusi yang bisa diberikan dalam
pencapaian sasaran perusahaan.
Human Resource Scorecard, merupakan salah satu mekanisme yang secara
komprehensif mampu mengambarkan dan mengukur bagaimana sistem pengelolaan SDM
dapat menciptakan value atau kontribusi bagi organisasi. Becker et.al (2001) mengungkapkan
beberapa manfaat HR Scorecard bagi perusahaan sebagai berikut :
1. Memperjelas perbedaan antara HR Doables (kinerja) SDM yang tidak mempengaruhi
implementasi strategi perusahaan dengan HRD Deliverable (kinerja SDM yang mempunyai
pengaruh terhadap implementasi strategi perusahaan).
2. Menyeimbangkan proses penciptaan nilai (HR Value proposition) dengan pengendalian biaya
disatu sisi dan investasi yang diperlukan disisi lainnya.
3. Menggunakan leading indikator (indikator yang menilai status faktor kunci kesuksesan yang
mendorong implementasi strategi perusahaan). Model SDM strategik memberi kontribusi
yang menghubungkan keputusan SDM dan sistim dengan HR Deliverable, dimana
mempengaruhi key performance driver dalam implementasi strtaegi perusahaan (misalnya:
kepuasan pelanggan atau fokus peningkatan kompetensi karyawan).
4. Menilai kontribusi SDM terhadap implementasi strategi.
5. Mengarahkan profesional SDM secara aktif mengelola tanggung jawab terhadap
implementasi strategi perusahaan.
6. Mendukung perubahan dan fleksibilitas.
Model 7 (tujuh) langkah dalam merancang suatu system pengukuran Human Resource
Scorecard, yaitu :
1) Mendefinisikan strategi bisnis perusahaan dengan jelas.
Sebelum membangun strategi pengembangan SDM yang perlu dilaksanakan adalah
mengklarifikasi kembali kebijakan dan strategi pengembangan perusahaan secara
keseluruhan. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan bagaimana perusahaan
perusahaan menciptakan nilai, strategi-strategi apa yang dapat membuat perusahaan sukses,
ukuran-ukuran apa yang bias menunjukkan kesuksesan perusahaan harus sudah terformulasi
dengan jelas dan sudah terkomunikasikan dengan baik keseluruh lapisan karyawan atau
Organisasi. Departemen SDM sebagai bagian dari perusahaan, mutlak dalam
mengembangkan strateginya harus mengacu pada arah dan strategi yang telah ditetapkan
perusahaan. Jadi strategi bisnis harus diklarifikasi dengan terminology yang detail dan dapat
dilaksanakan oleh pelakunya. Kuncinya adalah membuat sasaran perusahaan dimana
karyawan memahami peran mereka dan organisasi mengetahui bagaimana mengukur
kesuksesan meraka (kinerja karyawan) dalam mencapai sasaran tersebut
2) Membangun kasus bisnis untuk SDM sebagai sebuah modal strategis.
Professional SDM perlu membangun kasus bisnis untuk mengetahui mengapa dan bagaimana
SDM dapat mendukung pencapaian strategi tersebut. Departemen SDM dapat menjadi model
strategi, apalagi bila manager lini dan manager SDM mau berbagi tanggung jawab dalam
poses implementasi strategi tersebut. Dalam proses perumusan kasus bisnis, perlu dilakukan
suatu observasi pendahuluan untuk menyusun rekomendasi yang akan diberikan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesuksesan perusahaan pada akhirnya bagaimana oraganisasi
mengeksekusi strateginya secara efektif, bukan sekedar isi dari strategi itu sendiri.
3) Menciptakan Peta Strategi.
Setiap organisasi dalam memenuhi kebutuhan pelaksanaan selalu melakukan serangkaian
aktivitas spesifik yang bila digambarkan akan membentuk suatu proses rantai penciptaan
nilai. Proses penciptaan nilai bagi pelanggan inilah yang disebut dengan model rantai nilai,
meski belum terartikulasi sepenuhnya. Peta strategi membagi proses penciptaan nilai menjadi
empat pespektip, yaitu pertumbuhan dan pembelajaran, proses internal, pelanggan dan
financial.
4) Mengindentifikasikan HR Deliverable dalam Peta Strategi.
Peran strategis departemen SDM terjadi ketika terjadi titik temu antara strategi bisnis
perusahaan dengan programprogram yang dijalankan oleh department SDM. Semakin sering
titik temu diantara keduanya terjadi, maka semakin strtaegis pula peran SDM dalam
perusahaan tersebut..Untuk merealisasikan hal ini, para professional di departemen SDM
harus mampu memahami aspek bisnis perusahaan secara keseluruhan. Bila hal ini tidak
terpenuhi, para manajer dari fungsi lain tidak akan menghargai kebijakan yang diambil oleh
departemen SDM. Berdasarkan strategi perusahaan, department SDM kemudian membuat
HR Deliverables yang dirancang untuk mendukung realisasi dari strategi dan kinerja
perusahaan seperti apa yang memerlukan kompetensi, reward dan tugas organisasi yang
tepat.
5) Menyelaraskan Arsitektur SDM dengan HR Deliverables.
Setelah HR Deliverables ditentukan, maka tahap selanjutnya adalah menyesuaikan HR
Deliverables tersebut dengan arsitektur SDM yang dimilki oleh departemen SDM yakni
Fungsi, Sistem, dan Perilaku karyawan.
6) Merancang Sistim Pengukuran Strategik.
Setelah tercipta keselarasan antara HR Deliverables dengan arsitektur SDM, maka langkah
selanjutnya adalah menetapkan ukuran-ukuran strategis (key performance indicator) untuk
tiap HR Deliverables. Dalam proses penyusunan HR Scorecard, HR deliverabales merupakan
sasaran strategis yang harus dicapai oleh departemen SDM.
7) Mengelola Implementasi melalui pengukuran
Setelah HR Scorecard dikembangkan berdasarkan prinsip yang digambarkan dalam model
diatas, hasilnya menjadi alat yang sangat berguna untuk menjaga skor pengaruh SDM
terhadap kinerja organisasi.
Para profesional SDM harus secara teratur mengukur HR Deliverable yang
didefinisikan dalam rangka memastikan bahwa driver dan enabler tersebut masih dianggap
signifikan. Dengan demikian untuk mengembangkan sistim pengukuran kinerja organisasi
kelas dunia tergantung pada pemahaman yang jelas apa strategi bersaing dan sasaran
operasional perusahaan, serta penentuan tentang kompetensi karyawan dan tingkah laku yang
dibutuhkan untuk mencapai sasaran perusahaan.
Lebih jauh lagi HR Deliverable adalah persyaratan untuk menyesuaikan keselarasan
internal dan eksternal sistim SDM, dan kemudian digeneralisasikan ke keuntungan bersama
yang sebenarnya. Sistim pengukuran kinerja SDM dapat menciptakan value bagi perusahaan,
hanya bila sistim tersebut secara hati-hati disesuaikan dengan strategi bersama dengan
sasaran operasional perusahaan. Selanjutnya perusahaan sebaiknya melakukan benchmark
dengan sistim pengukuran lainnya.
Perlu di ingat bahwa elemen penting dari HR Scorecard adalah indentifikasi HR
Deliverable, penggunaan HPWS (High Performance Work Systems), HR Sistim Alignment
dan HR Efficiency. Hal tersebut merefleksikan keseimbangan (balance) antara kontrol biaya
dan penciptaan nilai (value creation). Kontrol biaya berasal dari pengukuran HR Efficiency.
Sedangkan penciptaan value (value creation) berasal dari pengukuran HR Deliverable,
kesejajaran sistim SDM eksternal, dan HPWS. Ketiga hal terakhir adalah elemen penting dari
HR arsitektur yang membentuk rantai nilai dari fungsi ke sistim lalu ke tingkah laku
karyawan.

Dalam melaksanakan pengukuran HRM perusahaan, maka HR manager perusahaan


mengunakan Analisis HR Balance Scorecard untuk menentukan strategy dan indikator
critical sucsess factor untuk perspectives: Keuangan (finance), Pelanggan (customer), Internal
Business Process dan Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learning and Growth) dengan
menggunakan strategy.

1 Tentukan dulu Visi, Misi, dan Strategi dari perusahaan.

2 Proses Penyusunan Balanced Scorecard Perusahaan

Yang terlibat dalam pembuatan Balanced Scorecard di perusahaan adalah seluruh


manajemen level atas dan menengahnya (yaitu direktur utama, direktur operasi dan
pemasaran, manajer operasi, manajer pemasaran, HR manajer dan manajer administrasi dan
keuangan).
Penyusunan Balanced Scorecard di perusahaan diawali dengan penjabaran strategi
perusahaan. Dalam Rencana Bisnis tahun depan terlihat bahwa strategi bisnis yang dipilih
perusahaan adalah Strategi yang telah ditetapkan. Dengan strategi ini maka perusahaan
mampu membuat jasa dan produk yang mempunyai keunggulan unik sehingga
perusahaan dapat mengejar daya saing strategis dengan para pesaing yang berkaliber
internasional.
Untuk kebutuhan pengembangan Balanced Scorecard strategi tersebut
diperlukannya proses pengembangan yang terlihat pada Gambar 2.1 dan melaksanakan
balance scorecard (Gambar 2.2) dan kemudian proses diterjemahkan ke dalam bahasa yang
lebih actionable. Pembedaan terfokus dicapai dengan jenis dari strategy dan corporate. Dari
strategi tersebutlah dibangun Balanced Scorecard perusahaan dikembangkan.

Perusahaan menetapkan empat perspektif untuk pengukuran kinerjanya dalam


analisis Balanced Scorecard perusahaan yang dapat dilihat pada Gambar 2.3, dimana dengan
karyawan yang terampil akan mendorong proses bisnis yang baik. Proses bisnis yang baik
kemudian akan menghasilkan produk yang bermutu yang memenuhi spesifikasi kebutuhan
pelanggan. Selanjutnya pelanggan yang terpuaskan akan meningkatkan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba baik melalui pembelian berulang maupun melalui
pangsa pasar yang semakin meluas. Pemilihan ini berdasarkan pada logika bisnis perusahaan
dengan. 4 (empat) perspektif untuk pengukuran kinerja perusahaan yaitu:
1. Perspektif keuangan (Financial).
Perusahaan menggariskan kebijakan untuk mulai mendapatkan laba bersih positif
tahun berikutnya. Untuk itu perusahaan menetapkan target positif atas ROE (Return on
Equity). Target atas ROE ini menjadi muara perhatian dari perspektif-perspektif yang lain.
Untuk mencapai ROE yang ditargetkan maka perusahaan harus meningkatkan
pendapatan dan melakukan manajemen biaya serta kas yang efektif. Peningkatan pendapatan
dilakukan melalui perluasan sumber-sumber pendapatan dari pelanggan saat ini dan
pengenalan produk-produk baru. Sementara itu, manajemen biaya serta kas sangat terkait
dengan proses internal perusahaan. Untuk itu ada 7 ukuran dalam perspektif finansial yaitu:
Collection Period, Operating Cost, Profitability, Investment, dan ROE.
2. Perspektif pelanggan (Customer).
Untuk mempertahankan pelanggan saat ini, maka diperlukan penjualan yang efektif,
pelayanan yang memuaskan, dan retensi pelanggan. Dalam rangka pengenalan produk baru
dibutuhkan investasi yang memadai untuk proses penciptaan produk tersebut. Karenanya
dalam perspektif pelanggan perusahaan menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut:
Number of Sales Calls, Number of Quotation, Number of Quotation Value, Hit Rate, Loss
Sales, Number of Promotion Event, Promotion Budget, Customer Satisfaction Index, Number
of Complaint, Number of Customer, Number of New Customer, dan Number of Repeated
Order.
3. Perspektif proses bisnis internal (Internal Business Process).
Terwujudnya pelayanan yang memuaskan (first class service) untuk bisnis
perusahaan, yang bergerak dalam bidang manifacturing product, sangat ditentukan oleh:
ketersediaan bahan baku, mutu produk, dan dukungan dari teknologi untuk produksi.
Penciptaan produk baru tidak hanya membutuhkan investasi yang memadai saja, tetapi yang
paling penting adalah bagaimana perkembangan teknologi dapat diikuti dan diadopsi oleh
perusahaan. Untuk mendukung program efektifitas maka perusahaan dituntut untuk
menjalankan operasi secara efektif. Garis kebijakan ini harus melandasi proses operasi
perusahaan. Dalam rangka hal-hal tersebut di muka maka ukuran yang dipilih untuk
perspektif internal adalah: On Time Service Delivery Percentage, Solved Complaint dan
Number of New Product.
4. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (Learning And Growth).
Perspektif terakhir dalam scorecard perusahaan adalah perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan yang menyediakan dasar-dasar yang memungkinkan bagi ukuran-ukuran di
ketiga perspektif sebelumnya dapat tercapai. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (yang
terdiri tiga kategori utama, yaitu: kapabilitas pekerja, kapabilitas sistem informasi, dan
motivasi, pemberdayaan, dan keselarasan) menciptakan infrastruktur bagi pencapaian sasaran
pada ketiga perspektif sebelumnya, yakni perspektif keuangan, pelanggan, dan proses bisnis
internal. Ketiadaan kategori kapabilitas sistem informasi dalam perspektif karyawan pada
perusahaan ini dapat menyebabkan para pekerja bekerja tidak efektif. Hal ini karena untuk
dapat bersaing dalam lingkungan kompetitif dunia bisnis dewasa ini, perlu didapat banyak
informasi mengenai pelanggan, proses internal bisnis, dan konsekuensi finansial keputusan
perusahaan. Syarat penting untuk mencapai target dari seluruh ukuran tersebut adalah
peningkatan produktivitas para pekerja. Tanpa adanya hal ini, maka adalah sangat sulit
mencapai target-target perusahaan. Untuk mengukur produktivitas ini perusahaan
menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut: Number of Skilled Employee, Number of
Training Days, Number of Trained People, Training Investment, Number of idea, Number of
Warning Letter, Employee Satisfaction Index, Employee Turn Over, dan Revenue per
Employee.
Setelah membangun model scorecard-nya, perusahaan kemudian menyiapkan
program aplikasi untuk operasionalisasi ukuran-ukuran yang ada pada scorecard-nya.
Program yang digunakan oleh perusahaan adalah program Oracle yang didisain secara
khusus untuk penerapan Balanced Scorecard di perusahaan. Program aplikasi ini memiliki
dua fungsi sebagai berikut:
1) Fungsi pengelolaan data.
Keluaran yang dihasilkan dari fungsi ini adalah bentuk-bentuk laporan baik berupa tabel,
grafik, maupun diagram.
2. Fungsi pemantauan.
Keluaran yang dihasilkan adalah laporan perkembangan kinerja perusahaan pada periode
tertentu. Manajemen dapat mengetahui sampai tingkat mana pencapaian kinerja perusahaan
untuk periode yang diinginkan setiap saat. Umpan balik dari fungsi ini adalah timbulnya
perhatian manajemen untuk peningkatan kinerja secara berkesinambungan.
Gambar 2.3. Balanced Scorecard sebagai kerangka kerja.
Sumber: Kaplan & Norton (1996)
Pengelolaan data Balanced Scorecard dilakukan dengan rincian pekerjaan sebagai
berikut:
• Melakukan pengumpulan data Balanced Scorecard.
• Pembuatan laporan Balanced Scorecard.
• Mengirimkan laporan Balanced Scorecard ke Pimpinan dan stakeholders perusahaan.
• Tampilkan laporan Balanced Scorecard pada database PC (Personal Computer).
• Mengarsipkan laporan Balanced Scorecard.
Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan data Balanced Scorecard telah dibuat
dokumen SOP (Standard Operating Procedures) yang terdiri dari beberapa dokumen SOP.
SOP-SOP yang disusun merupakan serangkaian prosedur yang harus dijalani untuk menjamin
validitas data yang akan menjadi masukan bagi pengukuran serta laporan kinerja perusahaan.
Atas dasar SOP-SOP yang ada, dapat dilihat bahwa implementasi Balanced
Scorecard di perusahaan terdiri dari 3 (tiga) tahapan utama yaitu:
(1) Tahap pengumpulan data Balanced Scorecard, Pada tahap pengumpulan data, masing-
masing supervisor menyiapkan data-data yang diperlukan oleh kunci pengukuran (KPI)
bagiannya. Setelah data-data tersebut disiapkan, para supervisor tersebut kemudian
mengoreksi untuk kemudian menyerahkan yang telah ditentukan beserta data-data
pendukungnya kepada manajer yang menjadi atasan langsungnya.
(2) Tahap pelaporan, manajer terkait kemudian menyampaikan data tersebut beserta dokumen
pendukungnya kepada manajer yang mengolah ke dalam format Balanced Scorecard. Pada
bagian ini data-data tersebut kembali diperiksa untuk mendapatkan jaminan atas validitas dan
kewajarannya. Setelah proses ini data tersebut di-input ke loader Balanced Scorecard dan ke
dalam form laporan Balanced Scorecard yang telah distandarkan. Setelah mengoreksi hasil
input baik pada loader Balanced Scorecard maupun form laporan Balanced Scorecard,
bagian manajer tersebut mengirimkan laporan Balanced Scorecard kepada Pimpinan
perusahaan.
(3) Tahap monitoring.
Laporan Balanced Scorecard yang ditampilkan pada PC (Personal Computer) manajemen
dalam bentuk database untuk mendapatkan tindak lanjut dari apa-apa yang telah dicapai
perusahaan selama periode yang bersangkutan. Setelah data masukan ini diproses, aplikasi
Balanced Scorecard perusahaan akan menyajikan pencapaian kinerja perusahaan
dibandingkan dengan target atau anggaran pada periode atau waktu yang terkait.
Ada beberapa prosedur tanggapan yang dilakukan oleh pihak manajemen dalam
menindaklanjuti laporan kinerja yang ditampilkan ini, yaitu:
1) Melakukan koreksi dengan cara membuat catatan berdasarkan grafik dan diagram yang
ditampilkan pada masing-masing KPI Balanced Scorecard untuk melihat perkembangan
terhadap pelaksanaan kerja dari masing-masing bagiannya apakah pelaksanaan kerja tersebut
dapat mencapai rencana kerja yang telah ditentukan atau tidak.
2) Mencari penyebab sehingga pelaksanaan kerja yang dilakukan tidak dapat mencapai rencana
kerja yang telah ditentukan sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan kerja periode
yang akan datang.
3) Mencari cara agar pelaksanaan kerja yang dilakukan pada periode yang akan datang dapat
mencapai rencana kerja yang ditentukan.
Melakukan koordinasi dengan masing-masing bagian di bawahnya terhadap
pelaksanaan kerja periode yang akan datang untuk disesuaikan dengan rencana kerja yang
telah ditentukan.
Program pengembangan Balanced Scorecard di perusahaan akan terus dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan dengan memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:
1) Tujuan jangka pendek.
Direncanakan dalam jangka waktu pendek implementasi Balanced Scorecard dapat sampai
pada level supervisor, sehingga struktur scorecard yang ada sekarang akan diperluas untuk
masing-masing supervisor.
2) Tujuan jangka panjang.
Setelah tujuan pada angka 1 (satu) di atas, implementasi Balanced Scorecard akan diarahkan
pada masing-masing karyawan. Setiap karyawan akan dinilai kinerjanya dengan
menggunakan sistem penilaian berbasis Balanced Scorecard. Nantinya diharapkan seluruh
bagian dalam perusahaan akan dinilai kinerjanya dengan menggunakan kerangka Balanced
Scorecard perusahaan.
Seperti yang telah disebutkan diatas, ada berbagai alasan perusahaan menerapkan
Balanced Scorecard untuk menjalankan bisnisnya, antara lain untuk mendapatkan kejelasan
dan konsensus tentang strategi, mencapai fokus, pengembangan kepemimpinan, intervensi
strategis, mendidik perusahaan, menetapkan target strategis, menyelaraskan program dengan
investasi, serta membangun sistem umpan balik. Setiap alasan merupakan bagian dari tujuan
yang lebih luas yaitu untuk memobilisasi perusahaan ke arah strategi yang baru. Jadi alasan
penerapan Balanced Scorecard pada perusahaan hendaknya tidak hanya untuk mengukur
kinerja dengan cara yang lebih baik, tetapi lebih luas seperti perusahaan yang lain yang telah
sukses menerapkan Balanced Scorecard.
Cara pandang pihak manajemen perusahaan harus diubah ke arah yang lebih
strategis. Balanced Scorecard tidak akan banyak memberikan arti manakala masih dianggap
sebagai sistem pengukuran finansial dan nonfinansial saja.
Strategi-strategi pada masing-masing perspektif dalam scorecard perusahaan tampak
dalam Tabel 2.1 berikut.
Sementara itu berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Best Practices LLC,
yang dilakukan pada tahun 1998, menyimpulkan bahwa dari 22 organisasi yang telah sukses
menerapkan Balanced Scorecard memiliki ukuran dengan distribusi yang sama seperti yang
disimpulkan oleh Kaplan dan Norton di atas. Selain pola distribusi ukuran seperti yang
disampaikan di atas, Kaplan dan Norton juga menyampaikan bahwa dari total ukuran di
dalam scorecard, 80 % dari total jumlah tersebut merupakan ukuran yang bersifat non
finansial.[2]
Karena ukuran mencerminkan strategi perusahaan maka ukuran juga terkait dengan
inisiatif strategis untuk mewujudkan sasaran dan target perusahaan. Ketiadaan ukuran
strategis berarti menutup inisiatif strategis untuk mewujudkan sasaran dan target yang sudah
ditentukan. Padahal inisiatif strategis merupakan dasar dari perubahan yang bisa membawa
perusahaan mencapai tujuannya. Dari distribusi ukuran tabel 2.2 dapat disimpulkan bahwa
Scorecard perusahaan sudah memenuhi kriteria berimbang jika dibandingkan dengan
distribusi ukuran seperti yang disampaikan oleh Kaplan dan Norton. bahwa strategi yang
dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas internal sudah optimal. Pencapaian sasaran
dalam perspektif pelanggan sulit tercapai manakala strategi internal untuk mewujudkannya
tidak optimal. Pencapaian sasaran dalam perspektif internal merupakan ukuran pendorong
bagi tercapainya sasaran dalam perspektif pelanggan.
Kebanyakan perusahaan yang menerapkan Balanced Scorecard memberikan
perhatian yang cukup besar pada peningkatan kapabilitas internal perusahaan. Hal ini karena
dengan proses internal yang baik perusahaan dapat menghasilkan produk-produk unggul yang
dibutuhkan pelanggan.

