Article history: Received: date; Accepted: date; Published: date [Diisi oleh pengelola jurnal]
DOI [Diisi oleh pengelola jurnal]
Abstrak:
Kata kunci:
Abstract:
Keywords:
PENDAHULUAN
Fiqh muamalah adalah cabang ilmu dalam islam yang membahas hukum-hukum yang berhubungan
dengan interaksi social dan ekonomi antara perorangan ataupun kelompok dalam Masyarakat. Istilah
muamalah sendiri berasal dari kata arab yang berarti “interaksi” atau “transaksi”. Dalam konteks
agama islam, fiqh muamalah melingkupi berbagai aspek kehidupan dalam keseharian, termasuk
perdagangan, keuangan, hukum waris, perkawinan, dan banyak hal lainnya yang melibatkan interaksi
manusia dengan manusia yang lainnya.
Urgensi fiqh muamalah terdapat pada panduan yang diberikannya kepada umat islam dalam
menjalani kehidupan mereka. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam fiqh muamalah menggambarkan
nilai-nilai islam, keadilan, kepercayaan, saling menghormati dan integritas dalam berinteraksi antar
sesama manusia termasuk ke dalam ruang lingkupnya. Oleh karenanya, pemahaman tentang fiqh
muamalah menjadi urgensi bagi umat islam dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan syara’
Seiring berkembangnya zaman, fiqh muamalah juga terus berkembang untuk menghadapi
tantangan-tantangan baru dalam kehidupan modern. Para ulama dan cendikiawan islam terus
mempernarui interpetasi serta pengaplikasiannya dalam hukum-hukum muamalah agar tetap relevan
dan sesuai dengan konteks social dan ekonomi saat ini
Mengacu pada pemaparan di atas, memahami konsep fiqh muamalah tidak hanya merupakan
kewajiban bagi setiap muslim yang ingin menjalani kehidupannya dengan penuh kesadaran akan
ajaran agama islam. Dengan memahami konsepnya, umat muslim dapat menciptakan Masyarakat yang
adil, beretika, dan bermoral, menciptakan lingkungan dimana Masyarakat dapat hidup dalam
kedamaian dan harmoni sesuai dengan ajaran agama mereka.
1
2 │ WASIAT DAN PEMBAGIAN WARIS– Mochamad Ihsal M, Muhammad Fahlefi A, Muhammad
Zahran Aqil S, Muhammad Iqbal M
Dua hal penting yang penting dan saling berkaitan dalam kehidupan manusia adalah wasiat dan
waris. Wasiat merupakan pernyataan kehendak seseorang yang membuat perintah atau intruksi terkait
harta benda dan hal penting lainnya yang akan di amanatkan setelah meninggalkan dunia. Wasiat
memiliki peran penting Ketika kita akan meninggalkan keluarga didunia dalam menentukan
bagaimana harta benda yang di tinggalkan akan disalurkan kepada sanak famili yang ditinggalkan.
Di sisi lain, waris mengacu pada hukum islam yang mengatur pembagian harta benda dan hal
penting lainnya setelah seseorang wafat. Hukum waris dalam ajaran islam berlandaskan al-quran dan
hadits, yang menenetukan bagaimana harta benda seseorang harus dibagi di antara ahli warisnya
seperti yang disebutkan dalam (QS. An-Nisa: 07):
لِّر َج اِل َنِص ْيٌب َّمِّما َتَر َك اْلَو اِلٰد ِن َو اَاْلْقَر ُبْو َۖن َو ِللِّنَس ۤاِء َنِص ْيٌب َّمِّما َتَر َك اْلَو اِلٰد ِن َو اَاْلْقَر ُبْو َن َّمِما َقَّل ِم ْنُه َاْو َك ُثَر ۗ َنِص ْيًبا
َّم ْف ُر ْو ًض ا
”Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya dan bagi
perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit
maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-Nisa: 07) (K. RI, n.d.)
Kedua konsep ini, wasiat dan waris memiliki nilai sosial dan keagamaan yang sangat besar. Dalam
islam, wasiat dilihat sebagai bentuk kebijaksanaan dan keadilan sosial, yang memungkinkan seseorang
memastikan bahwa harta benda yang ditinggalkan dapat digunakan dengan bijaksana untuk
kepentingan keluarga atau tujuan amal. Sementara itu, hukum waris memberika pedoman yang adil
dalam memastikan bahwa harta benda dibagi secara merata diantara ahli waris, yang menciptakan
keadilan sosial didalam masyarakat.
