Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PARADOKS DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Sosiologi Pendidikan
Dosen pengampu:
Prof. Dr. H. Nanat Fatah Natsir, M.S

Disusun oleh Kelompok 7 :

Ahmad Zein Rijal : 1162020013

Aini Asma Hafidah : 1162020017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Segala puji bagi Allah –Subhanahu wa Ta’ala- atas segala limpahan


rahmatnya pada setiap hambanya agar selalu menetap dalah kebahagiaan yang
hakiki. Tak lupa shalawat dan salam kami haturkan pada Nabi Muhammad –
Shallallahu ‘alayhi wa sallam-, pengemban risalah suci pun penutup para Nabi
yang juangnya tidak pernah redup hingga akhir zaman.

Tidak sempurna memang, kami yang masih belajar ini telah menuntaskan
satu daripada tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan yang dipangku oleh dosen
kami Prof. Dr. Nanat Fattah Natsir, M.S. Makalah yang berjudul “Paradoks
Dalam Pelaksanaan Pendidikan” ini tidak mungkin dapat selesai tanpa pihak-
pihak lainnya yang telah membantu dalam proses penyusunannya, maka kami
ucapkan terimakasih sedalam rasa syukur kami.

Segala kritik dan saran yang membangun merupakan hal yang sangat
berharga guna memperbaiki pun memajukan kualitas keilmuan kami, supaya
manfaat akan terasa hingga waktu yang lama.

Bandung, Oktober 2018


Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................... i

Daftar Isi............................................................................................................. ii

Bab I Pendahuluan

1. Latar Belakang.............................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah......................................................................................... 1
3. Tujuan Penulisan.......................................................................................... 1

Bab II Pembahasan

A. Pengertian Paradoks Dalam Pelaksanaan Pendidikan.................................. 3


B. Bentuk Paradoks Dalam Pelaksanaan Pendidikan........................................ 4

Bab III Penutup

Simpulan............................................................................................................. 11

Daftar Pustaka..................................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu pendidikan menjadi salah satu prioritas pembangunan dan kebutuhan dasar
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari tujuan didirikannya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu
tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini adalah bukti bahwa pemerintah menjadikan
isu pendidikan sebagai prioritas pembangunan dan menjadikan pendidikan
kebutuhan dasar masyarakat Indonesia. Namun kenyatannya terdapat banyak
permasalahan yang menjadi paradoks dalam pelaksanaan pendidikan yang ada
dalam lembaga pendidikan. Diperlukan upaya agar segala aspek pendidikan dapat
berkesinambungan dengan baik sehingga proses pendidikan dapat berjalan sesuai
dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

Pendidikan pada dasarnya mempunyai tugas menyiapkan Sumber Daya


Manusia (SDM) untuk membangun bangsa dan negara. Dalam hal ini,
pembangunan yang diupayakan selalu seirama dengan perkembangan dan
tuntunan zaman. Sehingga, setiap zaman yang dilewati oleh pendidikan akan
selalu melahirkan permasalahan baru yang harus segera dituntaskan. Harus diakui
pula, bahwa masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan demikian kompleks
dan luas Dalam pelaksanaannya, pendidikan sekarang berdimensi paradoks.
Karena, disatu sisi mampu menjadikan SDM yang terdidik dan cerdas
Intelektualitasnya, namun disisi lain menjadikan manusia tersebut hilang
keadabannya. Hal inilah yang menjadi tugas penting yang harus segera diselesai
oleh segenap kompenen pendidikan khususnya dan masyarakat secara umum

Dari latar belakang di atas, kami menyusun makalah yang berjudul “Paradoks
Dalam Pelaksanaan Pendidikan”.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud paradoks dalam pelaksanaan pendidikan?
2. Bagaimana bentuk paradoks dalam pelaksanaan pendidikan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian paradoks dalam pelaksanaan pendidikan
2. Untuk mengetahui bentuk paradoks dalam pelaksanaan pendidikan
3.