Tabel 2.1
Ukuran Scorecard perusahaan agar Merefleksikan Strategi Secara Utuh
Perspektif Ukuran

rspektif Keuangan Number of Potential Partner


Market Share (%)
Menciptakan alternatif strategi Prodokction Capacity
pembiayaan Membagi resiko usaha Lead Time for Product Development
rspektif Pelanggan Empowerment Index
Meningkatkan pangsa pasar dengan pembentukan company
image
rspektif Proses Bisnis Internal
Mengikuti dan menguasai teknologi mutakhir untuk
melakukan proses pengembangan produk di samping
melakukan operasi yang efektif
Menjadikan PND sebagai satu-satunya perusahaan di dunia
yang akan memiliki informasi tentang data EP (Eksplorasi
dan Produksi) Indonesia yang terlengkap dan legal secara
hukum
Meningkatkan eksistensi PND dengan menjamin
kerahasiaan data
Mempercepat proses pengumpulan data dari perusahaan-
perusahaan internasional yang selama ini menguasai data
nasional secara tidak legal
rspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Mempercepat proses pembelajaran SDM perusahaan
Membangun dan membuka peluang bagi seluruh personel
perusahaan untuk meningkatkan kapasitasnya dengan
memberlakukan kebijakan yang menunjang misi serta
sasaran usaha
. Menyediakan dan mempersiapkan SDM yang mampu
membawa visi, misi, dan tujuan perusahaan
. Pemberdayaan karyawan secara tepat

Pola distribusi perusahaan dalam scorecard-nya sebagai berikut:


Tabel 2.2
Distribusi Ukuran Scorecard perusahaan
Perspektif Jumlah Ukuran
Keuangan
lima ukuran (15 persen)
Pelangga
dua belas ukuran (35 persen)
n Internal
sembilan ukuran (26 persen)
Pembelajaran dan Pertumbuhan
Karyawan delapan ukuran (24 persen)

Ukuran yang efektif KPI Scorecard perusahaan adalah ukuran yang mampu
menjelaskan strategi perusahaan secara memadai, dan tidak semua hal harus diukur. Yang
perlu diukur adalah hal-hal yang penting dan strategis saja. Di luar scorecard akan ada
sejumlah ukuran dan rasio-rasio penting lain yang diperlukan untuk melengkapi ukuran-
ukuran strategis di dalamnya.
Ukuran yang digunakan oleh perusahaan pada perspektif keuangan terdiri dari 5
(lima) ukuran yaitu: Account Receivable-Collection Period, Operating Cost, Profitability,
Investment, dan Return on Equity (ROE). Pemilihan ukuran untuk perspektif finansial
bergantung pada tahap siklus bisnis organisasi. Berdasarkan Rencana Bisnis Tahun depan dan
keadaan keuangan saat ini berada dalam tahap bertumbuh. Perusahaan dalam menghasilkan
produk dan jasa yang memiliki potensi pertumbuhan. Untuk hal ini, perusahaan harus
melibatkan sumber daya yang cukup banyak untuk mengembangkan dan meningkatkan
berbagai produk dan jasa baru. perusahaan juga berusaha untuk memperluas pangsa pasarnya
agar dapat mencapai tingkat pengembalian yang diinginkan.
Tujuan finansial perusahaan dalam tahap pertumbuhan adalah persentase tingkat
pertumbuhan pendapatan, dan tingkat pertumbuhan penjualan di berbagai pasar sasaran,
kelompok pelanggan, dan wilayah. Ukuran Return on Equity (ROE), Revenue from Data
Management, dan Revenue from Access to Data merupakan ukuran yang relevan karena
sesuai dengan kondisi perusahaan yang sedang bertumbuh serta sejalan dengan sasaran
pertama di bidang keuangan yakni peningkatan pendapatan. Ukuran yang lain yaitu Account
Receivable-Collection Period, Operating Cost, dan Investment juga sudah sesuai dengan
sasaran perusahaan di perspektif ini yaitu peningkatan kinerja manajemen keuangan yang
sehat melalui optimalisasi sumber dan penggunaan dana.
Untuk mewujudkan sasaran perspektif pelanggan yang telah ditentukan, yakni
perluasan pangsa pasar maka keberadaan ukuran yang menerangkan strategi perluasan pasar
menjadi kebutuhan yang mendesak. Sayangnya, di dalam scorecard yang ada saat ini
perluasan pasar belum mendapatkan perhatian yang memadai. Hanya ada satu KPI yang
menerangkan perluasan pasar. KPI tersebut adalah KPI Number of New Customer. KPI ini
digunakan untuk mengukur jumlah pelanggan yang menggunakan produk atau jasa untuk
pertama kalinya. Jumlah pelanggan yang meningkat diukur oleh KPI belum berarti positif
bagi perusahaan. Bisa saja pelanggan yang dulunya menggunakan produk perusahaan beralih
kepada produk lain. Hal ini secara keseluruhan tidak memberi pengaruh signifikan dalam
peningkatan pendapatan perusahaan. Oleh karena itu untuk menegaskan sasaran perusahaan
maka ukuran yang secara tegas mengukur peningkatan pangsa pasar merupakan kebutuhan
yang relevan bagi perusahaan. Untuk memenuhi maksud ini maka KPI Market Share (%) bisa
digunakan untuk membantu perusahaan dalam memfokuskan diri pada peningkatan pangsa
pasar yang dikehendaki.
Untuk mewujudkan target-target pada perspektif keuangan dan pelanggan maka
perspektif internal menyiapkan faktor-faktor pendorong terwujudnya target-target tersebut.
Sesuai dengan inisiatif strategis yang tampak dalam rencana bisnis.
Dari hal-hal tersebut dan berdasarkan analisis deskripsi KPI yang ada maka ukuran
yang relevan untuk perusahaan dalam perspektif ini adalah: Data Accuracy, On Time
Delivery Service, Solved Complaint, Number of New Product, dan Lead Time for Product
Development.
Setelah ketiga perspektif awal dalam scorecard perusahaan di atas, maka adalah
perlu perspektif karyawan yang merupakan pilar untuk mewujudkan kinerja istimewa dalam
tiga perspektif sebelumnya. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan karyawan
memfokuskan pada pengukuran strategi yang dikembangkan untuk manajemen sumber daya
manusia agar bisa mendukung pencapaian sasaran kinerja yang diinginkan oleh
perusahaan. Ukuran-ukuran ini merupakan syarat penting dan strategis untuk perusahaan
agar kinerja istimewa perusahaan memiliki dasar yang kuat untuk direalisasikan. Ukuran
yang telah digunakan oleh perusahaan untuk memenuhi kategori ini adalah Number of Skilled
Employees, Employee Satisfaction Index, dan Number of Training Days. Dari keseluruhan
KPI yang ada pada scorecard untuk perspektif ini, tiga KPI tersebut cukup relevan untuk
menciptakan infrastruktur yang dibutuhkan tiga perspektif sebelumnya. Satu alternatif
tambahan ukuran yang dapat ditambahkan untuk mengukur strategi pemberdayaan seperti
yang telah digariskan dalam rencana bisnis perusahaan. yaitu Empowerment Index yang
mengukur tingkat pemberdayaan karyawan dalam perusahaan.

3. PENGEMBANGAN SISTEM EVALUASI KINERJA

A. PENGEMBANGAN
1. Defini Pengembangan
Ada berbagai macam perumusan yang dikemukakan oleh beberapa ahli tentang
definisi dari pengembangan. Pengembangan organisasi merupakan program yang
berusaha meningkatkan efektifitas keorganisasian dengan mengintergrasikan keinginan
individu akan pertumbuhan dan perkembangan dengan tujuan keorganisasian atau
perusahaan. Secara khusus proses ini merupakan usaha mengadakan perubahan secara
berencana yang meliputi suatu sistem total sepanjang periode tertentu, dan usaha
mengadakan perubahan itu berkaitan dengan misi organisasi atau perusahaan
(Wursanto,2005:319). Sedangkan Sutarto memberikan kesimpulan bahwa pengembangan
organisasi adalah rangkaian kegiatan penataan dan penyempurnaan yang dilakukan secara
berencana dan terus-menerus guna memecahkn masalah-masalah yang timbul sebagai
akibat daro adanya perubahan sehingga organisasi dapat mengatasi serta menyesuaikan
diri dengan perubahan dengan menerapkan ilmu perilaku yang dilakukan oleh pejabat
dalam organisasi/ perusahaan itu sendiri atau dengan bantuan dari luar organisasi.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, pengembangan merupakan usaha yang
dilakukan secara terus-menerus meliputi keseluruhan perusahaan demi meningkatkan
efektifitas dan kesehatan sebuah organisasi atu perusahan dengan menetapkan asas-asas
dan praktek yang dikenal dalam kegiatan organisasi.

Pengembangan adalah upaya meningkatkan keterampilan dan pengetahuan karyawan


lama dan baru yang dibutuhkan untuk melakukan suatu pekerjaan baik untuk saat ini atau
untuk masa mendatang. Pengembangan (development) mewakili usaha-usaha
meningkatkan kemampuan para karyawan untuk menangani beraneka tugas dan untuk
meningkatkan kapabilitas di luar kapabilitas yang dibutuhkan oleh pekerjaan saat ini
(Mathis & Jackson, 2006: 350). Para karyawan dan menejer yang memiliki pengalaman
dan kemampuan yang sesuai dapat meningkatkan daya saing organisasional dan
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah.
Pengembangan karyawan lebih berorientasi kepada masa depan dan lebih peduli
terhadap pendidikan, yaitu terhadap peningkatan kemampuan seseorang untuk memahami
dan menginterpretasi pengetahuan bukan mengajarkan keterampilan teknis.

2. Berbagai Macam Jenis Pengembangan

Pada makalah ini akan dijelaskan terlebih dahulu tentang berbagai macam
pengembangan, pengembangan disini berbeda dengan pelatihan. Perbedaan akan
tampak pada pembahasan selanjutnya. Jenis-jenis pengembangan yang dapat
dilakukan ada beberapa yaitu yang pertama pengembangan organisasi, pengembangan
sumber daya manusia (SDM), pengembangan manajemen. Pengembangan ini, satu
dengan yang lain saling mendukung dan meinginkan keefisienan dan keefektifan
perusahaan atau organisasi.

3. Tujuan dan Fungsi pengembangan SDM

Ada dua tujuan utama program pengembangan karyawan, pertama pengembangan ini
dilakukan untuk menutup “gap” anatara kecakapan atau kemampuan karyawan
dengan permintaan jabatan. Kedua, program-program tersebut diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja karyawan dalam mencapai sasaran-
sasaran kerja yang telah ditetapkan. Selain itu pengembangan ini akan membantu
menghindarkan diri dari keusangan dan melaksanakan pekerjaan dengan lebih baik.

Pertama dikemukakan oleh Admosudirjo, pengembangan organisasi atau organisasi


development mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi administrator dan fungsi spesialis.
Fungsi administrator adalah merupakan fungsi dan kewajiban daripada untuk selalu
mengembangkan dan menyesuaikan perusahaan kepada perkembangan tugas pokok,
kepada perkembangan keadaan lingkungan , kepada kemajuan teknologi yang
dipegunakan, kepada kemajuan personil serta produktivitas.

4. Perbedaan antara Pengembangan dengan Pelatihan

Pelatihan lebih berorientasi pada pekerjaan saat ini, fokusnya kepada pekerjaan
seseorang saat ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan-ketrampilan tertentu
dan kemampuan untuk dapat melaksanakan pekerjaannya dengan segera mungkin.
Pengembangan berfokus pada aspek-aspek kinerja yang kurang nyata, seperti sikap
dan nilai. Sebuah sistem pengalaman pengembangan yang terencana untuk semua
karyawan, tidak hanya pada manajer, dapat membantu memperluas keseluruhan
tingkat kapabilitas dalam sebuah perusahaan ataupun organisasi. Pengembangan
memiliki ruang lingkup yang lebih luas dalam upaya dalam upaya untuk memperbaiki
dan meningkatkan pengetahuan, kemampuan, sikap, dan sikap dan sifat-sifat
kepribadian.

5. Proses Pengembangan SDM


Menurut ( Mathis & Jackson, 2006: 352-365), pengembangan dimulai dari rencana-
rencana SDM organisasi karena rencana ini menganalis, meramalkan, dan
menyebutkan kebutuhan organisasional untuk sumber daya manusia pada saat ini dan
masa yang akan datang. Perencanaan SDM yang juga membantu menyebutkan
kapabilitas yang dibutuhkan oleh organisasi tersebut di masa yang akan datang dan
pengembangan yang dibutuhkan agar orang-orang dapat tersedia untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.
a. Merumuskan Rencana SDM

Banyak organisasi lebih memilih “membeli” daripada “membuat” karyawan memilki


kapabilitas-kapabilitas sumber daya manusia. Tapi kenyataannya, “membuat” atau
mengembangkan karyawan lebih dapat memberikan kontribusi pada strategi
keunggulan kompetisi yang terus-menerus melalui sumber daya manusia.
b. Menyebutkan Kapabilitas-kapalitas yang Penting

Beberapa kapablitas menejemen yang penting dan umum adalah orientasi tindakan,
pembuatan keputusan yang berkualitas, nilai etika, dan keterampilan teknis. Selain itu,
ada beberapa kemampuan nonteknis yang harus dikembangkan untuk keahlian
teknologi yang memiliki tuntutan tinggi, yaitu kemampuan untuk bekerja di bawah
tekanan, bekerja sendiri, menyelesaikan masalah-masalah dengan cepat, dan
menggunaka pengetahuan masa lalu dalam situasi baru.

c. Menjalankan Rencana Suksesi

Perencanaan pergantian kepemimpinan atau suksesi (succession planning) adalah


proses pen gidentifikasian rencana jangka panjang untuk penggantian karyawan-
karyawan kunci sesuai urutan. Kebutuhan untuk mengganti karyawan kunci berasal
dari promosi, pemindahan, pension, kematian, cacat jasmani, pengunduran diri, atau
alasan-alasan lain.
d. Menilai Kebutuhan Pengembangan

Baik perusahaan maupun individu dapat menganalisis apa yang dibutuhkan oleh
seorang lewat pengembangan untuk menyebutan kelebihan dan kekurangan. Metode-
metode yang digunakan antara lain penggunaan pusat-pusat penilaian (assessment
centers), pengujian psikologis, dan penilaian kinerja.

e. Melaksanakan Rencana Pengembangan

Bila kebutuhan pengembangan fisik telah dianalisi , tentunya rencana pengembangan


dapat dilaksanakan baik secara organisasional maupun individual. Pengembangan
dilaksanakan pada kapabilitas-kapabilitas apa saja yang dianggap penting untuk
dikembangkan berdasarkan analisis yang telah dilakukan sebelumnya.

f. Menentukan Pendekatan-pendekatan Pengembangan

Pendekatan pengembangan dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu (1)


pengerabangan pada pekerjaan (job side), antara lain: pelatihan (coaching);
tugas/pertemuan komite, rotasi pekerjaan (job rotation), posisi “asisten”,
pengembangan secara on line, pusat-pusat universitas korporasi, pusat pengembangan
karier, dan organisasi pembenlajaran, serta( 2) pengembangan di luar pekerjaan (off –
site) anatara lain: kursus dan perkuliahan, peatihan hubungan manusia, simulasi
(permaianan bisnis), serta cuti panjang (sabbatical leave)
g. Mengevaluasi Keberhasilan Pengembangan

Keberhasilan proses pengembangan harus dievaluasi. Bila perlu dapat dilakukan


perubahan sesuai kebutuhan SDM berikutnya, dimulai dari tahap pertama kembali.