Dalam masyarakat muslim, pemahaman tentang konsep wasiar dan hukum waris memiliki peran
yang penting. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan urusan materi dan harta benda, tetapi
menimbbulkan nilai-nilai keadilan, kebijaksanaan yang merupakan fundamental dalam islam.
Dalam pembahasan mengenai wasiat dan waris, penting untuk memahami prinsip-prinsip yang
mendasari keduanya, baik dari perspektif agama maupun hukum. Hal ini tidak hanya akan memastikan
bahwa praktek-praktek ini dijalankan sesuai dengan ajaran agama, tetapi juga akan memperkuat
keberlanjutan nilai-nilai sosial dan keadilan dalam masyarakat Islam. Dengan pemahaman yang
mendalam tentang wasiat dan hukum waris, umat Muslim dapat menjalani kehidupan yang penuh
tanggung jawab, keadilan, dan kasih sayang terhadap sesama manusia, menciptakan masyarakat yang
sejahtera dan harmonis sesuai dengan ajaran agama Islam.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah penulisan ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan wasiat?
2. Apa yang dimaksud dengan waris?
3. Bagaimana ketentuan wasiat dalam hukum islam?
4. Bagaimana ketentuan waris dalam hukum islam?
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian wasiat
2. Untuk mengetahui pengertian waris
3. Untuk mengetahui ketentuan wasiat dalam hukum islam
4. Untuk mengetahui ketentuan waris dalam hukum islam
METODOLOGI
1. Pendekatan kualitatif
Pendekatan kualitatif adalah metode penulisan yang menggunakan data deskriptif berupa bahasa
tertulis atau lisan dari orang dan pelaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif ini dilakukan untuk
menjelaskan dan menganalisis fenomena individu atau kelompok, peristiwa, dinamika sosial, sikap,
keyakinan, dan persepsi.
2. Metode kepustakaan
Metode kepustakaan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.
Studi dokumen merupakan teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis
dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar, hasil karya, maupun elektronik, lalu kita
gabungkan semuanya dengan cara parafrase sehingga lahirlah karya ilmiah yang baru.
1. Wasiat
a. Pengertian Wasiat
Secara etimologis, kata wasiat berasal dari bahasa Arab َالَو ِص َّي ُة, yaitu pesan atau janji seseorang
kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan baik ketika orang yang berwasiat masih hidup
maupun setelah mati. Wasiat adalah salah satu bentuk sarana tolong menolong dalam bentuk pesan
atau janji antara sesama muslim baik yang bersifat materi maupun manfaat (Dahlan, 2000a). Adapun
secara terminologis atau istilah syara’, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik
berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang
yang berwasiat itu mati (Sabiq, 1994).
Pengertian wasiat secara umum adalah pesan terakhir yang dikatakan atau dituliskan oleh orang
yang akan meninggal yang berkenaan dengan harta benda dan sebagainya. Jadi wasiat itu sebuah
pemberian bisa berupa harta, benda ataupun yang lainnya dari orang yang hendak wafat kepada orang
yang diberi wasiat supaya digunakan dengan sebaik baiknya, sehingga terjadi perpindahan hak milik
(Poerwadarminta, 1984).
Ulama fiqih mendefinisikan wasiat dengan penyerahan harta secara sukarela dari seseorang
kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun
berbentuk manfaat. Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara wasiat dan kepemilikan harta lainnya
seperti jual beli dan sewa menyewa, karena kepemilikan harta melalui jual beli, sewa menyewa,
ataupun yang lainnya bisa berlaku selama yang bersangkutan masih hidup. Adapun wasiat, meskipun
akadnya dilakukan ketika orang yang berwasiat masih hidup, tetapi hukumnya baru berlaku setelah
orang yang berwasiat itu wafat. Sebelum wafat, akad wasiat tersebut tidak mempunyai efek apapun
dari segi perpindahan hak milik kepada orang yang diberi wasiat. Dengan begitu, hak milik itu
berpindah dari orang yang berwasiat kepada yang diberi wasiat Ketika wafatnya orang yang berwasiat
(Dahlan, 2000a).
Wasiat mempunyai dasar yang kuat dalam syariat Islam. Dasar hukum wasiat diantaranya:
ُك ِتَب َعَلْيُك ْم ِإَذا َح َض َر َأَح َد ُك ُم ٱْلَمْو ُت ِإن َتَر َك َخ ْيًر ا ٱْلَو ِص َّيُة ِلْلَٰو ِلَد ْيِن َو ٱَأْلْقَر ِبَني ِبٱْلَم ْع ُر وِف ۖ َح ًّقا َعَلى
ِق
ٱْلُم َّت َني
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda- tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu- bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang- orang yang bertakwa” (D. A. RI, 2002).