2
BAB II

PARADOKS DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN

A. Pengertian Paradoks Dalam Pelaksanaan Pendidikan


Paradoks/pa·ra·doks/ n menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI )
ialah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat
umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat
paradok1
Paradoks adalah opini atau argumen yang berlawanan dengan pendapat
umum, bisa dianggap aneh atau luar biasa. Dikatakan juga paradoks, suatu
proposisi yang salah tetapi sekaligus juga benar. Sering kali dibalik gagasan yang
mengherankan, paradoks menyembunyikan kebenaran yang dapat dipertahankan.
Dalam majas ini, ada dua penanda yang mempunyai makna yang beroposisi.
Kedua penanda muncul, jadi tidak bersifat implisit.
Namun, oposisi itu ada dalam makna kata saja, sedangkan di dalam
kehidupan seringkali paradoks itu tidak merupakan oposisi melainkan
menguatkan makna.
Contoh: “Semut memang patut dicontoh, rajin bekerja dan mampu
bekerjasama”.
Pada kalimat di atas, kita lihat sebuah paradoks: manusia (implisit) sebagai
mahluk tertinggi, yang mempunyai akal, mendapat nasihat agar mencontoh
tindakan semut, mahluk yang sangat kecil. Komponen makna untuk manusia
adalah ‘mahluk mulia’, ‘berukuran cukup besar’, ‘berakal’, beroposisi dengan
komponen makna yang ada dalam semut, ‘mahluk yang sangat kecil’, ‘tidak
berakal’.Berikut ini akan dikemukakan bagan wilayah maknanya:
Bagan wilayah makna ini perlu dikemukakan dalam lingkup konteks
pengujaran (di sini ditampilkan dengan bentuk persegi panjang). Konteks ini bisa
bersifat tekstual, bisa juga situasional. Apabila wilayah semantik ini tidak
ditempatkan dalam konteks pengujaran, maka majas paradoks tidak akan
dipahami, dan kata-kata yang ada hanya akan dianggap aneh.

1
https://kbbi.web.id/paradoks, diakses pada tanggal 29 Oktober 2018 pukul 19.20

3
Inilah yang disebut paradoks. Bagan segitiga semantik tidak perlu
dikemukakan di sini, karena kedua kata beroposisi, sehingga masing-masing
berdiri sendiri.
Contoh lain:
- “Meskipun hatinya sangat panas, kepalanya tetap dingin.”
Kata panas dan dingin mengandung komponen makna yang berlawanan.
Ujaran itu tampak aneh, luar biasa, karena hati dan kepala yang dimaksud, berada
dalam diri satu orang manusia. Jadi acuannya tidak sesuai dengan pendapat
“umum”. Meskipun demikian, secara konotatif, jadi dalam konteks tertentu, hal
itu bisa saja terjadi, bahkan seharusnya demikian. Inilah yang disebut paradoks.2
Dalam pendidikan, paradoks dimaknai sebagai kontradiksi pada
pelaksanaan pendidikan yang mana di dalamnya terdapat pertentangan dan juga
jawaban dari pertentangan tersebut, namun hasilnya masih membingungkan dan
diperlukan upaya untuk menarik kesimpulan. Jadi paradoks dalam hal ini adalah
realita pelaksanaan pendidikan yang seolah-olah bertentangan dengan ketentuan
pelaksanaan yang telah ditetapkan.
B. Bentuk-Bentuk Paradoks Dalam Pelaksanaan Pendidikan
1. Biaya Pendidikan

Pada amandemen UUD 1945 pasal 31 dinyatakan dengan tegas bahwa;


Ayat (2): “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. Ayat (4): “negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekuarng-kurangnya dua puluh persen dari Ang- garan
Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pen- didikan nasional”.
Ayat (5): “pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.3

Amandemen UUD dasar di atas secara tegas menyebutkan setiap warga


2
Zaimar, Majas dan Pembentuknya. Makara. Sosial Humaniora, 2002, Vol 6, No, Hlm. 56-57.
3
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta, PT Kompas Media
Nusantara, 2008, hlm. 352.