• Diagnosis sebelum melakukan pengembangan

Sebelum melakukan pengembangan maka harus mengetahui secara jelas apa yang
harus dikembangkan dalam diri maupun organisasi harus mengetahui kebutuhan agar
mencapai efektifitas dan efisien kerja. Dalam pengembangan ada beberapa dignostik
yang bisa digunakan. Namun biasanya hanya satu macam intervensi saja yang berasal
dari metode diagnostik yang tersedia. Maka yang paling baik adalah metode
diagnostik yang tersedia, maka yang paling baik adalah menangani diagnostik terlebij
dahulu sebagai kategori kegiatan umm yang relevan untuk semua usaha
pengembangan, kemudian melanjutkannya dengan mempertimbangkan intervensi
secara lebih khusus. Proses pengidentifikasian kriteria yang dapat membantu dalam
memilih metode diagnostik yang paling sesuai dengan kebutuhan.

Ada 3 teknik dalam pengumpulan data dalam proses pengidentifikasian masalah yang
akan di atasi dengan melakukan pengembangan, yaitu:

1. Teknik dengan daftar pertanyaan survai

Lata atau teknik ini adalah yang paling banyak digunakan. Daftar pertanyaan
dipergunakan secara universal karena banyak tujuan, sehingga kegunaannya,
biayanya, dan manfaatnya dikenal oleh pengembangnya. Daftar pertanyaan pada
umumnya merupakan cara tidak langsung untuk mengumpulkan jenis informasi
tertentu dan yang paling sering diselesaikan dengan secara anonim yang memiliki
keuntungan adalah terlindungnya identitas dari responden sehingga mampu
memancing perasaan dan pendapat kuat yang tidak akan ditanyakan secara terbuka.

2. Teknik wawancara

Wawancara adalah cara langsung pengumpulan informasi melalui percakapan anatara


seorang pewancara adan satu responden atau lebih responden dengan maksud
tertentu.jika ada lebih dari satu responden itu dapat dikatakan sebagai wawancara
kelompok. Sifat langsung teknik wawancara merupakan modalnya yang terkuat
sekaligus kekurangan yang terbesar. Kesegaran interaksi bersemuka memungkinkan
dengan diselidikinya hal-hal yang menarik perhatian secara mendalam dan dalam
hubungan pembicaraan. Ini meningkatkan kecermatan diagnostik dan menjamin dapat
dirasakannya perasaan dan sikap sesungguhnya dari para anggota. Keterbatasan utama
wawancara bersemuka ialah kemustahilan memberikan jawaban anonim.

3. Teknik pengamatan langsung

Teknik ini meliputi teknik-teknik diagnostik yang mengumpulkan data mengenai


organisasi dengan melihatnya secara langsung.
6. Metode Pengembangan

Dalam kegiatan pengembangan organisasi terdapat berbagai macam metode pada


dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua macam, yaitu: metode pengembangan
perilaku dan meteode pengembangan keterampilan dan sikap

1. Metode Pengembangan Perilaku

Metode yang berusaha menyelidiki secara mendalam tentang proses perilaku


kolompok dan individu. Menggunakan berbagai cara antara lain, jaringan menegerial,
latihan kepekaan, pembentukan team, dan umpan balik survey

2. Metode Pengembangan Keterampilan

Metode ini berusaha mengembangkan keterampilan SDM yang berbeda dalam sebuah
perusahaan atau organisasi. Keterampilan yang akan dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan dalam organisasi tersebut agar kinerja dapat berjalan lancar dan efektif.

B. EVALUASI KERJA

1. Pengertian

Penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses mengevaluasi seberapa baik


karyawan melakaukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat
standar, dan kemudian mengkomunikasikan informasi tersebut kepada karyawan
(Mathis, 2006: 382). Sedangkan Jewell & Siegall mengajukan pengertian penilaian
unjuk kerja sebagai proses yang dipergunakan oleh sebuah organisasi untuk menilai
sejauh mana anggotanya telah melakukan pekerjaannya dengan memuaskan (1998:
209).

Penilaian kinerja juga disebut pemeringkatan karyawan, evaluasi karyawan, tujuan


kinerja, evaluasi kinerja, dan penilaian hasil. Apabila penilaian prestasi kerja tersebut
dilaksanakan dengan baik, maka akan dapat membantu meningkatkan motivasi kerja
dan sekaligus juga meningkatkan loyalitas organisasi organisasional dari para
karyawan.

2. Fungsi Penilaian Kinerja

Penilaian unjuk kerja merupakan sebuah sistem pengendali dengan aspek baik
”umpan balik (feedback)” maupun ”umpan maju (feedforward)” (Jewell & Siegall,
1998: 209).

• Sebagai mekanisme umpan balik (feedback)

Penilaian unjuk kerja memberikan umpan balik yang penting kepada karyawan secara
priibadi dalam hal bagaimana unjuk kerjanya dipandang. Proses ini juga memberikan
umpan balik yang penting kepada mereka yang bertugas dalam penerimaan karyawan,
pemeriksaan, pemilihan, dan pelatihan karyawan perusahaan saat itu. Misalnya, pola
hasil penilaian yang buruk di antara karyawan yang baru menunjukkan bahwa proses
yang dipergunakan untuk menerima karyawan tersebut perlu ditinjau kembali.

• Sebagai mekanisme umpan maju (feedforward)

Penilaian unjuk kerja memberikan informasi untuk membuat keputusan administratif


mengenai pemberian penghargaan kepada karyawan organisasi tersebut. Selain fungsi
tersebut, penilaian unjuk kerja merupakan sumber informasi yang penting untuk
kebutuhan dan kesempatan pengembangan karyawan pribadi. Dengan bekerjasama,
para karyawan, supervisor dan manajer dapat menggunakan informasi ini untuk
menilai kekuatan dan kelemahan mereka dan untuk membuat rencana guna mencapai
unjuk kerja yang lebih baik dan tujuan serta kesempatan karir di masa depan.

3. Kriteria penilaian kinerja


Pada dasarnya terdapat tiga pilihan mengenai apa yang harus dinilai dalam penilaian
unjuk kerja (Jewell & Siegall, 1998: 212) yaitu :

• Penilaian tehadap karakteristik atau sifat pribadi

Pendekatan sifat pribadi untuk penilaian unjuk kerja ini secara tradisional
memusatkan perhatian pada loyalitas, kepandaian, dan perangai orang tersebut.
Pendekatan sifat pribadi terhadap penilaian unjuk kerja sangat tergantung dari
persepsi penilai terhadap sifat tersebut, dan persepsi itu sendiri dipengaruhi oleh
pendapat, pengalaman dan bias pribadi penilai. Oleh sebab itu, alat ukur pendekatan
sifat pribadi mempunyai keandalan yang rendah dan jarang sekali dipergunakan.

• Penilaian unjuk kerja berdasarkan hasil yang dicapai

Pendekatan ini menilai unjuk kerja berdasarkan hasil yang diperoleh dari pekerjaan
yang dilakukan. Meskipun pengukuran unjuk kerja berdasarkan hasil yang dicapai
kelihatannya merupakan penyelesaian yang baik, tetapi hanya sedikit saja jenis
pekerjaan yang cocok diukur dengan cara pendekatan ini. Pertama, pengukuran
tersebut tergantung pada catatan yang tepat, dan catatan mungkin saja tidak tepat dan
tidak lengkap (atau bahkan tidak ada sama sekali). Kedua, hasil yang dicapai suatu
organisasi jarang sekali tergantung dari hasil pekerjaan pribadi.

• Penilaian berdasarkan perilaku

Pendekatan ini menilai unjuk kerja berdasarkan perillaku-perilaku tertentu yang


mendukung keberhasilan kerja. Selain kualitas dan kuantitas sebagai kriteria utama,
termasuk di sini pelaksanaan tugas-tugas dalam waktu yang ditentukan, kemampuan
perencanaan ke depan, pemeriksaan sendiri pekerjaan yang dilakukannya, dan
kerjasama dengan rekan kerja.

4. Pihak Penilai Kinerja


Menurut Robbins (2002: 261) terdapat beberapa alternatif mengenai siapa yang harus
menilai kinerja seorang karyawan, yaitu :

a. Atasan Langsung

Sembilan puluh lima persen dari keseluruhan evaluasi kinerja pada tingkat yang lebih
rendah dan menengah dalam suatu organisasi dilaksanakan oleh atasan langsung para
pekerja.
b. Rekan kerja

Evaluasi dari rekan kerja (peers) adalah salah satu cara yang dapat dijadikan sebagai
sumber data penilaian yang paling dapat dipercaya. Pertama, evaluasi dari rekan kerja
sangat erat hubungannya dengan kegiatan. Interaksi sehari-hari memberi mereka
sebuah sudut pandang pemahaman yang menyeluruh terhadap kinerja pekerjaan
seorang pekerja. Kedua, evaluasi dari rekan kerja, sebagai penghitung hasil, akan
menghasilkan beberapa penilaian yang mandiri, sedangkan seorang pimpinan hanya
dapat menghasilkan penilaian dalam bentuk evaluasi tunggal. Namun pada sisi lain
evaluasi dari rekan kerja dapat dirusak oleh ketidakinginan rekan kerja untuk saling
melakukan evaluasi dan oleh bias persahabatan maupun perselisihan.

c. Pengevaluasian Diri Sendiri

Karyawan yang mengevaluasi kinerjanya sendiri (self evaluation) konsisten dengan


nilai-nilai seperti swakelola dan pemberdayaan. Evaluasi yang dilakukan sendiri
memberikan nilai yang tinggi bagi pekerja; cara ini cenderung mengurangi sifat
membela diri yang dilakukan karyawan pada saat proses penilaian; dan mereka
membuat wahana yang baik untuk merangsang diskusi kinerja pekerjaan antara
pekerja dengan atasan mereka. Namun cara ini dapat dihalangi oleh penilaian yang
terlalu membumbung dan bias jasa diri.
d. Bawahan Langsung

Evaluasi yang dilakukan seorang bawahan langsung dapat memberikan informasi


yang akurat dan rinci tentang perilaku seorang manajer karena si penilai secara khusus
memiliki hubungan yang baik dengan manajer. Masalah yang muncul adalah
kekhawatiran akan tindakan balasan dari pimpinan yang dinilai tidak baik waktu
dievaluasi.
e. Pendekatan Menyeluruh: Evaluasi 360 Derajat

Cara ini memberikan umpan balik kinerja dari lingkaran penuh hubungan sehari-hari
yang mungkin dilakukan oleh seorang pekerja, mulai dari hubungan dengan petugas
ruangan surat, pelanggan, pimpinan, dan rekan kerja. Dengan mengandalkan umpan
balik dari rekan kerja, pelanggan, dan bawahan diharapkan akan memberikan setiap
orang lebih dari sekedar rasa berpartisipasi dalam proses penilaian, dan meraih hasil
yang lebih tepat dalam menilai kinerja para pekerja.

5. Metode Penilaian Kinerja

Berikut adalah metode umum penilaian sebuah kinerja (Robbins, 2002 : 262) :

• Esai Tertulis

Metode paling mudah untuk menilai suatu kinerja adalah dengan menulis sebuah
narasi yang menggambarkan kelebihan, kekurangan, prestasi masa lampau, potensi
dan saran-saran mengenai seorang karyawan untuk perbaikan.

• Keadaan Kritis

Metode keadaan kritis (critical incidence) memfokuskan perhatian si penilai pada


perilaku-perilaku yang merupakan kunci untuk membedakan sebuah pekerjaan efektif
atau yang tidak efektif. Di sini yang menjadi kunci adalah perilaku yang sifatnya
khusus, dan bukan sifat-sifat personal yang samar, melainkan yang disebutkan.

• Grafik Skala Penilaian

Di dalam metode ini, dicatat faktor-faktor kinerja, seperti kualitas dan kuantitas kerja,
tingkat pengetahuan, kerjasama, loyalitas, kehadiran, kejujuran, dan inisiatif.
Selanjutnya si penilai memeriksa daftar tersebut dan menilai setiap faktor sesuai
dengan skala peningkatan.
• Skala Peningkatan Perilaku

Skala ini mengkombinasikan elemen penting dari metode keadaan kritis dengan
metode pendekatan grafik skala penilaian: si penilai menilai para pekerja berdasarkan
pada hal-hal dalam rangkaian kesatuan, tetapi poin-poinnya merupakan contoh
perilaku aktual di dalam pekerjaan, bukan sekedar deskripsi atau ciri-ciri umum.

• Perbandingan Multipersonal

Metode perbandingan multipersonal mengevaluasi satu kinerja individu dengan


membandingkannya dengan individu atau individu-individu lainnya. Tiga
pembanding yang sangat populer adalah peringkat urutan kelompok, peringkat
individu, dan perbandingan berpasangan.

Peringkat urutan kelompok menuntut si penilai untuk menempatkan pekerja ke dalam


sebuah klasifikasi khusus. Pendekatan peringkat individu menggolongkan para
pekerja mulai dari yang terbaik hingga yang terburuk. Pendekatan perbandingan
berpasangan membandingkan setiap pekerja dengan masing-masing pekerja lainnya
dan menilai pekerja mana yang lebih baik atau yang lebih buruk satu dengan yang
lainnya.

6. Permasalahan Potensial

Meskipun suatu organisasi mungkin mencoba untuk membuat proses penilaian kinerja
yang bebas dari unsur-unsur bias pribadi, prasangka, atau dari ketidakwajaran,
permasalahan potensial dapat terbentuk dalam proses (Robbins, 2002 : 265). Evaluasi
seorang karyawan akan mengalami penyimpangan, jika faktor-faktor berikut ini
berlaku menyeluruh.
• Kriteria Tunggal

Di saat para pekerja dinilai dengan sebuah kriteria kerja tunggal, walaupun kinerja
yang berhasil pada pekerjaan tersebut menuntut kinerja yang lebih baik berdasarkan
beberapa kriteria, para pekerja hanya akan berkonsentrasi pada kriteria tunggal
tersebut dan mengesampingkan faktor-faktor terkait lainnya.

• Kesalahan yang Ditolerir

Pada saat si penilai memiliki toleransi positif di dalam penilaiannya, kinerja seorang
individu dinilai lebih, sehingga penilaian tersebut lebih tinggi dari yang seharusnya.
• Lingkaran Kesalahan

Lingkaran kesalahan (hallo error) adlah kecenderungan seorang penilai untuk sifat
seseorang mempengaruhi penilaiannya terhadap sifat yang lain dari orang tersebut.
• Kesalahan yang Sama

Ketika si penilai menilai orang lain dengan mempertimbangkan pertimbangan khusus


pada kualitas yang mereka rasa ada dalam diri mereka sendiri, mereka membuat
kesalahan yang sama (similarity error).

• Perbedaan yang rendah

Orang-orang yang bekerja untuk seorang penilai yang memiliki perbedaan yang
rendah cenderung dinilai lebih merata daripada keadaan mereka yang sebenarnya.

• Memperkuat informasi untuk menyesuaikan kriteria nonkinerja

Walaupun di dalam praktiknya jarang dianjurkan, kadang-kadang penilaian formal


dilakukan setelah keputusan tentang kinerja perorangan telah dibuat. Hal ini
memperlihatkan keputusan yang subjektif, namun formal, sering muncul sebelum
adanya informasi yang objektif untuk mendukung keputusan yang telah dihimpun.

7. Memperbaiki Penilaian Kinerja

Langkah-langkah yang dapat diambil untuk memecahkan kebanyakan masalah yang


telah diidentifikasi (Robbins, 2002 : 267)antara lain:
 Penggunaan Kriteria Ganda

Karena kinerja yang berhasil pada kebanyakan pekerjaan memerlukan pelaksanaan


sejumlah hal dengan baik, keseluruhan hal tersebut harus diidentifikasi dan dievaluasi.
Aktivitas-aktivitas penting yang menunjukkan kinerja yang efektif atau tidak efektif
adalah hal-hal yang harus dinilai.

 Sifat Menghilangkan Penekanan

Banyak sifat yang dianggap berhubungan dengan kinerja yang baik, tetapi dalam
kenyataannya sering tidak atau memiliki sedikit kaitan dengan kinerja.

 Penekanan Perilaku

Apabila memungkinkan, lebih baik menggunakan ukuran yang didasarkan pada


perilaku, karena pengukuran kita bisa menghindari permasalahan penggunaan
pengganti yang tidak tepat untuk kinerja aktual, selain itu kita dapat meningkatkan
kemungkinan yang dilihat sama oleh dua atau lebih penilai.

 Mendokumentasikan Perilaku Kinerja di Dalam Catatan Harian

Dengan pencatatan buku harian yang berisikan keadaan-keadaan kritis khusus untuk
tiap pekerja, penilai dapat terbantu dalam membuat keputusan agar lebih akurat.

 Menggunakan Penilai Ganda

Seiring dengan bertambahnya jumlah penilai, kemungkinan mendapatkan informasi


yang akurat juga meningkat.