َو ُهَو- َقاَال َح َّد َثَنا ْحَیىَی- َو الَّلْف ُظ ِال ْبِن اْلُمَثىَّن- َح َّد َثَنا َأُبو َخْیَثَم َة ُز َهْيُر ْبُن َحْر ٍب َو َحُمَّم ُد ْبُن اْلُمَثىَّن اْلَعَنِز ُّى
َقاَل َم ا-صلى اهلل عليه وسلم- ِ َعْن ُعَبْیِد اَّهللِ َأْخ َبَر ىِن َناِفٌع َعِن اْبِن ُعَمَر َأَّن َرُس وَل اَّهلل- اْبُن َس ِعیٍد اْلَق َّطاُن
ِع ِص ِص ِف ِه ٍئ ِل
َح ُّق اْم ِر ُمْس ٍم َلُه َش ْى ٌء ُیِر یُد َ َاْن ُیو َى ْي َیِبیُت َلْیَلَتِنْی ِإَّال َو َو َّیُتُه َم ْك ُتوَبٌة ْنَد ُه.
"Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb dan Muhammad bin al-Mutsanna
al-‘Anazi dan ini adalah lafaz Ibnu Mutsanna, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami
Yahya yaitu Ibnu Sa’id al-Qatthan dari Ubaidillah, telah menkhabarkan kepadaku Nafi’ dari Ibnu
Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang
muslim tidak berhak mewasiatkan sesuatu yang ia miliki kurang dari dua malam (hari), kecuali jika
wasiat itu tertulis disisinya" (Al-Naisaburi, 2010).
c. Hukum Wasiat
Menurut ketentuan hukum Islam, bahwa bagi seseorang yang merasa telah dekat ajalnya dan ia
meninggalkan harta yang cukup (apalagi banyak) maka diwajibkan kepadanya untuk membuat wasiat
bagi kedua orang tuanya atau bagi kerabat yang lainnya, terutama apabila ia telah mengetahui dan
dapat memperkirakan bahwa harta kedua orang tuanya dan kerabat lainnya tidak cukup untuk
keperluan sehari hari mereka (Lubisdan & Simanjuntak, 2008). Namun, Berdasarkan dalil-dalil yang
telah dikemukakan di atas, ulama fikih menetapkan bahwa hukum dasar dari wasiat itu adalah sunnah
(dianjurkan). Karena dalil-dalil tersebut mengandung hukum sunnah dan tidak ada satu riwayat pun
dari sahabat yang menunjukkan bahwa wasiat itu diwajibkan. Adapun dalam Q.S al-Baqarah / 2: 180
bahwa didalamnya menggunakan kata diwajibkan, ulama fikih menyatakan bahwa hukum yang
terkandung dalam ayat itu telah dinasakh oleh Q.S an-Nisa / 4: 7 yang artinya “Bagi orang laki-laki
ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan. Ayat itu menjelaskan bahwa dalam harta waris atau harta yang ditinggalkan
oleh seseorang yang wafat terdapat hak hak bagi ahli waris yaitu laki laki dan Perempuan yang
bagiannya telah ditetapkan oleh syariat islam. Dengan begitu kewajiban berwasiat dalam Q.S Al-
Baqarah ayat 180 hukumnya telah dinasakh oleh Q.S An-Nisa ayat 7 yang menjelaskan tentang hak
bagian harta bagi ahli waris (Dahlan, 2000a).
Tetapi jika dilihat dari sisi harta yang ada pada pemilik harta dan orang yang akan menerima
wasiat, ulama menetapkan hukum yang berbeda bagi para individu yang akan berwasiat sesuai dengan
objek wasiat tersebut, dalam artian hukumnya kondisional. Adapun hukum-hukumnya sebagai berikut:
(Dahlan, 2000b)
1. Wajib apabila berkaitan dengan penunaian hak-hak Allah Swt. seperti, zakat, fidyah, dan
kafarat. Demikian juga halnya apabila berkaitan dengan penunaian hak-hak pribadi seseorang
yang hanya bisa diketahui melalui wasiat, seperti mengembalikan harta pinjaman, titipan, dan
utang.
2. Sunnah apabila ditujukan kepada kerabat terdekat yang tidak mendapat bagian warisan, atau
kepada orang-orang yang membutuhkan.