4
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya, akan tetapi kenyataan yang kita lihat masih banyak anak usia
sekolah dasar yang tidak dapat mengikuti sekolah dasar karena
ketidakmampuan dalam biaya pendidikan.
Selain itu, anggaran pendidikan saat ini telah mencapai angka 20 persen
dari APBN sesuai dengan UU. Anggaran ini dilansir dari websitennya
Kementerian keuangan berkisar pada angka 441,1 trilyun rupiah yang akan
digunakan untuk membenahi mutu pendidikan dari tingkat sekolah dasar
hingga sekolah menengah pertama di seluruh Indonesia.4
Dengan anggaran yang sedemikian besar sangat diharapkan adanya
percepatan pembangunan mutu pendidikan sehingga semua peserta didik
mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dapat merasakan pendidikan
yang bermutu. Namun pada realitanya dengan anggaran sebesar itu mutu
pendidikan belumlah merata dan biaya pendidikan masih mahal.
Di dalam bukunya yang berjudul Kritik Dunia Pendidikan, Paulo Freire
mengatakan bahwa pendidikan adalah proses mencerdaskan dan
memerdekakan, bukan proses indoktrinasi dalam melanggengkan sebuah
kekuasaan. Sedangkan untuk memasuki perguruan tinggi diperlukan biaya
yang tinggi ini membuat orangtua yang memiliki penghasilan pas-pasan
berpikir kembali untuk menyekolahkan anaknya, bahkan tidak sedikit yang
mengurungkan niatnya.
Ditengah indeks perekonomian Indonesia yang konon naik hingga 6
persen. Pendidikan masih menjadi barang mahal untuk dinikmati oleh semua
kalangan. Wajib belajar 9 tahun masih menjadi hal yang di pelosok nusantara.
Jadi mahalnya biaya pendidikan tidak banyak menjadikan generasi yang
cerdas dalam spiritualitas. Hal ini dilihat dari sejumlah kasus korupsi yang
menciderai rasa keperihatinan ini. Bahkan hingga saat ini korupsi seperti
menjadi hal yang membudaya di kalangan penguasa negeri. Paradoksnya,
korupsi yang dilakukan bukanlah mereka yang tidak berpendidikan

4
https://www.kemenkeu.go.id/apbn2018, diakses pada tanggal 29 oktober 2018, pada pukul
21.19.

5
melainkan mereka yang bahkan sudah mencapai gelar tinggi. Dikala bagi
sebagian masyarakat bahwa pendidikan adalah barang mewah yang
mendapatkannya memerlukan susah payah. Pendidikan di negeri ini kembali
menjadi sebuah paradoks bagi masyarakatnya sendiri.
2. Distorsi Orientasi Pendidikan
Didalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 3 disebutkan bahwa: Tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Namun pada realitanya pelaksanan pendidikan belum
mengarah sepenuhnya kepada tujuan-tujuan pendidikan diatas, salah satu
penyebabnya tidak mengarahnya pelaksanaan kurikulum.
Pada era modern ini, kurikulum pendidikan seolah – olah menjadi
kurikulum yang anti – realitas dan penuh keparadoksian. Pendidikan anti –
realitas memiliki titik pangkal pada adanya komersialisme dan kapitalisme
dalam sistem pendidikan nasional. Kapitalisme dan komersialisme pada
awalnya berasal dari domain permasalahan ekonomi, tetapi pengaruhnya juga
menyebar ke dalam ranah pendidikan. Dalam ranah pendidikan, dampak yang
paling nyata dari dominasi kapitalisme dan komersialisme adalah pada salah
satu produk yang dihasilkannya, yaitu “culture of positivism” (Giroux: 1983).
Pengaruh budaya positivisme dan komersialisme pendidikan terlihat dari
adanya desiminasi ilmu pengetahuan yang lebih berorientasi pada dunia
masyarakat industri, yang mana mengorbankan aspek critical subjectivity dari
siswa itu sendiri, yaitu kemampuan untuk melihat dunia secara kritis.
Isi dan materi pembelajaran cenderung mengambil kiblat dalam setiap
perkembangan masyarakat industri. Institusi pendidikan seolah – olah hanya
tampak sebagai pabrik yang mempersiapkan tenaga – tenaga yang cakap
dalam dunia perindustrian. Materi pembelajaran pun, terasa mengalami
pereduksian nilai – nilai humanis pada siswa. Siswa dituntut untuk bisa dan

6
dipersiapkan untuk masuk ke dunia industri sejak awal pembelajaran itu
berlangsung.
Hal ini tampak dalam pembelajaran yang lebih berorientasi dalam
menghafal dan mengulang kembali materi pembelajaran yang telah
disampaikan oleh pendidik mereka. Mereka tampak seolah – olah seperti
robot yang memiliki tugas utama untuk menghafal semua materi
pembelajaran dan pada saat evaluasi pembelajaran materi yang telah
disampaikan itu ditulis kembali tanpa menganalisa dan memahami maksud
atau arah materi pembelajaran tersebut. Daya kritis siswa sangat
dikesampingkan, dan yang diutamakan hanya daya menghafal dan daya
mendengarkan materi pendidikan. 5
Pendidikan kita juga melahirkan individu – individu yang tidak kreatif dan
inovatif, hal ini didukung oleh ketidakadaannya ruang imajinasi dan mimpi
bagi siswa. Rhenald Khasali menggunakan istilah, guru – guru kita
merupakan “guru kurikulum”, yaitu guru yang sekedar menghabiskan materi
pelajaran tanpa memperdulikan apakah yang diberikan itu bermakna dan
meninggalkan kesan dalam pikiran siswa. Titik prioritas pendidikan kita di
zaman ini adalah “what to think” dan bukannya “how to think”, sehingga
pendidikan kita menekankan pada penguasaan materi dengan metode hafalan,
tapi mengabaikan aspek bagaimana memahami, menganalisis dan mengaitkan
materi dengan kehidupan nyata6.
3. Sistem Pendidikan