 Menilai Secara Selektif


Penilai harus melakukan evaluasi hanya pada area di mana mereka memiliki keahlian.
 Melatih Penilai

Dengan melatih para penilai, kita dapat membuat mereka menjadi penilai yang lebih
akurat
4. STANDAR KINERJA & EVALUASI KINERJA SERTA

PENGEMBANGAN STANDAR KINERJA

A. StandarKinerja

1. Definisi Kinerja
Menurut Ilyas (2002) kinerja adalah penampilan karya personal baik kualitas maupun
kuantitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun
kelompok kerja personal.
Kinerja mengandung dua komponen penting yaitu kompetensi berarti individu atau organisasi
memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi tinngkat kinerja dan produktivitasnya,
kompetensi tersebut dapat diterjemahkan ke dalam tindakan atau kegiatan-kegiatan yang
tepat untuk mencapai hasil kinerja (Peni, 2005, Cit. Christaliana Ika, 2007).
Menurut Mangkunegoro (2002) kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawabnya yang diberikan kepadanya.
2. Model Teori kinerja

Menurut Ilyas (2002), untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kinerja personal
dilakukan pengkajian terhadap beberapa teori kinerja. Secara teoritis ada tiga kelompok
variabel yang mempengaruhi perilaku kinerja dan kerja yaitu variabel individu, variabel
organisasi dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi
perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kerja personal. Perilaku yang
berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus
diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.
Gibson, 1987 (Cit. Ilyas,2002), menyampaikan model teori kinerja dan melakukan analisis
terhadap sejumlah variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu.
a. Variabel individu, dikelompokkan pada sub variabel kemampuan, latar belakang dan geografis.
Sub variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi
perilaku dan kinerja. Sedangkan variabel geografis mempunyai efek tidak langsung pada
perilaku dan kinerja individu.
b. Variabel psikologis, terdiri dari sub variabel persepsi, sikap, kepribadian belajar dan
motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja
sebelumnyan dan variabel geografis. Variabel psikologis merupakan variabel yang komplek
dan sulit diukur dan sukar mencapai kesepakatan karena seseorang individu masuk dan
bergabung dalam organisasi kerja pada usia, etnis, latar belakang dan ketrampilan berbeda
satu dengan lainnya.
c. Varibel organisasi, berefek tidak langsung terhadap perilaku kinerja individu yang digolongkan
dalam sub variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.
Menurut Kopelmen, (Cit. Ilyas, 2002), sub variabel imbalan berpengaruh untuk
meningkatkan motivasi kerja yang pada akhirnya secara langsung akan meningkatkan kinerja
individu.
Berdasarkan penelitian Gibson dan Kopelmen yang dilakukan pada sampel dan
komunitas masyarakat di Amerikas Serikat, supervisi dan kontrol tidak tampak jelas
hubungannya dengan kinerja. Hal ini dimungkinkan variabel tersebut tidak berperan secara
bermakna pada tatanan dan budaya masyarakat pekerja Amerika. Dalam hal ini budaya
Amerika sudah dalam kondisi tidak membutuhkan kontrol dan supervisi yang ketat dari
organisasi dan atasan langsung, tingkat kinerja sudah pada tingkat yang optimum.
Di Indonesia, variabel supervisi dan kontrol masih sangat penting pengaruhnya dengan
kinerja individu. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Ilyas (1998) tentang kinerja dokter,
ditemukan hubungan yang bermakna antara variabel kontrol dan supervisi dengan kinerja
individu.
3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Mangkunegoro (2002) menyebutkan faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja
adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan
pendapat Keith Davis (1964, Cit.Christalina Ika) yang merumuskan bahwa : Human
Performance = Ability + Motivation, Motivation = Attitusde + Ssituasion, Ability =
Knowledge + Skill.
a. Faktor kemampuan

Secara psikologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ diatas rata-rata
(IQ 110 -120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam
mengerjakan pelajaran sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang
diharapkan. Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan
keahliannya.

b. Faktor Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi
(situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah
untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Sikap mental merupakan kondisi mental
yang mendorong diri pegawai untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal. Sikap
mental seorang pegawai harus sikap mental yang siap secara psikofisik (siap secara mental,
fisik, tujuan, dan situasi). Artinya, seorang pegawai harus siap mental, mampu secara fisik,
memahami tujuan, dan target kerja yang akan dicapai, mampu memanfaatkan, dan
menciptkan situasi kerja.

Menurut Handoko (2001) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja


karyawan adalah motivasi, kepuasan kerja, tingkat stres, kondisi fisik pekerjsaan, sistem
kompetisi, desain pekerjaan, dan aspek ekonomi.

Atribut kinerja seseorang digambarkan dengan 2 elemen: kemampuan dan motivasi.


Kemampuan dibentuk dari gabungan antara fisik dan kapasitas mental yang memungkinkan
seseorang untuk menunjukkan sebuah keterampilan atau satu paket keterampilan.
Pengetahuan, pengalaman, keterampilan membentuk kemampuan menuju sukses yang utuh
untuk sebuah tugas (Hersley et al., 2001, Cit. Huber, Diane L. 2006). Motivasi adalah
keinginan untuk bekerja (willingness), dan sebuah kemampuan untuk mencapai sukses.
Motivasi mempengaruhi vigur dan kecerdasan, yang akan digunakan individu dalam
kemampuannya menyelesaikan sebuah tugas, (Huber, Diane L. 2006).

Managemen kinerja merupakan proses dari managemen sumber daya manusia.


Ada beberapa tujuan untuk sistem ini. Untuk pekerja meliputi produktivitas kerja,
kompensasi, kinerja pekerjaan yang diakui, dan perencanaan pengembangan profesional.
Untuk organisasi meliputi rekrutmen pegawai, analisis pekerjaan, kompensasi administrasi,
analisis kebutuhan pelatihan, dan promosi pegawai atau evaluasi disiplin (Huber, Diane L.
2006).

A. Standar Kinerja
Evaluasi kinerja melibatkan komunitas yang jelas mengenai target dan standar;
penetapan tujuan yang spesifik dan dapat diukur; dan umpan balik (feedback) yang
berkelanjutan, (Pophal, 2008).
1. Standar kinerja
Standar kinerja menjabarkan tentang pekerjaan yang tercakup dalam satu pekerjaan tertentu.
Ini adalah langkah sangat penting sebelum menetapkan tujuan, tapi perlu maju satu langkah
lebih jauh dengan menerangkan bagaimana setiap pekerjaan harus dilakukan untuk
memenuhi standar pekerjaan tersebut. Tanpa standar, masalah kinerja dapat menjadi sangat
rancu.
Langkah pertama dalam pembuatan standar kinerja adalah mengidentifikasi aspek-aspek
penting dalam pekerjaaan. Sebagian besar pekerjaan memiliki tiga sampai enam bidang
tanggungjawab kunci. Ketika kita mencoba menunjukkan tanggungjawab-tanggungjawab ini,
jangan hanya melihat tugas rutin yang dikerjakan, tapi pertimbangkan hasil atau tujuan akhir
dari dari tugas tersebut.
Setelah area tanggung jawab teridentifikasi, perlu dibuat tiga atau empat standar (atau hasil
kunci) yang mencerminkan tingkat kinerja yang memuaskan. Penting sekali bahwa standar
tersebut dapat diukur: Bila tidak, maka standar tersebut hanya akan menjadi indikasi subjaktif
tentang bagaimana suatu pekerjaan harus dilakukan dan tak akan membantu karyawan atau
perusahaan. Standar efektif menggunakan angka, batas waktu, dan batas toleransi kesalahan
untuk menjadi tolak ukur kinerja yang obyektif.
Sebelum menentukan tingkat kinerja tertentu, sebaiknya dibuat garis dasar kinerja untuk jenis
kerja yang sedang ditangani. Setelah itu membuat target minimal tingkat kinerja. Tingkat
minimal ini menjadi standar dan tolak ukur bahwa suatu kinerja dianggap layak. Berdasarkan
tingkat kelayakkan minimal, maka dapat ditentukan standar istimewa dan ketidaklayakan
dalam kinerja. Untuk masing-masing standar kita akan menentukan tingkat kinerja
bagaimana yang melebihi dan kurang dari harapan kita.
Huber, Diane L (2006) menambahkan bahwa komponen sebuah penilaian yang komprehensif
meliputi menggambarkan kemampuan yang diperlukan (job description), menggabungkan
kemampuan pekerja/ pegawai dengan pekerjaan yang diharapkan (personal selection),
meningkatkan kemampuan staf ( staff development), meningkatkan motivasi staf (staff
development and reward system).

2. Penentuan Target
Tenaga pemersatu yang berada dalam setiap perusahaan adalah bahwa, setidaknya secara
teoritis, setiap orang dalam perusahaan bekerja untuk tujuan yang sama, yaitu keberhasilan
perusahaan. Sebuah pemahaman yang jelas tentang tujuan yang mendasari perusahaan dan
bagaimana setiap karyawan berkontribusi kepada tujuan tersebut dapat meningkatkan
semangat dan produktivitas.
Ada beberapa keuntungan dari pembuatan tujuan yang jelas dan terukur. Tujuan yang
spesifik dan terukur menciptakan keteraturan dan kesatuan tujuan bagi seluruh unsur dalam
perusahaan. Tujuan yang jelas memungkinkan karyawan dan manajer untuk mengembangkan
pandangan yang lebih luas tentang tujuan perusahaan. Setelah tujuan ditetapkan, manajemen
akan lebih mampu mengambil keputusan berdasarkan arahan perusahaan dan karyawan.
Setelah tujuan mulai tercapai, tingkat percaya diri karyawan dan manajer pun meningkat.
Penyususnan target itu sendiri adalah sebuah proses yang memungkinkan manajer dan
karyawan untuk terus mengupayakan peningkatan. Tujuan perusahaan harus memiliki
karakteristik-karakteristik berikut :
a. Spesifik. Sangat penting bahwa tujuan harus spesifik dan terukur. Ketika tujuan departemen
atau perusahaan tidak jelas, motivasi pun berkurang.
b. Telah disepakati bersama. Dorong para manajer dan penyelia agar bekerja sama dengan
karyawan dalam penyusunan tujuan. Ketika dua orang bekerja untuk mencapai tujuan yang
sama, maka peluang untuk mencapai tujuan tersebut akan bertambah secara substansial.
c. Sulit tetapi dapat dicapai. Target harus realistis, harus menantang tapi mungkin untuk dicapai.
d. Komprehensif. Target harus mencakup tujuan perusahaan. Target dapat dibuat untuk kegiatan
manajemen dan juga staf.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan target :
a. Melibatkan Karyawan dalam Pembuatan Target
Karyawan harus dilibatkan dalam proses penyusunan target. Mereka akan lebih
antusias bekerja untuk mencapai target bila mereka diberi peluang untuk memberi masukan
berdasarkan pengalaman dan aspirasi pribadi. Ini adalah standar utama dalam manajemen :
komitmen tercipta dari keterlibatan.
Hidup seorang karyawan melebihi ruang lingkup kerjanya saja, target pribadi dan pekerjaan
saling berkaitan secara integral. Upaya dalam menyusun target harus juga memfokuskan pada
target pribadi, bukan hanya target profesional.
Karyawan akan lebih merasa bertanggungjawab pada target yang dibuat berdasarkan
ketertarikan pribadi dan sekaligus kebutuhan perusahaan. Komitmen tersebut akan berakibat
pada pencapaian target secara lebih efektif dan cepat.
Meski target pribadi penting, tetapi tujuan perusahaanlah yang harus mendasari target
departemen dan individu. Ketika upaya karyawan tidak diarahkan pada tugas dan tujuan yang
sesuai dengan tujuan perusahaan, maka tidak ada prestasi yang dicapai. Karyawan menjadi
tidak produktif.
b. Pertimbangan Tambahan
Hubungan menjadi kuat ketika orang mengetahui apa yang diharapkan dari satu sama lain.
Pertimbangkan poin-poin berikut ketika menentukan target :
1) Jangan anggap bahwa target telah diketahui oleh karyawan. Elemen terpenting dari penyusunan
target adalah membantu memahamkan karyawan tentang apa yang diharapkan dari mereka
agar mereka dapat memonitor kinerja mereka sendiri. Pastikan bahwa Anda telah
mengkomunikasikan target kepada karyawan Anda, pastikan bahwa mereka memahami target
tersebut, dan pastikan bahwa mereka mengetahui apa yang Anda anggap sebagai kinerja yang
tidak layak.
2) Pastikan bahwa target telah ditulis. Penulisan target menjadikan lebih berpeluang untuk
dicapai. Bentuk tertulis adalah cara yang baik untuk memastikan bahwa Anda dan karyawan
sama-sama mengetahui tentang target yang ditentukan.
3) Libatkan karyawan dalam mengevaluasi kerja mereka. Jangan tutup-tutupi proses penyusunan
target. Beri karyawan tanggungjawab untuk mengukur dan melaporkan kesuksesan mereka
dalam mencapai target. Beri mereka kesempatan untuk mempunyai rasa memiliki terhadap
targetnya sendiri.
4) Analisis perkembangan secara rutin. Jangan membuat target dan kemudian mengevaluasi hanya
setahun sekali dalam proses evalusi resmi. Susun waktu pelaporan secara sering bila Anda
dapat menganalisis perkembangan dan mengubah target sesuai kebutuhan.
5) Anggap penyusunan target sebagai proses yang dinamis. Kuncinya adalah memastikan bahwa
target individu mendukung target perusahaan secara keseluruhan. Jika suatu target tidak
mendukung target perusahaan atau target tidak realistik, hapuslah dan ubahlah target tersebut.
6) Terangkan dengan jelas konsekuensi dari tidak tercapainya target. Harus ada konsekuensi dari
tidak tercapainya target. Bila tidak ada konsekuensi, karyawan Anda akan segera merasa
bahwa tidak ada perbedaan antara mengerjakan tugas yang Anda minta dan tidak. Lebih jauh
lagi, setelah Anda menentukan konsekuensi tertentu, maka harus diterapkan.
Tidak ada yang lebih membuat prestasi bagi karyawan dari ketidaktahuan tenatng
bagaimana pekerjaan mereka berkontribusi terhadap keseluruhan kerja perusahaan. Dengan
pembuatan target yang spesifik, terukur dan dapat dicapai, Anda telah mengambil langkah
untuk pengakuan terhadap prestasi karyawan.

B. Standar Kinerja Perawat


Dengan berkembangnya keperawatan sebagai suatu profesi, diperlukan penetapan
standar praktik keperawatan. Standar praktik sangat penting untuk menjadi pedoman objektif
di dalam menilai asuhan keperawatan. Apabila sudah ada standar, klien akan yakin bahwa ia
mendapatkan asuhan yang bermutu tinggi. Standar praktik juga sangat penting jika terjadi
kesalahan yang terkait dengan hukum (Sitorus, R , 2006).
Menurut American Nursing Association (ANA), standar praktek keperawatan
merefleksikan nilai-nilai dan prioritas profesi perawat. Standar tersebut memberikan arah
dalam melakukan praktek perawatan profesional dan menjadi kerangka dalam mengevaluasi
praktek tersebut. Perawat bertanggung jawab kepada masyarakat tentang hasil akhir asuhan
keperawatan yang diberikan. Penetapan standar ini juga bertujuan untuk mempertahankan
mutu pemberian asuhan keperawatan yang tinggi. ANA (1973, dalam Sitorus, 2006) telah
menetapkan standar praktek keperawatan, dan standar tersebut berfokus pada proses
keperawatan (Kozier et al, 1997, dalam Sitorus, 2006).
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sudah menetapkan standar praktek
keperawatan yang dikembangkan berdasarkan standar praktik keperawatan yang dikeluarkan
ANA (PPNI, 2002, dalam Sitorus, R , 2006). Standar praktik keperawatan menurut ANA :
Standar I : Perawat mengumpulkan data tentang kesehatan klien.
Standar II : Perawat menetapkan diagnosa keperawatan.
Standar III : Perawat mengidentifikasi hasil yang diharapkan untuk setiap klien.
Standar IV : Perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan yang berisi rencana
tindakan untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Standar V : Perawat mengimplementasikan tindakan yang sudah ditetapkan dalam rencana
asuhan keperawatan.
Standar VI : Perawat mengevaluasi perkembangan klien dalam mencapai hasil akhir yang
sudah ditetapkan.
Ditambahkan oleh Nursalam (2008) bahwa selain keenam standar tersebut, untuk
penilaian pelaksanaan kerja perawat juga meliputi ketrampilan komunikasi dan harapan
institusi dan profesi.
M9enurut Huber, Diane L (2006) analisis kinerja seharusnya mengidentifikasi
kompetensi yang meliputi penampilan kinerja. Jabaran kinerja (job dseskription)seharusnya
berupa standar kinerja yang spesifik dan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang
penting untuk suatu pekerjaan. Standar kinerja pun memerlukan adanya kriteria penting dari
suatu pekerjaan (contoh standar kinerja perawat yang telah dimodifikasi oleh tim penyusun
standar kinerja perawat di ruang medikal bedah dari Huber, Diane L (2006) dan Model
Praktik Keperawatan Profesional ( Sitorus dan Yulia, 2006 pada tabel 1).
C. Pengembangan Uji Coba Standar Kinerja.
Reabilitas dan validitas adalah pertimbangan penting dalam sistem pengukuran. Alat
harus disusun sehingga memberikan score yang konsisten untuk menilai individu dengan
kapasitas yang berbeda-beda. Jika kriteria dikembangkan dengan jelas dan dapat diobservasi,
akan lebih memandu untuk meningkatkan nilai reabilitas. Alat standar kinerja seharusnya
diuji oleh beberapa penilai, dengan menggunakan kriteria yang sama pada orang yang sama.
Jika dua penilai mencatat hasil observasinya pada orang yang sama dengan alat yang sama,
dan memperoleh hasil yang sama, ini menunjukkan indikasi alat ukur tersebut nilai
reabilitasnya tinggi,( Huber, Diane L ,2006) .
Karakteristik alat harus dapat dipercaya, konsisten, akurat, dan dapat
dipersamakan (comparable), (Burns & Grove, 2001, dalam Huber, Diane L ,2006).
Stabilitas kriteria kinerja menunjukkan konsistensi dengan pengukuran berulang pada alat
yang sama.
Manajer keperawatan merasa nyaman dengan alat ukur standar kinerja yang
mempunyai kemampuan mengukur pada orang yang sama pada berbagai tingkat/jenjang jika
alat ukurnya stabil dan konsisten.
Validitas alat menggambarkan tingkat kemampuan alat mengukur isi (construct)
dari materi yag diukur. Alat evaluasi harus berisi kriteria perilaku dan tujuan hasil dari
asuhan keperawatan yang efektif. Kata construst validity digunakan untuk mempertanggung
jawabkan bahwa kriteria itu tepat, berarti, dan bermanfaat dalam mengukur apa yang akan
diukur, (Huber, Diane L ,2006).
Untuk dapat memberikan penilaian yang obyektif sehingga menjamin para staf
dievaluasi dengan fairly, maka validitas dan reabilitas dari alat ukur harus
dipertanggungjawabkan, , (Huber, Diane L ,2006).
D. Pengembangan Staf melalui Penilaian Standar Kinerja
Untuk manajer, proses penilaian standar kinerja adalah sebuah kesempatan untuk
mengumpulkan wawasan tentang staf mereka. Ini adalah proses menemukan persepsi
individu-individu terhadap pekerjaan mereka. Manajer yang memandu penilaian standar
kinerja harus mempertimbangkan bahwa dengan penilaian tersebut merupakan kesempatan
untuk mengidentifikasi apa yang perlu di motivasi dari staf dan juga mengidentifikasi nilai
dan minat mereka, (Huber, Diane L ,2006).
Manajer menggunakan proses penilaian standar kinerja sebagai cara untuk
memterjemahkan tujuan organisasi ke dalam tujuan dasar para pegawai untuk
memenuhi/berkontribusi. Melalui proses komunikasi, pembimbingan, dam pengembangan,
pekerja diberikanfeedback berkaitan dengan bagaimana kerja mereka sesuai dengan harapan
organisasi dan visi manajer dikaitkan dengan budaya individu sebagai mikrosistem. Manajer
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pegawai dan memberikan penghargaan dan
dukungan untuk perilaku yang positif, seperti dorongan dan rekomendasi spesifik berkaitan
dengan kesempatan untuk mengembangan. Penilaian akan memperlihatkan
bagaimana pekerja dan manajer apa yang mungkin pekerja tingkatkan dan kembangkan.
Semua kegiatan pengembangan yang disediakan manajer untuk pegawai seharusnya
ditujukan untuk membantu kebutuhan individu menjadi lebih baik dalam skill mereka dan
meningkatkan kinerja pada posisi yang ada saat ini atau mengembangkankearah
kebutuhan yang akan datang yang lebih advancement. Pimpinan, supervisi, dan manger
merupakan model yang diacu (role model) perilaku organisasi, diidentifikasi melalui proses
penilaian stanndar kinerja, merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari memotivasi staf untuk
beradaptasi kearah tujuan.
Tujuan besar dari penilaian standar kinerja adalah meningkatkan dan memotivasi staf,
yang pada gilirannya akan meningkatkan efektifitas organisasi. Identifikasi yang jelas dari
proses penilaian standar kinerja ditujukan untuk kebutuhan institusi, seperti kebutuhan staf
dan kemampuan. Manajer yang menggunakan proses penilaian standar kinerja secara efektif
akan lebih mampu di dalam mendorong, membimbing, dan mengelola perkembangan staf
mereka, (Huber, Diane L ,2006).
Menurut Marquis, Bessie L (2006), menambahkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi keefektifan penilaian standar kinerja adalah :
1. Penilaian seharusnya didasarkan pada standar.
2. Pegawai/karyawan seharusnya memperoleh informasi perkembangan dari standar.
3. Pegawai/karyawan harus mengetahui standar yang terbaik.
4. Pegawai/karyawan harus mengetahui sumber-sumber data yang dikumpulkan dalam penilaian.
5. Penilai seharusnya seseorang yang mengobservasi pekerjaan pegawai/karyawan.
6. Penilai seharusnya sesorang yang respek dan trust pada pegawai/karyawan.
Informasi yang diperoleh selama penilaian standar kinerja dapat digunakan untuk
mengembangkan potensi pegawai/karyawan, membantu pegawai/karyawan mengatasi
kesulitan dalam berpasrtisipasi pada peran tugasnya, nilai-nilai kekuatan individu yang tidak
dapat dterima, dan membantu karyawan mencapai tujuan, (Marquis, Bessie L (2006),

