Anda di halaman 1dari 8

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerang Hijau( Perna viridis) dan Pemanfaatannya


Kingdom : Animalia
Filum : Moluska
Kelas : Bivalvia
Ordo : Mytiloida
Famili : Mitylidae
Genus : Perna
Spesies : Perna viridis

Gambar 2. 1 Kerang hijau (Perna viridis)


(Sumber : Noor, 2015)
Kerang hijau adalah organisme bercangkang dua yang hidup menetap dan
pemakan suspensi. Kerang hijau memiliki cangkang biru-hitam memanjang.
Cangkang berfungsi untuk melindungi tubuh kerang hijau. Kerang hijau
memiliki dua lubang pada cangkangnya yang disebut sifon. Sifon ekshalan
berfungsi sebagai tempat keluarnya air, sedangkan sifon inhalan berfungsi
sebagai tempat memasukkan air. Bagian tubuhnya tersusun atas organ-organ
seperti jantung, mulut dan anus. Kerang muda bergerak menggunakan kaki
seperti lidah yang terdiri dari jaringan otot yang dapat memanjang dan
memendek, sedangkan saat dewasa kerang menggunakan kaki untuk
menempelkan diri pada substrat (Aminin et al., 2020). Morfologi umum kerang
hijau dan anatomi organ dalam kerang hijau ditunjukkan pada Gambar 2.2.
5

(a) (b)

Gambar 2. 2 Bentuk umum kerang hijau. Morfologi kerang hijau (a) dan anatomi organ
internal kerang hijau (b). (Sumber: Simbolon, 2018)
Kerang hijau adalah hewan berumah dua (diesis) yang memiliki organ
kelamin terpisah, terletak di dekat kaki dan terdiri dari kanal yang terbuka di
sebelah ginjal. Pembuahan kerang hijau berlangsung secara internal, yaitu
sperma akan bercampur dengan air masuk melalui sifon inhalan untuk
membuahi sel telur. Telur mengalami pembelahan di bagian marsupium dengan
tahap blastula - glastrula - zigot - larva - kerang muda - kerang dewasa (Vitalis
et al., 2016).
Kerang hijau merupakan filter feeder, artinya kerang menyaring air untuk
mendapatkan makanannya (Hutami et al., 2015). Kerang hijau merupakan
pemakan suspensi (partikel makanan yang larut dalam air) seperti plankton,
mikroorganisme dan bahan organik. Suspensi tersebut akan masuk ke saluran
sifon dengan bantuan silia yang terdapat pada insang. Selama proses pencernaan,
kerang dibantu mukosa oral yang disekresikan oleh insang. tahap transportasi
makanan pada kerang hijau menggunakan silia dan langit-langit rongga mulut.
Partikel yang tidak diperlukan akan dikeluarkan melalui rongga mantel
menggunakan silia (Supriyantini et al., 2015).
Habitat kerang hijau dijadikan sebagai tempat hidup untuk mencari
makan dan memijah yang dapat ditemui di ekosistem intertidal dan subtidal.
Ekosistem intertidal merupakan zona pasang surut air laut yang menunjukkan
keanekaragaman yang tinggi dibandingkan dengan ekosistem laut lainnya
(Erlania et al., 2011). Selain itu, kehidupan kerang hijau juga dipengaruhi oleh
substrat. Substrat adalah bagian dasar atau tempat organisme menempel dan
tumbuh. Jenis substrat kerang hijau umumnya yaitu pasir, pasir berlumpur, batu
karang dan karang mati (Rinitasih et al., 2010).
6

Kerang hijau menjadi salah satu hasil laut yang sangat digemari masyarakat
Indonesia. Selain karena harganya terjangkau, kerang juga mempunyai rasa yang
lezat dan mempunyai kandungan gizi yang sangat baik. Menurut Dore (1991)
komposisi nilai gizi kerang hijau berdasarkan 100 gram bahan sebesar protein
7,06-16,78%; karbohidrat 2,36-4,95%; lemak 0,40-2,47%; air 78%; kalsium 133
mg; fosfor 170 mg dan tenaga 68-88 kkal.

