Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rafki Abdi Septiadi

NIM : T202310263

Kelas : Biologi Laut D

Kelompok :1

Pencemaran dan Perlindungan Alga laut


A. Ancaman Pencemaran Terhadap Alga Laut
Kerusakan pada sumber daya kelautan tidak hanya disebabkan oleh pengelolaan dan
pemanfaatannya yang tidak ramah lingkungan, akan tetapi juga dapat disebabkan oleh
pencemaran. Sekitar 70 % pencemaran laut berasal dari sumber di darat, termasuk kota-
kota besar, industri, konstruksi, pertanian, kehutanan dan parawisata (Wardana 1995).
Zat pencemar yang dapat menjadi ancaman terbesar bagi lingkungan laut adalah limbah
selokan, bahan kimia, sedimen, sampah padat dan plastik, limbah radioaktif dan
minyak. Beberapa diantaranya bahan tersebut mengandung racun, lambat laun terurai
dalam lingkungan dan berakumulasi dalam makluk hidup.
Salah satu senyawa yang menyebabkan pencemar berasal dari tumpahan minyak di
sekitar perairan laut adalah senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP). Senyawa
HAP merupakan golongan senyawa organik yang memiliki dua atau lebih cincin
aromatik yang dapat dihasilkan dari pembakaran yang tak sempurna (pirogenik) ataupun
dari kegiatan perminyakan (petrogenik) dan harus mendapat perhatian karena bersifat
karsinogen (Haritash dan Kaushik, 2009; Diaz, dkk., 2014). Senyawa ini bisa dijumpai
di hampir seluruh kompartemen lingkungan, seperti udara, danau, lautan, tanah,
sedimen dan biota. Menurut Maskaoui dkk., (2001) senyawa ini pada perairan laut
ditemukan dalam bentuk minyak mengapung, emulsi dan fraksi terendap di dasar
perairan serta dapat berinteraksi dengan partikel lain sehingga bersifat persisten
terhadap lingkungan.
Pencemaran yang disebabkan senyawa HAP telah menyebabkan penurunan
populasi alga laut. Kehadiran senyawa HAP di lingkungan menjadi ancaman serius
terhadap kesehatan manusia, karena umumnya senyawa HAP bersifat toksik,
karsinogenik dan mutagenik (Seo, dkk., 2009). Salah satu dari senyawa HAP yang
memiliki sifat karsinogen yaitu senyawa piren. Senyawa piren tersusun atas
penggabungan empat cincin benzena dengan rumus kimia C16H10. Senyawa ini seperti
padatan kecil, tidak berwarna dan terbentuk selama pembakaran tidak sempurna dari
senyawa organic. Senyawa piren biasa ditemukan sebagai polutan pada udara, air, dan
tanah, bersifat karsinogenik dan berbahaya bagi kesehatan serta dapat meningkatkan
resiko kanker kulit dan kerusakan paru-paru (Sarbini, 2012). Berdasarkan Kepmen LH
No.128 tahun 2003 senyawa piren dimasukkan sebagai salah satu daftar bahan
pencemar dan Badan Perlindungan Lingkungan Amerika (EPA) menetapkan senyawa
piren sebagai salah satu zat sangat berbahaya dan beracun (Febria, 2012).
Studi kasus penelitian tentang ancaman pencemaran laut yang disebabkan
senyawa piren terhadap alga laut Di Perairan Kabupaten Bantaeng
Salah satu potensi biota laut yang dibudidayakan di perairan Kabupaten Bantaeng
adalah alga laut yang berasal dari jenis Rhodophyceae yaitu alga laut Eucheuma cottonii.
Menurut penelitian alga laut Eucheuma cottonii memiliki kandungan kimia karagenan dan
senyawa fenol, terutama flavonoid. Karagenan, senyawa polisakarida yang dihasilkan dari
beberapa jenis alga merah memiliki sifat antimikroba, antiinflamasi, antipiretik, antikoagulan
dan aktivitas biologis lainnya (Iskandar, dkk., 2009). Sifat senyawa piren yang lipofil
menyebabkan senyawa ini cenderung teradsorbsi pada partikel-partikel organik maupun
teradsorbsi dalam jaringan lipid biota yang hidup di sekitarnya (Lukitaningsih dan Sudarmanto,
2010). Organisme yang tidak mencerna senyawa piren sama sekali atau hanya dalam jumlah
yang sangat kecil seperti alga laut dapat mengakumulasi senyawa piren dalam tubuhnya. Sifat
akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisme satu ke organisme lain melalui rantai makanan.