A. DEFENISI EVALUASI KINERJA


Evaluasi kinerja adalah suatu metode dan proses penilaian dan pelaksanaan tugas
seseorang atau sekelompok orang atau unit-unit kerja dalam satu perusahaan atau organisasi
sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang ditetapkan lebih dahulu. Evaluasi kinerja
merupakan cara yang paling adil dalam memberikan imbalan atau penghargaan kepada
pekerja.
GT. Milkovich dan Bourdreau mengungkapkan bahwa evaluasi/penilaian kinerja
adalah suatu proses yang dilakukan dalam rangka menilai kinerja pegawai, sedangkan kinerja
pegawai diartikan sebagai suatu tingkatan dimana karyawan memenuhi/mencapai persyaratan
kerja yang ditentukan.
Definisi yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Payaman Simanjuntak
(2005:105) yang menyatakan evaluasi kinerja adalah penilaian pelaksanaan tugas
(performance) seseorang atau sekelompok orang atau unit kerja organisasi atau perusahaan.
Dengan demikian, evaluasi kinerja dapat dikatakan sebagai suatu sistem dan cara penilaian
pencapaian hasil kerja individu pegawai, unit kerja maupun organisasi secara keseluruhan.
Evaluasi kinerja atau penilaian prestasi karyawan yang dikemukakan Leon C.
Menggison (1981:310) dalam Mangkunegara (2000:69) adalah sebagai berikut: ”penilaian
prestasi kerja (Performance Appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk
menentukkan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya”. Selanjutnya Andrew E. Sikula (1981:2005) yang dikutip oleh
Mangkunegara (2000:69) mengemukakan bahwa ”penilaian pegawai merupakan evaluasi
yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian
dalam proses penafsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa obyek orang
ataupun sesuatu (barang)”. Selanjutnya Menurut Siswanto (2001:35) penilaian kinerja adalah:
” suatu kegiatan yang dilakukan oleh Manajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja
tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja dengan uraian / deskripsi
pekerjaan dalam suatu periode tertentu biasanya setiap akhir tahun.” Anderson dan Clancy
(1991) sendiri mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “Feedback from the accountant to
management that provides information about how well the actions represent the plans; it also
identifies where managers may need to make corrections or adjustments in future planning
andcontrolling activities” sedangkan Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997)
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “the activity of measuring the performance of an
activity or the value chain”.
Dari kedua definisi terakhir Mangkunegara (2005:47) menyimpulkan bahwa
pengukuran atau penilaian kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap
berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada peruisahaan. Hasil pengukuran tersebut
digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang prestasi, pelaksanaan
suatu rencana dan apa yang diperlukan perusahaan dalam penyesuaian-penyesuaian dan
pengendalian. Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi
kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan
karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan
kerja secara tepat, memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat
melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk
menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan.

B. TUJUAN EVALUASI KINERJA


Secara umum tujuan kompensasi adalah untuk membantu perusahaan mencapai
tujuan keberhasilan strategi perusahaan dan menjamin terciptanya keadilan internal dan
ekternal. Keadilan eksternal menjamin bahwa pekerjaan-pekerjaan akan dikompensasi secara
adil dengan membandingkan pekerjaan yang sama di pasar kerja. Kadang-kadang tujuan ini
bisa menimbulkan konflik satu sama lainnya, dan trade-offs harus terjadi. Misalnya, untuk
mempertahankan karyawan dan menjamin keadilan, hasil analisis upah dan gaji
merekomendasikan pembayaran jumlah yang sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang sama.
Akan tetapi, perekrut pekerja mungkin menginginkan untuk menawarkan upah tidak seperti
biasanya, yaitu upah yang tinggi untuk menarik pekerja yang berkualitas. Maka terjadilah
trade-offs antara tujuan rekrutmen dan konsistensi tujuan dari manajemen kompensasi.
Tujuan manajemen kompensasi efektif, meliputi:
1. Memperoleh SDM yang Berkualitas. Kompensasi yang cukup tinggi sangat dibutuhkan
untuk memberi daya tarik kepada para pelamar. Tingkat pembayaran harus responsif terhadap
penawaran dan permintaan pasar kerja karena para pengusaha berkompetisi untuk
mendapatkan karyawan yang diharapkan.
2. Mempertahankan Karyawan yang Ada. Para karyawan dapatkeluar jika besaran kompensasi
tidak kompetitif dan akibatnya akan menimbulkan perputaran karyawan yang semakin tinggi.
3. Menjamin Keadilan. Manajemen kompensasi selalu berupaya agar keadilan internal dan
eksternal dapat terwujud. Keadilan internal mensyaratkan bahwa pembayaran dikaitkan
dengan nilai relatif sebuah pekerjaan sehingga pekerjaan yang sama dibayardengan besaran
yang sama. Keadilan eksternal berarti pembayaran terhadap pekerjaan merupakan yang dapat
dibandingkan dengan perusahaan lain di pasar kerja.
4. Penghargaan terhadap Perilaku yang Diinginkan. Pembayaran hendaknya memperkuat
perilaku yang diinginkan dan bertindak sebagai insentif untuk memperbaiki perilaku di masa
depan, rencana kompensasi efektif, menghargai kinerja, ketaatan, pengalaman, tanggung
jawab, dan perilaku-perilaku lainnya.
5. Mengendalikan Biaya. Sistem kompensasi yang rasional membantu perusahaan memperoleh
dan mempertahankan para karyawan dengan biaya yang beralasan. Tanpa manajemen
kompensasi efektif, bisa jadi pekerja dibayar di bawah atau di atas standar.
6. Mengikuti Aturan Hukum. Sistem gaji dan upah yang sehat mempertimbangkan faktor-faktor
legal yang dikeluarkan pemerintah dan menjamin pemenuhan kebutuhan karyawan.
7. Memfasilitasi Pengertian. Sistem manajemen kompensasi hendaknya dengan mudah
dipahami oleh spesialis SDM, manajer operasi, dan para karyawan.
8. Meningkatkan Efisiensi Administrasi. Program pengupahan dan penggajian hendaknya
dirancang untuk dapat dikelola dengan efisien, membuat sistem informasi SDM optimal,
meskipun tujuan ini hendaknya sebagai pertimbangan sekunder dibandingkan dengan tujuan-
tujuan lain.
Dalam cakupan yang lebih umum, Payaman Simanjuntak (2005:106) menyatakan
bahwa tujuan dari evaluasi kinerja adalah untuk menjamin pencapaian sasaran dan tujuan
perusahaan, terutama bila terjadi kelambatan atau penyimpangan. Tujuan dari evaluasi
kinerja menurut Mangkunegara (2005:10) adalah untuk :
1. Meningkatkan saling pengertian di antara karyawan tentang persyaratan kinerja.
2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk
berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang
terdahulu.
3. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan
meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang.
4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan
termotivasi untuk berprestasi sesuai potensinya.
5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan
pelatihan, khususnya rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-
hal yang ingin diubah.

C. FAKTOR-FAKTOR PENILAIAN KINERJA


Tiga dimensi kinerja yang perlu dimasukkan dalam penilaian prestasi kerja, yaitu:
1. Tingkat kedisiplinan karyawan sebagai suatu bentuk pemenuhan kebutuhan organisasi untuk
menahan orang-orang di dalam organisasi, yang dijabarkan dalam penilaian terhadap
ketidakhadiran, keterlambatan, dan lama waktu kerja.
2. Tingkat kemampuan karyawan sebagai suatu bentuk pemenuhan Kebutuhan organisasi untuk
memperoleh hasil penyelesaian tugas yang terandalkan, baik dari sisi kuantitas maupun
kualitas kinerja yang harus dicapai oleh seorang karyawan.
3. Perilaku-perilaku inovatif dan spontan di luar persyaratan-persyaratan tugas formal untuk
meningkatkan efektivitas organisasi, antara lain dalam bentuk kerja sama, tindakan protektif,
gagasan-gagasan yang konstruktif dan kreatif, pelatihan diri, serta sikap-sikap lain yang
menguntungkan organisasi.

D. KEGUNAAN EVALUASI KINERJA


Kegunaan dari evaluasi kinerja SDM menurut Mangkunegara (2005:11) adalah :
1. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian
dan besarnya balas jasa.
2. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya.
3. Sebagai dasar mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan.
4. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja, metode
kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.
5. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang ada di
dalam organisasi.
6. Sebagai kriteria menentukan, seleksi, dan penempatan karyawan.
7. Sebagai alat memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.
8. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description).
Sedangkan Payaman Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa manfaat evaluasi
kinerja (EK) adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan Kinerja. Terutama bila hasil EK menunjukkan kinerja seseorang rendah atau
dibawah standar yang telah ditetapkan, maka orang yang bersangkutan dan atasannya akan
segera membuat segala upaya untuk meningkatkan kinerja tersebut, misalnya dengan bekerja
lebih keras dan tekun. Untuk itu, setiap pekerja perlu menyadari dan memiliki.
2. Kemampuan tertentu sebagai dasar untuk mengembangkan diri lebih lanjut.
3. Keinginan untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan kerja.
4. Sikap tertarik pada pekerjaan dan etos kerja yang tinggi.
5. Keyakinan untuk berhasil.
6. Pengembangan SDM , Evaluasi Kinerja sekaligus mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
setiap individu, serta potensi yang dimilikinya. Dengan demikian manajemen dan individu
dimaksud dapat mengoptimalkan pemanfaatan keunggulan dan potensi individu yang
bersangkutan, serta mengatasi dan mengkompensasi kelemahan - kelemahannya melalui
program pelatihan. Manajemen dan individu, baik untuk memenuhi kebutuhan perusahaan
atau organisasi, maupun dalam rangka pengembangan karier mereka masing-masing.
7. Pemberian Kompensasi. Melalui evaluasi kinerja individu, dapat diketahui siapa yang
memberikan kontribusi kecil dalam pencapaian hasil akhir organisasi atau perusahaan.
Pemberian imbalan atau kompensasi yang adil haruslah didasarkan kepada kinerja atau
kontribusi setiap orang kepada perusahaan. Pekerja yang menampilkan evaluasi kinerja yang
tinggi patut diberi kompensasi, antara lain berupa: pemberian penghargaan dan atau uang,
pemberian bonus yang lebih besar daripada pekerja lain, dan atau percepatan kenaikan
pangkat dan gaji.
8. Program Peningkatan Produktivitas. Dengan mengetahui kinerja masing-masing individu,
kekuatan dan kelemahan masing-masing serta potensi yang mereka miliki manajemen dapat
menyusun program peningkatan produktivitas perusahaan.
9. Program Kepegawaian. Hasil evaluasi kinerja sangat bermanfaat untuk menyusun program-
program kepegawaian, termasuk promosi, rotasi dan mutasi, serta perencanaan karier
pegawai.
10. Menghindari Perlakuan Diskriminasi. Evaluasi kinerja dapat menghindari perlakuan
diskriminasi dan kolusi, karena setiap tindakan kepegawaian akan didasarkan kepada kriteria
obyektif, yaitu hasil evaluasi kinerja.

E. ASPEK YANG DINILAI DALAM EVALUASI KINERJA


Aspek-aspek yang dinilai dalam evaluasi kinerja adalah sebagai berikut :
1. Kemampuan Teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik dan
peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman serta pelatihan
yang diperoleh.
2. Kemampuan Konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan
penyesuaian bidang gerak dari unit masing-masing ke dalam bidang operasional perusahaan
secara menyeluruh, yang pada intinya individual tersebut memahami tugas, fungsi serta
tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan.
3. Kemampuan Hubungan Interpersonal, yaitu antara lain untuk bekerja sama dengan orang
lain, memotivasi karyawan / rekan, melakukan negosiasi dan lain-lain.

F. JENIS/ELEMEN PENILAIAN KINERJA


Penilaian kinerja yang baik adalah yang mampu untuk menciptakan gambaran yang
tepat mengenai kinerja pegawai yang dinilai. Penilaian tidak hanya ditujukan untuk menilai
dan memperbaiki kinerja yang buruk, namun juga untuk mendorong para pegawai untuk
bekerja lebih baik lagi. Berkaitan dengan hal ini, penilaian kinerja membutuhkan standar
pengukuran, cara penilaian dan analisa data hasil pengukuran, serta tindak lanjut atas hasil
pengukuran. Elemen-elemen utama dalam sistem penilaian kinerja Werther dan Davis
(1996:344) adalah:
1. Performance Standard
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam menyusun standar penilaian kinerja yang
baik dan benar yaitu:
a. Validity adalah keabsahan standar tersebut sesuai dengan jenis pekerjaan yang dinilai.
Keabsahan yang dimaksud di sini adalah standar tersebut memang benar-benar sesuai atau
relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai tersebut.
b. Agreement berarti persetujuan, yaitu standar penilaian tersebut disetujui dan diterima oleh
semua pegawai yang akan mendapat penilaian. Ini berkaitan dengan prinsip validity di atas.
c. Realism berarti standar penilaian tersebut bersifat realistis, dapat dicapai oleh para pegawai
dan sesuai dengan kemampuan pegawai.
d. Objectivity berarti standar tersebut bersifat obyektif, yaitu adil, mampu mencerminkan
keadaan yang sebenarnya tanpa menambah atau mengurangi kenyataan dan sulit untuk
dipengaruhi oleh bias -bias penilai.

2. Kriteria Manajemen Kinerja


Kriteria penilaian kinerja dapat dilihat melalui beberapa dimensi, yaitu
a. Kegunaan fungsional (functional utility), bersifat krusial, karena hasil penilaian kinerja
dapat digunakan untuk melakukan seleksi, kompensasi, dan pengembangan pegawai, maka
hasil penilaian kinerja harus valid, adil, dan berguna sehingga dapat diterima oleh pengambil
keputusan.
b. Valid (validity) atau mengukur apa yang sebenarnya hendak diukur dari penilaian kinerja
tersebut.
c. Bersifat empiris (empirical base), bukan berdasarkan perasaan semata.
d. Sensitivitas kriteria. Kriteria itu menunjukkan hasil yang relevan saja, yaitu kinerja, bukan
hal-hal lainnya yang tidak berhubungan dengan kinerja.
e. Sistematika kriteria (systematic development),. Hal ini tergantung dari kebutuhan organisasi
dan lingkungan organisasi. Kriteria yang sistematis tidak selalu baik. Organisasi yang berada
pada lingkungan yang cepat berubah mungkin justru lebih baik menggunakan kriteria yang
kurang sistematis untuk cepat menyesuaikan diri dan begitu juga sebaliknya.
f. Kelayakan hukum (legal appropriateness) yaitu kriteria itu harus sesuai dengan hukum yang
berlaku.

3. Pengukuran Kinerja (Performance Measures)


Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (rating)
yang relevan. Rating tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur, dan
mencerminkan hal-hal yang memang menentukan kinerja Werther dan Davis (1996:346).
Pengukuran kinerja dapat bersifat subyektif atau obyektif . Jenis-jenis penilaian adalah
sebagai berikut :
1) Penilaian hanya oleh atasan
a. cepat dan langsung
b. dapat mengarah ke distorsi karena pertimbangan-pertimbangan pribadi.
2) Penilaian oleh kelompok lini : atasan dan atasannya lagi bersama – sama membahas kinerja
dari bawahannya yang dinilai.
a. obyektifitas lebih lebih akurat dibandingkan kalau hanya oleh atasannya sendiri.
b. Individu yang dinilai tinggi dapat mendominasi penilaian.
3) Penilaian oleh kelompok staf : atasan meminta satu atau lebih individu untuk bermusyawarah
dengannya; atasan langsung yang membuat keputusan akhir.
4) Penilaian melalui keputusan komite : sama seperti pada pola sebelumnya kecuali bahwa
manajer yang bertanggung jawab tidak lagi mengambil keputusan akhir; hasil didasarkan
pada pilihan mayoritas.
5) Penilaian berdasarkan peninjauan lapangan : sama sepeti kelompok staf , namun melibatkan
wakil dari pimpinan pengembangan atau departemen SDM yang bertindak sebagai peninjau
independen.
6) Penilaian yang dilakukan oleh bawahan dan sejawat.