Jika merujuk dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1


menggariskan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi
mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”

5
Titis Thoriquttyas, 2013, Otokritik Kurikulum Pendidikan Nasional: Solusi Atas Pendidikan
Paradoks Dan Anti – Realitas. Hlm 5-6
https://www.academia.edu/8947351/Otokritik_Kurikulum_Pendidikan_Bentuk_Pendidikan_Para
doks_dan_Anti_Realitas. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2018, pukul 21.02
6
Agus Nuryanto, Mazhab Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: Resist Press), 2008.

7
Dari UU tersebut, menunjukkan bahwa iman dan takwa menjadi bagian
keuniversalitasan UU yang melibatkan unsur agama sebagai domainnya.
Namun pada kenyataannya hal ini belum tampak dalam pelaksanaannya.

Hal ini dapat dilihat dari peran Departemen Agama dan Departemen
Pendidikan Nasional. Terdapat sekularisasi secara kelembagaan yang tampak
adalah bahwa pendidikan melalui institut agama, madrasah, dan pesantren
dikelola oleh Departemen Agama. Sedangkan melalui Departemen Pendidikan
Nasional pendidikan dilaksanakan melalui sekolah dasar, sekolah menengah,
kejuruan serta perguruan tinggi umum. Padahal bagian terpenting dari proses
pendidikan adalah pembentukan karakter peserta didik, namun kenyataannya
terdapat kesan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) nampak tidak berkaitan dengan agama.

Iman dan takwa yang menjadi cita-cita perjuangan Nasional menjadi hal
yang tabu. Kacaunya kurikulum ini berasal dari asas yang sekular, yang
kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak
memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan nilai Ketuhanan dan
pembentukan kepribadian religius. Sistem pendidikan yang seperti ini
memang bisa melahirkan orang pintar yang menguasai sains-teknologi melalui
pendidikan umum yang diikutinya. Namun, pendidikan semacam itu terbukti
gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan
karakteristik Ilahiyah. Tidak sedikit lulusan pendidikan umum yang tetap saja
buta agama dan rapuh kepribadiannya. Dan tidak sedikit pula, mereka yang
belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqofah
Ilahiyah dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Namun, di sisi
lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.

Jadi output dari sistem pendidikan sekular ini menghasilkan manusia yang
pandai akan tetapi minim kepribadian dan integritasnya. Dalam sistem sekular,
aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Agama memang tidak pernah secara

8
sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang
pendidikan.

Perbaikan negeri ini dapat dilakukan dengan cara memerankan segala sisi
elemen yang ada dalam pendidikan untuk mencapai pada satu tujuan.
Penyempurnaan pendidikan harus memenuhi aspek intelektual, emosional,
dan spiritual sehingga dapat mencetak generasi yang cerdas dalam sains juga
kuat pondasi keagamaannya.

4. Ujian Nasional

Ujian Nasional pernah menjadi salah satu barometer kelulusan


peserta didik meskipun kini tidak lagi. Meski begitu UN tetap menjadi hal
yang meresahkan bagi peserta didik karena bagaimanapun nilai-nilai yang
dihasilkan dalam UN tetap terpampang dalam ijazah sehingga UN masih
menjadi perhatian khusus dalam pendidikan. Karena UN pun masih
menjadi salah satu tolak ukur dan syarat masuk ke perguruan tinggi.
Soal yang dianggap sulit dan tidak sesuai dengan materi yang
diajarkan guru adalah alasan dalam ketidakefisensi pelaksanaan UN,
bahkan isu ini bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
perdebatannya bukan lagi sekedar sulit atau tidak tapi sudah dianggap
melanggar hak anak. Dapat d

Akan tetapi, lain halnya dengan Ketua Badan Standar Nasional


Pendidikan (BSNP) yang memandang bahwa soal yang sulit justru untuk
menguji dan mendorong siswa untuk berpikir dengan nalar atau
kemampuan tinggi. Ini dilakukan agar peserta didik Indonesia tidak
ketinggalan dengan peserta didik di negara lain.