3. Mubah apabila ditujukan kepada orang kaya dengan tujuan persahabatan atau balas jasa.
4. Haram dan tidak sah apabila ditujukan pada sesuatu yang bersifat maksiat. Seperti
mewasiatkan khamar atau minuman keras.
5. Makruh apabila harta orang yang berwasiat itu sedikit, sedangkan ahli warisnya banyak.
Wasiat timbul sesuai dengan sifat manusia yang selalu mengharapkan agar amalnya di dunia
memberikan keselamatan kepadanya kelak di akhirat. Manusia selalu berusaha untuk berbuat amal
kebaikan sewaktu ia masih hidup, salah satu amal kebaikan tersebut adalah membuat wasiat semasa
hidupnya agar sebagian harta yang dimilikinya digunakan untuk kebutuhan orang lain (Bahder Johan
Nasution, S.H. & Sri Warjiyati, S.H., 1997).
Adapun masalah pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dalam ilmu faraid yaitu ilmu
yang berkaitan dengan harta peninggalan dan cara menghitung pembagiannya serta bagian masing-
masing ahli waris (Al-Zuhaili, 2004). Namun terkadang dalam masalah-masalah yang bersifat
kasuistik, pembagian waris berdasarkan faraid ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Seperti adanya
kerabat dekat yang miskin tapi tidak termasuk dalam ashhab al-furudh, atau ashhab al-furudhnya
termasuk orang-orang yang kaya. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka perlu ada solusi yang salah
satunya adalah dengan wasiat orang yang meninggal. Berdasarkan atas pertimbangan kemaslahatan,
seseorang dapat berwasiat tentang pembagian seluruh hartanya. Hal ini bukan berarti tidak
mempercayai masalah konsep pembagian waris dalam Islam, tetapi justru berusaha untuk
menempatkan konsep pembagian harta waris ini secara proporsional, sebagaimana Umar bin Khatab
RA yang tidak melakukan hukuman potong tangan terhadap pencuri karena adanya pertimbangan
yang bersifat kasuistik (Purkon, 2018).
Tetapi dalam pelaksanaan wasiat mempunyai ketentuan awal yang harus diperhatikan. Wasiat
merupakan pemindahan hak milik yang bersifat terbatas, yaitu hanya sepertiga dari harta peninggalan
untuk diserahkan kepada orang lain (yang diberi wasiat), kecuali apabila semua ahli waris menyetujui
maka wasiat boleh diberikan lebih dari sepertiga jumlah harta peninggalan. Pemberian terbatas ini
dimaksudkan supaya tidak sampai merugikan ahli waris. Wasiat dilakukan oleh seseorang semasa ia
masih hidup. Ia dapat membuat wasiat terhadap harta yang jelas seperti sebuah rumah, sebidang tanah
yang batas-batasnya sudah ditentukan, dan lain-lain sebagainya, dan membuat wasiat terhadap harta
yang masih samar (jumlah obyek wasiat yang belum mempunyai kebulatan dalam hitungan) seperti
ikan yang berada di dalam kolam, atau laba perusahaan yang belum dibagi. Ataupun membuat wasiat
terhadap harta yang masih akan ada seperti tumbuh-tumbuhan yang masih belum menghasilkan atau
berbuah (Bahder Johan Nasution, S.H. & Sri Warjiyati, S.H., 1997).
Pemberi wasiat adalah orang yang memberi harta warisannya kepada orang yang tidak mendapat
bagian dari harta warisannya akibat dari halangan tertentu. Ada beberapa kriteria bagi pemberi wasiat
diantaranya ialah: (Az-Zuhaili, 2011)
Berakal, wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang gila, orang yang pingsan dan orang yang
mabuk. Karena mereka dianggap orang-orang yang kehilangan akal yang merupakan asas
kepada taklif, dengan ini orang-orang ini tidak layak memberi wasiat.
Baligh, syarat ini juga asas kepada taklif. Dengan begitu tidak sah wasiat daripada seorang
anak-anak walaupun telah mumayiz kerana ia tidak layak berwasiat.
Merdeka, tidak sah wasiat daripada seorang hamba sahaya karena hamba sahaya bukan
pemilik, bahkan diri dan hartanya adalah milik tuannya.
Kemauan sendiri, wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang yang dipaksa. Ini karena wasiat
bermakna menyerahkan hak milik maka ia perlu keikhlasan dan pilihan pemiliknya.