B. Upaya Perlindungan dan konservasi Alga Laut


Konservasi spesies dapat dicapai dengan dua cara umum: (1) dengan melindungi
habitat dan (2) dengan melindungi organisme. Banyak orang lebih memilih
melindungi habitatnya, sehingga memungkinkan spesies tersebut merespons
perubahan lingkungan secara adaptif. Namun, ketika melindungi habitat, terkadang
kita perlu melihat melampaui batas-batas politik atau bahkan mengambil pendekatan
global. Untuk melestarikan alga, perlu dipertimbangkan apakah kita perlu menerapkan
pendekatan berbeda di berbagai belahan dunia dan/atau untuk tipe habitat berbeda
yang mendukung alga. Misalnya, kita perlu mempertimbangkan apakah alga di daerah
beriklim sedang memerlukan pendekatan konservasi yang berbeda dengan alga di
daerah tropis.
Kita perlu mempertimbangkan apakah suatu spesies akan dilestarikan, dan
dalam hal ini kita perlu memahami biologinya, Kita juga perlu mempertimbangkan
apakah spesies yang berbeda memerlukan pendekatan yang berbeda jika terancam.
Jadi jika ancamannya adalah pemanasan global/perubahan iklim, maka penting
(misalnya melalui pemodelan) untuk mempertimbangkan ke mana spesies akan
berpindah dan menjaga lingkungan tersebut dalam kondisi yang baik. Berdasarkan
pemikiran tersebut, semua habitat perlu dijaga (termasuk zona penyangga), dan inilah
tujuan yang harus kita capai. Jika suatu spesies terancam karena pembangunan
(misalnya pembangunan marina, pembangunan jembatan), maka diperlukan
pendekatan lain (lihat bagian peraturan perundangundangan).
Tidak selalu mungkin untuk melindungi suatu habitat, oleh karena itu diperlukan
cara lain untuk melindungi spesies yang terancam dan hampir punah. Salah satu cara
yang ampuh adalah ex situ budidaya, yaitu memelihara spesies di luar habitat aslinya.
Pendekatan ini khususnya berlaku untuk mikroalga; meskipun, ironisnya,ex
situkonservasi telah banyak digunakan untuk pelestarian makroalga . Hampir 15 tahun
yang lalu, Prof. MM Watanabe mulai membangun dan memelihara budidaya tanaman
air tawar yang terancam punah di Jepang (lihat Watanabe 2005; Watanabedkk. 2005).
Baru-baru ini, Dr Kasai dan rekannya telah melestarikan charophytes serta beberapa
ganggang merah air tawar. Melalui upaya ini, Koleksi Budaya Mikroba di Institut
Nasional untuk Studi Lingkungan (MCC-NIES), yang berbasis di Onogawa, Tsukuba,
Jepang, memelihara delapan genera dan 19 spesies charophytes dan alga merah yang
terancam atau hampir punah.

Daftar Pustaka
Febria, F.A., 2012. Penapisan Bakteri Pendegradasi Piren dari Tanah Kawasan Tambang
Minyak Bumi serta Identifikasi Berdasarkan Gen Penyandi 16s rRNA dan Piren
Dioksigenase. Disertasi Tidak Diterbitkan. Padang: Program Doktor Ilmu
Biologi - Universitas Andalas.
Haritash, A.K., dan Kaushik, C.P., 2009. Biodegradation aspects of Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAHs): A Review. J. Haz. Mat., 169: 1–15.
Iskandar, Y., Rusmiati, D., Dewi, R.R., 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol
Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan
Bacillus cereus. Jatinangor: Universitas Padjajaran.
Maskaoui, K., Zhou, J.L., Hong, H.S., dan Zhang, Z.L., 2001. Contamination by Polycyclic
Aromatic Hydrocarbons in The Jiulong River Estuary and Western Xiamen Sea,
China. Environ. Pollut., 118: 109-202.
Lukitaningsih, E. dan Sudarmanto, A., 2010. Bioakumulasi Senyawa Poli-Aromatik
Hidrokarbon dalam Plankton, Ganggang dan Ikan di Perairan Laut Selatan
Jogjakarta. Majalah Farmasi Indonesia., 21(1): 18-26
Seo, J.S., Keum, Y.S., and Li, Q.X., 2009. Bacterial Degradation of Aromatic Compounds.
Int. J. Environ. Res. Public Health., 6(1): 278-309.
Sarbini, K., 2012. Biodegradasi Pyrena menggunakan Bacillus subtilis C19. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Depok: Program Studi Teknologi Bioproses Departemen Teknik
Kimia. Fakultas Teknik – UI
WARDANA, W.A.,1995. DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN, Andi Offset Yogyakarta,
WATANABEMM 2005. Kebudayaan sebagai sarana perlindungan sumber daya hayati:ex-
situkonservasi spesies alga yang terancam punah. Di dalam:Teknik budidaya
alga (Ed. oleh RA Andersen), hal. 419–428. Pers Akademik/Elsevier. 578 hal.

Anda mungkin juga menyukai