2.2 Kerang Hijau Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam di Perairan


Kerang hijau telah banyak digunakan untuk memantau pencemaran di
perairan yang disebabkan karena kerang hijau termasuk makhluk hidup yang
tersebar luas di selurih dunia (Yap, 2004). Sebaran kerang hijau terdapat di Indo
Pasifik, laut selatan Jepang, Perairan India, Semenanjung Malaysia, Singapura,
Laut Cina Selatan, Thailand, Filipina, Indonesia dan Papua Nugini
(Setyobudiandi, 2004). Kerang hijau merupakan sumber mineral penting
(kalsium dan besi) dan vitamin (niasin, thiamin dan riboflavin) bagi tubuh
manusia. Oleh karena itu, banyak peneliti mengidentifikasi organisme ini dan
menentukan batas konsentrasi untuk dikonsumsi manusia (Yap, 2004).
Pencemaran air adalah suatu keadaan badan air mengalami perubahan,
seperti sungai, laut, danau dan air tanah yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Lingkungan telah tercemar logam berat, kemudian lingkungan tersebut tidak lagi
baik bagi kehidupan makhluk hidup. Pencemaran air oleh logam berat dapat
berasal dari limbah industri, limbah domestik, limbah pertanian dan sisa-sisa
bahan bakar kapal (Anggoro et al., 2013). Pembuangan limbah logam berat dari
daratan akan hanyut ke laut, limbah tersebut dapat mencemari perairan,
selebihnya tenggelam ke dasar dan terkonsentrasi di sedimen dan terakumulasi
dalam tubuh populasi hayati laut (Ika et al., 2012).
7

Gambar 2. 3 Pencemaran perairan yang disebabkan oleh tumpahan minyak


(Sumber: Meinarni, 2016)
Logam berat merupakan zat kimia berbahaya apabila masuk ke dalam
tubuh organisme yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan akan
menyebabkan keracunan pada organisme tersebut. Logam berat memiliki sifat
bioakumulasi dan biomagnifikasi terhadap organisme. Bioakumulasi adalah
peningkatan konsentrasi unsur-unsur kimia dalam tubuh makhluk hidup menurut
piramida makanan (Hananingtyas, 2017). Biomagnifikasi adalah di mana bahan
kimia yang masuk dari lingkungan melalui rantai makanan dari satu tingkat
tropik ke tingkat tropik lainnya, pada akhirnya memiliki konsentrasi bahan kimia
yang lebih tinggi di dalam tubuh makhluk hidup (Haryanti et al., 2020).
Pencemaran air akibat logam berat akan terakumulasi oleh populas biota laut dan
jika dikonsumsi oleh manusia sebagai konsumen puncak, maka akan mengalami
biomagnifikasi logam berat dalam tubuh (BBLH Jateng, 2010). Komponen
logam berat yang banyak terdapat dalam air laut adalah timbal (Pb) dan
kadmium (Cd). Logam berat lainnya adalah merkuri (Hg), tembaga (Cu), besi
(Fe) dan logam berat lainnya (Dharma dewi et al., 2019).
Timbal merupakan logam berat yang dapat berasal dari operasi kapal
nelayan dan aktivitas pelabuhan di perairan laut dalam bentuk sisa bahan bakar
dan cat dari kapal yang mengelupas (Lyusta et al., 2017). Penggunaan timbal
dalam jumlah tinggi menyebabkan polusi, baik di udara maupun di air. Limbah
Pb dalam air akan melalui proses sedimentasi. Sedimen merupakan lapisan
terbawah dari danau, sungai, muara, teluk, dan lautan. Menurut Putri (2016),
kandungan logam berat yang masuk ke perairan lebih rendah dibandingkan
dengan kandungan logam berat di dasar sedimen.
Kadar timbal dalam air dapat dipengaruhi oleh faktor alam seperti musim
dan curah hujan. Ketika curah hujan tinggi, konsentrasi timbal akan menurun.
8