4. Tantangan dalam Penilaian Kinerja


Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian
yang dilakukan oleh pihak manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis
pekerjaan yang akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan
masalah prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja,
promosi/demosi, dan penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering muncul menurut
Werther dan Davis (1996:348) adalah:
a. Hallo Effect, terjadi karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang
dinilainya. Oleh karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai cenderung akan memperoleh
nilai positif pada semua aspek penilaian, dan begitu pula sebaliknya, seorang pegawai yang
tidak disukai akan mendapatkan nilai negatif pada semua aspek penilaian.
b. Liniency and Severity Effect. Liniency effectialah penilai cenderung beranggapan bahwa
mereka harus berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka cenderung memberi nilai yang
baik terhadap semua aspek penilaian. Sedangkan severity effect ialah penilai cenderung
mempunyai falsafah dan pandangan yang sebaliknya terhadap pegawai sehingga cenderung
akan memberikan nilai yang buruk.
c. Central tendency,yaitu penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah
kepada bawahannya (selalu berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu
berlebihan tersebut menjadikan penilai cenderung memberikan penilaian dengan nilai yang
rata-rata.
d. Assimilation and differential effect. Assimilation effect,yaitu penilai cenderung menyukai
pegawai yang mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan nilai
yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat dan ciri-
ciri dengannya. Sedangkan differential effect,yaitu penilai cenderung menyukai pegawai
yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tapi sifat-sifat itulah yang
mereka inginkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang
lainnya.
e. First impression error,yaitu penilai yang mengambil kesimpulan tentang pegawai
berdasarkan kontak pertama mereka dan cenderung akan membawa kesan-kesan ini dalam
penilaiannya hingga jangka waktu yang lama.
f. Recency effect,penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja
mereka saksikan, dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu jangka waktu tertentu.

5. Pelaku Evaluasi Kinerja


Yang melakukan evaluasi kinerja karyawan biasanya adalah atasan langsung.
Evaluasi kinerja unit atau bagian organisasi adalah kepala unit itu sendiri. Alas an langsung
pada umumnya mempunyai kesempatan dan akses yang luas untuk mengamati dan menilai
prestasi kerja bawahannya. Namun, penilaian oleh atasan langsung sering dianggap kurang
objektif.
Setiap pekerja atau karyawan pada dasarnya merupakan orang yang paling
mengetahui apa yang di lakukannya sendiri. Oleh sebab itu, masing-masing individu dapat
diminta mengevaluasi kinerjanya sendiri, baik secara tidak langsung melalui laporan, maupun
secara langsung melalui permintaan dan petunjuk. Setiap individu melaporkan hasil yang
dicapai dan mengemukakan alas an-alasan bila tidak mampu mencapai hasil yang
ditargetkan. Untuk lebih menjamin objektifitas penilaian, perusahaan atau organisasi dapat
pula membentuk tim evaluasi kinerja yang dianggap dapat objektif baik untuk mengevaluasi
kinerja individu maupun mengevaluasi kinerja kelompok dan unit atau bagian organisasi.

6. Waktu Pelaksanaan
Evaluasi kinerja dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan atau menurut kondisi
pekerjaan atau kondisi perusahaan. Pertama, bagi pekerjaan yang bersifat sementara atau
harus diselesaikan dalam waktu yang relative pendek, evaluasi kinerja dilakukan menjelang
atau segera setelah pekerjaan itu diselesaikan. Kedua, untuk pekerjaan dalam jangka lama,
seperti unit-unit dalam perusahaan atau organisasi, evaluasi kinerja dilakukan secara rutin
periodik. Evaluasi tersebut dapat dilakukan setiap akhir minggu, setiap akhir kuartal, setiap
akhir semester atau setiap akhir tahun.
Ketiga, evaluasi kinerja dapat dilakukan secara khusus pada saat tertentu bila
dirasakan timbul masalah atau penyimpangan sehingga perlu melakukan tindakan korektif.
Keempat, evaluasi kinerja diperlukan untuk atau dalam rangka program organisasi dan
kepegawaian, seperti identifikasi kebutuhan latihan, perencanaan karir, pemberian
penghargaan, rotasi dan promosi, penyusunan skala upah, analisi jabatan, dll.
Pengembangan Standar Kinerja

pengertian standar kinerja

Standar kinerja (performance standards) adalah persyaratan tugas, fungsi atau perilaku yang
ditetapkan oleh pemberi kerja sebagai sasaran yang harus dicapai oleh seorang karyawan.
Menurut Randall S. Schular & Susan E. Jackson (1999) “Ada tiga jenis dasar kriteria
kinerja”, yaitu:
Kriteria berdasarkan sifat (memusatkan diri pada karakteristik pribadi seorang karyawan).
Kriteria berdasarkan perilaku (kriteria yang penting bagi pekerjaan yang membutuhkan
hubungan antar personal).
Kriteria berdasarkan hasil (kriteria yang fokus pada apa yang telah dicapai atau dihasilkan).
Berikut ini diberikan beberapa keuntungan atau manfaat penggunaan standar operasi/
produksi dalam perusahaan:
Dapat dikuranginya macam bahan baku maupun barang jadi yang harus ada dalam
persediaan.
dengan adanya standardisasi barang-barang jadi maka pembuatannya pun menjadi lebih
mudah dalam arti tidak perlu dilakukan penghitungan atau perubahan ukuran, sifat barang
setiap mulai produksi sehingga akan menghemat waktu, tenaga dan modal.
Dengan dihematnya waktu pembuatan maka penyerahan barang jadi ke konsumen akan dapat
tepat waktu.
Pengiriman barang tidak akan salah karena barang-barang telah dikelompokkan terlebih dulu
berdasarkan standarnya masing-masing.
Manajemen operasi yang efektif membutuhkan standar yang dapat membantu perusahaan
untuk menentukan hal- hal berikut.
Muatan pekerja dari setiap barang yang diproduksi (biaya pekerja).
Kebutuhan staf (berapa orang yang dibutuhkan untuk memproduksi barang yang dibutuhkan).
Perkiraan biaya dan waktu sebelum produksi dilaksanakan (untuk membantu mengambil
beragam keputusan dari perkiraan biaya hingga ke keputusan untuk membuat sendiri atau
membeli).
Jumlah kru dan keseimbangan pekerjaan (siapa yang mengerjakan apa dalam satu aktivitas
kelompok atau pada satu lini produksi).
Tingkat produksi yang diharapkan (jadi, baik manajer maupun pekerja tahu apa saja yang
termasuk dalam satu hari kerja normal).
Dasar perencanaan insentif pekerja (apa yang menjadi acuan untuk memberikan insentif yang
tepat).
Efisiensi karyawan dan pengawasan (sebuah standar diperlukan untuk mengetahui apa yang
digunakan dalam penentuan efisiensi).
Standar tenaga kerja yang ditetapkan secara benar ini mewakili waktu yang dihabiskan oleh
seorang pekerja rata- rata untuk melaksanakan aktivitas tertentu di bawah kondisi kerja
normal.

Fungsi standar kinerja

Standar kinerja pekerjaan (performance standard) menetapkan tingkat kinerja pekerjaan yang
diharapkan dari pelaksana pekerjaan dankriteria pengukuran kesuksesan pekerjaan. Standar
kinerja pekerjaan membuat eksplisit kuantitas dan atau kualitas kinerja yang diharapkan
dalam tugas dasar yang ditentukan sebelumnya dalam deskripsi pekerjaan. Standar kinerja
pekerjaan ini biasanya berupa pernyataan mengenai kinerja yang dianggap diterima dan dapat
dicapai atas sebuah pekerjaan tertentu. Adapun beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
dalam standar kinerja pekerjaan diantaranya adalah :

1. Standar kinerja harus relevan dengan individu dan organisasi.


2. Standar kinerja harus stabil dan handal.
3. Standar kinerja harus membedakan antara pelaksanaan pekerjaan yang baik, sedang dan
buruk.
4. Standar kinerja harus dijabarkan dalam angka.
5. Standar kinerja harus mudah diukur.
6. Standar kinerja harus dipahami oleh karyawan dan penyelia.
7. Standar kinerja harus memberikan interprestasi yang tidak bias.

Standar kinerja pekerjaan ini mempunyai dua fungsi. Pertama, menjadi tujuan atau sasaran
upaya karyawan. Jikalau standar telah terpenuhi, karyawan akan merasakan adanya
pencapaian dan penyelesaian. Kedua, standar kinerja pekerjaan ini merupakan kriteria
pengukuran keberhasilan sebuah pekerjaan. Tanpa adanya standar, tidak ada sistem
pengendalian yang dapat mengevaluasi kinerja karyawan. Beberapa diantaranya dapat
menjadi disfungsional. Contoh, standar tidak tertulis diperusahaan Jepang adalah bahwa
seorang karyawan harus bekerja luar biasa lamanya setiap hari guna membuktikan
loyalitasnya kepada perusahaan. Karoshi, atau kematian yang diakibatkan kelebihan kerja,
menjadi konsekuensi yang harus ditanggung karyawan.

Penerapan standar kinerja untuk posisi manajerial dan profesional lebih baru permunculannya
dengan aplikasi manajemen berdasarkan sasaran Management by objectives ( MBO).
Sekalipun standar kinerja cenderung membentuk standar kinerja yang dapat diterima oleh
rata-rata pemangku jabatan tertentu, manajemen berdasarkan sasaran cenderung lebih
berorientasi ke masa depan, dalam pengertian bahwa metode ini melibatkan penetapan
sasaran atau tujuan yang menghasilkan tingkat kinerja yang lebih tinggi. Sedangkan jantung
dari MBO ini adalah sasaran-sasaran yang secara obyektif terukur dan disepakati bersama
oleh karyawan dan manajer. Instrumen ini mengkombinasikan pengembangan dengan
evaluasi. Karyawan dan manajer bersama-sama memformulasikan sasaran-sasaran yang
berfungsi sebagai kriteria penilaian, fokus pada aktivitas karyawan, dan basis bagi penilaian
kebutuhan-kebutuhan pelatihan dan pengembangan. Bentuk dari MBO haruslah mencakup
tempat untuk mendaftar tujuan-tujuan, menulis kerangka waktu untuk pencapaiannya, dan
menggambarkan hasil-hasil yang terukur yang mengindikasikan pencapaian sasaran.

Selain itu pada saat digunakan untuk evaluasi, sasaran-sasarannya haruslah :

1. Mengidentifikasi hasil-hasil tertentu yang dikehendaki dan langkah-langkah yang perlu


diambil.
2. Menetapkan batas waktu kapan sasaran-sasaran itu akan dicapai.
3. Dapat diukur sehingga penentuan yang terandalkan dari pencapaian mereka dapat dibuat.
4. Realistik, menantang, tetapi masih dapat dicapai.

Adapun prosedur dari metode penilaian MBO ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :
1. Setiap bawahan diminta untuk menentukan bagi dirinya sendiri sasaran atau target prestasi
kerja jangka pendek beserta cara-cara bagaimana ia dapat memperbaiki pola kerjanya sendiri
serta pola kerja dari unitnya.
2. Atasan dan bawahan bersama-sama membicarakan apa yang diperlukan untuk mencapai
sasaran tersebut dan untuk menyesuaikan terhadap organisasi sebagai keseluruhan.
3. Pada akhir masa penilaian yang ditetapkan (misalkan 6 bulan ) mereka bertemu lagi untuk
menilai apakah sasaran-sasaran dapat dicapai dengan baik, membahas perihal apa saja yang
dapat diperbaiki dan menetapkan sasaran-sasaran baru untuk masa penilaian berikutnya.
Sebagai upaya untuk saling mengisi, maka atasan menuliskan hasil penilaian yang terperinci
mengenai bawahannya dan bawahannya menuliskan prestasi kerja yang dapat atau tidak
dapat dicapainya.

Persyaratan standar kinerja

Persyaratan dan Prosedur pembuatan standar kinerja pekerjaan sangatlah majemuk. Dalam
ancangan yang sangat terpusat, atasan mungkin langsung menulis standar dan langsung
memberitahukannya kepada para karyawan. Dalam ancangan partisipatif, lebih terdapat
banyak interaksi antara penyelia dan kalangan karyawan. Prosedur partisipatif dalam rangka
menyusun standar kinerja adalah sebagai berikut :

1. Penyelia menjalin kerja sama dari para bawahan dalam menyusun standar kinerja dan
prosedur yang perlu diikuti ketika menuliskannya.
2. Setiap bawahan menuliskan standar tentatif untuk setiap aspek pekerjaannya dan
menyampaikan usulan pendahuluan kepada penyelia.
3. Setiap bawahan menemui penyelia guna membahas standar tentatif dan mencapai
kesepakatan atas dokumen akhir.
4. Standar ini digunakan oleh karyawan untuk menelusuri seberapa baik pekerjaannya, dan
oleh karyawan maupun penyelia dipakai untuk menilai kinerja karyawan.

Sekiranya memungkinkan, standar kinerja pekerjaan ini tertulis dalam istilah kuantitatif,
namun praktiknya beberapa aspek pekerjaan memang sulit dikuantifikasikan, dan pernyataan
kualitatif mesti digunakan. Dimana seorang pimpinan harus memperhatikan prestasi kerja
karyawannya. Prestasi kerja karyawan ini digunakan untuk mendapatkan informasi tentang
baik tidaknya kinerja karyawan tersebut.

kreteria Untuk Mengukur Kinerja

Kriteria penilaian kinerja dapat dilihat melalui beberapa dimensi, yaitu kegunaan fungsional
(functional utility), keabsahan (validity), empiris (empirical base), sensitivitas (sensitivity),
pengembangan sistematis (systematic development), dan kelayakan hukum (legal
appropriateness).

a. Kegunaan fungsional bersifat krusial, karena hasil penilaian kinerja dapat digunakan untuk
melakukan seleksi, kompensasi, dan pengembangan pegawai, maka hasil penilaian kinerja
harus valid, adil, dan berguna sehingga dapat diterima oleh pengambil keputusan.
b. Valid atau mengukur apa yang sebenarnya hendak diukur dari penilaian kinerja tersebut.
c. Bersifat empiris, bukan berdasarkan perasaan semata.
d. Sensitivitas kriteria. Kriteria itu menunjukkan hasil yang relevan saja, yaitu kinerja, bukan
hal-hal lainnya yang tidak berhubungan dengan kinerja.
e. Sistematika kriteria. Hal ini tergantung dari kebutuhan organisasi dan lingkungan
organisasi. Kriteria yang sistematis tidak selalu baik. Organisasi yang berada pada
lingkungan yang cepat berubah mungkin justru lebih baik menggunakan kriteria yang kurang
sistematis untuk cepat menyesuaikan diri dan begitu juga sebaliknya.
f. Kelayakan hukum yaitu kriteria itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Agar penilaian fair, ada lima elemen yang harus diperhatikan:

Sasaran kinerja yang jelas


Sasaran disepakati bersama
Sasaran berkaitan dengan uraian jabatan
Pertemuan tatap muka
Diskusi

Sementara itu, untuk melakukan penilaian yang objektif, Anda harus mempertimbangkan
enam elemen di bawah ini:
Data aktual
Perilaku karyawan yang positif dan negatif
Keberanian atau ketegasan Anda
Sistem penilaian yang terstruktur
Formulir yang tidak rumit
Kemampuan menilai
Proses Penilaian Kinerja

Berikut adalah langkah-langkah yang harus Anda lakukan untuk menilai kinerja anak buah
atau pegawai Anda.

1. Persiapkan data-data yang dibutuhkan


Langkah pertama adalah mempersiapkan data-data yang berkaitan dengan perilaku dan
kinerja bawahan Anda. Ini dapat berupa catatan, laporan, hasil bimbingan terakhir, dan
sebagainya.

2. Buat penilaian
Gunakan data-data yang telah dipersiapkan tersebut sebagai landasan menilai dan
memberikan umpan balik. Penilaian dan umpan balik ini umumnya termasuk sebagai draf
penilaian (sementara). Meskipun demikian, Anda tetap harus serius membuatnya.

3. Diskusikan dengan atasan langsung


Langkah selanjutnya adalah mendiskusikan penilaian dan umpan balik sementara dengan
atasan langsung Anda. Tujuannya, untuk memutuskan penilaian akhir yang fair dan objektif.

4. Selenggarakan pertemuan dengan bawahan Anda


Setelah penilaian akhir diputuskan, selenggarakan pertemuan dengan bawahan Anda.
Pertemuan ini seyogianya dilangsungkan di tempat dan waktu yang nyaman (misalnya kantor
Anda atau ruang rapat) sehingga Anda berdua tidak terganggu aktivitas lain.

5. Serahkan hasil penilaian kepada bawahan Anda


Langkah kelima adalah menyerahkan hasil penilaian kepada bawahan Anda. Jangan lupa,
berikan waktu yang memadai agar karyawan yang bersangkutan membaca hasil tersebut.
6. Bahas hasil penilaian
Langkah selanjutnya adalah membahas hasil penilaian Anda. Dalam pembahasan ini,
kemukakan dasar penilaian Anda dengan bahasa yang positif dan ukurannya (misal
pengukuran motivasi). Setelah itu, berikan kesempatan bawahan Anda untuk menyampaikan
pendapat atau tanggapan.Mungkin saja dia memiliki pandangan yang berbeda atas penilaian
yang Anda berikan. Terima argumentasi tersebut lalu diskusikan lebih lanjut sehingga Anda
berdua dapat menyepakati penilaian akhirnya.

7. Informasikan rencana pengembangan


Langkah terakhir adalah menginformasikan rencana pengembangan untuk bawahan Anda.
Rencana ini dapat berupa pelatihan, promosi jabatan, penugasan, atau permagangan. Seperti
halnya langkah keenam, langkah ini bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan bersama agar
pengembangan tersebut berjalan dengan lancar dan berhasil guna (efektif).

Dengan mengetahui kriteria dan langkah-langkah di atas, Anda dapat melakukan penilaian
kinerja yang efektif. Dengan demikian, penilaian kinerja tidak lagi menjadi kegiatan yang
menegangkan atau sia-sia. Ujung-ujungnya, produktivitas karyawan, unit kerja, dan
perusahaan meningkat dari tahun ke tahun.

Ukuran Kinerja

Ukuran kinerja ini membahas mengenai sistem ukuran kinerja, yang menggabungkan
informasi keuangan dengan informasi non keuangan. Tujuan dari sistem ukuran kinerja
adalah untuk membantu menerapkan strategi.

1. Sistem Ukuran Kinerja


Cita-cita dari sistem ukuran kinerja adalah untuk mengimplementasikan strategi. Dalam
menetapkan sistem tersebut, manajemen memilih ukuran-ukuran yang paling mewakili
strategi perusahaan. Ukuran ini dapat dilihat sebagai factor keberhasilan penting masa kini
dan masa depan.
2. Keterbatasan Sistem Pengendalian Keuangan
Tujuan utama dari suatu perusahaan bisnis adalah untuk mengoptimalkan tingkat
pengembalian pemegang saham. Tetapi, megoptimalkan profitabilitas jangka pendek tidak
selalu menjamin tingkat pengembalian yang optimum bagi pemegang saham karena nilai
pemegang saham mencerminkan nilai sekarang bersih (net present value-NPV) dari perkiraan
laba masa depan.