Banyaknya permasalahan dalam pelaksanaan UN menjadi


paradoks yang tidak berhenti. Permasalahan timbul ‘mewarnai’ pergerakan
proses pendidikan bahkan dalam menuju tujuan pendidikan itu
menunjukkan sebaliknya. Hal ini tampak pada kebocoran soal yang

9
bahkan banyak dilakukan oleh oknum guru sehingga peserta didik yang
sudah belajar tiga tahun lamanya, gugur aspek integritasnya hanya karena
dinodai kecurangan dan ketidakjujuran.

10
BAB III
SIMPULAN

Paradoks dalam pelaksaan pendidikan ialah realita pelaksanaan pendidikan


yang seolah-olah bertentangan dengan ketentuan pelaksanaan yang telah
ditetapkan. Bentuk-bentuk paradoks dalam pelaksanaan pendidikan di antaranya:

1. Biaya Pendidikan
Jadi mahalnya biaya pendidikan tidak banyak menjadikan generasi yang
cerdas dalam spiritualitas. Hal ini dilihat dari sejumlah kasus korupsi yang
menciderai rasa keperihatinan ini. Bahkan hingga saat ini korupsi seperti
menjadi hal yang membudaya di kalangan penguasa negeri. Paradoksnya,
korupsi yang dilakukan bukanlah mereka yang tidak berpendidikan melainkan
mereka yang bahkan sudah mencapai gelar tinggi. Dikala bagi sebagian
masyarakat bahwa pendidikan adalah barang mewah yang mendapatkannya
memerlukan susah payah. Pendidikan di negeri ini kembali menjadi sebuah
paradoks bagi masyarakatnya sendiri.
2. Distorsi Orientasi Pendidikan
Hal ini nampak dalam Isi dan materi pembelajaran cenderung mengambil
kiblat dalam setiap perkembangan masyarakat industri. Institusi pendidikan
seolah – olah hanya tampak sebagai pabrik yang mempersiapkan tenaga –
tenaga yang cakap dalam dunia perindustrian. Materi pembelajaran pun, terasa
mengalami pereduksian nilai – nilai humanis pada siswa. Siswa dituntut untuk
bisa dan dipersiapkan untuk masuk ke dunia industri sejak awal pembelajaran
itu berlangsung.
3. Sistem Pendidikan
Output dari sistem pendidikan sekular ini menghasilkan manusia yang
pandai akan tetapi minim kepribadian dan integritasnya. Dalam sistem sekular,
aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Agama memang tidak pernah secara
sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang
pendidikan.
4. Ujian Nasional

11
Banyaknya permasalahan dalam pelaksanaan UN menjadi paradoks
yang tidak berhenti. Permasalahan timbul ‘mewarnai’ pergerakan proses
pendidikan bahkan dalam menuju tujuan pendidikan itu menunjukkan
sebaliknya. Hal ini tampak pada kebocoran soal yang bahkan banyak
dilakukan oleh oknum guru sehingga peserta didik yang sudah belajar tiga
tahun lamanya, gugur aspek integritasnya hanya karena dinodai kecurangan
dan ketidakjujuran.

12
DAFTAR PUSTAKA

Nuryatno, Agus. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis, Yogyakarta: Resist Press

Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta,


PT Kompas Media Nusantara, 2008

Thoriquttyas, Titis. 2013, Otokritik Kurikulum Pendidikan Nasional: Solusi Atas


Pendidikan Paradoks Dan Anti – Realitas.

Zaimar. 2002. Majas dan Pembentuknya. Makara. Sosial Humaniora. Vol 6, No,

https://kbbi.web.id/paradoks, diakses pada tanggal 29 Oktober 2018 pukul 19.20

https://www.kemenkeu.go.id/apbn2018, diakses pada tanggal 29 oktober 2018,


pada pukul 21.19.

https://www.academia.edu/8947351/
Otokritik_Kurikulum_Pendidikan_Bentuk_Pendidikan_Paradoks_dan_Ant
i_Realitas. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2018, pukul 21.02

13

Anda mungkin juga menyukai