Pada saat musim hujan zat pelarut di dalam air akan mengalami peningkatan,
sedangkan saat musim kemarau konsentras timbal meningkat karena
berkurangnya pelarut di dalam air (Hananingtyas, 2017). Efek timbal dalam
tubuh manusia antara lain dapat mengganggu sistem reproduksi pria dengan
menurunkan kualitas sperma bila terkena sebesar 5,29-7,25 µg/dl (Baloch et al.,
2010). Penelitian sebelumnya oleh Minarti et al (2015) menunjukkan bahwa 28
orang dari 33 pekerja (84,8%) pekerja pengecoran logam mengalami gangguan
fungsi hati. Selain itu, sifat racun logam timbal menyebabkan kerusakan paru-
paru dan kerusakan syaraf (Murdinah, 2009).
Logam berat kadmium mempengaruhi tubuh manusia dalam jangka
panjang dan dapat terakumulasi terutama di hati dan ginjal. Tingginya
kandungan logam berat dalam air akan mempengaruhi konsentrasi logam berat
yang terakumulasi dalam tubuh organisme. Organisme tersebut jika dikonsumsi
manusia bersifat racun dan dapat membahayakan kesehatan paru-paru, kerusakan
hati, ginjal dan tulang (Murdinah, 2009). Pencemar logam berat Cd dalam air
dan sedimen dapat berasal dari limbah industri, limbah pertanian, limbah
domestik, limbah pertambangan dan atmosfer yang masuk ke perairan (Hidayah
et al., 2014). Menurut Darmono (2001), pengggunaan pupuk fosfat dalam
pertanian mengandung logam Cd dengan konsentrasi sebesar 20 mg/kg
(Widowati et al., 2008).

2.3 Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS)


Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS) adalah suatu metode
pengukuran kuantitatif berupa spektroskopi atomik yang disertai dengan
penyerapan sebagai suatu emisi pancaran (Kennedy, 1984). Metode AAS
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode spektroskopi
konvensional. Pada metode konvensional, emisi tergantung pada suhu eksitasi.
Eksitasi termal tidak selalu spesifik, dan eksitasi secara serentak pada berbagai
spesies dalam suatu campuran dapat saja terjadi, sedangkan dengan nyala eksitasi
unsur-unsur dengan tingkat energi eksitasi rendah dapat dimungkinkan.
Perbandingan banyaknya atom yang tereksitasi terhadap atom yang berada pada
tingkat dasar harus cukup besar. Metode ini tidak tergantung pada suhu. Selain
itu, metode tersebut sangat spesifik, logam-logam pembentuk campuran
9

kompleks dapat dianalisa dan tidak memerlukan energi yang besar (Khopkar,
2003).
Keuntungan menggunakan metode AAS adalah memiliki kepekaan yang
sangat tinggi pada logam berat yang dapat menganalisis kandungan logam berat
yang mampu menganalisis konsentrasi logam kurang dari 1 ppm. Selanjutnya,
sampel tidak perlu dipisahkan dari unsur logam lainnya (Nofitaet al., 2019).
Pengoperasian instrumen AAS didasarkan pada penguapan larutan sampel,
kemudian logam di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom-atom bebas
tersebut akan menyerap radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan oleh lampu
katoda yang mengandung unsur-unsur dengan panjang gelombang tertentu
tergantung dari jenis logamnya (Darmono, 1995).
Spektroskopi Serapan Atom (AAS) didasarkan pada penyerapan energi
cahaya oleh atom netral dan cahaya yang diserap dalam bentuk sinar ultraviolet.
Atom menyerap cahaya dengan panjang gelombang tertentu, tergantung pada
jenis logamnya. Ketika atom menyerap energi, atom akan memperoleh energi
sehingga atom dalam keadaan dasar dapat diberi energi hingga tingkat tereksitasi
(Rohman, 2007). Cahaya dengan panjang gelombang resonansi dilewatkan
melalui nyala yang mengandung jenis atom, kemudian sebagian cahaya akan
diserap dan besarnya penyerapan akan sebanding dengan jumlah atom keadaan
dasar yang berada dalam nyala (Walsh, 1995).
Secara umum peralatan AAS terdiri dari spektrofotometer, sumber
cahaya dan nebulizer. Perangkat AAS terdiri dari enam komponen utama yang
ditunjukkan pada Gambar 2.4 yang antara lain sebagai berikut:

Gambar 2. 4 Komponen Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS)


(Sumber: Djunsidi, 2018)
a. Sumber Sinar
Sumber sinar yang digunakan berupa lampu katoda berongga. Lampu
katoda berongga terdiri dari tabung kaca tertutup yang berisi katoda dan anoda
10

(Mulja, 1992).
b. Tempat Sampel
Sampel yang dianalisis dengan instrumen AAS terlebih dahulu diuraikan
menjadi atom netral yang tetap dalam keadaan dasar. Metode yang digunakan
untuk mengubah sampel Cara menjadi uap atom terdiri dari dua cara, yaitu
dengan nyala dan tanpa nyala. Nyala digunakan untuk mengubah sampel padat
atau cair menjadi bentuk uap atom.
Mookromator memiliki fungsi memisahkan, mengisolasi dan mengontrol
intensitas dari radiasi energi yang mencapai detektor.
d. Detektor
Detektor dapat dsetel ke nilai frekuensi tertentu, sehingga tidak merespon
nilai emisi yang berasal dari eksitasi termal (Khopkar, 2007).
e. Sistem Pencatat (Read-out)
Sistem pencatat merupakan sistem yang mencatat berbagai hasil
(Khopkar, 2007). Sistem pembaca yang digunakan untuk mengubah sinyal yang
diterima menjadi sinyal digital, sehingga mengurangi kesalahan dalam
pembacaan skala secara paralaks, kesalahan interplasi antar garis skala, dan
tampilan data (perhitungan) dalam satuan absorbansi). Sistem pembaca ini
dilengkapi dengan satuan mikroprosesor (komputer) yang secara langsung
membaca konsentrasi analit dalam sampel yang akan di analisis (Haswell, 1991).

Pada proses pengujian menggunakan AAS, berbagai gangguan yang


dapat mengganggu proses pengujian, seperti kebisingan spektra, gangguan kimia
dan gangguan fisik. Interferensi spektral terjadi ketika panjang gelombang
elemen yang diuji bertepatan dengan panjang gelombang atom atau molekul lain
yang ada dalam larutan yang diuji. Interferensi ini umumnya ditemukan di Flame
Emission Spectrometry, sedangkan di AAS interferensi ini hampir tidak ada
karena digunakan sumber cahaya yang khusus untuk unsur yang bersangkutan.
Gangguan kimia dapat terjadi akibat pembentukan oksida atau klorida dalam
larutan uji yang dapat menyebabkan pengurangan ukuran atom pada populasi
energi terendah. Gangguan ini dapat dihindari dengan menggunakan temperatur
nyala yang lebih tinggi. Gangguan fisik dapat terjadi karena viskositas larutan
yang mempengaruhi laju konsentrasi atom dalam nyala.
11

2.4 Nilai Bioaccumulation Concentration Factor (BCF)


Bioaccumulation Concentration Factor (BCF) adalah nilai akumulasi zat
kimia dalam tubuh organisme untuk menentukan kemampuan makhluk hidup
dalam mengakumulasi logam berat dari lingkungannya (Irawati et al., 2018).
Berdasarkan nilai BCF yang diperoleh, organisme akuatik digolongkan menjadi
tiga kelompok yaitu kelompok pertama, jika nilai BCF<1, maka organisme
memiliki kemampuan untuk mengakumulasi rendah (deconcentrator). Kelompok
kedua, jika nilai BCF>1 atau BCF ≤2, maka organisme memiliki kemampuan
untuk mengakumulasi sedang (microconcentrator). Kelompok ketiga, jika nilai
BCF>2, maka organisme memiliki kemampuan untuk mengakumulasi tinggi
(macroconcentrator) (Dallinger, 1993).

Anda mungkin juga menyukai