Beberapa alasan yang hanya mengandalkan ukuran-ukuran keuangan dapat menjadi


fungsional:

Pertama, hal itu dapat mendorong tindakan jangka pendek yang tidak sesuai dengan
kepentingan jangka panjang perusahaan. Semakin besar tekanan yang diberikan untuk
mencapai tingkat laba saat ini, semakin besar kemungkinan bahwa manajaer unit bisnis akan
mengambil tindakan jangka pendek yang mungkin salah dalam jangka panjang.
Kedua,, manajer unit bisnis mungkin tidak mengambil tindakan yang berguna untuk jangka
panjang, guna memperoleh laba jangka pendek.
Ketiga, menggunakan laba jangka pendek sebagai satu-satunya tujuan mendistorsi
komunikasi antara manajer unit bisnis dengan manajemen senior. Jika manajer unit bisnis
dievaluasi berdasarkan anggaran laba mereka, mereka mungkin mencoba untuk menetapkan
target laba yang mudah dicapai, sehingga mengarah pada data perencanaan yang salah untuk
seluruh perusahaan karena laba yang dianggarkan mungkin saja lebih rendah dari yang
seharusnya dapat dicapai.
Keempat, pengendalian keuangan yang ketat dapat memotivasi manajer untuk memanipulasi
data. Ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Pada satu tingkat, manajer bias saja memilih
metode akuntansi yang meminjam dari laba masa depan untuk memenuhi target periode
sekarang.

Kesimpulannya, mengandalkan pada ukuran keuangan saja adalah tidak mencukupi untuk
memastikan bahwa strategi akan dilaksanakan dengan sukses. Solusinya adalah untuk
mengukur dan mengevaluasi manajer unit bisnis menggunakan berbagai ukuran, baik
nonkeuangan maupun keuangan. Ukuran nonkeuangan yang mendukung implementasi
strategi disebut factor kunci keberhasilan atau indicator kunci kinerja.
Perusahaan lebih cenderung untuk menggunakan ukuran nonkeuangan ditingkat yang lebih
rendah dalam organisasi untuk pengendalian tugas dan penilaian keuangan ditingkat yang
lebih tinggi untuk pengendalian manajemen. Campuran dari ukuran keuangan dan
nonkeuangan sebenarnya diperlukan di semua tingkatan dalam organisasi.

Balanced scorecard adalah suatu contoh dari sistem ukuran kinerja. Menurut para pendukung
pendekatan ini, unit bisnis harus diberikan cita-cita dan diukur dari empat perspektif berikut
ini:

1. Keuangan (contohnya: margin laba, tingkat pengembalian atas aktiva, arus kas)
2. Pelanggan (contohnya: pangsa pasar, indeks kepuasan pelanggan)
3. Bisnis internal (contohnya: retensi karyawan, pengurangan waktu siklus)
4. Inovasi dan pembelajaran (contohnya persentase penjualan dari produk baru).

Balanced scorecard memlihara keseimbangan antara ukuran-ukuran strategis yang berbeda


dalam suatu usaha mencapai keselarasan cita-sita, sehingga dengan demikian mendorong
karyawan untuk bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik organisasi. Dalam menciptakan
balanced scorecard, eksekutif harus memilih bauran dari ukuran yang: (1) scara akurat
mencerminkan factor kunci yang akan menentukan keberhasilan strategi perusahaan;(2)
menunjukkan hubungan antara ukuran-ukuran individual dalam hubungan sebab-akibat,
mengindikasikan bagaimana ukuran-ukuran nonkeuangan memengaruhi hasil keuangan
jangka panjang; dan (3) memberikan pandangan luas mengenai kondisi perusahaan saat ini.

Sistem Penilain Kinerja : Pertimbangan Tambahan


Suatu sistem penilaian kinerja berusaha untuk memenuhi kebutuhan dari pihak pemangku
kepentingan (stakeholders) yang berbeda dari organisasi perusahaan dengan menciptakan
campuran dari ukuran-ukuran strategis, ukuran hasil dan pemicu, ukuran keuangan dan
nonkeuangan, serta ukuran internal dan eksternal.

a. Ukuran Hasil dan Pemicu


Ukuran hasil mengindikasikan hasil dari suatu strategi (misalnya meningkatnya pendapatan).
Ukuran ini biasanya merupakan “indicator yang terlambat” yang memberitahu manajemen
mengenai apa yang telah terjadi. Sebaliknya, ukuran pemicu merupakan “indicator yang
mendahului” yang menunjukkan kemajuan dari bidang-bidang kunci dalam
mengimplementasikan suatu strategi, contohnya adalah waktu siklus.
Ukuran hasil dan pemicu adalah sangat terkait. Jika ukuran hasil mengindikasikan bahwa ada
suatu masalah namun ukuran pemicu menunjukkan bahwa strategi tersebut
diimplementasikan dengan baik, maka kemungkinan besar bahwa strategi tersebut perlu di
ubah.
b. Ukuran Keuangan dan Nonkeuangan
Organisasi telah mengembangkan sistem yang sangat canggih untuk mengukur kinerja
keuangan. Namun tahun 1980-an di AS banyak industry yang dipicu oleh perubahan dlam
bidang nonkeuangan, seperti kualitas dan kepuasan pelanggan, yang pada akhirnya
memengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Banyak organisasi yang gagal untuk
memasukkannya dalam tinjauan kinerja tingkat ksekutif karena ukuran-ukuran ini cenderung
kurang canggih dibandingkan dengan ukuran keuangan dan manajer senior kurang terampil
dalam menggunakannya.
c. Ukuran Internal dan Eksternal
Perusahaan harus mencapai keseimbangan antara ukuran-ukuran eksternal, seperti kepuasan
pelanggan, dengan ukuran-ukuran dari proses bisnis internal, seperti hasil produksi. Terlalu
sering perusahaan mengorbankan pengembangan internal untuk memperoleh hasil eksternal,
karena secara salah meyakini bahwa ukuran internal yang bagus sudah mencukupi.

Aspek yang paling penting dari system pengukuran kinerja adalah kemampuannya untuk
mengukur hasil dan pemicu sedemikian rupa sehingga menyebabkan organisasi bertindak
sesuai dengan strateginya. Organisasi tersebut mencapai keselarasan cita-cita dengan cara
mengaitkan tujuan keuangan dan strategi keseluruhan dengan tujuan di tingkat lebih rendah
yang dapat dipantau dan dipengaruhi di tingkatan organisasi yang berbeda. Dengan ukuran-
ukuran ini, semua karyawan dapat memahami bagaimana tindakan mereka mempengaruhi
strategi perusahaan.
Karena ukuran-ukuran ini secara eksplisit terkait dengan strategi suatu organisasi, maka
ukuran-ukuran dalam scorecard harus spesifik untuk strategi tertentu dan oleh karena itu
spesifik untuk organisasi tertentu. Walaupun ada kerangka pengukuran kinerja yang generik,
tidak ada scorecard yang generik.
Ukuran-ukuran scorecard dikaitkan dari atas ke bawah dan dikaitkan dengan target tertentu di
seluruh organisasi. Tujuan dapat menjelaskan suatu strategi lebih lanjut sehingga organisasi
tersebut mengetahui apa yang perlu dilakukan dan berapa banyak yang harus diselesaikan.
Terakhir, scorecard menekankan gagasan mengenai hubungan sebab akibat antara ukuran-
ukuran tersebut. Dengan menampilkan secara eksplisit hubungan sebab akibat tersebut, suatu
organisasi akan memahami bagaimana ukuran-ukuran nonkeuangan (misalnya: kualitas
produk) memicu ukuran-ukuran keuangan (misalnya: pendapatan).
Scorecard bukanlah sekedar daftar ukuran. Melainkan, masing-masing ukuran dalam
scorecard harus dikaitkan satu sama lain secara eksplisit dalam hubungan sebab akibat,
sebagai suatu alat untuk menerjemahkan strategi menjadi tindakan.
Semakin baik hubungan ini dipahami, maka semakin siap pula setiap individu dari organisasi
untuk memberikan kontribusi secara langsungdan jelas terhadap keberhasilan strategi
organisasi.

Prose Pengembangan Standar Kinerja

Menurut Ivancevich (1992), kemampuan menghasilkan data yang akurat dan reliable akan
meningkatk jika mengikuti suatu proses sistematis yang terdiri dari 6 (enam) langkah, yaitu :

a. Mengadakan standar kinerja untuk setiap posisi dan criteria evaluasianya,


b. Mengadakan kebijaksanaan evaluasi kinerja berkaitan dengan kapan penilaian dilakukan,
seberapa sering dan siapa yang harus menilai,
c. Memiliki penilaian yang mengumpulkan data kinerja karyawan,
d. Memiliki penilaian yang mengevaluasi kinerja karyawan,
e. Mendiskusikan evaluasi tersebut dengan karyawan,
f. Membuat keputusan dan menyimpan hasil evaluasi tersebut.

Dimensi kinerja atas karyawan yang dinilai disebut dengan criteria evaluasi. Menurut
Ivancevich (1992), suatu criteria yang efektif harus memiliki karakteristik sebagao berikut :

a. Relevan. Suatu pengukuran kinerja harus sesuai dengan output aktual.


b. Sensitivitas. Suatu criteria harus dapat mencerminkan perbedaan antara orang yang
berkinerja tinggi dan yang berkinerja rendah.
c. Praktis. Kriteria harus mudah diukur, dan pengumpulan data dilakukan secara efisien.

Menurut Ivancevich (1992), beberapa pertimbangan yang dapat digunakan dalam


menentukan waktu pelaksanaan penilaian kinerja, yakni :

a. Dapat dilakukan secara arbitari, artinya waktu pelaksanaan penilaian kinerja dapat
ditentukan secara sembarang.
b. Setiap karyawan dievaluasi dengan jadwal tunggal.
c. Jadwal evaluasi adalah pada suatu saat penyelesaian dari suatu siklus tugas.

Beberapa pihak yang dijadikan sebagai penilai dalam menilai kinerja karyawan antara lain :

a. Dinilai dari suatu komite dari beberapa atasan


b. Dinilai oleh teman kerja (Peer)
c. Dinilai oleh bawahan
d. Dinilai oleh orang dari luar (teknik reviu lapangan)
e. Dinilai oleh diri sendiri (Self-evaluation)
f. Dinilai dengan kombinasi pendekatan
g. Penilaian kinerja 360o
5. PENGEMBANGAN INSTRUMEN EVALUASI KERJA

A. PENGEMBANGAN INSTRUMEN

1.Pegawai melaksanakan pekerjaan/tugasnya Evaluasi formatif

2.Kinerja pegawai dalam upaya mencapai tujuan organisasi

2.1 Penilai mengobservasi dan memanajemeni kinerja pegawai

2.2 Standar kinerja pegawai Gambar Proses Penggunaan Instrumen Evaluasi Kinerja

3. Kinerja akhir pegawai

4. Penilai mengisi instrumen evaluasi kinerja Evaluasi sumatif Isi Instrumen Isi instrumen
evaluasi kinerja pada prinsipnya sama dan berisi antara lain butir-butir :

a) Nama Organisasi/perusahaan,

b) Identitas karyawan: nama karyawan, unit kerja, jabatan, pangkat,

c) Identitas penilai: nama penilai, jabatan, unit kerja,

d) Masa periode penilaian,

e) Butir-butir indikator kinerja

f) Deskriptor level kinerja,

g) Catatan penilai,

h) Tanggapan ternilai atas penilaian,

i) Tanda tangan penilai dan ternilai. Instrumen juga sering berisi penjelasan cara mengisi
instrumen, definisi mengenai dimensi, dan indikator penilaian. Selain itu teknik penskoran
juga dijelaskan.

5. Skala Penilaian Evaluasi kinerja merupakan proses pengukuran, yaitu mengukur kinerja
karyawan. Pengukuran adalah penetapan angka atau kata-kata pada butir-butir, keadaan,
kejadian atau kinerja untuk menunjukkan adannya perbedaan. Pengukuran terdiri atas empat
skala, yaitu : Skala rasio Skala interval Skala ordinal Skala nominal
6. Deskriptor Level Kinerja DLK adalah skala bobot yang melukiskan tingkatan kinerja
untuk setiap indikator kinerja karyawan. Agar evaluasi kinerja bersifat sensitif artinya dapat
membedakan kinerja karyawan yang sangat baik dan baik dengan kinerja karyawan yang
sedang, buruk, dan sangat buruk. Setiap indikator kinerja dilengkapi dengan Deskriptor Level
Kinerja (DLK) atau Performance Level Descriptor (PLD). DLK dapat terdiri atas halhal
berikut :

1) Angka, angka digunakan untuk membobot bersifat sewenang-wenang, artinya tidak ada
ukuran yang seragam. Skala angka dapat dari 10-100 atau 1-10. Misal, DLK daftar penilaian
pekerjaan pegawai negri menggunakan skala 10-100.

2) Kata sifat. DLK dapat menggunakan kata sifat, seperti sangat buruk, buruk, sedang, baik,
dan sangat baik.

3) Kombinasi angka dan kata sifat. Pemberian skala yang paling banyak digunakan adalah
antara angka dan kata sifat.

7. Contoh Deskriptor Level Kinerja (DLK) Angka Kata Sifat 100-90 Sangat Baik 89-80 Baik
79-70 Sedang 69-50 Buruk 49-40 Sangat Buruk

8. Uji Coba Instrument

Sebelum digunakan dalam system evaluasi kerja, instrument evaluasi kinerja harus diuji
coba untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Instrument evaluasi kerja harus valid dan
reliable. Suatu instrument evaluasi kinerja disebut valid, artinya instrument tersebut dapat
mengukur kinerja karyawan yang harus diukur setelah melaksanakan pekerjaannya. Suatu
instrument dikatakan reliable atau dapat dipercaya jika digunakan untuk mengukur kinerja
pegawai yang sama oleh penilai yang berbeda hasilnya sama atau tidak jauh berbeda.

9. Dimensi dan Indikator Kinerja Untuk Uji Coba Instrumen DIMENSI INDIKATOR
SKALA JAWABAN

1 1. Hasil kerja

1.1 Kuanlitas Hasil Kerja

1.2 Kualitas Hasil Kerja 1.3 Efisiensi dalam melaksanakan tugas

2. Perilaku kerja

2.1 Disiplin Kerja


2.2 Inisiatif

2.3 Ketelitian

3. Sifat Pribadi

3.1 Kepemimpinan

3.2 Kejujuran

3.3 Kreativitas 2 3 4 5

6. MODEL EVALUASI KINERJA

Setiap organisasi mempunyai model system evaluasi kinerja yang berbeda mengenai
dimensi kinerja, indikator kinerja, standar kinerja, dan instrument yang berbeda satu sama
lain. Model-model umum dan instrumennya yang digunakan di berbagai organisasi:

1. Model Esai adalah metode evaluasi kinerja yang penilainya merumuskan hasil
penilaiannya dalam bentuk esai. Isi esai melukiskan kekuatan dan kelemahan indikator
kinerja karyawan yang dinilai. Model ini menyediakan peluang yang sangat baik untuk
melukiskan kinerja ternilai secara terperinci. Keunggulan evaluasi kinerja model esai
memungkinkan penilai melukiskan kinerja ternilai sangat terperinci karena bentuknya
terbuka walaupun indikator kinerjanya terstruktur. Kelemahan evaluasi kinerja model esai
adalah memerlukan waktu untuk menyusun satu esai tentang kinerja karyawan. Penilai harus
merumuskan hasil observasi kinerja ternilai dalam bentuk esai mengenai setiap indicator
kinerja.

a) Contoh Instrumen Model Esai Nama Pegawai : Supervisor : Social security Number
Pegawai : Departement/Posisi : Tanggal jatuh tempo penilaian : Tanggal Penilaian :
Butir-butir berikut telah Anda lakukan dengan baik : Butir-butir berikut memerlukan
perbaikan untuk posisi Anda di perusahaan : Butir-butir lainnya : Tanggapan pegawai
yang dinilai : Tanda tangan pegawai Tanda tangan Supervisor Tanda tangan manajer
Tanggal : Tanggal : Tanggal :

2. Model Critical Incident Insiden kritikal (critical incident) adalah kejadian kritikal atau
penting yang dilakukan karyawan dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan berperilaku sesuai
standar, para karyawan dapat mencapai standar kinerja yang ditetapkan. Para supervisor
mengobservai perilaku dan mengevaluasi kinerja para karyawannya setiap hari. –
Keunggulan Model Critical Incident Dengan pengawasan yang dilakukan setiap hari oleh
penilai, dapat mebuat karyawan bekerja sesuai standar kinerja yang ditetapkan dan terlindar
dari kecelakaan kerja. Kelemahan Model Critical Incident

(1) Jika penilai tidak membuat catatan kerja harian karena malas/lupa, maka penilaian
kinerjanya tidak lengkap.

(2) Jika penilai mempunyai 10 anak buah/ lebih, maka waktunya akan habis hanya untuk
membuat catatan.

(3) Memerlukan waktu, mahal, dan mewajibkan penilai mempunyai keterampilan verbal,
analitis, objektif, akurat.

(4) Karyawan akan merasa terganggu karena merasa diawasi secara terus menerus oleh
atasanya.

b) Contoh Instrumen untuk Model Evaluasi Kinerja Critical Incident Nama pegawai :
Sunoto Batubara Nama penilai : Dr. Arief Tanggal Perilaku Positif Pegawai Unit
kerja : Lab Kimia Energi Periode penilaian : 1 Jan – 30 Des 2005 Tanggal Perilaku
Negatif Pegawai 2-1-2005 Melaporkan keboccoran pipa saluran limbah sehingga
pencemaran dapat diminimalisasi. Mengingatkan teman sekerjanya untuk
membersihkan dan menyimpan peralatan lab. sebelum pulang 8-1-2005 Tidak
menutup kembali botol bahan kimia setelah menuangkan isinya ke gelas percobaan.
11-1-2005 Merencanakan proyek laboratorium dengan teliti sebelum melakukan
percobaan 18-1-2005 Makan permen di dalam ruangan laboratorium 29-1-2005
Berupaya memperbaiki sendiri kompor listrik sehingga anggaran dapat dihemat. 30-1-
2005 Meninggalkan bahan kimia dimeja lab, tidak menempatkannya di rak. 4-2-2005
Menyelesaian proyek sampai pukul 20.30 dan pada hari libur. 6-2-2005 Terlambat
memberikan laporan perkembangan proyek 5-2-2005 Membantu teman sekerjanya
yang menghadapi problem untuk menganalisis reaksi kimia. 8-2-2005 Tidak memakai
peralatan keselamatan kerja ketika bekerja.