Penerima wasiat adalah orang yang mendapatkan harta warisan dari pemberi wasiat. Penerima
wasiat haruslah mempunyai kriteria untuk menerima wasiat, dintaranya ialah: (Halim, 2006)
Penerima wasiat bukan ahli waris pemberi wasiat. Perkara ini telah ditetapkan berdasarkan
hadis nabi saw yang artinya “tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Hadis ini diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Daud, dan tirmidzi yang menurutnya hadis hasan (Sabiq, 2009).
Penerima wasiat hendaklah wujudnya diketahui ketika wasiat dibuat. Tidak sah mewasiatkan
kepada bayi yang belum lahir atau kepada badan yang belum ditubuhkan (masjid yang akan
dibangunkan).
Penerima wasiat hendaklah bukan seorang pembunuh.
Penerima wasiat hendaklah bukan kafir harbi (pendapat fuqaha’ madzhab Maliki), bukannya
kafir harbi di dar (pendapat fuqaha’ madzhab Hanafi) dan tidak boleh mewasiatkan senjata
kepada ahli harbi (pendapat fuqaha madzhab Syafie).
Lafadz ijab qabul wasiat meliputi penyerahan dan penerimaan, sedangkan benda wasiat yang
diberikan kepada penerima wasiat terdapat dalam aqad (perjanjian) itu. Adapun syarat-syarat bagi
lafaz ijab dan qabul adalah: (Halim, 2006)
Hendaklah wasiat tersebut dilafazkan dengan jelas ataupun kabur. Lafaz yang jelas seperti :
“Saya mewasiatkan untuknya seratus juta rupiah” atau “serahkanlah seratus juta rupiah
kepadanya setelah kematian saya” atau “berikan kepadanya setelah kematian saya” atau “harta
itu menjadi miliknya setelah kematian saya”. Lafaz wasiat yang jelas ini diterima sebagai
suatu wasiat yang sah dilaksanakan menurut lafaz tersebut. Jika orang yang berkata tersebut
menafikan atau mentidakjadikan niat ia berwasiat, maka perkataan itu tidak diterima.
Sedangkan lafaz yang kabur juga perlu disertakan dengan niat karena terdapat kemungkinan
lafaz itu tidak berarti wasiat. Contohnya: “buku saya ini untuk Zaid”.
Hendaklah wasiat ini diterima oleh penerima wasiat jika wasiat ini ditujukan kepada orang
yang sudah ditentukan. Jika wasiat ini ditujukan kepada pihak yang umum seperti fakir miskin
atau ulama’, maka tidak diperlukan persetujuan diantara mereka karena ini menyulitkan.
Hendaklah persetujuan tersebut diambil setelah kematian pewasiat, Tanpa harus
memperhatikan apakah penerima wasiat setuju atau menolak wasiat sebelum pewasiat
meninggal.
PENUTUP
Simpulan
Implikasi
DAFTAR PUSTAKA
Al-Naisaburi, A. H. M. bin al-H. al-Q. (2010). Shahih Muslim (Juz 5). Maktabah Taufikiyyah.
Al-Zuhaili, W. (2004). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Daar al-Fikr.
Az-Zuhaili, W. (2011). Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jilid 10). Gema Insani.
Bahder Johan Nasution, S.H., M. H., & Sri Warjiyati, S.H., M. H. (1997). Hukum Perdata Islam
Kompetensi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqah
(Cet. I). Mandar Maju.
Dahlan, A. A. (2000a). Ensiklopedi Hukum Islam (jilid 6 Ce). PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Dahlan, A. A. (2000b). Ensiklopedi Hukum Islam (jilid 6 Ce). PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Halim, W. A. (2006). Pengurusan dan Pembahagian Harta Pusaka. Dewan Bahasa Dan Pustaka.
Lubisdan, S. K., & Simanjuntak, K. (2008). Hukum Waris Islam: Lengkap dan Praktis (Edisi kedu).
Sinar Grafika.
Poerwadarminta, W. J. S. (1984). Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cetakan VI). Balai Pustaka.
Purkon, A. (2018). Pembagian Harta Waris Dengan Wasiat (Pendekatan Ushul Fiqih). Mizan: Journal
of Islamic Law, 2(1), 47–56. https://doi.org/10.32507/mizan.v2i1.133
RI, D. A. (2002). Al – Qur’an dan Terjemahnya. PT. Karya Toha Putra.
RI, K. (n.d.). Qur’an Kemenag.
Sabiq, S. (1994). Fiqhi Sunnah (Jilid 14 C). Alma’arif.
Sabiq, S. (2009). Fiqh Sunnah, Pen: Abdurrahim dan Masrukhin (jilid 5). Cakrawala Publishing.