3. Ranking Methode yaitu mengurutkan para pegawai dari nilai tertinggi sampai yang paling
rendah. Metode ini dimulai dengan mengobservasi dan menilai kinerja para karyawan,
kemudian me-ranking kinerja mereka. Di Indonesia metode ini dipraktikkan oleh pegawai
negeri dalam Daftar Urutan kepangkatan. Metode ini digunakan untuk mekanisme pembinaan
dan pengembangan karir. Jika ada jabatan yang lowong, kesempatan pengisian jabatan
diberikan kepada pegawai berdasarkan urutanya.

c) Contoh Ranking Methode Nama Pegawai Rangking Jumlah Nilai Arief al-fatih 1 9
Achmad Albar 2 7 Nadya 3 5 Mutiara 4 4 Ali Barkah 5 2

4. Metode Checklist

• Evaluasi kinerja model checklist berisi daftar indikator-indikator hasil kerja, prilaku kerja,
atau sifat pribadi yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan. Dalam metode checklist,
penilai mengobservasi kinerja ternilai, kemudian memilih indikator yang melukiskan kinerja
atau karakteristik ternilai dan memberikan tanda ( atau X ).

d) Contoh Model Checklist dengan Bobot Nama Pegawai Nama Pegawai Jabatan
Jabatan :: :: :: Unit Kerja Unit Kerja Masa Penilaian Masa Penilaian Jabatan Jabatan ::
:: :: Bobot Indikator Kinerja Cek di sini Bobot Indikator Kinerja Cek di sini 7,5
Bekerja lembur jika diminta V 7,5 Bekerja lembur jika diminta V 5,5 Teliti dalam
mengaudit V 5,5 Teliti dalam mengaudit V 5,0 Membantu pegawai lain jika diminta -
-- -- 5,0 Membantu pegawai lain jika diminta 4,5 Merencanakan audit sebelum
dilaksanakan V 4,5 Merencanakan audit sebelum dilaksanakan V 4,0 Mendengarkan
masukan yang diaudit - -- -- 4,0 Mendengarkan masukan yang diaudit - -- -- -- -- -- --
-- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- - - -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -
-- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- --
-- -- -- -- -- -- 0,5 Kemampuan berbahasa inggris baik - -- -- 0,5 Kemampuan
berbahasa inggris baik 100 100 Total bobot Total bobot - -- -- -

5. Model Graphic Rating Scales Ciri Graphic Scales adalah indicator kinerja karyawan
dikemukakan beserta definisi singkat. Deskripsi kinerja dikemukakan dalam bentuk skala
yang masing-masing mempunyai nilai angka. Dalam metode ini, penilai mengobservasi
indikator kinerja karyawan ternilai dan memberi tanda centang (V) atau silang (X) pada
skala.

– Keunggulan :

• Semua indikator kinerja, definisi, dan nilainya terstruktur dan terstandarisasi.

• Nilai kinerja setiap karyawan dengan mudah dibandingkan dengan rata-rata nilai seluruh
karyawan.
• Mudah dipahami oleh penilai dan ternilai.

– Kelemahan :

• Menyamaratakan semua jenis pekerjaan.

e) Contoh Instumen Graphic Rating Scale Nama Karyawan Judul Pekerjaan Unit kerja :
Indikator Kinerja Pemilai Periode Penilaian Tidak Memuaskan Dibawah Rata-rata
Rata-rata Kuabtitas Kerja Kualitas Kerja Dapat dipercaya Inisiatif Adaptabilitas Kerja
sama Pernyataan karyawan yang dinilai : Saya Setuju Tidak Setuju Karyawan :
Tanggal : Penilai: Tanggal: dengan pernyataan ini :..............................................Baik
Sangat Baik

6. Model Forced Distribution Model evaluasi kinerja Forced Distribution adalah sistem
evaluasi kinerja yang mengklasifikasi karyawan menjadi 5 sampai 10 kelompok kurva
normal dari yang sangat rendah sampai yang sangat tinggi.

7. Model Forced Choice Scale Sistem evaluasi kinerja ini dikembangkan oleh Angkatan
Darat Amerika Serikat setelah Perang Dunia II. Kemudian, sistem ini diadopsi oleh
organisasi lain, misalnya perguruan tinggi. Contoh satu butir dari Forced Choiced untuk
menilai kinerja seorang professor adalah :

– Memperoleh penilaian tinggi dari mahasiswa

– Menolak untuk berbicara dengan dekan

– Menerbitkan penelitian di jurnal ilmiah setiap tahun

– Menolak untuk menjadi anggota komisi universitas.

Lanjutan Model Forced Choice Scale Berikut kelemahan dari sistem metode ini adalah :

• Memerlukan kemauan penilai untuk mengevaluasi ternilai karena mereka tidak mengetahui
apakah mereka telah menilai baik atau buruknya kinerja ternilai.

• Karena tidak mengetahui nilai kinerjanya, karyawan tidak mendapatkan balikan tentang
kinerjanya dalam melaksanakan tugas.

• Dan faktanya Angkatan Darat Amerika Serikat meninggalkan sistem Forced Choice pada
tahun 1950.
8. Model Behaviorally Anchor Rating Scale (BARS) Sistem evaluasi kinerja model BARS
merupakan sistem evaluasi yang menggunakan pendekatan perilaku kerja yang digabungkan
dengan sifat pribadi. BARS terdiri dari atas suatu seri, 5-10 skala perilaku vertical untuk
setiap indikator kinerja. Anchor-anchor tersebut disusun dari yang nilainya tinggi sampai
nilai yang rendah. Anchor tersebut dapat berupa critical incident yang diperoleh melalui job
analysis. Di Indonesia, model ini digunakan dan dipakai secara meluas di lembaga
pemerintah dan perusahaan milik negara.

f) Contoh Instrumen BARS Perum Pengadaian Indikator Kualitas Pekerjaan 1.


KUALITAS PEKERJAAN Kemampuan untuk menunjukkan kualitas hasil kerja yang
teliti dan rapi Bobot 20 Rating Hasil kerja yang ditampilkan selalu konsisten dan
sempurna dengan tingkat kesalahan 0% 6 Mampu menampilkan hasil kerja yang teliti
pada sebagian besar hasil kerjanya dengan tingkat kesalahan 5% 5 Ketelitian kerja
yang ditampilkan cukup baik dengan tingkat kesalahan sekitar 10% 4 Hasil kerja yang
ditampilkan cukup dab sesuai standar dengan tingkat kesalahan sekitar 20% 3
Ketelitian hasil kerjanya cendrung kurang dengan tingkat kesalahan lebih dari 30% 2
Ketelitian hasil kerjanya tidak dapat diandalkan dan sering melakukan kesalahan yang
tidak perlu 1

9.. Model Behavior Observation Scale (BOS) Model system evaluasi kinerja BOS sama
dengan BARS. Keduanya didasarkan pada prilaku kerja. Perbedaannya, dalam BOS,
penilaian diminta untuk menyatakan berapa kali prilaku tersebut muncul. Penilaian
mengobservasi perilaku ternilai berdasarkan anchor perilaku yang tersedia, kemudian
memberikan cek pada skala deskripsi level kinerja yang tersedia.

g) Contoh Instrumen Behavior Observation Scale (BOS) Indikator Produktivitas


Pemasaran N0. Indikator Kinerja Hampir Tak Pernah 1 1 Menelaah produktivitas
individual dengan manager 2 Menyarankan kepada teman sekerja cara membangun
sales 3 Mengantisipasi dan mempersiapkan perhatian pelanggan 4 Menyelesaikan
keluhan konsumen 2 Hampir Selalu 3 4 5

10. Model Behavior Expectation scale (BES) Untuk mengukur kinerja yang diharapkan oleh
organisasi, disusunlah instrument evaluasi kinerja behavior expectation scale (BES)
atau skala perilaku yang diharapkan yang setiap anchor-nya dimulai dengan kata
“dapat diharapkan”.
h) Contoh Intrumen BES Indikator Kebiasaan Kerja Skala 5 Indikator Kebiasaan Kerja
Dapat diharapkan datang ke tempat kerja 5 hari seminggu 4 3 Dapat diharapkan
memberi tahu supervisor dalam hal absen / terlambat masuk kerja 2 1 Dapat
diharapkan tidak masuk kerja 2-3 hari per minggu

11. Management by Objectives (MBO) Ketika pegawai melaksanakan pekerjaan untuk


mencapai tujuannya, dilakukanlah evaluasi kinerja formatif, yaitu evaluasi beberapa kali
sesuai dengan kebutuhan. Evaluasi model MBO dapat dilaksanakan pada pekerjaan yang
keluarnya dapat diukur secara kuantitatif. Misalnya untuk mengukur kinerja karyawan bagian
produksi, kinerjanya dapat dihitung atau di unit pelayanan pelanggan.

12. 360 Degree Performance Apprasial Model Dalam system ini model evaluasi kinerja yang
digunakan adalah system evaluasi Esai, MBO, BARS, Checklist, dan sebagainya. Formulir
penilain yang didistribusikan kepada para penilai sering berada di tempat berbeda seperti e-
mail, untuk menditribusikan instrument evaluasi kinerja dan mengolah hasilnya, kemudian
menyampaikan hasilnya kepada ternilai. Selanjutnya, hasil penilaian dianalisis untuk
mendapatkan nilai rata-rata yang kemudian diberikan kepada ternilai sebagai balikan.

13. Model Paired Comparison

System evaluasi kinerja Paired Comparison Model adalah kinerja setiap karyawan
dibandingkan dengan kinerja karyawan lainnya, sepasang demi sepasang. System
perbandingan pasangan juga dapat digunakan unutk menyusun skema pergantian pejabat
dalam birokrasi organisasi. Sebagi contoh, system perbandingan dapat digunakan untuk
menyusun daftar urutan kepangkatan (DUK) pegawai negeri. Jika terjadi lowongan jabatan
dalam unit organisasi, pegawai dengan DUK tertinggi (pangkat dan hasil penilain kinerjanya)
secara otomatis dapat ditunjuk untuk penggantiannya.

PROSES EVALUASI KINERJA

A. MENEJEMEN KINERJA

“Manajemen kinerja merupakan peruses yang bertujuan meningkatkan kinerja individu


pegawai, kinerja tim kerja, dan kemudian meningkatkan kinerja organisasi. Proses
menejemen kinerja dilakukan bersama antara manajer dan pegawai”

B. PERENCANAAN KINERJA
Perencanaan kinerja merupakan bagian awal manajemen kinerja karyawan sepanjang tahun.
Perencanaan kinerja adalah pertemuan antara ternilai (appraisee) dengan superiornya atau
penilaian (apraisor) yang antara lain membahas: Tugas, pekerjaan dan tanggung jawab
ternilai Kompetensi yang diperlukan ternilai Standar kinerja ternilai Menentukan cara
pegawai akan mencapainya kinerjanya. Proses pengukuran kinerja dan instrument yang di
gunakan, serta waktu pelaksanaan penilaian dan ternilai terus memahami tehnik pengukuran
kinerja ternilai. Merencanakan pengembangan kompensasi ternilai

Siklus Evaluasi Kinerja Bagaimana?

• Kompetensi

• Perilaku

• Rencana pengembangan Tanggung Jawab Individu Pegawai Penilaian

• Kompensasi

• Penstafan

• Perencanaan suksesi

• Promosi

• Dipecat MISI ORGANISASI

• Menentukan strategi

• Menentukan tujuan organisasi

• Menentukan tujuan departement/ unit kerja PERENCANAAN KINERJA


PELAKSANAAN KINERJA PENILAIAN KINERJA TELAAH KINERJA
PEMBAHARUAN DAN REKONTRAK Apa?

• Akuntabilitas

• Tujuan

• Standar Tanggung Jawab Manajer Pelatihan

• Pengembangan

• Mentoring

• Perencanaan Karir
• Pengakuan

C. PELAKSANAAN KINERJA Pelaksanaan pekerjaan

adalah proses sepanjang tahun dimana pegawai melaksanakn tugas atau pekerjaanya dan
berupaya mencapai kinerjanya dengan menggunakan kompetensi kerjanya. Tanggung Jawab
Karyawan Komitmen pencapaian tujuan. Mempersiapkan telaah kinerja. Megumpulkan dan
berbagi data kinerja. Berkomunikasi secara terbuka dan teratur dengan manajernya. Meminta
balikan dan pelatihan kerja.

Tanggung Jawab Memotivasi pegawai Mengobservasi dan mendokumentasi kinerja pegawai.


Memberikan balikan dan pelatihan Menyediakan pengalaman pengembangan Menyelesaikan
dan merevisi tujuan, standar kinerja dan kompensasi pekerjaan untuk mengkondisikan
perubahan Memperkuat prilaku yang Efektif para karyawan dan Kemajuan ke arah
Pencapaian tujuan yang Telah ditetapkan

D. PENILAIAN KINERJA

Penilaian kinerja dimulai dengan mengumpulkan data kinerja para pegawai sepanjang masa
evaluasi kinerja. Penilai mengobservasi indikator kinerja karyawan kemudian
membandingkanya dengan standar kinerja karyawan. Penilaian kinerja dilakukan secara
formatif dan sumatif.

E. WAWANCARA EAVLUASI KNERJA

Wawancara Evaluasi Kinerja adalah pertemuan langsung antara penilai dan ternilai untuk
membahas hasil evaluasi kinerja ternilai dan menyusun rencana kinerja ternilai untuk tahun
yang akan datang. Tujuan Wawancara Evaluasi Kinerja :

1. Memberikan balikan dan penjelasan atas nilai kinerja ternilai.

2. Memberikan kesempatan kepada ternilai untuk menjelaskan kinerjanya

3. Mengubah kinerja, prilaku kerja, dan sifat pribadi yang ada hubungannya dengan
pekerjaan ternilai yang tidak memenuhi persyaratan standar kinerjnya

4. Memberikan reward terhadap kinerja yang baik.

Lanjutan Wawancara Evaluasi Kinerja Manfaat Wawancara Evaluasi Kinerja :

1. Mengembangkan kinerja, penilai dan ternilailah yang mengetahui problem ditempat kerja
dan merekalah yang harus menyelesaikannya.
2. Mendorong pertumbuhan dan perkembangan yang sedang terjadi dalam diri karyawan

3. Menyediakan informasi untuk perencanaan dan pengembangan karier karyawan

4. Menyelesaikan perbedaan konflik mengenai kinerja antara penilai dan ternilai.

2. Keterampilan Penilai Penilai memerlukan keterampilan khusus agar dapat melaksanakan


wawancara dan evaluasi kinerja dengan baik. Keterampilan tersebut antara lain :

1. Memahami sistem evaluasi kinerja

2. Kepemimpinan

3. Keterampilan wawancara – Keterampilan mendengarkan – Keterampilan berkomunikasi –


Kecerdasan emosional – Kecerdasan sosial – Keterampilan negosiasi Penilai memerlukan
persyaratan berikut agar dapat menciptakan situasi negosiasi win-win solution:

a.Perasaan persamaan

b.Menghindari menyakiti hati orang lain.

3. Proses Wawancara Kinerja Mulai Persiapan Kayawan menerima? Nilai hasil evaluasi
kinerja Penilai dan ternilai membahas kinerja karyawan dan menyusun rencana kinerja
ternilai yang akan datang Selesai tidak tidak Menyampaikan dan membahas hasil evaluasi
kinerja dengan karyawan Karyawan naik banding Banding diteliti oleh peneliti banding ya
Banding diterima? Karyawan mendapatkan nilai baru

4. Lanjutan Proses Wawancara Kinerja Persiapan. Proses wawancara evakuasi kinerja perlu
dipersiapkan secara cermat. Tempat,waktu,dan agendanya. Persiapan ini diperlukan lkarena
evaluasi kinerja dapt menjadi sumber konflik antara penilai dan ternilai. Menyampaikan hasil
evaluasi kerja. Penilai memberikan penjelasan secara lisan mengenanai nilai tersebut disertai
data hasil observsi penilaian mengenai proses pelaksaan pencapaian kinerja ternilai. Sikap
ternilai. Setelah menerima nilainya,ternilai dapat menrima atau menolak nilai tersebut. Jika
menerimnya,nilai mempuyai kekuatan tetap setelah trnilai menandatangani instrumen
evaluasi kinerja.

F. BANDING

1. Pengertian Banding dalam evaluasi kinerja adalah upaya manajerial dari ternilai yang tidak
puas terhadap nialai evaluasi kinerja yang diberikan pada penilai dan meminta kepada atasan
penilai.
2. Proses penilaian banding Proses pemeriksaan banding ada 2 cara, yaitu proses
pemeriksaan secara langsung dan tidak langsung. • Dalam proses pemeriksaan langsung,
penilai banding memanggil penilai dan ternilai dan melakukan dengar pendapat kedua belah
pihak. • Sedangkan pemeriksaan tidak langsung. Proses ini terjadi , misalnya dalam DP3
pegawai negeri indonesia. ternilai yang tidak puas terhaap nilai yng diberikan oleh atasannya
akan mengajukan banding dengan mengisi kolom banding dalam formolir DP3 .

Lanjutan Banding 3. Banding melalui pegadilan Sistem evaluasi kinerja yang tidak mepunyai
proses banding dapat menyebabkan pegawai yang merasa dirugikan oleh penilaian atasannya,
membawa kasusnya kepengadilan perdata, ia menggugat atasanya atau perusahaan ke
pengadilan karena merasa diperlakukan tidak adil. G.Sentra Asesmen Sentra asesmen adalah
suatu proses (bukan tempat atau unit organisasi) dimana individu karyawan ternilai/asesi
dievaluasi oleh penilai ketika ia mengikuti suatu seri situasi yang meyerupai altar pekerjaan
yang sesungguhnya dengan menggunakan metode tertentu. Sentra asesmen merupakan suatu
prosedur yang dipakai oleh manajemen SDM untuk mengevaluasi personel mengenai sifat-
sifat, kemampuan, dan kompetensi yang relevan dengan keefektifan dan efisiensi organisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Media Asmona ( 2016, Januari, 16 ). Konsep dan istilah evaluasi kineja.

Meidymona. Diakses pada 15 November 2019 melalui.

http://meidymona.blogspot.com/2016/01/makalah-evaluasi-kinerja.html

Becker, B.E, M.Am Huselid, dan D. Ulrich, The HR-Scorecard Linking People, Strategy, and
Performance. (Boston:Harvard Business School Press, 2001).

mgt-sdm. Diakses pada 15 November 2019 melalui.

http://mgt-sdm.blogspot.com/2010/11/human-resource-scor ecard-dalam.html

AS’ad, Moh. 2003. Psikologi Industri seri Ilmu Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Liberty

( 2011, juni, 26 ). Pengembangan dan evaluasi kinerja melalui.

Ururureaoka. Diakses pada 20 November 2019

http://ururureaoka.blogspot.com/2011/06/pengembangan-dan-evaluasi-kerja.html

(2015, Juni, 26). Standar Kinerja

Dayat123. Diakses pada 20 November 2019 melalui.

http://dayats123.blogspot.com/2015/06/standar-kinerja.htmlss

(2015, Oktober, 2). Pengembangan Standar Kinerja.

Fekool. Diakses pada 19 November 2019 melalui.

http://fekool.blogspot.com/2015/10/pengembangan-standar-kinerja.html

(2013, Oktober, 12). Pengembangan Instrumen Kinerja.

Slideshare. Diakses pada 20 November 2019 melalui.

https://www.slideshare.net/ariefanzarullah1/instrumen-evaluasi-kinerja

Anda mungkin juga menyukai